Вы находитесь на странице: 1из 19

REFERAT

HIDROSEFALUS

Disusun oleh:
Agness Pratiwi
030.11.010

Pembimbing :
Dr. M. Evodia, SpB.S

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmatNya yang
begitu besar sehingga saya mampu menyelesaikan referat dengan judul
Hidrosefalus. Terimakasih kepada pembimbing saya dr. M. Evodia, SpB.S atas
kesempatan dan bimbingaan yang telah diberikan, serta orang tua dan teman-teman
yang turut membantu sehigga referat ini dapat saya selesaikan.
Saya berharap referat ini dapat menambah pengetahuan kita serta dapat
membantu dalam memahami dasar-dasar dari permasalahan yang ada sehingga kita
dapat memberikan penatalaksanaan yang sesuai dan tepat kepada pasien guna
meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dikemudian hari.
Referat tentang Hidrosefalus ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi
kesempurnaannya.
Terimakasih

Jakarta, 28 Juli
2015

Penyusun

DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
2.1 Anatomi......................................................................................
2.1.1 Selubung otak...................................................................
2.1.2 Cairan serebrospinal dan sistem ventrikel........................
2.1.3 Fungsi cairan serebrospinal..............................................
2.1.4 Komposisi dan volume.....................................................
2.1.5 Tekanan............................................................................
2.1.6 Sirkulasi CSS...................................................................
2.2 Hidrosefalus...............................................................................
2.2.1 Definisi hidrosefalus........................................................

2.2.2 Epidemiologi....................................................................
2.2.3 Etiologi.............................................................................
2.2.4 Patofisiologi.....................................................................
2.2.5 Klasifikasi........................................................................
2.2.6 Gambaran klinis...............................................................
2.2.7 Pemeriksaan fisik.............................................................
2.2.8 Pemeriksaan penunjang....................................................
2.2.9 Diagnosis banding............................................................
2.2.10 Penatalaksanaan.............................................................
2.2.11 Prognosis........................................................................

2
2
2
3
6
6
7
7
8
8
8
9
10
11
14
15
16
17
17
19

BAB III KESIMPULAN............................................................................... 20


DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinitis Alergi


2.1.1. Definisi

Rinitis alergi adalah radang selaput lendir hidung yang disebabkan proses
inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas/alergi tipe 1,
dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin, rinore encer dan hidung tersumbat yang
reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.1,2,3
2.1.2. Imunopatogenesis
Mukosa saluran nafas selalu terpapar oleh bermacam alergen yang terbawa oleh
udara nafas. Pada penderita yang mempunyai bakat alergi, alergen yang terbawa
udara nafas akan menyebabkan sensitisasi mukosa respirasi. Akibat sensitisasi ini,
apabila terjadi paparan berikutnya akan menimbulkan gejala alergi. Selengkapnya
Imunopatogenesis rinitis alergi adalah sebagai berikut21:
1. Fase sensitisasi
Alergen yang terhirup bersama udara nafas akan terdeposit dalam mukosa
hidung yang kemudian diproses oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi
sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (antigen presenting cell/APC). Didalam
endosom alergen diproses menjadi bentuk fragmen peptide (berupa 7 sampai 14
asam amino) yang akan berikatan dengan molekul MHC (major histocompatibility
complex) kelas II, yang disintesis di vesikel golgi. Dengan gerakan intraseluler,
endosom mengandung peptide bergabung (intersect) dengan vesikel yang berisi
molekul MHC kelas II dan membentuk ikatan non kovalen. Fusi antara endosom
dengan membran plasma akan mengekspresikan komplek peptide dan MHC kelas
II di permukaan sel penyaji.22 Tipe polimorfik molekul MHC kelas II yang
diekspresikan oleh tiap-tiap individu akan menentukan afinitas molekul terhadap
peptide antigen spesifik, yang akan berperanan pada respon sistem imun terhadap
protein spesifik. Sel penyaji antigen ini akan berjalan melintasi adenoid, tonsil dan
limfonodi regional. Pada area sel T limfonodi, antigen dipresentasikan pada sel Th
0 yang baru keluar dari timus. Diduga sel Th 0 ini mengekspresikan tanda
permukaan sel yang dapat membuat sel tersebut tinggal di pembuluh darah mukosa
saluran nafas. 22
Penderita dengan kecenderungan atopik, reseptor antigen spesifik sel Th 0
(TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC kelas II, CD 28 dengan B7 serta
molekul asesoris pada sel T ( CD2, LFA-1) dengan ligand pada sel penyaji antigen,
memicu terjadinya rangkaian aktivitas pada membran sel, sitoplasma maupun
nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin. 23,24 Berdasarkan sitokin

yang dihasilkan, sel T CD4 dapat mengalami polarisasi menjadi sel Th 1 dan atau
sel Th 2 yang tergantung dari tipe antigen, dosis, tipe sel APC, microenviroment
sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik. 25 Sel T CD4+
pada individu yang atopik mengalami polarisasi menjadi sel Th 2 dan akan
menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13, GMCSF yang akan mempertahankan lingkungan pro atopik ( terutama IL-4) yaitu
menginduksi sel B yang memproduksi Ig E dan menghambat produksi sitokin sel
Th 1. Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus dan presentasi alergen oleh
sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 maka
sel B akan memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan beredar bebas dalam
sirkulasasi, berikatan dengan reseptornya (high affinity receptors) mast, yang
kemudian keluar dari sirkulasi berada dalam jaringan termasuk mukosa hidung.
Dalam fase ini maka sesorang sudah dalam keadaan sensitif.2,23
2. Fase elisitasi
Terjadinya gejala-gejala rinitis ditandai dengan dimulainya aktivasi sel mast
yang diakibatkan oleh paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah
sensitif. Terjado cross-linking pada molekul FceRI, oleh karena adanya
ikatan/bridging antara dua molekul IgE pada permukaan sel mast dengan alergen
(multivalent/bivalen). Akibatnya terjadi aktifasi guanosin triphosfate (GTP)
binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospholipase C untuk mengkatalisa
phosphatidyil inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosfate (IP3) dan
diacyglicerol (DAG) pada membrane PIP2. IP3 menyebabkan pelepasan ion
calcium intraseluler (Ca2+) dari reticulum endoplasma. Ca2+ di sitoplasma secara
langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase A, dan komplek Ca2+
kemudian mengaktifkan enzim myosin light chain kinase C. Sehingga hasil akhir
aktivasi ini terbentuk lipids mediators ( newly formed mediators) seperti
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrin C4 (LCT4), platelet activating factor dan
exocytosis sekresi granula yang berisi mediator kimia (preformed mediators) seperti
histamin, tryptase, bradykinin. Histamin merupakan mediator penting yang
dihasilkan dari degranulasi sel mast, merupakan penyebab lebih dari 50% gejala
rinitis alergi. Histamin dimetabolisme oleh histamine N-methyltransferase (HMT)
pada sel epitel maupun endotel.23
Reseptor histamin H1 terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat
menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan rinore. Selain itu histamin juga

terikat pada resptor H1 di saraf nociceptive tipe C. Saraf ini secara luas bercabang
di epitel dan submukosa. Neuron berasal dari cabang pertama dan kedua nervus
trigeminus. Salah satu fungsi penting dari saraf nociceptive mengaktifkan pusat
gatal, mengerakkan reflek sistemik seperti bersin-bersin dan reflek parasimpatik
yang mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar. Gejala-gejala hidung gatal,
rinore, kongesti dan bersin yang disebabkan pelepasan mediator kimia oleh sel mast
akibat paparan alergen disebut reaksi fase cepat.2,23
Apabila mediator-mediator telah mengalami metabolisme dan dibersihkan dari
mukosa, gejala-gejalanya akan berkurang. Tetapi setelah reaksi fase cepat, adanya
pelepasan sitokin dan aktivasi sel endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase
lambat yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 2448 jam.2 Keadaan ini secara klinik ditandai dengan penebalan mukosa hidung yang
dapat dideteksi dengan adanya kenaikan resistensi nasal airflow dengan sedikit
perubahan pada gejala hidung lainnya. Gambaran khas reaksi fase lambat ditandai
dengan tertariknya berbagai sel inflamasi khususnya eosinofil pada mukosa hidung.
Kenaikan eosinofil dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kadar eosinophil
cationic protein (ECP) dan produk eosinofil lainnya pada sekresi hidung. 21
Mekanisme tertariknya eosinofil sampai ke lokasi alergi dipengaruhi sekresi sitokin
oleh sel mast, eosinofil dan sel Th 2, yang dapat meningkatkan ekspresi molekul
adhesi endotel (IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF) dan eosinofil chemoattractant (eotaxin,
IL-5, RANTES). Oleh pengaruh IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat meningkatkan
survival eosinofil dijaringan. Eosinofil dalam perjalannya dari sirkulasi sampai ke
lokasi alergi melalui beberapa tahap yaitu perpindahan eosinofil dari tengah ke tepi
dinding pembuluh darah dan berikatan secara reversibel dengan sel endotel
(rolling) yang disebabkan interaksi antar E-selectin dengan glikoprotein eosinofil.
Selanjutnya oleh karena pengaruh sitokin (IL-4) terjadi peningkatan ekspresi
molekul adhesi endotel seperti ICAM-1 (inter cell adhesion molecule-1), VCAM-1
(vascular cell adhesion molecule-1). VCAM-1 bersifat spesifik terhadap perlekatan
eosinofil karena eosinofil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan
VCAM-1, sehingga ekspresi VCAM-1 meningkat pada rinitis alergi. Dengan
adanya ikatan antara VCAM-1 dan VLA-4 ini eosinofil semakin kuat melekat pada
endotel, kemudian terjadi perubahan bentuk dan diikuti migrasi eosinofil keluar
dari pembuluh darah lewat celah antar sel endotel (diapedesis) untuk selanjutnya
menuju lokasi alergi.23,26

Tertariknya eosinofil ditempat alergi menyebabkan perubahan mukosa saluran


nafas. Pelepasan granula eosinofil yang mengandung berbagai macam mediator
kimia yaitu major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP),
eosinophil derived neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) yang
berikatan dengan proteoglikan dan hyaluran membran basalis menyebabkan
disagregasi sel dan deskuamasi epitel. Protein ini juga merusak membran sel yang
berakibat kematian sel. EDN dapat menginaktifkan saraf mukosa dan EPO
menyebabkan kerusakan sel oleh karena radikal bebas.23
2.1.3. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama
pagi hari atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai
adalah rinore encer, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala.
Selain itu biasanya terdapat riwayat alergi dalam keluarga.2,6
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang
bervariasi dari tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau
keabuan disertai rinore encer dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak
selalu ditemukan, tetapi merupakan gejala/tanda yang khas pada rinitis
alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease. Allergic
shiner adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena
adanya stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan
sinus. Allergic solute adalah sering mengusap hidung dengan punggung
tangan ke atas karena gatal, sedangkan allergic crease adalah timbulnya
garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, karena kebiasaan
mengusaphidung.2,5
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis rinitis alergi meliputi :
pemeriksaan eosinofil sekret hidung, jumlah eosinofil dalam darah tepi,
kadar Ig E spesifik dan tes kulit.4,13 Diantara pemeriksaan tersebut yang
paling sering digunakan adalah tes kulit, karena sederhana (mudah

pelaksanaannya), murah, cepat, aman, cukup sensitif dan spesifik. 27,28 Dasar
tes kulit adalah menguji ekstrak alergen yang terikat pada sel mast di
jaringan kulit. Teknik tes kulit ada 2 macam yaitu tes epidermal dan tes intra
dermal.27,28 Diantara kedua tes tersebut yang sering dilakukan adalah skin
prick test28
2.1.4. Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen
menjadi rinitis alergi musiman/seaseonal dan sepanjang tahun /perennial dianggap
tidak memuaskan. Hal ini didasarkan atas beberapa kenyataan sebagai berikut :3
1. Ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
2. Simptom rinitis alergi perennial tidak terjadi sepanjang tahun
3. Kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda,
oleh karena itu simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun
4. Pada sebagian kasus rinitis perennial mengalami eksaserbasi ketika terpapar
pollen
5. Banyak penderita alergi terhadap pollen.
6. Karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah
dan inflamasi minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara
strick berhubungan dengan musim.
Oleh karena itu ARIA bekerjasama dengan WHO 2001 mengusulkan klasifikasi
baru, yang parameternya adalah persistensi dan derajat gangguan sebagai berikut:3
Berdasarkan persistensi :

1. Rinitis alergi intermiten, bila gejala berlangsung :


-

Kurang dari 4 hari/minggu

Atau kurang dari 4 minggu

2. Rinitis alergi persisten, bila gejala berlangsung :


-

Lebih dari 4 hari/minggu

Dan lebih dari 4 minggu

Berdasarkan derajat gangguan:


1. Ringan, bila tidak ditemukan satupun dari hal-hal berikut :
-

Gangguan tidur

Gangguan aktivitas sehari-hari

Gangguan pekerjaan atau sekolah

Gejala dirasa menganggu

2. Sedang berat, bila didapatkan salah satu atau lebih hal sebagaimana disebut di
atas.
2.2. Disfungsi Tuba
2.2.1. Anatomi dan fisiologi tuba
Tuba eustakius adalah saluran penghubung antara kavum timpani dengan
nasofaring. Melalui saluran ini memungkinkan kavum timpani berhubungan
dengan udara luar (atmosfer) melalui nasofaring dan kavum nasi.7,29,30
Tuba eustakius pada anak lebih pendek dibanding pada dewasa, dan mencapai
ukuran yang menetap pada usia 6 tahun. Tuba pada dewasa memiliki panjang
antara 31 sampai 38 mm, sepertiga posterolateral adalah pars osseus dan duapertiga
anteromedial adalah pars cartilagineus. Tuba pada dewasa menyudut 45 terhadap
bidang horizontal, sedang pada bayi hanya 10. Tuba pars osseus selalu terbuka.
Sementara itu pars cartilaginous selalu tertutup kecuali saat tertentu seperti
menguap, menelan.7,30,31
Lapisan mukosa tuba eustakius merupakan lanjutan mukosa nasofaring dan
mukosa kavum timpani. Kelenjar mukosa dominan di orifisium faringeum,
sedangkan mukosa dekat kavum timpani terdapat campuran antara sel goblet,
kolumner, silindris, serta submukosa yang berisi jaringan limfoid.30,31

Ada empat otot yang berhubungan dengan tuba, yaitu: Tensor veli palatini, levator veli
palatini, salfingofaring, dan tensor timpani. Keempat otot ini berfungsi dalam pembukaan
tuba. Diantara keempat otot ini yang paling besar peranannya adalah tensor veli palatini.
Penutupan tuba terjadi secara pasif, yaitu karena reproksimasi dinding tuba akibat penekanan
ekstrinsik jaringan sekitar tuba, efek recoil jaringan elastik pada dinding tuba, atau kombinasi
kedua mekanisme tersebut.30,31
Tuba eustakius memiliki tiga fungsi, yaitu ; ventilasi, proteksi dan drainase kavum
timpani. Ketiga fungsi ini sangat vital guna menunjang agar telinga tengah
tidak mengalami patologi dan dapat menjalankan fungsinya secara optimal.24,25
Ventilasi memungkinkan terjadinya aerasi dan penyeimbangan tekanan kavum timpani
dengan atmosfer. Aerasi atau pengudaraan adalah pemberian udara segar ( kaya oksigen) dari
nasofaring yang selalu sama dengan atmosfer, ke kavum timpani, melalui tuba. Mengingat
tuba hanya membuka waktu tertentu saja (menguap, menelan), yaitu sekitar 3 menit sekali
waktu terjaga dan 5 menit sekali waktu tidur, maka aerasipun hanya terjadi pada waktu
tertentu saja. Bersamaan dengan aerasi terjadi pula penyeimbangan tekanan udara di kavum
timpani dengan di nasofaring. Kedua proses ini (aerasi dan penyeimbangan tekanan) pada
dasarnya adalah upaya mengkoreksi penurunan oksigen dan tekanan udara di kavum timpani
akibat resorbsi oleh mukosa.24,25
Proteksi bertujuan agar proses infeksi di saluran nafas atas tidak mudah meluas ke kavum
timpani. Sementara itu drainase berfungsi untuk membuang sekret/discaj yang ada di kavum
timpani ke nasofaring. Drainase ini terjadi melalui mekanisme transpor mukosiliar yang
dimiliki tuba.24,25
2.2.2. Penyebab dan dampak disfungsi tuba
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa tubatertutup, dan terbuka pada waktu tertentu
saja. Apabila selalu terbuka (tuba paten) akan menimbulkan gejala autofoni (mendengar suara
sendiri); sementara itu bila selalu tertutup akan menimbulkan gangguan yang lebih serius
mengingat semua fungsi yang dimiliki tuba menjadi terganggu.32,33Tuba yang selalu tertutup
inilah yang disebut obstruksi atau oklusio tuba. Obstruksi/oklusi atau lebih tepatnya
kegagalan untuk membuka tuba ini dapat diakibatkan oleh beragam sebab, mulai dari sebabsebab anatomis, fisiologis hingga patologis. Sebab anatomis jarang, contohnya adalah pada
palatoskisis. Sebab fisiologis, meskipun tidak jarang, tetapi diagnosis dan terapinya pada
umumnya tidak sulit.
Peningkatan tekanan udara luar yang besar dan cepat tidak dapat dikoreksi oleh otot-otot

pembuka tuba. Sementara itu untuk sebab patologis merupakan penyebab


tersering dan dapat berakibat pada kondisi yang terapinya tidak selalu mudah.32,33
Sebab patologis obstruksi tuba bisa dibagi menjadi instrinsik (intraluminal) dan ekstrinsik
(ekstraluminal). Penyebab instrinsik obstruksi tuba tersering adalah radang pada mukosa
tuba, baik karena infeksi atau alergi. Sementara itu penyebab ekstrinsik obstruksi tuba adalah
tekanan jaringan perituba, termasuk kelenjar perilimfe perituba yang mengalami pembesaran
baik akibat radang atau neoplasma.32,33
Sesuai dengan uraian diatas, maka apabila terjadi kegagalan pembukaan tuba akan
berakibat gangguan pada telinga tengah (kavum timpani). Gangguan pertama adalah tidak
terkoreksinya penurunan oksigen dan tekanan udara di kavum timpani. Bila ini berlanjut akan
terjadi gangguan yang lebih berat berupa otitis media dengan efusi. Bila obstruksinya karena
penyakit infeksi (seperti, akibat infeksi saluran nafas, terutama pada anak) akan
menyebabkan otitis media akut.15,33
Kelainan pada telinga tengah diawali dengan adanya disfungsi tuba. disfungsi tuba awal
dapat terlihat dari nilai middle ear pressure (MEP) dan untuk melihat kelainan pada telinga
tengah lebih lanjut dapat dilihat dari gambaran timpanogram.
2.2.3. Gejala dan tanda disfungsi tuba non infeksi
Gejala dan tanda disfungsi tuba non infeksi tergantung pada jenis/ beratnya gangguan
yang terjadi. Pada gangguan yang ringan atau masih tahap-tahap awal, gejala dan tanda yang
terjadi adalah akibat penurunan tekanan telinga tengah relatif (dibanding tekanan udara luar).
Tekanan negatif ini berakibat pada perasaan tidak nyaman pada telinga, telinga rasa penuh,
pendengaran sedikit menurun. Pada otoskopi terlihat adanya retraksi pada membran timpani.
Pada gangguan yang lebih berat atau tahap lanjut, akan terjadi otitis media dengan efusi,
dengan keluhan seperti kondisi sebelumnya, tetapi lebih berat dan sering disertai tinitus. Pada
otoskopi terlihat membran timpani keruh, reflek cahaya tdak terlihat dan membran timpani
mencembung.
2.2.4. Diagnosis disfungsi tuba
Diagnosis disfungsi tuba ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan rutin dan
pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis dan otoskopi akan ditemukan gejala dan tanda
sebagaimana diuraikan diatas. Sementara itu pemerikasaan penunjang yang diperlukan adalah
audiometri (nada murni dan tutur) serta timpanometri. Dahulu ketika kedua alat ini belum
ditemukan, diagnosis pasti disfungsi tuba dilakukan dengan parasentesis. Dengan

parasentesis gejala dan tanda akan langsung hilang, minimal berkurang. Tetapi untuk masa
sekarang ini melakukan parasentesis guna mendiagnosis disfungsi tuba bukan prosedur yang
dianjurkan, mengingat parasentesis disamping menimbulkan nyeri juga merupakan tindakan
operatif dengan berbagai
risikonya.32,33
Dengan audiometri nada murni dan audiometri tutur, pada disfungsi tuba ini akan
didapatkan kurang pendengaran tipe konduktif berderajat ringan hingga sedang. Sementara
itu dengan timpanometri akan didapatkan penurunan tekanan telinga tengah (kavum timpani),
dan abnormalitas timpanogram dari tipe A (yang normal) menjadi tipe C atau B. Demikian
untuk mendiagnosis disfungsi tuba, timpanometri lebih bermanfaat daripada audiometri.34,35
Timpanometri adalah pemeriksaan obyektif yang digunakan untuk mengetahui kondisi
telinga tengah dan mobilitas selaput gendang telinga (tympanic membrane) dan tulang-tulang
pendengaran di telinga tengah, dengan memberikan tekanan udara pada liang telinga luar.31,32
mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan yang berubah-rubah
dengan rentang +200 mmH2O sampai
dengan -400 mmH2O pada kanalis auditorius eksternus, kemudian menilai perubahan
compliance membran timpaninya. Hasil pengukuran timpanometri berupa timpanogram
(grafik yang menghubungkan compliance membran timpani), tekanan dalam telinga tengah
( middle ear pressure) dan ear canal volume.32,33
Interpretasi timpanogram dilakukan untuk menentukan ada tidaknya efusi telinga tengah,
dengan lebih dahulu menentukan gradient, yaitu jarak tegak lurus dari puncak timpanogram
ke garis horizontal yang memotong timpanogram pada dua titik yang berjarak 100 mmH 2O
(atau 50 daPa kedua sisi) dari garis tegak lurus/garis pressure. 32,33
Gradien telinga tengah normal sebesar 40-60% dari compliance total (static compliance).
Sedang pada telinga tengah yang berisi cairan, gradient dapat turun sampai 10%. Namun
sebaliknya, gradient yang sangat tinggi ditemukan pada telinga tengah yang bergerak bebas
( tipe A flasid). Selain menentukan gradient, interpretasi timpanogram juga mengukur; ear
canal volume (ECV), static compliance (SC), middle ear pressure (MEP), Timpanogram
width (TW) dan bentuk/tipe kurva.32,33

Gambar 1. Cara mengukur gradien.33 Ear canal volume atau equivalent ear canal volume
(ECV) adalah volume udara di ruang antara ujung probe dan membran timpani dengan satuan
cm3 (mL). Nilai normal ECV pada dewasa menurut Margolis & Heller (1987) adalah 0,6-1,5
ml ( mean 1,05). Compliance adalah mobilitas atau perubahan volume liang telinga luar yang
disebabkan oleh pergerakan membran timpani. Static compliance (SC) atau static acoustic
admittance sistem telinga tengah terjadi saat tekanan telinga tengah sama dengan tekanan
kanalis auditorius eksternus, ditandai oleh puncak tertinggi kurva, diukur dan tergambar
vertikal dengan satuan cm3(mL). Harga normal SC untuk dewasa adalah 0,3-1,4 mL (mean
0,75 mL).32,33
Middle ear pressure (MEP)/tekanan telinga tengah adalah tekanan udara telinga tengah
yang ditunjukkan pada aksis horisontal kurva, berhubungan dengan fungsi tuba eustakius,
diukur dalam satuan milimeter air (mmH2O) atau decaPascals (daPa). Nilai normal MEP
untuk dewasa menurut Jerger adalah - 100 sampai dengan + 50 daPa. Tekanan telinga
tengah/MEP yang lebih kecil dari -100 daPa
menunjukkan adanya disfungsi tuba. 32,33
Klasifikasi tipe timpanogram yang umum dipakai saat ini dikembangkan oleh Liden
(1969) dan Jerger (1970). Terdapat 3 tipe timpanogram, yaitu: Tipe A, B, dan C. 22-26
Timpanogram tipe A menunjukkan telinga tengah normal, tidak ada cairan atau anomali
fisiologik yang menghambat masuknya suara dari telinga tengah menuju koklea. 28,29, Tipe As
dan tipe Ad merupakan variasi dari tipe A. Tipe As menunjukkan fiksasi atau kekakuan sistem
osikular sedangkan tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas sistem osikular atau suatu
membran timpani monometrik.27 Timpanogram tipe B berbentuk garis datar yang
menunjukkan ada proses patologis di telinga tengah yang menghambat gerak membran
timpani misalnya adanya cairan. Pada beberapa kasus, timpanogram tipe B juga muncul
walaupun terdapat lubang pada membran timpani, perbedaannya terletak pada ear canal
volume (ECV). ECV yang lebih besar dari nilai normal menunjukkan adanya perforasi
membran timpani.32,33
Timpanogram tipe C bentuknya masih menyerupai kurva timpanogram tipe A, namun

kurva bergeser kearah kiri/negatif. Timpanogram tersebut menunjukkan


adanya tekanan negatif di kavum timpani.32,33

Gambar 2. Tipe kurva timpanogram.


2.3. Hubungan Disfungsi Tuba dan Rinitis Alergi
Telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa rinitis alergi dapat menyebabkan
disfungsi tuba. Patogenesis rinitis alergi berupa keluarnya mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin, leukotrien, kinin dan lain-lain yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dengan segala akibatnya tidak saja terjadi pada mukosa hidung, tetapi
juga pada mukosa celah telinga tengah, baik tuba maupun kavum timpani. 34,35,36 Oleh
beberapa peneliti dinyatakan bahwa hal ini bisa terjadi karena secara embriologis dan
histologis ada kesamaan antara hidung, nasofaring dan celah telinga tengah.
Menarik dari kajian terhadap banyak laporan penelitian, kejadian otitis media dengan
efusi pada rinitis alergi dapat merupakan akibat langsung atau tidak langsung disfungsi tuba.
Hal ini lebih jelas dengan uraian berikut:
1. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada sejumlah kasus otitis media dengan efusi
pada penderita rinitis alergi, ditemukan sel mast dan triptase pada kavum timpaninya. Ini
memberi kesan bahwa otitis media dengan efusi sebagai respon alergi. 34,36
2. Studi lain mengungkapkan peran disfungsi tuba eustakius pada patogenesis otitis media.
Rinitis kronik alergi dapat menyebabkan obstruksi tuba eustakius.34
Pada obstruksi tuba yang kronis pertukaran gas di kavum timpani tetap terjadi, O 2
diresorbsi dan CO2 dikeluarkan, terjadi dalam ruangan tertutup. Dikavum
timpani berlangsung proses dimana O2 semakin berkurang dan CO2bertambah
yang menyebabkan PO2 turun dalam kapiler dan PCO2 tetap.Terjadi perubahan

rasio PO2 dan PCO2 kapiler yang menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat, keluar
serum dan terjadi edema interseluler yang berakibat lanjut terjadinya efusi di kavum
timpani.18
2.4. Tonsilitis kronik
2.4.1. Anatomi tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kripte didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila palatina (tonsil), tonsila
faringeal (adenoid), dan tonsila lingualis yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer.37
Permukaan medial tonsil lebar dan mempunyai celah yang disebut kripte. Epitel yang
melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kripte. Di dalam kripte biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. 37
Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring. Secara fisiologis adenoid ini
membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama
sekali pada usia 14 tahun. 37
2.4.2. Patogenesis tonsilitis kronik
Infeksi virus dan bakteri (baik primer maupun sekunder) pada saluran nafas atas
merupakan penyebab tonsilitis /adenotonsilitis akut. Faktor-faktor rangsangan yang menahun
(dari makanan, rokok, macam-macam kuman), hygiene mulut yang buruk, cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan yang tidak adekuat akan menyebabkan keadaan akut menjadi kronik.
Kuman penyebabnya sama dengan yang akut tetapi kadang-kadang kuman yang semula
golongan gram positif berubah menjadi gram negatif. 37
Akibat proses radang berulang, maka selain epitel mukosa, jaringan limfoid juga terkikis.
Akibatnya pada proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang
akan mengakibatkan pengkerutan sehingga kripte melebar. 20,37
2.4.3. Diagnosis tonsilitis kronik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Anamnesis
terhadap penderita tonsilitis kronik (TK) diarahkan pada ada/tidaknya gejala lokal dan
sistemik. Gejala lokal tonsillitis kronik dapat berupa keluhan tidak enak di tenggorok

(tenggorok rasa ngganjel, sering berlendir, kering/mudah haus, batuk), nafas/mulut berbau,
leher belakang terasa kaku, mual/muntah saat gosok gigi pagi. Sedangkan gejala sistemiknya
berupa panas subfebril, malaise, sakit kepala, tidak enak badan, lesu/lemah, mudah
mengantuk, sulit konsentrasi.20
Pada pemeriksaan terlihat tonsil bisa membesar (hipertrofi), normal, atau mengecil
(atrofi), yang khas sebagai tanda kronisitasnya adalah permukaan tidak rata, kripte melebar
dengan atau tanpa detritus dan pembesaran limfe sub mandibula. Pada tonsilitis kronik
hipertrofi dikenal klasifikasi besarnya tonsil yang di sampaikan oleh Brodsky, yang
didasarkan pada perbandingan besar tonsil dengan luas orofaring menjadi T1 sampai T4.20
2.5. Air Conditioner ( AC)
Air conditioner (AC) adalah alat pengatur suhu udara yang didaerah tropis pada
praktiknya

lebih

sejuk dan dingin. Kesejukan ini akan memberikan suasana yang lebih nyaman dalam bekerja
atau belajar sehingga hasil bekerja akan lebih meningkat. Sayangnya tidak semua orang tahan
terhadap alat ini. Kulit kering dan sesak nafas merupakan keluhan yang sering dialami oleh
tidak sedikit orang bila berada dalam ruangan ber
AC.39
Sebagaimana diketahui hidung merupakan organ tubuh yang multifungsi. Mulai dari
yang paling sederhana, sekedar komentar hingga yang paling vital yaitu menfasilitasi
terpenuhinya kebutuhan utama pertama manusia yaitu udara. Sebagai fasilitator, hidung
memiliki banyak sub fungsi yaitu sebagai jalan nafas regular, pengatur jumlah udara yang
masuk ke saluran nafas yang lebih bawah, perlindungan terhadap benda asing dan
mempersiapkan udara inspirasi yang meliputi pembersihan dan pengkondisian baik suhu
maupun kelembaban.39
Diantara keempat sub fungsi di atas yang paling berat adalah mempersiapkan udara nafas
(inspirasi), utamanya dalam upaya pengkondisian udara. Seperti diketahui produk AC adalah
udara dingin dan kering; dua kondisi yang kontradiktif dengan yang diperlukan paru yaitu
udara yang hangat dan lembab. Untuk memberikan kondisi udara yang diproduksi AC
menjadi kondisi udara yang bisa diterima paru tersebut hidung akan kongesti yaitu guna
memperluas permukaan mukosa dan meningkatkan vaskularisasinya. Kongesti yang
utamanya mengenai konka ini berakibat rasa hidung tersumbat dengan segala akibat
lanjutnya sebagaimana yang dialami tidak sedikit orang yang berada dalam ruangan AC yang
cukup dingin.39

Udara dingin dan kering dapat menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil pada
permukaaan mukosa, sehingga terjadi peningkatan level mediator seperti histamin,
prostaglandin (PGD2), kinin, dan N- -tosyl-L-arginin methyl ester(TAME), yang
menimbulkan gejala rinitis, urtika atau asma yang tidak berhubungan langsung dengan
paparan alergen.39,40 Kondisi ini tentu akan memperberat pada mereka yang mempunyai rinitis
alergi yang pada saatnya akan mempermudah pula terjadinya disfungsi tuba.40
Alkins dkk meneliti efek udara dingin dan kering terhadap mukosa hidung melalui
mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh sel mast. Terjadi peningkatan mediator histamin,
TAME dan kinin yang signifikan pada cairan hidung dengan paparan udara dingin kering
dibandingkan udara hangat dan lembab. Keluhan yang
banyak ditimbulkan berupa rinore, hidung buntu dan/atau bersin.40
2.6. Skema patofisiologi alergi kejadian disfungsi tuba akibat alergi

Gambar 3. Bagan Skema patofisiologi alergi menimbulkan disfungsi tuba

Вам также может понравиться

  • Ambliopia
    Ambliopia
    Документ23 страницы
    Ambliopia
    Ahmad Al Mustafa
    Оценок пока нет
  • Dferr
    Dferr
    Документ17 страниц
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Jiwa
    Jiwa
    Документ25 страниц
    Jiwa
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Croup
    Croup
    Документ8 страниц
    Croup
    danur09142
    Оценок пока нет
  • Patofisiologi Uveitis
    Patofisiologi Uveitis
    Документ2 страницы
    Patofisiologi Uveitis
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Referat Uveitis
    Referat Uveitis
    Документ40 страниц
    Referat Uveitis
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Anak - Laringitis Akut
    Anak - Laringitis Akut
    Документ25 страниц
    Anak - Laringitis Akut
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Campak
    Campak
    Документ1 страница
    Campak
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • TBC BTPN
    TBC BTPN
    Документ1 страница
    TBC BTPN
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • PIOL
    PIOL
    Документ3 страницы
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Документ17 страниц
    Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Laryngitis Akut
    Laryngitis Akut
    Документ12 страниц
    Laryngitis Akut
    why1328
    Оценок пока нет
  • Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Документ12 страниц
    Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Irma Fatimah
    Оценок пока нет
  • Ygkjhkk L L
    Ygkjhkk L L
    Документ2 страницы
    Ygkjhkk L L
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Gg. Kepribadian Dependen
    Gg. Kepribadian Dependen
    Документ10 страниц
    Gg. Kepribadian Dependen
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Patofisiologi Nyeri
    Patofisiologi Nyeri
    Документ18 страниц
    Patofisiologi Nyeri
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Dferr
    Dferr
    Документ17 страниц
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • PIOL
    PIOL
    Документ3 страницы
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Campak
    Campak
    Документ1 страница
    Campak
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Документ13 страниц
    Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Dferr
    Dferr
    Документ17 страниц
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • PIOL
    PIOL
    Документ3 страницы
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Croup
    Croup
    Документ21 страница
    Croup
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Luka Bakar
    Luka Bakar
    Документ9 страниц
    Luka Bakar
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Anak Ref Croup
    Anak Ref Croup
    Документ28 страниц
    Anak Ref Croup
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Referat Endoftalmitis
    Referat Endoftalmitis
    Документ15 страниц
    Referat Endoftalmitis
    Ramadhan Akmal
    Оценок пока нет
  • Bedah Case Hernia DR Edwin
    Bedah Case Hernia DR Edwin
    Документ47 страниц
    Bedah Case Hernia DR Edwin
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Mata Endof1
    Mata Endof1
    Документ25 страниц
    Mata Endof1
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Mata Endof4
    Mata Endof4
    Документ20 страниц
    Mata Endof4
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Campak
    Campak
    Документ1 страница
    Campak
    Agness Pratiwi
    Оценок пока нет