Вы находитесь на странице: 1из 14

EXECUTIVE SUMMARY

Judul

: Analisis Pro-Poor Growth di Indonesia : Masa Akhir Orde Baru dan


Reformasi

Penyaji

: Dearista Herdayanti / 11.6600 / IV SE 3

Pembimbing : Atik Maratis Suhartini, S.E., M.Si.

I.

Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang tidak lepas dari masalah

pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Tujuan yang paling penting dari
suatu pembangunan adalah pengurangan tingkat kemiskinan yang dapat dicapai melalui
pertumbuhan ekonomi dan/atau melalui redistribusi pendapatan (Kakwani dan Son,
2003).
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto membuat kebijakan Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahunan) sebagai upaya untuk mencapai trilogi
pembangunan. Repelita terbukti cukup mengagumkan terhadap perekonomian
Indonesia, terutama pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat
dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahun yang cukup tinggi (Tambunan, 2014).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada awal Repelita I yaitu tahun
1969, PDB Indonesia tercatat 4,8 triliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun
1990 menjadi 112,4 triliun rupiah. Persentase penduduk miskin berkurang signifikan
dari sekitar 41,1 persen di tahun 1976 menjadi 11,3 persen di tahun 1996 dengan ratarata pertumbuhan ekonomi mencapai angka 7 persen. Selain itu, distribusi pendapatan
pada masa orde baru dari tahun 1965-1993 yang dihitung melalui koefisien gini
tergolong rendah yaitu kurang dari 0,4.
Pada masa reformasi, pengurangan persentase penduduk miskin tidak begitu
signifikan, dari sekitar 19,14 persen di tahun 2000 menjadi 12,36 persen di tahun 2011
dengan laju pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen di tahun 2011. Ketidakefektifan
pengurangan kemiskinan tersebut diindikasikan adanya kecenderungan peningkatan
koefisien gini sejak tahun 2002. Koefisien gini tertinggi terdapat pada tahun 2012-2013
yaitu sebesar 0,41, lebih tinggi dari koefisien gini pada masa orde baru. Dari hal tesebut,
dapat dilihat bahwa pada masa orde baru tingkat penurunan kemiskinan lebih tinggi
dibandingkan pada masa reformasi walaupun pada kedua masa tersebut tingkat
1

pertumbuhan ekonominya tinggi. Oleh karena itu, menarik untuk dianalisis mengenai
pro-poor growth pada masa akhir orde baru dan masa reformasi untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada kesejahteraan orang miskin.
Untuk membatasi analisis, penelitian ini difokuskan pada kasus Indonesia untuk
masa akhir orde baru (1990-1996) dan reformasi (2002-2011). Tahun 1997-2001 tidak
dimasukkan dalam penelitian karena kondisi perekonomian yang tidak stabil. Analisis
dilakukan terhadap 26 provinsi yang ada di Indonesia. Adapun data-data provinsi hasil
pemekaran digabungkan dengan data provinsi asalnya. Penelitian ini juga fokus pada
analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan terhadap
kemiskinan serta dekomposisi kemiskinannya.
Berdasarkan pada permasalahan yang ada, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) Mengkaji dinamika pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan

kemiskinan; (2) Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi


pendapatan dan kemiskinan di Indonesia; (3) Menganalisis dan membandingkan
keberpihakan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan antara masa akhir orde baru
dan reformasi.; (4) Mengkaji dekomposisi perubahan kemiskinan di Indonesia.
II.

Kajian Pustaka dan Metodologi

Kajian Teori
Kuznet menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi
pendapatan cenderung memburuk (ketimpangan naik), tetapi pada tahap selanjutnya
distribusi pendapatan akan membaik (ketimpangan turun) (Todaro, 2006). Woodon
(1999) mengembangkan suatu persamaan yang menggambarkan hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, dimana elastisitas yang didapat
merupakan suatu komponen kunci untuk melihat perbedaan antara efek bruto
(ketimpangan konstan) dan efek neto (ada efek dari perubahan ketimpangan) dari
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.
Pro-poor growth terjadi bila pertumbuhan pendapatan yang miskin lebih besar
dari pada yang tidak miskin (Kakwani dan Pernia, 2000). Salah satu metode untuk
mengukur apakah suatu negara sudah pro-poor atau tidak ialah menggunakan Pro-Poor
Growth Index (PPGI) yang dilandasi oleh dekomposisi kemiskinan. PPGI menunjukkan

rasio elastisitas penurunan kemiskinan total dan penurunan kemiskinan pada kasus
pertumbuhan yang terdistribusi netral.
Penelitian ini fokus pada masalah pro-poor growth. Dimana untuk membangun
indeksnya diperlukan analisis regresi data panel. Variabel terikat pada penelitian ini
adalah persentase penduduk miskin (P0). Adapun definisi operasional yang digunakan
terdapat pada Lampiran 1.
Kerangka Pikir
Penelitian ini diawali dari masalah ketimpangan pendapatan dan jumlah
penduduk miskin di Indonesia yang belum dapat diturunkan secara signifikan. Padahal
pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong cukup tinggi. Di lain pihak, saat ini orientasi
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang (NSB)
diarahkan pada konsep pro-poor growth. Pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
jumlah kemiskinan ini tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan baik pada masa orde
baru maupun reformasi. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini akan
menganalisis apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia telah berpihak pada kemiskinan
(pro-poor) atau tidak, dilihat dari rezim yang berkuasa. (Lampiran 2 dan 3).
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dirumuskan, maka hipotesis dari
penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan berpengaruh
terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia baik pada masa orde baru maupun reformasi,
dimana pengaruh pertumbuhan ekonomi bernilai negatif (gross impact).
Metode Pengumpulan Data dan Analisis
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari BPS. Adapun
rinciannya sebagai berikut:
Variabel

Ukuran

Jenis Data

Kemiskinan

Head Count Index


(P0)

Sekunder

Distribusi
Pendapatan

Gini Ratio

Sekunder

Pertumbuhan
Ekonomi

PDRB ADHK
Provinsi per kapita

Sekunder

Sumber
Publikasi BPS (Data dan Informasi
Kemiskinan)
Publikasi BPS (Data dan Informasi
Kemiskinan; Statistik Indonesia)
dan data mikro SUSENAS.
Publikasi BPS (Statistik Indonesia;
Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi-Provinsi di Indonesia
Menurut Lapangan Usaha)

Tabel 1. Variabel dan Sumber Data Penelitian


3

Pada penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
dan inferensia. Analisis inferensia, penelitian ini menggunakan regresi data panel untuk
menghitung nilai elastisitas yang akan digunakan untuk membuat Pro-Poor Growth
Index (PPGI).
III.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Kemiskinan di Indonesia


Berdasarkan ukuran statistik pada Lampiran 4, secara rata-rata persentase
penduduk miskin (P0) dan jumlah penduduk miskin baik pada masa akhir orde baru
(1990-1996) maupun pada masa reformasi (2002-2011) mengalami penurunan. Hal ini
berarti pada masa akhir orde baru maupun reformasi seluruh provinsi secara konsisten
mengalami penurunan tingkat kemiskinan. Demikian juga dengan nilai standar
deviasinya yang menunjukkan kecenderungan yang menurun baik pada masa akhir orde
baru maupun pada masa reformasi. Artinya, baik pada masa akhir orde baru maupun
masa reformasi tingkat kemiskinan di setiap provinsi cenderung merata di setiap
tahunnya.
Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi
Pada masa akhir orde baru (1990-1996), penurunan rata-rata laju pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan terjadi antara tahun 1990-1993. Kondisi ini mengalami
perbaikan pada tahun 1996, yang mengindikasikan peningkatan laju pertumbuhan di
seluruh provinsi dibanding tahun sebelumnya. Namun, dilihat dari nilai standar deviasi
yang terus meningkat mengindikasikan ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi antar
provinsi semakin besar (Lampiran 5).
Pada masa reformasi (2002-2011), penurunan laju pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan terjadi antara tahun 2005-2008 dimana nilai rata-rata laju pertumbuhannya
lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, diikuti dengan penurunan standar
deviasi, yang berarti ketimpangan antar provinsinya kecil. Kondisi ini mengalami
perbaikan pada tahun 2011, yang mengindikasikan peningkatan laju pertumbuhan di
seluruh provinsi dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, standar deviasinya mengalami
penurunan yang berarti laju pertumbuhan ekonomi cenderung homogen dibanding
sebelumnya dan menunjukkan ketimpangan antar provinsi yang semakin kecil.
(Lampiran 6).

Gambaran Umum Distribusi Pendapatan


Perubahan distribusi pendapatan dapat dilihat dari selisih nilai koefisien gini
yang bisa bernilai positif maupun negatif. Pada masa akhir orde baru, mayoritas
provinsi (21 provinsi) memiliki selisih yang negatif, artinya terjadi penurunan
ketimpangan pada 21 provinsi tersebut di periode 1990-1996. Pasa masa reformasi,
seluruh provinsi memiliki selisih yang positif, artinya terjadi kenaikan ketimpangan
pendapatan pada seluruh provinsi di periode 2002-2011 (Lampiran 7).
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa akhir orde baru (19901996), kondisi distribusi pendapatan lebih merata dibandingkan pada masa reformasi
(2002-2011). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Aritenang (2008) bahwa
disparitas di Indonesia lebih parah dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama
sejak krisis keuangan tahun 1997. Desentralisasi pemerintah daerah pada tahun 1999
terbukti meningkatkan ketimpangan, bukan menguranginya.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Distribusi Pendapatan
Pada masa akhir orde baru, pertumbuhan ekonomi tidak signifikan
mempengaruhi distribusi pendapatan. Sedangkan pada masa reformasi, pertumbuhan
ekonomi secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan dengan nilai elastisitas
() 0,0748. Artinya, setiap ada kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi, akan
meningkatkan ketimpangan pendapatan (koefisien gini) sebesar 0,0748 persen.
(Lampiran 8)
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan
Berdasarkan data pada Lampiran 9 dan 10, baik pada masa akhir orde baru maupun
reformasi nilai elastisitas bruto ( ) dan neto () kemiskinan terhadap pertumbuhan
ekonomi bernilai negatif. Artinya, pada kedua masa pemerintahan kenaikan pertumbuhan
ekonomi akan menurunkan kemiskinan.
Pada masa akhir orde baru, kemiskinan hanya turun sebesar 0,2185 persen jika ada
kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, tetapi efek ketimpangan pendapatan pun
menurunkan kemiskinan sebesar 0,0126. Oleh karena kedua efek tersebut, kemiskinan
turun sebesar 0,2311 persen. Begitu pula pada masa reformasi, kemiskinan hanya turun
sebesar 0,4330 persen jika ada kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, tetapi
efek ketimpangan pendapatan pun menurunkan kemiskinan sebesar 0,0484 persen

sehingga, pada masa reformasi kemiskinan turun sebesar 0,4814 persen. Jika dilihat dari
nilai total efeknya, masa akhir orde baru memiliki efek yang lebih besar dibandingkan
masa reformasi dalam menurunkan kemiskinan. Artinya pertumbuahn ekonomi dan
distribusi pendapatan pada masa reformasi lebih efektif dalam pengentasaan
kemiskinan. (Lampiran 10)
Kondisi pada kedua masa pemerintahan tersebut, sesuai dengan kondisi ideal
pengentasan kemiskinan yang dikemukakan oleh Bourguignon (2004). Secara grafis
dapat dilihat pada Lampiran 11, peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi
pendapatan masyarakat secara bersama-sama akan menggeser distribusi pendapatan ke
kanan dan mempersempit kesenjangan antar individu. Hal ini akan mengurangi
kemiskinan sebesar daerah hijau ditambah dengan daerah biru, sehingga semakin efektif
dalam mengentaskan kemiskinan. Pada kondisi ini maka jumlah orang miskin hanya
akan sebesar daerah yang berwarna merah.
Analisis Pro-Poor Growth dengan Pro-Poor Growth Index (PPGI)
Berdasarkan kriteria Kakwani dan Pernia (2000), kedua nilai PPGI pada Lampiran
12 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada masa akhir orde baru
dan reformasi sangat pro poor (pro poor growth). Artinya, baik pada masa akhir orde
baru maupun reformasi pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukan hanya meningkatkan
pendapatan saja tetapi juga banyak dinikmati oleh kelompok penduduk miskin sehingga
mengurangi tingkat kemiskinan. Dilihat dari nilai PPGI, masa reformasi lebih pro poor
dibandingkan pada masa akhir orde baru. Lebih tingginya nilai PPGI masa reformasi
dibanding masa akhir orde baru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
terjadi semakin pro pada kemiskinan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Laksani (2010) bahwa nilai PPGI pada periode sesudah krisis (1999-2008) lebih propoor dibandingkan pada periode sebelum krisis (1980-1996).
Menurut Klasen (2007), kebijakan pro-poor bergantung pada isu-isu ekonomi
politik. Studi kasus mengenai pro-poor growth menemukan bahwa komitmen yang kuat
dari pimpinan politik dalam keadilan dan pengentasan kemiskinan sangat penting untuk
melaksanakan agenda kebijakan pro-poor secara konsisten. Indonesia merupakan
contoh yang baik untuk komitmen kuat pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan
pembangunan perdesaan selama beberapa dekade. Hal tersebut merupakan poin penting
bagi keberhasilan kebijakan pertumbuhan pro-poor.

IV.

Kesimpulan dan Saran


Hasil analisis yang telah dilakukan tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:
1.

Baik pada masa akhir orde baru maupun reformasi rata-rata kemiskinan di Indonesia
mengalami penurunan. Namun rata-rata laju pertumbuhan ekonomi pada masa akhir
orde baru lebih tinggi dan distribusi pendapatannya lebih merata.

2.

Pada masa akhir orde baru, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan
terhadap distribusi pendapatan. Sedangkan pada masa reformasi kenaikan
pertumbuhan ekonomi secara siginifikan menyebabkan distribusi pendapatan semakin
timpang.

3.

Baik pada masa akhir orde baru maupun reformasi pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Namun, nilai
elastisitasnya memiliki nilai yang berbeda pada kedua masa pemerintahan tersebut,
pada masa akhir orde baru bernilai positif sedangkan pada masa reformasi negatif.

4.

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia selama masa akhir orde baru dan
reformasi telah bersifat sangat pro kepada penduduk miskin (pro-poor growth).
Perubahan kemiskinan nasional baik pada masa akhir orde baru maupun reformasi
memiliki total efek yang menurunkan kemiskinan.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dipaparkan sebelumnya, maka

saran yang dapat diberikan, antara lain:


1.

Kebijakan pada masa reformasi sudah terbukti pro-poor, maka perlu ditingkatkan
lagi agar lebih optimal dan efektif dalam pengentasan kemiskinan atau minimal
dipertahankan.

2.

Pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penentu dalam mengurangi tingkat


kemiskinan, tetapi elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi masih
tergolong rendah. Hal ini berimplikasi pada masih rendahnya pengurangan
kemiskinan dari adanya pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah perlu memacu
pertumbuhan ekonomi tanpa mengesampingkan upaya perbaikan distribusi
pendapatan.

3.

Untuk menekan kesenjangan pendapatan harus dilakukan redistribusi pendapatan.


Pemerintah bisa berpesan melalui instrumen kebijakan fiskal, melalui pajak
progresif, untuk ditransfer pada akses pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bourguignon, F. (2004). The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington, DC:


World Bank.
Indonesia. BPS. Statistik Sosial dan Ekonomi. Jakarta: BPS, 2014. 10 Januari 2015.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&
id_subyek=23&notab=7
Indonesia. BPS. Garis Kemiskinan. Jakarta: BPS, 2015.
http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=50

28

Mei

2015.

Kakwani dan Pernia. (2000). What is Pro-Poor Growth?. Asian Development Review,
vol 18, No.1. Asian Development Bank.
Kakwani, N. dan Son, H. (2003). Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with
Country Case Studies. The Pakistan Development Review 42:4 Part 1, 417444.
Klasen, Stephan. (2007). Determinants of Pro-poor Growth. 2020 Focus Brief on the
Worlds Poor and Hungry People. Washington, DC: IFPRI.
Laksani, Chichi Shintia. (2010). Analisis Pro-Poor Growth di Indonesia melalui
Identifikasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan
Pendapatan dan Kemiskinan [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tambunan, Tulus. (2014). Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C. (2003). Economic Development. Eight
Edition. Eidenburg Gate, Harlow, Essex, England: Pearson Education Limited.
Woodon, QT. (1999). Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for
Bangladesh. World Bank.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Definisi Operasional


1. Garis Kemiskinan (GK) adalah nilai pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan nonmakanan.
2. Gini Ratio adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur
ketimpangan pendapatan secara menyeluruh yang nilainya antara nol dan satu.
3. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah garis kemiskinan.
4. Persentase penduduk miskin adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan.
5. Pertumbuhan Ekonomi adalah perkembangan produksi barang dan jasa di suatu
wilayah perekonomian pada tahun tertentu terhadap nilai tahun sebelumnya yan
dihitung berdasarkan PDB/PDRB per kapita atas dasar harga konstan.
6. Produk Domestik Bruto (PDB) / Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
kapita atas dasar harga konstan adalah jumlah nilai tambah semua barang dan jasa
yang diproduksi pada suatu negara/regional/wilayah tertentu dihitung menggunakan
harga yang berlaku pada satu waktu tertentu yang digunakan sebagai tahun dasar
kemudian dibagi dengan seluruh jumlah penduduk pada wilayah tersebut.
7. Pro-Poor Growth Index (PPGI) adalah suatu metode pengukuran relatif pro-poor
growth melalui suatu indeks yang diperoleh dari rasio elastisitas pengaruh neto
pertumbuhan ekonomi (nett impact) dan pengaruh bruto pertumbuhan ekonomi
(gross impact).

Lampiran 2. Pemikiran Awal


Orientasi Pembangunan
dan Pertumbuhan
Ekonomi di NSB

INDONESIA
Masalah Kemiskinan

Ketimpangan
Pendapatam

Penurunan
kemiskinan
Belum
Signifikan

Kasus di Tingkat Regional:


terdapat provinsi yang tingkat
kemiskinannya tinggi meskipun
pertumbuhan ekonominya
tinggi

Pro-Poor Growth

Pertumbuhan
Ekonomi
Cukup Tinggi

Pertumbuhan
Ekonomi
Mengurangi
Kemiskinan

Pertumbuhan
Ekonomi
Mengurangi
Ketimpangan
Pendapatan

Strategi Penanggulangan Kemiskinan


(Baik Pada Orde Baru maupun Reformasi)

Lampiran 3. Kerangka Pikir

10

Lampiran 4. Ukuran statistik deskriptif P0 dan jumlah penduduk miskin di


indonesia pada masa akhir orde baru dan reformasi

Mean
Standar
Deviasi

Masa Akhir Orde Baru

Masa Reformasi

1996
1990
1993
Persentase Penduduk
Miskin (P0)

2008
2002
2005
2011
Persentase Penduduk Miskin
(P0)

17,49

14,65

11,61

19,12

17,65

15,98

13,02

5,52

4,97

4,84

8,39

8,00

7,23

6,20

Jumlah Penduduk Miskin


(000)
Mean
Standar
Deviasi

Jumlah Penduduk Miskin


(000)

1058,68

980,41

841,65

1476,69

1415,47

1344,73

750,59

1384,24

1317,48

1189,58

2039,30

1913,80

1846,73

1072,21

Sumber: BPS, data diolah

Lampiran 5. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan standar deviasinya tahun 19901996 (masa akhir orde baru)

10,00
8,00

8,91
7,40
6,57

6,00

4,00

2,57

1,92

3,29

2,00
0,00
1990

1993
mean

1996

standar deviasi

Sumber: BPS, data diolah

11

Lampiran 6. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan standar deviasinya tahun 20022011 (masa reformasi)

8,00

6,00

4,99

5,29
4,58
4,56

4,00

3,56

3,21
2,90

2,00

2,29

0,00
2002

2005
mean

2008

2011

standar deviasi

Sumber: BPS, data diolah

Lampiran 7. Selisih koefisien gini masa akhir orde baru (1990-1993) dan
reformasi (2002-2011)
0,20
0,15
0,10
0,05

-0,05

NTB
NTT
SulTenggara
Lampung
Sumbar
Jateng
Jatim
Bali
Sulsel
Bengkulu
Kalteng
Yogyakarta
Sulteng
Aceh
Jambi
Maluku
Kalbar
Sumsel
Kalsel
Jabar
Riau
Papua
Jakarta
Kaltim
Sumut
Sulut

0,00

-0,10
Orde Baru

Reformasi

Sumber: BPS, data diolah

12

Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi


terhadap Ketimpangan Pendapatan
Periode

Orde Baru Akhir

Reformasi

R-Squared

0,0249

0,0601

Prob F-Statistic

0,1671

0,0121

Prob t-Statistic

0,1647

0,0015

(Elastisitas ketimpangan terhadap


pertumbuhan ekonomi)

-0,0180

0,0748

Lampiran 9. Rekapitulasi Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi


kemiskinan dimana ketimpangan pendapatan dianggap konstan
(Gross Impacts)
Periode

Orde Baru Akhir

Reformasi

R-Squared

0,4674

0,5631

Prob F-Statistic

0,0000

0,0000

Prob t-Statistic (LnPDRB)

0,0000

0,0000

Prob t-Statistic (LnGini)

0,0114

0,0000

(Elastisitas bruto kemiskinan


terhadap pertumbuhan ekonomi)

-0,2185

-0,4330

(Elastisitas kemiskinan terhadap


tingkat ketimpangan)

0,7023

-0,6468

Lampiran 10. Dekomposisi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Netto terhadap


Kemiskinan
Periode
Efek
pertumbuhan
ekonomi ()
Efek
ketimpangan
pendapatan ()
Elastisitas
neto
kemiskinan
terhadap
pertumbuhan ()

Masa Akhir Orde Baru

Masa Reformasi

-0,2185

-0,4330

-0,0126

-0,0484

-0,2311

-0,4814

13

Lampiran 11. Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek


Distribusi pada masa akhir orde baru dan reformasi

Sumber: Bourguignon (2004)

Lampiran 12. Pro-Poor Growth Index (PPGI) pada masa akhir orde baru dan
reformasi
Net Impacts

Gross Impacts

PPGI

( )

( )

( )

Akhir Orde Baru

-0,2311

-0,2185

1,0577

Reformasi

-0,4814

-0,4330

1,1118

14

Вам также может понравиться