Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /01
A. FILOSOFI
a. Pelaksanaan Early Warning System untuk deteksi hama dan penyakit secara dini,
merupakan tindakan yang mendukung pelaksanaan pengendalian hama secara terpadu
atau disebut Intergrated Pest Management (IPM)
b. Setiap usaha pengelolaan hama dan penyakit di kebun harus memprioritaskan
pemanfaatan biological control dan minimalisasi penggunaan pestisida, agar produk
yang dihasilkan berwawasan clean and healthy food
Penurunan produksi tanaman kelapa sawit sebagai akibat serangan hama ulat
api Setothosea asigna (Sumber : Desmier de Chenon, 1992).
% Defoliasi
Hampir 100
50
25
12
Tahun II **
93
78
29
11
Note :
*
** dalam satu periode 1 tahun terdapat lebih dari satu kali serangan
2. Deskripsi
a. Spesies hama ulat api (Nettle Caterpillar)
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /02
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /03
Stadia Pupa
Stadia Telur
Stadia Larva
Gambar 9.10. Siklus Hidup Hama Ulat Api
b. Laju perkembangan populasi terutama didukung oleh kemampuan berbiak dan waktu
yang digunakan dalam menyelesaikan siklus hidup.
c. Makin tinggi daya berbiak serta makin pendek siklus hidup maka makin cepat pula laju
pertambahan populasi.
d. Hal ini berarti bahwa toleransi terhadap tingkat batas kritis populasi menjadi lebih
rendah.
e. Kemampuan bertelur dari beberapa spesies haha ulat pemakan daun seperti tercantum
pada Tabel 9.2. di bawah ini.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
f.
Nomor Indeks :
IX /04
Selain itu juga dengan makin tingginya daya merusak hama maka toleransi tingkat
batas kritis populasi menjadi lebih rendah. Daya merusak atau daya konsumsi dari
hama terhadap bagian tanaman seperti tercantum pada Tabel di bawah ini :
Tabel 9.2. Siklus hidup beberapa spesies hama ulat pemakan daun kelapa sawit (Sumber :
Desmier de Chenon, 1992).
JENIS
HAMA
S.nitens
UKURAN ULAT
Ulat
Kecil
(cm)
<1
SIKLUS HIDUP
Ulat
Sedang
(cm)
12
Ulat
Besar
(cm)
>2
<1
57
(hari)
18 32
Instar
89
Kepom
pong
(hari)
17 31
Telur
(hari)
Ulat
40 70
Ratarata
(hari)
58
Total
(hari)
12
>2
48
45 59
89
37 32
86 10
96
0,5 1
>2
35
26 33
67
10 14
39 52
48
<1
12
>2
59
22 35
78
14 18
47 62
55
T.vetusta
<1
12
>2
58
43 55
78
20 29
60 92
80
P.diducta
<1
12
>2
46
30 37
67
11 14
45 47
46
M.corbetti
<1
12
>2
10 2
60 120
11 12
23 40
93 185
125
M.Plana
< 0.
0.5 1
>2
15 21
47 56
45
21 30
83 107
94
T.asigna
D.trima
< 0,5
T.bisura
Tabel 9.3. Kemampuan bertelur dan daya konsumsi beberapa spesies hama ulat pemakan
daun kelapa sawit (Sumber : Desmier de Chenon, 1992).
Jenis Hama
Kemampuan Bertelur (
butir )
Daya Konsumsi
( Cm2/larva )
250 - 300
300 - 400
600
90 - 300
2000 - 3000
100 - 300
367
300 - 500
94
27
n.a.
n.a.
n.a.
60 - 225
170 - 210
167
Kelompok A :
Setora nitens
Setothosea asigna
Birthosea bisura
Darna trima
Mahasena corbetti
Metisa plana
Kelompok B :
Thosea vetusta
Ploneta diducta
Note : Luas helai daun (leaf area) per pelepah berkisar antara 3-4 m atau rata-rata 3,5 m.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /05
4. Pengamatan (Monitoring)
a. Kejadian ledakan hama ulat api dan ulat kantong tidak tejadi secara tiba-tiba melainkan
bisa diduga dengan sistem pengamatan yang baik.
b. Semakin cepat diketahui gejala kenaikan jumlah populasi hama, akan
semakin
mudah pula untuk dikendalikan dan luas areal yang terserang akan lebih terbatas.
c. Tindakan pengamatan rutin akan menyebabkan kenaikan biaya upah, tetapi pada
akhirnya tindakan tersebut memungkinkan untuk menghemat biaya pengendalian
dan mempertahankan produksi (karena berkurangnya kerusakan yang disebabkan oleh
serangan hama tersebut).
d. Tindakan pengamatan yang rutin juga membantu dalam melaksanakan
kebijaksanaan pengendalian hama yang terpadu. Sehingga akhirnya dapat dijaga
berkurangnya musuh alami dan mewujudkan keseimbangan alami yang lebih serasi.
Dibawah ini dijelaskan tentang cara untuk mengetahui kehadiran hama, kriteria yang
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pengendalian, organisasi serta teknik-teknik pengamatan yang perlu dilakukan.
Prinsip Pengamatan
a. Pada umumnya suatu sistem pengamatan hanya berlaku untuk satu atau lebih
spesies hama yang mempunyai perilaku yang sama. Akan tetapi suatu sistem
pengamatan dapat dimodifikasi untuk pemantauan perkembangan populasi hama
lainnya.
b. Atas pertimbangan efisiensi maka pelaksanaan pengamatan dilakukan dengan cara
sistem sampling yang terdistribusi secara merata.
c. Sistem sampling harus berfungsi sebagai berikut :
mengetahui ada atau tidaknya hama dalam kawasan yang diamati.
mengetahui bagian mana dari kawasan yang diamati telah "diduduki" oleh hama
sehingga dapat dibuat peta sera- ngannya.
sejauh mungkin hasil pemantauan dapat meliput spot- spot serangan hama yang
terjadi.
Metode Pengamatan
a. Tentukan jenis hama yang dominan pada kawasan yang akan diamati. Hal ini penting
untuk menentukan pengambilan pelepah sample yang sesuai :
pelepah ke 9 s/d ke-24, jika jenis hama yang dominan adalah Setora nitens,
Thosea asigna, Susica sp.
pelepah ke-25 s/d ke-40, jika jenis hama yang dominan adalah Darna trima,
Thosea bisura, Thosea vetusta, Ploneta diducta dan golongan Ulat kantong.
Gantol/potong 1 (satu) pelepah dari salah satu PS pada masing- masing TS yang
ditaksir paling banyak ulatnya (Lihat Gambar 9.11.).
Tentukan jenis hamanya, dan hitung jumlah ulat atau larva, kemudian catat pada
formulir sensus seperti yang tercantum pada Tabel 9.4. dibawah ini.
b. Kadang-kadang ditemukan dari satu pelepah jumlah ulat atau larva yang banyak (> 50
ekor). Dalam keadaan ini, maka cara penghitungannya dapat dilakukan dengan 3 cara
yaitu sebagai berikut: (Lihat Gambar 9.12.) :
Cara A :
bila jumlah ulat/larva diperkirakan 50 ekor/pelepah, penghitungan langsung dilakukan
pada 1 pelepah.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /06
Cara B :
bila jumlah ulat / larva diperkirakan 50-100 ekor/pelepah, penghitungan hanya dilakukan
pada satu sisi pelepah saja dan hasilnya lalu dikalikan 2.
Cara C :
bila jumlah ulat/larva diperkirakan 100 ekor/pelepah penghitungan hanya dilakukan pada
anak daunnya dengan selang setiap 10 anak daun, dan hasil rata- rata setiap anak daun
lalu dikalikan 10.
:
:
:
Tanggal Sensus
Nama Pengamat
No. PS
:
:
:
Mati/Kosong
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /07
Gambar 9.12. Cara penghitungan jumlah ulat/larva pada pelepah kelapa sawit
Analisa Data Pengamatan
a. Batas kritis dan kategori serangan
Tabel 9.5. di bawah ini memperlihatkan batas kritis dan klasifikasi kategori serangan dari
hama ulat pemakan daun pada sawit.
b. Examination :
Ini merupakan pengamatan keadaan lokasi serangan, stadia hama, pengamatan
laboratorium sederhana dari sample hama yang dikumpulkan saat dilakukan
examination. Pekerjaan ini dilakukan sendiri oleh Staf dari kebun (Operation).
Pengamatan tersebut merupakan salah satu tahap pekerjaan yang penting, karena
dengan mengetahui keadaan lokasi serangan, stadia hama yang dominan,
kepadatan populasi hama, peranan musuh alami (predator, parasit dan penyakit),
maka tindakan yang tepat dapat ditentukan.
5. Tindakan Pengendalian
a. Tujuan utama tindakan pengendalian hama adalah bukan untuk membasmi hama,
tetapi untuk menurunkan populasi hama sampai pada tingkat yang tidak merugikan.
b. Pengendalian secara kimia adalah merupakan pilihan terakhir, apabila diperkirakan
kerusakan akibat serangan akan menyebabkan kerugian penurunan produksi. Namun
apabila kerusakan akibat serangan diperkirakan belum akan menurunkan produksi,
maka tindakan pengendalian secara biologis lebih diprioritaskan.
c. Departemen Riset akan memberikan rekomendasi untuk menentukan skala
prioritas pengendalian berdasarkan jenis hama, tingkat serangan, ketersediaan alat
dan bahan (insektisida atau agen biologis), serta batas waktu yang tersedia untuk
pengendalian.
d. Tabel 9.6. dibawah ini merupakan pedoman metode pengendalian hama ulat perusak
daun yang umum dilakukan.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /08
Tabel 9.5. Batas kritis serangan ulat api dan ulat kantong
Batas kritis
Jenis
Hama
Golongan A
- Setora nitens
- Thosea asisgna
- Thosea bisura
- Darna trima
- Calliteara horsfieldii
- Dasychira incluasa
- Mahasena corbetti
Golongan B
- Birthamulla chara
- Darna catenatus
- Ploneta bradleyi
- Ploneta diducta
- Susica malayana
- Thosea monoloncha
- Thosea vetusta
- Metisa plana
- Crematopsyche
pendula
(ekor/pelepah
Ringan
TBM
Sedang
10
10
20
60
10
10
10
12
12
15
1 10
12
12
12
25
40
60
20
25
15
20
60
60
15
1 10
1 10
15
15
15
15
1 10
1 10
TBM
TM
5
5
10
30
5
5
5
15
20
30
10
15
10
10
30
30
Bera
t
Ringan
TM
Sedang
Berat
35
35
6 10
11 2
35
35
35
>5
>5
>10
>20
>5
>5
>5
15
15
1 10
1 20
15
15
15
6 10
6 10
11 2
21 4
6 10
6 10
6 10
>10
>10
0>20
0>40
>10
>10
>10
6 10
11 20
11 20
6 10
6 10
6 10
6 10
11 20
11 20
>10
>20
>20
>10
>10
>10
>10
>20
>20
1 10
1 20
1 20
1 10
1 10
1 10
1 10
1 20
1 20
11 20
21 40
21 40
11 20
11 20
11 15
11 20
21 40
21 - 40
>20
>40
>40
>20
>20
>15
>20
>40
>40
PENGENDALIAN
-
< 3 TAHUN
3 - 7 TAHUN
> 7 TAHUN
> 15 TAHUN
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /09
6. Cara pengendalian
Beberapa metoda/cara pengendalian hama ulat api dan ulat kantong yang umum dilakukan
di perkebunan kelapa sawit, antara lain :
a. Penyemprotan dengan Mist Blower
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /010
Gambar 9.16. Tahapan pengendalian hama dengan Root Absorption (infus akar)
Tabel 9.7. Jenis pestisida yang direkomendasikan untuk pengendalian hama ulat api dan
ulat kantong.
METODE PENGENDALIAN
Jenis Pestisida
Cara Aplikasi
Spraying atau
Fogging
Bahan aktif
Kimia
Spraying atau
Fogging
Biologis
Trunk injection
Kimia
DOSIS /
KONSENTRASI
- Tralometrin (PS)
- Deltamethrin (PS)
- Sipermetrin (PS)
- Bacteri Thuringiensis
300 - 400 g / ha
- Virus
200 - 300 g / ha
- Dimehipo
6 g a.I. / pokok
ROTASI
APLIKASI
bila ada
serangan
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /011
e. Pengendalian Biologi
Di area serangan yang didapati adanya infeksi alami virus pada ulat/larva, maka
larva yang terinfeksi tersebut dapat dikumpulkan sebagai agent biologis. (Lihat
Gambar 9.17).
Suspensi virus dari larva yang terinfeksi ini dapat disemprotkan kembali ke lapangan
(areal serangan) sebagai pengendalian hama secara biologis.
Demikian juga pupa dari ulat api S. nitens dan S. asigna yang terinfeksi oleh jamur
enthomopathogenic yaitu Cordyceps sp. atau Beauveria bassiana juga bisa
dikumpulkan untuk digunakan sebagai agent biologis. (Lihat Gambar 9.18.).
Suspensi dari pupa yang terinfeksi jamur Cordyceps ini dapat disemprotkan kembali
ke lapangan yaitu di sekeliling piringan dimana terdapat ulat/larva akan menjadi
stadia kepompong/pupa (ulat/larva sudah jatuh/merayap di tanah).
Pemanfaatan musuh alami, seperti serangga predator (Gambar 9.19 & 9.20),
serangga parasit / parasitoid (Gambar 9.21. & 9.22.).
Gambar 9.18.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /012
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /013
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /014
HAMA TIKUS
1. Kerusakan
a. Pada TBM, tikus menyerang umbut/titik tumbuh.
b. Gejala serangannya berupa bekas gerekan, lubang-lubang pada pangkal pelepah
bahkan sering ditemui pelepah yang putus/terkulai.
c. Kadang-kadang dijumpai serangan hama ini sampai ke titik tumbuh, terutama pada
tanaman umur sekitar 1 tahun sehingga menyebabkan kematian tanaman.
d. Pada TM, tikus selain menyerang bunga betina dan bunga jantan, juga memakan
mesokarp buah (daging buah) baik pada tandan muda maupun yang sudah matang.
e. Pada areal yang terserang tikus dengan kategori serangan berat, populasi tikus
dapat mencapai + 300 ekor/hektar.
f. Dari hasil penelitian diketahui bahwa satu ekor tikus dapat mengkonsumsi
mesokarp + 4 gram/hari, sehingga kehilangan produksi mencapai + 5 % dari produksi
normal.
2. Deskripsi dan Biologi
2.1. Spesies Tikus
a. Beberapa spesies tikus yang telah dijumpai banyak merusak tanaman kelapa sawit,
antara lain Rattus tiomanicus, Rattus exulans, Rattus argentiventer (Gambar 9.25).
b. Diantaranya yang paling dominan adalah R. tiomanicus.
Rattus tiomanicus
Rattus argentiventer
Gambar 9.25. Tiga jenis tikus yang umum merusak tanaman kelapa sawit
2.2. Makanan dan Habitat
a. Untuk dapat hidup dan berkembang biak, tikus membutuhkan makanan, air,
mineral/vitamin dan lindungan (shelter).
b. Makanan yang dibutuhkan oleh tikus biasanya terdiri dari tiga golongan besar yaitu
karbohidrat, lemak dan protein.
c. Di dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit tikus memperoleh kebutuhannya sebagai
berikut :
A. Makanan
Sumber karbohidrat, berasal dari umbut dan buah/bunga kelapa sawit, akar dan bijibiji rumput.
Sumber lemak, berasal dari buah kelapa sawit, serangga, siput/keong dan lain-lain.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /015
Elaeidobius
B. Mineral / Vitamin
Sumbernya berasal dari biji-biji gulma, tanah dan bahan organik.
C. Air
Berasal dari parit/sungai dan bagian-bagian tanaman.
D. Lindungan
Ekosistem perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk perkembangan populasi
tikus, karena cukup aman dari gangguan musuh alaminya, seperti dibawah
tumpukan kayu/pelepah kelapa sawit, atau didalam lubang di bawah tanah.
2.3. Prinsip dan Strategi Pengendalian
a. Tindakan pengendalian hama tikus akan berhasil dengan baik, apabila populasinya
dapat ditekan semaksimal mungkin sampai ke tempat sumbernya di sekitar areal
yang terserang.
b. Tindakan pengendalian bukan hanya terbatas pada tempat yang diserang saja,
melainkan menyeluruh dan tidak tergantung ada/tidaknya serangan di areal tersebut.
c. Berdasarkan hasil penelitian dinamika populasi tikus diketahui bahwa pada 9 bulan
setelah aplikasi rait-bait, populasi tikus kembali pada tingkat yang sama dengan
populasi tikus sebelum dikendalikan (populasi asal).
d. Hal ini disebabkan karena masih adanya sebagian populasi yang masih hidup
sewaktu dilakukan pengendalian, sehingga dengan berjalannya waktu, populasi asal
dapat tercapai kembali.
2.4. Pengamatan
a. Pada daerah yang diketahui telah dihuni (diinfestasi) oleh tikus, pada prinsipnya tidak
perlu dilakukan pengamatan rutin, tetapi langsung dilakukan pengendalian secara
berkala dengan jadwal yang teratur.
b. Hal ini bisa dilakukan hanya dengan syarat apabila :
persediaan rait-bait di setiap kebun cukup dan sesuai kebutuhan.
pada setiap rotasi, aplikasi rait-bait dapat dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan.
2.5. Pengendalian
A. PENGENDALIAN SECARA KIMIA
Prinsip
a. Pengendalian hama tikus dilakukan secara berkala yaitu dua kali setahun pada semua
areal tanpa memperhatikan ada/tidak adanya serangan di areal tersebut (rotasi mati).
b. Pengendalian hama ini dilakukan dengan cara pemberian umpan beracun atau rait-bait
(contoh: Klerat RM-B atau umpan jenis lainnya yang direkomendasikan oleh Dept.
Riset).
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /016
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /017
Komplek ;
Blok :
Luas :
Ha : ..
Blok :
Luas :
Ha :
TANGGAL
JLH UMPAN
TANGGAL
JLH UMPAN
100
100
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /018
Walaupun potensial burung hantu sebagai agen kontrol biologis terhadap tikus telah
diakui keampuhannya oleh banyak peneliti dan praktisi perkebunan namun dalam
kenyataannya sebagian terbesar perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan terutama di
Indonesia saat ini masih tetap mengutamakan cara kimia (racun tikus).
g. Kegagalan pengembangan burung hantu ini terutama disebabkan karena konsistensi
dan ketekunan yang kurang di tingkat pelaksana tehnis di kebun dan masih belum
diketemukannya prosedur kerja dan metode pengembangan burung hantu yang efektif,
terutama di kawasan baru.
h. Penerapan cara pengembangan yang selama ini dipraktekkan di West Malaysia dan
Sumatera Utara ke kawasan pengembangan kelapa sawit yang baru umumnya
mengalami kegagalan.
i. Secara tehnis kegagalan ini disebabkan karena banyak nest box yang telah dibuat dan
dipasang di lapangan tidak dihuni oleh burung hantu dan tidak dipergunakan untuk
berkembang biak.
j. Departemen R & D Minamas Plantation telah berhasil mengembangkan suatu metode
pengembangan burung hantu yang telah terbukti efektif di kawasan baru.
Biologi Burung Hantu
Klasifikasi
a. Ada 2 (dua) golongan/family besar yang membedakan dalam klasifikasi burung hantu
yakni berasal dari Family Strigidae dan Family Tytonidae.
b. Adapun jumlah spesies burung hantu pada Family Strgidae sebanyak 123 spesies.
Sedangkan pada Family Tytonidae sebanyak 11 spesies dimana salah satunya adalah
spesies Tyto alba yang diketahui sebagai predator tikus yang sangat potensial.
c. Klasifikasi burung hantu (Tyto alba) sebagai berikut :
-
Phylum
Sub Phylum
Classis
Ordo
Family
Genus
Species
:
:
:
:
:
:
:
Chordata
Craniata
Aves
Strigiformes
Tytonidae
Tyto
Tyto alba
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /019
Keterangan :
- Jantan (sebelah kiri)
- Betina (sebelah tengah & kanan)
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /020
Perkembangbiakan
a. Burung hantu Tyto alba berkembangbiak dengan cara bertelur. Jumlah telur yang
dihasilkan dari setiap generasi peneluran yakni rata-rata 4.8 1.65 butir per periode
peneluran.
b. Variasi jumlah telur yang dihasilkan ini diduga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
mangsanya di kawasan buruannya.
c. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa semakin banyak makanan (tikus)
tersedia di areal perburuannya, maka jumlah telur yang dihasilkan pada setiap
pasangan menjadi lebih meningkat.
d. Ukuran telurnya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan telur ayam kampung, yakni
panjang 44 mm dan lebar 31 mm.
e. Masa bertelur burung hantu pada setiap generasinya adalah berkisar antara 15 - 24 hari
dimana masa peletakan telur berkisar antara 1 - 7 hari.
f. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa T. alba mengalami masa
peneluran antara 2 3 kali dalam setahun dengan tingkat penetasan telur mencapai
90%.
g. Dengan demikian populasi burung hantu yang akan dihasilkan dari setiap satu pasang
burung adalah berkisar antara 3 5 pasang dalam setahun.
h. Anakan burung hantu akan menjadi dewasa (bisa terbang) setelah berumur 2 - 2.5
bulan dari saat menetas.
i. Umumnya anakan ini akan meninggalkan induk dan sarangnya untuk mencari tempat
tinggal/sarang yang baru. Setelah matang sexual yakni berumur 8 bulan, burung
hantu tersebut akan melakukan perkawinan dan selanjutnya berkembangbiak.
j. Pasangan burung hantu sepanjang hidupnya adalah tetap, kecuali bila salah satunya
mengalami kematian.
k. Masa hidup burung hantu Tyto alba di lapangan dapat mencapai 4.5 tahun.
Perilaku Burung Hantu
a. Tyto alba selain termasuk buas juga bersifat kanibal, yakni dalam kondisi terpaksa
karena kurangnya makanan di daerah perburuannya maka burung hantu dewasa dapat
memakan burung hantu anakan. Umumnya anakan yang dimakan adalah anakan yang
paling lemah (masih kecil / baru menetas).
b. Setiap kali melakukan perburuan di malam hari, burung hantu selalu membawa
sebagian makanan berupa tikus ke dalam sangkar. Ini dimaksudkan sebagai cadangan
makanan pada waktu menjelang tengah malam atau pagi hari. Hal ini terlihat adanya
banyak ditemukan sisa-sisa makanan berupa potongan bangkai tikus (kepala tikus)
yang berada di sekitar sangkarnya.
c. Pada malam hari sekelompok populasi burung burung hantu sering berkumpul pada
salah satu tempat, seperti pada pohon tinggi atau diatas bangunan sambil berteriakteriak. Mula-mula kegiatan ini dilakukan oleh beberapa ekor saja sambil berteriak-teriak,
kemudian menyusul burung hantu lainnya untuk mendekati. Pertemuan ini biasanya
dilakukan sebelum atau setelah selesai mencari makanan/berburu. Beberapa waktu
kemudian ( 30 menit) burung hantu tersebut terbang kembali meninggalkan tempat
pertemuan tersebut menuju sangkarnya masing-masing.
d. Burung hantu betina pada saat bertelur atau mengerami telur selalu berada di dalam
sangkar, kecuali pada malam hari saat mencari makanan/berburu. Begitu juga dengan
burung hantu jantan selalu dengan setia menunggui burung hantu betina (yang sedang
bertelur/mengerami) di luar sangkarnya yakni pada pohon-pohon yang tinggi dan tidak
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /021
jauh dari sangkar tersebut. Perilaku ini umumnya dilakukan hingga anakan burung
hantu dalam sangkar telah berusia 2 bulan dimana anakan mulai belajar bisa terbang.
e. Burung hantu Tyto alba mempunyai sinar mata infra merah, yakni sanggup melihat
dengan jelas benda-benda dalam keadaan gelap (malam hari). Sehingga burung hantu
ini aktif pada malam hari dimana seluruh kegiatan mulai dari mencari makanan/berburu
mangsanya, melakukan perkawinan maupun bersosialisasi dengan burung hantu
lainnya juga dilakukan pada malam hari. Sedangkan pada siang hari umumnya
kegiatan burung hantu ini dilakukan hanya untuk istirahat (tidur) saja.
f. Selain mempunyai kemampuan melihat benda pada malam hari, burung hantu ini juga
mempunyai pendengaran yang cukup peka terhadap gerakan / suara mangsanya yaitu
tikus. Berkat ketajaman penglihatan dan kepekaannya tersebut, maka burung hantu ini
dengan mudah melakukan perburuan mangsanya dengan baik pada malam hari.
g. Cara berburu burung hantu Tyto alba ini cukup efektif dalam mengendalikan tikus dalam
kawasannya. Hal ini karena Tyto alba tidak akan berburu mangsanya (tikus) di tempat
lain apabila di sekitar sangkarnya masih cukup banyak dan mudah untuk mendapatkan
tikus. Namun kawasan perburuan ini akan semakin meluas sejalan dengan semakin
berkurangnya populasi tikus di kawasan perburuan sebelumnya. Dengan demikian
populasi tikus pada kawasan tersebut akan terkontrol dengan baik oleh keberadaan
populasi burung hantu dalam jangka panjang.
Pengembangan Burung Hantu
Metode Pengembangan
a. Metode pengembangbiakan burung hantu pada kawasan perkebunan kelapa sawit
dilakukan dengan cara pemikatan atau yang dinamakan Pengembangan Metode SIP.
b. Metode ini memanfaatkan sifat burung hantu yang mempunyai kebiasaan untuk selalu
berkumpul di satu tempat pada saat sebelum dan sesudah mencari makan (berburu
tikus) sambil berteriak-teriak satu sama lainnya.
c. Pengamatan terhadap perilaku burung hantu di lapangan menunjukkan bahwa sebelum
berkumpul, biasanya satu atau lebih burung hantu berteriak-teriak sehingga dalam
selang waktu tidak lama kemudian akan datang burung hantu lainnya untuk ikut
bergabung bersama-sama sambil berteriak-teriak (mereka mungkin sedang bernyanyinyanyi atau mengundang kedatangan burung hantu lainnya).
d. Dalam pelaksanaan metode pengembangan burung hantu dengan cara pemikatan ini
dibedakan atas dua kondisi yakni tergantung ada/tidaknya populasi burung hantu lokal
(native) pada kawasan baru tersebut.
e. Pembedaan ini perlu dilakukan karena prosedur pengembangan burung hantu untuk
kedua kondisi tersebut berbeda. Untuk itu langkah awal yang harus dilakukan adalah
pra-survai terhadap keberadaan burung hantu lokal di lokasi tersebut.
f. Prosedur detil pengembangan burung hantu pada kawasan baru (Kondisi awal I & II)
dengan cara pemikatan (Pengembangan Metode SIP) adalah sebagai berikut :
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /022
Ilustrasi metode pengembangan burung hantu pada kawasan baru tercantum pada Gambar
9.28. dibawah ini.
Kondisi Awal I : Kawasan dengan Populasi Burung Hantu Lokal
a. Melakukan pra-survai terhadap keberadaan populasi burung hantu lokal yang berada di
bangunan (seperti: gudang, kantor, perumahan, dll) dan pohon-pohon besar.
b. Keberadaan burung hantu ini dapat dipastikan dengan cara melihat langsung sarang
persembunyiannya atau mencari bekas kotoran berupa pelet atau cairan berwarna putih
(masih basah atau sudah kering) pada tanah/lantai dibawah tempat yang dicurigai akan
adanya burung hantu.
c. Memasang kandang pemikat (bentuknya seperti kandang ayam) yang diisi dengan satu
pasang burung hantu.
d. Lokasi penempatan kandang ini harus strategis (diusahakan agar berdekatan dengan
pohon-pohon besar atau pada areal di sekitar emplasemen) dan diusahakan jauh atau
membelakangi lampu penerangan serta aman dari gangguan manusia. Hal ini
dimaksudkan agar burung hantu tidak mudah mengalami stress.
e. Burung hantu tersebut selama di kandang pemikat diberi makan cincangan daging tikus
sebanyak 4 6 ekor tikus setiap sore hari.
f. Memasang nest box di sekitar kandang pemikat burung hantu dalam kawasan radius
500 2.000 m.
g. Berapa jumlah nest box yang harus dipasang tidak ada batasan yang pasti disesuaikan
dengan perkiraan tingkat kepadatan dan sebaran populasi burung hantu lokal di
kawasan tersebut.
h. Sedangkan letak nest box yang dipasang di kawasan tersebut diusahakan posisinya
pada lokasi-lokasi dengan ketinggian tanah puncak (tertinggi) dan pada awalnya
sebagian nest box (2 3 unit) dipasang berdekatan (jarak 10 50 m) dengan kandang
pemikat burung hantu.
i. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang yang besar terhadap daya tarik nest
box untuk ditempati oleh burung hantu lokal yang setiap malam berkumpul di sekitar
kandang pemikat karena adanya teriakan-teriakan burung hantu yang berada di dalam
kandang pemikat.
j. Keberadaan burung hantu pada nest box yang dipasang di kawasan tersebut perlu
dilakukan monitoring sekali setiap sebulan bersamaan dengan pemeliharaan kebersihan
nest box dari gangguan serangga/ semut atau kotoran dari burung-burung liar lainnya.
k. Apabila sudah terdapat satu atau lebih nest box yang digunakan oleh burung hantu
untuk berkembangbiak, maka di sekitar nest box tersebut harus segera dipasang
tambahan nest box baru. Sehingga secara berantai radius areal pengembangan burung
hantu akan semakin melebar dan nantinya seluruh kawasan pertanaman kelapa sawit
tersebut akan terpasang nest box yang dihuni oleh burung hantu.
Kondisi Awal II : Kawasan Tanpa Ada Populasi Burung Hantu Lokal
a. Menentukan pusat lokasi pengembangan burung hantu pada kawasan yang telah
ditetapkan.
b. Pemilihan pusat lokasi pengembangan ini agar diupayakan dalam lingkungan
emplasemen (perumahan/perkantoran). Hal ini dimaksudkan agar pengawasan dan
keamanan (khususnya gangguan manusia) terhadap keberadaan burung hantu di
kawasan tersebut dapat terkontrol secara baik.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /023
c. Selain itu juga kita ingin memanfaatkan sifat-sifat burung hantu yang diketahui mudah
untuk beradaptasi dan berkembangbiak dengan cepat pada habitat di lingkungan
emplasemen/perumahan.
d. Mengintroduksi (mengimpor dari daerah lain) burung hantu dewasa atau anakan yang
baru bisa terbang sebanyak 20 25 pasang untuk dilepaskan pada kawasan
pengembangan baru tersebut.
e. Burung hantu tersebut dimaksudkan sebagai populasi awal di daerah pengembangan
baru mengingat burung hantu lokal tidak dijumpai keberadaannya.
f. Agar burung hantu yang dilepas tersebut tetap berada di kawasan yang diinginkan (tidak
menyebar jauh dari kawasan pengembangan) maka harus segera ditempatkan satu unit
kandang pemikat (bentuknya seperti kandang ayam) yang diisi dengan satu pasang
burung hantu.
g. Lokasi penempatan kandang pemikat ini harus strategis (diusahakan agar berdekatan
dengan pohon-pohon besar atau pada areal di sekitar emplasemen) dan diusahakan
agar jauh atau membelakangi lampu penerangan serta aman dari gangguan manusia.
h. Hal ini dimaksudkan agar burung hantu tidak mudah mengalami stress. Burung hantu
tersebut selama di kandang pemikat diberi makan cincangan daging tikus sebanyak 4
6 ekor tikus setiap sore hari.
i. Memasang nest box di sekitar kandang pemikat burung hantu dalam kawasan radius
500 2.000 m. Jumlah nest box yang harus dipasang sekitar 20 - 30 unit.
j. Letak nest box yang dipasang di kawasan tersebut bisa tidak beraturan tetapi posisinya
strategis dan diusahakan untuk sementara waktu berdekatan dengan kandang pemikat
burung hantu.
k. Cara ini dimaksudkan agar memberikan peluang yang besar terhadap daya tarik nest
box untuk ditempati oleh burung hantu. Hal ini mengingat burung hantu yang dilepas
tersebut pada setiap malam harinya akan berkumpul di sekitar kandang pemikat karena
adanya teriakan-teriakan burung hantu yang berada di dalam kandang pemikat.
l. Monitoring sekali setiap sebulan untuk mengetahui keberadaan burung hantu pada nest
box yang dipasang di kawasan tersebut.
m. Bersamaan dengan pengamatan tersebut juga dilakukan pemeliharaan terhadap
kebersihan nest box seperti dari gangguan serangga atau kotoran dari burung-burung
liar lainnya.
n. Apabila sudah terdapat satu atau lebih nest box yang telah digunakan oleh burung hantu
untuk berkembangbiak maka di sekitar nest box tersebut harus segera dipasang
tambahan nest box baru.
o. Sehingga secara berantai radius areal pengembangan burung hantu akan semakin
melebar dan nantinya seluruh kawasan pertanaman kelapa sawit tersebut akan
terpasang nest box yang dihuni oleh burung hantu.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /024
Kandang Burung Hantu (Nest Box) dan Kandang Pemikat (Enticement Box)
a. Dibawah ini dijelaskan secara terperinci tentang kebutuhan bahan untuk pembuatan
nest box dan kandang pemikat (Enticement Box) burung hantu (Tabel 9.9. dan 9.10.).
b. Adapun konstruksi nest box dan kandang pemikat yang digunakan untuk
pengembangan burung hantu tercantum pada Lampiran 9.1. dan 9.2.
c. Kontruksi ini telah dilakukan uji lapangan secara komersial, dimana hasilnya efektif
untuk pengembangan burung hantu di perkebunan kelapa sawit.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /025
Melakukan pemindahan populasi burung hantu (anakan yang akan terbang) secara
buatan, yakni dari lokasi dimana populasi burung hantu yang padat ke lokasi yang
populasinya kurang.
Membuatan laporan bulanan perkembangan status populasi burung hantu secara up
to-date.
c. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Supervisi tersebut dibutuhkan sarana
transportasi yang representatif.
d. Mengingat kawasan areal yang harus dikawal cukup luas, maka berdasarkan
pengalaman bahwa jenis transportasi yang sesuai untuk pekerjaan tersebut adalah
sepeda motor.
Tugas dan Tanggung Jawab
a. Kebun melakukan pengadaan nest box, kandang pemikat (Enticement Box) dan
populasi burung hantu Tyto alba sesuai dengan kebutuhan untuk pengembangan
burung hantu di suatu kawasan baru.
b. Dalam hal ini Dept. Riset akan membantu secara teknis untuk menentukan lokasi
pengembangan burung hantu yang sesuai dan estimasi pengadaan nest box / kandang
pemikat serta populasi awal burung hantu yang dibutuhkan.
c. Kebun sepenuhnya bertanggungjawab terhadap keamanan nest box, kandang pemikat
dan keberadaan burung hantu di lapangan dari gangguan manusia (ditembak, diambil
telurnya, nest box dirusak, dll) dengan segala cara.
d. Salah satu cara yang saat ini cukup efektif untuk dilakukan adalah dengan
mensosialisasikan kepada seluruh Karyawan (melalui Asisten Divisi), bahwasannya telur
dan burung hantu (termasuk anakannya) tersebut mengandung bibit penyakit berbahaya
yang dibawah tikus sebagai makanan utama burung hantu.
e. Untuk menjaga kemungkinan terjadinya kematian burung hantu di lokasi kebun yang
telah diterapkan pengendalian tikus secara biologis tersebut, maka pada areal-areal
yang telah dibebaskan dari aplikasi racun tikus harus benar-benar ditaati.
f. Rekomendasi penentuan areal yang dibebaskan dari aplikasi racun tikus akan
ditetapkan oleh Dept. Riset secara up to-date. Hal ini dikarenakan racun tikus (rait bait)
yang dimakan oleh tikus yang selanjutnya tikus tersebut (belum mati) dikonsumsi oleh
burung hantu (dalam jumlah tertentu), maka dapat menyebabkan kematian burung
hantu akibat terkontaminasi oleh bahan aktif racun tikus.
Pelaporan (Administrasi)
a. Untuk mendukung keberhasilan pengendalian tikus dengan menggunakan burung
hantu, maka mutlak diperlukan sistem administrasi dan pelaporan yang memadahi.
b. Hal ini diperlukan untuk kepentingan evaluasi dan penentuan strategi pengendalian
dengan burung hantu selanjutnya.
c. Beberapa kegiatan administrasi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
Monitoring Pemasangan Nest Box Burung Hantu di Lapangan (Formulir 1).
Monitoring Keberadaan Burung Hantu di Nest Box (Formulir 2)
Monitoring status perkembangan populasi burung hantu (Formulir 3).
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /026
FORMULIR 1.
MONITORING PEMASANGAN NEST BOX BURUNG HANTU
(Periode Bulan : ......... / .......)
Divisi
Tahun Lalu
dst.
Bln. Ini
I
II
Dst.
TOTAL
FORMULIR 2.
KARTU KEBERADAAN BURUNG HANTU DI NEST BOX
Kebun
Divisi
No. Nest Box
Tgl. Pemasangan
Tanggal Monotoring
Tahun
Bulan
Januari
Pebruari
Maret
dst.
: ...............
: ...............
: ...............
: ...............
Telur
(Bulan ini)
Total
(unit)
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /027
FORMULIR 3.
MONITORING POPULASI BURUNG HANTU
(Periode Bulan : .......... / .........)
Divisi
Tahun
Lalu
dst.
Total
I
II
III
Dst.
TOTAL
Tabel 9.9. Kebutuhan bahan untuk pembuatan Nest Box burung hantu
Jenis - jenis Bahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Triplek
Kayu broti
Kayu broti
Kayu broti
Seng asbes bergelombang
Seng rabung
Paku
Paku
Paku
Paku seng
Semen
Pasir cor
Batu kerikil cor
Spesifikasi Bahan
Kebutuhan Bahan
(1 unit Nest box)
tebal 10 mm
1' x 2' x 4.8 m
1' x 3' x 4.8 m
4' x 4' x 5.5 m
P=240 cm ; L=80 cm
P=150 cm ; L=30 cm
ukuran 1'
ukuran 2'
ukuran 3'
ukuran 2 '
(untuk cor tiang)
(untuk cor tiang)
(untuk cor tiang)
1 lembar
2 batang
1 batang
1 batang
1 lembar
1 lembar
0.2 kg
0.2 kg
0.2 kg
0.1 kg
10 kg
1/2 goni
1/2 goni
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /028
Tabel 9.10. Kebutuhan bahan untuk pembuatan Kandang Pemikat (Enticement Box)
Jenis - jenis Bahan
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
13
Papan kayu
Kayu broti
Kayu broti
Seng asbes bergelombang
Seng rabung
Paku
Paku
Paku
Paku seng
Kawat harmonika
Engsel pintu
Gembok pintu
Sangkutan gembok
Spesifikasi Bahan
Kebutuhan Bahan
(1 unit Kd. Pemikat)
1 lembar
2 batang
1 batang
4 lembar
1 lembar
1.5 kg
1.5 kg
1.0 kg
1.0 kg
1 meter
2 buah
1 buah
1 buah
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /029
Lampiran 9.1. Konstruksi nest box di lapangan untuk tempat perkembangbiakan / perburuan
burung hantu.
_
_
70 cm
_
130 cm
2.5
2
0
50 cm
20
_
_
10
45 cm
100
320 cm
_
_
22
5 cm
70 cm
48
50 cm
_
130
_
33 cm
_
100 cm
Lampiran 9.2. Konstruksi kandang pemikat atau disebut Enticement Box (didirikan berdekatan
dengan bangunan/gedung atau pohon-pohon besar di areal sekitar emplasemen,
dan diusahakan agar jauh atau membelakangi lampu penerangan serta aman
dari gangguan manusia) untuk pemeliharaan / pengembangan burung hantu di
areal baru.
60 cm
50 cm
90 cm
60 cm
40 cm
60 cm
200 cm
150 cm
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /030
Pupa
3. Biologi
a. Siklus pertumbuhan dari Oryctes rhinoceros berlangsung sekitar 5-6 bulan terdiri
dari : 2 minggu masa inkubasi, 3 instar larva dan pre-pupa berlangsung 3 - 4 bulan,
stadia pupa 3 minggu, 2 - 3 minggu untuk kematangan seksual bagi kumbang.
b. Larva berkembang pada kayu lapuk, kompos, dan hampir pada semua bahan organik
yang sedang mengalami proses pembusukan dengan kelembaban yang cukup.
c. Batang kelapa sawit dan batang kelapa yang membusuk adalah tempat yang baik untuk
tempat hidup larva ini.
d. Jamur Metarhizium anisopliae yang dapat tumbuh pada tempat hidup larva dan virus
Baculovirus oryctes, merupakan musuh alami dari hama ini.
4. Pengamatan
a. Pengamatan populasi secara rutin tidak perlu dilakukan baik pada kebun-kebun
pengembangan maupun kebun replanting.
b. Tetapi bila dijumpai adanya serangan baru, maka petugas harus mendatangi setiap
pohon dan mengamati ada/tidaknya hama dan langsung dilakukan pengendalian.
c. Serangan hama ini tetap berbahaya meskipun pada tanaman yang berumur lebih dari 2
tahun.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /031
5. Pengendalian
a. Pengendalian hama ini lebih di titik beratkan pada usaha pencegahan yang dapat
menghambat perkembangan larva hama ini.
b. Ini penting untuk areal replanting, karena hama ini sering ditemukan berkembang
biak di dalam batang/tunggul kelapa sawit yang telah lapuk (eks. tanaman lama).
5.1. Tindakan pencegahan
a. Penanaman kacangan Mucuna sp. di sepanjang kanan-kiri batang/tunggul kelapa
sawit (eks. tanaman lama), agar semua permukaan batang/tunggul tersebut tertutup
rapat oleh kacangan dalam waktu cepat sehingga tidak menjadi tempat berkembang
biak bagi kumbang Oryctes.
b. Bila kacangan Mucuna sp. mati sebelum tanaman kacangan lainnya dapat menutupi
batang/tunggul dengan sempurna, maka ia harus segera disisip kembali.
c. Pembedahan batang/tunggul ex tanaman lama yang telah lapuk dengan cara di
belah-belah bagian yang lapuk kemu- dian dicari larva (lundi) dan pupanya, untuk
selanjutnya dikumpulkan dan dibinasakan.
5.2. Tindakan pemberantasan
Tindakan ini merupakan gabungan dari cara manual (hand picking) dan cara kimia, seperti
yang diuraikan di bawah ini :
a. Bila pada areal tertentu rata-rata pohon yang terserang dengan gejala baru adalah
kurang dari atau sama dengan 2 pohon/Ha, maka dilakukan hand picking yang diulangi
satu bulan kemudian.
b. Bila pada areal tertentu rata-rata pohon yang terserang dengan gejala baru adalah 3 - 5
pohon/Ha, maka dilakukan hand picking yang diulangi dua minggu kemudian.
c. Bila pada areal tertentu rata-rata pohon yang terserang dengan gejala baru adalah 6 10 pohon/Ha, maka dilakukan hand picking yang diulangi satu minggu kemudian.
d. Bila pada areal tertentu rata-rata pohon yang terserang dengan gejala baru adalah
lebih dari 10 pohon/Ha, maka areal tersebut segera diberi insektisida Curater 3 G sebanyak 5 - 10 gram/pohon pada setiap pohon, yang ditabur pada ketiak pelepah muda.
Hand picking kemudian dilakukan satu minggu sesudahnya.
e. Pada setiap pohon yang terserang sampai ke jaringan batang yang muda, segera
dilakukan pemangkasan pelepah bagian pucuknya, agar pertumbuhan pucuk baru bisa
normal kembali. Kemudian diberikan insektisida Curater 3 G sebanyak 5 gram/pohon
di bagian yang telah dipangkas dengan cara menaburkan di atasnya. Ini adalah
untuk mencegah serangan kembali.
5.3. Tindakan pengendalian secara biologis
a. Semprotkan larutan patogen yakni jamur Metarhizium anisopliae dan virus Baculovirus
oryctes pada tempat penetasan telur atau larva.
b. Cara ini tidak dapat dianggap sebagai obat yang manjur seketika, tetapi sifatnya adalah
pengendalian jangka panjang.
5.4. Tindakan pengendalian dengan trapping pheromone
a. Pengendalian hama kumbang tanduk (Oryctes rhynoceros) ini umumnya dilakukan
dengan gabungan dari cara manual (hand picking) dan cara kimia (penaburan
insektisida butiran pada ketiak pelepah).
b. Cara ini dalam operasionalnya banyak menggunakan tenaga kerja dan biaya yang
sangat mahal. Oleh karena itu pada kebun-kebun yang kesulitan dalam pengadaan
tenaga kerja, umumnya cara ini kurang efektif.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /032
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /033
Metoda Pengendalian
Sex Pheromone
a. Sex Pheromone yang umum digunakan untuk pengendalian O. rhinoceros saat ini
dipasaran hanya ada 2 produk, yakni salah satunya hasil produksi PPKS - Marihat
bekerja sama dengan Perancis dengan merk dagang Marihat Pheromone dan satu lagi
berasal dari produksi Malaysia dengan merk dagang Safelure Pheromone.
b. Kedua jenis pheromone ini dikemas dalam kantong plastik tanpa lubang dan berbentuk
sachet dengan ukuran 40 x 60 mm.
c. Dosis pheromone per-sachetnya adalah 1.000 mg yang dapat dipakai untuk trapping di
lapangan selama 2 bulan.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /034
Gambar 9.34.
i.
j.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /035
c. Agar parabola tidak mudah lepas dari botol akibat angin, maka pastikan kaitan tersebut
benar-benar kuat yakni dengan cara menjepitnya secara rapat bagian dasar botol yang
dilubangi dengan plat pengunci parabola.
d. Botol parabola yang telah berisi pheromone kemudian diikatkan pada tiang kayu yang
telah disiapkan terlebih dahulu (Gambar 9.35. sebelah kanan).
e. Tinggi pherotrap dari permukaan tanah adalah 2 2.5 meter. Pastikan tiang kayu yang
digunakan untuk mengikat pherotrap tersebut tidak mudah roboh akibat angin yang
kencang.
Gambar 9.31. Pemasangan pherotrap Model Parabola Trap pada alat trapping dan di
lapangan
Pelaporan (Administrasi)
a. Untuk mendukung keberhasilan pengendalian hama O. rhynoceros dengan
menggunakan metode Pherotraps, maka mutlak diperlukan sistem administrasi dan
pelaporan yang memadahi.
b. Hal ini diperlukan untuk kepentingan evaluasi dan penentuan strategi pengendalian
selanjutnya.
c. Beberapa kegiatan administrasi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Monitoring pemasangan pherotraps di lapangan (Formulir 1).
Monitoring status perkembangan populasi dan tingkat serangan O. rhynoceros di
lapangan (Formulir 2).
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /036
FORMULIR 1.
MONITORING PEMASANGAN PHEROTRAPS DI LAPANGAN
(Periode Bulan : ...................... )
Lokasi Pengendalian
Divisi
No. Blok
Pemasangan Pherotraps
Jumlah
(unit)
Tanggal
Pasang
Masa
Kadaluarsa
Kondisi
Pherotraps
(saat ini)
FORMULIR 2.
MONITORING POPULASI DAN TINGKAT SERANGAN
Oryctes rhynoceros DI LAPANGAN
(Periode Bulan : ...................... )
Lokasi Pengendalian
Divisi
No. Blok
Tanggal
Pengamatan
Jml. Oryctes
(ekor)
Tingkat Serangan
Oryctes (%)
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /037
HAMA TIRATHABA
1. Kerusakan
a. Bagian tanaman yang diserang adalah buah dan bunga, khususnya pada tanaman
muda.
b. Stadia hama yang merugikan : larva ( ulat ).
c. Ulat Tirathaba sp merupakan hama yang menyerang bunga (jantan dan betina) dan
buah kelapa sawit, terutama bunga dan buah muda.
d. Kerusakan berat yang terjadi pada buah muda dapat menyebabkan terlambatnya
pertumbuhan buah dan terjadinya kematangan buah yang lebih cepat.
e. Gejala serangan ditunjukkan oleh adanya gumpalan kotoran ulat dan remah-remah sisa
makanannya yang terikat menjadi satu oleh air liurnya di sekitar buah.
f. Kerusakan ringan hanya akan menyebabkan permukaan buah, terutama di sekitar
ujungnya berwarna coklat kering karena lapisan atas buah dimakan oleh ulatnya.
g. Sedangkan pada serangan berat dapat ditemukan buah yang berlubang pada
pangkalnya.
2. Deskripsi
Stadia Ngengat (imago) :
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /038
b. Tandan umur 1 bulan (yaitu 1-2 tandan termuda setelah bunga anthesis) diamati ada
atau tidaknya serangan hama Tirathaba sp. dan dicatat dalam formulir serangan
Tirathaba sp.
5. Pengendalian
a. Cara pengendalian yang digunakan ditentukan atas dasar hasil pengamatan. Ada 3
kategori serangan yaitu :
Serangan ringan : apabila rata-rata dalam 1 blok kurang dari 15% tandan umur 1
bulan terserang.
Serangan sedang : apabila rata-rata dalam 1 blok terdapat 15-50% tandan umur
1 bulan terserang.
Serangan berat : apabila rata-rata dalam 1 blok terdapat lebih dari 50% tandan
umur 1 bulan terserang.
b. Sesuai dengan kriteria hasil pengamatan diatas, maka pengendalian dilakukan dengan
dua cara, yaitu :
Cara Sanitasi
Cara ini digunakan apabila ditemukan serangan dengan kategori serangan sedang.
Sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan tanaman muda dari buah atau bunga
yang busuk dan pelepah- pelepah kering serta mengusahakan piringan selalu bersih
sesuai rotasi yang sudah ditentukan.
Tandan dan bunga yang membusuk di potong dan dikumpulkan kemudian di bakar
atau di semprot dengan insektisida lalu di kubur.
Untuk areal TM yang terserang diusahakan penunasan pelepah dilakukan sesuai
standar.
Cara Kimia
Cara ini digunakan apabila areal terserang dengan kategori serangan berat.
Lakukan penyemprotan larutan insektisida Thiodan 35 EC (konsentrasi 0.15 - 2
%) segera setelah dilakukan sanitasi, atau kalau tidak tersedia tenaga kerja
yang cukup dapat dilakukan penyemprotan terlebih dahulu.
Penyemprotan terutama dilakukan pada bunga betina/jantan muda dan tandan umur
1 - 2 bulan.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /039
HAMA RAYAP
1. Kerusakan
a. Hama rayap selain menyerang bibit di pembibitan, juga menyerang tanaman kelapa
sawit TBM maupun TM.
b. Terutama di areal gambut, serangan hama rayap Coptotermes curvignathus merupakan
problem yang serius dan perlu penanggulangan secara rutin.
c. Rayap pekerja menggerek dan memakan pangkal pelepah, jaringan batang, akar dan
pangkal akar, daun serta titik tumbuh tanaman kelapa sawit.
d. Serangan berat dapat menyebabkan kematian bibit maupun tanaman di lapangan.
e. Tanaman yang terserang rayap ditandai oleh adanya lorong rayap yang terbuat dari
tanah yang berada di permukaan batang yang mengarah ke bagian atas. Selanjutnya
terlihat daun pupus layu dan kering. Hal ini menandakan serangan sudah mengarah ke
titik tumbuhnya. Serangan ini akan berlanjut sampai tanaman tersebut mati.
2. Deskripsi
Rayap pekerja
Berwarna putih dan panjang tubuhnya 5 mm.
Rayap tentara
Tubuhnya berukuran 6-8 mm, kepalanya besar dan memiliki rahang yang kuat.
Apabila diganggu, rayap tersebut akan mengeluarkan cairan putih dari kelenjar di
bagian depan kepalanya.
Rayap ratu
Panjang tubuhnya dapat mencapai 50 mm, namun biasanya lebih kecil.
3. Biologi
a. Jenis rayap ini membuat sarang didalam kayu yang lapuk, biasanya didalam tanah.
b. Rayap pekerja bergerak keluar dari sarang, kemudian menggerek serambi-serambi
yang dapat dipergunakan sebagai sarang kedua.
4. Tindakan Pengamatan
a. Pengamatan/sensus perlu segera dilakukan di seluruh blok setelah diketahui adanya
gejala serangan di blok tersebut. Ini ditentukan dari hasil sensus pohon atau dari
laporan mandor panen atau perawatan.
b. Pada area tanaman menghasilkan, sensus dilakukan sebulan sekali. Sedangkan pada
area tanaman belum dewasa (TBM) umur < 1 tahun, maka sensus dilakukan 2 kali
dalam sebulan. Hal ini sangat diperlukan karena pada TBM (umur < 1 tahun), tanaman
yang terserang dapat mati dalam waktu 2 minggu.
c. Untuk melakukan sensus, setiap tanaman diperiksa ada/tidak ada serangan rayap di
pohon.
d. Serangan rayap mudah dikenali dengan adanya koloni tanah baru pada pangkal
pelepah daun, bunga, kemudian berkembang ke tandan buah dan pelepah muda/pupus.
e. Pada serangan berat, pelepah muda/pupus dan diatas 2 3 pelepah berubah warna
menjadi coklat kekuning-kuningan, selanjutnya mengering dan berangsur-angsur
tanaman mati.
f. Kriteria serangan rayap atas dasar gejala luar adalah sebagai berikut :
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /040
Serangan ringan
Ditandai oleh adanya lorong rayap yang terbuat dari tanah yang berada di
permukaan batang yang mengarah ke bagian atas ; semua pelepah daun masih
berwarna hijau dan normal.
Serangan sedang/berat
Ditandai oleh adanya beberapa daun pupus yang layu atau kering ; sedang
pelepah bagian bawah masih kelihatan segar/hijau dan normal.
Serangan sangat berat/mati
Serangannya sudah sampai ke titik tumbuh (umbut) ; hanya beberapa pelepah
bagian bawah saja yang masih tertinggal dengan warna kuning pucat atau sudah
mengering. Tanaman sudah mati.
CATATAN :
Tanaman dikatakan terserang rayap bila masih dijumpai adanya koloni rayap pada
pohon.
Hasil pengamatan tersebut dicatat dalam formulir peta posisi tanaman untuk
memudahkan dalam melakukan pengendalian nantinya maupun dalam melakukan
evaluasi hasil pengendalian.
5. Tindakan Pengendalian
a. Pada prinsipnya pengendalian rayap yang efektif adalah dengan menghancurkan
sarangnya dan membunuh semua anggota koloni rayap terutama ratu. Akan tetapi di
areal tanaman kelapa sawit yang terserang, terutama di areal gambut, sulit untuk
menemukan sarang rayap.
b. Oleh sebab itu, upaya pengendalian saat ini lebih ditekankan untuk membunuh rayap
yang menyerang pohon kelapa sawit, serta mengisolasi pohon yang terserang agar
hubungan antara pohon dengan sarang rayap dapat diputus. Hal ini dianggap perlu,
karena rayap baru akan selalu datang dari sarangnya ke pohon terserang untuk
menggantikan rayap yang mati.
c. Pengendalian rayap dilakukan pada pohon yang terserang dengan kategori serangan
ringan dan sedang/berat.
d. Tanaman yang terserang rayap harus segera diperlakukan dengan insektisida
chlorpyrifos (konsentrasi 0,5% a.i.) atau fipronil (0,1% a.i.) dengan cara disemprotkan
atau dengan metode penyiraman.
e. Volume aplikasi larutan insektisida masing-masing 5 liter untuk tanaman berumur > 1
tahun dan 2 2 liter untuk tanaman berumur < 1 tahun.
f. Cara aplikasinya adalah dengan menyemprot mulai dari pupus sampai pangkal pelepah
atau dengan cara penyiraman di sekitar pangkal batang secara merata.
g. Dimana banyak ditemukan gundukan tanah di permukaan batang, maka terlebih dahulu
dikerik/dibersihkan sebelum dilakukan penyemprotan larutan insektisida.
h. Setiap tanaman yang terserang, maka 5 6 pohok di sekitarnya (yang mengelilinginya)
juga harus diperlakukan/dikendalian.
i. Tanaman yang terserang dengan kategori sangat berat/mati tidak perlu dikendalikan
karena tanaman tersebut tidak dapat berkembang lagi akibat titik tumbuhnya sudah
mati.
j. Oleh sebab itu harus segera dilakukan pembongkaran, sehingga dapat segera dilakukan
penyisipan tanaman baru.
k. Sebelum pembongkaran pohon dilakukan, Asisten harus menyaksikan sendiri apakah
pohon tersebut benar-benar termasuk kategori sangat berat/mati.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /041
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /042
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /043
1.1. Kerusakan
a. Pada pembibitan kelapa sawit dapat dijumpai berbagai penyakit daun. Serangan
penyakit daun pada pembibitan kelapa sawit dapat menyebabkan pertumbuhan bibit
menjadi terhambat.
b. Serangan ini jarang sekali sampai mematikan. Bila di pembibitan terjadi serangan
berat yang kurang mendapat perhatian, bibit mungkin tidak dapat digunakan lagi.
c. Agar tidak terjadi kesalahan dalam usaha penanggulangannya, maka diperlukan
pengetahuan pengenalan (diagnosa) gejala dan penyebab penyakit dan usaha-usaha
pengendaliannya.
1.2. Gejala Serangan
a. Penyakit Antracnose (Early leaf disease)
Serangan penyakit ini umumnya terjadi pada bibit yang masih berada di pre-nursery,
dimana daunnya masih bersatu.
Gejala awal mula-mula tampak bercak kecil hialin. Bercak dengan cepat berubah
warna menjadi coklat tua dan membesar.
Pada bagian luar bercak dikelilingi dengan halo berwarna kuning sehingga tampak
jelas batas antara jaringan yang terinfeksi dengan yang sehat.
Serangan penyakit ini jarang terjadi pada bagian tengah daun. Biasanya serangan
mulai pada bagian ujung atau tepi daun.
Jamur penyebabnya adalah Botryodiplodia
theobromae, Colletotrichum
gloeosporoides (Gloeosporium sp. atau Glomerella sp.), dan Melanconium sp.
b. Penyakit Curvularia (Leaf spot disease)
Serangan penyakit ini umumnya terjadi pada bibit yang sudah dipindahkan ke large
polybag.
Gejala serangan ditunjukkan oleh adanya bercak yang berbentuk oval dan agak
cekung bila dilihat dari permukaan daun sebelah atas.
Warna bercak adalah agak coklat tua dengan batas tegas dikelilingi oleh halo
berwarna kuning.
Panjang bercak biasanya tidak lebih dari 7-8 mm.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /044
2.1. Kerusakan
a. Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit yang terpenting di perkebunan
kelapa sawit di Asia Tenggara khususnya Indonesia.
b. Di Sumatera Utara, pada kelapa sawit berumur 15 tahun keatas serangannya dapat
mencapai 50 %.
c. Arti dari penyakit ini makin lama makin meningkat karena pada awalnya penyakit hanya
menyerang tanaman kelapa sawit tua (umur > 25 tahun).
d. Tetapi pada dasawarsa terakhir ini ternyata penyakit ini dapat menyebabkan kerugian
besar pada tanaman yang berumur 10-15 tahun.
e. Intensitas serangan penyakit ini akan semakin meningkat dari generasi ke generasi
penanaman kelapa sawit berikutnya.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /045
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /046
Pembongkaran Pokok
a. Jika terdapat tanaman kelapa sawit yang terinfeksi dan mati oleh Ganoderma, maka
tanaman tersebut harus dimusnakan dan bagian bolenya dikeluarkan dengan cara
menggali lubang dengan ukuran 1,5m x 1,5m x 1,5m, jaringan tanaman dicincang
setebal < 15cm.
b. Tanaman sebelum ditumbang harus terlebih dahulu dilakukan peracunan pohon.
c. Peracunan pohon dilakukan dengan memakai herbisida Gramoxone sebanyak 100
ml/pohon yang diberikan pada batang yang sebelumnya dilobangi dengan kampak.
Tinggi lobang 60 cm dari permukaan tanah dan dipilih batang yang belum busuk agar
cepat bereaksi.
d. Pembongkaran pohon akan dilakukan apabila semua daun benar-benar telah
mengering. Cara pembongkaran pohon adalah sebagai berikut :
Korek dan putuskan akar di sekitar pohon radius 0,5 meter sampai sedalam 60
cm, arah korekan harus tegak lurus dengan pohon.
Pengorekan diteruskan terutama pada bagian yang arah pohonnya akan
ditumbangkan, yaitu menurut arah barisan tanaman.
Jika diperkirakan pohon sudah mulai goyah, maka pengorekan dihentikan dan
dilanjutkan dengan mendorong pohon sampai tumbang.
Lubang galian pangkal batang (bole) harus diperlebar sampai berukuran 1.5m x
1.5m x 1.5m baik pada TBM maupun TM.
Batang digulingkan di tengah-tengah gawangan, semua pelepah daun dipotong dan
ditumpuk di atas batang tersebut. Sedangkan bolenya dicincang setebal <15 cm.
Tanam 2-3 stek kacangan di sekitar lubang, agar nantinya dapat menekan
pertumbuhan gulma.
Prestasi kerja pembongkaran pohon adalah 3-4 pohon/HK.
3. PENYAKIT BUSUK TANDAN BUAH (Marasmius)
3.1. Kerusakan
a. Penyakit busuk tandan (Bunch rot) terdapat di semua negara penanam kelapa sawit
dengan derajat serangan/kerugian yang berbeda.
b. Serangan yang paling besar terjadi di Indonesia adalah di kebun-kebun daerah
pengembangan yang dapat mencapai 25 % (4-5 tandan/pokok pada tanaman muda).
c. Serangan penyakit ini dapat menyebabkan kerugian secara langsung terhadap produksi
baik dalam hal kwantitas maupun kwalitasnya.
d. Tandan buah yang terserang mengalami hambatan dalam proses kematangan buah
sehingga menjadi busuk, dan bila diolah akan meningkatkan kadar asam lemak bebas.
3.2. Gejala Serangan
a. Gejala awal dari infeksi penyakit terlihat dengan adanya benang-benang jamur yang
berwarna putih (miselium) mengkilat yang meluas di permukaan kulit buah dan
tandan.
b. Pada tingkatan ini cendawan belum menimbulkan kerugian pada tandan.
c. Pada tingkatan yang lebih lanjut cendawan tersebut mengadakan penetrasi ke dalam
bagian buah (mesocarp).
d. Selanjutnya buah berwarna coklat muda dan akhirnya busuk.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /047
e. Pada tingkatan ini telah terjadi peningkatan kadar asam lemak buah karena terjadi
penguraian lemak.
f. Apabila buah yang sakit tidak dipanen, miselium dapat meluas dalam tajuk tanaman
sehingga semua tandan yang berkembang akan terserang.
3.3. Penyebab Penyakit
a. Penyakit busuk tandan buah disebabkan oleh cendawan Marasmius palmivorus yakni
suatu cendawan saprofit yang umum hidup pada bermacam-macam bahan mati/sisasisa makanan.
b. Namun apabila terdapat sumber makanan yang cukup banyak, cendawan mampu
mengadakan infeksi pada jaringan hidup dan berubah menjadi parasit.
c. Selain itu perkembangan cendawan menjadi parasit tergantung dari keadaan, antara
lain cuaca (kelembaban) dan tersedianya sumber makanan di kebun.
3.4. Pengendalian
a. Secara kultur teknis
Mengurangi kelembaban mikro antara lain menanam dengan jarak tanam yang
sesuai dengan kelas lahan.
Membuang semua bunga dan buah yang busuk serta melakukan penunasan
cabang daun sebelum dan sesudah panen secara teratur disekitar pangkal
batang.
Tandan yang lewat masak jangan dibiarkan tetap berada di pohon, khususnya di
kebun daerah pengembangan.
Tandan- tandan yang belum mencapai ukuran tertentu dipotong dengan teratur
meskipun pabrik belum siap.
Tandan yang terserang berat oleh cendawan sebaiknya tidak dikirim ke pabrik
karena akan meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam minyak.
b. Secara kimiawi
Apabila langkah-langkah tersebut diatas tidak dapat menekan penyakit,
penyemprotan fungisida harus dilakukan.
Fungisida yang dianjurkan adalah Difolatan (Kaptafol) dosis 0.7 l/Ha dengan volume
semprot 150 l/Ha dan dengan interval 2 minggu.
4.
4.1. Kerusakan
a. Penyakit busuk pucuk biasa dijumpai pada hampir semua tanaman kelapa sawit, baik di
pembibitan maupun tanaman di lapangan.
b. Di lapangan, serangan penyakit ini sering dijumpai menyerang sendiri atau bersamasama dengan penyakit lain.
c. Tanaman yang terserang berat umumnya akan mengalami kematian karena titik
tumbuhnya mengalami pembusukan.
No. Policy
9xx/PTK-HPT/2004
Nomor Indeks :
IX /048