Вы находитесь на странице: 1из 146

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PERILAKU PENCEGAHAN HIV/AIDS


PADA SOPIR CONTAINER DI MARUNDA
JAKARTA UTARA TAHUN 2014

SKRIPSI
diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

disusun oleh:

DITA TRINASTIA
1110101000033

PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA TAHUN 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN
Skripsi, 25 Februari 2015
Dita Trinastia, NIM: 1110101000033
Faktor-faktor
yang
Berhubungan
dengan
Perilaku
Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir Container di Marunda
Jakarta Utara Tahun 2014
xix+ 110 halaman + 5 gambar + daftar istilah + 28 tabel +
lampiran
ABSTRAK
Latar belakang: Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah
virus yang menyerang kekebalan tubuh sehingga menyebabkan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Berdasarkan hasil
penelitian terdahulu tahun 2013, penyebab HIV/AIDS paling
tinggi adalah hubungan heteroseksual. Sopir container
merupakan salah satu populasi berisiko tertular HIV/AIDS dan
menularkannya. Risiko tertular HIV/AIDS dapat dicegah dengan
penggunaan kondom secara konsisten.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
desain crosssectional study. Sampel dalam penelitian ini adalah
72 orang sopir container yang dipilih dengan menggunakan
metode consecutive sampling. Instrumen yang digunakan berupa
kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat
dengan menggunakan uji chi square dengan = 0,05.
Hasil: hasil penelitian didapatkan bahwa 51,4% responden
memiliki perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dan terdapat
hubungan yang bermakna antara motivasi, keterampilan
berperilaku dan frekuensi pulang ke rumah dengan perilaku
pencegahan HIV/AIDS. Sedangkan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara informasi, umur, tingkat pendidikan, status
pernikahan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir
container.
Saran: pemerintah perlu melakukan kerja sama lebih lanjut
dengan semua pihak terkait yang konsentrasi dalam pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS, seperti ormas, LSM, perusahaan
jasa transportasi container. Program yang perlu digalakkan
adalah program yang dapat mendukung dalam peningkatan
informasi, motivasi dan keterampilan berperilaku pada sopir,
seperti penyuluhan, konseling, pendidik sebaya.

Kata Kunci: Perilaku Pencegahan HIV/AIDS, Sopir Container,


model IMB

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES


PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT
HEALTH PROMOTION SPECIALIZATION
Undergraduate Thesis, February, 2015
Dita Trinastia, NIM: 1110101000033

Related Factors with HIV/AIDS Preventive Behavior on


Container Driver at Marunda, North Jakarta 2014
xx + 107 pages + 5 figures + glossary + 28 tables + appendix

ABTRACT
Background: Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a virus
that paralyzes the immune system leading to Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS). Based on study result 2013, the
highest caused of HIV/AIDS is heterosexual intercourse.
Container driver is one of the populations at risk of contracting
and transmitting HIV/AIDS. HIV/AIDS infected risk can reduce by
using condom consistently.
Method: this research was an observational study with cross
sectional research design. The samples were 72 container
drivers who existed when the the study occured. Samples were
consecutive selected. Instrument used is a questionnaire. Data
analysis was performed using univariate and bivariate by using
chi square test with = 0.05.
Result: the finding of this study indicated that 51,4% of
respondents do preventive behaviors of HIV /AIDS, there are
significant relationship between motivation, behaviral skills and
frequency of going home (meet spouse) with HIV/AIDS
preventive behavior, and there are not significant relationship
between information, age, education, married status.
Suggestion:the government must do
nongovernment organization, community

cooperation with
organization, and

container transport company due to all program about HIV/AIDS


can proceed fluently. The priority program have to carry out is
how to increase preventive information, motivation and
behavioral skills. It can include HIV/AIDS campaign, counseling
and peer educator among them.
Keywords: HIV/AIDS Preventive Behavior, Container Driver,IMB
Model

LEMBAR PERSEMBAHAN

....Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.


Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila
kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguhsungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap. (QS. Al-Insyirah: 5 8)

Dengan segala kerendahan hati,


Penulis persembahkan sebuah
karya kecil ini untuk Ibunda
tercinta, Efrinelti. Terimakasih
dukungan, motivasi, dan
bimbingan yang Ama berikan
pada Tia.
I Coudnt Love You more,,,,
kasih sayangmu tidak akan
pernah dapat aku membalasnya
dan kedua adikku tersayang
Mutiara dan Melani

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan limpahan
rahmat-Nya, shalawat dan salam buat baginda junjungan nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir
Container di Marunda Jakarta Utara tahun 2014. Skripsi ini ditulis sebagai tugas
akhir untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Kesehatan
Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, hal tersebut karena masih sangat terbatasnya pengetahuan penulis.
Skripsi ini tidak terwujud tanpa ada bantuan, bimbingan dan nasehat serta
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Pfor. Dr. Dr. MK Tajudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Raihana N. Alkaff, SKM, MMA, selaku dosen pembimbing fakultas,
mentor promosi kesehatan sekaligus pembimbing I skripsi, yang telah

10

memberikan bimbingan, pengarahan, masukan, kesempatan dan dukungan


kepada penulis dalam penulisan skripsi.
3. Dr. Drs., M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen pembimbing II skripsi,
yang telah memberikan masukan, bimbingan dan arahan dalam penulisan
skripsi.
4. Fajar Ariyanti, M.Kes., Ph.D, Yuli Amran, SKM, MKM, dan Julie Rostina,
SKM, MKM, selaku dosen penguji skripsi, yang telah memberikan
wawasan dan masukan yang berharga.
5. Seluruh staf dosen pengajar peminatan promosi kesehatan dan jurusan
kesehatan masyarakat yang telah banyak memberikan experience dan
guidance kepada penulis.
6. Ayah tercinta. Semoga anak-anak apa menjadi anak-anak yang sukses, doa
darimu sangat berharga buat kami.
7. Umi, Mutiara, Herman dkk., yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan data skripsi. Dan tante Masnidel yang sudah bersedia
menemani ke Rawa Malang.
8. Ayahanda B.Hasanudin, yang sudah menjelaskan seluk beluk kehidupan
sopir dan kehidupan Tj. Priuk Malam hari.
9. Teman-teman peminatan Promosi Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Hervina, Randika,Ilmi, Ayu, Alul, Ica, Richo, Prima, Nita, Saryati,
Supri dan Siva. Terima kasih untuk perjuangan dari awal, kebahagiaan,

11

kesedihan, dan kekompakannya. Semoga kita menjadi sarjana yang


bermanfaat buat nusa dan bangsa.
10. Teman-teman Darussunnah yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu.
Terima kasih ucapan semangat dan dukungan moril dari kawan-kawan
semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih
terdapat banyak kekurangan baik dari isi maupun penulisan. Oleh karena itu
penulis mohon maaf atas semua kesalahan dan kekurangan. Dengan segala
keterbatasan ini, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak.

Jakarta, Februari 2015

Penulis

12

DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PERNYATAAN.........................................................
ii
ABSTRAK............................................................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................
v
HALAMAN PENGESAHAN......................................................
vi
RIWAYAT HIDUP..................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................
viii
KATA PENGANTAR...............................................................
ix
DAFTAR ISI.........................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR................................................................
xv
DAFTAR ISTILAH..................................................................
xvi
DAFTAR TABEL....................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................
6
1.3 Pertanyaan Penelitian..................................................................
7

13

1.4 Tujuan Penelitian..........................................................................


8
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................................
9
1.6 Ruang Lingkup.............................................................................
10
BAB II ISI
2.1 HIV/AIDS......................................................................................
12
2.2 Perilaku Seksual Berisiko dan Perilaku Pencegahan.....................
18
2.3 Sopir............................................................................................
20
2.4.......................................................................................................
Kawasan Berikat Nusantara (KBN).....................................................
20
2.5.......................................................................................................
Determinan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS.......................................
22
2.6.......................................................................................................
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
...................................................................................................
...................................................................................................
28
2.6 Kerangka Teori.............................................................................
33

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIOANAL DAN


HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep.........................................................................
36
3.2 Definisi Operasional.....................................................................
38
3.3 Hipotesis Penelitian.....................................................................
41

14

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN


4.1 Desain Penelitian.........................................................................
42
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................
42
4.3 Populasi dan Sampel....................................................................
42
4.4 Jenis dan Sumber Data................................................................
45
4.5 Pengumpulan Data......................................................................
45
4.6 Instrumen Penelitian....................................................................
46
4.7 Manajemen Data.........................................................................
46
4.8 Analisis Data................................................................................
48
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat...................................................................................................
50
5.1.1 Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir Container........................................
50
5.1.2 Variabel Independen...............................................................................................
53
1. Gambaran Informasi Responden...........................................................................
53
2. Gambaran Motivasi Responden.............................................................................
57
3. Gambaran Keterampilan Berperilaku Responden.................................................
57
4. Gambaran Umur Responden..................................................................................
58
5. Gambaran Pendidikan Responden.........................................................................
59
6. Gambaran Status Pernikahan Responden..............................................................
60

15

7. Gambaran Frekuensi Pulang ke Rumah.................................................................


61
5.2 Analisi Bivariat......................................................................................................
62
1. Hubungan Informasi dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
62
2. Hubungan Motivasi dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
63
3. Hubungan Keterampilan Berperilaku dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
64
4. Hubungan Umur dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
65
5. Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
66
6. Hubungan Status Pernikahan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
67
7. Hubungan Frekuensi Pulang ke Rumah dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
..................................................................................................................
..................................................................................................................
68

BAB VI PEMBAHASAN

16

6.1 Keterbatasan Penelitian...............................................................


69
6.2
Gambaran Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada sopir
Container.............................................................................................
70
6.3
Hubungan Informasi Responden dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS........................................................................................................................
74
6.4 Hubungan Motivasi Responden dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS.......
82
6.5 Hubungan Keterampilan Berperilaku responden dengan Perilaku
Pencegahan HIV/AIDS....................................................................................
86
6.5 Hubungan Umur Responden dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS............
89
6.6 Hubungan Pendidikan Responden dengan Pencegahan HIV/AIDS..................
91
6.7 Hubungan Status Pernikahan Responden dengan Pencegahan HIV/AIDS.......
94
6.8 Hubungan Frekuensi Pulang ke Rumah dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS...............................................................................................................
97
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan......................................................................................
100
7.2 Saran...........................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA...............................................................
104
LAMPIRAN

17

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1

Perjalanan HIV menuju AIDS...........................................

...........................................................................................................
Gambar 2.2

Health Belief Model oleh Becker dan Rosenstock

(1974).....................................................................................................
...........................................................................................................
Gambar 2.3 IMB Model, Fisher dan J.Fisher 1992................................
...........................................................................................................
Gambar 2.4

Kerangka Teori Penelitian................................................

...........................................................................................................
Gambar 3.1 Kerangka Konsep............................................................
...........................................................................................................

18

DAFTAR ISTILAH
AIDS

: Aquired Immunodeficiency Syndrome

CDC

: Centers for Disease Control

EPZ

: Export Processing Zone

HBM

: Health Belief Model

HIV

: Human Immunodeficiency Virus

HRM

: High Risk Man

IMB

: Information Motivation Behavior model

KBN

: Kawasan Berikat Nusantara Marunda Jakarta Utara

KPA

: Komisi Penanggulangan AIDS

LSL

: Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama


laki-laki

MDGs

: Millenium Development Goals

ODHA

: Orang dengan HIV/AIDS

P2PL

: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

PIKA

: Penularan Ibu ke Anak

PSP

: Penjaja Seks Perempuan

Risti

: Populasi Risiko Tinggi terjangkit HIV/AIDS

SCM

: perusahaan di Bidang Usaha Jasa Services dan


suporting

SSP

: Survei Surveilans Perilaku

19

STHP

: Survei Terpadu HIV dan Perilaku

STBP

: Survei Terpadu Biologis dan Perilaku

UNAIDS

: United Nations Programme on HIV/AIDS

UNGASS

: United Nations General Assembly Special session


(Sesi Khusus
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa )

USAID

: United States Agency for International Development


(Badan
Bantuan Pembangunan Internasional Amerika)

WHO

: World Health Organization

WPS

: Wanita Pekerja Seks

DAFTAR TABEL
Tabel 5.1

Distribusi Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir

Container ...............................................................................................
50
Tabel 5.2 Distribusi Perilaku Seksual pada Sopir Container...................
51
Tabel 5.3

Distribusi Informasi Sopir terhadap Tempat Mangkal

Pekerja Seks...........................................................................................
52
Tabel 5.4 Distribusi Gejala Umum IMS pada Sopir.................................
52
Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan tentang HIV/AIDS..............................
53
Tabel 5.6 Distribusi Sumber Informasi Sopir..........................................
53

20

Tabel 5.7 Distribusi Penyebab HIV/AIDS.................................................


54
Tabel 5.8 Distribusi Cara Penularan HIV/AIDS........................................
54
Tabel 5.9 Distribusi Cara Pencegahan HIV/AIDS.....................................
55
Tabel 5.10 Distribusi Paparan Informasi..................................................
56
Tabel 5.11 Distribusi Informasi Sopir.................................................................................
56
Tabel 5.12 Distribusi Motivasi Sopir...................................................................................
57
Tabel 5.13 Distribusi Keterampilan Berperilaku Sopir ..................................................
58
Tabel 5.14 Umur Sopir Container.................................................................................
58
Tabel 5.15 Distribusi Umur Sopir Container.................................................................
59
Tabel 5.16 Distribusi Jenjang Pendidikan Sopir..................................................................
59
Tabel 5.17 Distribusi Pendidikan.............................................................
60
Tabel 5.18 Distribusi Pernikahan Sopir...........................................................
60
Tabel 5.19 Distribusi Status Pernikahan..................................................
61
Tabel 5.20 Daerah Asal Sopir.......................................................................
61

21

Tabel 5.21 Distribusi Frekuensi Pulang ke Rumah...................................


62
Tabel 5.22 Analsis Hubungan Antara Informasi dengan Perilaku
Pencegahan
HIV/AIDS..................................................................................
62
Tabel 5.23 Analsis Hubungan Antara Motivasi dengan Perilaku
Pencegahan
HIV/AIDS.........................................................................................
63
Tabel 5.24 Analsis Hubungan Antara Keterampilan Berperilaku
dengan Perilaku
Pencegahan HIV/AIDS...................................................................
64
Tabel 5.25 Analsis Hubungan Antara Umur dengan Perilaku
Pencegahan
HIV/AIDS.......................................................................................
65
Tabel 5.26 Analsis Hubungan Antara Pendidikan dengan Perilaku
PencegahanHIV/AIDS....................................................................
66
Tabel 5.27 Analsis Hubungan Antara Status Pernikahan dengan
Perilaku
Pencegahan HIV/AIDS...................................................................
67
Tabel 5.28 Analsis Hubungan Antara Frekuensi Pulang ke Rumah
dengan

22

Perilaku Pencegahan HIV/AIDS......................................................


68

DAFTAR LAMPIRAN

Kuesioner Penelitian

23

BAB I
PENDAHULUAN
I.1Latar Belakang
HIV/AIDS merupakan salah satu masalah global yang
dihadapi

hampir

menyatakan

seluruh

bebas

dunia.

dari

Belum

HIV/AIDS.

ada

negara

AIDS

yang

(Acquired

Immunodeficiency Syndrome) merupakan penyakit menular yang


disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus)
yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan kekebalan tubuh
sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai macam penyakit lain
(CDC, 2014 dan Kemenkes, 2011).
Peningkatan kasus HIV/AIDS di seluruh dunia, merupakan
salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian banyak
pihak.

HIV/AIDS

masih

menjadi

masalah

serius

kesehatan

masyarakat dunia, baik di negara-negara maju maupun negara


berkembang. Hal ini terbukti dengan adanya komitmen global
HIV dan AIDS melalui MDGs (Millenium Development Goals) 2015
(WHO, 2014).
Data penemuan kasus WHO (2013) bahwa tahun 2012
jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh dunia
diperkirakan sudah mencapai 35,3 juta dengan infeksi baru

mencapai 2,3 juta. Sedangkan orang yang meninggal akibat AIDS


diperkirakan sebanyak 1,6 juta. Terdapat sekitar 6.300 orang
terinfeksi HIV setiap harinya, 700 orang pada anak-anak berusia
di bawah 15 tahun, 5.500 infeksi pada remaja atau dewasa
berusia 15 tahun ke atas.
WHO menyatakan bahwa 95% orang terinfeksi HIV berasal
dari negara berkembang. Asia menduduki posisi tertinggi setelah
sub sahara Afrika. Cara penularan utama HIV/AIDS di negara Asia
adalah melalui hubungan seks, dimana prevalensi HIV lebih dari
40% (Avert, 2014 dan Kemenkes, 2012).
Menurut data UNGASS (United Nation General Assembly
Special

Session), angka

meningkat.

Salah

satu

penderita
penyebab

HIV

di

Indonesia

meningkatnya

terus

kasus

ini

disebabkan oleh perilaku heteroseksual yang tidak aman, yaiutu


melakukan hubungan seksual tanpa kondom (Kemenkes, 2008).
Persentase kumulatif AIDS tertinggi adalah pada usia 20
29 tahun (34,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30 39 tahun
(28,7%), dan kelompok umur 40 49 tahun (10,6%). Sedangkan
faktor risiko penularan terbanyak adalah melalui heteroseksual
(60,9%), penasun (17,4%), homoseksual (2,8%) dan perinatal
(2,7%) (Kemenkes 2014).

Rata-rata kumulatif infeksi HIV positif tertinggi dilaporkan


adalah dari Propinsi DKI Jakarta (40,3%), Banten (29,0%),
Kepulauan Riau (22,9%), Bali (20,2%), Papua Barat (19,7%), Jawa
Barat (19,2%), Jawa Timur (13,2%), Papua (11,8%), Riau (11,6%),
dan DI Yogyakarta (11,1%) (Kemenkes, 2014).
Ada

beberapa

kelompok

masyarakat

memiliki

resiko

tertular penyakit menular seksual HIV/AIDS diakibatkan perilaku


tidak sehat. Menurut Kemenkes (2008) kelompok tersebut dibagi
menjadi dua kelompok yang terdiri dari populasi kunci dan
populasi umum. Populasi kunci terdiri dari pengguna narkoba
suntik (penasun), penjaja seks perempuan (PSP), lelaki suka
lelaki (LSL), waria dan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA).
Sedangkan populasi umum terdiri dari lelaki sebagai pelanggan
PSP, perempuan sebagai pasangan seks tetap, Penularan ibu ke
anak (PIKA) dan generasi muda yang belum menikah.
Diperkirakan

lebih

dari

tiga

juta

laki-laki

Indonesia

merupakan pelanggan PSP (kisaran 2.342.000 3.981.180)


(Kemenkes, 2008). Sopir truk yang termasuk ke dalam populasi
umum, merupakan populasi penghubung yang menjembatani
populasi kunci. Menurut data Kemenkes (2006), yang termasuk
kedalam populasi umum ini adalah supir truk (container),
nelayan, buruh bangunan, dan tentara yang membeli seks
secara langsung dari PSP.

Data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menyebutkan


bahwa sopir yang mengidap HIV juga meningkat setiap tahun.
Pada tahun 2008 sopir yang mengidap HIV sebanyak 2,89%,
tahun 2009 naik menjadi 6,73%, tahun 2010 menjadi 11,31%
sedangkan pada bulan Maret 2011, terdapat 19,08% sopir truk
yang mengidap HIV. (Kristawansari, 2013).
Semakin

lama

berpisah

dengan

istri

dan

keluarga

memberikan kesempatan pada sopir truk berperilaku seks tidak


aman dan keharmonisan dalam keluargapun semakin berkurang.
Dorongan seksual yang tinggi dan kondisi jauh dari istri
menjadikan sopir truk melakukan praktik hubungan seksual
dengan wanita lain dikarenakan kebutuhan biologis yang tidak
tertahankan (Lestari, 2005).
Penelitian yang diadakan di Bandar Lampung terhadap
kelompok

penjaja

seks,

15%

tamu

mereka

adalah

supir

truk/bis/taksi. Sedangkan yang lainnya adalah pelaut/orang kapal


(12%), karyawan swasta (15%), pegawai negeri (7%), wiraswasta
(15%), mahasiswa/pelajar (11%), buruh pabrik (6%), pelancong
(3%), TNI/polisi (10%), petani (3%), tidak tahu (3%) (Tjahyadi,
2008).
Penelitian serupa juga dilakukan di Indonesia terhadap
perilaku seks tak aman pada pekerja berpindah di sepanjang
pantai Jawa dan Sumatera (2007), hasil penelitian tersebut

menyatakan 50% responden pernah melakukan hubungan seks


ektra marital, namun kurang dari 20% menggunakan kondom
saat

terakhir

menggunakan

melakukan
kondom

hubungan

tersebut

seks.

dilakukan

Seks

tanpa

dengan

bukan

pasangan tetap seperti penjaja seks, pacar dan kenalan (Dadun,


Heru dkk., 2007).
Penelitian yang dilakukan di India menyatakan bahwa sopir
truk dengan status belum menikah lebih cenderung melakukan
seks dengan pasangan tidak tetap (66,9%) dan hanya 38,8%
yang konsisten menggunakan kondom dalam berhubungan seks
(Pandey, dkk., 2012).
Penelitian serupa telah dilakukan di beberapan Negara Asia
seperti Thailand, Bangladesh, dan Indonesia. Sepertiga dari
penderita HIV di Negara Bangladesh tidak merubah kebiasaan
perilaku seksual berisiko tersebut setelah mengetahui potensi
penyakit yang dapat menyerang meraka. Begitu pula penelitian
yang dilakukan di Brazil, menyatakan bahwa 43% dari 300 sopir
terserang penyakit Shipilis. Dan 69% dari mereka dinyatakan
tidak

menggunakan

pengaman

kondom

saat

berhubungan

(Malta, Bastos dkk., 2005).


KBN (Kawasan Berikat Nusantara) berbatasan langsung
dengan kampung nelayan, yaitu daerah pinggir laut Marunda
Jakarta Utara, di sana terdapat kafe, bar atau diskotik yang

didirikan secara bebas. Berdasarkan hasil wawancara bersama


tokoh masyarakat kampung Nelayan dan Rawa Malang, diketahui
pada tempat tersebut terdapat penjaja seks dari berbagai
profesi, diantaranya adalah sopir, pelaut atau orang kapal,
karyawan swasta, pegawai negeri, wiraswasta, buruh pabrik, TNI
atau polisi, dan bahkan juga terdapat mahasiswa/pelajar.
Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa kafe atau
bar diskotik memang sudah resmi didirikan dan buka setiap hari
dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB dini hari,
sedangkan hasil wawancara bersama 11 orang sopir, 7 dari 11
orang mengaku pernah ke kafe atau bar diskotik tersebut dan 4
diantaranya mengaku pernah mendatangi tempat lokalisasi atau
prostitusi.
Hasil penelitian terdahulu dan studi pendahuluan menyatakan
bahwa sopir cenderung melakukan hubungan seksual berisiko
antara lain adalah dengan berganti-ganti pasangan seksual dengan
mendatangi

tempat

prostitusi

atau

berhenti

di

tempat

pemberhentian pantura selama perjalanan, tidak menggunakan


kondom secara konsisten sehingga sopir akan rentan terkena
penyakit seksual HIV/AID. Artinya masih sedikit sopir container yang
memiliki perilaku pencegahan HIV/AIDS. Berdasarkan hal tersebut,
perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku
pencegahan HIV/AIDS pada sopir container.

Menurut Fisher dan J.Fisher (1992) perilaku pencegahan


seseorang terhadap HIV/AIDS dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu faktor informasi (information), motivasi (motivation), dan
keterampilan
dengan

berperilaku

teori

IMB

(behavioral

skills)

yang

dikenal

(Information-Motivastion-Behavior

Skills).

Fisher dan J.Fisher berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan


keterampilan berperilaku merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi

perilaku

pencegahan

seseorang

terhadap

HIV/AIDS. Selain itu menurut Becker dan Rosenstock (1974)


dalam teorinya Health Belief Model (HBM), karakteristik personal
tertentu juga dapat berperan dalam mempengaruhi perilaku
tertentu, meskipun faktor ini mempengaruhi perilaku tersebut
secara tidak langsung. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku
pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di Kawasan Berikat
Nuasantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara pada tahun 2014.
I.2Rumusan Masalah
Hasil studi pendahuluan pada sopir container di KBN Marunda,
diketahui sebagian besar sopir pernah mengunjungi kafe atau
bar dan diskotik yang ada di sekitar kawasan berikat, sedangkan
sepertiga

mereka

mengaku

pernah

mengunjungi

tempat

lokalisasi Rawa Malang. Hal ini didukung oleh pernyataan tokoh


masyarakat

kampung

nelayan

dan

Rawa

malang

beserta

pedagang asongan yang berada di sekitar kawasan penelitian,


bahwa memang sebagian besar sopir container mengunjungi
tempat-tempat tersebut. Data STBP 2013 menyatakan bahwa
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir masih sangat rendah,
sedangkan sopir adalah salah satu populasi yang berisiko tertular
dan menularkan HIV/AIDS karena tingkat mobilisasi yang tinggi
yang menyebabkan mereka jarang bertemu dengan isteri.
Atas dasar tersebut, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada
sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN).

I.3Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran perilaku pencegahan HIV/AIDS pada
sopir container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda,
Jakarta Utara pada tahun 2014 ?

2. Apakah terdapat hubungan antara faktor informasi dengan


perilaku

pencegahan

HIV/AIDS

pada

sopir

container

di

Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada


tahun 2014 ?
3. Apakah terdapat hubungan antara faktor motivasi dengan
perilaku

pencegahan

HIV/AIDS

pada

sopir

container

di

Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada


tahun 2014 ?
4. Apakah

terdapat

hubungan

antara

faktor

keterampilan

berperilaku dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir


container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta
Utara pada tahun 2014 ?
5. Apakah terdapat hubungan antara faktor umur dengan
perilaku

pencegahan

HIV/AIDS

pada

sopir

container

di

Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada


tahun 2014 ?
6. Apakah terdapat hubungan antara faktor pendidikan dengan
perilaku

pencegahan

HIV/AIDS

pada

sopir

container

di

Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada


tahun 2014 ?
7. Apakah terdapat hubungan antara faktor status pernikahan
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di

10

Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada


tahun 2014 ?
8. Apakah terdapat hubungan antara faktor frekuensi pulang ke
rumah dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir
container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta
Utara pada tahun 2014 ?

I.4Tujuan Penelitian
I.4.1 Tujuan Umum
Untuk
dengan

mengetahui
perilaku

faktor-faktor

pencegahan

yang

HIV/AIDS

berhubungan
pada

sopir

container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda,


Jakarta Utara pada tahun 2014.
I.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.

Diketahuinya gambaran perilaku pencegahan HIV/AIDS


pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara

2.

Marunda, Jakarta Utara pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan antara faktor informasi dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di
Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara
pada tahun 2014.

11

3.

Diketahuinya hubungan antara faktor motivasi dengan


perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di
Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara

4.

pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan antara faktor keterampilan
berperilaku dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada
sopir container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda,

5.

Jakarta Utara pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan antara faktor umur dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di
Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara

6.

pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan
dengan

perilaku

antara

pencegahan

faktor

pendidikan

HIV/AIDS pada

sopir

container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda,


7.

Jakarta Utara pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan antara faktor status pernikahan
dengan

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS pada

sopir

container di Kawasan Berikat Nusantara Marunda,


8.

Jakarta Utara pada tahun 2014.


Diketahuinya hubungan antara faktor frekuensi pulang
ke

rumah

atau

daerah

asal

dengan

perilaku

pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di Kawasan


Berikat Nusantara Marunda, Jakarta Utara pada tahun
2014.
I.5Manfaat Penelitian

12

Hasil dari peneltian ini diharapkan dapat bermanfaat baik


secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

menambah

wawasan dan memberikan kontribusi atau sumbangan


pemikiran terhadap keilmuan Promosi Kesehatan, khususnya
dalam mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container.

1.5.2 Manfaat Praktis


Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini
pembelajaran

dapat

dijadikan

mahasiswa

untuk

sebagai

wacana

menambah

dan

memperluas keilmuan serta sebagai sarana dalam


mengaplikasikan keilmuan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
pada sopir container
b. Bagi Pihak terkait (stakeholder)
Menjadikan acuan dan pedoman dalam menyusun
perencanaan

dan

program

penanggulangan HIV/AIDS.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Selain
dapat
menambah

terkait

keilmuan

dalam

Kesehatan

Masyarakat, khususnya peminatan Promosi Kesehatan,

13

hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi


pengembangan penelitian sejenis dan dapat dilanjutkan
di tempat yang berbeda.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan gambaran perilaku pencegahan HIV/AIDS dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya pada sopir container di Kawasan
Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara pada tahun
2014. Perilaku pencegahan HIV/AIDS yang dimaksud adalah tindakan seksual
yang aman dan menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan selain
pasangan tetap. Desain penelitian yang digunakan adalah cross
sectional study, dimana variabel independen dan dependen
diambil dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini dilakukan di
Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara pada
Bulan Mei Desember tahun 2014.

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Perkembangan HIV/AIDS
Penemuan kasus AIDS pertama kali terjadi sekitar 1981
oleh ahli kesehatan di Kota Los Angeles, Amerika Serikat,
ketika sedang melakukan sebuah penelitian kasus seri
terhadap empat pemuda atau mahasiswa. Di dalam tubuh
ke empat pemuda tersebut ditemukan penyakit pneumonia
(pneumonic

carinii)

yang

disertai

dengan

penurunan

kekebalan tubuh (imunitas), dan telah berkembang menjadi


masalah kesehatan global.

Dari

hasil

penelitian,

para

ahli

15

kesehatan menemukan jalan untuk penemuan penyakit


AIDS. Virus HIV sendiri baru diketahui sekitar 1983 oleh Lug
Montaigneur, seorang ahli mikrobiologi Perancis. Pada 1984,
mikrobiolog

asal

Amerika

Serikat,

Robert

Gallo

mengumumkan pula penemuan yang sama. Di Indonesia


penemuan kasus HIV/AIDS diperkirakan baru diketahui pada
1987, yaitu pada seorang turis asal Belanda (Tempo, 2004
dan Kemenkes 2010).
Sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada tahun 1987 di Bali jumlah
kasus bertambah secara perlahan menjadi 225 kasus di tahun 2000. Sejak itu
kasus AIDS bertambah cepat dipicu oleh penggunaan napza suntik. Pada
tahun 2006, sudah terdapat 8.194 kasus AIDS. Sekitar 60 juta orang telah
tertular HIV dan 25 juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan sampai
tahun 2009 orang yang hidup dengan HIV sekitar 35 juta. Setiap hari
terdapat 7400 orang baru terkena HIV atau 5 orang permenit. Pada tahun
2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS
(Kemenkes, 2010).
Saat ini HIV/AIDS merupakan salah satu masalah global yang dihadapi
hampir seluruh negara di dunia. Belum ada satu pun negara yang
menyatakan bebas dari HIV/AIDS. Merujuk data yang dikeluarkan oleh
UNAIDS (United Nation Programme on HIV/AIDS) hingga Desember
2007, penderita HIV/AIDS di dunia mencapai 33,2 juta jiwa. Tahun 2012
penderita HIV/AIDS meningkat menjadi 35,3 juta jiwa. Sedangkan tahun
2013 terdapat 2,3 juta jiwa penderita baru yang terkena infeksi HIV.

16

Meskipun ini adalah jumlah peningkatan yang paling sedikit dibandingkan


kejadian yang terjadi semenjak tahun 1990an, namun pertumbuhan laju
penderita baru yang terinfeksi terus bertambah. (UNAIDS, 2007).
Berikut adalah laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia
sampai dengan Desember 2013, oleh Ditjen P2PL (2014):
1. Situasi Masalah HIV Triwulan IV (Oktober Desember)
Tahun 2013:
a. Dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2013
jumlah infeksi HIV baru yang dilaporkan sebanyak
8.624 kasus.
b. Persentase infeksi

HIV

tertinggi

dilaporkan

pada

kelompok umur 25 49 tahun (70,4%), diikuti


kelompok umur 20 24 tahun (16,4%), dan kelompok
umur 50 tahun (5,3%).
c. Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1
d. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan
seks berisiko pada heteroseksual (52,0%), LSL (Lelaki
Seks Lelaki) (14,3%), dan penggunaan jarum suntik
tidak steril pada penasun (6,6%).
2. Situasi Masalah AIDS Triwulan IV (Oktober Desember)
Tahun 2013
a.

Dari bulan Oktober sampai dengan Desember


2013 jumlah AIDS yang dilaporkan sebanyak 2.845
orang.

17

b. Persentase AIDS tertinggi adalah pada kelompok umur


30 39 tahun (26%), diikuti kelompok umur 20 29
tahun (25,3%) dan kelompok umur 40 49 tahun
(11,6%).
c. Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan
seks berisiko pada heteroseksual (78%), penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun (9,3%), LSL (Lelaki
Seks Lelaki) (4,3%) dan dari ibu positif HIV ke bayi (2,6%).

2.1.2 Definisi HIV


HIV adalah singkatan dari human immunodeficiency
virus. Virus ini menyebabkan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). HIV berbeda dengan virus lain, tubuh
manusia tidak dapat menyingkirkan HIV, artinya jika
sesorang terkena HIV, orang tersebut akan terkena AIDS
(CDC, 2015).
HIV adalah retrovirus yang menginfeksi sel sistem
kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4 + T cell Helper
dan macrophage. Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh
manusia secara khusus menjadikan sel CD4 sebagai target
sasarannya, dengan cara menghancurkan dinding selnya
masuk dan berkembang atau memperbanyak diri di

18

dalamnya, lalu keluar mencari sel CD4 yang lain yang


melakukan serangan yang sama, sehingga lama-kelamaan
tubuh semakin banyak kehilangan sel CD4. Ketika sistem
pertahan tubuh tidak dapat melawan berbagai penyakit
akibat HIV, HIV akan menyebabkan AIDS (CDC, 2015 dan
Kemenkes 2013).

2.1.3 Definisi AIDS


Pada saat tubuh sudah kehilangan banyak sel-sel CD4,
hal ini berarti orang tersebut telah masuk ke dalam fase
AIDS, yaitu sebutan untuk kondisi tubuh sesorang yang
sistem kekebalan tubuhnya telah sangat rusak akibat
serangan HIV. AIDS merupakan singkatan dari Acquerid
Immuno Deficiency Syndrome yang artinya kumpulan
gejala

yang

diakibatkan

hilang

atau

berkurangnya

kekebalan tubuh (Kemenkes, 2013).


AIDS berarti infeksi HIV yang menyebabkan sistem
kekebalan menjadi semakin lemah. Sehingga segala jenis
kuman, virus dan bibit penyakit dapat menyerang tubuh
tanpa dapat dilawan. Disamping itu penderita AIDS mudah
mendapatkan

infeksi

oportunistik.

Infeksi

oportunistik

termasuk jamur pada mulut, jenis kanker yang jarang, dan


penyakit tertentu pada mata, kulit dan sistem saraf.
Seseorang yang sudah memasuki kondisi AIDS, akan

19

dengan

mudah

diserang

atau

terinfeksi

penyakit.

Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker


seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan kanker
sistem kekebalan yang disebut limfoma (Spritia, 2014 dan
Kemenkes 2013).
Biasanya

penderita

AIDS

memiliki

gejala

infeksi

sistemik seperti demam, berkeringat (terutama pada


malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa
lemah, serta penurunan berat badan (Kemenkes, 2013)

2.1.3 Perjalanan HIV


Perjalanan HIV menuju AIDS, dapat dipahami melalui
gambar perjalanan HIV menuju AIDS:
Gambar 2.1
Perjalanan HIV menuju AIDS
-

Masuk HIV

Windo
w
period

Periode tanpa
gejala
(asimptomatik)

Demam
Selera makan
turun
- Diare
(Infeksi Primer HIV)
BB turun
gejala: Flu Paling rentan -menularkan
Drastis
2 4 Minggu

2 Tahun

Gejala AIDS
Radang Paru
Radang sel cerna
Kanker Kulit
Radang karna
Jamur
TB

5 10 Tahun -

Meninggal

20

Centers for Desease Control (CDC), 2015.


Berdasarkan gambar 2.1, diketahui bahwa infeksi
dimulai dengan masuknya HIV yang kemudian mengalami
window period selama 2 4 minggu. Setelah itu perjalanan
HIV dalam tubuh akan mengalami periode tanpa gejala
apapun selama 5 10 tahun. Setelah periode tanpa gejala,
penderita HIV akan mengalami fase pembesaran kelenjar
limfe yang ditandai dengan demam, selera makan turun,
penurunan berat badan secara drastis, dan diare terus
menerus.

Setelah

tahap

inilah

penderita

HIV

akan

mengalami berbagai macam penyakit dan pada tahap ini


seseorang dikatakan positif AIDS. Dalam selang waktu 2
tahun, penderita akan meninggal.

2.1.4 Cara Penularan HIV/AIDS


HIV

terdapat

di

darah

seseorang

yang

terinfeksi

(termasuk darah haid), air susu ibu, air mani dan cairan
vagina. Untuk berada di dalam tubuh manusia, HIV harus
masuk

langsung

ke

dalam

aliran

darah

orang

yang

21

bersangkutan, sedangkan di luar tubuh manusia virus HIV


sangat cepat mati. (Kemenkes, 2013).

2.1.5 Kriteria Diagnostik


Menurut CDC (2015), banyak orang yang terinfeksi
HIV namun tidak mengalami gejala sama sekali selama 10
tahun atau lebih. Namun gejala umum awal yang dirasakan
orang terinfeksi HIV adalah sebagai berikut:

1.
2.
3.
4.

Flu, Sakit, demam


Pembesaran kelenjar getah bening
Radang tenggorokan
Ruam
Gejala-gejala ini dapat berlangsung beberapa hari

sampai

beberapa

seseorang

minggu.

melakukan

tes

Selama

masa

ini,

ketika

HIV/AIDS,

bisa

saja

orang

tersebut mendapatkan hasil negatif HIV. Namun mereka


tetap berpotensi untuk menularkan HIV/AIDS.
Satu-satunya

cara

untuk

mengetahui

apakah

seseorang terinfeksi HIV atau tidak adalah dengan uji


darah. Seseorang tidak dapat hanya berpedoman pada
gejala di atas saja. Karena banyak orang yang terinfeksi
HIV namun tidak memiliki gejala sama sekali selama 10
tahun atau lebih.

22

2.2 Perilaku

Seksual

Berisiko

dan

Perilaku

Pencegahan

HIV/AIDS
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Perilaku

seksual

merupakan

segala

bentuk

perilaku

yang

didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun


dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual menurut Sarwono
(2010) antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.

bergandengan tangan (memegang lengan pasangan)


berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang)
bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir)
meraba bagian tubuh yang sensitif
menggesek-gesekkan
alat
kelamin
sampai
dengan
memasukkan alat kelamin
Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam

khayalan atau diri sendiri. Aktivitas seksual adalah kegiatan yang


dilakukan untuk memenuhi dorongan seksual atau kegiatan
mendapatkan

kesenangan

organ

kelamin

melalui

berbagai

perilaku. Hubungan seksual merupakan kontak seksual yang


dilakukan berpasangan dengan lawan jenis atau sesama jenis
(Sarwono, 2010).
Perilaku berisiko HIV/AIDS merupakan orang yang mempunyai
kemungkinan terkena infeksi HIV/AIDS atau menularkan HIV/AIDS pada orang
lain karena perilakunya. Mereka yang mempunyai perilaku berisiko tinggi adalah
perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan

23

hubungan seksual dan pasangannya dan tidak memakai kondom secara konsisten
(Kemenkes, 2013) perempuan dan laki-laki tuna susila, orang yang dalam
melakukan hubungan seksual secara tidak wajar seperti hubungan seksual melalui
dubur (anal) dan mulut (oral), misalnya pada homoseksual dan biseksual,
penggunaan narkoba suntik (Kumalasari, 2013).
Sedangkan perilaku seksual berisiko adalah perilaku seksual yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan seksual
dengan berganti-ganti pasangan seksual tanpa penggunaan kondom secara
konsisten. (Kemenkes, 2010).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
perilaku seksual berisiko HIV/AIDS adalah segala bentuk tindakan
yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis pada kelompok yang suka berganti-ganti
pasangan dengan penggunaan kondom yang tidak konsisten.
Sopir container adalah salah satu kelompok yang berisiko
HIV/AIDS.
Sedangkan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang dimaksud
adalah

tindakan

pencegahan

yang

dilakukan

sopir

agar

melakukan perilaku seksual yang aman dan menggunakan


kondom secara konsisten saat berhubungan seksual dengan
selain pasangan tetap (Yong, 2013).

2.3 Sopir

24

Sopir adalah pengemudi profesional yang ditugaskan untuk


mengemudi

kendaraan

bermotor.

Sopir

dibagi

dalam

dua

kelompk, yaitu sopir pribadi dan sopir perusahaan yang bekerja


perusahaan angkutan penumpang umum seperti taksi, bus
ataupun angkutan barang (SCM Indonesia, 2014)
Sedangkan sopir container adalah orang atau pekerja yang
membawa truk dengan box container untuk memuat barangbarang yang akan dikirim ke setiap kota di wilayah indonesia
maupun keluar negeri. Sopir container dapat menghabiskan
beberapa hari perjalanan bahkan minggu sampai bulanan dalam
bertugas. Sehingga frekuensi bertemu dengan keluarga lebih
jarang. Pekerjaan sopir container ini pada umumnya adalah lakilaki.

2.4 Kawasan Berikat Nusantara (KBN)


PT Kawasan Berikat Nusantara (persero) (PT KBN)
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan
pemerintah Indonesia untuk mengelola kawasan Industri terpadu
berstatus berikat yang berfungsi sebagai kawasan proses Ekspor
maupun industri umum lainnya tanpa tujuan ekspor.
Kawasan Marunda terletak di tepi pantai utara Jakarta dan
berjarak sekitar 3km dari pelabuhan Tanjung Priok. Awalnya
memiliki luas areal 413,35 Ha yang terdiri dari 103,6 Ha
berstatus berikat, 297,80 berstatus non-berikat, dan sisanya

25

11,95 Ha berupa lahan Sarang Bango dan Eks Sudirja. Tetapi saat
ini luas Kawasan menjadi 393,89 Ha, karena sebagian areal
dijadikan pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk proyek Banjir
Kanal Timur.
PT KBN menyediakan tiga lokasi kawasan industri yang
paling strategis di Jakarta, untuk investasi, usaha manufaktur
dan logistik yang sangat dekat dengan tol lingkar luar untuk
menuju pelabuhan laut maupun udara. Kawasan tersebut adalah,
kawasan Cakung seluas 176,7 Ha, kawasan Marunda seluas
413,8 Ha, dan kawasan Tanjung Priok seluas 8 Ha.
Sedangkan Kawasan Berikat Nusantara Marunda terdiri dari
pabrik-pabrik dan pergudangan umum. Ditempat inilah sopir
container beroperasi setiap harinya untuk membawa angkutan
barang, baik barang import maupun eksport. KBN Marunda
seluas 413,8 Ha berbatasan langsung dengan:
Utara : Kampung Nelayan (diskotik, bar kafe), Laut
Selatan

: Sarang Bango

Barat : Rawa Malang


Timur : Sungai tiram
Disebelah

utara

KBN

berbatasan

langsung

dengan

Kampung Nelayan, di tempat ini terdapat bar, diskotik atau kafe


tempat minum-minuman keras. Sedangkan disebelah Barat
berbatasan dengan Kali Rawa Malang, sekitar 2 km dari daerah

26

Kawasan terdapat tempat lokalisasi yang dikenal dengan sebuta


Rawa Malang.

2.5

Determinan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS


Perilaku seksual berisiko HIV/AIDS yang sudah diidentifikasi sebagai

faktor utama dalam penyebaran HIV/AID, semenjak itu dilakukan berbagai


penelitian dengan menggunakan berbagai model teori agar dapat mencegah dan
menekan perilaku seksual berisiko. Dalam sebuah literarur, dikatakan bahwa
terdapat tiga teori yang mempunyai dampak yang bagus dalam perubahan perilaku
seksual berisiko HIV/AIDS, tiga teori tersebut adalah Health Belief Model
(Becker dan Rosentock, 1974, 1988), Theory of Reasoned Action (Ajzen dan
Fishbein, 1980) dan teori Social Leraning Bandura (1977) (Anette, 2011).
Sedangkan Fisher dan J. Fisher mengemukakan teorinya yang dikenal dengan
Information, Motivation, Behavioral Skills (IMB) model, merupakan model
penyempurnaan dari ketiga teori di atas, teori ini juga dirancang untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku. (Fisher dan J. Fisher,
1992).

2.5.1 Health Belief Model (HBM)


Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock
(1974) merupakan teori yang dibangun pada 1950, yaitu
salah

satu

teori

yang

digunakan

untuk

mendukung

intervensi dalam perubahan perilaku. Teori ini mempunyai


beberapa konsep utama dalam memeprediksikan mengapa

27

seseorang

mau

melakukan

perilaku

tertentu.

Konsep

tersebut (Glanz, Barbara dkk., 2008) adalah:


1. Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai
kerentanan mereka terhadap suatu penyakit.
2. Perceived severity atau seriousness: penilaian individu
mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi
yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
3. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar
hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku
kesehatan

yang

disarankan,

finansial, fisik, dan psikososial.


4. Perceived benefits: penilaian

seperti

hambatan

individu

mengenai

keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku


kesehatan yang disarankan.
Teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan
dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap
perilaku kesehatan, (Glanz, Barbara dan Viswanath, 2008)
diantaranya adalah:
1) Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin,
ras, pekerjaan, dsb.
2) Variabel sosio-psikologis,
sosial, ekonomi, dsb.
3) Variabel
struktural,

seperti

seperti

kepribadian,
pengetahuan,

pengalaman, dsb.
5. Self Efficacy: keyakinan individu untuk melakukan
tindakan perilaku kesehatan.
6. Cues to action: pengaruh

dari

luar,

dalam

28

mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan,


seperti pemberian informasi melalui media massa,
artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli.
Modifikasi Faktor

Individual Beliefs
Persepsi
kerentanan dan
keseriusan
terhadap
penyakit
Persepsi
terhadap
keuntungan
yang
didapat
Persepsi

Demografi
Umur
Jenis
Kelamin
Etnis
Ekonomi
sosial

Action
Persepsi
terhadap
ancama
n
Perilaku
Kesehata
n
Cues to
action
(paparan
dari luar)

terhadap
hambatan
Persepsi
keyakinan untuk
berperilaku
sehat

Gambar 2.2 Health Belief Model oleh Becker dan


Rosenstock (1974)
Dari modifikasi teori HBM oleh Rosentock (1974) ini,
diketahui salah satu yang berperan dalam perubahan
perilaku adalah variabel demografi, meskipun variabel ini
tidak berpengaruh secara
perilaku, namun
penting

dalam

variabel

langsung dalam perubahan


ini

menentukan

mempunyai
persepsi

peran yang

seseorang

(baik

persepsi keuntungan ataupun persepsi hambatan) dalam


kesehatan. Adapun variabel demografi antara lain adalah
umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan.

29

2.5.2 Information

Motivation

Behavioral

Skills

(IMB)

Model
Information Motivation Behavioral Skills (IMB) Model
diperkenalkan oleh Fisher dan J.Fisher tahun 1992, model
ini dirancang untuk mengubah perilaku berisiko yang
dapat

menyebabkan

penularan HIV/AIDS. IMB model

berpendapat bahwa informasi, motivasi, dan keterampilan


berperilaku

merupakan

faktor

utama

yang

dapat

mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap


HIV/AIDS. Melalui informasi, motivasi, dan keterampilan
berperilaku untuk mengurangi risiko penularan, perilaku
pencegahan terhadap HIV/AIDS juga lebih mudah terwujud
(Fisher, 1992)
Teori ini pada awalnya dirancang untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan
HIV/AIDS pada remaja, namun teori ini dapat digunakan
dalam penelitian lain yang berhubungan dengan perilaku
yang berkaitan dengan kesehatan (DiClemente, dkk., 2002)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
menurut Fisher dan J.Fisher adalah sebagai berikut:
1. Informasi
Menurut Fisher dan J.Fisher, informasi yang dimaksud
adalah

pemahaman/

penyakit,

kondisi

pengetahuan
kesehatan,

dasar
maupun

mengenai
perilaku

30

pencegahan yang dianjurkan, baik itu cara maupun


sarana untuk mencapai perubahan perilaku. Informasi
merupakan

determinan

menentukan

perilaku

paling

kesehatan,

penting
terdiri

dalam

dari

data

relevan yang dapat mempengaruhi kinerja perilaku


kesehatan oleh individu dalam keberadaan sosialnya.
Contoh

informasi

dalam

hal

ini

adalah

individu

mengetahui bahwa penggunaan kondom mencegah


penyebaran infeksi HIV (J.Fisher and Fisher, 1992).
Menurut Fisher dan J.Fisher, informasi dapat
mempengaruhi perilaku kesehatan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Menurut teori ini, informasi erat
kaitannya dengan keterampilan berperilaku, selain itu
informasi juga dapat mempengaruhi motivasi secara
langsung (DiClemente dkk., 2002).
2. Motivasi
Menurut Fisher dan J.Fisher, motivasi adalah salah
satu

faktor

penentu

dalam

perilaku

pencegahan,

apakah sebuah informasi yang baik dapat memotivasi


seorang individu untuk cenderung melakukan perilaku
pencegahan. Menurut model ini (J. Fisher dan Fisher,
1992, 2000) motivasi perubahan perilaku terdiri dari
dorongan individu dan sosial yang didasarkan pada
sikap terhadap perilaku kesehatan, norma subjektif,
(Fishbein dan Ajzen, 1975) dan beberapa elemen dari

31

Health Belief Model (persepsi mengenai kerentanan


terhadap penyakit, keuntungan dan hambatan dari
perilaku pencegahan, 'biaya' yang ditimbulkan dari
perilaku berisiko). Motivasi sosial didasarkan pada
norma sosial, persepsi individu mengenai dukungan
sosial, serta adanya saran dari orang lain (Rosentock,
1996).
Motivasi disini merupakan sebuah katalis dalam
menentukan

perilaku

individu

dalam

berperilaku

kesehatan, apakah informasi yang didapatkan akan


cenderung digunakan untuk berperilaku kesehatan atau
sebaliknya. Disamping itu motivasi erat kaintannya
dengan keterampilan berperilaku yang juga menjadi
salah satu faktor perilaku kesehatan individu (W.Fisher,
J.Fisher dan Harman, 2006).
3. Behavioral Skills (Keterampilan Berperilaku)
Sementara
itu
keterampilan
berperilaku
merupakan

kemampuan

tindakan

pencegahan,

merundingkan

untuk

indvidu

tidak

untuk

seperti

melakukan
kemampuan

melakukan

hubungan

seksual, mendesak untuk menggunakan kondom dan


lain-lain.

Keterampilan

berperilaku

ini

memastikan

bahwa seseorang mempunyai keterampilan, alat, dan


strategi

untuk

berperilaku

yang

didasarkan

pada

keyakinannya (self efficacy) dan perasaan bahwa ia

32

dapat mempengaruhi keadaan atau situasi (perceived


behavioral control) untuk melakukan perilaku tersebut.
Keterampilan berperilaku merupakan prasyarat yang
menentukan

apakah

informasi

dan

motivasi

yang

bagus mampu mendorong tindakan pencegahan atau


perubahan perilaku yang efektif (Fisher dan J. Fisher,
1992).
Fisher menjadikan behavioral skills sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan seseorang individu
untuk

melakukan

tindakan

perilaku

pencegahan

diadopsi dari teori Bandura (1989), dan Lawrence


(1988).
Model ini beranggapan bahwa informasi dan
motivasi
secara

masing-masing
langsung.

dapat

Disamping

memiliki
itu,

pengaruh

keterampilan

berperilaku menjadi jembatan penghubungn antara


informasi dan motivasi dalam menentukan perilaku
kesehatan individu. Oleh karena itu informasi dan
motivasi

secara

tidak

langsung

juga

dapat

mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Model


ini

juga

berpendapat

mempengaruhi

motivasi

bahwa

informasi

seseorang,

begitu

dapat
juga

sebaliknya. Sedangkan keterampilan berperilaku secara


langsung mempengaruhi perilaku pencegahan individu

33

(J.Fisher dan Fisher, 1992, 1994, 2000). Model ini dapat


dipahami melalui gambar 2.2 berikut:

Informasi
Perilaku
Pencegahan
Motivasi
HIV
Gambar 2.3 IMB Model, Fisher dan J.Fisher 1992
Keterampilan
Berperilaku

2.6

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku

Pencegahan HIV/AIDS
2.6.1 Informasi
Informasi atau pengetahuan yang dimiliki responden
dapat mempengaruhi perilaku pada diri individu. Penelitian
yang dilakukan oleh Kristawansari (2013)
dengan

pengetahuan

tinggi

responden

melakukan

tindakan

pencegahan HIV/AIDS lebih baik (23,5%) dibandingkan


dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah
(0%) (Kristawansari, 2013).
Penelitian yang dilakukan Juliastika, dkk. (2011), yang
menyatakan

bahwa

terdapat

hubungan

antara

pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan tindakan terhadap


penggunaan kondom pria pada wanita pekerja seks.
2.6.2 Motivasi
Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang
artinya

mendorong

atau

menggerakkan.

Motivasi

mendorong seseorang untuk berperilaku atau beraktifitas

34

dalam pencapaian tujuan. Fitriani (2011) mendefinisikan


motivasi sebagai sebuah dorongan untuk bertindak dalam
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan hasil dorongan dan
gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. (Hendrian,
2015).
Motivasi terdiri dari sikap, norma subjektif, dan
persepsi

kerentanan

terhadap

terhadap

perilaku

pencegahan (Fisher dan J. Fisher. 1992). Penelitian yang


dilakukan Mutia, 2008 menyatakan bahwa salah satu faktor
yang

mempengaruhi

perilaku

pencegahan

adalah

pengaruh teman, norma subjektif yang diyakini, dan


agama yang kuat. Dari faktor inilah diketahui apakah
motivasi (dorongan individu dan social serta persepsi
sehat) dapat berperan dalam melakukan perilaku sehat.
Penelitian yang dilakukan oleh Knipper dkk. (2007)
menyatakan bahwa sikap individu untuk melakukan suatu
tindakan pencegahan, maka semakin tinggi pula individu
tersebut melakukan tindakan yang positif. Begitu juga
dengan

penelitian

(2013),

bahwa

yang

perilaku

dilakukan

oleh

pencegahan

Kristawansari

HIV/AIDS

pada

responden yang memiliki sikap yang baik ada 5,9%


sementara pada responden dengan sikap yang kurang
tidak memiliki perilaku pencegahan sama sekali.
2.6.3 Keterampilan berperilaku (Behavoral Skills)
Penelitian yang dilakukan Angela dkk,

(2001)

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

35

antara

keterampilan

berperilaku

dengan

perilaku

pencegahan (konsistensi penggunaan kondom) pada sopir


truk di India. Peneliatian yang dilakukan oleh Corman dkk.
(2007) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara keterampilan berperilaku dengan perilaku
penggunaan kondom
Penelitian yang dilakukan oleh Godin dkk. (2005)
menyatakan bahwa keyakinan seseorang untuk melakukan
sesuatu tindakan yang diinginkan (self efficacy) dan
perasaan dapat mempengruhi keadaan/situasi (perceived
behavioral

control)

merupakan

faktor

yang

dapat

mempengaruhi perilaku penggunaan kondom. Penelitian


yang dilakukan Bachanas, dkk (2002) dan Knipper dkk.
(2007)

menyatakan

bahwa

self

efficacy

dapat

mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS.


2.6.4 Umur
Penderita AIDS paling banyak ditemukan pada kelompok usia
produktif antara 20 29 tahun (34,5%), kemudian diikuti oleh umur 30
39 (28,7%) tahun dan disusul oleh kelompok umur 40 49 tahun (10,6%)
(P2PL, 2013). Pada rentang umur 20 49 tahun adalah masa dimulainya
usia produktif dan berada dalam kategori usia seksual aktif dengan
dorongan seks yang juga tinggi. Bila tidak disalurkan dengan benar,
dorongan seksual yang tinggi ini dapat memicu seseorang untuk
melakukan perilaku seksual berisiko.

36

Penelitian yang dilakukan oleh Li dkk. (2007) mengenai perilaku


seksual berisiko HIV/AIDS pada penduduk desa berumur 18 40 tahun di
Cina menyatakan bahwa semakin tinggi umur, semakin tinggi potensi
untuk melakukan perilaku seksual berisiko. Hasil Surveilans Terpadu HIV
dan Perilaku (STHP) 2006 di Papua juga menunjukkan prevalensi HIV
pada penduduk Papua yang berusia antara 40 49 tahun melakukan
perilaku seksual berisiko (3,4%).

Angka

tersebut

paling

tinggi

dibandingkan penduduk pada kelompok umur 15 24 tahun (3%) dan 25


29 tahun (2%). Umur yang lebih tua lebih mencerminkan pengalaman
berisiko yang lebih tinggi untuk terkena HIV, sehingga dapat dimengerti
prevalensi HIV pada kelompok umur ini jauh lebih tinggi.
2.6.5 Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi tingkat penerimaan
dan respon seseorang terhadap suatu informasi. Semakin
tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan menyerap
informasi

pesan

(Notoadmodjo,
didapatkan

kesehatan

2007).

akan

juga

Sedangkan

mempengaruhi

semakin

baik

informasi

yang

seseorang

untuk

bertindak atau melakukan suatu perilaku kesehatan.


Hasil STHP (2006) di Papua menunjukkan persentase penggunaan
kondom sewaktu berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap pada
penduduk yang berpendidikan SMA dan universitas jauh di atas persentase
penggunaan kondom pada penduduk yang berpendidikan di bawahnya.
2.6.6 Status Pernikahan

37

Menurut STPB (2007) sopir truk dan anak buah kapal merupakan
kelompok paling berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yang berasal dari
hubungan seksual dengan WPS. Dari kelompok tersebut 55 87%
berstatus menikah.
Hasil penelitian Angela (2001), Cornman dkk. (2007), Mutia (2008)
menyatakan bahwa individu yang sudah menikah memiliki perilaku
seksual yang berisiko HIV/AIDS. Penelitian ini juga menyatakan bahwa
penggunaan kondom pada responden yang sudah menikah lebih rendah
dibandingkan dengan responden yang belum menikah. Artinya perilaku
pencegahan dengan status belum menikah lebih baik dari status yang
sudah menikah.
2.6.7 Frekuensi Pulang ke Rumah
Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi yang
berisiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh jauh dari istri, keluarga dan juga
masyarakat (Rokhmah, 2014).
Fauziah, dalam Buletin Pekerja Migran dan HIV/AIDS (2007),
menyatakan bahwa kondisi jauh dari pasangan karena ikatan kontrak kerja
yang panjang sering menyebabkan sebagian TKI tergoda untuk
melakukan hubungan seksual baik dengan sesama TKI maupun dengan
tenaga kerja dari negara lain, heteroseksual maupun homoseksual. Masa
kerja yang panjang tanpa ada kesempatan untuk pulang menjenguk
keluarga dapat memicu kesepian dan kebosanan yang menimbulkan
tekanan batin bagi para pekerja migran, begitu juga dengan kebutuhan
seksual yang tidak terpenuhi.
Menurut Lestari (2005), semakin lama berpisah dengan istri
dan keluarga memberikan kesempatan pada sopir truk
berperilaku seks tidak aman dan keharmonisan dalam

38

keluargapun semakin berkurang. Dorongan seksual yang


tinggi dan kondisi jauh dari istri menjadikan sopir truk
melakukan praktik hubungan seksual dengan wanita lain
dikarenakan kebutuhan biologis yang tidak tertahankan,
sehingga frekuensi bertemu isteri dapat mempengaruhi
perilaku pencegahan HIV/AIDS (Lestari, 2005).
2.7

Kerangka Teori
Kerangka teori pada peneltian ini mengacu pada teori Information,

Motivation and Behavioral Skills (IMB) oleh Fisher dan J. Fisher (1992) dan
Helath Belief Model (HBM) oleh Becker dan Rosentock (1974). Melalui
modifikasi dua teori ini, diharapkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku seksual berisiko pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara
(KBN) Jakarta Utara, dapat diketahui.

Adapun modifikasi kedua teori tersebut adalah sebagi berikut:


Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian
Informasi

Modifikasi
Faktor
-

Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Status Pernikahan
Frekuensi pulang
ke daerah asal
Suku/ etnis
Pekerjaan
Penghasilan

Keterampilan
Berperilaku

Perilaku
Pencegahan
HIV/AIDS

39

Motivasi

Faktor persepsi individu (individual belief) pada teori HBM,


menurut Fisher dan J.Fisher dalam teori IMB merupakah salah
satu komponen motivasi. Oleh sebab itu, persepsi individu yang
meliputi

penilaian

(suscebtibility),

individu

keseriusan

terhadap
(severity),

kerentanan

penyakit

keuntungan

(benefit),

hambatan dan ancaman (barriers) dapat digabungkan ke dalam


variabel motivasi yang dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung.
Sedangkan faktor cues to action dalam teori HBM yang
mempengaruhi perilaku secara langsung (yaitu faktor yang
berasal dari luar yang disarankan seperti pemberian informasi
melalui media massa) dalam teori IMB merupakan salah satu
komponen variabel informasi. Oleh sebab itu, faktor cues to
action (paparan dari luar atau penyuluhan) merupakan bagian
variabel informasi. Karena dalam teori IMB informasi juga
mempengaruhi perilaku secara langsung.
Faktor self efficacy (keyakinan individu untuk melakukan
suatu perilaku) dalam teori IMB dinamakan dengan faktor
behavioral skills (keterampilan berperilaku). Dalam teorinya,

40

Fisher dan J.Fisher menjelaskan bahwa keterampilan berperilaku


merupakan kemampuan individu untuk melakukan tindakan
pencegahan,

dan

keterampilan,

alat,

memastikan
dan

strategi

seseorang
untuk

mempunyai

berperilaku

yang

didasarkan pada keyakinan (self efficacy). Dengan begitu, self


efficacy dalam teori HBM merupakan variabel keterampilan
berperilaku

pada

teori

IMB,

yang

secara

langsung

dapat

mempengaruhi suatu perilaku.

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS

41

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka teori yang mengacu pada teori IMB
(Fisher dan J. Fisher, 1992) dan HBM (Becker dan Rosentock,
1974), dimana perilaku pencegahan HIV/AIDS dapat dipengaruhi
oleh faktor informasi, motivtivasi, keterampilan berperilaku
(behavioral skills) dan faktor modifikasi. Dalam penelitian ini
disusun kerangka konsep yang disesuaikan dengan karakteristik
penelitian, yaitu:
1. Faktor Informasi
Faktor informasi meliputi pengetahuan seputar HIV/AIDS yang
terdiri dari cara penularan, cara pencegahan dan cues to
action (paparan penyuluhan dari luar).
2. Faktor Motivasi
Faktor motivasi terdiri dari persepsi kerentanan, sikap dan
norma social yang terdiri dari pengaruh teman dan agama.
3. Faktor Keterampilan berperilaku
Faktor keterampilan berperilaku terdiri dari persepsi keyakinan
untuk berperilaku sehat (self efficacy).
4. Faktor Modifikasi
Faktor demografi meliputi umur,

pendidikan,

status

pernikahan, dan frekuensi pulang ke rumah. Sedangkan


variabel jenis kelamin tidak diteliti, karena semua sopir
container berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan
variabel suku, pekerjaan, dan penghasilan. Semua variabel
tersebut bersifat homogen.

42

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada


gambar 3.1 berikut:

Informasi
Motivasi

Keterampilan Berperilaku
(behavior Skills)

Faktor Modifikasi
- Umur
- Pendidikan
- Status Pernikahan
- Frekuensi pulang ke rumah

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Perilaku
Pencegahan
HIV/AIDS

43

3.2 Definisi Operasional


No.

Variabel

Definisi

1.

Perilaku

Responden

Pencegahan

seksual

HIV/AIDS

pasangan dengan selain pasangan tetap

aman,

dengan

menggunakan

yang
yang

melakukan
aman,

penggunaan

hubungan

Alat Ukur

Hasil Ukur

Kuesioner

1. Baik,

berganti-ganti
kondom

Pengukur
an

jika

melakukan

Ordinal

hubungan seksual yang

secara

konsisten.

secara

dan
kondom

konsisten

berhubungan

saat

dengan

selain pasangan tetap.


2. Buruk, jika responden
melakukan
seksual

berisiko,

tidak

menggunakan

kondom
konsisten
berhubungan
2.

Informasi

Pengetahuan yang didapatkan responden


mengenai

HIV/AIDS

(penyebab,

cara

pencegahan, cara penularan, dan paparan

Kuesioner

perilaku
dan

secara
saat
dengan

selain pasangan tetap.


1. Cukup jika median
2. Kurang jika < median
Median = 8,00

Ordinal

44

penyuluhan).

3.

Motivasi

Dorongan

yang

berasal

dari

persepsi

Kuesioner

individu dan norma social, serta sikap sopir


container

terhadap

pernyataan

1. Baik jika median


2. Buruk jika < median

Ordinal

yang

berhubungan dengan perilaku pencegahan


HIV/AIDS yang dinyatakan dengan setuju,
Median = 11,00

netral dan tidak setuju.


4.

Keterampilan
Berperilaku

Persepsi

keyakinan

sopir

container

Kuesioner

1. Baik Median
2. Buruk < Median

Ordinal

untuk berperilaku sehat (self efficacy)


yang dinyatakan dengan sangat yakin,
Median = 15,5

yakin, netral, tidak yakin dan sangat


tidak yakin.
5.

Umur

Lama masa hidup responden terhitung dari


waktu

kelahirannya

sampai

Kuesioner

saat

1. < median
2. median

berlangsungnya kegiatan penelitian, dalam


6.

Pendidikan

hitungan tahun
Jenjang pendidikan formal terakhir yang
diselesaikan responden

Median = 27 tahun
Kuesioner

1. Tinggi jika tamat


SMA
2. Rendah Jika tamat
< SMA

Ordinal

45

(Diknas 2003, dalam Ida,


7.

Status

Status

saat

Kuesioner

8.

pernikahan
Frekuensi

penelitian berlangsung
Rentang waktu responden bertemu isteri

Kuesioner

pulang

ke

perkawinan

responden

dan keluarga dalam hitungan bulan

2010)
1. Belum Menikah
2. Menikah
1. < Median
2. Median

rumah
Median = 2 bulan sekali

Ordinal
Ordinal

46

3.3 Hipotesis Penelitian


1. Ada hubungan antara informasi dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta
Utara tahun 2014.
2. Ada hubungan antara motivasi dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta
Utara tahun 2014.
3. Ada hubungan antara

keterampilan

berperilaku

dengan

perilaku

pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara


(KBN) Marunda, Jakarta Utara tahun 2014.
4. Ada hubungan antara umur dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada
sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta Utara
tahun 2014.
5. Ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Jakarta
Utara tahun 2014.
6. Ada hubungan antara status pernikahan

dengan perilaku pencegahan

HIV/AIDS pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN)


Marunda, Jakarta Utara tahun 2014.
7. Ada hubungan antara frekuensi pulang ke rumah dengan perilaku pencegahan
HIV/AIDS pada sopir container di Kawasan Berikat Nusantara (KBN)
Marunda, Jakarta Utara tahun 2014.

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

47

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, dimana variabel
dependen dan variabel independen diukur dalam waktu yang bersamaan ketika
penelitian berlangsung. Penelitian ini bersifat analitik karena akan melihat
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Jakarta Utara
pada bulan Mei Desember 2014. Pengambilan data dilakukan sewaktu jam
istirahat atau ketika sopir sedang tidak melakukan aktifitas di lingkungan
penelitian.
Kawasan Berikat Nusantara Marunda adalah salah satu Cabang PT. KBN
yang mempunyai akses ke pelabuhan dan tol lingkar luar seluas 413,8 Ha, ratusan
transportasi memasuki kawasan ini setiap harinya, khususnya truk Container.

4.3 Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi
Menurut Sugiono (2009), populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Sedangkan menurut Sabri (2008), populasi adalah
keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang dilakukan. Dari definisi di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi adalah keseluruhan dari objek
penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sopir container yang

48

keluar-masuk (beroperasi) wilayah Kawasan Berikat Nusantara pada bulan


Mei Desember 2014.
4.3.2 Sampel
Menurut Sugiono (2009), sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi dan bersifat
representatif. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian
sopir container di Marunda Jakarta Utara, dengan kriteria
inklusi sebgai berikut:
a. Responden
selama

adalah

penelitian

sopir

container

berlangsung

yang

yang

beroperasi

sudah

bekerja

menjadi sopir minimal selama tiga tahun.


b. Responden adalah sopir container yang bersedia dan
setuju untuk menjawab kuesioner.
Sedangkan kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:
a. Responden yang tidak beroperasi selama penelitian
berlangsung dan belum bekerja sebagai sopir minimal
tiga tahun.
b. Responden yang tidak bersedia atau tidak setuju untuk
menjawab kuesioner.
4.3.2a Teknik Sampel
Menurut Dahlan (2010), secara garis besar pengambilan sampel
dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu probability
sampling

dan

nonprobability

sampling.

Probability

sampling

merupakan cara ideal sehingga sebisa mungkin cara ini digunakan


dalam setiap penelitian yang dilakukan. Sedangkan dalam penelitian ini,
peneliti tidak dapat menggunakan teknik probability sampling, karena

49

tidak memenuhi syarat karena tidak adanya sampling frame. Sehingga


teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik consecutive
sampling yang merupakan salah satu pengambilan sampel dengan cara
nonprobability sampling.
4.3.2b Besar Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 orang
responden. Pengambilan sampel dihitung menggunakan rumus uji
hipotesis beda dua proporsi:

[Z1-/2 2P (1 P) + Z1- P1 (1 P1) + P2 (1 P2)]2

(P1 P2)2

=
dimana:

= besar sampel minimal

Z1-/2

= derajat kemaknaan pada dua sisi (two tail)


sebesar 5% = 1,96

Z1-

= kekuatan uji 1- yaitu sebesar 80% = 0,84

= rata-rata proporsi pada populasi

P1

= proporsi pencegahan HIV/AIDS dengan


keterampilan berperilaku baik (64,23% dalam
penelitian Roy, dkk., 2010)

P2

= proporsi pencegahan HIV/AIDS dengan


keterampilan berperilaku buruk (25,14% dalam
penelitian Roy, dkk., 2010)

[1,96 2 (0,445) (1 0,445) + 0,84 0,64 (1 0,64) + 0,25 (1 0,25)]2


n=
n=

(0,64 0,25)2

50

n=

24,060 = 25
25 x 2 = 50 responden
Berdasarkan perhitungan, maka sampel minimal yang

dibutuhkan

sebanyak

50

orang

responden.

Dengan

deminikian untuk mengantisipasi adanya missing jawaban


dari responden, maka peneliti menambahkan jumlah sampel
yang dibutuhkan, sehingga jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah 72 orang.

4.4 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data
primer yang diperoleh langsung melalui pengumpulan data
dengan kuesioner, yang meliputi variabel informasi, motivasi,
keterampilan berperilaku, umur, pendidikan, status pernikahan,
dan frekuensi pulang ke rumah.

4.5 Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data primer dengan alat bantu kuesioner. Jenis
pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan tertutup dan terbuka. Pada saat
pengumpulan data, peneliti dibantu oleh dua orang tenaga relawan yang
sebelumnya telah diberi pengarahan. Tenaga relawan ini adalah mahasiswa LP3I
Jakarta Utara, dan juga salah satu sopir container yang ada di Kawasan Berikat
Nusantara Marunda. Total tenaga pengumpul data adalah 3 orang termasuk

51

dengan peneliti. Pada saat pengumpulan data, kuesioner dibacakan oleh tenaga
pengumpul data.

4.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang
wawancara, atau pengamatan, atau daftar pertanyaan yang
dipersiapkan untuk mendapatkan informasi dari responden.
Instrumen

peneltian berupa

kuesioner

(daftar pertanyaan),

formulir, observasi, dan formulir-formulir lain yang berkaitan


dengan pencatatan data dan sebagainya (Notoadmodjo, 2005
dan Gulo, 2000). Pada penelitian ini yang digunakan sebagai
instrumen peneltian adalah lembar kuesioner untuk memperoleh
informasi.

4.7 Manajemen Data


Menurut
serangkaian

Amran
tahapan

(2012).
yang

Manajemen

harus

data

dilakukan

merupakan

analisis

atau

interpretasi yang terdiri dari tahap berikut:


1. Data Coding
Data coding merupakan kegiatan mengklasifikasikan data
dan memberi kode jawaban untuk masing-masing kelas sesuai
dengan tujuan pengumpulan data. Data coding sudah harus
mulai

dipikirkan

dan

dikembangkan

pada

mengembangkan instrumen penelitian (kuesioner).

saat

52

Dalam penelitian ini koding data adalah merubah data


berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan.
Misalnya koding pada variabel pendidikan, 1=SD, 2=SMP,
3=SMA, 4=PT
2. Data Editing
Editing adalah penyuntingan data, dilakukan sebelum proses pemasukan
data. Penyuntingan data sebaiknya dilakukan di lapangan, agar data yang
salah/ meragukan masih dapat ditelusuri kembali kepada responden yang
bersangkutan.
Data editing pada penelitian ini merupakan kegiatan untuk melakukan
pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban yang ada di
kuesioner sudah:
a. Lengkap: mengecek kembali isi semua pertanyaan pada kuesioner, apakah
semua pertanyaan sudah dijawab dengan lengkap.
b. Jelas: mengecek kembali jawaban pertanyaan, apakah jawaban sudah jelas
terbaca tulisannya
c. Relevan: mengecek kembali apakah jawaban yang tertulis sudah relevan
dengan pertanyaan.
d. Konsisten: antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawabannya
konsisten.
Misalnya, pada perlaku seksual berisiko, responden menjawab tidak
mempunyai pasangan selain pasangan sah, namun responden menjawab
melakukan hubungan seksual dengan 3 orang dalam 1 bulan terakhir.
3. Data Stucture
Data Stucture dikembangkan sesuai dengan analisis yang
akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang digunakan.
Pada saat mengembangkan data stucture, masing-masing
variabel perlu ditetapkan nama, skala ukur variabel, jumlah
digit.
4. Data Entry

53

Data Entry adalah proses memasukkan data dari hasil yang


didapatkan dalam instrument penelitian ke dalam program
atau fasiliitas analisis data. Program anlisis data yang
digunakan pada penelitian ini adalah epi data dan SPSS versi
16.0.
5. Data Cleaning
Data cleaning merupakan proses pembersihan data setelah
data dientri. Cara yang sering dilakukan adalah dengan
melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya.

4.8 Analisis Data


Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat menggunakan uji statistik deskriptif untuk melihat
gambaran distribusi frekuensi variabel dependen dan independen (informasi,
motivasi, keterampilan berperilaku, umur, pendidikan, status pernikahan,
frekuensi pulang ke rumah, dan perilaku seksual berisiko).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara satu
variabel dependen dengan variabel independen. Karena semua variabel
dependen dan independen pada penelitian ini berbentuk kategorik, maka
analisis bivariat yang digunakan adalah uji chi square dengan derajat
kemaknaan () 0,05. Uji chi square melihat hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen dengan membandingkan nilai p-value

54

dengan nilai . Jika diperoleh nilai p-value < 0,05, maka secara statistik
variabel independen tersebut berhubungan dengan variabel dependen.

BAB V
HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini menguraikan satu persatu hasil uji statistik seluruh
variabel secara berurutan. Menguraikan analisis univariat, yang meliputi frekuensi

55

seluruh variabel penelitian, baik variabel dependen maupun variabel independen,


dan juga menampilkan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen.
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Perilaku Pencegahan HIV/AIDS Sopir Container di KBN Marunda Tahun
2014
Tabel 5.1
Distribusi Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir Container
Di KBN Marunda Tahun 2014
Perilaku Pencegahan

Baik
Buruk

37
35

51.4
48.6

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui dari 72 responden, sopir container yang


melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik (51,4%) lebih tinggi
dibandingkan dengan sopir yang melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang
buruk (48,6%).

Tabel 5.2
Distribusi Perilaku Seksual Sopir di KBN Marunda
tahun 2014
Perilaku Seksual Sopir Container
Sudah pernah berhubungan seks
Sudah dengan berapa orang:
1 orang
2 orang
3 orang

41

56.9

8
3
2

11.1
4.2
2.8

56

5 orang
> 5 orang
Tidak ingat
Tidak terhitung

2
11
6
9

2.8
15.2
8.3
12.5

Memiliki pasangan seksual tetap

29

40.3

Berganti-ganti pasangan dengan selain pasangan tetap

23

31.9

Menggunkan kondom ketika berhubungan seks


Selalu
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah

1
1
10
11

4.3
4.3
43.5
47.8

Berdasarkan tabel 5.2, diketahui dari 72 orang responden, 56,9% sudah


pernah melakukan hubungan seksual. Responden yang sudah pernah melakukan
hubungan seksual dengan 1 orang ada sebesar 11,1%, pernah melakukan
hubungan seksual dengan 2 orang ada sebesar 4,2%, dengan 3 orang ada sebesar
2,8%, dengan 5 orang ada sebesar 2,8%, dengan pasangan seksual lebih dari 5
orang sebesar 15,2%, 8,3% tidak ingat sudah dengan berapa orang, dan 12,5%
dengan pasangan yang sudah tidak terhitung. Diantara responden yang sudah
pernah melakukan hubungan seksual terdapat 40,3% responden yang sedang
memiliki pasangan tetap.
Sebesar 31,9% responden melakukan hubungan seksual dengan selain
pasangan tetap (berganti-ganti pasangan selain isteri atau pasangan yang sah).
Diantara responden yang sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan
selain pasangan tetap, diketahui persentase responden yang selalu menggunakan
kondom ada sebesar 4,3%, sering menggunakan kondom sebesar 4,3%, kadangkadang menggunakan kondom sebesar 43,5%, dan tidak pernah menggunakan
kondom sebesar 48,7%.
Tabel 5.3
Distribusi Informasi Sopir Container terhadap

57

Tempat Mangkal para Pekerja Seks


Informasi tempat mangkal dan
Kunjungan ke tempat tersebut

Ya
n

Tahu tempat tempat mangkal pekerja seks


Pernah mengunjungi tempat tersebut (bar/
kafe/ prostitusi)

54
33

Tidak

%
75.0
45.8

18
39

25.0
54.2

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa 75,0% responden mengetahui bar/


kafe dan tempat lokalisasi yang berada di sekitar Kawasan Berikat Nusantara, dari
responden yang mengetahui tempat tersebut 45,8% responden menjawab pernah
mengunjungi tempat tersebut.
Tabel 5.4
Gejala-gejala Umum IMS yang dialami Sopir Container
Gejala Umum IMS
Rasa sakit/ panas saat buang air kecil
Kelaur nanah dari saluran kencing
Timbul pembengkakan atau benjolan pada selangkangan paha
Timbul luka, lecet, borok, bintil-bintil, atau benjolan pada
kemaluan

25
9
11
11

34.7
12.5
15.3
15.3

Berdasarkan tabel 5.4, diketahui responden yang mengalami gejala-gejala


umum HIV/AIDS, terdapat 34,7% mengalami rasa sakit/ panas saat buang air
kecil, 12,5% mengalami kelaur nanah dari saluran kencing, 15,3% mengalami
timbul pembengkakan atau benjolan pada selangkangan paha, 15,3% mengalami
timbul luka, lecet, borok, bintil-bintil, atau benjolan pada kemaluan.
5.1.2 Variabel Independen
1. Gambaran Informasi Sopir Container tentang HIV/AIDS di KBN Marunda
2014
Tabel 5.5
Distribusi Pengetahuan Tentang HIV/AIDS pada Sopir Container
di KBN Marunda Tahun 2014

58

Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Tahu mengenai HIV/AIDS


Tidak tahu mengenai HIV/AIDS

55
17

76.4
23.6

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.5, diketahui dari 72 responden yang menyatakan tahu


mengenai HIV/AIDS lebih banyak (76,4%) dibandingkan dengan sopir yang
menyatakan tidak tahu mengenai HIV/AIDS (23,6%).
Sebanyak 76,4% yang menyatakan tahu tentang HIV/AIDS mendapatkan
informasi seputar HIV/AIDS tersebut dari berbagai sumber yang dapat dilihat
pada table 5.6 berikut:
Tabel 5.6
Distribusi Sumber Informasi Sopir Container terkait HIV/AIDS
di KBN Marunda Tahun 2014
Sumber Informasi:

Media massa (TV, radio, koran, majalah)


Petugas kesehatan/ penyuluhan
Internet
Keluarga/ teman

36
9
7
3

50.0
12.5
9.7
4.2

Total

55

76,4

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sumber informasi sopir terkait


HIV/AIDS berasal dari media massa (TV, radio, Koran dan majalah) sebesar 50%,
informasi HIV/AIDS berasal dari petugas kesehatan / penyuluhan sebesar 12,5%,
berasal dari internet sebesar 9,7%, dan berasal dari keluarga sebesar 4,2%.
Tabel 5.7
Distribusi penyebab HIV/AIDS yang diketahui Sopir Container
di KBN Marunda Tahun 2014
Penyeban HIV

Bakteri
Virus
Tidak tahu
Lain-lain

14
35
22
1

19.4
48.6
30.6
1.4

Total

72

100

59

Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa sopir yang menjawab bahwa


HIV/AIDS disebabkan oleh bakteri ada 19,4%, 48,6% menjawab bahwa
HIV/AIDS disebabkan oleh virus, 30,6% menjawab tidak tahu, dan 1,4%
menjawab lain-lain.
Tabel 5.8
Distribusi Cara Penularan HIV/AIDS pada Sopir Container
Di KBN Marunda Tahun 2014
Cara Penularan
Benar
Melalui hubungan seks tanpa kondom
Dari ibu yang positif HIV ke bayinya
Jarum suntik
Transfusi darah
Mitos
Gigitan nyamuk
Berciuman
Menggunakan toilet bersama

62
31
45
29

86.1
43.1
62.5
40.3

7
27
15

9.7
37.5
20.8

Berdasarkan tabel 5.8, diketahui jawaban cara penularan HIV yang


benar, terdapat 86,1% responden menjawab bahwa HIV/AIDS dapat
ditularkan melalui hubungan seks tanpa kondom, 43,1% menjawab
HIV/AIDS dapat ditularkan melalui ibu yang positif HIV kepada bayinya,
62,5% menjawab HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik, dan 40,3%
responden menjawab HIV dapat ditularkan melalui transfusi darah.
Sedangkan jawaban yang salah atau mitos, terdapat 9,7% responden
menjawab bahwa HIV dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, 37,5%
menjawab HIV dapat ditularkan melalui ciuman, dan 20,8% menjawab HIV
dapat ditularkan dengan menngunakan toilet bersama.
Tabel 5.9
Distribusi Cara Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir Container

60

Di KBN Marunda Tahun 2014


Cara Pencegahan
Benar
Tidak berhubungan seks
Setia pada satu pasangan
Menggunakan kondom
Tidak menggunakan jarum suntik bergantian
Mitos
Minum antibiotik
Mencuci alat kelamin
Berhubungan seks dengan orang berpenampilan sehat

32
39
41
28

44.4
54.2
56.9
38.9

27
27
18

37.5
37.5
25.0

Berdasarkan tabel 5.9 diketahui jawaban responden yang benar


tentang pencegahan HIV, terdapat 44,4% responden menjawab bahwa HIV
dapat dicegah dengan tidak berhubungan seks, 54,2% responden menjawab
HIV dapat dicegah dengan setia pada satu pasangan tetap, 38,9% menjawab
dengan tidak menggunkan jarum suntik secara bergantian. Sedangkan
jawaban cara pencegahan HIV yang salah, terdapat 37,5% responden
menjawab HIV dapat dicegah dengan minum antibiotik, 37,5% menjawab
HIV dapat dicegah dengan mencuci alat kelamin dan 25,0% menjawab HIV
dapat dicegah dengan berhubungan seks dengan orang berpenampilan sehat.

Tabel 5.10
Distribusi Paparan terhadap Informasi
n

Pernah Mengikuti penyuluhan


Belum pernah mengikuti penyuluhan

9
63

12.5
87.5

Total

72

100

Keterpaparan terhadap Penyuluhan

61

Berdasarkan tabel 5.10 diketahui dari 72 responden, proporsi sopir yang


belum pernah mendapatkan penyuluhan (87,5%), lebih tinggi dibandingkan
dengan sopir yang sudah pernah mendapatkan penyuluhan(12,5%).
Data informasi kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu
informasi cukup ( median) dan informasi kurang (< median). Distribusi
informasi sopir container dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut:
Tabel 5.11
Distribusi Informasi Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Informasi

Cukup
Kurang

51
21

70.8
29.2

Total

72

100

Berdasarkan table 5.11 diketahui dari 72 responden, sopir yang memiliki


informasi cukup lebih tinggi (70,8%) dibandingkan dengan sopir dengan
informasi kurang (29,2%).

2. Gambaran Motivasi Sopir Container di KBN Marunda 2014


Motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu motivasi sopir
container yang baik ( median) dan motivasi yang buruk (< median). Distribusi
motivasi sopir container dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut:
Tabel 5.12
Distribusi Motivasi Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014

62

Motivasi

Baik
Buruk

44
28

61.1
38.9

Total

72

100

Berdasarkan table 5.12 dari 72 responden, proporsi sopir yang memiliki


motivasi yang baik (61,1%), lebih tinggi dibandingkan dengan sopir yang
memiliki motivasi kurang (38,9%).

3. Gambaran Keterampilan Berperilaku Sopir Container di KBN Marunda


2014
Keterampilan berperilaku sopir dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu keterampilan berperilaku baik ( median) dan keterampilan berperilaku
buruk (< median). Distribusi keterampilan berperilaku sopir container dapat
dilihat pada tabel 5.13 berikut:

Tabel 5.13
Distribusi Ketrampilan Berperilaku Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Keterampilan Berperilaku

Baik
Buruk

36
36

50.0
50.0

Total

72

100

Berdasarkan table 5.13 dari 72 responden, proporsi sopir dengan


keterampilan berperilaku baik ada 36 orang (50,0%) dan sopir dengan dengan
keterampilan berperilaku yang buruk ada 36 orang (50,0%).

63

4. Gambaran Umur Sopir Container di KBN Marunda 2014


Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan bahwa rata-rata umur sopir
container adalah 29,54, sedangkan median umur adalah 27,00 dengan umur
termuda adalah 18 tahun dan umur paling tua adalah 61 tahun. Adapun gambaran
umur sopir container dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut:
Tabel 5.14
Umur Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Variabel
Umur

Mean
29.54

Median
27.00

Minimum
18

Maximum
61

Umur sopir container berdistribusi tidak normal, maka digunakan median


sebagai cut off point. Gambaran distribusi umur sopir container dapat dilihat pata
tabel 5.15 berikut:

Tabel 5.15
Distribusi Umur Sopir Container
di KBN Marunda Tahun 2014
Umur

< 27 tahun
27 tahun

35
37

48,6
51,4

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.15 diketahui dari 72 responden, sopir container yang


berumur 27 tahun atau lebih (51,4%) lebih banyak dibandingkan dengan sopir
yang berumur di bawah 27 tahun (48,6%).

64

5. Gambaran Pendidikan Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014


Tabel 5.16
Distribusi Jenjang Pendidikan Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Jenjang Pendidikan

Tidak pernah sekolah


Tamat SD/ sederajat
Tamat SMP/ sederajat
Tamat SMA/ sederajat

5
12
35
20

6.9
16.7
48.6
27.8

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.16 diketahui dari 72 responden, terdapat 6,9%


sopir tidak pernah mengenyam pendidikan, 16,7% menamatkan pendidikan
SD/sederajat, 48,6% sopir yang menamatkan SMP/ sederajat, dan 27,8%
sopir menatamatkan pendidikan SMA/sederajat.
Data distribusi jenjang pendidikan selanjutnya dikelompokkan
menjadi sopir container yang berpendidikan tinggi ( SMA) dan sopir
container yang berpendidikan rendah (< SMA). Adapun distribusi
pendidikan sopir container berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat
pada tabel 5.17 berikut:
Tabel 5.17
Distribusi Pendidikan Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Pendidikan

Pendidikan tinggi
Pendidikan rendah

20
52

27.8
72.2

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.8 diketahui dari 72 responden, sopir dengan pendidikan


rendah (72,2%) lebih banyak dibandingkan dengan sopir dengan pendidikan
tinggi (27,8%).

65

6. Gambaran Status Pernikahan Sopir Container di KBN Marunda Tahun 2014


Tabel 5.18
Distribusi Pernikahan Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Status Pernikahan

Menikah
Cerai hidup
Cerai mati
Belum menikah

35
7
3
27

48.6
9.7
4.2
37.5

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.18 diketahui dari 72 responden, terdapat 48,6% sopir


dengan status menikah, 37,5%sopir berstatus belum menikah, 9,7% berstatus cerai
hidup dan 4,2% berstatus cerai mati.
Data distribusi status pernikahan selanjutnya dikelompokkan menjadi dua
kelompok, sopir container berstatus menikah dan sopir container yang berstatus
belum menikah. Adapun distribusi status pernikahan sopir container dapat dilihat
pada tabel 5.19 berikut:
Tabel 5.19
Distribusi Status Pernikahan Sopir Container
di KBN Marunda tahun 2014
Status Pernikahan

Belum menikah

27

37.5

Menikah

45

62.5

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.19 diketahui dari 72 responden, sopir dengan status


sudah menikah (62,5%) lebih banyak dibandingkan dengan sopir dengan status
belum menikah (37,5%).

66

7. Gambaran Frekuensi Pulang ke Daerah Asal Sopir Container di KBN


Marunda tahun 2014
Tabel 5.20
Daerah Asal Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
n

Medan (Sumatera Utara)


Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali

6
31
25
6
3
1

8.33
43.06
34.72
8.33
4.17
1.39

Total

72

100

Berdasarkan tabel 5.20 diketahui bahwa 8,33% responden berasal


dari daerah Medan (Sumatera Utara), 43,06% berasal dari Banten, 34,72%
berasal dari Jawa Barat, 8,33% berasal dari Jawa Tengah, 4,17% berasal
dari Jawa Timur dan 1,39% berasal dari daeha Bali.
Data frekuensi responden pulang ke rumah dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu pulang kurang dari 2 bulan sekali dan pulang
2 kali sebulan atau lebih. Pengelompokan ini berdasarkan median, karena
frekuensi pulang ke rumah berdistribusi tidak normal. Distribusi frekuensi
responden pulang ke rumah dapat dilihat pada tabel 5.20 berikut:
Tabel 5.21
Distribusi frekuensi Sopir Container pulang ke Rumah Tahun 2014
Frekuensi Pulang ke Rumah

< 2 bulan sekali


2 bulan sekali

28
44

38,9
61,1

Total

72

100

Berdasarkan table 5.21, diketahui dari 72 responden, sopir yang pulang 2


bulan sekali lebih banyak (61,1%) dibandingkan dengan sopir yang pulang kurang
dari 2 bulan sekali (38,9%).

67

5.2 Analisi Bivariat


1. Informasi
Tabel 5.22
Hubungan Informasi dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Informasi

Cukup
Kurang

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%
24
13

47.1
61.9

27
8

52.9
38.1

Total

OR

51
21

100
100

0.547
(0.194 1.545)

P
Value

0.305

Berdasarkan tabel 5.22 diketahui responden yang memiliki informasi


cukup dan melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 24 dari 51
orang (47,1%), sedangkan responden yang memiliki informasi kurang dan
melakukan perilaku pencegahan ada 13 dari 21 orang (61,9%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 0,547 yang
artinya responden dengan informasi cukup memiliki peluang 0.547 kali
melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan
responden yang memiliki informasi kurang. Berdasarkan hasil uji chi-square
diperoleh nilai probabilitas 0,305 artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara informasi dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.
2. Motivasi
Tabel 5.23
Hubungan Motivasi dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Motivasi

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%

Total
n

OR
%

P
Value

68

Baik
Buruk

28
9

63.6
32.1

16
19

36.4
67.9

44
28

100
100

3.694
(1.355 10.074)

0.015

Berdasarkan tabel 5.23 diketahui responden yang memiliki motivasi baik


dan melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 28 dari 44 orang
(63,6%), sedangkan responden yang memiliki motivasi buruk dan melakukan
perilaku pencegahan yang baik ada 9 dari 28 orang (32,1%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 3,694 yang
artinya responden dengan motivasi baik memiliki peluang 3,694 kali melakukan
perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan responden yang
memiliki motivasi buruk. Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai
probabilitas 0,015 artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna
antara motivasi dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.
3. Keterampilan Berperilaku
Tabel 5.24
Hubungan Ketrampilan Berperilaku dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Keterampilan
Berperilaku

Baik
Buruk

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%
25
12

69.4
33.3

11
24

30.6
66.7

Total

OR

36
36

100
100

4.545
(1.686 12.251)

P
Value

0.004

Berdasarkan tabel 5.24 diketahui responden yang memiliki keterampilan


berperilaku yang baik dan melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik
ada 25 dari 36 orang (69,4%), sedangkan responden yang memiliki keterampilan

69

berperilaku buruk dan melakukan perilaku pencegahan yang baik ada 12 dari 36
orang (33,3%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 4,545 yang
artinya responden dengan keterampilan berperilaku baik memiliki peluang 4,545
kali melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan
responden yang memiliki keterampilan berperilaku buruk. Berdasarkan hasil uji
chi-square diperoleh nilai probabilitas 0,004 artinya pada alpha 5% terdapat
hubungan yang bermakna antara keterampilan berperilaku dengan perilaku
pencegahan HIV/AIDS.
4. Umur
Tabel 5.25
Hubungan Umur dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir
Container
di KBN Marunda tahun 2014
Umur

< 27 tahun
27 tahun

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%
22
15

62.9
40.5

13
22

37.1
59.5

Total

OR

35
37

100
100

2.482
(0.961 6.412)

P
Value

0.065

Berdasarkan tabel 5.25 diketahui responden berumur di bawah 27 tahun


dan melakukan perilaku pencegahan HIV/IADS yang baik ada 22 dari 35 orang
(62,9%), sedangkan responden yang berumur 27 tahun atau lebih dan melakukan
perilaku pencegahan HIV/AIDS ada 15 dari 37 orang (40,5%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 2,482 yang
artinya responden yang berumur di bawah 27 tahun memiliki peluang 2,482 kali
melakukan perilaku pencegahan dibandingkan dengan responden yang berumur
27 tahun atau lebih. Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai probabilitas

70

0,065 artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.

5. Pendidikan
Tabel 5.26
Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Pendidikan

Tinggi
Rendah

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%
13
24

65.0
46.2

7
28

35.0
53.8

Total

OR

20
52

100
100

2.167
(0.744 6.307)

P
Value

0.192

Berdasarkan tabel 5.26 diketahui responden yang berpendidikan tinggi dan


melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 13 dari 20 orang
(65,0%), sedangkan responden yang berpendidikan rendah dan melakukan
perilaku pencegahan ada 24 dari 52 orang (46,2%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 2,167 yang
artinya responden dengan pendidikan tinggi memiliki peluang 2,167 kali
melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan
responden yang memiliki pendidikan rendah. Berdasarkan hasil uji chi-square
diperoleh nilai probabilitas 0,192 artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara umur dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.

71

6. Status Pernikahan
Tabel 5.27
Hubungan Status Pernikahan dengan Perilaku Pencegahan HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Status
Pernikahan

Belum Menikah
Menikah

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk
n
%
n
%
16
21

59.3
46.7

11
24

40.7
53.3

Total

OR

27
45

100
100

1.662
(0.633 4.366)

P
Value

0.338

Berdasarkan tabel 5.27 diketahui responden yang berstatus belum menikah


dan melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 16 dari 27 orang
(59,3%), sedangkan responden yang berstatus menikah dan melakukan perilaku
pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 21 dari 45 orang (46,7%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 1,662 yang
artinya responden dengan status belum menikah memiliki peluang 1,662 kali
melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan
responden dengan status menikah. Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai
probabilitas 0,338 artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara status pernikahan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.

72

7. Frekuensi Pulang ke Rumah


Tabel 5.28
Hubungan Frekuensi Pulang ke Rumah dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
pada Sopir Container di KBN Marunda tahun 2014
Frekuensi
pulang ke
Rumah

< 2 bulan
2 bulan

Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS
Baik
Buruk

Total

OR

20
17

71.4
38.6

8
27

28.6
61.4

28
44

100
100

3.971
(1.432 11.012)

P
Value

0,008

Berdasarkan tabel 5.28 diketahui responden yang pulang kurang dari 2


bulan sekali dan melakukan perilaku pencegahan ada 20 dari 28 orang (71,4%),
sedangkan responden yang pulang setiap 2 bulan sekali atau lebih dan melakukan
perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik ada 17 dari 44 orang (38,6%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) sebesar 3,971 yang
artinya responden yang pulang kurang dari dua bulan sekali memiliki peluang
3,971 kali melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik dibandingkan
dengan responden yang pulang setiap dua bulan sekali atau lebih. Berdasarkan
hasil uji chi-square diperoleh nilai probabilitas 0,008 artinya pada alpha 5%
terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi pulang ke rumah dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS.

BAB VI

73

PEMBAHASAN
6.1

Keterbatasan Penelitian
Penelitian

ini

memiliki

keterbatasan

penelitian

yang

memerlukan perbaikan dan pengembangan pada peneltian


selanjutnya. Keterbatasan pada penelitian ini adalah:
1) Instrumen peneltiian
Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner yang disusun
oleh peneliti berdasarkan teori dan pengembangan dari
instrumen dari penelitian terdahulu, sehingga dapat dikatakan
bahwa

instrumen

penelitian

yang

digunakan

bukan

merupakan instrumen baku.


2) Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara
kepada

responden

kuesioner,

sehingga

dengan

menggunakan

kualitas

data

mengenai

alat

bantu

kebenaran,

keakuratan dan kelengkapan data yang diperoleh sangat


tergantung pada keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman
responden dalam memberikan pernyataan sesuai dengan opsi
jawaban yang disediakan.
3) Faktor lain yang tidak diteliti
Pada penelitian ini, kerangka teori yang digunakan mengacu
pada teori IMB oleh Fisher dan J.Fisher (1992) dan HBM oleh
Becker dan Rosentock (1974), sehingga dapat dikatakan
bahwa terdapat faktor-faktor lain yang dikemukakan oleh para
ahli lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

74

6.2

Gambaran Perilaku Pencegahan HIV/AIDS pada Sopir

Container
Perilaku pencegahan HIV/AIDS yaitu tindakan responden
melakukan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom
secara konsisten saat melakukan hubungan seksual dengan
selain pasangan tetap. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dari 72 responden sebesar 51,7% responden memiliki perilaku
pencegahan HIV/AIDS yang baik dan 48,6% responden memiliki
perilaku pencegahan yang buruk.
Berdasarkan STRANAS 2007 2010 Nasional, menyatakan
salah satu dari tiga penyebab perilaku berisiko HIV/AIDS di
Indonesia adalah dominasi sektor berbeda oleh masing-masing
jenis kelamin yang membuat mereka hidup tidak dengan
pasangannya (sektor industri dan konstruksi lebih didominasi
oleh laki-laki sementara penyedia jasa kebutuhan domestik
didominasi

oleh

pekerja

perempuan).

Dengan

jauh

dari

pasangan, hal ini dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko


berganti-ganti pasangan (Kemenkes, 2008).
Pelaku seks bebas di Indonesia banyak terdapat pada
kelompok pria berisiko tinggi. Kelompok pria tersebut dapat
menjadi jembatan penularan antara WPS dengan masyarakat
umum. Pekerjaan seperti pengemudi truk, pelaut, tentara, dan
pekerja migran yang sering menyebabkan mereka bermalam di
tempat yang jauh dari rumah merupakan kelompok berisiko

75

tinggi. Diperkirakan terdapat sekitar 8,5 juta pria pengguna jasa


seks komersil pertahunnya (Kemenkes, 2006).
Menurut Dadun (2007), sopir adalah salah satu kelompok
risiko tinggi untuk tertular dan menularkan HIV/AIDS. Hampir
separuh (49%) dari kelompok risiko tinggi (risti) (meliputi
pengemudi truk, pengemudi bus, dan nelayan) berperilaku
seksual berisiko dengan melakukan hubungan seksual dengan
selain pasangan tetap. Sebagian besar pasangan seks selain istri
adalah WPS (83%). Menurut Dadun, akses PS di Pelabuhan
(tempat persinggahan sopir container) dinilai lebih mudah
dibandingkan dengan kelompok lain.
Dalam penelitian ini, dari 40,3% responden yang sedang
memiliki pasangan tetap, sebesar 31,9% pernah melakukan
hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dengan
selain pasangan tetap mereka. Diantara sopir yang melakukan
hugungan seks dengan selain pasangan tetap, hanya 4,3% yang
selalu menggunakan kondom secara konsisten, dan sisanya tidak
memakai kondom secara konsisten, 47,8% menjawab tidak
pernah

memakai

kondom

saat

berhungan

seksual,

43,5

menjawab kadang-kadang, 4,3 menjawab sering.


Kondisi penggunaan kondom di bawah 100% merupakan
ancaman serius apabila tidak segera dilakukan intervensi.
Menurut

data

USAID

hubungan

seksual

antara

WPS

dan

pelanggannya tanpa menggunakan kondom merupakan perilaku

76

yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV, dan laporan UNAIDS


menyatakan bahwa penggunaan kondom dapat menurunkan
penularan HIV/AIDS.
Meskipun

konsistensi

penggunaan

kondom

yang

sangat

rendah akan menyebabkan semakin tingginya peluang sopir


untuk terkena HIV/AIDS, atau sebaliknya (dengan meningkatkan
penggunaan kondom pada kelompok sopir dapat menekan angka
penularan HIV/AIDS), namun bukan berarti penggunaan kondom
yang teratur dapat mencegah HIV/AIDS dengan tuntas. Perlu
dilakukan pencegahan dari semua pihak terkait, baik dari
kelompok risti itu sendiri, keluarga (terutama pada istri), dan
begitu juga dengan remaja yang baru menginjak usia dewasa.
Hal ini menjadi perlu, karena perilaku adalah hal yang sulit untuk
diukur dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menurut teori social learning oleh Bandura, faktor perilaku
berkaitan dengan faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor
personal meliputi pengetahuan dan juga faktor demografi seperti
usia, pendidikan, status perkawinan, dan juga agama, sedangkan
faktor lingkungan meliputi sosial budaya, nilai dan norma sebagai
pendukung sosial untuk berperilaku tertentu. Oleh sebab itulah
penurunan angka HIV/AIDS tidak akan pernah berhasil hanya
dengan berfokus pada kelompok penjaja seks saja.
Perlu diketahui bahwa kasus HIV/AIDS di Indonesia merupakan
kasus dengan fenomena gunung es. Jumlah penderita yang

77

terdata baru sebagian kecil dari kasus yang terjadi di lapangan.


HIV/AIDS yang pada awalnya dimulai dengan penularan pada
kelompok homoseksual, akhirnya menular kepada pasangan
heteroseksual yang suka berganti-ganti pasangan. Karena dari
pasangan homoseksual terdapat juga pasangan biseksual. Tahap
berikutnya adalah penularan HIV/AIDS pada kelompok WPS,
tahap selanjutnya HIV/AIDS ditularkan pada istri dari penjaja
seks, dan tahap penularan HIV/AIDS terakhir adalah dari ibu
positif HIV pada bayinya (Asfiah, 2011).
Penularan HIV/AIDS dari kelompok penjaja seks kepada istri
diakibatkan oleh tidak ada kesadaran dari penjaja seks dan WPS
bahwa diri mereka berisiko untuk menularkan HIV/AIDS. Pada
penelitian ini hanya 29.2% yang menyadari bahwa mereka
memiliki risiko dan potensi untuk tertular HIV/AIDS dan sebanyak
20,8% setuju kalau seorang laki-laki tidak perlu memakai
kondom saat berhubungan seksual.
Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku pada Kelompok
Berisiko Tinggi di Indonesia (STBP) 2011 menyatakan bahwa pola
prevalensi

HIV

antara

kelompok

sasaran

cenderung

tetap

dibandingkan dengan STBP tahun 2007. Hal ini disebabkan oleh


tidak

meningkatnya

perilaku

penggunaan

kondom

secara

konsisten pada seks berisiko. Jika dibandingkan dengan semua


kelompok sasaran berisiko HIV/AIDS, pria risti (sopir container)
mempunyai persentase paling rendah (12%) dalam penggunaan

78

kondom dalam berhubungan seksual. Sebagian besar (lebih dari


80%) diderita oleh usia produktif (umur 14 49 tahun) pada jenis
kelamin laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung
meningkat. Sekitar 25 35% bayi dari ibu pengidap HIV/AIDS
juga akan menjadi pegidap HIV/AIDS, infeksi HIV/AIDS bisa terjadi
pada saat kehamilan, proses persalinan dan juga pemberian ASI.
Direktur

World

Population

Foundation

(WPF)

perwakilan

Indonesia, Sri Kusyuniati mengakui bahwa trend kasus HIV/AIDS


di Indonesia akan terus meningkat. Kelompok berisiko seperti
penjaja seks, gay, waria, atau pengguna jarum suntik sebenarnya
mengetahui perilaku mereka akan berdampak pada penularan
HIV/AIDS. Oleh sebab itu, perlu penanganan kasus HIV/AIDS
secara nasional yang melibatkan semua pihak, termasuk pemuka
agama (Asfiah, 2014).
Pengetahuan

sopir

container

terhadap

HIV/AIDS

dalam

penelitian ini sudah cukup bagus, namun pada kenyataannya


masih terdapt 40,3% responden masih melakukan hubungan
seksual dengan selain pasangan tetap. Hal ini perlu menjadi
perhatian

khusus

bagi

setiap

pihak

terkait,

tingginya

pengetahuan yang dimiliki ternyata belum menjamin baiknya


perilaku seksual pada sopir.
HIV/AIDS di Indonesia merupakan gabungan dari berbagai
faktor yang kompleks. Sebab-sebab fundamental berhubungan
dengan faktor

sosialkultural,

religius,

politis

dan ekonomi.

79

Sehingga

merubah

faktor

yang

kompleks

ini

tidak

dapat

dilakukan dalam waktu yang singkat (Kemenkes, 2008).


Bagi pengelola penanggulangan HIV/AIDS perlu melaksanakan
kegiatan promosi yang lebih serius dan tentunya program
tersebut berkelanjutan. Pemerintah harus bekerja sama dengan
lintas sektor terkait seperti organisasi masyarakat (ormas) dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tokoh masyarakat baik
tokoh adat maupun tokoh agama yang mempunyai power dalam
masyarakat tersebut. Pesan harus dirancang dengan kreatif agar
tidak membosankan dan disampaikan melaui cara berbeda
sesuai dengan sasaran. Sebagai contoh program Kemenkes pada
WPS dengan mengadakan pendidik sebaya (Kemenkes, 2014),
hal ini juga perlu dilakukan pada sopir container.

6.3

Hubungan Informasi dengan Perilaku Pencegahan

HIV/AIDS
Informasi meliputi kumpulan pengetahuan yang didapatkan
melalui

proses

pembelajaran

selama

hidupnya

dan

dapat

digunakan sewaktu-waktu. Dalam teori IMB (Fisher dan J. Fisher,


1992) menyatakan bahwa informasi adalah salah satu dari tiga
faktor yang menyebabkan sesorang dalam melakukan perilaku
pencegahan. Menurut Green (1980), pengetahuan atau informasi
yang dimiliki adalah salah satu variabel utama (presdiposing
factor) dalam menentukan seseorang dalam berperilaku.

80

Semakin tinggi informasi yang dimiliki seseorang, maka


semakin tinggi perilaku pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan
(Kristawansari, 2013).
Dalam penelitian ini, 70,8% sopir memiliki informasi cukup,
dan

29,2%

sopir

memiliki

pengetahuan

kurang

mengenai

HIV/AIDS. Hasil uji analisis menyatakan bahwa respoden dengan


informasi cukup dan melakukan perilaku pencegahan yang baik
ada sebesar 47,1%, sedangkan responden dengan informasi
kurang dan melakukan perilaku pencegahan yang baik ada
sebesar 61,9%. Dilihat dari nilai Pvalue diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara informasi dengan
perilaku

pencegahan.

Artinya,

informasi

tidak

mempunyai

pengaruh yang besar dalam mempengaruhi perilaku pencegahan


HIV/AIDS pada sopir.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa
sopir dengan informasi kurang, memiliki perilaku pencegahan
HIV/AIDS yang lebih baik dibandingkan dengan sopir dengan
informasi

yang

cukup.

Hasil

penelitian

ini

didukung

oleh

penelitian Mutia (2008) yang menyatakan bahwa responden


yang memiliki informasi yang kurang, melakukan perilaku
pencegahan

HIV/AIDS

lebih

baik

dari

responden

dengan

informasi cukup. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara


informasi dan perilaku pencegahan dalam penelitian tersebut
menurutnya disebabkan oleh kebiasaan responden yang telah

81

biasa melakukan perilaku seksual yang tidak aman sebelumnya.


Perilaku seksual yang tidak aman ini menjadikan responden
menyadari

bahwa

dirinya

rentan

tertular

dan

menularkan

HIV/AIDS, sehingga mereka menjadi lebih peduli terhadap


informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Responden yang
memiliki informasi cukup, tetapi tidak melakukan perilaku
pencegahan juga sangat dimungkinkan karena informasi yang
dimiliki responden baru sampai kepada tingkat dasar.
Rasumawati (2014) dalam penelitiannya juga menyatakan
bahwa pengetahuan sangat penting dalam menentukan sikap
dalam

memotivasi

seseorang

untuk

berperilaku,

namun

pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku


(Rasumawati, 2014).
Menurut Fisher dan J. Fisher, informasi adalah faktor yang
dapat mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS secara
langsung dan tidak langsung. Hasil penelitian ini menolak teori
IMB

bahwa

informasi

mempengaruhi

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS secara langsung.


Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Angela (2001), Roy
(2010), Kristawansari (2013) pada sopir truk, dimana terdapat hubungan yang
bermakna antara informasi dan perilaku pencegahan. Menurut penelitian tersebut,
pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Seseorang melakukan tindakan karena adanya pengetahuan
dan sikap yang dimilikinya. Salah satu unsur yang diperlukan agar dapat berbuat

82

sesuatu adalah mempunyai pengetahuan dan jika seseorang menghendaki sesuatu


dapat dikerjakan terus menerus maka diperlukan pengetahuan yang positif tentang
apa yang dikerjakan, dengan kata lain tindakan yang dilandasi pengetahuan akan
lebih langgeng dibandingkan dengan tindakan tanpa pengetahuan yang baik.
Temuan
sebelumnya

hasil

penelitian

sangat

ini

mungkin

berbeda

dengan

disebabkan

oleh

penelitian
tingkat

pengetahuan yang dimiliki sopir, baru sampai kepada tahap


tahu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Notoadmodjo (2007),
bahwa pengetahuan seseorang dibagi menjadi enam tingkat.
Tingkat pengetahuan tahu adalah tingkatan paling dasar.
Sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh sopir belum dipahami
secara mendalam yang membuat mereka tidak mengaplikasikan
apa saja yang mereka ketahui. Hal ini dapat diketahui dari
jawaban responden yang menjawab benar pertanyaan mengenai
penyebab HIV, namun menjawab salah bagaimana dampak,
akibat dan cara pencegahan HIV itu sendiri.
Informasi tentang penyebaran HIV/AIDS, membuat individu
maupun kelompok tertentu memahami bagaimana HIV/AIDS
menyebar dan bagaimana strateginya untuk melindungi diri dari
penyakit tersebut. Namun dengan pemahaman informasi yang
sangat

mendasar,

hal

ini

juga

dapat

mengakibatkan

kesalahpahaman individu terhadap HIV/AIDS.


Perbedaan hasil temuan ini dikuatkan oleh Larsen dan Collin
(1997), yang menyatakan bahwa informasi yang didapatkan

83

seseorang tentang HIV/AIDS tidak menjamin individu melakukan


perilaku pencegahan. Menurutnya pengetahuan saja belum
cukup untuk menggambarkan perilaku seseorang, karena banyak
faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku itu sendiri.
Tujuan dari pemahaman terhadap HIV/AIDS tidak hanya pada
tahap

mengetahui

tentang

HIV/AIDS

saja,

namun

dengan

informasi tersebut, diharapkan responden dapat menjelaskan,


menginterpretasikan apa yang sudah mereka ketahui. Responden
yang sudah mengetahui penyebab HIV, cara penularan, gejalagejalanya, cara deteksi, cara pengobatan dan cara pencegahan,
diharapkan mampu menerapkan pengetahuan tersebut dalam
perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Menurut Ariani dan Hanggoro (2013), Informasi mengenai
pencegahan HIV/AIDS dengan menggunakan kondom dalam
berhubungan seks, dapat mencegah tertular dari HIV/AIDS,
namun jika informasi tersebut dipahami secara dangkal dapat
menimbulkan akibat negatif seperti timbul persepsi bahwa
dengan menggunakan kondom, dapat mencegah diri mereka dari
tertular HIV/AIDS. Padahal pencegahan HIV/AIDS seharusnya
merubah

perilaku

berisiko

menjadi

perilaku

sehat,

karena

HV/AIDS merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya


dengan perilaku.
Pemahaman yang rendah menimbulkan persepsi yang salah
mengenai

penyakit

HIV/AIDS.

Ketidakmengertian

mengenai

84

penyakit tersebut membuat mereka membuat konsep yang salah


mengenai penyakit HIV/AIDS, seperti penyakit HIV/AIDS sudah
ada obatnya, dapat disembuhkan dan tidak membahayakan
sehingga mempengaruhi respon emosional mereka terhadap
penyakit HIV/AIDS.
Berdasarkan

hal

tersbut,

penulis

menyimpulkan

bahwa

pemahaman tentang HIV/AIDS yang rendah membuat individu


kurang berfikir terlalu dalam dan tidak terlalu waspada tertular
HIV/AIDS, sehingga perilaku pencegahan HIV/AIDS masih rendah.
Hal ini terbukti dari hasil gambaran informasi HIV/AIDS yang
dimiliki responden, terdapat 37,5% menjawab bahwa HIV dapat
dicegah dengan meminum obat antibiotik dan 37,5% juga
menjawab bahwa HIV/AIDS dapat dicegah dengan mencuci alat
kelamin setelah melakukan hubungan seksual.
Pengetahuan yang kurang, mengakibatkan kurang baiknya
motivasi sopir container. Masih banyak responden yang belum
menyadari bahwa mereka termasuk salah satu kelompok risiko
tinggi, dalam penelitian ini hanya 29,2% responden yang
menyadari bahwa mereka berisiko tertular dan menularkan
HIV/AIDS.
Penelitian yang dilakukan pada wanita penjaja seks (WPS),
juga menyatakan bahwa sebagian besar WPS tidak menyadari
bahwa mereka sangat rentan untuk terkena HIV/AIDS, oleh sebab
itu masih banyak WPS yang mau melayani pelanggan yang tidak

85

menggunakan kondom ataupun yang menolak menggunakannya.


Masih banyak WPS yang setuju bahwa wanita pekerja sosial yang
sehat, tidak perlu melakukan konseling dan pemeriksaan VCT.
(Ariani dan Hargono, 2013).
Berkaitan dengan informasi HIV/AIDS yang masih belum
memadai, diperlukan peran pendidik sebaya. Melalui pendidik
sebaya, diharapkan pengetahuan responden dapat mecapai
tingkat yang lebih tinggi. Menurut Kemenkes dalam strategi
komunikasi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia (2008),
pendidik sebaya merupakan salah satu metode yang digunakan
dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku (tindakan)
baik individu maupun kelompok dalam pencegahan HIV/AIDS.
Namun dalam aplikasinya, pendidik sebaya baru diterapkan pada
WPS saja.
Menurut Eng dan Parker peran pendidik sebaya sangat
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meningkatkan
pengetahuan. Menurutnya ada enam macam tipe pendidik
sebaya dalam suatu komunitas. Diantaranya adalah keluarga dan
teman (family and friend), tetangga (neighbors), natural helper,
role-related helper, orang yang mempunyai masalah yang sama
(people with the same problem), dan tenaga sukarelawan
(DiClemete, 2002). Dari enam tipe pendidik tersebut, peran
keluarga, teman dan orang dengan masalah yang sama sangat
sesuai dalam program ini.

86

Menurut Blum (1974), derajat kesehatan seseorang dapat


dipengaruhi oleh empat faktor, diantaranya adalah lingkungan
dan perilaku, yang mempunyai persentasi paling besar diantara
2 faktor lainnya (keturuan dan pelayanan kesehatan). Sopir
container mempunyai lingkungan yang sangat mendukung untuk
mendukung perilaku seksual tidak aman dan sebaliknya, peran
lingkungan

juga

dapat

sangat

mendukung

peningkatan

pengetahuan responden itu sendiri. Pendidik sebaya atau yang


dikenal dengan peer educator merupakan salah satu cara
menyebarluaskan informasi yang efektif bagi sopir container
yang tingkat melek bacanya kurang, apalagi masalah yang
dibicarakan cukup tabu.
Untuk setiap perusahaan, agar diadakan screening dan ceck
up

kesehatan

secara

berkala

pada

sopir,

agar

diketahui

perkembangan kesehatan reproduksi dari waktu ke waktu. Selain


itu

perusahaan

penyuluhan

hendaknya

kesehatan

khusus

memberikan
untuk

konseling

masalah

dan

reproduksi

khususnya HIV/AIDS, sehingga dengan program ini kewaspadaan


sopir container bisa menjadi lebih meningkat untuk melakukan
tindakan pencegahan HIV/AIDS.
Sedangkan

peran

pemerintah,

diharapkan

upaya

penyebarluasan informasi yang disampaikan melalui media


massa (TV, radio, koran, majalah) disajikan dalam bentuk yang
menarik,

mudah

dimengerti,

jelas

dan

materi

tersebut

87

hendaknya lebih membahas akibat atau dampak yang akan


dirasakan sopir jika tetap melakukan hubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan. Karena media massa merupakan saran
komunikasi yang berpengaruh besar dalam pembentukan opini
dan

kepercayaan.

lembaga-lembaga

Pemerintah
swasta

dapat

lainnya

berkolaborasi

yang

juga

dengan

fokus

pada

pencegahan HIV/AIDS.
Sangat dimungkinkan responden hanya mengetahui informasi
baru secara mendasar, tidak sampai mengetahui dampak yang
akan di terima, karena dari responden yang mengatakan tahu
tentang HIV/AIDS dalam penelitian ini masih terdapat 19,4%
yang menjawab salah bahwa HIV disebabkan oleh bakteri, 30,6%
lainnya menjawab tidak tahu, dan 1,4% menjawab lain-lain. Jika
diakumulasikan

proporsi

responden

yang

menjawab

salah

(bakteri) dan responden menjawab tidak tahu dan menjawab


lain-lain yang juga merupakan jawaban yang salah, maka
proporsi tersebut lebih tinggi (51,4%) dari jawaban penyebab HIV
yang benar (yang hanya 48,6%). Selain itu, masih tingginya
persentasi responden yang mengatakan bahawa HIV/AIDS dapat
dicegah dengan cara mengkonsumsi antibiotik (45,4%) dan
mencuci alat kelamin setelah berhubungan seksual (43,3%).
Cara meningkatkan pengetahuan sopir container lainnya
adalah dengan menyediakan akses pelayanan kesehatan yang
memadai

disepanjang

titik

pemberhentian,

dimana

sopir

88

container berhenti sejenak (Dadun, Heru dkk., 2011). Salah satu


cara pelayanan kesehatan adalah dengan menyediakan petugas
konseling kesehatan dalam menyebarluaskan informasi yang
lebih dalam mengenai HIV/AIDS. Pendidikan konseling ini harus
dilakukan sesuai jadwal mereka atau sesuai waktu senggang.
Yang harus ditekankan adalah, waktu dan ketersediaan petugas
konseling menjadi kunci dari keberhasilan program ini, karena
pada

penelitian

ini,

persentase

informasi

responden

yang

bersumber dari petugas kesehatan dan penyuluhan hanya


(12,5%). Padahal sumber informasi mengenai HIV/AIDS dari
petugas kesehatan dan penyuluhan seharusnya lebih tinggi dari
media massa, dan sumber lainnya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sasaran utama
dalam meningkatkan pengetahuan adalah Sopir Container dan
WPS. Namun tingkat pengetahuan keluarga juga menjadi penting
untuk diperhatikan, terkait dengan laporan P2PL (2014) bahwa
prevalensi kasus HIV/AIDS terus meningkat pada wanita.

6.4

Hubungan Motivasi dengan Perilaku Pencegahan

HIV/AIDS
Motivasi dalam penelitian ini adalah dorongan atau pengaruh
yang didapatkan sopir yang berasal dari dalam (persepsi
terhadap kerentanan, persepsi keuntungan, persepsi terhadap

89

hambatan dan ancaman) serta dorongan dari luar dan sikap.


Menurut Fisher dan J. Fisher motivasi adalah salah satu dari tiga
faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan
secara langsung, dan tidak langsung.
Penelitian

yang

dilakukan

menyatakan

bahwa

motivasi

pencegahan

dipengaruhi

oleh

oleh

Angela

dkk.

(2001)

untuk

melakukan

perilaku

sikap

seseorang

terhadap

konsistensi penggunaan kondom, norma sosial yang mendukung


seseorang untuk selalu menggunakan kondom, serta persepsi
atau penilaian individu terhadap risiko HIV/AIDS.
Dalam penelitian ini terdapat 61,1% responden memiliki
motivasi baik, dan 38,9% memiliki motivasi buruk. Responden
dengan motivasi baik yang melakukan perilaku pencegahan yang
baik ada sebesar 63,6%, sedangkan responden dengan motivasi
buruk yang melakukan perilaku pencegahan ada sebesar 32,1%.
Hasil uji analis menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara motivasi dan perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Semakin baik motivasi yang dimiliki responden, maka semakin
baik pula tindakan perilaku pencegahan yang dilakukan. Jika
dilihat dari nilai OR responden dengan motivasi baik memiliki
peluang sebanyak 3,694 kali melakukan perilaku pencegahan
HIV/AIDS dibandingkan dengan responden dengan motivasi
buruk.

90

Hasil penelitian ini membuktikan teori IMB Fisher dan J. Fisher,


yang

menyatakan

bahwa

motivasi

seseorang

akan

mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS secara langsung.


Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Roy (2010) yang
menyatakan
berpengaruh

bahwa

motivasi

terhadap

responden

perilaku

tentang

pencegahan

HIV/AIDS
HIV/AIDS.

Menurutnya komponen motivasi yang terdiri dari sikap, norma


sosial dan persepsi seseorang terhadap penyakit mempengaruhi
motivasi seseorang melakukan suatu tindakan pencegahan.
Seseorang yang memiliki persepsi, sikap, dan norma sosial yang
baik akan memiliki tingkat perilaku pencegahan HIV/AIDS yang
lebih baik daripada responden dengan motivasi yang kurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Angela dkk. (2001) juga dapat
mendukung

hasil

temuan

ini,

hasil

penemuan

tersebut

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara


sikap, norma sosial dengan konsistensi penggunaan kondom
pada sopir truk di India.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil temuan Kristawansari (2013).
Menurutnya

sikap (motivasi) tidak mempengaruhi perilaku pencegahan

HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan dengan ketidak sesuaian antara sikap yang dimiliki
dengan perilaku pencegahan yang dilakukan. Tidak adanya hubungan antara sikap
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS ini menurutnya sesuai dengan pendapat
Notoadmodjo, bahwa sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan atau perilaku
( Notoatmodjo, 2007).

91

Perbedaan hasil temuan ini bisa saja terjadi, karena menurut Fisher dalam teori
IMB yang dipakai dalam penelitian ini, motivasi memang dapat mempengaruhi
tindakan pencegahan seseorang, namun masih terdapat kemungkinan bahwa
motivasi belum tentu mempengaruhi perilaku pecegahan secara langsung.
Faktor motivasi akan dijembatani oleh faktor keterampilan
berperilaku

sopir

dalam

melakukan

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS.
Untuk meningkatkan motivasi responden diperlukan beberapa
upaya. Menurut Herzberg (1959) dalam teori motivasinya, model
dua faktor (two factor theori of motivation) menjelaskan bahwa
motivasi

dipengaruhi

oleh

dua

faktor.

Pertama

motivasi

dipengaruhi oleh faktor motivasional (intrinsik) dan yang kedua


motivasi

tersebut

dipengaruhi

oleh

faktor

pemeliharaan

(ekstrinsik). Menurutnya motivasi tidak akan lengkap dengan


dorongan dari dalam diri individu saja, melainkan harus didorong
dari faktor luar juga. Teori ini sejalan dengan teori Fisher yang
menyatakan bahwa motivasi terdiri dari norma individu (yang
berasal dari dalam individu) dan juga norma sosial (social
support).
Berdasarkan teori di atas, maka motivasi dapat ditingkatkan
melalui dua arah, yaitu dari dalam diri individu itu sendiri dan
juga dorongan dari luar. Adapun motivasi dari dalam diri dapat
ditingkatkan

dengan

sebagaimana

yang

meningkatkan
telah

dijelaskan

pengetahuan
sebelumnya.

individu
Untuk

92

meningkatkan motivasi yang bersal dari dorongan luar dapat


dilakukan dengan pendekatan agama dan budaya.
Terdapat

73,6%

responden

menjawab

bahwa

mereka

memegang teguh ajaran agamanya, artinya peluang untuk


meningkatkan
pendekatan

motivasi
agama

perilaku

semakin

seksual

besar.

aman

melalui

Pemerintah,

petugas

kesehatan dan semua sektor terkait dapat bekerja sama dengan


tokoh agama dan tokoh budaya dalam menyampaikan pesan
berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS tersebut. Dengan begitu ada
dorongan dari luar yang menyebabkan setiap individu merasa
butuh (need) terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Tugas

pemerintah

adalah

melakukan

advokasi

untuk

meyakinkan tokoh agama dan tokoh adat bahwa perilaku seksual


ataupun yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi bukanlah
suatu hal yang tabu untuk dibicarakan, dan dukungan serta
bantuan dari mereka sangat dibutuhkan.
Untuk meningkatkan motivasi yang berasal dari teman, dapat
dilakukan melalui peran pendidik sebaya. Pendidik sebaya dapat
meningkatkan

motivasi

sekaligus

dapat

meningkatkan

peneliti

menyimpulkan

pengetahuan mengenai HIV/AIDS.


Berdasarkan

penjelasan

tersebut

bahwa dalam meningkatkan motivasi responden yang berasal


dari dalam dan luar, diperlukan antropologi dan sosiologi

93

kesehatan. Dalam hal ini harus melibatkan semua pihak yang


terkait agar tujuan dapat dicapai dengan maksimal.
Penghargaan kepada sopir container, memberikan reward dan
punisment

dapat

dilakukan

perusahaan,

karena

hal

ini

menjadikan sopir merasa ikut dilibatkan. Misalnya penerimaan


gaji akan ditunda jika belum melakukan cek kesehatan pada
bulan tersebut dan sebagainya. Dengan begitu sopir akan
merasa dihargai dan dirasakan kehadirannya dalam melakukan
perubahan.

6.5

Hubungan Keterampilan Berperilaku dengan

Perilaku Pencegahan HIV/AIDS


Keterampilan berperilaku merupakan kemampuan indvidu
untuk melakukan tindakan pencegahan dan memastikan bahwa
individu tersebut mempunyai keterampilan, alat, dan strategi
untuk berperilaku yang didasarkan pada keyakinannya (self
efficacy)

dan

perasaan,

bahwa

ia

dapat

mempengaruhi

keadaan/situasi (perceived behavioral control) untuk melakukan


perilaku tersebut.

94

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui sebesar 50,0% sopir


memiliki keterampilan berperilaku baik dan 50,0% sopir memiliki
keterampilan berperilaku buruk. Hasil uji analisis menyatakan
bahwa responden dengan keterampilan berperilaku baik dan
melakukan pencegahan HIV/AIDS yang baik ada sebesar 69,4%,
sedangkan responden dengan keterampilan berperilaku buruk
dan melakukan pencegahan HIV/AIDS yang baik ada sebesar
33,3%, jika dilihat dari nilai Pvaluenya terdapat hubungan yang
bermakna antara keterampilan berperilaku dengan perilaku
penceghan HIV/AIDS. Artinya keterampilan berperilaku sopir
mempengaruhi perilaku pecegahan HIV/AIDS, semakin baik
keterampilan berperilaku yang dimiliki, maka akan semakin baik
pula perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Hasil penelitian ini dikuatkan penelitian yang dilakukan oleh
Knipper dkk. (2007) menyatakan bahwa self efficacy dapat
mempengaruhi
pencegahan

perilaku

HIV/AIDS.

seksual

Semakin

seseorang

tinggi

tingkat

terhadap
keyakinan

seseorang untuk dapat melakukan tindakan pencegahan, maka


semakin tinggi pula kemungkinan utuk melakukan tindakan
pencegahan tersebut. Oleh karena itu, diharapkan semakin baik
keterampilan berperilaku (behavioral skills dan self efficacy)
seseorang maka semakin baik pula tindakan pencegahan yang
dilakukan. Seseorang yang mempunyai kontrol diri yang baik

95

akan dapat mengendalikan dirinya dalam mewujudkan sebuah


perilaku atau tindakan.
Penelitian

Angela

(2001)

dan

Roy,

dkk.

(2010)

juga

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara


keterampilan berperilaku dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Keterampilan berperilaku adalah keyakinan yang dimiliki sopir
tentang perilaku pencegahan, sehingga diasumsikan bahwa
keterampilan berperilaku adalah bentukan dari informasi dan
motivasi

yang

keterampilan
inforamsi

baik.

Penelitian

berperilaku

dan

motivasi

ini

adalah

mengasumsikan
tingkatan

sebelum

bahwa

lanjutan

melakukan

dari

perilaku

pencegahan. Hal ini menyebabkan keterampilan berperilaku


memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tindakan perilaku
pencegahan HIV/AIDS pasa sopir container.
Penelitian ini membuktikan teori IMB oleh Fisher dan J. Fisher,
bahwa keterampilan berperilaku berhubungan langsung dengan
informasi dan motivasi. Semakin semakin baik motivasi dan
informasi yang dimiliki responden, maka semakin baik pula
keterampilan berperilaku pada responden, dan keterampilan
berperilaku adalah faktor utama dalam menentukan perilaku
pencegahan HIV/AIDS.
Hasil temuan ini juga dikuatkan oleh teori Bandura (1989),
menurut Bandura orang dengan tingkat keyakinan yang tinggi
(high self efficacy) akan berpendapat bahwa tindakan dan

96

keputusan yang mereka ambil akan membentuk kehidupan


mereka. Dan sebaliknya, orang-orang dengan tingkat keyakinan
yang rendah (low self efficacy) beranggapan bahwa tindakan
yang dilalukan tidak berdampak besar dalam kehidupan mereka
(Van Ree, 2011).
Untuk

meningkatkan

keterampilan

berperilaku

sopir

container, maka upaya yang terlebih dahulu dilakukan adalah


meningkatkan Informasi dan motivasi. Keterampilan berperilaku
berhubungan langsung dengan informasi dan motivasi. Sehingga
keterampilan berperilaku tidak akan berubah secara signifikan
tanpa dibarengi dengan informasi dan motivasi yang memadai.
Karena diantara ketiganya terdapat hubungan antara satu dan
lainnya.
Terkait
(behavioral

dengan
skills),

peningkatan
jika

keterampilan

pengetahuan

responden

berperilaku
mengenai

informasi dapat ditingkatkan hal ini akan menyebabkan motivasi


responden

akan

semakin

tinggi.

Dengan

termotivasinya

responden dalam perilaku pencegahan, hal ini diharapkan dapat


pula meningkatkan keterampilan berperilaku untuk pencegahan
HIV/AIDS.
Meningkatkan keterampilan berperilaku dalam penggunaan
kondom. Dari laporan UNAIDS, dari tahun 2009 sampai 2012 dari
44 negara penggunaan kondom yang konsisten dapat menekan
angka penularan HIV/AIDS dari 85% menjadi 78%

97

Untuk meningkatkan konsistensi pemakaian kondom, juga


dapat dilakukan negosiasi kepada WPS. Dengan melakukan kerja
sama dengan germo atau pemilik tempat lokalisasi dengan
memberikan peraturan khusus terkait pemakaian kondom. Tidak
sebatas peraturan saja, harus ada keberlanjutan atau evaluasi
dari

peraturan

tersebut.

Hal

ini

dapat

menjadi

tindakan

pencegahan sementara sebelum sopir container benar-benar


menyadari bahwa melakukan hubungan seksual dengan selain
pasangan tetap (istri) adalah perilaku berisiko, tidak sehat,
dibenci masyarakat dan tentunya dilarang dalam agama.
Sopir yang berada jauh dari keluarga memang sangat sulit
untuk menahan kebutuhan hasrat biologisnya, namun dengan
pendekatan agama, sopir akan menyadari betapa pentingnya
sebuah keluarga dan keutuhan dalam berumah tangga. Dengan
kerja sama bersama tokoh agama dan adat, diharapkan dapat
memberikan pencerahan terhadap perilaku berisiko sopir.

6.6

Umur Responden dengan Perilaku Seksual Berisiko


Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

sessorang dalam berperilaku sehat, meskipun umur secara tidak


langsung mempengaruhi perilaku namun umur secara langsung
dapat

mempengaruhi

pengetahuan,

persepsi

seseorang

terhadap sehat dan sakit (Becker dan Rosentock, 1974). Mutia


(2008) menyatakan bahwa semakin muda usia seseorang maka

98

perilaku pencegahan terhadap HIV/AIDS akan semakin baik.


Menurut

Angela

pencegahan

(2001)

HIV/AIDS

variabel

berkaitan

umur

dengan

dalam
status

perilaku

pernikahan

seseorang. Umur yang lebih muda dengan status belum


menikah

memiliki

konsistensi

yang

lebih

tinggi

dalam

penggunaan kondom saat berhubungan seksual yang tidak


aman.
Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) 2006 di
Papua menunjukkan prevalensi HIV pada penduduk Papua yang
berusia antara 40 49 tahun yaitu 3,4%. Angka tersebut paling
tinggi dibandingkan penduduk pada kelompok umur 15 24
tahun (3%) dan 25 29 tahun (2%). Umur yang lebih tua lebih
mencerminkan pengalaman berisiko yang lebih tinggi untuk
terkena HIV, artinya perilaku pencegahan HIV/AIDS pada usia tua
lebih buruk dibandingkan dengan usia yang lebih muda.
Dalam penelitian ini umur responden dikategorikan menjadi
dua kelompok berdasarkan median, yaitu umur <27 tahun dan
umur 27 tahun. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
proporsi sopir container yang berumur 27 tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan sopir berumur <27 tahun. Dari jumlah
sopir yang berumur <27 tahun terdapat 62,6% yang memiliki
perilaku pencegahan HIV/AIDS yang baik, sedangkan sopir
dengan umur 27 tahun dan melakukan perilaku pencegahan
yang baik adalah sebesar 40,5%. Hasil ini menunjukkan bahwa

99

sopir container yang berumur dibahwah 27 tahun melakukan


perilaku pencegahan HIV/AIDS lebih baik dibandingkan dengan
sopir yang berusia 27 tahun.
Berdasarkan hasil analisis tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
umur dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Anggraini (2005), Mutia (2008), dan Luthfiana
(2012) yang menyatakan bahwa bahwa tidak terdapat hubungan
antara umur dengan perilaku seksual pencegahan HIV/AIDS.
Tidak

adanya

hubungan

antara

umur

dengan

perilaku

pencegahan ini terbukti dari teori yang dikemukakan oleh


Rosentock (1974), bahwa umur hanyalah salah satu faktor yang
secara

tidak

langsung

mempengaruhi

seseorang

untuk

melakukan perilaku sehat. Meskipun demikian, jika dilihat dari nilai


OR diketahui sopir yang berumur < 27 tahun memiliki peluang
2,482 kali lebih tinggi dalam melakukan perilaku pencegahan
HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan responden dengan
umur 27 tahun. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
semakin

muda

usia

responden,

semakin

tinggi

perilaku

pencegahan terhadap HIV/AIDS.


Umur adalah faktor perilaku yang tidak dapat dirubah, oleh
karena itu dalam pencegahan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS
pada umur bisa dilakukan dengan dengan cara meningkatkan
pengetahuan, sikap dan motivasi.

100

Salah

satu

program

yang

sudah

ada

yang

dapat

meningkatkan pengetahuan, sikap dan motivasi responden


adalah pendekatan ABC, (Abstinence, Be Faithful to one partner,
dan use Condom), yang artinya anda jauhi seks, bersikap saling
setia dengan pasangan, dan cegah dengan kondom. Pendekatan
ini harus disampaikan kepada sopir agar mereka memikirkan
perilaku dan mempengaruhi keputusan dalam bertindak.

6.7

Hubungan Tingkat Pendidikan Responden dengan

Perilaku Seksual Berisiko


Menurut

Luthfiana,

didalam

pendidikan

terjadi

proses

pertumbuhan, perkembangan ke arah yang lebih dewasa, lebih


baik, lebih matang pada

diri individu, kelompok

maupun

masyarakat (Luthfiana, 2012). Indyani (2013) menyatakan bahwa


pendidikan

merupakan

dibutuhkan

untuk

kebutuhan

pengembangan

dasar
diri

individu

dan

yang

peningkatan

kematangan intelektual seseorang. Pendidikan yang tinggi akan


mempengaruhi pola pikir seseorang dalam menentukan suatu
tindakan atau dalam menentukan keputusan.
Pendidikan

berhubungan

dengan

kemampuan

seseorang

untuk menerima dan merespon berbagai informasi, dimana,


tingkat pendidikan SMA atau lebih mempunyai kemampuan
menyerap informasi yang lebih baik dibandingkan dengan
pendidikan yang lebih rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan,

101

maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan seseorang,


karena hal ini erat kaitannya dengan peneriman informasi yang
diterima di bangku pendidikan akan lebih banyak, lebih baik dan
akurat, disamping itu akses informasi HIV/AIDS akan semakin
mudah pula. Pendidikan dapat memberikan nilai-nilai tertentu
dalam membuka cakrawala berfikir serta dengan pendidikan
seseorang dapat menerima hal-hal yang baru serta mengajarkan
bagaimana berfikir secara ilmiah (Marwiyah, 2012). Oleh karena
itu dalam penelitian ini diharapkan semakin tinggi pendidikan
sopir, maka akan semakin tinggi pula perilaku pencegahan
HIV/AIDS yang dilakukan.
Menurut Rosentock (1974), pendidikan adalah salah satu
faktor modifikasi yang mempengaruhi persepsi dan keyakinan
seseorang dalam melakukan perilaku sehat. Sedangkan dalam
teori Green (1980), pendidikan adalah salah satu variabel utama
(presdipossing factor) dalam menentukan perilaku kesehatan.
Menurut Diknas (2003) seseorang memiliki pendidikan tinggi
apabila telah menamatkan pendidikan tingkat SMA/sederajat
atau lebih tinggi dari itu. Dalam penelitian ini, sebesar 27,8%
responden memiliki pendidikan tinggi dan 72,2% memiliki
pendidikan rendah. Hasil penelitian menyatakan bahwa sopir
container dengan pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan
dengan sopir container dengan pendidikan tinggi .

102

Berdasarkan hasil analisis 72,2% responden yang memiliki


pendidikan tinggi terdapat 65,0% sopir melakukan perilaku
pencegahan yang baik, sedangkan sopir dengan pendidikan
rendah yang melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS adalah
sebesar 46,2%. Dilihat dari proporsinya, sopir dengan pendidikan
tinggi memiliki perilaku pencegahan HIV/AIDS yang lebih baik
dibandingkan dengan sopir dengan pendidikan rendah. Hal ini
dapat dilihat dari nilai OR, bahwa sopir dengan pendidikan tinggi
memiliki perilaku pencegahan 2,167 kali lebih baik dibandingkan
dengan sopir dengan pendidikan rendah.
Meskipun demikian, dari hasil analisis diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dan
perilaku pencegahan HIV/AIDS. Artinya pendidikan tidak memiliki
pengaruh yang besar dalam melakukan perilaku pencegahan
HIV/AIDS.
Hasil penelitian ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan
yang dilakukan oleh Mutia (2008). Menurut Mutia, hasil temuan
yang menyatakan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan
perilaku pencegahan sangat dimungkinkan karena karekteristik
yang dimiliki responden antara pendidikan tinggi dan rendah
adalah sama. Selain itu perilaku juga banyak dipengaruhi oleh
faktor lain.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Angela (2001) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

103

bermakna

antara

tingkat

pendidikan

dengan

konsistensi

penggunaan kondom (perilaku pencegahan). Perbedaan hasil


penelitian ini dengan penelitian lainnya dapat dijelaskan dengan
teori IMB Fisher dan J. Fisher (1992) sendiri, menurut teori ini
tingkat pendidikan memang tidak memiliki pengaruh langsung
dalam perubahan perilaku, begitu pula dengan teori HBM oleh
Rosentock (1974) yang menyatakan bahwa pendidikan tidak
secara langsung mempengaruhi individu untuk berperilaku sehat.
Namun pendidikan akan mempengaruhi informasi

individu,

motivasi dan keterampilan berperilaku untuk melakukan perilaku


pencegahan.

6.8

Hubungan Status Pernikahan Responden dengan

Perilaku Seksual Berisiko


Status pernikahan perlu dipertimbangkan terkait dengan
kemungkinan interaksi antara populasi paling berisiko (populasi
berisiko tinggi) dengan populasi umum (STBP, 2011). Supir truk
dan anak buah kapal merupakan kelompok paling berisiko tinggi
tertular HIV yang berasal dari hubungan seksual dengan WPS
(wanita pekerja seks). Dari kelompok tersebut, 55 87%
berstatus menikah (STPB, 2007).

104

Pernikahan merupakan dua ikatan dengan tujuan menjaga


keturunan, salah satunya adalah untuk menjaga diri agar
terhindar dari penyakit menular seksual dengan setia pada satu
pasangan tetap. Namun pada kelompok tertentu, seseorang
dengan status sudah menikah memiliki perilaku seksual berisiko
lebih tinggi, artinya individu dengan status menikah memiliki
perilaku pencegahan (konsistensi penggunaan kondom) yang
rendah dibandingkan dengan seseorang dengan status belum
menikah.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa diantara 37,5% sopir
yang belum menikah terdapat 59,3% sopir yang melakukan
perilaku pencegahan yang baik, sedangkan dari 62,5% sopir
yang sudah menikah terdapat 46,7% yang melakukan perilaku
pencegahan HIV/AIDS yang baik. Jika dilihat dari nilai OR, sopir
dengan

status

berperilaku

belum

pencegahan

menikah
HIV/AIDS

memiliki
lebih

peluang

tinggi

untuk

1,662

kali

dibandingkan dengan sopir dengan status sudah menikah.


Hasil uji analisis menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara status pernikahan dengan perilaku
pencegahan HIV/AIDS. Artinya, dalam penelitian ini status
pernikahan

tidak

memiliki

pengaruh

yang

besar

dalam

melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini didukung


oleh hasil penelitian Mutia (2008) bahwa status pernikahan
belum tentu mempengaruhi perilaku pencegahan HIV/AIDS.

105

Meskipun tidak terdapat hubungan yang bermakna, proporsi


responden dengan status belum menikah, melakukan tindakan
pencegahan lebih baik dari responden yang sudah menikah.
Berbeda dengan penelitian Angela, dkk. (2001) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara status pernikahan
dengan konsistensi penggunaan kondom. Pada penelitian ini,
konsistensi penggunaan kondom atau perilaku pencegahan HIV
pada

responden

dengan

status

menikah,

lebih

tinggi

dibandingkan dengan responden dengan status belum menikah.


Hal ini disebabkan karena tingkat kepercayaan dan keyakinan
responden

utnuk

mendapatkan

kondom

lebih

tinggi

dibandingkan dengan responden belum menikah.


Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
sangat dimungkinkan karena norma agama yang berbeda. Dalam
penelitian sebelumnya sopir terdiri dari agama Hindu dan non
Hindu, sedangkan dalam penelitian ini seluruh sopir yang
menjadi

responden

beragama

Islam.

Terdapat

perbedaan

kebudayaan, keyakinan beragama dan perilaku seksual pranikah


antara Islam dan non Islam. Menurut Adamzyk dan Hayes (2013),
perilaku seksual pranikah menjadi rendah pada non Islam
disebabkan oleh sirkumsisi (sunat), dan konsumsi alkohol.
Perbedaan norma agama antara Islam, Hindu dan non Hindu
diyakini mempengaruhi perilaku seksual sopir yang berstatus
belum menikah. Penelitian tersebut menemukan bahwa perilaku
seksual sebelum pernikahan di negara Islam sangat rendah dan

106

pemeluk Islam memegang teguh ajaran agama yang mereka


yakini. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti mengasumsikan
bahwa perbedaan ini terjadi karena perbedaan norma agama
pada penelitian sebelumnya. Sopir container yang menjadi
responden seluruhnya beragama islam, sehingga sopir dengan
status

belum

menikah

akan

lebih

memilih

untuk

mempertahankan perilaku seksual sebelum menikah.


Menurut Fisher, dan J. Fisher dalam teori IMB, serta Rosentock
dan

Becker

pernikahan

(1974)
ini

dalam

adalah

teori

faktor

HBM,

menyatakan

modifikasi

namun

status
perlu

diperhatikan, karena akan mempengaruhi persepsi individu


mengenai kerentanan, keuntungan, hambatan, ancaman, dan
tingkat keyakinan dalam menentukan perilaku sehat, meskipun
tidak mempengaruhi perilaku tersebut secara langsung.
Faktor pernikahan penting untuk dibahas karena responden
dengan status menikah, akan menularkan infeksi yang mereka
dapat dari penjual seks (WPS) kepada istrinya (perempuan
sebagai pasangan seks tetap). Dengan begitu, istri sebagai
pasangan sah sopir akan memiliki risiko yang sama akibat
perilaku pasangan mereka. Oleh karena itu peningkatan kasus
HIV/AIDS pada wanita juga terus meningkat setiap tahunnya.
Begitu juga dengan kasus HIV pada bayi, akan terus meningkat
jika ibu terdapat penderita HIV/AIDS pada ibu hamil dan
menyusui (Kemenkes, 2008).

107

Tidak

seperti

faktor

lainnya

(informasi,

motivasi

dan

keterampilan berperilaku) yang dapat diubah atau ditingkatkan


menjadi lebih baik. Faktor ini tidak bisa diperbaiki karena
merupakan sunnatullah. Agar HIV/AIDS tidak tertular kepada istri
dan bayi, maka pendekatan peran agama dalam hal ini sangat
dipentingkan disamping peningkatan pengetahuan baik pada
sopir maupun pada istri. Dalam upaya membentuk keluarga yang
terbebas dari HIV/AIDS, masing-masing anggota mempunyai
tanggung jawab dan fungsi sesuai dengan kedudukan masingmasing. Dibutuhkan kesadaran dari anggota keluarga bahwa
pasangan suami istri mempunyai tugas yang harus dilakukan,
suami bekerja mencari nafkah (sopir) sedangkan istri menjaga
anak-anak mereka. Untuk mewujudkan saling kepercayaan,
dibutuhkan pengetahuan agama yang kuat.

6.9

Hubungan Faktor Frekuensi Pulang ke Rumah

dengan Perilaku Seksual Berisiko


Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi
yang berisiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh jauh dari keluarga
dan masyarakat. Dimana norma-norma seksual dan sosial
diterapkan dan dipatuhi pada tingkatan yang berbeda. Mereka
harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Rokhmah,
2014), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sopir
container termasuk kedalam populasi penduduk yang bekerja

108

jauh dari pasangan sah dan jarang bertemu dengan istri,


sehingga melakukan perilaku seksual berisiko untuk memenuhi
kebutuhan biologis mereka.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Roy, dkk. (2010)
menyatakan semakin sering seorang sopir pulang ke rumah
bertemu isteri semakin baik perilaku pencegahan pada sopir.
Keadaan yang jauh dari pasangan dan keluarga dalam waktu
beberapa minggu bahkan beberapa bulan tanpa hiburan dapat
memicu kesepian dan kebosanan, sementara kebutuhan biologis
mereka harus terpenuhi, hal ini mendorong seseorang untuk
mencari hiburan dengan menggunakan jasa pekerja seks atau
dengan melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti
pasangan.
Hasil penelitian ini menyatakan 38,9% sopir pulang ke rumah
<2 bulan sekali, sedangkan sebesar 61,1% sopir pulang ke
rumah dengan frekuensi 2 bulan sekali, artinya sebagian besar
responden pulang ke rumah untuk bertemu suami 2 bulan
sekali lebih besar dibandingkan dengan sopir yang pulang setiap
kurang dari dua bulan sekali.
Berdasarkan hasil uji analisis, diketahui terdapat 71,4% sopir
memiliki perilaku pencegahan yang baik dengan frekuensi pulang
<2 bulan sekali, sedangkan terdapat 38,6% sopir melakukan
perilaku pencegahan yang baik dengan frekuensi pulang 2
bulan sekali. Dilihat dari nilai OR, sopir dengan frekuensi pulang

109

<2bulan sekali memiliki peluang melakukan perilaku pencegahan


HIV/AIDS yang baik dibandingkan dengan sopir dengan frekuensi
pulang 2 bulan sekali. Dari hasil uji chi-square diketahui
terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi pulang ke
rumah dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS.
Penelitian ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Lestari (2005) dan Roy, dkk. (2010), bahwa semakin sering
sopir bertemu dengan pasangan tetap, maka semakin tinggi
perilaku pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan. Frekuensi pulang
ke

rumah

adalah

salah

hubungan

seksual

dengan

hubungan

seksual

adalah

satu

penyebab

selain

sopir

pasangan

kebutuhan

melakukan

tetap,

biologis

yang

karena
harus

dipenuhi setiap sopir selama tidak bertemu dengan pasangan


tetap atau pasangan sahnya. Hasil STPB tahun 2013 menyatakan
bahwa sopir adalah salah satu kelompok yang melakukan
perjalanan jauh dan jarang bertemu dengan pasangan yang
membuat mereka melakukan hubungan seks dengan wanita
penjaja

seks

sedangkan

mereka

tidak

konsisten

dalam

menngunakan kondom. Penggunaan kondom pada sopir sangat


rendah, berdasarkan data STBP tahun 2013, hanya 14% sopir
truk yang konsisten menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seksual berisiko.
Penelitian ini berbeda dengan Penelitian Mutia (2008), hasil
temuannya menyatakan bahwa frekuensi pulang ke rumah tidak

110

memiliki hubungan yang bermakna antara frekuensi pulang ke


rumah

dengan

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS.

Meskipun

demikian, hasil peneitian tersebut menyatakan bahwa semakin


sering responden pulang ke rumah memiliki perilaku pencegahan
HIV/AIDS lebih baik dibandingkan dengan responden yang
frekuensi pulang ke rumah bertemu isteri nya semakin jarang.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan

111

Dari

hasil

dan

pembahasan

yang

telah

dipaparkan

sebelumnya, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:


1. Sopir

Container

yang

melakukan

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS yang baik ada sebesar 51,4% responden, sedangkan


sopir

container

yang

melakukan

perilaku

pencegahan

HIV/AIDS yang buruk ada sebesar 48,6%.


2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara informasi
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di
KBN Marunda tahun 2014.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara Motivasi dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di KBN
Marunda tahun 2014.
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara keterampilan
berperilaku dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir
container di KBN Marunda tahun 2014.
5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di KBN
Marunda tahun 2014.
6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir container di
KBN Marunda tahun 2014.

112

7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status


pernikahan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada sopir
container di KBN Marunda tahun 2014.
8. Terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi pulang
ke rumah dengan perilaku seksual berisiko HIV/AIDS pada
sopir container di KBN Marunda tahun 2014.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat
diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah
a. Berdasarkan hasil penelitian bahwa informasi dan motivasi
sopir masih perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan
pengetahuan, karena pengetahuan yang baik dan benar
akan mempengaruhi sikap dan motivasi sopir dalam
perilaku

pencegahan.

Oleh

sebab

itu

pemerintah

seharusnya menyediakan:
Media untuk menyebar luaskan informasi
1) Diharapkan pemerintah lebih menggunakan
massa

untuk

menyebarluaskan

informasi

media
terkait

HIV/AIDS. Karena media masaa adalah sumber utama


bagi

responden

mendapatkan

informasi

terkait

HIV/AIDS.
2) Layanan konseling dan cek kesehatan reproduksi di
sepanjang tempat pemberhentian sopir di perjalanan.

113

Disamping itu, pemerintah juga harus melakukan kerja


sama dengan pihak terkait, yang meliputi LSM, Ormas
dan lembagaga swasta yang juga konsentrasi dalam
pencegahan HIV/AIDS.
b. Berdasarkan hasil penelitian, penyuluhan yang dilakukan
petugas kesehatan yang seharusnya menjadi sumber
informasi yang utama hanya 12,5% saja. Oleh karena itu,
pemerintah

khususnya

melakukan

penyuluhan

di

bidang

yang

kesehatan

merata

kepada

harus
sopir

container.
c. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kasus HIV/AIDS tidak
cukup dengan melakukan pencegahan pada kelompok
utama saja, oleh karena itu pemerintah diharapkan
melakukan pencegahan HIV/AIDS secara menyeluruh dan
menyusun program berdasarkan dengan data dan fakta
yang adal di lapangan.
d. Depnakertrans RI agar

terus

mensosialisasikan

SK

Menakertrans no. 68/Men/IV/2004 mengenai kewajiban


setiap

perusahaan

untuk

melaksanakan

program

pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat


kerja.
2. LSM, ormas, dan lembaga swasta yang konsentrasi dalam
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
a. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan adalah salah
satu faktor utama yang harus ditingkatkan agar dapat

114

meningkatkan sikap dan motivasi sopit. Oleh karena itu


sebagai

lembaga

non

pemerintah,

LSM,

ormas

atau

lembaga swasta yang terkait diharapkan:


1) Dapat

memberikan

dan

membantu

program

pemerintah. Karena LSM dan Ormas dapat melakuakan


pendekatan

yang

lebih

tepat

pada

sasaran

penanggulangan HIV/AIDS.
2) LSM, Ormas diharapkan dapat melakukan advokasi
kepada

tokoh

agama

dan

adat

yang

mempunyai

kekuasaan dan power dalam melakukan perubahan.


Karena berdasarkan hasil penelitian, 76,3% menjawab
memegang teguh ajaran agama.
3. Perusahaan Transportasi Container
a. Berdasarkan

hasil

penelitian,

bahwa

motivasi

dan

keterampilan berperilaku adalah salah satu penyebab sopir


melakukan perilaku pencegahan HIV/AIDS, oleh karena itu
seharusnya perusahaan transportasi container mau bekerja
sama dengan program pemerintah, karena perusahaan
transportasi

container

sangat

menjadi

tolak

ukur

keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan


yang sudah dirancang pemerintah dan semua pihak terkait.
Adapun yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah
sebagai berikut:

115

b. Perusahaan
punisment

container
kepada

dapat memberikan reward dan

sopir

yang

mematuhi

perusahaan

ataupun yang melanggar kebijakan yang ada.


c. Program screening dan check up kesehatan reproduksi
secara berkala oleh perusahaan adalah salah satu program
yang dapat dilakukan oleh pihak perusahaan.
4. Peneliti selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan
penelitian terkait perilaku seksual berisiko HIV/AIDS dengan
jenis atau desain penelitian yang berbeda, seperti penelitian
kualitatif,

dengan

tujuan

dapat

membahas

permasalah

perilaku seksual berisiko lebih mendalam. Selain itu peneliti


selanjutnya

dapat

menerapkan

kerangka

konsep

sesuai

dengan teori perilaku yang berkaitan dengan HIV/AIDS,


sehingga dapat mengetahui faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi perilaku seksual berisiko HIV/AIDS.

DAFTAR PUSTAKA
Adamczynk, Amy dkk. Islamic Cuktures, Religious Affiliation, and
sex Outside of Marriage. Artikel. [Online]. [Diakses Oktober
2015]. Tersedia di:
www.socialsciencespace.com/2013/01/islamic-culturesreligious-affiliation-and-sex-outside-of-marriage/
Amran, Yuli. 2012. Pengolahan Data dan Analisis Data Statistik di
Bidang Kesehatan. Jakarta: UIN Jakarta
Anderson, Wagstaff D.A., dkk. 2006. Information-MotivationBehavioral Skills (IMB) Model: Testing Direct and Mediated

116

Treatment Effects on Condom Use among Women in Lowincome Housing. Journal Annals of Behavioral Medicine. Vol.
31, No. 1, 2006. Halaman 70-90.
Ariani, Putu Desi dan Arief Hargono. 2013. Analisis Hubungan
Antara Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan Berdasarkan
Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada Wanita Pekerja
Seks. Jurnal Unair. [Online]. [Diakses Desember 2014].
Tersedia di:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/001_putu_001.doc
Asfiah, Nurul. 2011. Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS Melalui
Penguatan Budaya. Jurnal Vol. 6, No. 2, Maret 2011.
[Online]. [Diakses Januari 2015]. Tersedia di:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/
1394/1507.
Averting HIV and AIDS. HIV and AIDS in Asia. [Online]. [Diakses
Maret 2015]. Tersedia di: http://www.avert.org/hiv-and-aidsasia.htm
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Depkes RI. 2006. Situasi Perilaku
Berisiko Tertular HIV Hasil SSP Tahun 2004-2005. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Depkes RI. 2007. Situasi Perilaku
Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006. [Online].
[Diakses Juni 2014]. Tersedia di:
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resource
s/Publication/PapuaHIV_bh.pdf
Ball, John. 2003. Understanding Herzberg's Motivation Theory.
[Online]. [Diakses Desember 2014]. Tersedia di:
http://www.chinaacc.com/upload/html/2013/06/26/lixingcun
841e7885772f4e7f907bf6272b185c41.pdf
Bandura, A. 1998. Health Promotion form the Perpective of Social
Cognitive Theory. Psychology and Health. Jurnal. Vol. 13.
Halaman 623-649. [Diakses Januari 2015]. Tersedia di:
http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1998PH.pdf.

117

Budiono, Irwan. 2012. Konsistensi Penggunaan Kondom oleh


wanita pekerja Seks/ Pelanggannya. Jurnal Kesmas, Vol. 7,
No. 2, 2012. Halaman 97-101. [Online]. [Diaskes Juni 2014].
Tersedia di: http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas
Centers for Disease Control and Prevention. HIV/AIDS. [Online].
[Diakses Maret 2015] tersedia di:
http://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html
Dadun, Heru Suparno dkk. 2011. Perilaku Seks Tak Aman pada
Pekerja Berpindah di Pantai Utara Jawa dan Sumatera
Utara tahun 2007. Jurnal Kesehatan Reprodukasi Vol. 1, No.
2, April 2011. Halaman: 92 101
Deborah, J. Terry, Cynthia Gallois dkk. Internal Series in
Experimental social Psychology, The Theory of Reasoned
Action. Its Applicayioned to AIDS-Preventive Behavior. New
York: Pergamon Press.
DiClemente, Ralph, Ricard A. Crosby dkk. 2002. Emergencing
Theories in Health Promotion Practice and Reasearch:
Strategies for Improving Public Health. San Francisco:
Jossey Bass.
Ditjen P2PL, Kemenkes RI. 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia Dilapor s/d Maret 2008. [Online]. [Diakses 21 Juni
2014]. Tersedia di: http://aidsjogja.slametriyadi.com/wpcontent/uploads/2008/04/kasus-hiv-aids-sd-maret-2008.pdf
______. Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor s/d Desember 2013. [Online]. [Diakses 21 April
2014]. Tersedia di: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
______. 2007. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d
Desember 2007. [Online]. [Diakses April 2014]. Tersedia di:
http://spiritia.or.id/Stats/Stat2007.pdf
Dixon, Anna. 2008. Motivation and Confidence: what does it take
to change behaviour?. [Online]. [Dikses Januari 2015].
Tersedia di:

118

http://www.kingsfund.org.uk/sites/files/kf/field/field_docume
nt/motivation-confidence-health-behavious-kicking-badhabits-supporting-papers-anna-dixon.pdf
Fauziah. 2007. Buletin Pekerja Migran dan HIV/AIDS. Buletin.
[Online]. [Diakses Desember 2014]. Tersedia di:
www.ilo.org/../wcms_125697.pdf
Fisher, J.D., Fisher, W.A. 1992. Changing AIDS Risk Behavior.
Psychological Bulletin, Jurnal Vol. 111. Halaman 455-474.
[Online]. [Diakses Desember 2014]. Tersedia di:
www.digitalcommons.uconn.edu/.../viewcontent.cgi
______. 2006. An Information-Motivation-Behavioral Skills Model
of Adherence to Antiretroviral Therapy. Health Journal
Psychology. Vol. 25, 2006. Halaman 462-473
Glanz, Karen, Barbara K. Rimer dkk., 2008. Health Behavior and
Helath Education, Theory Reasearch and Practice edisi 4.
San Fransisco: Jossey Bass, Willey Imprint
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo
Herzberg's Motivation-Hygiene Theory (Two Factor Theory).
[Online]. [Diakses Januari 2015]. Tersedia di:
http://www.abahe.co.uk/Free-En-Resources/Theories-ofManagement/Herzberg-Motivation-Hygiene-Theory.pdf
Juliastika, Grace E.C., dkk., 2011. Hubungan Pengetahuan
tentang HIV/AIDS dengan Sikap dan Tindakan Penggunaan
Kondom Pria pada Wanita Pekerja Seks di Kota Manado.
Jurnal. Vol. 1, No. 1, 2012. Halaman 15 20. [Online].
[Diakses Mei 2014]. Tersedia di:
http://ejournal.unsrat.ac.id/..75
Kemenkes RI. 2006. Risk behavior and HIV prevalence in Tanah
Papua 2006. Jakarta: Bakti Husada
______. 2008. Strategi Komunikasi Penaggulangan HIV dan AIDS
di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada

119

______. 2010. Draft Rencana Aksi Nasional Penanggulangan


HIV/AIDS Nasional 2014. Jakarta: Bakti Husada
______. 2011. Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku pada
Kelompok Berisiko Tinggi di Indonesia. Jakarta: Bakti
Husada
______. 2012. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak (PPIA). Jakarta: Bakti Husada
Kemenkes RI. 2013. Draft Rencana Aksi Nasional Pengendalian
HIV/AIDS Sektor Kesehatan 2014 2019. Jakarta: Bakti
Husada
Knipper, Emily, dkk. 2007. Condom Use Among Heterosexual
Immigrant Latino Men in The Southeastern United States.
AIDS Education and Prevention. New York. Jurnal Vol. 19,
No. 5, Oktober 2007. Halaman 436
Kristawansari. 2013. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap
Sopir Truk Tentang HIV/AIDS Dengan Perilaku Pencegahan
HIV/AIDS 2012. Unnes Journal Of Public Health. Vol. 2, No.
3, 2013. Halaman 1-9. [Online]. [Diakses April 2014].
Tersedia di: http://journal.unnes.ac.id/sju/index/php/ujph
Kumalasari, Yuli Ika. 2013. Perilaku Berisiko Penyebab Human
Immunodeficiency Virus (Hiv) Positif. Skripsi. [Online].
[Diakses April 201]. Tersedia di:
http://lib.unnes.ac.id/18775/1/6450408073.pdf
Larsen, Marie Helweg, Barry E. Collins. 1997. A Social
Psychological Perspective on the Role of Knowledge About
AIDS in AIDS Prevention. Jurnal Vol. 6, No. 2, April 1997.
Halaman 23 26.
Lestari, Ari. 2009. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan
tentang Infeksi Menular Seksual dengan Perilaku Seks
Pranikah Mahasiswa DIII Kebidanan Semarang. Skripsi.
[Online]. [Diakses April 2014]. Tersedia di:
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=6328

120

Lestari, Sri. 2005. Faktor-Faktor Yang Melatar belakangi Perilaku


Seksual pada Sopir Truk di Pangkalan Truk Tegal Panas
Kabupaten Semarang Tahun 2005. Skripsi. [Online].
http://eprints.undip.ac.id/4974/1/2734.pdf
Luthfiana, Yuli. 2013. Hubungan Pengetahuan dan Sikap
terhadap Perilaku Berisiko HIV/AIDS pada Pekerja
Bangunan di Proyek World Class University tahun 2013.
Skripsi. [Online]. [Diakses Desember 2014]. Tersedia di:
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/...TA-Yuli%20Luthfiana...pdf
Malta, M., F. Bastos, dkk. A qualitative Assesment of Long
Distance Truck Drivers Vulnerability to HIV/AIDS in Itajai,
Southern Brazil: Journal AIDS care. Vol. 18, No. 5, 2006.
Halaman 489-496
Marwiyah, Sri. 2012. Pengetahuan HIV/AIDS dan Penyakit
Menular Seksual Warga Binaan Pemasyarakatan pada
Rumah Tahanan Negara Wates. Skripsi. [Online]. [Diakses
Januari 2014]. Tersedia di:
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=81327&val=4927
Miller, WR. Motivational Interviewing. [Online]. [Diakses
November 2014]. Tersedia di:
http://www.researchgate.net/publication/43348114_Motivat
ional_interviewing/links/09e4150867f5b1cb3a000000.pdf.
M. Mahoney, Annette. 2011. The Health and Well-Being of
Caribbean Imigrants in United States. New York: The
Haworth Social Work Practice Press.
Mutia, Yusi. 2008. Perilaku Seksual Berisiko Terkait HIV/AIDS pada
Buruh Bangunan di Proyek P Perusahaan Konstruksi K,
Jakarta tahun 2008. Skripsi. [Online]. [Diakses April 2014].
Tersedia di: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122600-S
%205300-Perilaku%20seksual-Analisis.pdf

121

Notoadmodjo, Soekidjo. 2007. Pendidikan dan perilaku


Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
______. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
______. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
______. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Pandey, Arvind, Ram Manohar dkk,. 2012. Heterosexual Risk
Behaviour Among Long Distance Truck Drivers in INDIA:
Role of Marital Status: Indian Journal Med Res. Vol. 136,
Oktober 2012. Halaman 44-53
Rahardjo, Wahyu. 2013. Model Perilaku Seks Berisiko pada Pria.
Disertasi. [Online]. [Diakses pada tanggal 20 Mei 2014].
Tersedia di: http://ugm.ac.id/id/berita/8046raih.doktor.usai.teliti.model.perilaku.seks.berisiko.pada.pria
Rasumawati. 2014. Faktor pencegahan HIV/AIDS Pada Remaja
Islam. [Online]. [Diakses November 2014]. Tersedia di:
http://www.poltekkesjakarta1.ac.id/file/dokumen/18Faktor_p
encegahan_HIV_AIDS_Pada_Remaja_Islam.pdf
Rokhmah, Dewi. 2014. Implikasi Mobilitas Penduduk Dan Gaya
Hidup Seksual Terhadap Penularan HIV/AIDS. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, Vol 9. No. 2, 2014. Halaman 183190. [Online]. [Diakses Mei 2014]. Tersedia di:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
Sabri, Luknis. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press
Santoso, Imam. 2013. Manajemen Data Untuk Analisis Data
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Sarwono, Sarlino Wirawan. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
SCM Indonesia. 2010. Definisi Sopir /Pengemudi. [Online].
[Diakses pada Agustus 2014]. Tersedia di: http://scm-

122

indonesia.com/jasa/jasa-penyedia-tenaga-kerjajptk/supir.html
Spritia. 2014. Dasar HIV/AIDS. [Online]. [Diakses Mei 2014].
Tersedia di: http://spritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1001
STBP, Kemenkes RI. 2011. Surveilens Terpadu Biologis dan
Perilaku pada Kelompok Berisiko Tinggi di Indonesia.
Jakarta: Bakti Husada
Sugiono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Supranto, J. 2007. Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global.
Jakarta: Selemba Empat
Tempo. 2004. HIV/AIDS Dalam Sejarah. [Online]. [Diakses April
2014]. Tersedia di:
http://tempo.co.id/hg/narasi/2004/03/26/nrs,2004032606,id.html
Tjahyadi, Deidy. 2008. Profil Kesehatan Reproduksi Kelompok
Perempuan Termarginal: Prosiding Simposium Nasional
Mahasiswa Pascasarjana. Yogyakarta: Himpunan
Mahasiswa Pascasarjana UGM
U.S. Department of Health and Human Services National
Institutes of Health. 2005. Theory At Glance A Guide for
Health Promotion Practice Edisi II. [online]. [Diakses April
2014]. tersedia di: http://www.sneb.org/2014/Theory%20at
%20a%20Glance.pdf
Umar, Hussein. 2005. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen.
Jakarta: Gramedi Pustaka Utama
UNAIDS. 2013. Global Report: UNAIDS Report on the Global AIDS
Epidemic 2013. [Online]. [Diakses Januari 2015]. Tersedia
di: http://reliefweb.int/report/world/global-report-unaidsreport-global-aids-epidemic-2013
______. 2014. AIDS Epidemic Update. [online]. [Diakses Mei
2014]. Tersedia di:

123

http://unaids.org/.../unaids/.../epidemiology/2013/gr2013/U
NAIDS_Glob...pdf
Van Ree, Erik. 2011. HIV/AIDS preventive self-efficacy and selfdetermination effect on risky sexual behavior of SouthAfrican adolescents. Thesis report Master Educational
Advice and Design Utrecht University. [Online]. [Diakses
Januari 2015]. Tersedia di:
http://dspace.library.uu.nl/bitstream/handle/1874/210244/M
asterthesis%20Ree,%20EA%20van-0473936.pdf?
sequence=1
Wainberg, M., et al. (2006). Alcohol and Sexual Risk Behavior
Among Problem Drinking Men Who Have Sex With Men: An
event level analysis of timeline followback data. AIDS and
Behavior Journal Vol.10. Halaman: 299307.

Вам также может понравиться