Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara
tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar
tumor ganas, sedangkan daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini
berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana
epitel kuboid berubah menjadi skuamosa (Asroel, 2002 )
Gejala karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar sehingga
membingungkan pemeriksa. Kendala yang dihadapi dalam menangani kasus karsinoma
nasofaring adalah pasien datang dalam stadium yang sudah lanjut, bahkan dalam keadaan
umum yang jelek. Hal ini karena terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka sangatlah penting
untuk menemukan dan menegakan diagnosis secara dini (Arima, 2006)

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahuai defenisi ca nasofaring, etiologi, penatalaksanaan medis,
2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing.

1 | Page
Karsinoma Nasofaring

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama
tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium
dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang
terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan
samping dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa
rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.

2.2 Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional
Cancer Institute, 2009).

2.3 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita
dengan perbandingan antara 2 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika
2 | Page
Karsinoma Nasofaring

Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1
dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30
per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap
tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini
menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan
lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Nasional Cancer Institute,
2009).
Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di
seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT).
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Nasir, 2009). Dari data
Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan
7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari data laporan profil KNF di Rumah Sakit
Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000
sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H.
Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.

3 | Page
Karsinoma Nasofaring

2.4 Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
2.4.1 Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .
2.4.2 Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring
dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan
Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung
antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen
dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma
nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring
tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan
tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional
Cancer Institute, 2009).
2.4.3 Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya
karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin,
Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

4 | Page
Karsinoma Nasofaring

2.5 Klasifikasi & Histopatologi


Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi 3 tipe,
yaitu:

tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi,

tipe 2 gambaran histologinya karsinoma tidak berkreatin dengan sebagian sel


berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah
diferensiasi baik,

tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas


membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas.

5 | Page
Karsinoma Nasofaring

Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan
tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus
Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu
radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida,
2007 dan Nasir, 2009).

2.6 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring


2.6.1 Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang
telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan
pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009 ).
2.6.2 Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
6 | Page
Karsinoma Nasofaring

dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih
lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien
datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan
ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya
timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya
kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

2.7 Stadium Karsinoma Nasofaring


2.7.1 T = Tumor
Tumor Primer (T)
TX - tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada bukti tumor primer
Tis - Karsinoma in situ
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa
T2a - Tanpa ekstensi parafaring
T2b - Dengan perpanjangan parafaring
T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal
T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa infratemporal,
hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007 dan National Cancer Institute,2009).

7 | Page
Karsinoma Nasofaring

2.7.2 N = Nodule
N Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran
terbesar diatas fossa supraklavikular
N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran
terbesar diatas fossa supraklavikular
N3 - Terdapat metastesis
N3.a - KGB dengan ukuran kurang dari 6cm
N3.b - KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
2.7.3 M = Metastasis
Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.
M0 - Tidak ada metastasis jauh
M1 - Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
2.7.4 Stadium
Stadium 0 Tis, n0, M0
Stadium I - T1, n0, M0
Stadium IIA - T2a, n0, M0
Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)
Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),( T3, N1, M0),
( T3, N2, M0)
Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).

2.8 Diagnosis
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditegakkan berdasarkan :
2.8.1 Gejala
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan
jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.
8 | Page
Karsinoma Nasofaring

Gejala
Massa terlihat pada Nasofaring
Gejala khas di hidung
Gejala khas pendengaran
Sakit kepala unilateral atau bilateral
Gangguan neurologi syaraf otak
Eksopthalamus
Limfadenopati leher

Nilai
25
15
15
5
5
5
25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
2.8.2 Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.
2.8.3 Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang
menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
1) Computed Tomografi Scanning (CT-Scan), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan
ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi
tulang, terutama pada dasar tengkorak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar
dan lebih baik dibandingkan CT-Scan dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga
lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang
dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat
mendeteksinya.
2.8.4 Serologi
Pada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan
skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat
dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu
hibridisasi dan tekhnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada
material yang diperoleh dariasprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening
9 | Page
Karsinoma Nasofaring

leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi
Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk
mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada
undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma.
2.8.5 Pemeriksaan Patologi
Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi
dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter
disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain
10%.
Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan
biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan
resiko tinggi karsinoma nasofaring.

2.9 Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring

Stadium I

: Raidoterapi

Stadium II & III

: Kemoradiasi

Stadium IV (<6 cm) : Kemoradiasi

Stadium IV (>6 cm) : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi


Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan

megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,
10 | P a g e
Karsinoma Nasofaring

sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan) ( Roezin,
Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah
dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang
lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin, Anida,
2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran.
Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang
rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran,
sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin,
Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh
pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak
banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang
buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya
fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan
Roezin, Anida, 2007).

11 | P a g e
Karsinoma Nasofaring

2.10 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan
metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non
keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering
pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati,
stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk
oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari
pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).

2.11 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia
struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin
dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka
yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari
mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

2.12 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir
sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).

BAB 3
12 | P a g e
Karsinoma Nasofaring

KESIMPULAN

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian
atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta
leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun
penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak.
Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter,
terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga
yang menderita kanker ini.

13 | P a g e
Karsinoma Nasofaring

Вам также может понравиться