Вы находитесь на странице: 1из 7

Endometriosis, adenomiosis dan ekstrapelvik endometriosis

Pernyataan Konsensus Lokakarya Himpunan Endokrinologi-Reproduksi


Dan Fertlitas Perkumpulan Obsteri Dan Ginekologi Indonesia (HIFERIPOGI)
Pernyataan ini merupakan hasil dari Lokakarya yang diselenggarakan
oleh Himpunan Endokrinologi-Reproduksi Dan Fertilitas Perkumpulan
Obsteri Dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI). Pesertanya adalah
anggota Hiferi dari 14
cabang seluruh Indonesia yang memang
ahli/banyak
pengalaman
dalam
penanganan
endometriosis/adenomiosis. Selain itu juga dihadiri oleh Ketua dan
Sekjen Hiferi, dan beberapa pengurus Hiferi pusat. Lokakarya ini
diadakan untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan
endometriosis dan adenomiosis beserta komplikasinya terhadap
perempuan.
. Endometriosis maupun adenomiosis merupakan salah satu penyakit
jinak ginekologik yang kejadiannya terus meningkat di Indonesia.
.Meskipun para dokter di Indonesia banyak menemukan kasus
endometriosis dan adenomiosis, namun penatalaksanaannya masih
belum seragam.
.Gejala/dampak endometriosis dan adenomiosis terhadap perempuan
sangat besar, berupa gangguan fisik, mental dan yang lebih berat lagi
terjadi penurunan kualitas hidup.
.Baik endometriosis maupun adenomiosis penyebab pastinya belum
diketahui hingga kini, sehingga pengobatannyapun baik di Negaranegara maju maupun di Indonesia masih belum ada kesepakatan .
Pengobatan medikamentosa maupun pembedahan konservatif masih
belum memberikan hasil yang memuaska. Angka kejadian residif
pascapengobatan tetap tinggi. Penanganan adenomiosis pada remaja
dan perempuan yang belum memiliki anak perlu mendapatkan
perhatian khusus.
Endometriosis dapat menyebar ke organ-organ di luar pelvic, seperti
paru-paru, otak, diafragma, usus, mata dan kandung kemih. Keluhan
yang timbul pada organ-organ tersebut akibat adanya endometriosis
ditangani tidak secara endokrinologik oleh disiplin bidang ilmu lain.
. Dijumpai peningkatan kejadian kanker endometrium pada perempuan
dengan adenomiosis dan kanker ovarium pada perempuan dengan
kista endometriosis
1

Tujuan diadakan lokakarya adalah untuk menghasilkan suatu


kesepakatan bersama para ahli dalam penatalaksanaan endometriosis
dan adenomiosis. Hasil kesepakatan yang dibuat berdasarkan
pengetahuan terkini dan berdasarkan
levels of evidence. Hasil
kesepakatan telah dipelajari dan didiskusikan secara cermat oleh
peserta yang hadir dan disahkan dalam lokakarya.
Penemuan dan kesimpulan sebelum lokakarya dimulai
. Para peserta lokakarya yang hadir merasa perlu dibuat
penatalaksanaan endometriosis dan adenomiosis secara nasional
sebagai pegangan para dokter di masing-masing tempat . Selain itu
pula disadari bahwa penanganan endometriosis dan adenomiosis yang
berlaku di Negara-negara maju tidak seluruhnya dapat diterapkan di
Indonesia.
.Keluhan nyeri haid siklik maupun nyeri pelvic kronik yang dialami
perempuan pada semua usia , yang pertama sekali diduga sebagai
penyebab adalah endometriosis maupun adenomiosis
. Endometriosis ekstrapelvik kejadiannya rendah, namun perlu dikenali
dan ditangani secara benar
. Pada umumnya kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang
berpendapat bahwa nyeri haid siklik merupakan kejadian yang normal,
yang akan hilang dengan sendirinya bila telah menikah dan punya
anak. Karena pendapat yang keliru tersebut masih di anut hingga kini,
maka kebanyakan endometriosis dan adenomiosis yang ditemukan
telah berkembang ke stadium yang lebih lanjut dan sulit untuk
dilakukan pengobatan, dan tidak jarang rahim dan ke dua indung telur
harus diangkat
.Angka kejadian adenomiosis yang pada awalnya paling banyak
ditemukan pada usia 40-50 thn, namun dewasa ini juga ditemukan
pada remaja dan pada usia reproduksi, sehingga pengobatan yang
akan diberikan menjadi masalah tersendiri. Pada umumnya tindakan
yang dilakukan pada penderita adenomiosis adalah histerektomi totalis
dan salfingooovarektomi bilateral (HTSOB). Miskipun dilakukan
penanganan adenomiosis secara konservatif, akan tetapi angka kejadia
resedif sangatlah tinggi, sehingga pasien harus dilakukan operasi
berulangkali. Di Indonesia melakukan tindakan HTSOB bagi perempuan
yang belum memiliki anak hampir tidak mungkin dilakukan.
Pengobatan medisinalis yang efektiv pada adenomiosis hingga kini
belum tersedia. Pemberian Gn-RH analog maupun aromatase inhibitor
belum memberikan hasil yang memuaskan.
2

Pendahuluan
Banyak perempuan di Indonesia yang masih belum menyadari bahwa
nyeri haid siklik maupun nyeri pelvic kronik yang dialami bukanlah
suatu proses yang biasa, melainkan suatu kelainan yang memerlukan
penanganan yang serius. Para dokter baik di Indonesia maupun di
Negara maju menyadari kalau nyeri haid siklik atau nyeri pelvic kronik
erat kaitannya dengan endometriosis maupun adenomiosis, namun
karena penyebab pastinya belum diktahui, maka pengobatannyapun
masih beranekaragam. Dalam suatu hal para ahli sepakat, bahwa
angka kejadian endometriosis maupun adenomiosis terus meningkat
dan pertumbuhan endometriosis dan adenemiosis dipicu oleh hormone
steroid terutama estrogen.
Nyeri haid yang ditimbulkan akibat endometriosis maupun
adenomiosis menyebabkan produktifitas perempuan menurun drastis,
dan kehilangan kesempatan kerja. Banyak remaja yang tidak masuk
sekolah dan untuk menghilangkan keluhan nyeri menkonsumsi obatobat antinyeri (1). Dampak lain dari endometriosis dan adenomiosis
adalah sulit mendapatkan keturunan, sehingga dapat berdampak
dalam kehidupan rumah tangga .
Untuk pengobatan endometriosis memang tersedia berbagai
jenis pengobatan medisinalis, sehingga para dokter memiliki banyak
pilihan, seperti sediaan progestogen, pil kontrasepsi kombinasi,
aromatase inhibitor dan Gn-RH agonis, namun demikian dari berbagai
jenis pengobatan medisinalis yang tersedia tersebut, baru GnRH
agonis yang memiliki efektivitas yang tinggi dan memiliki efek
samping yang relatif rendah., dan angka residif setelah pemberian GnRH agonis lebih rendah bila dibandingkan dengan pengobatan
medisinalis jenis lain.(2,3). Penggunaan aromatase inhibitor masih
dalam tahap penelitian awal. Prinsip pengobatan endometriosis adalah
memilih jenis pengobatan yang paling rendah angka kejadian
residifnya. Bagi adenomiosis hingga kini belum ditemukan pengobatan
yang memuaskan. Pengangkatan rahim dan ke dua ovarium
merupakan pengobatan yang paling banyak dianjurkan (2,4). Kadangkadang pada pasien yang belum mendapatkan keturunan dicoba
dilakukan reseksi jaringan adenomiosis, miskipun hasil yang diperoleh
sungguh tidak memuaskan. Angka kejadian residif pascareseksi
sangatlah tinggi, sehingga tidak jarang harus dilakukan operasi
berulang kali. Pemberian Gn-RH agonis maupun IUD LNG pada
penderita adenomiosis lebih ditujukan untuk menghilangkan keluhan
nyeri haid , atau perarahan abnormal (2,3).
Jaringan endometriosis dapat menyebar ke organ di luar pelvic,
seperti ke otak, paru-paru, usus, kandung kemih, mata dan organorgan tubuh yang lainnnya.(5). Penanganannya cukup dengan
3

pengobatan medisinalis terutama dengan Gn-RH anolog atau DMPA


dan sangat jarang sampai harus dilakukan tindakan pembedahan
Faktor risiko endometriosis dan adenomiosis
Faktor lingkungan ternyata ikut berperan terhadap timbulnya
endometriosis dan adenomiosis. Zat-zat tertentu seperti merkuri atau
DDT diduga ikut memicu timbulnya endometriosis. Udara yang tidak
bersih banyak mengandung dioksin dan dioksisn dewasa ini banyak
dikaitkan sebagai penyebab endometriosis. Ibu atau kakak penderita
menderita endometriosis ( OR 7,2, 95 % CI 2,1 -2,4). Lama haid lebi
dari 6 hari (OR 2,5, 95% CI 1,1-5,9), tidak pernah menggunakan pil
kontrasepsi ( OR 1,8, 95 % CI 1,2-2,2), dan menkonsumsi minuman
beralkohol satu atau lebih/mimggu (OR 1,8, 95 % CI 1,0 3,2) . (6)
Kesimpulan akhir
. Untuk menegakkan diagnosis endometriosis, perlu dilakukan tindakan
laparoskopi sebagai baku emas (A),(3,5)
.Dibandingkan dengan laparoskopi, maka USG transvaginal tidak dapat
digunakan untuk memdiagnosis endometriosis, kecuali untuk
mengetahui ada tidaknya kista endometriosis maupun adenomiosis (A)
(3,5). MRI tidak memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk menegakkan
diagnosis endometriosis (A) (3). Demikian juga pemeriksaan CA 125,
nilai diagnostiknya rendah (A) (3,5)
.Pada keadaan tidak dapat dilakukan lparoskopi, pengobatan secara
empiris dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis endometriosis.
(GPP) (3). Beberapa jenis obat yang dapat digunakan yaitu: NSAIDs, Pil
kontrasepsi kombinasi, GnRH agonis dan progestogen.
.Gn-RH agonis merupakan jenis pengobatan yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri yang disebabkan oleh endometriosis maupun
adenomiosis (A, level 1a) (3). IUD-LNG juga dapat digunakan untuk
menghilangkan nyeri endometriosis maupun adenomiosis, namun level
of evidence masih belum memuaskan (3). Setiap pemberian Gn-RH
agonis lebih dari 3 bulan harus diberikan addback therapy ( A) (3)
.Pada setiap tindakan laparoskopi, setiap lesi endometriosis yang
terlihat dan memungkinkan, harus dilakukan biopsy. Hasil biopsy yang
negative bukan berarti penderita tersebut tidak menderita
endometriosis (GPP) (3). Tindakan laparoscopic uterine nerve ablation
(LUNA) untuk menghilangkan nyeri tidak terbukti bermanfaat (A, 1b).
(3) Endometrioma > 3 cm dan deeply infiltrating endometriosis
4

sebaiknya selalu dilakukan biopsy untuk menyingkirkan keganasan


(GPP). (3)
Tindakan ablasi lesi endometriosis dan adesiolisis meningkatkan
angka kehamilan (A, level 1 a) (3)
. Endometrioma > 4 cm yang dilakukan kistektomi per laparoskopi
meningkatkan angka kehamilan dibandingkan dengan tindakan
koagulasi maupun drainage (A, level 1a) (3). Pemberian Gn-RH agonis
pascaoperasi tidak meningkatkan angka kehamilan (A, level 1b) (3)
.Tindakan inseminasi intraurin (IUI) pada penderita endometriosis
minimal sedang meningkatkan angka kehamilan (A, level 1b)(3).
Secara umum dapat dikatakan bahwa tindakan in vitro Fertilisasi (IVF)
pada perempuan endometriosis, angka kehamilannya lebih rendah
(B,2b) (3). Penderita endometriosis berat yang ingin anak, tindakannya
adalah IVF (GPP)(3). Pemberian Gn-RH agonis jangka panjang sebelum
tindakan IVF pada penderita endometriosis meningkatkan angka
kehamilan (A, 1b) (3)
.Endometriosis rectovaginal memerlukan penanganan multididiplin dan
keahlian khusus (GPP) (4,5)
.Untuk menegakkan diagnosis adenomiosis digunakan MRI (B) (5). USG
transvaginal juga dapat digunakan untuk mendiagnosis adenomiosis
(D) (4,5). Pada penderita yang tidak menginginkan anak, pilihan
pengobatan utama adalah histerektomi dan salpingooovarektomi
bilateral ( B) (4,5) .Setelah dilakukan pengangkatan ke dua ovarium,
disarankan untuk memberikan terapi hormone (HRT) (D, level 4) (3).
Pada penderita adenomiosis dengan hyperplasia endometrium, perlu
dilakukan biopsies endometrium, mengingat angka kejadian keganasan
endometrium tinggi (7).
Endometriosis yang berada di organ diluar pelvic perlu mendapat
perhatian khusus. Pengobatannya adalah medisinalis dengan sediaan
hormonal (C) (5), kecuali pada endometriosis diafragma, dimana bila
pengobatan hormonal gagal, dilakukan tubektomi atau pleurodesis,
atau operasi lesi endometriosis (C) (5)
Levels of evidence
Tabel 1. Hiararchy of evidence
1a
Systemik review and meta analysis of randomized
controlled trials (RCT)
1b
At least one RCT
5

2a
At least one well-designed controlled study without
randomization
2b
At least one other type of well-designed quasi
experimental study
3
Well-designed, non experimental, escriptive studies,
such as comparative studies
Correlation studies or cace studies
4
Expert comunittee reports or opinion and/or clinical
experience of respected authorities
Tabel II. Strength of evidence corresponding to each level of
recommendation
A
Directly based on level 1 evidence
B
Directly based on level 2 evidence or
recommendation from level 1 evidence
C
Directly baced on level 3 evidence or
recommendation either level 1or level 2
Evidence
D
Directly based on level 4 evidence or
recommendation ether level 1,2,3 evidence
GPP
Good practice point based upon the
Guideline Development Group

extrapolated
extrapolated
extrapolated
views of the

Peserta lokakarya yang mengikuti consensus


Dr. Rajuddin, SpOG (K),HIFERI Cabang Aceh, Dr. Ichwanul Adenin SpOG
(K), HIFERI cabang Medan, Dr. Hj. Putri Lasmini, SpOG (K), HIFERI
cabang Padang, Dr, K. Yusuf Effendi, SpOG(K), HIFERI Cabang
Palembang, Dr. Agus Surur Asadi, SpOG (K), HIFERI Cabang Jakarta, Dr.
dr. Tita Husnitawati Madjid, SpOG (K), HIFERI Cabang Bandung, Dr.
Syarief Thaufik Hidayat, SpOG (K), HIFERI Cabang Semarang, Prof Dr.dr.
Tedjo Danudjo O, SpOG (K), HIFERI Cabang Surakarta, Prof Dr. Djaswadi
Dasuki, MPH, PhD, SpOG (K), HIFERI cabang Yokjakarta, Dr. Arsana
Wiyasa IW, SpOG (K), HIFERI Cabang Malang, Dr, dr. Hendy Hendarto ,
SpOG (K), HIFERI Cabang Surabaya, Dr, IB Putra Adnyana , SpOG (K),
HIFERI Cabang Bali, Dr. dr. Nusratuddin Abdullah, SpOG (K), HIFERI
Cabang Makassar, Prof Dr. Eddy Suparman, SpOG (K), HIFERI Cabang
Manado. Prof Dr. Samsulhadi SpOG (K), HIFERI Cabang Surabaya, Dr.
Andon Hestiantoro SpOG (K), Sekjen HIFERI , Dr. Muharam SpOG (K),
HIFERI Pusat, Dr . Kanadi Sumapraja SpOG, HIFERI Pusat, Prof Dr. med.
Ali Baziad SpOG (K), Ketua HIFERI pusat
Masing-masing peserta membuat algoritma penanganan
endometriosis, adenomiosis dan endometriosis ekstrapelvik. Setiap
peserta diberikan kesempatan untuk mempresentasikan algoritme
6

masing-masing selama 10 menit. Setelah itu, peserta di bagi dalam


dua kelompok A dan B. Hasil masing-masing kelompok di plenokan
untuk menghasilkan sebuah kesepakatan bersama. Hasil kesepakatan
bersama tersebut di olah lagi oleh kelompok penulis khusus di HIFERI
pusat beranggotakan Prof Dr. med Ali Baziad, Dr Andon Hestiontora,
dan Dr Kanadi Sumapraja. Kemudian hasil akhirnya di kirim kembali ke
peserta lokakarya untuk dilakukan telaah ulang dan untuk mendapat
persetujuan akhir
Conflict of Interest
Hasil akhir consensus yang telah dihasilkan tidak ikut ditentukan atau
dipengaruhi oleh sponsor perusahaan farmasi yang membantu
pnyelenggaraan lokakarya ini. Sponsor , yaitu Kalbe Farma hanya ikut
membantu dalam penyediaan materi lokakarya, akomodasi dan
transportasi peserta lokakarya. Perusahaan farmasi Kalbe Farma tidak
memilih peserta mana yang hadir, tidak ikut menetukan judul
presentasi ilmiah para peserta,dan tidak ikut hadir dalam diskusi
ilmiah.
Kepustakaan
1. Gunawan D. Nyeri haid primer, factor-faktor yang berpengaruh
dan prilaku remaja dalam mengatasinya (survey pada 4 SLTP di
Jakarta). Thesis Bagian Obstetri dan Ginekologi, FKUI/RSCM, 2002
2. Fedele L, Bianchi S. Hormonal treatment of adenomyosis. Best
Practice & Research, 2008:22: 333-39
3. Kennedy S, Bergqvist A, Chapron C, D Hooghe T, Dunselman G,
Greb R etal. ESHRE guidline for the diagnosis and treatment of
endometriosis. Human Reproduction 2005;20: 2698-704
4. Meredith S, Sanchez- Ramos L, Kaunizt AM. Diagnostik accuracy
of transvaginal sonography for the diagnosis os adenomyosis:
systematic review and metaanalysis. Am J obst Gynec
2009:107:1-5
5. CNGOF Guidelines for the Management of Endometriosis. http://
www.cngof.asso.fr/D PAGES/PURPC 15. HTM, 2006; 1-7
6. Mounsly A, Wigus A, Slawson D. Diagnosis and management of
Endometriosis. American Family Physician 2006;74: 594-99
7. Kitawaki J. Adenomyosis: the pathophysiologi of an oestrogendependent disease. Best Practice & Research 2006;20:493-502

Вам также может понравиться