Вы находитесь на странице: 1из 56

Anestesi pada Diabetes Mellitus

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat
mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia
lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan
mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain. 1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol
dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner,
penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher,
penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi
preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal. 1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin
meningkatkan katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan
asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis
alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang
terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah,
dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium
total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada
periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas
dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit
perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan
bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada,
pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya
terdapat sedikit data yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru akan
memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan. 7
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan persiapan operasi.
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma. 8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang
kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi. 7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl).
Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat
jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma
puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl
(darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua
yang serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah
insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin
melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami
ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti
diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total
pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50 . sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara
100 dan 225 . Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga
jenis sel : sel-sel memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel yang mensekresi insulin , dan sel-sel yang membuat somatostatin.
Pertama insulin disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel
. Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa
merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin,
sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang
reseptor adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot.
Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan
mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis.
Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I
dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai
trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus
coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis. 4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini
kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Dianggap bahwa kegemukan akan :
Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target

Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor


- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:

Bertambahnya penimbunan lemak


Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis. 4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria,
ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I
men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik
pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi
insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan
selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran. 6,7,9
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan,
gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati). 9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef). 14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan
waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam
terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemikhiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi
glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap
dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis,
hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia
primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau
karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon
katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga
oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.
Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi
(fentanyl 50 /kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan
pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11
FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah
yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi
miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada
pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10
kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3.

Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)

4.

Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar 1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik :
hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada
perubahan
posisi
tegak
berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode
hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi
tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis
yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik
meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa
pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau
aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai
perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi
sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya
suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik
dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan
peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu.
Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih. 5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya
sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi
besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian
retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes),
tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai
tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen

abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien
ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat
mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status
metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi
kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien
diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya
10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah. 1,5,6,7,8,12.
PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan
pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.
Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya
pada 11-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter
pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti. 4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan
ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efekefek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di
ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini
secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang
lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin
bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena
kurang
pengaruhnya
terhadap
peningkatan
hormon
;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon
hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar
gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat
pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak
berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya. 7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan
dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth
hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi
insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres
pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor -adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal. 7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati
autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko
infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal
dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional.
Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes
mellitus.5,6,7
KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik dan ketoasidosis.
3.

Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya.
Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi,
dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria. 1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3.

Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis,
dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup
dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan
pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah
dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan
kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan
metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan. 6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering : t digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya
setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM

Pemberian secara bolus

Infus kontinyu

Preoperatif

D5W (1,5 ml/kg/jam)


NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari)
(NPH=neutral protamine Hagedorn)

D5W (1 ml/kg/jam) Regular insulin


Unit/jam = Glukosa plasma : 150

Intraoperattf

Regular insulin (berdasarkan sliding


scale)

Sama dengan preoperatif

Pascaoperatif

Sama dengan intraoperatif

Sama dengan preoperatif

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh,
pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau
i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami
hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang
diberikan kepada orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak
bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi). 6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin
akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan
kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur
intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3.

Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :

Kadar gula darah


4,4

mmol (mg/dl)
( 80 )

Kebutuhan insulin
Matikan pompa, beri glukosa IV

4,4 - 6,6

( 80 - 120 )

Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7 u/jam

6,6-9,9

(120 - 180)

teruskan insulin 0,5 - 1 /jam

9,9 - 13,2

(180 - 240) .

Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 /jam

> 13,75

(>250)

Laju insulin 1,5 /jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran. 1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersamasama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2
cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian
dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula

Infus insulin

< 150 mg/dl

5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl

10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl

20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya
setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan
padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama
24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan. 15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan
kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan

penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental,
hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard. 2,15
PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan
ketoasidosis. Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam. Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa,
mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwa sebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu
penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai
dalam beberapa jam. Penderita harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan
analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl
cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8
unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai
steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan elektrolit.
Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl. 1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat
asidosis dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak dianjurkan. 1,2,3
Bonus .......................
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan
Nama Patent
Onset
Short & Rapid Acting
Insulin aspart
15-20 mnt
Insulin lispro
15 mnt
Regular (Soluble, neutral)
Atrapid HM, Humulin R
0,5-0,7 jam
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn susp)
Monotard HM
1,2-5 jam
NPH (Isophane Insulin)
Humulin N, Isulatard HM
1-1,5 jam
Long Acting
Insulin gargine
Lantus
2-5 jam
Lainnya
Pencampuran 30 % regular
Mixtard 30 HM
Sampai
insulin & 70 % NPH
Humulin 30/70
30 mnt

Peak

Durasi

1-3 jam
0,5-1,5 jam
1,5-4 jam

3-5 jam
3-5 jam
5-8 jam

6-12 jam
6-12 jam

18-24 jam
18-24 jam

24 jam
24 jam

FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin
- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung.
- Keringat berkurang
- Inpotensi
3. Gangguan ginjal
- Mikroalbuminuria proteinuria
- Gangguan GFR Kreatinin menigkat
- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
- Gagal Ginjal
4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intibasi.

Anestesi pada Geriatri


SISTEM PERNAPASAN
Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi permukaan alveolar, sehingga menurunkan
efisiensi pertukaran gas.
Ventilasi masker lebih sulit.

Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal mempersulit intubasi.

Tidak adanya gigi, sering mempermudah visualisasi pita suara selama laringoskopi.

Penurunan progresif refleks protektif laring dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.

FUNGSI METABOLIK DAN ENDOKRIN


Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun.

Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat pengatur temperatur hipotalamik mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.

Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap kemampuan menangani asupan glukosa.

FUNGSI GINJAL
Aliran darah ginjal dan massa ginjal menurun. (massa korteks diganti oleh lemak dan jaringan fibrotik). Laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin
(creatinin clearance) menurun
Gangguan penanganan natrium, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas pengenceran memberi kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami
dehidrasi atau overload cairan.

Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan obat.

Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan elektrolit membuat penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi lebih sulit; pasien usia tua lebih
cenderung untuk mengalami hipokalemia dan hiperkalmeia. Hal ini diperparah oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.

FUNGSI GASTROINTESTINAL
Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik, menyebabkan Fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penurunan massa hati.
Biotransformasi dan produksi albumin menurun.

Kadar kolinesterase plasma berkurang.

Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung memanjang.

SISTEM SARAF
Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan jaringan saraf. Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.

Aktifitas fisik tampaknya mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya fungsi kognitif.

Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan atrofi otot skelet.

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua rangsang sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran
dan penglihatan.

Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran yang lebih luas ke arah kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan
blok motoris yang singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih panjang dapat diharapkan dari anestetik spinal.

Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih secara sempurna dari efek SSP anestetik umum, terutama jika mereka
mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif.

MUSKULOSKELETAL
Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.

Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita berperekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi.

Vena seringkali lemah dan mudah ruptur pada infus intravena.

Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya, litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subarakhnoid).

PERUBAHAN FARMAKOLOGI TERKAIT UMUR

Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma. Albumin yang cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam
(misalnya barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), menurun. 1-asam glikoprotein, yang berikatan dengan obat yang bersifat basa (misalnya, anestetik
lokal), meningkat.
Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik, ditunjukkan oleh MAC yang rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik membantu menghindari efek samping dan durasi yang panjang; bahan kerja singkat seperti propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin sangat
berguna pada pasien usia lanjut.
Obat yang secara bermakna tidak tergantung pada fungsi hepatik dan ginjal atau aliran darah, seperti mivacurium, atracurium, dan cistracurim dapat
berguna.

ANESTETIK INHALASI
MAC untuk agen inhalasi berkurang sekitar 4% per dekade umur setelah usia 40 tahun. Sebagai contoh, MAC halotan pada usia 80 tahun diharapkan
menjadi 0,65 (0,77-[0,77 x 4% x 4]).
Onset kerja menjadi lebih cepat jika curah jantung berkurang, tetapi akan lebih lambat jika terdapat gangguan ventilasi/perfusi yang signifikan.

Efek depresan miokardial dari anestetik gas bertambah pada pasien usia lanjut, sementara kecenderungan takikardi dari isofluran dan desfluran melemah. Berlawanan dengan efeknya pada pasien yang lebih muda, isofluran mengurangi curah jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Pemulihan dari anestesi yang menggunakan anestetik gas kemungkinan memanjang sebab peningkatan volume distribusi (peningkatan lemak tubuh),
penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme halotan) dan penurunan pertukaran gas paru.

BAHAN ANESTETIK NON VOLATILE


Pasien usia lanjut menunjukkan kebutuhan dosis barbiturat, opioid agonis, dan benzodiazepin yang lebih rendah. Sebagai contoh, umur 80
membutuhkan kurang dari setengah dosis induksi tiopental dibandingkan dengan kebutuhan pada umur 20-an.
Benzodiazepin cenderung berakumulasi dalam penyimpanan lemak, volume distribusinya lebih besar pada pasien usia lanjut sehingga eliminasi dari
tubuh juga lambat. Waktu paruh lebih dari 36 jam dapat menyebabkan kebingungan selama beberapa hari setelah pemberian diazepam.

PELUMPUH OTOT
Penurunan curah jantung dan aliran darah otot yang lambat dapat menyebabkan pemanjangan onset blokade neuromuskuler sampai 2 kali lipat pada
pasien usia lanjut.
Pemulihan dari pelumpuh otot nondepolarisasi yang tergantung pada ekskresi ginjal (misalnya, metokurin, pankuronium, doksakurium, tubokurarin)
mungkin tertunda akibat menurunnya bersihan obat.

Demikian juga, penurunan ekskresi hepatik akibat kehilangan massa hati memperpanjang waktu paruh eliminasi dan lama kerja rokuronium dan
vekuronium.

Pria usia lanjut dapat menunjukkan sedikit pemanjangan efek suksinilkolin akibat kadar kolinesterase plasma mereka yang rendah.

Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal


EVALUASI FUNGSI GINJAL
Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan renal (renal impairment) bisa mengarah pada disfungsi
glomerulus, fungsi tubulus atau obstruksi traktus urinarius.
Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes laboratorium yang dapat digunakan adalah
yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).

BUN (Blood Urea Nitrogen)


Sumber utama urea dari tubuh adalah hati. Pada saat katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati ke urea mencegah
pembentukan dari toksik amonia :
2NH3 + CO2 H2N CO NH2 + H2O
BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan GF. Hasilnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan
untuk perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus
renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)
Konsentrasui BUN normal adalah 10 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada starvasi dengan penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh
berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah
baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal
impairment.
SERUM KREATININ
Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif
konstan dan berhubungan dengan massa otot.
Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya
konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin, peningkatan asetoasetat
(seperti pada ketoasidosis) meningkatkan pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.

GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20 tahun), tapi karena massa otot juga menurun,
kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum
bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula / rumus untuk
pria.

[( 140 umur ) x BB]


CrCl = ------------------------------------72 x kreatinin plasma
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil pada massa otot.

Grouping of Patients According to Glomerular Function


Creatinine Clearance (mL/min)
Normal
Decreased renal reserve
Mild renal impairment
Moderate renal insufficiency
Renal failure
End-stage renal disease1
1
This term applies to patients with chronic renal failure.

100120
60100
4060
2540
< 25
< 10

BUN : RASIO KREATININ


Aliran yang rendah dari tubulus ginjal membantu reabsorpsi urea namun tidak mempunyai efek pada ketetapan kreatinin. Sebagai hasil, rasio BUN
terhadap kreatinin serum meningkat diatas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi traktus urinari.
BUN : kreatinin rasio lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya
aliran tubular (seperti pada gagal jantung, sirosis, nefrotik sindrome) dan juga pada obstruksi uropati.
Peningkatan katabolisme protein bisa meningkatkan rasio ini.
CREATININ CLEARANCE
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara keseluruhan CrCl < 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal.
URINALISIS

Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi renal. Urinalisis bisa membantu untuk identifikasi beberapa
gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas
glukosa, protein, bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin.
pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi kesan asidosis tubulus renal.

BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam
merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang
konsisten dengan diabetes insipidus.

Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal 180 mg/dl) atau hiperglikemia.

Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl
adalah signifikan.

Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.

Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih, bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah
mungkin mengindikasikan perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati atau trauma.

Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron membentuk tubular cast.

Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau metabolisme kistin.

PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN ANASTESI


Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi
obat atau metabolit aktif.
Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan
protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada
gagal ginjal.
AGEN INTRAVENA
Propofol & Etomidate
Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.
Barbiturat
Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena
ikatan dengan protein yang berkurang.
Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi
potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan
sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia.
Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.

Opioid

Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik
remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.
Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi
pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.
Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik
Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal
di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.
Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.


Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan
mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan
ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg)
Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan
diakumulasikan juga pada gagal ginjal.
AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk
mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal.
Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas
portion coefficient atau kurangnya MAC.

Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena
potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada
keadaan anemia.
PELUMPUH OTOT
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh
otot nondepol sebaiknya digunakan
Cisatracurium, atracurium & Mivacurium
Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik &
nonenzymatik hofman. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.
Vecuronium & Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi di urine.
Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah
dilaporkan.
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan
perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan agar pelumpuh otot optimal
Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di meta- bolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang
aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini digunakan pada
fungsi ginjal abnormal.
Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine. Waktu pa ruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan
gagal ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.
ANESTESIA PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL
PERTIMBANGAN PRE OPERASI
Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar
bersifat racun, dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin dan creatinin), asam urat,
asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan metabolisme dari asam amino aromatik.
Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal, renal, dan postrenal.

Penyebab oliguria
Pre renal
Hypovolemia
Hypotension
Poor cardiac output Renal
Pre existing renal damage
Renal vascular disease
Renal vasoconstriction
Sepsis

Renal
Hypoxia
From pre renal causes
Renal vein thrombosis
Nephrotoxins system
Amphotericin
Chemotherapeutic agents
NSAIDS
Contrast media (beware Renal or
in diabetes and multiple myeloma)
Tissue injury
Haemoglobinuria
Myoglobinuria
Uric Acid (tumour lysis)
Inflammatory nephritides

Post Renal
Bladder neck
obstruction
Blocked drainage system
Pelvis surgery
Prostatic enlargement
Raised intra-abdominalpressure
Renal or ureteric
Calculi
Clots
Necrotic papillae
Haemoglobinuria

Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma

Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan
pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria.
Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini
cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung
buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.
Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai
dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin output dan biasanya tidak
ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap bertahan tidak kembali normal
sampai 1 tahun.

Gagal Ginjal Kronis


Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah
hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik.
Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens
dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi.
Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.

Manisfestasi of Uremia
Neurological
Peripheral neuropathy
Autonomic neuropathy
Muscle twitching
Encephalopathy
Asterixis
Myoclonus
Lethargy
Confusion
Seizures
Coma
Pulmonary
Hyperventilation
Interstitial edema
Alveolar edema
Pleural effusion
Gastrointestinal
Anorexia
Nausea and vomiting
Delayed gastric emptying
Hyperacidity
Mucosal ulcerations
Hemorrhage
Adynamic ileus
Endocrine
Glucose intolerance
Secondary hyperparathyroidism
Hypertriglyceridemia

Cardiovascular
Fluid overload
Congestive heart failure
Hypertension
Pericarditis
Arrhythmia
Conduction blocks
Vascular calcification
Accelerated atherosclerosis
Metabolic
Metabolic acidosis
Hyperkalemia
Hyponatremia
Hypermagnesemia
Hyperphosphatemia
Hypocalcemia
Hyperuricemia
Hypoalbuminemia
Hematological
Anemia
Platelet dysfunction
Leukocyte dysfunction
Skin
Hyperpigmentation
Ecchymosis
Pruritus
Skeletal
Osteodystrophy
Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang menjalani dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin
tidak terjadi discoloration yang terkait dengan end stage renal disease dan dialisis.
Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa
komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis tersebut.
Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang
menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan.
Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary
disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan
penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.

Manifestasi dari Gagal Ginjal


A. Metabolik
Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia,
hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.
Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan.

Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.

Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.

Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin
klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang
besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium).

Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).

Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena
hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi
kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.

Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan
dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.

B. Hematologik
Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin
menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan
penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk
dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan
kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan
pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.
Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu
perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet.
Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.

C. Kardiovaskuler
Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen.

Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai
pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu
oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli
dapat menjadi faktor predisposisi.

Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi.

Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.

Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya
tamponade jantung.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan penyakit arteri koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul
jika terlalu banyak cairan yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.

D. Pulmonary
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.

Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen
yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun
dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai butterfly wings.

E. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah
dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.
Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan
fraktur.

Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.

Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon
para- tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin.

F. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.

Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.

Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.

Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.

G. Neurologis
Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat
azotemia.
Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan
ekstremitas distal bagian bawah.
Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen
perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui internal jugular
yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.
Indikasi Untuk Dialisis
Overload
Cairan
Hiperkalemi
Asidosis
Berat
Enselopaty Metabolik
Perikarditis
Koogulopati
Refraktory
Gastrointestinal
Symtom
Toksisitas Obat
Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari
sebelumnya dibutuhkan.
Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat
diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis
mungkin membantu.

Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis.

Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.

EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular
hipertropi.

Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat
mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan
perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.

Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah
sewaktu operasi diperkirakan.

Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin
dapat menentukan keadekuatan dialisis.

Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif.

Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk
terjadinya aspirasi pada perioperatif

Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika
memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.

yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan ganggaun ginjal
Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium

Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate

Metoclopramide

H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine

Digitalis

Diuretics

Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem

Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol

Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate)

Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically determined)

Bronchodilators : Terbutalline

Psychiatric : Lithium

Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin

Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi
Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin.

Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna.

Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan
menurunkan resiko aspirasi.

Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring
Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya
tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula arteriovena.
Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume
intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis.

Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya tidak terkontrol.

Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor,
pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan
insiden yang tinggi pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama.

Induksi

Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid.

Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi.

Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium
(0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan
hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif,
namun efeknya harus diperhatikan.

Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,20,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output
merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia.
Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.

Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output.

Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi
hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.

Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu
diperhatikan.

Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat
dan peningkatan konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke
kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak.

Terapi Cairan

Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian cairan dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini
berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid, atau keduanya.
Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline
dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.
Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG


Pertimbangan Preoperatif
Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa
adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya
memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.
Ketika kreatinin klirens mencapai 25 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki renal insufisiensi. Azotemia yang
signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada
pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal
postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.

Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor,
atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal.

Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah
pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%60%.

Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.

Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan
kemungkinan prosedur pembedahan lainnya.

Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi.

Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan
peningkatan aliran darah ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal.

Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan cairan.

Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring
Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah,
pemantauan urin output dan volume intravaskular sangat penting.
Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5
mL/kgBB/jam.

Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak
terkontrol atau sedang dalam pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung.

Induksi

Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal
Insuffisiensi biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi
atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian
secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal
postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.

Pemeliharaan
Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat,
namun lebih baik dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal
selama periode ini dapat menghasilkan efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi).
Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan
cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas.

Pemberian utama dari vasopresor adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat
mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean
tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan
batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal.Dosis dopamin untuk ginjaltelah juga dapat menunjukkan setidaknya
sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek
yang sama.

Terapi Cairan

Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu
dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih
mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

Anestesi dan Masalah Paru


ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau
agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi
tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.
Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan
regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada
pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan
bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.
Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar,
putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi.

Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan
Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan
untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol.
Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat
infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki
mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau
sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik
volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta pengobatan bronkospasme
intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di
daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan
bronkospasme.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat
rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5
mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok
nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat
menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal
dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk
mengobati nyeri.

PERIOPERATIV PADA WHEEZING


Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.
Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti bunyi mendesis) merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif.
Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan terjadi
pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan wheezing dan dapat dihubungkan dengan
gangguan lain.
Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakit-penyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis),
penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus
utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi (bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa
terjadi pada pasien dengan edema laring atau bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala
penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan
penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan. Optimalkan fungsi kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit
bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum
pembedahan elektif.
Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan
bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun
halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat
membantu.

Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.

Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi
merupakan masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada
pernapasan dan dapat dihilangkan dengan suction.

Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena obat (thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan,
stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas obat beta-bloker. Anafilaksis menyebabkan
hipotensi, vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan g/kg IV; dan
methylprednisolondipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 1-2 mg/kg IV.

Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan
dan memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus
aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan
epinefrin IV.
Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ

CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE (COPD)


Michael A. Lyew, M.D.
Diane M. Peters-Koren, M.D.
COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi
adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan
gagal nafas.
Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan
emfisema. Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana hal tersebut juga
berperan sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut, obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper
abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum
reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan
pengukuran gas darah arteri.
Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai
dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50
mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan
resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat
terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi
dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta kardiomegali pada bronchitis kronik.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin
dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga
atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen
(O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator. Waktu yang inadekuat
untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang emergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan
volume cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan.
Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena
obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi
CO2 preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi
ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV
atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian
kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran.
Hindari hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi
juga diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru diperbaiki.

CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.
Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan
obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan
dinamik. Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift.
Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis
adrenergik yang meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.
Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa
faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan
herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.
Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa
bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila
beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax,
pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.

Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan pada postoperative pulmonal dan memperbaiki
fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun
demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas
perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat
dari CoHb menurun setelah 12 jam tidak merokok.

Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak digunakan, hal ini penting untuk
mempertahankan kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas jalan
nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah
extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi
lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode postoperative
suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.

Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil
kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi
beberapa obat sedatif kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid
antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer
atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasi postoperative pulmonal.

INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS


Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun
beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada
postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan
adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawankawan mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan
bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.
Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan adanya asma telah dinyatakan sebagai faktor yang paling sering
mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk menunda operasi elektif pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik
regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi umum dengan
mempertimbangkan lamanya pasien puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong mobilisasi sekresi.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi bisa
didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun 95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa
pasien memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan
pembedahan harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau
flu atau gejala batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-penyakit
tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala cold akut dimana tidak terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien pasien ini akan
dioperasi, pertimbangkan resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya
pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan;
jika tidak baik atau ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.

Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan
Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat
digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.

Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang
pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen dengan
menggunakan facemask.

TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS


Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui
inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa, pengobatan
dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for Disease Control
and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.
TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal
(limfatik, CNS, ginjal dan sum-sum tulang). TB yang dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique,
kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi,
dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati. Penemuan
pada foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer terlihat
infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple. Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat bintik
atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya
peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome
of inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).
Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax
normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif
atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear
positif membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang
tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan

pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi
PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan
HIV positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5
mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA
positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.

Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB,
tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik
atau adanya kontak pada kasus yang aktif.

Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam
perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam
ruangan. Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air
purifying respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada
pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.

Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif.
Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu
minggu sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama
sebelum pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus
dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama 2-3 minggu setelah pengobatan.

Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali
pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube
ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan.
Ahli anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat
pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan
positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan
dimana cairan tubuh yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka, bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan
selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan
TB. Jika tidak, pemulihan pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan pelindung pernafasan.

RESTRICTIVE LUNG DISEASE


A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai dengan menurunnya kapasitats
total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor
ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive
fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik
dapat terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan
kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat
menyebabkan restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan kombinasi keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.
Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular
dan penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja,
batuk atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah observasi pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki
penurunan tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan
deformitas skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan
RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.
Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia
interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis.
Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan).
Total lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah
dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk
mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.

Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika
otot pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan
dengan pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal
dan ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada
tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi
yang adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis ventilator ICU dibutuhkan. Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan
meningkatkan frekwensi compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi
dengan tekanan yang dikontrol dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan hemodinamik yang membahayakan.
Hemodinamik yang membahayakan bisa terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya ventilasi.

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan
intubasi trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan
lebih menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik,
lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.

Anestesi pada Pasien Hipertensi


PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar
penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. 1-4 Data
yang diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan
dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar
dari 160/95 mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi ditemukan pada populasi bukan kulit
putih.2,5
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya
penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium, gagal
jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi. 3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat
antihipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang harus
tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan
dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh anestesia. 7 Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat
hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari
dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode selama pembedahan sampai pemulihan pasca bedah. 1,7
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HIPERTENSI
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan berdasarkan umur,
jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang di ijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003 , klasifikasi
hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1).
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi,
aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan
adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi
hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih
rendah
dari
nilai
itu.2
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut: 5,8
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
A. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.
B. Hipertensi sistolik dan diastolik dengan peningkatan SVR:
Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis, polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.

Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital, sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer), phaeochromacytoma,
hipotiroidisme.

Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.

Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa, hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).

PATOGENESIS TERJADINYA HIPERTENSI


Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya secara spesifik. Hal ini penting menjadi bahan pertimbangan karena beberapa dari kasuskasus hipertensi tersebut bisa dikoreksi dengan terapi definitif pembedahan, seperti penyempitan arteri renalis, coarctation dari aorta, pheochromocytoma,
cushings disease, akromegali, dan hipertensi dalam kehamilan. Sedangkan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya sering disebut sebagai hipertensi esensial.
Hipertensi esensial menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. 1,3,9,10 Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan
aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer (SVR) atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. 1,3 Pola perkembangan
terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR
meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik.
Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada tekanan yang tinggi. 3
Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan SVR, dimana persamaan ini dapat dirumuskan dengan menggunakan hukum Law, yaitu: 1,9
BP = CO x SVR
Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang
mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan
volume cairan intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan
mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan
hormon-hormon lokal yang berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi
dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.9
FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI

Obat antihipertensi bekerja pada reseptor tertentu yang tersebar dalam tubuh. 8,9 Kategori obat antihipertensi dibagi berdasarkan mekanisme atauprinsip kerjanya,
yaitu:
1. Diuretika, menurunkan TD dengan cara mengurangi natrium tubuh dan volume darah, sehingga CO berkurang. Contohnya: golongan thiazide, loop
diuretics.
2. Golongan simpatolitik / simpatoplegik, menurunkan TD dengan cara menumpulkan refleks arkus simpatis sehingga menurunkan resistensi pembuluh
darah perifer, menghambat fungsi kardiak, meningkatkan pengisian vena sehingga terjadi penurunan CO. Contohnya: beta dan alpha blocker,
methyldopa dan clonidine, ganglion blocker, dan post ganglionic symphatetic blocker (reserpine, guanethidine).
3.

Vasodilator langsung, menurunkan TD dengan cara relaksasi otot-otot polos vaskuler. Contoh: nitroprusside, hydralazine, calcium channel blocker.

4.

Golongan penghambat produksi atau aktivitas Angiotensin, penghambatan ini menurunkan resistensi perifer dan volume darah, yaitu dengan
menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghambat metabolisme dari bradikinin.

Oral Antihypertensive Agents.3

Category

Class

Diuretics

Thiazide type

Subclass

Agent
Chlorothiazide (Diuril)
Chlorthalidone (Thalitone)
Hydrochlorothiazide )
Indapamide (Lozol)
Metolazone (Zaroxolyn)

Potassium sparing

Spironolactone (Aldactone)
Triamterene (Dyrenium)
Amiloride (Midamor)

Loop

Bumetanide (Bumex)
Ethacrynic acid (Edecrin)
Furosemide (Lasix)
Torasemide (Demadex)

Sympatholytics Adrenergic-receptor
blockers

Acebutolol (Sectral)
Atenolol (Tenormin)
Betaxolol (Kerlone)
Bisoprolol (Zebeta)
Carteolol (Cartrol)
Metoprolol (Lopressor)
Nadolol (Corgard)
Penbutolol (Levatol)
Pindolol (Visken)
Propranolol (Inderal)
Timolol (Blocadren)

1
Doxazosin (Cardura)
Prazosin (Minipress)
Terazosin (Hytrin)
1 + 2
Phenoxybenzamine (Dibenzyline)

and

Labetalol (Trandate)
Carvedilol (Coreg)

Central 2-agonists

Clonidine (Catapres)
Guanabenz (Wytensin)
Guanfacine (Tenex)
Methyldopa (Aldomet)

Postganglionic blockers

Guanadrel

Reserpine

Category

Class

Subclass

Agent

Vasodilators

Calcium channel blockers Benzothiazepine

Diltiazem1 (Tiazac)

Phenylalkylamines

Verapamil1 (Calan SR)

Dihydropyridines

Amlodipine (Norvasc)
Felodipine (Plendil)
Isradipine1 (Dynacirc)
Nicardipine1 (Cardene)
Nifedipine1 (Procardia XL)
Nisoldipine (Sular)

ACE inhibitors

Benazepril (Lotensin)
Captopril (Capoten)
Enalapril (Vasotec)
Fosinopril (Monopril)
Lisinopril (Zestril)
Moexipril (Univasc)
Perindopril (Aceon)
Quinapril (Accupril)
Ramipril (Altace)
Trandopril (Mavik)

Angiotensin-receptor
antagonists

Candesartan (Atacand)
Eprosartan (Tevetan)
Irbesartan (Avapro)
Losartan (Cozaar)
Olmesartan (Benicar)
Telmisartan (Micardis)
Valsartan (Diovan)

Direct vasodilators

Hydralazine (Apresoline)
Minoxidil

Extended realease.
ACE, angiotensin-converting enzyme.

MANAJEMEN PERIOPERATIF PENDERITA HIPERTENSI


1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu: 10,11
Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan
prosedur diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah
suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan
hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. 5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk
evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan
ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke
atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5 Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk
penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit
jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronariasebesar 16%. 11
Efek samping Terapi Antihipertensi Lama.

Class

Adverse Effects

Diuretics
Thiazide

Hypokalemia, hyponatremia, hyperglycemia, hyperuricemia, hypomagnesemia, hyperlipidemia, hypercalcemia

Loop

Hypokalemia, hyperglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, metabolic alkalosis

Potassium sparing

Hyperkalemia

Sympatholytics
-Adrenergic blockers

Bradycardia, conduction blockade, myocardial depression, enhanced bronchial tone, sedation, fatigue, depression

-Adrenergic blockers

Postural hypertension, tachycardia, fluid retention

Central 2-agonists

Postural hypotension, sedation, dry mouth, depression, decreased anesthetic requirements, bradycardia, rebound hypertension,
positive Coombs test and hemolytic anemia (methyldopa), hepatitis (methyldopa)

Ganglionic blockers

Postural hypotension, diarrhea, fluid retention, depression (reserpine)

Vasodilators
Calcium channels
blockers

Cardiac depression, bradycardia, conduction blockade (verapamil, diltiazem), peripheral edema (nifedipine), tachycardia (nifedipine),
enhanced neuromuscular nondepolarizing blockade

ACE inhibitors1

Cough, angioedema, reflex tachycardia, fluid retention, renal dysfunction, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia,
bone marrow depression (captopril)

Angiotensin-receptor
antagonists
Direct vasodilators
1

Hypotension, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia


Reflex tachycardia, fluid retention, headache, systemic lupus erythematosus-like syndrome (hydralazine), pleural or pericardial
effusion (minoxidil)

ACE, angiotensin-converting enzyme.

2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia
atau operasi kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring
dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam
banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan
angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya
pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena
hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. 15 The American
Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol
sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. 16 Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang
berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi
adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya
dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik. 11,13,14
3. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya: 5
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan
riwayat CHF atau MCI berulang.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan
sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading
cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari
obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang
terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik
dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.3,10
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1
mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway..

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat
tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. 3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik
dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi. 8,10
6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. 10 Pada
hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi
penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan
menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang
sebaiknya diperhatikan, yaitu: 8
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. 3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. 10 Jika hipertensi tidak berespon terhadap
obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochro-macytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. 17 Kebanyakan
penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama
jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine
diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam.
Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end
organ yang lain.3,10
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupunsaat pasca bedah. 13 Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. 3
Tabel 2. Agents Parenteral Untuk Terapi Akut Hipertesi.3
Agent
Nitroprusside
Nitroglycerin

Rentang Dosis

Onset

Duration

0.510 g/kg/min

3060

15 min

0.510 g/kg/min

1 min

35 min

Esmolol

0.5 mg/kg over 1 min; 50300 g/kg/min

1 min

1220 min

Labetalol

520 mg

12 min

48 h

Propranolol

13 mg

12 min

46 h

16 mg/min

13 min

1030 min

Trimethaphan
Phentolamine

15 mg

110 min

2040 min

13 mg/kg slowly

210 min

46 h

Hydralazine

520 mg

520 min

48 h

Nifedipine
(sublingual)

10 mg

510 min

4h

Methyldopa

2501000 mg

23 h

612 h

Nicardipine

0.250.5 mg

15 min

34 h

Enalaprilat

0.6251.25 mg

615 min

46 h

0.11.6 mg/kg/min

5 min

5 min

Diazoxide

515 mg/h
Fenoldopam

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). 3,19 Berikut ini
ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan: 3
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset
yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

8. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi,
berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi
TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan
emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas
autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia.
Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini. 8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral,
kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi
renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis
sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg.
Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD
diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan
sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target
organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul
dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi
antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20

9. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan
ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat
penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak
teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. 3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara
infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya
disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat
diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. 13 Apabila penderita
sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. 3,10,14

Anestesi pada Obesitas


Overweight didefinisikan sebagai BMI 24 kg/m2, obesitas BMI 30, dan morbit obesitas (obesitas ekstrim) BMI 40.
Manifestasi Klinis
Obesitas dikaitkan dengan banyak penyakit, termasuk diabetes mellitus tipe II, hipertensi, penyakit arteri koroner, dan cholelithiasis. (The triad
obesitas, hipertensi, dan diabetes tipe II adalah sindrom metabolik).
Oksigen demand, produksi CO2, dan ventilasi alveolar yang tinggi karena tingkat metabolisme yang sebanding dengan berat badan.

Jaringan lemak yang berlebihan pada dada menyebabkan berkurang complience dinding dada meskipun compience paru-paru tetap normal.

Peningkatan massa abdoment akan menekan diafragma ke arah cephalad, yang dapat membatasi volume paru-paru seperti penyakit paru-paru restrictif.

Penurunan volume paru-paru akibat penekanan saat posisi supine dan posisi Trendelenburg. Khusus, fungsional residual kapasiti dapat turun di bawah
closing cavasitas . Jika ini terjadi, beberapa alveoli akan menutup selama ventilasi normal tidal volume, dan akan menyebabkan sebuahmismatch
ventilasi / perfusi.

Pasien obesitas sering ditemukan hipoksia, hanya sedikit yang hypercapni, sehingga kita harus waspada terhadap komplikasi akan datang.

Sindrome Obesitas-hypoventilation (sindrom pickwickian) merupakan komplikasi dari obesitas ekstrim ditandai dengan hiperkapnia, cyanosis-induced
polisitemia, gagal jantung kanan, dan somnolen.

Pasien juga mengalami blunted respiratory drive dan sering mendengkur keras serta obstruksi jalan napas atas saat tidur (Obstruktiv sleep apnea
syndrome [OSAS]. OSAS juga berhubungan dengan peningkatan komplikasi perioperatif termasuk hipertensi, hipoksia, aritmia, infark miokard,
edema paru, dan stroke.

Kesulitan manajemen jalan napas selama induksi dan obstruksi jalan napas atas selama pemulihan harus diantisipasi.
Pasien sangat rentan selama periode pasca operasi jika opioid atau obat penenang lainnya telah diberikan, dan jika pasien ditempatkan telentang,
membuat saluran napas bagian atas lebih rentan terhadap gangguan.

Untuk pasien yang diketahui atau dicurigai OSAS, Postoperatip harus dipertimbangkan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) sampai
dekter anestesi yakin bahwa pasien dapat melindungi jalan napas-nya dan menjaga ventilasi spontan tanpa adanya tanda obstruksi.

Jantung juga memiliki beban kerja meningkat, cardiac output dan volume darah meningkat untuk tambahan perfusi penyimpanan lemak. Peningkatan
cardiac output (0,1 L / menit / kg jaringan adiposa) dicapai melalui peningkatan stroke volume-sebagai kompensasi dari denyut jantung sehingga sering
menyebabkanarterial hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.

Peningkatan aliran darah arteri paru dan vasokonstriksi paru dari hipoksia persisten dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonale.

Obesitas juga berkaitan dengan patofisiologi gastrointestinal, termasuk hernia hiatus, reflux gastroesofagus, lambatnnya pengosongan lambung, dan
hyperacidic cairan lambung, serta peningkatan risiko kanker lambung.

Infiltrasi lemak di hati juga terjadi dan dapat dikaitkan dengan tes hati abnormal.

Pertimbangan anestesi
Preoperative
Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Rutin pretreatment dengan antagonis H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan.

Premedikasi dengan obat depresan pernafasan harus dihindari pada pasien dengan bukti hipoksia pra operasi, hiperkapnia, atau slep apnea obstruktif.

Suntikan intramuskular sering tidak dapat diandalkan karena ketebalan dari jaringan adiposa.

Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi besar harus dinilai cadangan cardiopulmonary dengan radiograf dada, ECG, analisa gas
darah arteri, dan tes fungsi paru.

Fisik klasik tanda-tanda gagal jantung (misalnya, edema sakral) mungkin sulit untuk diidentifikasi. tekanan darah harus diambil dengan menset sesuai
ukuran.

Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan teknis. Perhatian khusus harus diberikan pada saluran napas
pada pasien obesitas karena mereka sering sulit untuk intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi temporomandobula dan atlantooccipital, jalan
napas bagian atas yang menyempit, dan jarak yang pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan sternum.

Intraoperative
Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di intubasi boleh dengan semua agen anestesi umum tetapi dengan durasi yang lebih pendek.

Selain itu, ventilasi dikontrol dengan volume pasang besar sering memberikan oksigenasi lebih baik daripada dangkal, napas spontan.

Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik sangat dianjurkan.

Nafas suara mungkin sulit untuk di dilai; konfirmasi intubasi trakea membutuhkan deteksi end tidal CO2. Bahkan ventilasi kontrol mungkin
memerlukan konsentrasi oksigen yang relatif tinggi terinspirasi untuk mencegah hipoksia, terutama posisi lithotomi, Trendelenburg, atau posisi prone.

Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari fungsi paru dan penurunan tekanan darah arteri dengan
rusaknnya venous return.

Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa pasien dengan obesitas ekstrim.

Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah perhatian khusus sehubungan dengan defluorination dari halothane.
peingkatkan metabolisme dan kecenderungan untuk hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian hepatitis halothane pada pasien obesitas.

Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan reservoir lemak memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun,
bahkan
selama
prosedur
pembedahan
yang
lama.
Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan miningkatkan volume distribusi obat larut lemak (misalnya, benzodiazepine, opioid). Dengan
demikian, loading dosis yang lebih besar akan diperlukan untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini adalah alasan rasional untuk
mendasarkan beberapa dosis obat pada berat badan pada pasien obesitas. Dengan alasan yang sama, dosis pemeliharaan harus diberikan lebih jarang
karena clearance diharapkan akan lebih lambat dengan volume yang lebih besar distribusi.

Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi yang jauh lebih terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh
cadangan lemak. Dosis obat ini sehingga harus didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis.

Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis persyaratan untuk anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien
obesitas biasanya membutuhkan anestesi lokal kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena epidural. Tingkat blokade yang tinggi dengan
mudah dapat membahayakan pernafasan. Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernafasan
pada periode pasca operasi.

Pascaoperasi
Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk. Peningkatan Risiko hipoksia pasca operasi bisa karena hipoksia pra
operasi dan operasi yang melibatkan thoraks atau abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal).
Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien benar-benar sadar.

Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara yang memadai dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak
berarti bahwa semua pasien obesitas perlu tetap terventilator semalaman di unit perawatan intensif.

Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama transportasi ke ruang pemulihan.

Modipikasi posisi duduk 45 akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.

Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen tambahan harus tersedia rutin.

Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi, trombosis vena dalam dan emboli paru.

Anestesi pada Neonatus


Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupadidalam rahim
menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua system.Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama.
Transisi ini hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi, ginjal dan hepar.
SISTEM PERNAFASAN
Jalan Nafas :
Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan tulang occipital yang menonjol.

Lidah besar, epiglottis berbentuk U dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut 450, relative lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan
menempel pada palatum molle sehingga cenderung bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi diperlukan
pengangkatan epiglottis untuk visualisasi.

Lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah sekali tersumbat oleh lender dan edema.

Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote CJ,2000)

Pernafasan :
Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam
memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus
bernafas secara diafragmatis.
Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam
lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.

Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat
sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk
meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.

Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua
kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat
menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature, adanya stress dingin maupun sumbatan jalan
nafas.

SISTEM SIRKULASI DAN HEMATOLOGI


Pada neonatus reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang
ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus harus dilakukan dengan secermat dan seteliti mungkin. Tekanan sistolik merupakan indicator yang baik
untuk menilai sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap penggantian volume.
Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg.

Frekuensi nadi bayi rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.

SISTEM EKSKRESI DAN ELEKTROLIT


Akibat belum matangnya ginjal neonatus, filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% disbanding orang dewasa. Fungsi tubulus belum matang, resorbsi
terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amibo dan bikarbonas juga rendah.
Bayi baru lahir sukar memekatkan air kemih, tetapi kemampuan mengencerkan urine seperti orang dewasa.

Kematangan filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus mendekati lengkap sekitar umur 20 minggu dan kematangannya sedah lengkap setelah 2 tahun..
(Cote CJ,2000)

Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi diperpanjang.

Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan
cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. (Warih,1992)

Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih disbanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal
pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.

FUNGSI HATI
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis
metabolic.
Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.

Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar
diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang.

Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi
baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.

Hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.

SISTEM SYARAF
Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus
belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4 tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini
otak sangat sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya
anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih rendah disbanding orang dewasa.

Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot
non depolarizing.

Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal
(mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.

Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam.

Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan
narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi.

Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan
apnoe pada periode pasca anestesi.

Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak
menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.

PENGATURAN TEMPERATUR
Pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif.

Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak
subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat
poikilotermik).

Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula,
axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)

Hipotermia dapat dicegah dengan suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin,
skopolamin).

Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum (yang menekan pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.

Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 27 0C. Paparan dibawah suhu ini akan mengandung resiko diantaranya:
cadangan energi protein akan berkurang, adanya pengeluaran katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan
perifer, lebih jauh lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.

Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu
penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.

FARMAKOLOGI
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda dibanding dengan dewasa karena pada neonatus :
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3.

Laju metabolisme yang tinggi

4.

Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah

5.

Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.

6.

Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)

7.

Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC
dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung
lebih peka terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi miokard hebat.

Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat toksisk pada neonatus dibanding dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat
tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak, kemampuan metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi.

Sebaliknya neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.

Bayi umumnya membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena ruang extraselulernya relative lebih besar.

Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.

PERSIAPAN ANESTESI
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal.

Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat.

Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada status asam-basanya.

Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk
kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC misalnya.

Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan.

Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.

Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.

Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi.
(Abdul Latief,1991)
Infus

Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll.

Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal,
evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia
sangat mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative lebih besar serta fingsi ginjal belum
matang.

Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.

Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010), ataupun dengan pemasangan CVP (Central
Venous Pressure).

Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.

Premedikasi
Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg
dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan pengenceran.
Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.
Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi dirawat diruang perawatan intensif. (Abdul
Latief,1993)
MASA ANESTESI
Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin. Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau
Halotan-O2/N2O.
Intubasi

Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk U. Laringoskopi pada neonatus tidak
membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.
Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid.

Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan
gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan.

Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi premature. Yang berpendapat dilakukan
intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot.

Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.

Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm
sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Idealnya menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga
dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)

Pemeliharaan Anestesi
Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali.

Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran ataupun sevofluran.

Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi sedikit.

Pemantauan
1. Pernafasan : Stetoskop prekordial, Pada nafas spontan ( gerak dada dan bag reservoir),Warna ekstremitas
2. Sirkulasi : Stetoskop perikordial, Perabaan nadi, EKG dan CVP
3.

Suhu : Rektal

4.

Perdarahan : Isi dalam botol suction, Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah, Periksa Hb dan Ht secara serial

5.

Air Kemih : Isi dalam kantong air kemih

PENGAKHIRAN ANESTESIA
Pembersihan lender dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan.

Bila masih ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin (0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg).

Kemudian dilakukan ekstubasi.

KESIMPULAN
Anestesi pada neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya.

Karena mereka bukanlah merupakan miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan anestesi diperlukan pengetahuan dan keterampilan
khusus dan teliti dalam manajemennya.

Perhatian khusus sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada neonatus.

Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan faktor sistem pernafasan, sirkulasi, ginjal, dan heparnya.

Pediatrik Neuroanestesia
Menangani pasien bedah saraf tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang anestesi umum bedah saraf tetapi juga memahami anestesi anak dan ketidak
normalan
saraf
PERTIMBANGAN PATOFISIOLOGI UMUM
Basic tubular dan multi ventrikel terbentuk saat trimester pertama, tetapi koneksi neural, struktur pendukung dan mielinisasi terjadi pada semester akhir.

Berat otak akan meningkat dua kalinya saat 6 bulan pertama dan pada tahun kedua akan mencapai 80% berat optimal.

Pertumbuhan itu membutuhkan banyak oksigen sehingga bila terjadi hipoksia atau iskemia akan terjadi mikrocephali dan defisit neurologis.

Critical blood flow adalah 15 20 cc/ 100g/ menit

Produksi CSF adalah 0.35 ml/menit dengan perkiraan volume subarakhnoid pada anak sekitar 50 150 cc.

Karena tekanan darah pada anak cenderung rendah maka autoregulasi juga muncul pada tekanan yang rendah.

CO2 arterial merupakan komponen penentu utama dari CBF pada autoregulasi normal.

Tekanan oksigen arteria juga mempengaruhi CBF, lebih kecil dari pada karbondioksida.

Hipoksia pada anak yang lebih tua dapat meningkatkan CBF dimana pada infant hal ini terjadi saat tekanan oksigen sangat rendah.

Iskemia dan asidosis juga mempengaruhi CBF sehingga autoregulasi tidak berjalan pada bayi yang sakit

Laju metabolik cerebral juga mempengaruh CBF, kenaikan temperatur akan menaikkan laju metabolik cerebral.

Tekanan intra cranial dipengaruhi oleh parenkim saraf, CSF dan volume darah, dimana bila salah satu berubah akan merubah yang lain untuk menjaga
agar volume neuraxial tetap konstan (doktrin Monro-Kellie).

Karena perbedaan compliance dari beberapa faktor menyebabkan kenaikan volume tidak setara dengan peningkatan ICP

80% otak berisi jaringan neural axis serta 20% berupa CSF dan darah

Hubungan volume dan tekanan intracranial adalah hiperbolik dan kurvanya sesuai dengan compliance

Karena sutura pada bayi belum menutup maka dapat untuk mengukur ICP secara non invasif

Tugas utama pada bedah saraf anak adalah mengontrol ICP caranya dengan memposisikan, hiperventilasi, dehidrasi euvolume, dan obat

Karena ukuran bayi relatif kecil maka penurunan ICP dapat diperoleh dengan posisi head up

Menolehkan kepala ke salah satu sisi dapat menghambat kembalinya darah lewat vena juguler sehingga ICP dapat naik

Penggunaan manitol 1 g/kg diikuti oleh 0.7 mg /kg furosemide adalah cara yang paling efektif

Steroid (dexametason 1-3 mg/kg/hari) hanya efektif untuk tumor otak bukan pada trauma

Barbiturat (thiopenthal 2-6 mg/kg) menurunkan ICP dengan cara vasokonstriksi cerebral, menurunkan cerebral metabolik rate, dan blood flow

Untuk terapi jangka panjang dari peningkatan ICP pada pasien trauma atau Reyes syndrome dapat digunakan barbiturat continuous infusion dengan
serum barbiturat yang direkomendasikan adalah 3 mg/ 100 cc

MANAJEMEN ANESTESI
Evaluasi pre operasi
Periksa neurologic history

Traumapengosongan lambung tertunda

Berat badan yang tepat untuk estimasi cairan pengganti dan dosis obat

Laboratorium dan rontgen

Premedikasi harus hati-hati terutama pada airway sulit. Pasien AVM dan aneurisma harus di premedikasi berat.

Monitoring

Monitor yang ketat terutama pada posisi ekstrim

Monitoring blok neuromuskular

CVP jangan lewat vena juguler karena dapat mengganggu drainage vena dari otak.

CVP dikalibrasi pada level kepala untuk memperkirakan CPP (lateral canthus mata ~ foramen of Monroe)

Positioning
Elevasi 15-30 derajad dapat menurunkan ICP tetapi bila lebih tinggi maka Cardiac output dan CPP juga akan turun.

Hal-hal yang diperhatikan pada posisi extrim:

Badan harus ikut miring kalau kepala dimiringkan

Kalau kepala flexi harus pakai ETT non kinking

Pada posisi duduk, jangan gunakan N2O, lutut agak ditekuk dan kaki diberi elastic bandage

Saat posisi prone, dada dan pelvis harus diganjal, jaga ETT agar jangan sampai lepas

Kontrol temperatur
General anestesi menyebabkan pasien jadi poikilotermik

Hipotermi menurunkan cerebral metabolik rate tetapi juga menurunkan tekanan darah dan shivering

Cegah hipotermi dengan menaikkan suhu kamar operasi, menghangatkan dan melembabkan gas anestesi, membungkus pasien, matras penghangat dan
menghangatkan cairan yang masuk.

Penggantian cairan dan darah


Pemberian infus cairan gula harus disertai dengan pemeriksaan gula karena peningkatan kadar gula dapat memperburuk kondisi neurologik pasien.

Perlu adanya monitoring dan pemeriksaan Hct serial karena kehilangan darah sulit diestimasi

Bila perdarahan >2x EBV maka perlu tranfusi FFP dan platelet
Pada tranfusi masif (1.5 2 cc/kg/menit) atau infus cepat FFP (>1 cc/kg/menit) perlu diperhatikan hipoCa dan butuh terapi Ca (10-20 mg/kg).

Induksi

Induksi harus mulus

Pada anak yang tidak kooperatif perlu dipertimbangkan induksi per rectal

Pada pasien dengan anomali craniofascial lebih baik diinduksi inhalasi atau awake intubasi.

Halotan meningkatkan CBF tapi dapat diminimalisasi dengan hiperventilasi

Isofluran menurunkan konsumsi O2 cerebral tapi bila dihiperventilasi bisa terjadi penurunan CBF

Scholin tidak disukai karena dapat menaikan ICP

Atracurium menyebabkan histamin release

Vecuronium lebih disukai

Pada bayi dan anak dimana Cardiac Output merupakan rate dependen, pancuronium lebih dipilih karena membuat kardiovaskular stabil

Barbirturat merupakan agen yang ideal untuk menurunkan ICP, CBF dfan metabolic rate

Intubasi

ETT not kinking dipakai pada posisi yang ekstrim

Gastric tube digunakan untuk mencegah distensi lambung

Lidokain 1-1.5 mg/kg digunakan untuk mencegah reflek simpatis dan mencegah peningkatan ICP

Untuk anak < 6 tahun digunakan ETT non cuff untuk mencegah trauma subglotis

Maintanance dan pelayanan post operasi


Isofluran dosis rendah berguna jika diperlukan hipotensi terkontrol

N2O harus dihindari pada pembedahan intracranial dan apabila membuka vena besar

Emergency dan pelayanan post operasi


Tujuan utama anestesi pada bedah saraf anak adalah pasien bangun dengan halus untuk mencegah peningkatan ICP

Reversal diperlukan untuk mencegah hipoventilasi

Anestesi inhalasi dapat dieliminasi dengan cepat tanpa efek sisa sehingga cocok untuk anestesi anak yang ICP nya tidak naik

Post operasi anak sering timbul hipoksemia sehingga perlu suplemen O2

HYDROCHEPALUS
Penyakit bedah saraf anak terbanyak
Pertimbangan klinis
Hidrocephalus merupakan ketidak seimbangan antara produksi CSF dan absorbsi, dimana hampir semua kasus merupakan obstruksi pada sirkulasi CSF
kecuali pada Choroid plexus papilloma dimana terjadi over sekresi dari CSF
Obtruksi tersering adalah pada keluaran ventikel 4, biasanya stenosis aquaductal.

Penyebabnya myelomeningocelle, Arnold-Chiari malformation, congenital atresia of the foramina of Luschka and Magendie, Dandy-Walker cyst, dan
massa intracranial

Hydrocephalus yg didapat pada infant seringkali karena fibrosis akibat leptomeninges dari meningitis atau perdarahan intraventrikuler.

Karena tengkorak bayi dapat melebar maka tanda peningkatan ICP muncul terakhir

Gejala awal adalah membesarnya kepala dan bila sudah maksimal akan muncul tanda-tanda peningkatan ICP seperti mual, tanda setting sun dan
lumpuhnya nervus ke enam

Diagnosa pasti didapat dengan CT Scan

Manajemen Operasi
Tehniknya relatif mudah yaitu menempatkan kateter dalam sistem ventrikel baik lewat frontal maupun occipital.

Kateter tersebut dilewatkan subcutan ke rongga peritoneum, atrium kanan, atau di kavitas paru.

Atrium kanan mempunyai resiko mikroemboli, cor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga hanya dipakai bila tidak bisa ditaruh di rongga
abdomen.

Shunt ke pleura sering dipakai untuk anak dengan usia lebih tua (>7 tahun) tetapi dengan resiko efusi pleura yang mengarah ke gagal napas.

Manajemen anestesi
Ketika shunt mengalami gangguan maka akan terjadi kegawatan karena antara peningkatan ICP dengan herniasi intracerebral waktunya pendek.

Peningkatan ICP dapat dikurangi dengan cara intubasi, hiperventilasi sehingga PaCO2 22-25 mmHg, manitol (0.5-1 mg/kg) dan furosemide (1mg/kg)
untuk membuang cairan extra sel.

Saat terjadi kegawat daruratan maka jarum spinal dapat dimasukkan lewat fontanela yang terbuka atau dimasukkan lewat tempat kateter shunt
sebelumnya.

Lebih baik tidak disedasi saat premedikasi dan diinduksi dengan barbiturat atau dengan menggunakan halotan-N2O.

Jika tidak kooperatif bisa diberikan methohexital 25mg/kg dalam larutan 10%

Pasien diposisikan supine, agak ekstensi dengan kepala menghadap ke arah anestesi

Perhatikan peletakan elektroda ECG agar tidak mengganggu ruang kerja bedah

Jumlah perdarahan biasanya minimal dan waktu operasi singkat

Hati-hati saat meletakkan kateter di rongga abdomen agar tidak terjadi perforasi buli

Komplikasi
Ventrikel atrial shunt bisa menyebabkan disritmia kardiac dan emboli udara

Kateter atrial dimasukkan lewat vena jugularis masuk ke atrium kanan (posisi midatrial)

Shunt di pleura harus disertai dengan napas tekanan positif agar paru tidak kolap

Umumnya pasien mudah dibangunkan dan diekstubasi sadar baik kecuali pasien dengan kecenderungan parese vokal cord.

Pembuangan CSF secara tiba-tiba dalam jumlah yang banyak bisa menarik batang otak keatas dan disertai gejala serupa dengan herniasi batang otak
(bradikardi, disritmia, gasping)

Bridging cortical vein dapat ruptur dan menyebabkan SDH

Pada pasien Arnold-Chiary malformation atau Dandy-Walker syndrome, paralisa satu atau dua pita suara dapat memperparah napas penderita

CRANIAL DAN SPINAL DYSRAPHISM


Yang paling sering adalah spina bifida occulta
Myelomeningocele
Merupakan kasus yang paling parah dan paling sering ditemui

Elemen saraf sebagian tertutupi kulit dan meningen dan biasanya ruptur saat persalinan

Dengan perawatan yang agresif, pasien bisa bertahan cukup lama

Kelainan dilumbal dan sacrum secara rutin diperbaiki pada saat awal post partum

Kelainan dithorak dan cervical seringkali tidak diterapi

Sebagian besar dari myelomeningocele mengalami hydrochephalus

Perbaikan defek spinal biasanya dilakukan dalam 48 jam pertama

Tehnik yang dipakai biasanya adalah membebaskan kulit dan subcutan untuk menutup myelomeningocele yang besar

Bila meningocele berada di occipital maka dianjurkan untuk mengintubasi sambil miring menghadap muka pasien secara awake.

Sebelum mengintubasi lakukan atropinisasi (0,01 0.02 mg/kg untuk mencegah bradikardi yang mengarah ke kolapnya kardiovaskuler

Saat diposisikan tengkurap, letak bokong harus lebih tinggi dari kepala agar mencegah CSF bocor lewat myelomeningocele

Pasien diposisikan dengan penyangga pada dada dan panggul supaya perut bebas

Bila meningocele dan hidrocephalus diterapi sekaligus maka posisi perut harus oblique

Selama posisi prone pasien dikontrol ventilasi dan dijaga suhu dan volumenya

Perdarahan yang terjadi bisa banyak saat dilakukan skin flap dan bila kantongnya pecah sebelum operasi maka diperlukan terapi cairan

Muscle relaksan tidak boleh digunakan bila perlu dilakukan neuro transmiter test

Post op pasien dirawat dengan posisi prone dengan posisi kepala lebih rendah dari meningocelenya sehingga ekstubasi boleh dilakukan saat pasien
sudah sadar baik

Hampir semua pasien juga menderita Arnold-Chiary tipe II malformation dengan pergeseran dari cerebelum dan ventrikel 4 lewat foramen magnum

Karena manipulasi leher dapat menekan brainstem maka leher harus dipegang oleh asisten selama intubasi

Encephalocele
Bisa berupa polip kecil sampai massive encephalocele
Anak dengan encephalocele dapat tumbuh dengan intelektual normal

Encephalocele frontal butuh fiksasi ETT yang baik karena biasanya pasien hyperteleoric dan butuh rekonstruksi sinus

Pasien dengan encephalocele occipital perlu diintubasi posisi miring kemudian diposisikan prone

Selama memposisikan hari-hati supaya jangan menekan encephalocele

Perdarahan bisa sangat banyak karena sagital venous sinus terlibat baik untuk encephalocele frontal maupun occipital

Saat encephalocele dieksisi sering muncul gejala bradikardia

Tindakan operasinya adalah memotong proporsi extracranial dan memperbaiki defek cranial dengan dural graft dan skin graft

Dysrhaphisms yang lain


Pada pasien ini biasanya dilakukan pelepasan tethered cord atau memotong intra spinal lipoma atau dermoid

Operasi dengan posisi prone terdiri dari laminectomy dan melepas cord dan nerve roots dengan menggunakan mikroskop
Perdarahan biasanya minimal

CRANIOSYNOSTOSIS
Merupakan penutupan sutura secara prematur dan menimbulkan gangguan kosmetik an letak wajah

Jika hanya satu sutura yang menyatu maka akan terjadi malrotasi

Bila ada beberapa sutura yang menyatu maka otak tidak bisa berkembang, ICP meningkat, gangguan pertumbuhan

Biasanya craniosynostosis terkait dengan Crouzons syndrome dan Aperts syndrome

Tehnik operasi klasik adalah synostectomy

Coronal synostosis terdiri dari bifrontal skin flap, bifrontal craniostomy dan orbital rim advancement

Sagital suture synostosis terdiri dari bilateral parasagital synostectomy

Operasinya biasanya menggunakan dural plication untuk mengatur abnormal contur dari otak

Tehnik operasi terbaru menggunakan Phi () squeeze procedure dimana tehnik ini membutuhkan terapi dehidrasi untuk membuat otak relaks dan
mengecil

Crouzons dan Aperts syndrome


Pasien ini mengalami deformitas midface yang berat dan displasia sehingga mengalami gangguan pertumbuhan dari jalan napas dan cenderung untuk
apnea karena obstruksi. Hal ini menyebabkan sulitnya intubasi terutama intubasi nasal
Tanda-tanda yang lain : exopthalmus dengan hypertelorism, mata yang sangat lebar dan proptosis, tulang-tulang yang abnormal

Pasien ini diterapi dengan midface Le Fort advancements.

Pre operasi pasien ini perlu diperhatikan ICP nya

Induksi secara inhalasi biasanya aman dimana sebagian besar pasien ini dengan ICP normal

Induksi barbiturat dilakukan bila tidak ada abnormalitas pada jalan napas

Semua pasien ini harus diintubasi selama operasi dengan fiksasi yang baik karena posisinya yang extreme

Infant dengan posisi supine dengan fleksi leher yang ekstreme mempunyai resiko untuk emboli udara karena osteotomy nya diatas level jantung
sehingga perlu monitoring dengan precordial doppler

Perdarahannya biasanya banyak karena itu perlu monitor IAP dan pemeriksaan BGA dan hematocrit berkala

Jika tranfusinya banyak maka perlu tranfusi fresh frozen plasma dan platelet

Pasien yang lebih dewasa mengkin memerlukan osteotomy cranial dan facial dan butuh nasal intubasi

Jika diperlukan graft costa hati-hati pneumothorak

Ektubasi dilakukan bila sudah tidak bengkak dan tidak ada darah yang merembes

Holoprosencephaly
Merupakan serangkaian malformasi teratology yang ditandai dengan deformitas wajah dan otak

Tanda-tandanya adalah satu ruang ventrikel, thalamus yang menyatu, tidak adanya inferiofrontal dan temporal, isocortek yang rudimenter

Induksi dengan menggunakan halotan dan dipre medikasi dengan atropin

TRAUMA KEPALA
Trauma kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dan 70% nya karena kecelakaan sepeda motor

Angka morbiditas dan mortalitas meningkat sejalan dengan lamanya jarak antara trauma dan penanganannya sehingga trauma ini memerlukan perhatian
dan evaluasi yang cepat supaya tidak terjadi kecacatan

Pada anak, respon pertama dari trauma adalah hiperemia dan peningkatan ICP

Oksigen harus diberikan secepat mungkin dan airway harus segera dilindungi dengan intubasi

Untuk mencegah peningkatan ICP, digunakan RSI dengan barbiturat dan lidokain

Hiperventilasi bisa menurunkan ICP dengan menurunkan PaCO2

Selama operasi jaga PaCO2 20-25 mmHg

ICP juga dapat diturunkan dengan agent hiperosmolar seperti manitol (0.5-1 g/kg) dan posisi slight head up

Manitol menaikkan volume darah sehingga ICP meningkat pada anak sedangkan pada neonatus dapat terjadi congestive heart failure

Jaga agar osmolaritas serum berada pada 295-305, bila diatas 320 mOsm/l akan terjadi renal tubular nekrosis

Cedera tulang leher jarang terjadi pada anak, apabila ada maka perlu dilakukan traksi leher

Untuk mengontrol ICP dalam jangka panjang digunakan steroid (terutama pada tumor)

Barbiturat masih digunakan untuk mengontrol ICP durante operasi dan untuk Reyes syndrome

Pelumpuh otot digunakan untuk mencegah naik turunnya ICP karena batuk dan mengejan

Perdarahan pada subdural hematom dapat menyebabkan hipotensi pada bayi karena ukuran kepala lebih besar dari badan

Depresi tulang tengkorak dapat terjadi pada anak tanpa laserasi kulit kepala dan tidak memerlukan operasi emergensi

TUMOR OTAK
Tumor kepala merupakan tumor terbanyak kedua pada anak dimana kebanyakan berada di infratentorial

Tumor terbanyak adalah cerebellar astrocytoma, medulloblastoma dan brainstem glioma. Di jepang dan Afrika tumor terbanyak adalah
craniopharyngiomas dan pinealomas sedangkan ependymoma terbanyak di India

Tumor pada anak cenderung gawat karena kebanyakan berada di fossa posterior dan dapat menyebabkan obtruksi CSF

Tumor anak dibedakan menjadi tumor supratentorial dan infratentorial

Gejala tumor supratentorial : kejang, perdarahan dan lesi neurologis, sayangnya gejala ini muncul tiba-tiba sehingga perlu penanganan segera

Pembedahan digunakan untuk diagnosa, dekompresi atau pengangkatan total

Gejala tumor infratentorial berupa peningkatan ICP dengan atau tanpa hidrocephalus

Manajemen anestesi
Tujuan utamanya adalah mencegah peningkatan ICP dan menjaga suhu badan karena operasinya lama

Pasien biasanya mendapat dexamethasone dan furosemide atau manitol untuk mengurangi edema cerebri

Pada anak yang lebih tua dilakukan drainase spinal untuk mengurangi volume otak

Anestesi dengan induksi intravena, hiper ventilasi dan narkotik serta isofluran dosis rendah

Diusahakan agar pasien segera bangun agar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis

Pertanyaan yang perlu dijawab sebelum operasi:

1.

- apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

2.

- penggunaan steroid dan dosisnya

3.

- apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

4.

- penggunaan steroid dan dosisnya

5.

- pada pasien tumor supratentorial, seberapa

6.

- terapi cairan 60-80% normal

7.

- apakah tumornya highly vaskular, apakah

sering diberikan anti kejang

perdarahannya mungkin banyak

Posisi anak durante operasi perlu dipertimbangkan

Manipulasi dari brainstem dapat menyebabkan aritmia

Idealnya untuk pasien tumor langsung sadar saat akhir operasi

Saat pasien mulai bangun dan ekstubasi merupakan saat kritis dimana bisa timbul perdarahan bila pasien mengejan (valsava manuver) atau hipertensi

Tumor pada daerah supra sella biasanya menyebabkan gangguan endokrin dan seringkali disertai dengan gangguan penglihatan

Operasinya lewat transphenoidal pada dewasa dan frontal craniotomy pada anak

Manipulasi saraf penglihatan dapat menyebabkan bradikardi dapat diterapi dengan atropin

Diabetes insipidus mungkin terjadi durante atau post operasi

Pitresin dihindari saat durante operasi dan penggantian cairan elektrolit harus sesuai dengan evaluasi elektrolit secara serial

Cairan dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang parah

GANGGUAN VASKULER
Gangguan yang jarang pada anak dimana AVM merupakan gangguan yang tersering

90% AVM dijumpai di supratentorial pada cabang utama arteri carotis interna

Gejala AVM baru muncul saat usia 30-40 tahun

Pada anak, gejala AVM adalah perdarahan intracranial yang harus segera dihilangkan kalau perlu dilakukan surgical extirpasi dan perlu dilakukan
resusitasi segera, proteksi jalan napas, dan pencegahan peningkatan ICP

Aneurisma
Berbeda dengan dewasa, anak laki lebih sering mengalami aneurisma dan sering berada di distal dari circle of willis

Aneurisma pada anak sering terkait dengan coarctation dari aorta, penyakit ginjal polikistik, hipertensi esential, pheochromocytoma atau cyanotic
congenital heart disease

Tehnik operasinya adalah obliterasi dan relatif lebih gampang dari dewasa karena tidak ada atherosclerotic

Anak dengan perdarahan subarachnoid akibat aneurisma akan mengalami peningkatan ICP dan dikurangi dengan agen dehidrasi, hiperventilasi dan
drainage spinal

Durante operasi biasanya diperlukan hipotensi sehingga diperlukan obat untuk menurunkan tekanan darah dengan cepat dimana pada anak lebih baik
digunakan anestesi inhalasi yang dalam, pada anak lebih tua dapat digunakan trimethaphan atau sodium nitroprusside

Trimethaphan dapat menyebabkan takikardi yang bisa diturunkan dengan beta adrenergic bloker. Sodium nitroprussid lebih umum digunakan

Setelah cliping aneurisma selesai maka tekanan darah dikembalikan normal atau sedikit diatas normal untuk memaksimalkan perfusi otak dan
menurunkan vasospasm

Arteriovenous malformation
Penyakit ini sebelumya jarang ada namun karena perkembangan tehnik radiologi maka kasus ini jadi sering muncul

Penyakit ini muncul disertai dengan perdarahan subarachnoid atau kejang

Pembedahannya lama dan berdarah banyak

Pencegahan kejang diberikan pra operasi

Premedikasi dengan sedasi berat

Perlu induksi yang mulus dan dilindungi dengan lidokain

Durante operasi memerlukan hipotensi dan pengaturan ICP

Aneurysms of the Vein of Galen


Lebih dari separuh AVM dengan gejala melibatkan vena besar dari Galen

Pertemuan antara arteri cerebral dengan vena besar Gallen menampakan beberapa tingkatan shunt dari kiri ke kanan

Gejala tergantung dari derajad shunting dan letak aneurisma dan biasanya dibagi 3 pola:

1.

Bayi baru lahir dengan gagal jantung kongesti yang parah. Kadang disertai kejang dan hidrocephalus dan suara bruit yang keras di cranial.
Diperlukan cerebral angiography untuk melihat pembuluh darah yang memberi makan aneurisma. Pengontrolan gagal jantung kongestif
segera dilakukan agar operasi koreksi bisa segera dilakukan

2.

Bayi dan anak yang lebih tua mempunyai gejala


hidrocephalus dan craniomegaly, sebagai akibat dari penekanan ventrikel ketiga dan
aquaductus Sylvii. Cardiomegaly sering muncul dan bruit di cranial sering terdengar

3.

Anak yang lebih tua dan dewasa memiliki gejala migrain dengan atau tanpa hidrocephalus. Terdapat garis calcium mengelilingi aneurisma
yang terlihat di foto. Karena shunt nya lebih kecil, maka gagal jantung kongestif dan cardiomegali jarang ada

Manajemen anestesinya merupakan hal yang sulit dimana anak mengalami gagal jantung kongestif, kardiomyopathy dan operasinya berdarah banyak

Setelah ligasi akan muncul hipervolume tiba-tiba karena 80% kardiak output mengalir dalam shunt dan volume darah central akan meningkat bermakna
setelah aneurisma dikeluarkan

Angka kematiannya 50-70%

Banyak tehnik termasuk extracorporeal circulation dengan hipotermia telah direkomendasikan

Yang penting saat operasi adalah menjaga perfusi tetap adekuat agar mencegah iskemi miokard, memberikan cairan pengganti, tehnik anestesi yang
menyediakan pengurangan maksimal pada otak yang bengkak dengan steroid dan furosemid

Penggunaan narkotik, oksigen dan pankuronium juga dianjurkan

Pada anak yang lebih tua, hipotensi terkontrol diperlukan agar bedah dapat mencapai tempat lesinya

Pada neonatus yang sakit atau bayi kecil, hipotensi dan hipovolemi harus dihindari karena dapat menurunkan perfusi dari myocard

Prosedur Diagnosis
Kemajuan CT scan dan MRI memungkinkan pneumoencephalography
Baik CT scan dan MRI membutuhkan sedasi ringan

Cerebral arteriography dan myelography pada bayi dan anak membutuhkan anestesi umum

Jika ICP normal maka anestesi inhalasi dengan napas spontan lebih nyaman

Intubasi dimungkinkan karena pasien akan dipindah dari mesin anestesi untuk angiography dan prone untuk myelography

Anestesi Pediatri
1.

Perbedaan jalan napas orang dewasa dan anak-anak


JALAN NAPAS INFAN
Pernapasan hidung yang obligat, nares
sempit
Lidah yang besar
Oksiput yang besar
Glottis terletak pada C3 bayi yang prematur,
C3-C4 bayi baru lahir, dan C5 dewasa
Laring dan trakhea berbentuk seperti corong

Pita vokalis lebih miring ke anterior


ETT = endotracheal tube
2.

Alveoli yang sedikit dan lebih kecil


Kemampuan pengembangan lebih kecil
Kurang elastis
Resistensi jalan napas lebih besar
Jalan napas lebih kecil
Iga-iga lebih horizontal, lebih lunak, dan
mengandung lebih banyak kartilago
Mengadung otot tipe-1 (yang sangat
oksidatif) yang lebih sedikit
Kapasitas total paru (TLC) kurang, RR dan
metabolik lebih cepat
Volume akhir lebih besar

SIGNIFIKANSI
Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13 kali lebih banyak
dibanding bayi baru lahir
Kecenderungan kollaps jalan napas lebih besar
Tenaga untuk bernapas lebih besar dan penyakit lebih
rentan menyerang saluran napas yang kecil
Mekanisme kerja dinding dada tidak efisien
Bayi lebih mudah lelah
Desaturasi terjadi lebih cepat
Ventilasi ruang rugi lebih tinggi

Mengapa sistem kardiovaskuler pada anak-anak berbeda?


Bayi baru lahir tidak mempu meningkatkan curah jantungnya (CO) dengan cara meningkatkan kontraktilitasnya; CO hanya dapat ditingkatkan dengan
cara meningkatkan denyut jantung (HR)
Bayi mempunyai refleks baroreseptor yang immatur dan kemampuan kompensasi yang terbatas hanya dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR).
Itu sebabnya bayi lebih rentan terhadap efek depresi jantung anestetik volitile.

4.

Infan bernapas hanya melalui hidung yang mudah


tersumbat oleh sekresi
Dapat menyumbat jalan napas dan membuat laringoskopi
dan intubasi lebih sulit
Sniffing positon tercapai dengan mengganjal bahunya
Laring terletak lebih anterior; penekanan krikoid sering
dapat membantu visualisasi
Bagian tersempit trakhea adalah krikoid; pasien
sebaiknya dipasangkan ETT berukuran < 30 cm H2O
untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mukosa
trakhea, barotrauma
Insersi ETT mungkin lebih sulit

Perbedaan sistem pulmonal orang dewasa dengan anak-anak


SISTEM PULMONAL ANAK-ANAK

3.

SIGNIFIKANSI

Bayi dan infan mempunyai tonus vagus yang lebih tinggi sehingga cenderung bradikardi. Tiga penyebab utama bradikardia adalah hipoksia, stimulasi
vagus (laringoskopi), dan anestetik volatile (mudah menguap). Bradiardi itu Tidak Baik.

Tanda-tanda vital yang normal pada anak-anak


USIA
HR
RR
SBP
DBP
(tahun)
<1
120-160
30-60
60-95
35-69
1-3
90-140
24-40
95-105
50-65
3-5
75-110
18-30
95-110
50-65
8-12
75-100
18-30
90-110
57-71
12-16
60-90
12-16
112-130
60-80
HR = denyut jantung, RR = frekuensi napas, SBP = tekanan darah sistol,
DBP = tekanan darah diastol. Kaidah yang disetujui : tekanan darah = 80 mmHg + 2 x usia

5.

Kapan sebaiknya anak-anak dipremedikasi ? Obat apa yang sering dipakai ?


Anak-anak sering mengalami rasa takut dan gelisah yang sangat besar saat mereka terpisah dari orang tua mereka dan saat induksi anestesi. Premedikasi
dianjurkan oleh Vetter pada anak-anak yang berusia 2-6 tahun dan belum pernah menjalani pembedahan atau tidak menerima tuntunan dan pemahaman
perioperatif atau yang gagal berinteraksi positif dengan layanan perawatan kesehatan saat perioperatif. Telah banyak ditemukan perubahan tingkah laku yang
negatif pasca operasi pada anak-anak yang gelisah selama induksi.
Medikasi Preoperatif Yang Sering Digunakan Dan Cara Pemberiannya
Obat
Cara Pemberian
Keuntungan

Kerugian
Rasanya tidak enak saat
Onset cepat, efek samping
Midazolam
po, pr, in, iv, sl
diberikan per oral, menyengat
minimal
dalam hidung
Memperlambat emergensi,
Ketamin
po, pr, in, iv, sl
Onset cepat, analgesia bagus rasanya tidak enak, menyengat
dalam hidung
Rasanya enak, anlagesik
Dapat terjadi hipoksemia,
Fentanyl
Otfc
bagus, onset 45 menit
mual
Murah, efek samping
Onset lama, emergensi jadi
Diazepam
po, pr, im
minimal
berkepanjangan
Po = per oral, pr = per rektum, iv = intravena, sl = sublingual, im = intramuskuler,

in = intranasal, otfc = fentalnil sitrat transmukosa oral


6.

Teknik induksi yang sering digunakan pada anak-anak


Induksi inhalasi adalah teknik induksi yang paling sering digunakan pada anak-anak berusia < 10 tahun. Anak-anak disuruh menghirup N 2O 70% dan
oksigen 30% selama sekitar 1 menit; halotan kemudian diberikan secara perlahan. Konsentrasi halotan ditingkatkan 0,5% setiap 3-5 kali bernapas. Jika
anak itu batuk atau menahan napas, konsentrasi halotan tidak boleh dinaikkan sampai batuk atau menahan napas itu berhenti. Sevofluran juga dapat
digunakan dengan atau tanpa N2O.
Induksi inhalasi yang cepat atau brutane digunakan pada anak-anak yang tidak kooperatif. Anak-anak dibaringkan kemudian dipasangkan
sungkup yang mengandung N2O 70% dan oksigen 30%, dan halotan 3-5% atau sevofluran 8% pada mukanya. Teknik yang seringkali tidak nyaman ini
sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Sekali anestesi telah diinduksi, konsentrasi sevofluran atau halotan harus dinaikkan.

Steal Induction dapat digunakan saat anak-anak telah tidur. Induksi anestesi dilakukan dengan menggunakan sungkup yang agak jauh dari muka si
anak, kemudian konsentrasi halotan atau sevofluran ditingkatkan secara bertahap. Tujuan hal ini adalah untuk menginduksi anestesi tanpa
membangunakan si anak.

Induksi intravena digunakan pada seorang anak yang telah dipasangi infus atau pada anak-anak yang berusia > 10 tahun. Medikasi yang biasanya
digunakan pada anak-anak adalah tiopental 5-7 mg/kg; propofol 2-3 mg/kg; dan ketamin 2-5 mg/kg. Agar prosedur tidak traumatik, krim EMLA
(campuran anestesi lokal yang eutektos/mudah larut) diusapkan paling kurang 90 menit sebelum infus IV dipasang.

7. Mengapa keberadaan shunt kiri - ke - kanan (left - to - right) dapat mempengaruhi induksi inhalasi?
Shunt kiri-ke-kanan intrakardiak menyebabkan overload volume pada sisi kanan jantung dan pada sirkulasi paru. Pasien dapat menderita gagal jantung kongestif
(CHF) dan penurunan kemampuan pengembangan paru. Ambilan dan distribusi zat-zat inhalasi hanya terpengaruh sedikit (minimal); waktu onset zat-zat intravena
sedikit memanjang.
8.

Bagaimana dengan shunt kanan-ke-kiri (right-to-left) ?


Shunting kanan-ke-kiri intrakardiak menyebabkan overload ventrikel kiri. Pasien berkompensasi dengan cara meningkatkan volume darah dan hematokrit. Hal ini
penting untuk memelihara resistensi vaskuler perifer tetap tinggi untuk mencegah peningkatan shunting kanan ke kiri. Shunt seperti itu dapat sedikit
memperlambat induksi inhalasi dan mempersingkat waktu onset induksi zat-zat intravena.

9. Hal - hal khusus lain yang harus diperhatikan pada anak - anak yang menderita penyakit jantung
Anatomi lesi dan arah aliran darah sebaiknya ditentukan. Resistensi vaskuler pulmonal (PVR) perlu dijaga. Jika PVR meningkat, shunting kanan-kekiri dapat meningkat dan memperburuk oksigenasi, sementara itu, pasien yang menderita shunt kiri-ke-kanan mengalami arah aliran darah yang
sebaliknya (sindrom Eisenmenger). Jika pasien menderita shunt kiri-ke-kanan, penurunan PVR akan meningkatkan aliran daraj ke paru-paru dan
mengarah ke edema pulmonal. Menurunkan PVR pada pasien dengan shunt kanan-ke-kiri dapat memperbaiki hemodinamik.
Kondisi-kondisi yang Dapat Mningkatkan Shunting
Shunt Kiri-Ke-Kanan
Shunt Kanan-Ke-Kiri
Hematokrit rendah
SVR menurun
SVR meningkat
PVR meningkat
PVR menurun
Hipoksia
Hiperventilasi
Hiperkarbia
Hipotermia
Asidosis
Zat anestetik : Isofluran
Zat anestetik: N2O,Ketamin ?
SVR = resistensi vaskuler sistemik; PVR = resistensi vaskuler pulmonal

10.

Gelembung udara harus dihindari dengan sangat cermat. Jika terdapat komunikasi antara sisi jantung kanan dan kiri (defek septum ventrikel, defek
septum atrium), injeksi udara secara iv dapat berjalan melintasi komunikasi tersebut dan masuk ke sistem arteri. Hal ini akan mengarah ke gejala-gejala
SSP (susunan saraf pusat) jika udara tersebut menyumbat suplai darah ke otak dan medulla spinalis (emboli udara paradoksikal).
Antibiotik Profilaksis sebaiknya diberikan untuk mencegah endokarditis bakteri. Medikasi dan dosis yang direkomendasikan dapat ditemukan pada
pedoman Asosiasi Jantung Amerika.

Hindari Bradikardi

Mengenali dan mampu menangani tet spell. Anak-anak dengan tetralogy of fallot mengalami obstruksi aliran sebelah kiri (RVOT/right outflow
tract ), overriding aorta, dan stenosis atau atresia pulmonal. Beberapa diantaranya akan mengalami ucapan hipersianotik (tet spell) akibat suatu
stimulasi saat usianya bertambah. Episode seperti itu ditandai oleh memburuknya obstruksi RVOT, mungkin sebagai akibat hipovolemia, peningkatan
kontraktilitas, atau takikardi saat stimulasi atau stress. Pasien sering ditangani dengan beta blocker, yang sebaiknya dilanjutkan saat perioperatif.
Hipovolemia, asidosis, menangis atau gelisah yang berlebihan, dan peningkatan tekanan jalan napas sebaiknya dihindari. Resistensi vaskuler sistemik
(SVR) sebaiknya tetap terpelihara. Jika ucapan hipersianotik terjadi saat periode perioperatif, penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain :
memelihara jalan napas, infus volume, meningkatkan kedalaman anestesia atau mengurangi stimulus pembedahan. Fenilefrin sangat bermanfaat dalam
meningkatkan SVR. Dosis tambahan dari beta blocker juga dapat dicoba. Asidosis metabolik sebaiknya dikoreksi.

Cara pemilihan ukuran ETT yang tepat ?


USIA
Bayi baru lahir
Bayi baru lahir 12 bulan
12 18 bulan
2 tahun
> 2 tahun

Ukuran Diameter Interna (mm)


3,0 3.5
3,5 4,0
4,0
4,5
Ukuran ETT =

ETT setengah nomor di atas dan setengah di bawah harus disiapkan

ETT sebaiknya dipasang pada kedalaman sekitar 3 kali dari diameter internanya.

Kebocoran di sekitar ETT sebaiknya kurang dari 30 cm H2O

11. Dapatkah ETT yang ber-cuff digunakan pada anak-anak ?


ETT yang ber-cuff dapat diguanakan pada anak-anak. Tentu saja cuff tersebut mengambil tempat sehingga membatasi ukuran ETT. Namun, Khine dkk., telah
memperlihatkan bahwa pipa yang ber-cuff telah sukses digunakan bahkan pada neonatus tanpa peningkatan komplikasi.
12. Dapatkah laryngeal mask airway (LMA) digunakan pada anak-anak?
LMA dapat sangat bermanfaat pada pediatrik. Alat ini dapat membantu pada jalan napas sulit, baik sebagai teknik tunggal, maupun digunakan bersama-sama
dengan ETT.
13. Bagaimana cara pemilihan ukuran LMA yang tepat ?
Berat Badan Anak
Neonatus sampai 5 kg
Infan 5-10 kg
Anak-anak 10-2 kg
Anak-anak 20-30 kg
Anak-anak/dewasa muda > 30 kg

Ukuran LMA
1
1
2
2
3

14. Mengapa farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan pada anak-anak berbeda?
Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa. MAC tertinggi adalah pada infan 1-6 bulan. Bayi
prematur dan neonatus mempunyai MAC yang rendah
Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek disritmik epinefrin pada anestesi umum dengan zat-zat volatile

Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg) yang lebih tinggi karena mempunyai distribusi volume yang lebih besar (lebih banyak
lemak, lebih banyak cairan tubuh)

Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif terhadap efek depresan pernapasan

15. Bagaimana penatalaksanaan perioperatif pada anak-anak?


Pemeliharaan diperhitungkan dengan cara berikut :
o Infan < 10 kg
4 ml/kg/jam

10-20 kg

40 + 2 ml/lg/jam setiap < 10 kg

Anak-anak > 20 kg

60 + 1 ml / kg / jam setiap > 20 kg

Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan diganti dengan cara :

EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral terakhir

EFD + pemeliharaan diberikan pada jam pertama

EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-2

EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-3

Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam yang ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya
sudah adekuat.

Estimasi volume darah (EBV) dan kehilangan darah (ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.

16. Cairan pengganti apa yang paling sering digunakan pada anak-anak ? Mengapa?
Garam natrium yang ditakar (BSS) seperti RL dengan glukosa (D5RL) atau tanpa glukosa (RL) direkomendasikan dalam hal ini. Pada bayi yang lahir baik, terlihat
bahwa hipoglikemia dapat terjadi pada anak sehat yang menjalani prosedur invasif jika tidak digunakan cairan yang mengandung glukosa. Namun ditemukan
adanya hiperglikemia yang terjadi pada mayoritas anak-anak yang telah diberikan solusi yang mengandung glukosa 5%. Beberapa penulis menganjurkan
penggunaan cairan yang mengandung glukosa 1% atau 2,5%. Yang lain masih menggunakan solusi glukosa 5% untuk pemeliharaan, namun direkomendasikan
bukan BSS yang mengandung non-glukosa untuk third space atau kehilangan darah. Pada operasi mayor, sangat penting untuk memeriksa kadar glukosa secara
berseri dan untuk menghindari hiper- atau hipoglikemia.
17. Nilai-nilai EBV pada anak-anak?
USIA
Neonatus
Infan sampa 1 tahun
Lebih dari 1 tahun

EBV (ml/kg)
90
80
70

18. Cara mengkalkulasi (menghitung) jumlah kehilangan darah (blood loss)?

Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu.
Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih
dini. Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial. Dia sehat, dengan asupan oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum
tiba di ruang operasi. BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct terendah = 25%.

Pemeliharaan
EFD
EBV
EBL

= BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam
= pemeliharaan x 6 kg = 144 ml
= BB x 80 ml/kg = 480 ml

19. Mengapa manifestasi hipovolemia berbeda pada anak-anak ?


Anak-anak yang sehat telah berkompensasi terhadap kehilangan volume akut sebesar 30-40% sebelum terjadi perubahan tekanan darah. Indikator awal yang paling
jelas pada syok hipovolemik yang terkompensasi pada anak-anak adalah takikardi persisten, vasokonstriksi kutaneus, dan penurunan tekanan darah.
20. Respon sistemik terhadap kehilangan darah ?
Respon Sistemik terhadap Kehilangan Darah pada Anak-anak
Kehilangan Darah <25
Sistem Organ
Kehilangan Darah 25-40% Kehilangan Darah > 45%
%
Penurunan TD, peningkatan
HR , bradikardi
Nadi lemah dan cepat, HR
mengindikasikan kehilangan
Jantung
HR meningkat
meningkat
darah yang berat dan
mengarah ke kollaps
sirkulasi
Perubahan LOC, kurang
SSP
Lesu, bingung, cengeng
Komatous
berespon terhadap nyeri
Sianotik, penurunan
Kulit
Kedinginan, berkeringat pengisian kapiler ,
Pucat, dingin
ekstremitas dingin
Ginjal
Penurunan UOP
UOP minimal
UOP minimal
HR = denyut jantung, TD = tekanan darah, LOC = tingkat kesadaran, UOP = produksi urine
21. Anestesi regional yang sering dilakukan pada anak-anak
Blok epidural kaudal adalah teknik anestesi yang paling sering dilakukan pada anak-anak. Biasanya, pada anak-anak yang teranestesi diberikan tambahan
analgesia intraoperatif dan post-operatif. Teknik ini paling sering dilakukan untuk pembedahan ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah. Blok epidural
thoraks dan lumbal juga dapat digunakan untuk penhilang nyeri pasca operasi. Namun hal ini sebaiknya dilakukan hanya oleh operator yang berpengalaman.
22. Anestetik lokal apa yang biasanya digunakan
Bupivakain dengan konsentrasi 0,125-0,25% adalah anestesi lokal yang paling sering digunakan. Bupivakain 0,25% menghasilkan analgesia intraoperatif yang
bagus dan menurunkan kebutuhan MAC pada anestesi inhalasi. Namun, obat ini dapat menyebabkan blokade motorik yang mengganggu proses keluarnya pasien
dari rumah sakit. Bupivakain 0,125% menghasilkan blok motorik pasca operatif yang minimal, namun tidak memberikan analgesia intraoperatif dan tidak
menurunkan keperluan MAC. Gunter memperlihatkan bahwa bupivakain 0,174% menghasilkan analgesia intraoperatif yang baik dan blok motorik yang minimal
serta menurunkan kebutuhan MAC zat volatile.
23. Dosisnya
Dosis Anestesi Lokal yang Sering Diterapkan pada Blok Kaudal
DOSIS (cc/kg)
TINGKAT BLOK
JENIS OPERASI
0,5
Sakral/lumbal
Penis, ekstremitas bawah
1
Lumbal/thoraks
Abdominal bawah
1,2
Thoraks atas
Abdominal atas
Dosis toksik bupivakain pada anak-anak = 2,5 mg/kg; pada neonatus = 1,5 mg/kg
24. Apa yang dimaksud dengan blok fasia iliaka dan diindikasikan untuk apa ?
Blok fasia iliaka adalah teknik untuk menganestesi nervus femoral, obturator, dan kutaneus lateralis. Blok ini menghasilkan analgesia pada paha atas dan baik
untuk pasien yang mengalami fraktur femur atau pasien yang menjalani prosedur-prosedur seperti osteotomi, biopsi otot, atau grafting kulit.
25. Gambarkan komplikasi pasca operasi yang tersering !
Mual dan muntah merupakan penyebab tersering dari tertundanya waktu keluar pasien. Terapi terbaik untuk mual dan muntah post-operatif adalah
dengan pencegahan. Menghindari opiod akan mungurangi insidensi mual dan muntah post-operatif sepanjang ada penghilang nyeri yang adekuat
(seperti berfungsinya blok kaudal pada pasien). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan penghentian asupan oral.
Jika muntah menetap, metoklopramid, droperidol, atau ondansetron dapat dicoba. Jika muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.
Faktor-faktor yang Meningkatkan Insidensi Mual dan Muntah Pasca Operasi
Faktor Pasien
Faktor Pembedahan/Anestesi
Pasien berusia > 6 tahun
Lama pembedahan > 20 menit
Riwayat mual dan muntah sebelumnya
Bedah mata
Riwayat motion sickness
Tonsilektomi/adenoidektomi
Mual pre-operatif
Pemberian narkotik
Sangat gelisah saat preoperatif
? Nitrous Oksida

Masalah pernapasan, utamanya laringospasme dan stridor lebih sering ditemukan pada anak-anak dibanding pada orang dewasa. Penatalaksanaan
laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan positif, maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan intubasi ulang jika perlu. Stridor
biasanya ditangani dengan oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin rasemik.

KONTROVERSI
26.

Apa signifikansi rigiditas otot masseter ?

27.

Rigiditas otot masseter terjadi pada 1% anak-anak yang menerima halotan dan suksinilkolin. Tambahan natrium thiopental dapat mengurangi insidensi
itu, meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui.
Rigiditas otot masseter bisa jadi gejala pertama hipertermia maligna (MH), tapi juga dapat terjadi pada pasien yang tidak diduga MH.

Bagaimana penatalaksanaan pasien yang mengalami rigiditas otot masseter ?


Sumber insidensi MH akibat rigiditas otot masseter masih kontroversi. Kebanyakan penulis percaya bahwa insidensinya 1% atau kurang; namun salah
satu penelitian terbaru menunjukkan bahwa insidensi itu dapat setinggi 59% pada pasien yang diperiksa melalui biopsi otot.
Saat rigiditas otot masseter terjadi, masalah utama adalah apakah mengganti teknik yang tidak memicu atau menghentikan prosedur. Penulis biasanya
setuju pada teknik yang tidak memicu dan operasi tetap dilanjutkan, kecuali terjadi tanda-tanda MH atau spasme otot masseter yang berat sehingga
intubasi tidak memungkinkan.

Pasien sebaiknya dipantau setelah post operatif untuk melihat adanya peningkatan kadar kreatin fosfokinase (CPK) dan tanda-tanda MH yang lain (HR,
TD, suhu, mioglobin urine). Jika kadar CPK postoperatif > 20.000, pasien sebaiknya ditangani dan didiagnosis sebagai MH. Jika CPK < 20.000, namun
masih meningkat signifikan, penatalaksanaan MH sebaiknya dipertimbangkan, termasuk biopsi otot. Jika CPK normal atau meningkat minimal, pasien
mungkin tidak berisiko MH.

28. Gambarkan penatalaksanaan pasien yang mengalami infeksi saluran napas atas ?
1. Risiko memburuknya pernapasan setelah dua minggu menderita infeksi saluran napas atas (ISPA), 9-11 kali lebih besar. Penyebab gangguan pulmonal antara lain :

Penurunan kapasitas difusi oksigen

Penurunan kemampuan pengembangan dan peningkatan resistensi

Penurunan volume akhir

Meningkatnya shunting (ketidaksesuaian ventilasi-perfusi), ambilan oksigen paru lebih cepat

Peningaktan insidensi hipoksemia

Peningkatan reaktivitas jalan napas

2. ETT meningkatkan risiko gangguan pernapasan


3. Rekomendasi umum untuk anak-anak dengan ISPA ringan

Mendiskusikan peningkatan risiko dengan pasien

Mencoba untuk menghindari intubasi

Penggunaan antikolinergik untuk menurunkan sekresi dan reaktivitas jalan napas

4. Pada anak-anak yang demam, ronkhi yang tidak jelas dan batuk, sinar X dada abnormal, hitung sel darah putih yang tinggi, atau penurunan derajat aktivitas
sebaiknya dibuat jadual ulang.
29. Apa keuntungan dan kerugian sistem sirkuit dan sirkuit bain pada anak-anak?
Keuntungan dan Kerugian Sistem Sirkuit dan Sirkuit Otak Bain
Sirkuit
Keuntungan
Kerugian
Konsentrasi gas inspirasi yang relatif
Desainnya rumit, katub satu arah
konstan
Sistem Sirkuit
Kelembaban dan panas lebih alami
Bayi kecil (< 10 kg) harus bernapas lebih
Polusi pada ruang operatif minimal
kuat untuk mengatasi resistensi katub
Ringan
Kebanyakan mesin anestesi memerlukan
Baik untuk ventilasi spontan atau terkontrol pemasangan khusus pada alat ini
Resistensi minimal
Sirkuit Bain
Gas yang diekshalasi dari luar pipa
membuat gas yang akan diinspirasikan lebih Pipa dalam dapat bengkok atau tidak
hangat dan lebih lembab (dalam teori)
terhubung

30. Apakah orang tua dibolehkan untuk menemani anaknya saat induksi anestesi ?
Anak-anak yang lebih muda dapat sangat gelisah dan ketakutan saat mereka dipisahkan dari orang tuanya sebelum pembedahan. Mengizinkan orang tua untuk
menemani anak di ruang operasi dapat memfasilitasi induksi anestesi pada beberapa kasus. Orang tua dan anak-anak sebaiknya diberitahu dan disiapkan menganai
apa yang akan dilakukan. Orang tua sebaiknya siap meninggalkan ruang operasi saat anestesiologis yakin hal tersebut memang lebih tepat. Keberadan orang tua
sering merasa gelisah, enggan, dan histeris di ruang operasi dapat sangat mengganggu. Seorang anestesiologis yang tidak nyaman dengan mengizinkan orang tua
pasien untuk ikut serta saat induksi mungkin sebaiknya tidak mengizinkan mereka untuk ikut serta. Pada anak-anak yang tidak kooperatif atau ketakutan,
keberadaan orang tua dapat bermanfaat, namun juga dapat sebaliknya.

Spinal Anestesia

PENDAHULUAN
Anestesiaspinaldihasilkandenganmenginjeksikananestetiklocalkedalamcairanserebrospinal,halinidicapaihanyadenganpunksisubaraknoidlumbal.
Tergantungdosis,localanestetikdapatmenghasilkanefekanesthesiaringansampaidengankomplitpadadaerahdermatomatauseluruhtubuh.
Tehnikinitelahdilakukanawalabadduapuluhdandokterdanpenderitamemutuskanbukanberartimenghindarikomplikasikomplikasianestesiumum.Setelah
1950,penggunaananesthesiaberkurangdiAS,anesthesiaumummenjadiamandanlebihmenyenangkanbagipasien.Pada1975telahdipertimbangkanbahwa
faedahanestesispinaldanepidural,memberikankeuntunganterhadappemakaidantidakmerupakanpilihanyangsimpleterhadapanestesiumum,membuattehnik
inipentingpadapenangananpenderita.
ANATOMI
TulangBelakang.
Tulangbelakangterdiridari7servikal,12torakal,5lumbaldan5tulangsacrumyangbersatu.Vertebraterdiridaricolumnadanarkusvertebra.Arkusvertebra
terdiridariduapedikeldianteriordandualaminadiposterior.Padapertemuanlaminadanpedikelterdapat procesustransversus,dandaripertemuankedualamina
padagaristengahtubuhdiposteriorterdapatprocesusspinosus.Lekukanpadapermukaanpedikelakanmembentukforamenintervertebralisdenganlekukanpada
permukaanpedikelvertebradiatasataudibawahnyasebagaitempatkeluarnervusspinalis.
Medula Spinalis.
Kanalisspinalis terletakdidalamcolumnavertebralisantaraforamenmagnumdanhiatussakralis. Dianterior dibentuk olehcolumnavertebra, dilateraloleh
pedikeldandiposteriorolehlamina.MedulaspinalisterbentangdaribatangotaksampaipermukaanL12padaorangdewasa.Akhirlumbalbawahdanakarakar
sarafsacralberlanjutdidalamkanalisspinalissebagaikaudaequina.
Medulaspinalisdibungkusolehtigamembranyaitu:piamater,arakhnoidmater,danduramater.Ketiganyamembentuktigaruang.Ruangantarapiamateryang
menutupmedulaspinalisdanarakhnoidmater.RuangsubarakhnoidberlanjutdaridasarkraniumsampaiS2danterdiridariakarsarafdanciranserebrospinal
(CSS).Ruangsubarakhnoidterletakantaraduramaterdanarakhnoidmater,inimerupakanruangpotensialkhususnyaobatobatanyangdiinjeksikankeruang
epiduralatausubarakhnoid.Akibatsubduralblokadalahkelemahandanpenyebaranutamasecaralangsungkerahkepala.
LigamentumLigamentum.
Ligamentumlongitudinalisanteriordanposteriorberjalandiantaraaspekanteriordanposteriorcolumnavertebralis.Ligamentumsupraspinosusmembentangdari
vertebracervical7sampaisakrumdanmencapaiketebalanmaksimumdidaerahlumbal. Ligamentuminterspinosus menghubungkanduaprocesusspinosus.
Ligamentumflavumdikenalsebagaiseratelestikwarnakuningberjalandiaspekanteriordaninferiortiaplaminavertebrakepermukaanposteriordansuperior
bawahlaminadanmenebaldidaerahlumbal.

BloodSuply
Medullaspinalismendapatsuplaidarahdaria.vertebral,a.servikal,a.interkostaldana.lumbalis.Cabangspinaliniterbagikedalama.radikularisposteriordan
anterioryangberjalansepanjangsarafmenjangkaumedulladanmembentukpleksusarterididalampiameter.
CerebrospinalFluid
SerabutsarafmaupunmedullaspinalisterendamdalamLCSyangmerupakanhasilulktrafiltrasidaridarahdandiekskresiolehpleksusuchoroideuspadaventrikel
lateral,ventrikelIIIdanventrikelIV.Produksinyakonstanratarata500ml/haritetapisebandingdenganabsorpsinya.VolumetotalLCSsekitar130150ml,
terdiridari6075mldiventrikel,3540mlsebagaicadanganotakdan2530mldiruangsubarakhnoid.
NervusSpinalis.
Nervusspinalismeninggalkankanalisspinalismenembuskeduaforamenintervertebtralis,danmempersarafikulityangdikenalsebagaidermatom.Perjalanan
nervusviscerallebihkompleks,tergantungdansesuaidenganperekembanganakhirembrionikorgandaripadaposisiakhirdalamtubuh.Seringterjadi,tingkat
anestesiauntukoperasiyangdikehendakilebihtinggidariperkiraandasaryangmenutupidermatomsensoris, Contoh:anestesiavisceralabdomenbagianatas
dibutuhkanpalingkurangtingkatspinalT4walaupuninsisikulitpadaT6ataulebih.Afferensimpatikkembalidariendorganmelaluipleksusprevertebradan
ganglionparavertebrasehinggamencapaimedulaspinalispadasetiaptingkat.
Tabel.TingkatMinimumDermatomUntukanestesispinal.
LetakOperasi

Yangdiperlukan

Ekstremitasbawah.

T12

Panggul.

T10

ProstatatauBulibuli.

T10.

Testis.

T6.

Herniorapi.

T4.

Intraabdomen.

T4.

Sarafspinalisada31pasangyaitu8servikal,12thorakal,5lumbal,5sakraldan1koksigeal.Padaspinalanestesi,paralysismotorikmempengaruhigerakan
bermacamsendidanotot.Persarafansegmentalinidigambarkansebagaiberikut:

BahuC68

SikuC58

PergelangantanganC67

TangandanjariC78,T1

InterkostalT111

DiafragmaC35

AbdominalT712

Pinggul,pangkalpahafleksiL13

Pinggul,pangkalpahaekstensiL5,S1

LututfleksiL5,S1

LututekstensiL34

PergelangankakifleksiL45

PergelangankakiekstensiS12

Sistemsarafotonom
1.Systemsarafsimpatis
MesrabutsarafpregamglionmeninggalkanmedullaspinalismelaluiradikssarafventralisT1L2.Padabagianservikalkumpulangangliainimenyusunganglia
servikalissuperior,mediadanstellatganglia.Padathorak,rangkaiansimpatisinimembentuksarafsplanknikusyangmenembusdiafragmauntukmencapai
gangliadalampleksuskoeliakdanpleksusoartikorenal.Didalamabdomenrangkaiansimpatisiniberhubunagndenganpleksuskoeliak,pleksusaortadanpleksus
hypogastrik.Rangkaianiniberakhirdipelvispadapermukaananteriorsacrum.
Serabutserabutsarafpostganglionikyangtidakbermielinterdistribusiluaspadaseluruhorganyangmenerimasuplaisarafsimpatis.Daerahvisceramenerima
serabutpostganglionicsebagianbesarlangsubgmelaluicabangyangmeninggalkanpleksuspleksusbesar.
Distribusisegmentalsarafsimpatisvisceral:

Kepala,leherdananggotabadanatas,T15

Jantung,T15

Paruparu,T24

Oesofagus,T56

Lambung,T610

Usushalus,T910

Ususbesar,T1112

Kandungempedudanhati,T79

Pankreasdanlien,T610

Ginjaldanuereter,T1012

Kelenjaradrenal,T8L1

Testisdanovarium,T10L1

Kandungkemih,T11L2

Prostate,T11L1

Uterus,T10L1

2.Systemsarafparasimpatis
Sarafeferendanaferendarisystemsarafsimpatisberjalanmelaluinervusintracranialdannervussakraliske2,3,4.Nervusvagusmerupakansarafcranialpaling
pentingyangmembawasarafeferenparasimpatis.Merekadirangsangadengansensasisepertilapar,mual,distensivesika,kontraksiuterus.Berbagaimacamnyeri
disalurkanmelaluisarafinisepertikolikataunyerimelahirkan.Nervusvagusmenginervasijantung,paru,esophagusdantraktusgastrointestinalbagianbawah
sampaikekolontranversum.Sarafsimpatissacralbersamasarafsimpatisdidistribusikanpadaususbagianbawahkolontransversum,vesikaurinaria,spincterdan
organreproduksi.
Blokadesomatic
Denganmenghambattransmisiimpulsnyeridanmenghilangkantonusototrangka.Bloksensorismengkambatstimulusnyerisomaticatauvisceralsementarablok
motorikmenyebabkanrelaksasiotot.Efekenstetiklocalpadaserabutasarafbervariasitergantungdariukuranserabutsaraftersebutdanapakahserabuttersebut
bermielinatautidaksertakonsentrasiobatdanlamanyakontak
BlokadeOtonom
Hambatanpadaserabuteferentransmisiototnompadaakarsarafspinalmenimbulkanblockadesimpatisdanbeberapablokparasimpatis.Simpatisoutflowberasal

darisegmenthorakolumbalsedangkanparasimpatisdaricraniosacral.SerabutsarafsimpatispreganglionterdapatdariT1sampaiL2sedangkanserabut
parasimpatispreganglionkeluardarimedullaspinalismelaluiserabutcranialdansacral.Perludiperhatikanbahwabloksubarachnoidtidakmemblokserabutsaraf
vagal.Selianitubloksimpatismengakibatkanketidakseimbanganotonomdimanaparasimpatismenjadilebihdominant.Beberapalaporanmenyebutkanbahwa
biasterjadiaritmiasampaicardiacarrestselamaanestesispinal.Haliniterjadikarenavagotoniayaitupeningkatantonusparasimpatisnervusvagus.
EVALUASI PREOPERATIF
Padaumumnyasetiapdilakukanpemeriksaansebagaimanabiasanya,evaluasisebelumanestesispinalatauepiduralmempertimbangkanperencanaanoperatif,
sertakeadaanfisikpasiendanbeberapakontraindikasiterhadaptehnikregional.
PertimbanganBedah.
Banyakoperasipadaekstremitasbawah,pelvis,abdomenbagianbawahdanperineumdapatdilakukandengananestesispinal.Operasidaerahdiatasabdomen,
dada,bahudanekstremitasatasdapatditanganidengananestesispinaldengankesulitanyangbesar.Walaupuntempatoperasisudahteranestesidalambanyak
kasuspasientetapmerasatidaknyaman.Selanjutnya,efekoperasiatauspinalanesthesiayangtinggimungkinakanmempengaruhipernapasan,sirkulasibahkan
intubasidanventilasimekanikmungkindiperlukan.
PemeriksaanFisik.
Evaluasipreoperatiftermasukpemeriksaantoraksdanvertebralumbalsertakulitdisekitartempatpenusukanjarum.Anestesispinallebihsulitdanmungkin
kesalahanlebihbanyakjikaterdapatkelainananatomicsepertiscoliosisatauketerbatasanfleksivertebrapasien.Infeksipadatempatpunksimenghalangispinal
anestesi.Defisitneurologyyangadasebelumnyayangditemukanlewatanamnesaataudenganpemeriksaanharusdicatatuntukmencegahkesalahandiagnosis
kelainanneurologypostanestesi.
KontraIndikasi.
Diantarasedikitkontraindikasiabsolutanesthesiaspinaladalahpasienmenolakdaninfeksipadatempatinsersijarumanestesispinal.Jugauntukpenderitayang
menderita koagulopati yang berat dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan pada pasienpasien dengan gangguan
pembekuan.,halinidapatdilindungidenganpemberianheparinsesudahnya.
Jikahipovolemiatidakdikoreksisebelumanestesispinal,penekanansarafsympatismenghasilkankatastropikhipotensi,jugaperdarahan dandehidrasiharus
ditanganisebelumanesthesiadilakukan.Baktemremiatidakmerupakankontraindikasiabsolutterhadapanestesispinal,penderitadapatdiberikanantibiotik,tapi
tehnikinidihindarijikapasienditakutkanadanyabakteremiabloodborneyangdilihatpadahematomaepiduralyangkecildanmembentukabses.Herniasidiscus
vertebraataupembedahantulangsebelumnyatidaktemasukkontraindikasispinalanesthesia,walaupunjaringanparutdapatmenghalangipenusukanjarumyang
berisianestesilocalataupengaruhnyaterhadappeningkatanakanterjadinyatraumaakarsaraf.Dalamkasusinikekhawatiranakanterjadinyaeksaserbasisakit
belakangatauradikulitis,pasiendanahlinaestesiakanmemilihanestesiumum.Walaupunsedikitbuktibahwaanestesispinalmenyebabkankeadaanpenyakit
neurologybertambahjelek.Banyakyangmenghindaritehnikinibilaterjadieksaserbasikelainanyangadasebelumnyapadapostoperasi.
Tabel.KontraindikasiPenggunaanAnestesi.
Absolut
Pasienmenolak.

Relative
Hypovolemia.

Coagulopathy.

Sepsis.

Infeksisetempat.

Kelainanneurologysebelumnya.

TEHNIK UMUM ANESTESI SPINAL


Sepertipadaanestesiumum,obatobatan,perlengkapansertamesinanestesidisiapkansebelumpenderitamasukruangan;begitupuladenganmonitorstandar.
Persiapantermasukvasopressoruntukmencegahhipotensi,suplemenoksigenmelaluinasalkanulaataumaskeruntukmengatasidepresipernapasanakibatsedatif
atauanestetik.Pemberiansedatifdannarkotikmembuatpenderitatenangselamapenusukanjarum,bahkanpasiencukupsadaruntukmelaporkanparestesiaselama
prosedur.Nyeriyangpersistenatauparestesiadenganpenusukanjarumatauinjeksianestetikdapatmenggambarkantraumaakarsaraf.
Anestesispinaldapatdilakukanpadaposisiduduk,lateraldekubitusatauposisiprone.Walaupunposisiduduklebihmudahuntukmendapatkan fleksivertebra,
pasienmenjadilelahbahkanmembutuhkanbantuan.Setiapmelakukantindakan tersebutoperatordanasistenharusmemberitahupasiensetiaplangkahyang
diambiluntukmendapatkankeadaanyangstabil. Setelahposisiditentukan,identifikasitempatpenusukan.Pencegahanuntukmenghindariinfeksitermasuk
tehnikaseptic,kulitdibersihkandengan larutanbakterisidal,penutupsteril,sarungtangandansecarahatihatimemperhatikanindicatorsterilisasitermasuk
perlengkapanspinal.Untukmncegahkesalahanpemberianobatataudosis,identifikasilabeldankonsentrasidiperhatikandenganhatihati.

TEHNIK ANESTESI
Posisilumbalpunksiditentukansesuaidengankesukaanpenderita,letakdaerahoperasidandensitaslarutananestetiklocal.Vertebralumbaldifleksikan untuk
melebarkanruang procesusspinosusdanmemperluasronggainterlamina.Padaposisiprone,menempatkanbantaldibawahpangguluntukmembantufleksi
vertebralumbal.
SaatlahirmedullaspinalisberkembangsampaiL4,setelahumur1tahunmedullaspinalisberakhirpadaL1L2.JadiblokspinaldibuatdibawahL2
untukmenghindariresikokerusakanmedullaspinalis.Garispenghubung yangmenghubungkanKristailiacamemotongdaerahinterspaceL45atauprocesus
spinosusL4.

Pendekatanmedianlebihseringdigunakan.Jaritengahtanganoperatornondominanmenetukantitikinterspaceyangdipilih,kulityangmenutupi
interspacediinfiltrasidengananestesilocalmenggunakanjarumhalus.Jarumspinalditusukkanpadagaristengahsecarasagital,mengarahkecranial(10 o)
menghadapruanginterlamina.Penusukankeruangsubarachnoidmelewatikulit,jaringansubcutan,ligamentumsupraspinosus,ligamentuminterspinosusdan
ligamentum flavum. Ketika ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan tahanan disertai perasaan poping, saat itu jarum menembus
duramaterdengankedalaman47cm.Jikaujungjarummenyentuhtulangharusditarikkembalisecukupnyauntukmembebaskandariligametum,sebelumnya
diarahkankearahcranialataukaudal.
Setelahitustyletditarik,CSSmengalirdarijarumsecarabebas.JikaCSSbercampurdarahhendaknyadibersihkansecepatnya;kemungkinaninijarum
mengenaivenaepidural.SetelahyakinaliranCSSahlianestesimemegangjarumdengantanganyangbebas,denganmenahanbelakangpasien,ibujaridan
telunjukmemegangpangkaljarum,danmenghubungkandenganspoityangtelahberisilarutananestetik.AspirasiCSSuntukmeyakinkanujungjarungtetap
dalamCSS.InjeksidengancepatmenggunakanjarumkecilmemudahkanbercampurnyaanestesidenganCSS,inimemudahkan penyebaranlarutandenganCSS
danmenurunkanperbedaandensitasantaralarutandenganCSS.Injeksiyangsangatlambat(2atau3mldalamsemenitataulebih)mengurangiefeknya.setelah
injeksiobataspiarasilagiCSSuntuklebihmenyakinkanposisijarum.

Bilapendekatanmidlinetidakberhasilsepertiorangtuadengankalsifikasiligamentumataupasienkesulitanposisikarenaketerbatasanfleksilumbal.
Jarumditusukkankirakira11,5cmdilateralgaristengahpadabagianbawahprocesusspinosusdariinterspaceyangdiperlukan.Jarumditusukkankearahmedian
dankecephalmenembusototototparaspinosus.Jikajarummengenaitulangberartimengenailaminaipsilateraldanjarumdiposisikankembalikearahsuperior
atauinferiormasukruangsubarachnoid.
Pendekatanselain midline atauparamedianadalahpendekatanlumbosakral(taylor),yangdigunakaninterspace columna vertebralispada L5S1.
identifikasispinailiacaposteriorsuperiordankulit,dimulai1cmkemediandan1cminferiorketitiktersebut.Jarumdiarahkankemedialdankesuperiorsampai
masukkekanalisspinalispadamidlineL5S1.
JARUM SPINAL
Pemilihanjarumspinaltergantung usiapasien,kebiasaanahlianestesiologidanbiaya.Ujungjarumquincleumumnyamempunayibevelyangpanjangyang
menyatudenganlubang.Dapatdibagidalamukuran:20G29G;ukuran22Gdan25Gyangseringdigunakan.Ujungjarumquincleyangruncingmenebusdengan
mudah.untukmenjaminposisiyangtepatmengalirnyaCSSdilihatpada4kwadrandenganmemutarjarum.
Tidaksepertijarumdenganbeveltajam,jarumbentukpensilmempunyaiujungberbentuktaperingdenganlubangdisamping.Untukinsersidibutuhkantenaga
yanglebih.ContohjarumbentukpensiladalahSprotte,WhitacredanGertieMarx.Perbedaanantarakeduajarumtersebutadalahukurandanletaklubangdilateral.
Meskipunlebihmahaldaripada beveltajam,jaruminikurangmenyebabkankerusakanpadaduramater danlebihsedikit mengakibatkansakitkepalapost
anesthesiaspinal.
Penentuanjenisjarumlebihbanyakditentukanolehusia.Walaupunhargayanglebihmahaljarumpensilpoint, lebihbagusbagipenderitayangmempunyai
resikoyangbesarterhadapsakitkepalapostanesthesiaspinal.
OBAT-OBAT SPINAL ANESTESI
Anestesispinalyangmemuaskanmembutuhkanbloksepanjangdermatomdaerahoperasi.Keterbatasanmemperluasanestesiyangdiperlukanuntukmemblok
dermatomsangatpentinguntukmengurangiberatnyaefekmenjadiminimum.Obatyangdigunakanuntukanestesispinaltermasukanestesilocal,opioiddan
vasokonstriktor,dektrosakadangkadangditambahkanuntukmeningkatkanberatjenislarutan.
Anestetiklocal.
Semuaanestetiklocalefektifuntukanesthesiaspinal.Criteriayangdigunakanuntukmemilihobatadalahlamanyaoperasi.Tetrakaindanbuvipakainbiasanya
dipilihuntukoperasiyanglebihlamadari1jamdanlidokainuntukoperasioperasiyangkurangdari1jam,walaupundurasianestesispinaltergantungpulapada
penggunaanvasokonstriktor,dosissertadistribusiobat.
Dalammenentukandosisyangdigunakanuntukanesthesiaspinal,variableindividualpasientidakmerupakankepentinganyangbesar.Padaumumnya
lebihbanyakanestetiklocalakanmenghasilkananestesiyanglebihluas.
Tabel.Obatobatanestesilocaluntukanesthesiaspinal
Konsentrasi(%)
Obat
Lidokain,hyperbarik
Lidokain,isobaric.
Tetrakain,hyperbarik.
Tetrakain,isobaric.
Tetrakain,hypobarik.
Bupivakain,isobaric.
Bupivakain,hyperbarik.

5
2
0,5
1
0,3
0,5
0,75

Dosis
(mg)
25100
20100
315
320
320
515
315

Lama(jam)
Tanpa
Epinefrin
1
1,5
2
23
2
23
1,5

Dengan
Epinefrin
2
23
24
46
46
46
34

Vasokonstriktor.
Lamanyablokdapatditingkatkan12jamdengan penambahanlarutanvasokonstriktorkelautanyangdiinjeksikankedalamCSS.Baikepinefrin(0,10,2mg)
maupunphenyleprine(1,04,0mg)memperpanjangdurasianestesispinal.Obatobatantersebutmenyebabkanvasokonstriksipembuluhdarahyangmensuplay
duradanmedullaspinalis,mengurangiabsorbsivasculardaneliminasianestetiklocal.Penambahanuntukmengurangialirandarah,vasokonstriktormenekan
secaralangsungefekantinoceftifterhadapmedullaspinalis.
Opioid.
Dalam decade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid untuk memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia
postoperative.Kerjanarkotiksubarachnoidadalahpadareseptoropioddidalammedullaspinalis.Morpin(0,10,2mg)menghasilkananalgesiasignifikanyang
baikpadaperiodepostoperative,sebagaimanaFentanyl(2537,5mikrogram)dansubfentanyl(10mikrogram).efeksampingnarkotiksubarachnoidtermasuk
pruritus,nausea,dandepresipernapasan.
Tabel.OpioidDalamruangsubarachnoid.
Obat
Morfin

Dosis.
0,10,2mg

Lamakerja.
824jam

Fentanyl

2550mg

12jam

Subfentanyl

510mg

23jam

Dextrose,Barisitas,Distribusi.
Densitaslarutananestesilocaladalahfungsikonsenrasidancairandimanaobattersebutdilarutkan.DensitasdariCSS37 oCadalah1,0011,005g/ml.Barisitas
larutananestesilocaladalahperbandinganpadasuhudaridensitaslaritananestetikterhadapdensitasCSSpadatempraturyangsama.Larutananestesilocal
dengandensitaslebihdari1,008g/mlpadasuhu37oCdisebuthiperbarik,densitasantara0,998dan1,007g/mldigolongkanisobaric,dandensitaskurangdari
0,997g/mltermasukhipobarik.Preparatanestetiklocal5%sampai8%dalamdextroseadalahhiperbarik;dalamCSSataugaramsaline,isobaric;dandilarutkan
dalamair,hipobarik.
Dosisobat,densitaslarutananestetiklocaldanposisipasienselamadansetelahinjeksilebihbanyakmenentukandistribusianestesilocaldantingkatanesthesia.
Factorlainseperti;umur,beratbadandanpanjangcolumnavertebralisadalahkurangpenting.Padaposisisupine,lordosislumbalmenunjukkantitikterendah
spinalpadaL34,dankiposistorakmenunjukkantitikterendahpadaT56.jadijikapasiendiberikanlarutananestesilocalhiperbarikpadaL4padaposisisupine,
larutantersebutbergerakolehkarenagrafitasidarititiktertinggisampaiduaregioyanglebihrendahyaitusacrumdanT56,menghasilkanblokyangbaikpada
dermatomtorakstetapiitutermasuksuplaiyangrelatifjarangdarianestesilocalpadaakarsarafpertengahanlumbal.Sadelblokuntukanesthesiaperineum,ini
dihasilkanjikalautanhiperbarikdiinjeksikanpadapasiendenganposisidudukdanmempertahankanposisitersebutuntukbeberapamenitsetelahinjeksi.
Larutanisobariccenderunguntuktinggalpadatempatinjeksidanmenghasilkanblokyanglebihterlokalisirdanmenyebarhanyakebawahdandermatomtoraks.
Larutaninicocokuntukprosedurpadaektremitasbawahdanprosedururology.
Larutanhypobarikdapatdigunakanketikapasienpadaposisisupine,padaposisijackknifeuntukoperasirectum,perineum,dananus,ataupadaposisilateral
dekubitus.Kenutungan larutanhypobarikbahwakemiringanmejaoperasidengankepaladibawahmengurangipengumpulandarahditungkai,jugamembantu
mencegahpemyebarananestesilocalkearahkepala.
KONDUKSI ANESTESI SPINAL
PengelolaansetelahinjeksianestesilocalkedalamCSSmeliputipengamatandanpengobatanefeksampingdanpenilaiandistribusidarianestesilocal.
Pemberianoksigendanpemasanganpulseoksimetriuntukmencegahhipoksemia.Memperhatikanterusmenerusdenyutjantunguntukmendeteksibradikardia,
danmengulangipengukurantekanandarahuntukmenilaiadanyahipotensi.
Distribusidariblokdapatdiukurdenganbeberapates.Kehilanganrasapersepsidingin(kapasalcoholatauespadakulit)berhubungandengantingkatblok
simpatis,yangdilayaniolehduamodalitassarafyanghampirmiripdiameterdankecepatankonduksinya.Levelsensorisdiketahuidenganadanyaresponterhadap
goresan peniti atau garukan jari. Fungsi motorik dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar jari kaki (S12), dorsofleksi kaki (L45 ) ,
mengangkatlutut(L23)atauteganganmuskulusrektusabdominalisdenganmengangkatkepala(T612).
Selamaanestesispinaltingkatbloksimpatismeluaslebihtinggidaribloksensorisdimanadalamperluasannyalebihtinggidariblokmotoris.Besarnyaderajat
bloktidakberhubungandenganperbedaandarisnesitivitasdariberbagaimacamserabutsaraf,sebagaisuatupemikiran,tetapidibedakanolehkonsentrasi
anestatiklocaldiantaraberbagaiakarsarafdanterhadapderajatkonsentrasididalammasingmasingakarsaraf.Serbutsarafsensorisdansimpatisyanglebih
periferlebihmudahdiblokkarenalebihbanyaktereksposeolehkeonsetrasianestesilocaldaripadaserabutsarafmotorikyanglebihdalam.
KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL
Komplikasidini/intraoperatif:
1.

Hipotensi

2.

Anestesispinaltinggi/total.

3.

Hentijantung

4.

Mualdanmuntah

5.

Penurunanpanastubuh

6.

Parestesia.

Komplikasilanjut
1.

PostduralPunctureHeadache(PDPH)

2.

Nyeripunggung(Backache)

3.

Caudaequinesindrom

4.

Meningitis

5.

Retensiurine

6.

Spinalhematom.

7.

Kehilanganpenglihatanpascaoperasi

Hipotensi.
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion vasomotor efferent sistim saraf simpatis dan kehilangan kompensasi
vasokonstriksi eketremitas bawah. Berkurangnya preload (venodilatasi) menunjukkan menurunnya curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit
kontribusinyaterhadapterjadinyahipotensi,kecualitahananpembuluhdarahperifermeningkatsebelumanestesispinal.BlokseratkardioakselatorpadaT1T4
menyebabkanbradikardidankehilangankontraktilitas.
Terapihipotensidimulaidengantindakanyangcepatsepertikoreksiposisikepala,pemberiancairanintravenadanpemberianvasopressorsesuaikebutuhan.Jika
cairanyangdiberikantidakdapatmengoreksibradikardiataukontraktilitasmelemah,terapiyangdisukaiuntukspinalhipotensi adalahkombinasicairanuntuk
mengoreksihipovolemidenganalfadanbetaadrenergikagonis(sepertiefedrin)danatropin(untukbradikardi)tergantungpadasituasi.
AnestesispinaltinggidanBlokadetotalspinal
Pasiendengantingkatanesthesiayangtinggidapatmengalamikesulitandalampernapasaan.Harusdibedakansecarahatihatiapapenyebabnyauntuk
memberikanterapiyangtepat.Hampirsemuadispneatidakdisertaiparalysisototpernapasantetapiadalahkehilangansensasiproprioseptiftersebut
mengakibatkandyspneawalaupunfungsiototpernapasandanpertukarangasadekuat.
Totalspinaladalahblockadedarimedullaspinalissampaikeservikalolehsuatuobatlocalanestesi.
Factorpencetus:Pasienmengejan,dosisobatlocalanestesiyangdigunakan,posisipasienterutamabilamenggunakanobathiperbarik.
Sesaknapasdansukarbernapasmerupakangejalautamadariblokspinaltinggi.Seringdisertaimual,muntah,precordialdiscomfortdangelisah.Apabilablok
semakintinggipenderitamenjadiapnea,kesadaranmenurundisertaihipotensiyangberatdanjikatidakditolongakanterjadihentijantung
Penanganan:

Usahakanjalannapastetapbebas,kadangdiperlukanbantuannapaslewatfacemask

Jikadepresipernapasanmakinberat(blokmotorC35denganparalysisnervusphrenikus) perlusegeradilakukanintubasiendotrakealdancontrol
ventilasiuntukmenjaminoksigenasiyangadekuat

Bantuansirkulasidengandekompresijantungluardiperlukanbilaterjadihentijantung

Pemberiancairankristaloid1020ml/kgBBdiperlukanuntukmencegahhipotensi

Jikahipotensitetapterjadiataujikapemberiancairanyangagresifharusdihindarimakapemberianvasopresormerupakanpilihansepertiadrenalindan
sulfasatropin

Hentijantungyangtibatiba.
Hentijantungyangtibatibatelahdilaporkanpadapasienyangmendapatkanspinalanestesi.Pasienyangmendapatsedatif danhipotensisampaitejadinyahenti
jantungyangtibatibaterbuktisulituntukditerapi.Responkardiovaskulerterhadaphiperkarbiadanhipoksiakeranasedatifdannarkotikmengakibatkanpasien
tidakmempunyairesponterhadaphipoksemiayangprogresif,asidosisdanhiperkarbia.
Hentijantungdapatdihindaridenganbeberapalangkahsebagaiberikut:pertamaopioidharusdigunakandenganperhatian yangtinggiselamaanestesispinal.
Kedua,semuapasienyangmenjalanianestesispinaldibutuhkansuplemenoksiegendanpemantauandenganpulseoxymetri.Ketiga,hipotensidanbradikardi
dibutuhkanterapisegera untukmemeliharacurahjantung.Keempat,seharusnyapasienyangmengalamiepisodehipotensidanhentijantungyangtibatiba
merupakanindikasisegeradantepatmendapatkanterapioksigen,hiperventilasi,epinefrindosistinggi(0,11mg)dansodiumbikarbonatjikaadaindikasi.
MualdanMuntah
Mualselama anestesispinalbiasa terjadiolehkarena hipoperfusi serebral atautidakterhalanginya stimulus vagususus.Biasanya mualadalahtanda awal
hipotensi. Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus gastrointestinal.
Mualdanmuntahumumnnya,dapatterjadikarena:

Hiotensi

Adanyaaktifitasparasimpatisyangmenyebabkanpeningkatanperistalyikusus

TarikannervusdanpleksuskhususnyaNvagus

Adanyaempedudalamlambungolehkarenarelaksasipylorusdanspincterductusbiliaris

Factorpsikologis

Hipoksia

Penanganan:

Untukmenanganihipotensi:loadingcairankristaloidataukoloid1020ml/kgBBkristaloid

Pemberianbolusefedrin510mgIV

Oksigenasiyangadekuatuntukmengatasihipoksia.

Dapatjugadiberikanantiemetik.

Atropindapatmemperbaikirefleksmualdimanatekanandarahdancurahjantungtelahdiperbaiki.

Paresthesia.
Parestesiadapatterjadiselamapenusukanjarumspinalatausaatmenginjeksikanobatanestetik.Pasienmengeluhsakitatauterkejutsingkatpadaektremitas
bawah,halinidisebabkanjarumspinalmungkinmengenaiakarsaraf.Jikapasienmerasakanadanyaparestesia persitenatauparesthesiasaatmenginjeksikan
anesthetiklocal,jarumharusdigerakkankembalidanditempatkanpadainterspaceyanglainuntukmengcegahkerusakanyangpermanen.Adaatautidaknya
paresthesiadicatatpadastatusanesthesia.
Sakitkepalapostpunksidura.
Sakitkepalayangterjadisetelahpunksiduradisebutspinalheadacheataupostduralpunctureheadache(PDPH),telahdilukiskanolehBierthn.1898.CSSkeluar
dariruangsubarachnoidmelaluipunksidura,menyebabkantarikanpadastrukturvaskuleryangsensitiveterhadapsakit.Sakitkepaladiperburukolehsikapberdiri
ataududukdanterasaberkurangdenganterlentang.Rasasakittersebutdirasakandifrontal,occipitalataukeduanyadanmungkindisertaidengangejalaseperti
tinitusataudiplopia.Walupuniniterjadisegerasetelahpunksidura,tapibisanyasetelah2472jam.
KejadianPDPHlebihbanyakterjadipadapasienmudadanwanita.KecepatanhilangnyaCSScenderungbergantungpadabentukukuranlubangpadaduradan
dengandemikiankemungkinanterjadinyasakitkepalalebihberat.Menggunakanjarumukurankecil(24Gataulebihkecil)pentinguntukpasiendibawahumur50
tahun.Jarumspinaldenganbagianujungbulatatautumpul,membentukrobekanyanglebihkecildanpenyembuhanlebihcepat.
Terapisakitkepalabisanyadimulaidengantindakankonservatif.HidrasiintravenaatauoralmeningkatkanproduksiCSS danmenggantiCSSyanghilang.
WalaupunpasiendenganPDPHakanlebihsenangjikaterlentang,istirahatditempattidurtidakdapatmencegahsakitkepala.Cafeinintravenaatauoralmungkin
dapatmembantu.Pengikatanperutdapatmeningkatkantekananruangepidural,karenaitumegurangibocornyaCSS.
TerapidefinitiveuntukPDPHadalahmenyumbatepiduraldengandarah.Tahun1960Gormleymencatatbahwapasiendenganperdarahanselamalumbalpunksi
memilikiinsidenyangkurangterjadinyaPDPH.DenganpostulatinibekuandarahdapatmenutuplubangduradanmencegahbocornyaCSS,iamemperlihatkan
dengansukses,untukmembebaskansakitkepala,darahtersebutditempatkandidalamruangepidural.Untukmendapatkansuatupenyumbatanepiduraloleh
darah,1020mldarahsendiriyangsterildiinjeksikanperlahankeruangepidural.Dengankomplikasipadaumumnyaadalahtransientbackpain.Penyumbatan
dengandarahefektiflebihdari95%pasien.
PencegahandanPenanganan:
1.

Hidrasidengancairanyangkuat.

2.

Gunakanjarumsekecilmungkin(dianjurkan<24)danmenggunakanjarumnoncuttingpencilpoint

3.

Hindaripenusukanjarumyangberulangulang.

4.

Tusukanjarumdenganbevelsejajarserabutlongitudinaldurameter.

5.

Mobilisasiseawalmungkin.

6.

Gunakanpendekatanparamedian

7.

Jikanyerikepalatidakberatdantidakmenggangguaktivitasmakahanyadiperlukanterapikonservatifyaitubedrestdenganposisisupine,pemberian
cairanintravenamaupunoral,oksigenasiadekuat.

8.

Pemberiansedasiatauanalgesiyangmeliputipemberiankafein300mgperoralataukafeinbenzoate500mgIVatauIM,asetaminofenatauNSAID

9.

HidrasidanpemberiankafeinmembantumenstimulasipembenntukanLCS

10.

JikanyerikepalamenghebatdilakukanprosedurkhususEpiduralBloodPatch

Baringkanpasiensepertiprosedurepidural.

Ambildarahvenaantecubiti1015ml.

Dilakukanpungsiepiduralkemudianmasukandarahsecarapelanpelan.

Pasiendiposisikansupineselama1jamkemudianbolehmelakukangerakandanmobilisasi.

Selamaprosedurpasientidakbolehbatukdanmenghejan.

Kerusakansaraf.
Traumasarafsetelahanestesispinaladalahjarangtapidapatterjadiakibattraumamekanikdankimiawi.Kerusakanlangsungpadaakarsarafmungkindisebabkan
olehjarum,mengakibatkanradikulopatidengandefisitmotorisatausensorissepanjangdistribusiakarsaraf.Kerusakaninibisanyamembaikdalam212minggu.

CaudaEquinaSindrom
Terjadiketikacaudaequineterlukaatautertekan.Penyebabadalahtraumadantoksisitas.Ketikaterjadiinjeksiyangtraumaticintraneural,diasumsikanbahwa
obatyangdiinjeksikantelahmemasukiLCS,bahanbahaninibiasmenjadikontaminansepetideterjenatauantisepticataubahanpengawetyangberlebihan.
Penanganan
Penggunaanobatanestesilocalyangtidakneurotoksikterhadapcaudaequinemerupakansalahsatupencegahanterhadapsindromatersebutselainmenghindari
traumapadacaudaequinewaktumelakukanpenusukanjarumspinal
Meningitis
Munculnyabakteripadaruangsubarakhnoidtidakmungkinterjadijikapenangananklinisdilakukandenganbaik.Meningitisasepticmungkinberhubungan
denganinjeksiiritankimiawidantelahdideskripsikantetapijarangterjadidenganperalatansekalipakaidanjumlahlarutananestesimurnilocalyangmemadai.
Pencegahan
1.

Dapatdilakukandenganmenggunakanalatalatdanobatobatanyangbetulbetulsteril

2.

Menggunakanjarumspinalsekalipakai

3.

Pengobatandenganpemberianantibiotikayangspesifik

Retensiurine.
Prosesmiksitergantungdariutuhnyapersarafandarispincteruretradanototototkandungkencing.Setelahanestesispinalfungsimotordansensorisekstremitas
bawahpulihlebihcepatdarifungsikandungkencing,khususnyadenganobatanestesispinalkerjacepatsepertitetracainataubupivacain.Lambatnyafungsisaraf
pulihdapatmengakibatkanretensiurinedandistensikandungkencing.Untukproseduryanglebihlamadanpemberiancairanintravenayangbanyak,pemasangan
kateterkandungkencingmencegahkomplikasiini.
Sakittulangbelakang/Nyeripunggung.

Sakittulangbelakanglebihseringmengikuitanesthesiaspinaldaripadayangterjadipadaanestesiumum.Inimungkindisebabkanakibattarikanligamentum
denganrelaksasiototparaspinosusdanposisioperasiyangmenyertaianestesiregionaldangeneral.
NyeripunggungdapatjugaterjadiakibatTusukanjarumyangmengenaikulit,ototdanligamentum.Nyeriinitidakberbedadengannyeriyangmenyertaianestesi
umum,biasnyabersifatringansehinggaanalgetikpostoperatifbiasanyabiasmenutupnyeriini.
Relaksasiototyangberlebihpadaposisilitotomidapatmenyebabkanketeganganligamentumlumbalselamaspinalanestesi.Rasasakitpunggungsetelahspinal
anestesiseringterjaditibatibadansembuhdengansendirinyasetelah48jamataudenganterapikonservatif.Adakalanyaspasmeototparaspinosusmenjadi
penyebab
Penanganan:Dapatdiberikanpenanganandenganistirahat,psikologis,komprespanaspadadaerahnyeridananalgetikantiinflamasiyangdiberikandengan
benzodiazepineakansangatberguna.

Spinalhematom
Meskiangkakejadiannnyakecil,spinalhematommerupakanbahayabesarbagikliniskarenaseringtidakmengetahuisampaiterjadikelainanneurologistyang
membahayakan.Terjadiakibattraumajarumspinalpadapembuluhdarahdimedullaspinalis.Dapatsecaraspontanatauadahubungannnyadengankelainan
neoplastik.Hematomyangberkembangdikanalisspinalisdapatmenyebabkanpenekananmedullaspinalisyangmenyebabkaniskemikneurologistdanparaplegi
Tandadangejalatergantungpadalevelyangterkena,umumnyameliputi:
1.

Matirasa

2.

Kelemahanotot

3.

KelainanBAB

4.

Kelainansfingterkandungkemih

5.

Sakitpinggangyangberat

Factorresiko :abnormalitasmedullaspinalis,kerusakanhemostasis,kateterspinalyangtidaktepatposisinya,kelainanvesikuler,penusukanberulangulang
ApabilaadakecurigaanmakapemeriksaanMRI,myelografiharussegeradilakukandandikonsultasikankeahlibedahsaraf.Banyakperbaikanneurologistpada
pasienspinalhematomyangsegeramendapatkandekompresipembedahan(laminektomi)dalamwaktu812jam.

Вам также может понравиться