Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu an berarti
tidak, tanpa dan aestheos berarti persepsi, kemampuan untuk merasa.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Anestesi umum / general anesthesia merupakan tindakan untuk
menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran, dan
bersifat pulih kembali (reversibel). Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan
relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara parenteral dan inhalasi.
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak
mungkin ada atau tidak.

BAB II
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS PASIEN

Tanggal
Nama
Jenis Kelamin
Umur
BB
Ruang
No. MR
Diagnosis
Tindakan

: 3 Desember 2014
: Tn.A
: Laki-laki
: 66 tahun
: 50 Kg
: Penyakit Bedah III laki-laki
: 781688
: Subdural Hematom
: Kraniotomi

1.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


2.2.1 ANAMNESIS

Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat astma (-)
- Riwayat batuk lama (-)
- Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat kebiasaan : merokok (-), Alkohol (+), Narkotik (-)

Riwayat alergi obat


Os mengaku tidak ada alergi obat dan makanan tertentu
Tidak menggunakan gigi palsu

2.2.2 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata
Keadaan umum :
Kesadaran

: composmentis

Vital Sign
-

Tekanan darah
Nadi

: 110/70 mmHg
: 79 x/menit
2

Suhu
Respirasi

Kepala

: 37C
: 21 x/menit

: normocepali

Mata : pupil isokor ka=ki, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher

: pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H2O

Thorak
-

:
Paru

:Inspeksi

: simetris

Palpasi

: stem fremitus kanan (+) = kiri (+) simetris

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung: Inspeksi :

Iktus tidak terlihat

Palpasi : thirill tidak teraba


Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I dan II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
-

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

Ekstremitas

: Datar
: Bising usus (+) normal
: nyeri tekan (-),nyeri lepas(-)
: Timpani

: akral hangat, edema (-)

2.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium :

Wbc
Rbc
Hgb
Hct
Plt
Pct
Bleeding time
Clotting time
GDS

: 8.3 H 103/mm3
:
L 106
: 11.7 L gr/dl
: 37.6 L %
: 275 103/mm3
:
:
menit
:
menit
:
mg/dl

(3,5-10,0)
(3,80-5,80)
(11-16,5 gr/dl)
(35-50%)
(150-400.103/mm3)
(100-500)
(1-3 menit)
(2-6 menit)
<200

Faal hati :
-

Bilirubin total
Bilirubin direkt
Bilirubin indirek
Protein total
Albumin
Globulin
SGOT
SGPT

:
:
:
:
:
:
:
:

mg/dl
mg/dl
mg/dl
g/dl
g/dl
g/dl
U/L
U/L

(<1)
(<0,2)
(6,4-8,4)
(3,5-5)
(3-3,6)
(<40)
(<41)

Faal ginjal :
-

Ureum
Kreatinin

:
:

mg/dl
mg/dl

(15-39)
(0,9-1,3)

KESAN STATUS FISIK

Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5

RENCANA TINDAKAN ANESTESI :


Diagnosa pra bedah

: Subdral Hematom

Tindakan bedah

: Kraniotomi

Status fisik ASA

: III / Non EMG

Jenis / tindakan anestesi


1) Metode
2) Premedikasi

:
: Anestesi Umum (Intubasi)
: Ondansentron 4mg, Ranitidin 50 mg, Sulfas

Atropin
3)
4)
5)
6)

Induksi
Intubasi
Relaksan
Maintenance

0,5

mg,

Fentanyl

25

g,

Asam

Traneksamat 1g
: Recofol (Propofol) 100 mg
: Insersi ETT no.7.5
: Rokuronium 30 mg
: Sevoflurans + N2O : O2

BAB III
LAPORAN ANESTESI
Tanggal

: 3 Desember 2014

Ahli bedah

: dr.Aprianto Sp.Sp.BS

Ahli anestesi

: dr.Sulistiowati, Sp.An

Asisten anestesi : Lorensius


3.1 TINDAKAN ANESTESI
- Metode
- Premedikasi

: Anestesi umum (intubasi)


: Ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Sulfas atropin 0,5 mg
fentanyl 25g
Asam Traneksamat 1g
: recofol (propofol) 100 mg
: Recurinium 30mg
: no 7.5
: sevoflurans + N2O : O2

- Induksi
- Relaksasi
- Insersi ETT
- Pemeliharaan
- ETT dicabut
- Pemulihan diberikan O2
- Medikasi
: ketorolak 30 mg+ondansentron 4mg dan RL drip
- Respirasi
: nafas kendali dengan ventilator
- Ekstubasi
:setelah pasien sadar
3.2 KEADAAN SELAMA OPERASI
- Keadaan selama operasi
1) Posisi Penderita
: Terlentang
2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada
3) Lama Anestesi
: 1 jam
4) Jumlah Cairan
Input
: RL 4 Kolf 2000 ml
Output
: 250 cc
Perdarahan
: 350 cc
Kebutuhan Cairan Pasien ini:
BB = 50 kg
- Defisit Cairan karena Puasa (P)
P = 6 x BB x 2cc
P = 6 x 50 x 2cc = 600 cc
- Maimtenance (M)
M = BB x 2cc
M = 50 x 2 cc = 100 cc
- Stress Operasi (O)
O = BB x 8cc (operasi besar)
O = 50 x 8 = 400 cc
- Perdarahan
Total = Suction + Kassa + duk

Total = 100cc + 200 cc + 50 cc = 350cc


Kebutuhan cairan selama operasi:
Jam I

: (600) + 100 + 400 = 800cc

Jam II

: (600) + 100 + 400 = 650cc

Jam III : (600) + 100 + 400 = 650cc


Total cairan: 800cc + 650cc + 650cc + 350cc = 2450cc

Monitoring
TD awal: 110/70 mmHg, N: 76 x/I, RR: 16x/i
Jam
11.15
11.30
11.45
12.00

TD
120/80
120/80
90/60
120/80

Nadi
110
110
80
90

RR
18
18
18
18

Instruksi anestesi post operasi :


-

Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit


Tidur terlentang tidak menggunakan bantal
Puasa sampai BU (+) dan sadar penuh
Selanjutnya trapi disesuaikan dengan dr. Aprianto Sp.BS

3.3 Diagnosis Post-op


Post op Kraniotomi

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 ANESTESI GENERAL
Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu an
berarti tidak, tanpa dan aestheos berarti persepsi, kemampuan untuk
merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum / general anesthesia
merupakan tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran, dan bersifat pulih kembali (reversibel). Trias
anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi
umum dapat secara parenteral dan inhalasi.4. Stadium anestesi terdiri dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut
Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah,
biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang
irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola

mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi
dalam 4 plana, yaitu :
1. Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat
dengan pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti,
kadang-kadang letaknya

eksentrik,

pupil

mengecil

lagi dan

refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan


muntah menghilang, tonus otot menurun.
2. Plana 2
Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan
frekwensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan
torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan
refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada
torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah
sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal,
juga mulai terjadi paralisis otot-otot
dan

refleks

diafragma, pupil melebar

cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini,

lakrimasi refleks farings & peritoneal menghilang, tonus otot-otot


makin menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak

adekuat,

irreguler, jerky karena paralisis

otot diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total


diafragma, tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil
melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.
d. Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi.
Dalam operasi bedah saraf terdapat tiga sasaran yaitu mengendalikan tekanan
intrakranial dan volume otak dengan pengaturan CBF, volume CSF,
melindungi jaringan saraf dari iskemia dan injuri sekunder dengan proteksi

otak, mengurangi perdarahan dengan teknik hipotensi tanpa menurunkan


CPP. Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf6 :
a. Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu
b. Ventilasi kendali : oksigenasi adekuat (Pao2: 100-200 mmHg), hipokarbi
c.
d.

e.
f.

(PaCO2 : 25-30 mmHg)


Hindari lonjakan tekanan darah
Hindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral seperti :
a) Tidak ada batuk atau mengejan
b) Tidak ada tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan thoraks
c) Tidak ada PEEP yang tidak disengaja
Hindari obat dan teknik yang meningkatkan CBF, volume CSF, ICP
Menggunakan teknik khusus bila diperlukan untuk mengurangi ICP dan

edema serebri
g. Pemberian cairan dengan tepat
1. Evaluasi pra bedah
Tindakan preoperatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien
seoptimal mungkin dalam menghadapi operasi. Persiapan prabedah
menentukan keberhasilan suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang
memadai merupakan faktor sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter
spesialis anestesiologi hendaknya mengunjungi pasien sebelum pasien
dibedah, agar dapat mempreersiapkan fisik dan mental pasien,
merencanakan dan memilih teknik anestesi serta obat yang dipakai, dan
menentukan klasifikasi pasien berdasarkan ASA.7 Penilaian dan persiapan
pasien diantaranya meliputi:
1) Anamnesis8
a. Identifikasi pasien (nama, umur, alamat, dll).
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi
c. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita untuk
mengetahui kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi,
diabetes melitus, penyakit paru kronis, penyakit jantung, penyakit
ginjal, dan penyakit hati.
d. Riwayat pemakaian obat meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik

10

e. Riwayat anestetik atau operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis


pembedahan, dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca
f.

bedah.
Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan

(merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik.


g. Riwayat berdasarkan sistem organ
h. Makanan yang terakhir dimakan
2) Pemeriksaan fisik8
a. Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (air way),
d. Kesadaran, Jantung, paru-paru, abdomen, punggung, neurologis,
Ekstremitas.
e. Evaluasi tekanan intrakranial, efek samping penyakit intrakranial
3) Pemeriksaan Penunjang8
a. Rutin: darah, urin, foto dada (terutama untuk bedah mayor),
elektrokardiografi (untuk pasien diatas umur 40 tahun).
b. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi
c. CT-ScaN
2. Premedikasi
Premedikasi sebaiknya diberikan karena sistem saraf pusat pada
pasien dengan penyakit intrakranial menjadi sangat sensitif.

Sebelum

pasien dilakukan induksi anestesi, langkah selanjutny adalah dilakukan


premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantranya : 4
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
c. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
d. Mengurangi isi cairan lambung.
Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah. Pada operasi
elektif, pasien dewasa dipuasakan 6 jam sebelum operasi. Pasien

11

dengan penurunan kesaddaran mengalami perlambatan pengosongan


lambung sehingga harus hati-hati adanya bahaya aspirasi
e. Membuat amnesia
f. Memperlancar induksi anestesi
g. Meminimalkan jumlah obat anestesi
h. Mengurangi reflek yang membahayakan
Obat premedikasi
a. Diazepam

dapat

diberikan

pada

pasien

0,1-0,2

mg/KgBB.

Penambahan sedasi dapat diberikan pada pasien saat datang di ruang


operasi. Jika pasien dengan tekanan intrakranial tinggi, penggunaan
opioid sebaiknya dihindari karena berefek depresi pernapasan dan
peningkatan CBF dan menyebabkan hiperkarbi.6
b. Hipnoz (Midazolam) : obat penenang (transquilaizer). Modazolam
merupakan obat induksi jangka pendek yang dapat digunakan untuk
premedikasi, induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan
dengan diazepam, midazolam bekerja lebih cepat karena transformasi
metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang tua,
dengan perubahan oganik otak atau gangguan fungsi jantung dan
pernapasan, dosis midazolam harus ditentikan secara hati-hati. Dosis
premedikasi dewasa 0.07-0.10 mg/KgBB. Dosis pada orang tua 0.0250.05 mg/kgBB. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah
arteri, denyutnadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit
c. Cedantron (Ondansentrone). Suatu antagonis reseptor serotonin 5
HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah
pasca bedah. Efek samping berupa hipotensi, bronkospasme,
konstipasi, dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4mg. 6
d. Fentanil dapat dipertimbangkan untuk menekan respon nyeri.6
3. Monitoring8
Monitoring anestesi yang dilakukan antara lain :

12

a. Monitoring sirkulasi terdiri dari elektrokardiogram, tekanan darah,


central venous pressure (CVP) saat ada indikasi
b. Monitoring ventilasi terdiri dari volum tidal, frekuensi nafas dan
tahanan jalan nafas, pulse oksimeter
c. Monitoring keseimbangan cairan terdiri dari urin output, elektrolit,
pengukuran hematokrit
d. Monitoring derajat relaksasi otot
e. Monitoring suhu tubuh untuk mencegah hipotermi dan hipertermi
4. Teknik anestesi umum4
a. INHALASI dengan Respirasi Spontan,
1) Sungkup wajah
2) Intubasi endotrakeal
3) Laryngeal mask airway (LMA)
b. INHALASI dengan Respirasi kendali
1) Intubasi endotrakeal
2) Laryngeal mask airway
c. ANESTESI INTRAVENA TOTAL (TIVA)
1) Tanpa intubasi endotrakeal
2) Dengan intubasi endotrakeal
Anestesi dengan menggunakan sungkup wajah dianjurkan apabila :
a.pembedahan singkat - 1 jam tanpa membuka peritoneum
b. bukan operasi daerah kepala atau leher
c.lambung kosong
d. ASA 1 2.
Jika di luar dari kriteria di atas, sebaiknya digunakan intubasi
endotrakeal. Anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotrakeal
diindikasikan untuk :
a.pembedahan lama (> 1 jam)
b.

pembedahan daerah kepala dan leher

c.jika kesulitan mempertahankan jalan napas karena berbagai sebab.


LMA hanya dianjurkan pada pasien yang puasanya cukup
5. Induksi dan intubasi

13

Induksi merupakan tahap yang kritis, tidak jarang terjadi kenaikan


tekanan intrakranial karena teknik yang salah. Beberapa faktor penting
yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial saat intubasi yaitu
anestesi dan relaksasi otot kurang adekuat, peningkatan PaCO2 karena
henti nafas, hipoksia, karena oksigenasi kurang memadai, posisi kepala
salah sehingga menyebabkan gangguan drainase likuor.6,8
Tujuan anestesi pada pasien dengan prosedur operasi intrakranial yaitu
hipnosis, amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan
hipertensi, hipotensi, hipoksia, hiperkarbi serta batuk. Induksi anestesi
merupakan tindakan untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, yang
bersifat reversibel. Induksi anestesi dapat dikerjakan melalui intravena,
inhalasi, intramuskular, atau rektal.

S : Scope. Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-scope, untuk membantu memasukan endotrakeal tube.


T : Tubes. Pipa trakea, dipilih berdasarkan usia. Pada anak usia <5

tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon.


A : Air way. Pipa mulut faring (guedel, orotracheal-airway) atau pipa
hidung faring (naso-tracheal airway). Pipa ini ditujukan untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar dan menjaga lidah tidak menutup jalan

napas.
T : Tape. Plaster untuk menfiksasikan tube, supaya tidak terdorong

ataupun tercabut.
I : Introducer. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik yang

mudah dibengkokan, sehingga memudahkan tube mudah masuk.


C : Connector. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction. Penyedot lendir, darah, dan lain-lainnya.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping

dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan
dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya
di bawah dari full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose

14

dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien


presyok).
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang
memiliki sifat-sifat :
a. tidak berbau menyengat / merangsang
b. baunya enak
c. cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Tanda-tanda
induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.8
Obat Induksi Intravena yang Digunakan.
1) Recofol (Profofol)
Mekanisme kerja propofol dengan meningkatkan inhibisi transmisi
saraf melalui GABA. Propofol tidak larut dalam air dan tersedia dalam
bentuk larutan dengan konsentrasi 1 % berupa suspensi lemak dalam air
dan mengandung minyak kacang kedelai, gliserol, dan lecithin telur.
Adanya riwayat alergi telur tidak menjadi kontraindikasi pemberian
propofol, karena unsur lecithin telur diekstrak dari kuning telur,
sementara alergi telur umumnya terkait dengan albumin (kuning telur).
Dosis yang diberikan 2-4 mg/kg.4
Efek pada Organ Tubuh
a. Kardiovaskuler :
Efek utama adalah turunnya tekanan darah karena turunnya
resistensi perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis),
kontraktilitas miokard dan menurunnya preload. Hipotensi lebih
menonjol daripada pemberian thiopental namun biasanya mudah
pulih dengan rangsangan laringoskopi dan intubasi. Faktor yang
memperberat hipotensi adalah dosis yang besar, pemberian yang
cepat dan usia tua.
15

Propofol menghambat refleks baroreseptor terhadap hipotensi


terutama pada keadaan normokarbia ataupun hipokarbia. Walaupun
jarang terjadi, penurunan tensi dapat mengakibatkan bradikardi
akibat dari refleks vagal. Perubahan pada frekuensi dan curah
jantung biasanya tidak menonjol, namun dapat cukup berat hingga
menimbulkan asistol terutama pada usia-usia yang ekstrim, obatobatan dengan efek kronotropik negaif, atau menjalani operasi yng
dapat menimbulkan refleks okulokardiak.
Pasien

dengan

fungsi

ventrikel

yang

menurun

dapat

mengalami penurunan tensi yang cukup signifikan sebagai hasil


dari penurunan tekanan diastolik dan kontraktilitas yang menurun.
Konsumsi oksigen miokard dan aliran darah jantung menurun,
namun ternyata ditemukan pula peningkaan laktat pada pembuluh
darah koroner yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara
suplai oksigen dan kebutuhannya.
b. Respirasi
Seperti halnya barbiturat, propofol mempunyai efek depresi
pernapasan yang cukup besar yang sering menyebabkan apnea
setelah pemberian dosis induksi. Bahkan bila hanya diberikan
dalam dosis subanestetik sebagai sedatif, propofol menghambat
refleks pernapasan akibat stimulasi kondisi hiperkarbia, sehingga
obat ini hanya dapat digunakan oleh orang yang terlatih.
Propofol menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga
berguna saat intubasi atau pemasangan LMA.
Walaupun propofol mempunyai efek pelepasan histamin,
insidensinya bila dibandingkan dengan barbiturat maupun etomidat
lebih kecil, sehingga tidak dikontraindikasikan terhadap pasienpasien asma.
c. Otak

16

Propofol

mengurangi

aliran

darah

otak

dan

tekanan

intrakranial. Pada pasien dengan tekanan intrakranial yang


meningkat propofol dapat menyebabkan penurunan CPP yang
drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkah-langkah
untuk menjaga MAP.
Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik proteksi otak
yang sama kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek
antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk
pasien ODS.
Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak
memberikan toleransi setelah pemebrian infus propofol dalam
waktu lama.
2) Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor dan . Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Dosis Fentanil
a. Premedikasi : 50-100 mcg IM disuntikkan intramuskular 30-60
menit sebelum pembedahan.
b. Tambahan untuk anestesi regional : 50-100mcg disuntikkan
intramuskular atau intravena secara perlahan selama 1-2 menit saat
penghilang rasa sakit tambahan dibutuhkan.
c. Sesudah operasi (ruang pemulihan) : 50-100 mcg disuntikkan
intramuskular, bisa diulangi dalam waktu 1-2 jam sesuai kebutuhan
Efek Samping
Depresi pernapasan, otot kaku, hipotensi, bradikardia, laringospasme,
mual dan muntah. Kedinginan, kelelahan, halusinasi setelah operasi,

17

gejala-gejala ektrapiramidal saat digunakan dengan suatu tranquilizer


seperti Droperidol.
Opioid menyebabkan perubahan minimal pada hemodinamik cerebral
dan berfungsi mengurangi respon intubasi dan kraniotomi. Karena
intubasi, penempatan kepala, dan prosedur kraniotomi (insisi dan
manipulasi periosteum) termasuk periode yang sangat merangsang
tekanan intrakranial. Fentanil dosis 5-10 g/kg) dan remifentanil biasa
digunakan, karena keduanya memiliki onset cepat dan poten.
Konsentrasi rendah dari agen volatil dapat berfungsi untk mencegah
hipertensi selama awal pembedahan. Setelah intubasi, mata ditutup
untuk mencegah iritasi dari larutan prabedah. Pada induksi pemberian
oksigenasi yang adekuat, kemudian diberikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb
(iv) untuk menekan rangsang simpatis saat intubasi, intubasi dengan
propofol, dan laringskopi, pemasangan ETT, dan fiksasi.6

6. Pemeliharaan anestesi
Maintenance / rumatan anestesi dapat dikerjakan melalui intravena
atau inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Maintenance mengacu
pada trias anastesi: hipnotic, analgetic, dan relaksasi. Rumatan anestesi
bisa dengan narkotik atau volatil anestesi. Setiap kenaikan ICP akibat
volatil anestesi dapat dikurangi dengan pemberian pentotal atau diazepam
lebih dahulu, bersama dengan keadaan hipokarbia 10 menit sebelum
pemberian isofluran. Bebrapa hal yang perlu diperhatikan selama
pemeliharaan antara lain.7,8
a. Kombinasi

obat

yaitu

N2O:O2

=60%:40%,

fentanil.

Dehidrobenzperidol, muscle relaxan non depolarisasi. Pilihan lain


N2O:O2 =60%:40%, disertai isofluran atau desfluran/sevofluran dan
pelumpuh otot misalnya vecuronium 0,1 mg/kg BB/jam untuk menjaga
pergerakan.

18

b. Isofluran diberikan setelah tulang tengkorak dibuka. Otak menjadi lebih


bengkak dengan volatil anestei dibandingkan dengan anestesi iv. Untuk
mengurangi pembengkakan akibat volatil dapat diberikan diuretik. Di
beberapa center digunakan volatil anestesi sejak permulaan dan obat
anestesi inhalasi terpilih yaitu isofluran. Keuntungan isofluran antara
lain Mudah memakai, Efek proteksi otak, Mudah mengendalikan
tekanan darah, Pemulihan cepat, Pada konsentrasi 0,5% CBF menurun
dan baru meningkat pada konsteras 0,95% tetapi peningkatan ICP oleh
isofluran 1% mudah dilawan dengan hipokapnia, Peningkatan ICP oleh
isofluran berakhir 30 menit setelah obat dihentikan, sedangkan akibat
halotan atau enfluran berakhir setelah 3 jam obat dihentikan.
Penggunaan kombinasi anestesi iv dan inhalasi dapat digunaakan
sampai tulang dibuka.
c. Pemberian osmotik diuresis dan steroid, bertujuan untuk menurunkan
TIK meski hal ini masih kontroversi
d. Analgesik dibutuhkan selama insisi kulit dan meneghubungkan drain
dari kepala sampai abdomen. Fentanil dapat diberikan (13 g/kg)
e. Perubahan hemodinamik mungkin terjadi saat volume besar CSF
dialirkan dengan cepat pada kateter ventrikular. Hal ini harus
diwaspadai karena dapat menyebabkan bradikardi dan hipotensi..
7. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
Pada perdarahan < 20% dari perkiraan volume darah pasien, diberikan
cairan pengganti kristaloid atau koloid, namun bila > 20% diberikan
transfusi darah.8
8. Pemulihan anestesi
Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai
TOF=1. EtCO2 dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah
kenaikan cepat dari perubahan PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala
selesai diperban dan anestesi dipertahankan cukup untuk mencegah
sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi dan reaksi terhadap ETT dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri sehingga dipertahankan
jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan darah saat ekstubasi.8
9. Medikasi post operasi
a. Analgetik : Ketorolac
19

Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia


yang potensi tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat
bila diberi secara intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai
sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang
nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid.
Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari opioid. Hal yang
berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat
AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska pembedahan.8
Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi
pada kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolak
sedikit atau tidak mempengaruhi saluran empedu .8
Farmakokinetik
Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi
tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 68 jam. Mula kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3
jam. Obat dan hasil metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin. Ikatan
dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat ini menurun
dibandingkan opioid.
Farmakodinamik
Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat
yang

kemudian

menghambat

sintesis

dari

prostaglandin

dan

menghasilkan efek analgesia.


1) Efek analgesia.
Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek
analgesia 200-800 kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin,
indometasin, naproksen dan fenil butazon.
2) Efek anti inflamasi

20

Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek


analgesinya.

Efek

antiinflamasinya

hampir

sama

dengan

indometasin.
3) Efek pada fungsi platelet dan hemostasik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan
agregasi platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan
menimbulkan efek pada waktu trombin dan waktu protrombin.
4) Efek pada mukosa gastrointestinal
Tergantung pada dosis untuk menimbulkan erosi mukosa
gastrointestinal (Mangku, 2010).
b. Antiemetic : Ondansetron
Secara fisiologis, reseptor 5-HT3 berkaitan dengan muntah dan
didapatkan pada saluran cerna dan otak (area postrema). Reseptor 5HT2 bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos dan agregasi
trombosit; reseptor 5-HT4 terdapat pada saluran cerna yang berguna
untuk sekresi dan peristaltik, dan reseptor 5-HT7 yang terutama
terdapat pada sistem limbik mempunyai peran dalam depresi.8
Ondansetron, granisetron, dolasetron dan tropisetron secara selektif
menghambat reseptor serotonin 5-HT3, dengan sedikit atau tanpa efek
terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3 yang terdapat perifer
(eferen vagal abdominal) dan sentral (kemoreseptor trigger zone pada
area postrema dan nukleus traktus solitarius) tampknya mempunyai
peranan penting dalam permulaan refleks muntah. Tidak seperti
metoklopramid, oba-obaan ini tidak mempunyai efek terhadap motilitas
saluran cerna dan tonus sfingter esofagus bagian bawah.8
Penggunaan Klinis
Semua obat ini telah terbukti efektif sebagai antiemetik pada
periode post operatif. Pemberian profilaksis dapat diberikan pada pasien
yang mempunyai riwayat mual post operatif, pasien yang menjalani
prosedur yang memiliki resiko tinggi untuk muntah (laparoskopi); pada
keadaan dimana keadaan mual muntah harus dihindari (operasi bedah

21

saraf) dan pasien yang sedang mengalami mual muntah. Pada saat ini
hanya ondansetron dan dolasetron yang disetujui oleh FDA untuk mual
muntah post operasi; granisetron hanya untuk pencegahan mual muntah
yang dipicu oleh khemoterapi.
Dosis
Dosis

dewasa

intravena

yang

direkomendasikan

untuk

ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4 mg


yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis
4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 8 jam.8
4.2 Subdural Hematom
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak
mungkin ada atau tidak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosis lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1.

SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan

sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.

22

Gambar 1: Subdural hematoma akut dengan kompresi ventrikel


2.

SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,

kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya


tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi
pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan
akhirnya menjadi hipodens.

Gambar 2: Subdural Hematome

BAB V
PEMBAHASAN

23

Persiapan Pra Anastesi


Tindakan preoperatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien seoptimal
mungkin

dalam

menghadapi

operasi.

Persiapan

prabedah

menentukan

keberhasilan suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan


faktor sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter spesialis anestesiologi
hendaknya

mengunjungi

pasien

sebelum

pasien

dibedah,

agar

dapat

mempreersiapkan fisik dan mental pasien, merencanakan dan memilih teknik


anestesi serta obat yang dipakai, dan menentukan klasifikasi pasien berdasarkan
ASA.
Klasifikasi ASA
Pada kasus ini pasien tergolong dalam ASA III yaitu pasien dengan penyakit
sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Premedikasi
Premedikasi sebaiknya diberikan karena sistem saraf pusat pada pasien dengan
penyakit intrakranial menjadi sangat sensitif. Sebelum pasien dilakukan induksi
anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat
sebelum induksi anestesi diberikan dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantranya.
Pada pasien ini diberikan ranitidin 50 mg untuk mengurangi sekresi asam
lambung, Ondansetron 4 mg yang berfungsi sebagai antiemetik untuk mengurangi
mual dan muntah pasca bedah, sulfas atropin 0.5 mg berfungsi sebagai untuk
mengurangi sekresi ludah dan bronkus, Fentanyl diberikan sebagai analgetik
golongan opioid untuk mengurangi rasa sakit saat penyuntikan obat induksi dan
selama pembedahan berlangsung dan pemberian Asam Traneksamat sebagai anti
fibrinolitik untuk mencegah perdarahan menghentikan perdarahan.
Induksi Anestesi

24

Tujuan anestesi pada pasien dengan prosedur operasi intrakranial yaitu hipnosis,
amnesia, imobilitas, kontrol tekanan intrakranial, dan penjagaan hipertensi,
hipotensi, hipoksia, hiperkarbi serta batuk. Induksi anestesi merupakan tindakan
untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, yang bersifat reversibel. Induksi anestesi
dapat dikerjakan melalui intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal. Pada
pasien ini digunakan induksi yang digunakan yaitu propofol. Propofol
menurunkan refleks di saluran napas atas sehingga berguna saat intubasi atau
pemasangan LMA.
Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada pasien
dengan tekanan intrakranial yang meningkat propofol dapat menyebabkan
penurunan CPP yang drastis hingga < 50 mmHg kecuali dilakukan langkahlangkah untuk menjaga MAP. Propofol dan thiopental mempunyai karakteristik
proteksi otak yang sama kuat pada kejadian iskemia. Propofol mempunyai efek
antipruritik, dan efek antiemetiknya membuat obat ini cocok untuk pasien ODS.
Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler dan tidak memberikan toleransi
setelah pemebrian infus propofol dalam waktu lama. Pada pasien ini obat induksi
yang digunakan sesuai dengan kondisi pasien.
Intubasi ETT
Setelah induksi dengan propofol dilakukan dilanjutkan dengan intubasi Trakea
dengan pipa ETT 7.5 pemasangan dilakukan setelah obat induksi bekerja yaitu
ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata dan berhentinya pernafasan.
Ekstubasi ETT
Menjelang akhir operasi, dosis pelemas otot diturunkan sampai TOF=1. EtCO2
dinaikkan perlahan mencapai normal untuk mencegah kenaikan cepat dari
perubahan PaCO2. IPPV diteruskan sampai kepala selesai diperban dan anestesi
dipertahankan cukup untuk mencegah sraining akibat tube. Dangkalnya anestesi
dan reaksi terhadap ETT dapat menyebabkan peningkatan ICP dan tekanan arteri

25

sehingga dipertahankan jangan terjadi straining, batuk atau kenaikan tekanan


darah saat ekstubasi.
Pasien ini diekstubasi pada saat efek anestesi mulai menurun dan pasien ini sudah
mulai bernafas spontan.
Medikasi pasca bedah
Pada pasien ini diberikan Ketorolac 30 mg dan ondansetron 4 mg di drip dan
diberikan 30 gtt/menit. Medikasi ini bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri
akibat operasi dan mual muntah pasca bedah untuk menghindari terjadinya
aspirasi. Selin itu pasien juga diberikan Midazolam 5mg sebagai obat anti kejang
pada pasien tersebut.

26

Вам также может понравиться