Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MENEMUKAN KITA DALAM KETERASINGAN AKU
Istilah wirausaha sangat akrab di telinga kita. Istilah ini merujuk pada seseorang yang
menjalankan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hasil/laba. Orang menjual pulsa kepada teman
temannya bisa disebut sebagai wirausaha. Orang membuka jasa tambal ban juga disebut wirausaha. Pak
Ciputra yang memiliki dan mendirikan Ciputra Group dengan juga dijuluki sebagai wirausaha. Salah
kaprah? Bukan!!
Diskusi tentang entrepreneur bukan baru saja dimulai. Sudah sejak awal abad 18 orang mulai
memperbincangkannya. Richard Cantillon adalah salah satunya. (Say, 1803) (Knight, 1921)
(Schumpeter, 1934) (Kirzner, 1973), (Gartner, 1988) adalah para penulis yang juga mencoba
memahaminya. Setiap penulis memiliki sudut pandang yang berbeda ataupun penekanan yang berbeda
untuk memahami fenomena kewirausahaan Dari pemahaman mereka, wirausaha dapat dimaknai
sebagai seseorang yang mampu melihat peluang untuk membawa visi ke dalam kehidupan dan
mengeksploitasi peluang itu dengan menyatukan/mengkombinasikan semua sumber daya secara
inovatif.
Boone dan Kurtz lebih tegas mendefinisikan bisnis sebagai semua kegiatan untuk mendapatkan
profit/laba dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan ke dalam suatu sistem perekonomian.
Profit bagi Boone dan Kurtz tidak harus berarti uang. Mereka mengartikan profit sebagai bentuk
penghargaan karena keberanian seseorang untuk mengambil resiko mengkombinasikan sumber daya
tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa yang mampu memberikan kepuasan kepada konsumen.
Artinya profit yang diterima oleh seseorang karena keberaniannya mengambil resiko dapat berarti
kepuasan pribadi atau kebanggaan. Dari sinilah kemudian pemisahan kewirausahaan. Kewirausahaan
bisnis/commercial/tradisional dibedakan secara tegas dari kewirausahaan sosial. Dave Robert dan
Christine Woods (Changing the world on a shoestring: The concept of social entrepreneurship,
Business Review, Autumn 2005) menyatakan perbedaan keduanya dari aspek motivasi melakukannya.
Social Entrepreneurs are motivated to address a social need, commercial entrepreneurs a financial
need. Wirausaha sosial termotivasi untuk menyelesaikan masalah sosial sementara wirausaha bisnis
termotivasi oleh kebutuhan finansial.
Wirausaha sosial selalu berangkat dari kemandekan sosial sebagai sumber keprihatinan. Semakin
tinggi kemandekan sosial di dalam sebuah masyarakat, maka semakin tinggi pula kebutuhan akan
wirausaha sosial di dalamnya. Kita sebagai sebuah bangsa telah mengalami disorientasi budaya sejak
diperkenalkannya idiologi kapitalisme yang diusung dalam konteks pembangunan pada tahun 1967.
Investorinvestor asing, utamanya dari Amerika, berbondongbondong berinvestasi di Indonesia.
Pembangunan dengan triloginya pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan. Wirausaha bisnis
berkembang dengan sangat pesat. Semangat individualistik menginfeksi dan menguat hampir di setiap
lini kehidupan masyarakat kita. Dulu kita yang sangat akrab dengan kebersamaan, gotong royong, dan
sayuk rukun, sekarang terbiasa hidup dengan pola hidup yang ”akusentris”. Saat membangun rumah,
kita lebih suka dengan menggunakan developer daripada bergotong royong, Pas punya hajat, kita lebih
suka menggunakan jasa boga (catering) daripada melibatkan tetangga. Kita lebih suka tinggal di
perumahan yang tidak harus mengenali tetangga daripada tinggal di kampung yang banyak kegiatan
sosialnya. Masingmasing dari kita telah menjadi pulaupulau terpisah yang tidak terhubungkan satu
sama lain. Situasi inilah yang berpotensi menjadi sumber kemandekan sosial di dalam masyarakat kita.
Adalah Wirausaha sosial yang menjadi jawaban ketika keterasingan aku semakin menguat.
Kemandeankemandegan sosial yang terjadi karena keterasingan aku membutuhkan intervensi dari
individuindividu yang memiliki orientasi sosial. Dalam konteks sekarang, kita bisa mulai melihat
contohcontoh hebat mereka, Penerima penghargaan dalam kategori yang lain diantaranya Anton
Setiawan dari PT Tunas Ridean Tbk, penerima penghargaan "The Lifetime Achievement Award",
Herman Moeliana dari PT United Chemical Group penerima "The Industry and Manufacturing
Entrepreneur of the Year", Asep Sulaiman Sabanda dari PT Santika Duta Nusantara sebagai penerima
"The Young Entrepreneur of the Year", Sudiarso Prasetio dari PT Pamapersada Nusantara penerima
penghargaan "The special award for inspirational Leadership". Simak pula gelargelar Heros yang
dibuat oleh Kick Andy, Pejuang Lingkungan, Pejuang Pendidikan, Pejuang Kesehatan dan Pejuang Seni
dan Budaya. Ashoka Fellowship menawarkan dukungan dan komunitas untuk pengembangan
Wirausaha Sosial.
Indonesia membutuhkan orangorang yang peka terhadap kemandegan sosial di dalam
lingkungannya. Negeri ini merindukan orangorang yang mampu dan mau mengorientasikan dirinya
untuk kepentingan orang banyak. Beranikah kita menjadi volunteer bagi pengembangan Wirausaha
Sosial?
Pengertian dan Teori Kewirausahaan Budi Hermana
Ketika mata kiri melirik ke SAP online dan mata kanan ke kalendar akademik, …..waduh cilaka
ternyata jatah ngajar sebelum UTS tinggal satu kali pertemuan lagi. Padahal materi yang diberikan
masih lumayan banyak. Saya pun buruburu berburu bahan ajar terburu eh terbaru, atau setidak
tidaknya mereview kembali beberapa bahan ajar yang sudah diunggah ke staffsiteku. Tulisan ini akan
memaparkan tentang sejarah teori kewirausahaan, yang konsepnya sudah disebutsebut dari zaman
“baheula”, diantaranya oleh Jean Baptista Say dan Richard Cantillon pada awal abad ke18.
Pengertian Kewirausahaan
Istilah entrepreneur pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke18 oleh ekonom Perancis, Richard
Cantillon. Menurutnya, entrepreneur adalah “agent who buys means of production at certain prices in
order to combine them”. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ekonom Perancis lainnya Jean Baptista
Say menambahkan definisi Cantillon dengan konsep entrepreneur sebagai pemimpin. Say menyatakan
bahwa entrepreneur adalah seseorang yang membawa orang lain bersamasama untuk membangun
sebuah organ produktif.
Pengertian kewirausahaan relatif berbedabeda antar para ahli/sumber acuan dengan titik berat
perhatian atau penekanan yang berbedabeda, diantaranya adalah penciptaan organisasi baru (Gartner,
1988), menjalankan kombinasi (kegiatan) yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang
(Kirzner, 1973), menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama faktor
faktor produksi (Say, 1803). Beberapa definisi tentang kewirausahaan tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
Jean Baptista Say (1816): Seorang wirausahawan adalah agen yang menyatukan berbagai alatalat
produksi dan menemukan nilai dari produksinya.
Frank Knight (1921): Wirausahawan mencoba untuk memprediksi dan menyikapi perubahan
pasar. Definisi ini menekankan pada peranan wirausahawan dalam menghadapi ketidakpastian pada
dinamika pasar. Seorang worausahawan disyaratkan untuk melaksanakan fungsifungsi manajerial
mendasar seperti pengarahan dan pengawasan.
Penrose (1963): Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluangpeluang di dalam sistem
ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan.
Israel Kirzner (1979): Wirausahawan mengenali dan bertindak terhadap peluang pasar.
Entrepreneurship Center at Miami University of Ohio: Kewirausahaan sebagai proses mengidentifikasi,
mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif,
peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasila akhir dari proses tersebut adalah
penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi resiko atau ketidakpastian. Salah satu kesimpulan
yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa kewirausahaan dipandang
sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluangpeluang yang muncul di pasar. Eksploitasi
tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif.
Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering
dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan
peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak
digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi kewirausahaan
ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa
menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi kewirausahaan bisa bersifat sementara atau kondisional.
Mardi: WIRAUSAHA adalah seseorang yang mampu melihat peluang untuk membawa visi ke
dalam kehidupan dan mengeksploitasi peluang itu dengan menyatukan/mengkombinasikan
semua sumber daya secara inovatif.
Definisi ini nanti bersifat netral baru setelah mendapatkan kejelasan visi yang yang dibawanya,
kita baru bisa menyebutkan inilah wirausaha bisnis dan itulah wirausaha sosial.
Teori Kewirausahaan
Sebelum memaparkan teori kewirausahaan, terlebih dahulu saya mengulas pengertian “teori”.
Maksudnya sekalian menyegarkan ingatan saya sendiri sih, kan semester ini mengajar metodologi
penelitian juga hehehe. Kita biasanya menggunakan teori untuk menjelaskan sebuah fenomena.
Fenomena yang akan dijelaskan disini adalah kehadiran entrepreneurship yang mempunyai kontribusi
besar dalam pengembangan ekonomi. Teori tersebut terdiri dari konsep dan konstruk, nah lho apa ya
beda kedua istilah tersebut? :). Teori adalah “sekumpulan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi
yang saling berhubungan” yang menunjukkan pandangan sistematis terhadap sebuah fenomena dengan
merinci hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menerangkan dan memprediksi fenomena. Mari
kita lihat beberapa teori yang menjelaskan dan memprediksi fenomena mengenai kewirausahaan.
Neo Klasik, teori ini memandang perusahaan sebagai sebuah istilag teknologis, dimana manajemen
(individuindividu) hanya mengetahui biaya dan penerimaan perusahaan dan sekedar melakukan
kalkulasi matematis untuk menentukan nilai optimal dari variabel keputusan. Hmmm, jadi individu
hanya bertindak sebagai “kalkulator pasif” yang kontribusinya relatif kecil terhadap perusahaan.
Kasihan bener ya tapi Masa sih? …… Jadi pendekatan neoklasik tidak cukup mampu untuk
menjelaskan isu mengenai kewirausahaan. Kata Grebel dkk, “There is no space for an entrepreneur in
neoclassical theory”. Nah loh, jadi dimana letak teori kewirausahaannya dong? Tapi sebagai titik awal
masih bermanfaat juga kok. Kan konsep perusahaan (the firm) yang dijelaskan dalam Neo Klasik masih
mengakui juga keberadaan pihak manajemen atau individuindividu. Dan individu inilah yang nantinya
berperan sebagai entrepreneur atau intrapreneur, yang akan dijelaskan pada teoriteori selanjutnya.
Schumpeter’s entrepreneur, kajian schumpeter lebih banyak dipengaruhi oleh kajian kritisnya
terhadap teori keseimbangan (equilibrium theory)nya Walras. Waduh…. harus mengulang kembali
berbagai teoriteori ekonomi nih hehehe. Menurut beliau, untuk mencapai keseimbangan diperlukan
tindakan dan keputusan aktor (pelaku) ekonomi yang harus berulangulang dengan “cara yang sama”
sampai mencapai keseimbangan. Jadi kata kuncinya “berulang dengan cara yang sama”, yang menurut
Schumpeter disebut “situasi statis”, dan situasi tersebut tidak akan membawa perubahan. Hmmm agak
jelimet juga nih. Saya mencoba membuat interpretasi lain terhadap pernyataan teoritis tersebut,
“Orangorang yang statis atau bertindak seperti kebanyakan orang tidak akan membawa perubahan“.
Schumpeter berupaya melakukan investigasi terhadap dinamika di balik perubahan ekonomi yang
diamatinya secara empiris. Singkat cerita, akhirnya beliau menemukan unsur eksplanatorynya yang
disebut “inovasi“. Dan aktor ekonomi yang membawa inovasi tersebut disebut entrepeneur. Jadi
entrepreneur adalah pelaku ekonomi yang inovatif yang akan membuat perubahan. Hmmmm, begitulah
“warisan” dari Om Schumpeter hehehe.
Austrian School, Mengutip Adaman dan Devine (2000), masalah ekonomi mencakup mobilisasi sosial
dari pengetahuan yang tersembunyi (belum diketahui umum) yang terfragmentasi dan tersebar melalui
interaksi dari kegiatan para entrepreneur yang bersiang. Hmmmmmm…… tambah bingung nih. Ada
dua konsep utama disini yaitu pengetahuan tersembunyi (orang lain belum tahu) yang dikaji oleh Hayek
dan kewirausahaan oleh Mises. Intinya mobilisasi sosial dari pengetahuan tersebut terjadi melalui
tindakan entrepreneural. Dan seorang entrepreneur akan mengarahkan usahanya untuk mencapai
potensi keuntungan dan dengan demikian mereka mengetahui apa yang mungkin atau tidak mungkin
mereka lakukan. Oooohhh begitu toh, jadi artinya seorang entrepreneur itu harus selalu mengetahui
pengetahuan (atau informasi) baru (dimana orang banyak belum mengetahuinya). Dan pengetahuan
atau informasi baru tersebut dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan. Wah bedabeda tipis ya
dengan schumpeter dengan konsep inovasinya. Kan dengan inovasi juga kita bisa mendapatkan
pengetahuan, informasi, bahkan teknologi baru.
Penemuan pengetahuan tersembunyi merupakan proses perubahan yang berkelanjutan. Dan proses
inilah yang merupakan titik awal dari pendekatan Austrian terhadap kewirausahaan. Ketika dunia
dipenuhi ketidakpastian, proses tersebut kadang mengalami sukses dan gagal (hmmm memang begitu
adanya ya hehehe). Namun seorang entrepreneur selalu berusaha memperbaiki kesalahannya. Wah kalo
begitu sih, ternyata orang tua Saya sudah memahami Austrian Sholl ini dong. Buktinya mereka sering
berkata:”Kegagalan itu adalah sukses yang tertunda”, “Belajarlah dari kesalahan”, atau “Hanya keledai
lah yang terperosok dua kali” hehehe. Kasihan bener ya keledai Padahal “keledai” yang
berjumpalitan beberapa kali (gagal dan gagal lagi) akhirnya bisa juga menemukan kesuksesan, itulah
seorang entrepreneur.
Kirzerian Entrepreneur, Kirzer memakai pandangannya Misesian tentang “human action” dalam
menganalisis peranan entrepreneural. Singkat kata, unsur entrepreneur dalam pengambilan keputusan
manusia dikemukan oleh Om Kirzer ini lho. Wah beliau ini pasti setuju deh dengan jargon “the man
behind the gun” ya hehehe. Menurut beliau, “knowing where to look knowledge”. Dan dengan
memanfaatkan pengetahuan yang superior inilah seorang entrepreneur bisa menghasilkan keuntungan.
Petuah lain dari beliau adalah “This insight is simply that for any entrepreneurial discovery creativity is
never enough: it is necessary to recognize one’s own creativity“.
Sebenarnya masih banyak sih “petuahpetuah” beliau ini, terutama dikaitkan dengan teoriteori
ekonomi sebelumnya, termasuk tanggapannya terhadap teori keseimbangan dari neo klasik. Tapi cukup
sudahlah, toh mata kuliah entrepreneurship tidak akan terlalu berat di teori kok. Nanti mahasiswa pada
protes lagi, “Pak kok belajar teori mulu nih, kapan kita bisa berlatih menjadi seorang entrepreneur
nih!!”. Makanya di kelas kita lebih banyak berlatih bagaimana membuat proposal bisnis serta berlatih
kreaivitas dan inovasi melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (disain brosur, e
marketing, teknik presentasi, dll). Lagian, teoriteori di atas lebih banyak dikaitkan dengan teori
ekonomi.
Teori Entrepreneur dari perspektif individu
Berikutnya saya tetap “maksa” untuk mengulas teori kewirausahaan dari perspektif individunya. Toh
kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi tidak hanya “melulu” soal praktek berwirausaha. Masa sih
semua mahasiswa yang ikut kuliah kewirausahaan akhirnya menjadi entrepreneur semua (syukur juga
sih kalo memang iya). Bisa saja sebagian diantaranya menjadi peneliti tentang kewirausahaan atau
pengamat kewirausahaan hehehe. Jadi dengan sangat menyesal saya akan mencoba mengulas beberapa
teori atau model yang dihubungkan dengan karakteristik individu seorang entrepreneur. Beberapa di
antaranya adalah (1) life path change, (2) Goal Directed Behaviour, dan (3) Outcome expectancy.
Kenapa hanya tiga teori atau model tersebut? Memang ketiga model itulah yang tercantum dalam
Satuan Acara Perkuliahan untuk Mata Kuliah Kewirausahaan. Sebagai dosen yang (masih berusaha)
baik, saya kan harus manut kan dengan ramburambu dari universitas hehehe. < Tapi sekarang saya
mau ngopi dulu ah, dah cape juga nih nulisnya>
Wirausahawan Sosial
Kompas, Jumat, 19 Maret 2010 | 05:57 WIB
Oleh ANDREAS MARYOTO
Mungkinkah sebuah entitas bisnis bervisi sosial? Bukankah pebisnis hanya sekadar mengejar
keuntungan? Atau sebaliknya, hanya yayasankah yang bisa bergerak dalam usaha usaha menangani
masalah sosial?
Pertanyaan sejenis sudah sering bermunculan tetapi tak terjawab dengan tuntas. Wirausahawan sosial
menjadi makhluk baru yang perlu dilihat.
Ya, wirausahawan sosial memang makhluk baru di Indonesia. Ketika Kompas diundang oleh British
Council untuk melihat lembagalembaga terkait kewirausahawan sosial di Inggris, yang muncul di
benak hanyalah perusahaan dan yayasan. Perusahaan adalah entitas bisnis yang berusaha
memaksimalkan keuntungan, sedangkan yayasan bergerak lebih banyak usaha sosial tetapi tak boleh
mengejar keuntungan.
Di antara perusahaan dan yayasan ada wirausaha sosial. Sebenarnya wirausaha sosial (social enterprise)
sudah muncul di dalam bukubuku teks kuliah pada tahun 1960an sampai 1970an. Baru kemudian
pada 1980an hingga 1990an wirausaha sosial menyebar dan berkembang. Di Inggris, salah satu
penggerak waktu itu adalah Bill Drayton, yang mendirikan wirausaha sosial bernama Ashoka.
”Kami mendefinisikan wirausaha sosial sebagai entitas bisnis yang tujuan utamanya bersifat sosial.
Keuntungan yang didapat dari usahanya dinvestasikan kembali untuk mencapai tujuan sosial itu atau
untuk kepentingan sosial. Kewirausahaan sosial lebih dari sekadar didorong oleh keinginan untuk
memaksimalkan profit bagi pemegang saham atau pemilik,” kata Manajer Promosi Wirausaha Sosial
dan Kebudayaan Kantor Kementerian Urusan Sektor Ketiga Tamsyn Roberts.
Definisi
Dengan definisi seperti itu, sebenarnya di Indonesia sudah terdapat wirausaha sosial, seperti Bina
Swadaya. Lembaga ini mencari keuntungan melalui beberapa unit bisnisnya, tetapi keuntungan itu
diinvestasikan kembali untuk membantu masyarakat kecil dan juga petani.
Ada juga beberapa lembaga dengan cara mengajukan berbagai proyek ke perusahaanperusahaan untuk
mengerjakan sejumlah proyek yang bersifat sosial, seperti pendidikan dan perbaikan lingkungan.
Lembaga ini mengambil keuntungan dari proyekproyek yang dikerjakan, tetapi keuntungan itu untuk
diinvestasikan kembali bagi tujuan sosialnya.
Ada pula yayasan atau lembaga swadaya masyarakat yang juga mengelola unit usaha. Keuntungan yang
didapat dari usaha itu digunakan untuk kegiatan sosial mereka. Mereka terbantu dengan keberadaan
unit usaha ini karena menjadikan mereka tidak tergantung sepenuhnya kepada penyandang dana.
Namun berbeda dengan Indonesia, di Inggris lembagalembaga wirausaha sosial itu mendapat
pengakuan pemerintah. Di samping perusahaan dan yayasan, Pemerintah Inggris mengakui keberadaan
wirausaha sosial itu. Bahkan, pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk keberadaan Kementerian Urusan
Sektor Ketiga yang di dalamnya mengurus wirausaha sosial. Penyebutan sektor ketiga untuk
memperlihatkan keberadaan lembaga yang berada di antara pemerintah dan swasta.
Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk penggelontoran danadana yang diperebutkan berbagai
wirausaha sosial melalui berbagai proyek yang diusulkan oleh lembaga wirausaha sosial. Meski dana
tersebut tidak hanya murni dari pemerintah, pemerintah berhak mengecek manfaat penerima dana itu.
Hal ini untuk menjamin dana tersebut tidak disalahgunakan oleh penerima.
Wirausahawan sosial yang mendapat dana kemudian mengerjakan proyek yang sudah tentu harus
bermanfaat bagi masyarakat, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, pengurangan jumlah warga yang
tidak memiliki rumah, dan perbaikan lingkungan. Pemerintah kemudian akan mengaudit danadana
yang disalurkan itu. Pemerintah mengecek manfaat yang diterima oleh masyarakat yang menjadi
subyek dalam proyekproyek itu.
”Dana utama kami berasal dari Millenium Award Trust, sebuah warisan bernilai 100 juta poundsterling
dari The Milenium Commission,” kata Direktur Pengembangan UnLtd Zulfiqar Ahmed, sebuah
lembaga wirausaha sosial yang mengerjakan berbagai proyek dari dana itu.
Pengakuan keberadaan wirausaha sosial oleh pemerintah Inggris dilakukan karena pada kenyataannya
lembaga tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menjawab berbagai tantangan
masalah sosial dan lingkungan. Wirausaha sosial juga diyakini mendorong halhal yang bersifat etis
dalam bisnis, memperbaiki pelayanan publik, dan pada kenyataannya wirausaha sosial menciptakan
wirausahawanwirausahawan baru untuk menyelesaikan masalahmasalah masyarakat.
Pengakuan
Sebagai wujud pengakuan itu, kantor Kementerian Urusan Sektor Ketiga mengadakan berbagai
kegiatan untuk mendorong kinerja wirausaha sosial. Mereka memberi penghargaan, memberi akses
yang lebih besar dalam hal pembiayaan, dan dukungan bisnis bagi lembaga wirausaha sosial.
Perkembangan lembaga wirausaha sosial di Inggris telah melahirkan pula lembagalembaga konsultasi,
pengembangan studi tentang wirausaha sosial di sejumlah perguruan tinggi, bahkan hingga lembaga
yang menyediakan jasa fasilitas rapat dan pertemuan untuk sektor ketiga.
Hal lain yang menarik adalah lembaga wirausaha sosial memberi peluang untuk sejumlah sukarelawan
aktif bergerak di dalam lembaga itu. Meskipun lembaga wirausaha sosial merupakan lembaga bisnis
tetapi dengan tujuantujuan yang bersifat sosial, lembaga ini memberi peluang bagi sukarelawan untuk
terlibat.
Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan pengelolaan karyawan di lembaga
wirausaha sosial. Apakah karena bertujuan sosial, kemudian mereka bisa digaji seadanya?
”Kami juga digaji layak. Kami digaji dengan patokan gaji untuk mereka yang bekerja di pelayanan
publik. Kalau kami menjabat sebagai manajer, gajinya akan distandarkan dengan gaji manajer untuk
lembaga pelayanan publik. Hal yang sama kalau kami menjabat sebagai direktur,” kata Direktur
Komunikasi dan Kebijakan School for Social Enterprise Nick Temple berkisah tentang gaji yang
didapat di dalam lembaganya.
Perkembangan lembaga wirausaha sosial ini juga mulai menyebar ke luar Inggris. Beberapa negara di
Asia juga mulai mengembangkan lembaga wirausaha sosial, seperti Thailand, Jepang, Vietnam, dan
Filipina. Sebenarnya lembaga wirausaha sosial sudah ada di hampir banyak negara. Hanya saja
pengakuan dari pemerintah belum ada.
Thailand mungkin lebih beruntung. Sejumlah pihak, mulai dari lembaga pemerintah, media, lembaga
swadaya masyarakat, pengusaha swasta, hingga pasar modal, pernah berkumpul untuk membicarakan
tentang keberadaan lembaga wirausaha sosial. Bahkan, mereka telah membuat peta jalan bagi
pengakuan lembaga wirausaha sosial.
Di Indonesia sebenarnya sudah lama lembagalembaga wirausaha sosial bermunculan. Sama dengan di
beberapa negara di Asia pengakuan tentang lembaga itu belum ada. Pemerintah masih melihat hanya
perusahaan dan yayasan sesuai dengan hukum yang ada. Meskipun demikian, wirausahawan sosial
telah melangkah.
Oleh: Venantius Mardi Widyadmono, S.E., M.B.A.