Вы находитесь на странице: 1из 43

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berkembangnya teknologi, masyarakat semakin cerdas dalam menanggapi segala
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk dalam bidang kesehatan. Banyak
dari masyarakat modern saat ini, tidak lagi selalu bergantung pada dokter. Mereka sudah
dapat memutuskan kapan harus kedokter dan kapan hanya perlu datang ke toko obat atau
apotek untuk membeli obat atau konsultasi kepada apoteker. Hal semacam ini dinamakan
swamedikasi.
Swamedikasi atau pengobatan sendiri yakni pemilihan dan penggunaan obat (non
resep atas inisiatif sendiri), baik obat modern maupun tradisional untuk seseorang untuk
melindungi diri dari penyakit dan gejalanya. Disinilah peran seorang apoteker untuk bisa
membantu masyarakat dalam memilih obat sesuai kebutuhannya, memberikan edukasi
dan memberikan informasi yang memadai tentang obat.
Tidak semua penyakit bisa diswamedikasikan, beberapa penyakit yang berat atau
parah seperti gangguan jantung, diabetes mellitus, infeksi, gangguan jiwa dan kanker
perlu penanganan dari dokter. Hanya penyakit atau gejala penyakit yang ringan saja yang
bisa diswamedikasikan, diantaranya adalah beberapa penyakit ringan dari bagian hidung,
mulut dan telinga.
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi penyakit mulut, hidung dan
telinga.
2. Untuk memberikan informasi mengenai swamedikasi penyakit mulut, hidung, dan
telinga.

BAB II
Pembahasan
1. Telinga
Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi/mengenal suara & juga
banyak berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Telinga merupakan organ yang
berperan terhadap pendengaran kita akan suara atau bunyi, hal ini dapat terjadi karena
telinga memiliki reseptor khusus yang berfungsi untuk mengenali getaran suara. Namun
Telinga memiliki batasan frekuensi suara yang dapat didengar, yaitu yang frekuensinya
20 Hz 20.000 Hz (Wikipedia.org).
A. Struktur telinga
Telinga terbagi menjadi bagian luar, tengah dan dalam.

1. Telinga luar terdiri dari pinna atau aurikula yaitu daun kartilago yang menangkap
gelombang bunyi dan menjalarkannya ke kanal auditori eksternal (meatus), suatu

lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2,5 cm yang merentang dari aurikula sampai
membrane timpani.
2. Membran timpani (gendang telinga) adalah perbatasan telinga tengah.
a. Membrane timpani berbentuk kerucut dan dilapisi kulit pada permukaan eksternal
dan membrane mukosa pada permukaan internal.
b. Membran ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah, dan memiliki tegangan,
ukuran,dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara
mekanis.
3. Telinga tengah terletak dirongga berisi udara dalam bagian petrosus tulang temporal
a. Tuba eustachius (auditori) menghubungkan telinga tengah dengan faring
b. Tuba yang biasanya tertutup dapat terbuka saat menguap, menelan, atau
mengunyah. Saluran ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekana udara pada
kedua sisi membran timpani.
4. Osikel auditori
Dinamakan sesuai dengan bentuknya, terdiri dari maleus (martil), inkus (anvil) dan
stapes (sanggurdi). Tulang-tulang ini mengarahkan getaran dari membran timpani ke
fenestra vestibule yang memisahkan telinga tengah dari telinga dalam.
a. Otot stapedius melekat pada stapes yang ukurannya sesuai dengan fenestra
vestibuli oval, dan menariknya ke arah luar. Otot tensor timpani melekat pada
bagian pegangan maleus yang berada pada membran timpani

dan menarik

fenestra vestibule kea rah dalam


b. Bunyi yang keras mengakibatkan suatu refleks yang menyababkan kontraksi
kedua otot yang berfungsi sebagai pelindung untuk meredam bunyi.
5. Telinga dalam (interna) berisi cairan dan terletak dalam tulang temporal, di sisi
medial telinga tengah. Telinga dalam terdiri dari dua bagian : labirin tulang dan
labirin membranosa di dalam labirin tulang
a. Labirin tulang adalah ruang berliku berisi perilimfe, suatu cairan yang
menyerupai cairan serebrospinalis. Bagian ini melubangi bagian petrosus tulang

temporal dan terbagi menjadi tiga bagian : vestibula, saluran semisirkular, dan
koklea berbentuk seperti siput.
1. Vestibula adalah bagian sentral labirin tulang yang menghubungkan saluran
semisirkular dengan koklea.
- Dinding lateral vestibula mengandung fenestra vestibule dan fenestra
cochleae yang berhubungan dengan telinga tengah.
- Membrane melapisi fenestra untuk mencegah keluarnya cairan perilimfe
2. Rongga tulang saluran semisirkular menonjol dari bagian posterior vestibula
- Saluran semisirkular anterior dan posterior mengarah pada bidang vertical,
-

disetiap sudut kanannya.


Saluran semisirkular lateral terletak horizontal dan pada sudut kanan

kedua saluran diatas


3. Koklea mengandung reseptor pendengaran
b. Labirin membranosa adalah serangakaian tuba berongga dan kantong yang
terletak dalam labirin tulang dan mengikuti kontur labirin tersebut. Bagian ini
mengandung cairan endolimfe, cairan yang menyerupai cairan intraseluler.
1. Labirin membranosa dalam regia vestibula merupakan lokasi awal dua
kantong utrikulus dan sakulus yang dihubungkan dengan duktus endolimfe
sempit dan pendek.
2. Duktus semisirkular yang berisi endolimfe terletak dalam saluran semisirkular
pada labirin tulang yang mengandung perilimfe
3. Setiap duktus semisirkular, utrikulus dan sakulus mengandung reseptor untuk
ekuilibrium statis (bagaimana cara kepala berorientasi terhadap ruang
bergantung pada gaya gravitasi) dan ekulibrium dinamis (apakah kepala
bergerak atau diam dan kecepatan serta arah gerakan).
4. Utrikulus terhubung dengan duktus semisirkular; sedang sakulus terhubung
dengan duktus koklear dalam koklea. (Sloane, 2004)
B. Penyakit
1. Otitis Media Akut (OMA)
a. Patofisiologi

Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh dari selaput
permukaan telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif, yang masing-masing memiliki bentuk yang cepat dan
lambat.
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan
infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan disekitar saluran,
tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri.
Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu
pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lender yang
dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul dibelakang gendang telinga
Otitis media akut disebabkan oleh :
1. Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri.
2. Pada 25% pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
3. Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi telinga tengah
bersama bakteri.
4. Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumonia,
diikuti oleh Haemophilus influenza dan Moraxella Cattarhalis. Yang perlu
diingta pada OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri,
hanya sedikit kasus yang membutuhkan antibiotic. Hal ini dimungkinkan
karena tanpa antibiotik pun saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga
bakteri akan tersingkir bersama aliran lender.
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada
usia anak-anak umumnya keluhan berupa :

1. Rasa nyeri ditelinga dan demam


2. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernapasan atas sebelumnya
3. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan
pendengaran dan telinga terasa penuh
4. Pada bayi gejala khas Otits Media Akut adalah panas yang tinggi, anak gelisah
dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit
b. Penatalaksanaan Terapi
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium
awal dituukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian
antibiotik, dekongestan local atau sistemik dan antipiretik
-

Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk mebuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan
negative ditelinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCL efedrin
0,5% untuk anak < 12 tahun atau HCL efedrin 1% dalam larutan fisiologis
untuk anak di atas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi local harus diobati.

Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.


Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesic. Bila membrane timpani
sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan
pemberian antibiotik golongan penicillin atau eritromisin. Jika terdapat
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.
Antibiotic diberikan minimal selama 7 hari.
Pada anak diberikan ampisilin 4 x 50-100 mg/kg BB, amoksisilin 4 x 40

mg/kg BB/hari
Stadium Supurasi

Selain antibiotic, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila


membrane timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
-

rupture.
Stadium Perforasi
Terlihat secret banyak keluar kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotic yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri

dalam 7-10 hari


Stadium Resolusi
Membrane timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak, antibiotic dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.

Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis. (kapita selekta)


c. Swamedikasi
Obat sintesis
1) Analgetik
Paracetamol
Nama sediaan
: Sanmol
Produsen
: Sanbe
Bentuk sediaan : Tablet
Golongan : obat bebas
Dosis
: 500 mg
1
Aturan pakai
: Dws 1-2 tab. Anak 2 - 1 Tab 3-4 x/hari
Efek samping

: reaksi hematologi, reaksi kulit & reaksi alergi


lainnya
: Disfungsi hati dan ginjal. (MIMS, 2012)

Kontraindikasi
Ibuprofen
Nama sediaan
: Mofen
Produsen
: Erlimpex
Golongan : obat bebas terbatas
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis
: 200 mg
Aturan pakai
: Dws 2 tab. Anak 1 Tab 3-4 x/hari
Efek samping
: gangguan GI, bronkospasme, ruam kulit,
trombositopenia, limfopenia
Kontraindikasi
: Tukak peptic aktif berat, hamil trimester ke 3.
(MIMS, 2012)
2) Antibiotik

Nama sediaan
: Pehamoxil
Komposisi : Amoxicilin
Produsen
: Phapros
Golongan : obat keras
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis
: 125 mg
Aturan pakai
: Dws & anak >20 kg 750 mg 1,5 g/hr . Anak
<20 kg 20-40 mg/kgBB/hr
Efek samping
: urtikaria, pruritus ringan, dermatitis eksfoliatif,
glositis, stomatitis, nausea, vomitus, diare, anemia,
Kontraindikasi

leucopenia.
: Hipersensitif terhadap penicillin.
(MIMS, 2012)

Obat Herbal (Tanaman)


1) Bawang putih (Abdul, 2011)
Nama
: Umbi bawang putih (Allii Sativi Bulbi)
Gambar
:
Spesies
Kandungan
Penggunaan
Dosis

: Allium sativum L.
: mengandung senyawa organosulfur yang memiliki
aktivitas Antimikroba.
: Dikonsumsi langsung
: Untuk bawang putih segar 2-5 g. penggunaan
bawang putih dianjurkan bersamaan dengan
makanan lain, untuk mencegah rasa tidak enak pada

saluran pencernaan.
2. Sumbatan Serumen
a. Patofisiologi
Sumbatan serumen adalah gangguan pendengaran yang timbul akibat
penumpukan serumen di liang telinga dan menyebabkan rasa tertekan yang
mengganggu.
Faktor predisposisi dari penyakit ini adalah dermatitis kronik liang telinga
luar, liang telinga sempit, produksi serumen banyak dan kental, adanya benda
asing di liang telinga, eksostosis di liang telinga, terdorongnya serumen oleh jari
tangan atau ujung handuk setelah mandi atau kebiasaan mengorek telinga.

Manifestasi atau gejala dari penyakit ini adalah telinga tersumbat sehingga
pendengaran berkurang. Rasa nyeri apabila serumen keras membatu dan menekan
dinding liang telinga. Tinnitus dan vertigo bila serumen menekan membrane
timpani.
b. Penatalaksanaan terapi
Pengeluaran serumen harus dilakukan dalam keadaan terlihat jelas. Bila
serumen cair, maka dibersihkan dengan mempergunakan kapas yang dililitkan
pada pelilit kapas. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait, sedangkan
bila sukar dapat diberikan tetes telinga Karbogilserin 10% dulu selama 3 hari
untuk melunakkannya. Bila serumen terlalu dalam sehingga mendekati membrane
timpani, dilakukan irigasi telinga dengan air yang suhunya sesuai dengan suhu
tubuh agar tidak timbul vertigo. Jika terdapat perforasi atau riwayat perforasi,
tidak boleh diirigasi. (kapita selekta)
c. Swamedikasi
Obat Sintesis
Nama sediaan
: Forumen
Produsen
: Sanbe vision
Golongan
: obat bebas
Bentuk sediaan : Tetes telinga
Dosis
: 5 mg/mL
Aturan pakai
: gunakan secukupnya pada telinga, tidak boleh lebih
dari 2 malam berturut-turut
Efek samping
: Rasa tersengat atau iritasi sementara
Kontraindikasi
: Perforasi membrane timpani atau inflamasi pada
telinga. (MIMS, 2012)
2. Hidung
A. Struktur Hidung

Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan


sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Hidung memiliki berbagai
fungsi yang berhubungan dengan bentuk anatominya yang unik dan tonus
vascular dari selaput lendirnya. Fungsi dasar hidung melibatkan resistensi
(hambatan) aliran udara (sekitar 30% dari total resistensi terhadap inspirasi),
mengatur temperature dan kelembaban serta menyaring udara pernapasan,
kontribusi terhadap resonansi vocal dan megawali aktivitas reflex nasal.
Salah satu fungsi hidung yang paling penting adalah filtrasi dan
membuang partikel asing dengan ukuran lebih dari 15. Hanya 5% partikel 1
yang dibuang oleh selaput lender. Lapisan lendir membantu proses pembuangan
ini, dan dua unsure utama dari lapisan lender ini adalah enzim lisosim dan
imunoglubulin sekretori (IgA, IgE).
B. Penyakit
I.
Rhinitis Alergi
A. Patofisiologi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma),
rhinitis adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa

gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai
oleh IgE (Bousquet, et al. 2000).
Rhinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitasi dan diikuti dengan reaksi alergi (Sumarman, 2001). Reaksi awal yang
terjadi yaitu dengan masuknya udara yang mengandung allergen ke dalam
hidung selama proses inhalasi, dan udara tersebut kemuduian diproses oleh
lymphosit,

yang

menghasilkan

antigen

spesifik

IgE,

yang

kemudian

mengsensitasi secara genetic yang dipengaruhi oleh zat dari agen tersebut.
Dalam hidung, IgE berikatan dengan sel mast, dan kemudian berinteraksi dengan
udara yang mengandung allergen tersebut, sehingga menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi (Dipiro, 2007).
Respon selanjutnya dalam waktu beberapa detik hingga menit,
menyebabkan pelepasan yang cepat dari mediator asam arakidonat. Mediator
hipersensitivitas termasuk histamine, leukotrien, prostaglandin, tryptase, dan
kinins. Mediator-mediator ini menyababkan respon vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas

membrane,

dan

menghasilkan

sekresi

nasal.

Histamine

menyebabkan respon rinnorhea, menimbulkan rasa gatal, bersin, dan obstruksi


nasal (Dipiro, 2007).
Sekitar 4-8 jam sejak kontak dengan allergen, reaksi fase terakhir yang
mungkin terjadi, dimana diperkirakan pelepasan sitokin terutama oleh sel mast,
dan limfosit yang diperoleh dari tymus. Respon inflamasi seperti diatas terjadi
terus menerus, gejala kronik termasuk kongesti nasal (Dipiro, 2007).
B. Penatalaksanaan
a. Non-Farmakologi
Menghindari allergen
1. Menghindari alergi yang datang menyerang adalah tindakan yang sulit
dilakukan. Allergen dapat dikurangi dengan menjaga kondisi kelembaban

rumah dibawah 50%, dan menghilangkan allergen teseut dengan penggunaan


desinfektan.
2. Pasien yang sensitive terhadap binatang lebih disarankan untuk tidak
memeliharan hewan peliharaan dirumah.
3. Debu juga dapat dikurangi dengan membungkus bantal dan kasur yang
digunakan sehari-hari dengan pembungkus yang kedap, dan rutin
mencucinya dengan menggunakan air panas
4. Menggunakan penyaring udara, sehingga dapat mengurangi partike-partikel
kecil yang berterbangan diudara, sehingga mengurangi allergen pada saluran
pernapasan
5. Pasien rhinitis dapat menghindari allergen dengan membatasi kegiatan diluar
ruangan, atau dengan menggunakan masker ketika beraktivitas diluar
ruangan (Dipiro, et al. 2007)
b. Farmakologi
1. Antihistamin
Antagonis resptor histamine H1 mengikat pada reseptor H1 tanpa

mengaktivasinya, sehingga mencegah ikatan dan aksi dari histamine.


Antihistamin oral dapat dikategorikan menjadi dua kategrori yaitu :
nonselektif (generasi pertama atau antihistamin sedatif) dan selektif

perifer ( generasi kedua atau antihistamin nonsedatif ).


Gejala ringan yang disebabkan karena efek antikolinergik, dimana
bertanggung jawab sebagai efek pengering, yang mengurangi sekresi
nasal,

dan

efek

palpitasi.

Antagonis

antihistamin

meningkatkan

permeabilitas kapiler, pembentukan cerawat dan gatal-gatal


Drowsiness adalah efek samping yang paling sering terjadi, dan dapat
mengganggu kemampuan mengemudi atau mempengaruhi pekerjaan. Efek
sedasi menguntungkan pada pasien yang sulit tidur yang disebabkan gejala
dari rhinitis ini.

Meskipun efek antikolinergik sebagai pengering berkontribusi dalam


memberikan efikasi, efek yang tidak diinginkan seperti mulut kering,
susah buang air kecil, konstipasi, dan berpotensi mempengaruhi efek
kardiovaskular. Antihistamin diberikan dengan perhatian pada pasien
dengan retensi urin, peningkatan tekanan intraocular, hipertyroid, dan

penyakit kardiovaskular
Efek samping lainnya, seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan
gangguan gastrointestinal. Konsumsi air putih yang cukup dapat
mengurangi efek samping pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh

antihistamin ini
Antihistamin lebih efektif ketika digunakan untuk antisipasi, sekitar 1-2

jam sebelum kontak dengan allergen


Azelastine (astelin) adalah antihistamin intranasal, yang dengan cepat

mengurangi gejala dari rhinitis.


Levocabastine (Livostin) dan olopatidine (patanol) adalah antihistamin
optalmik yang digunakan untuk alergi konjungtivitis yang dipengaruhi
oleh alergi rhinitis. Meskipun demikian, antihistamin sistemik biasanya

digunakan efektif untuk alergi konjungtivitis.


2. Dekongestan
Dekongenstan topical dan sistemik adalah agen simpatomimetik yang
bekerja pada reseptor adrenergic pada mukosa nasal yang menyebabkan
efek vasokontriksi, mengurangi lapisan mukosa, dan memperbaiki aliran

udara.
Dekongestan topical digunakan secara langsung pada mukosa nasal yang
membengkak, secara tetes, atau semprot. Dekongestan topical sedikit
diabsorbsi secara sistemik,atau bahkan tidak sama sekali.

Penggunaan jangka panjang dari agen topical (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rhinitis medicamentosa, dimana berulangnya vasodilatasi

dan kongesti.
Efek samping lainnya dari dekongestan topical adalah rasa panas pada

kulit, bersin, dan keringnya mukosa nasal.


Penggunaan dekongestan nasal ini dibatasi dalam penggunaanya, hanya
jika benar-benar diperlukan (misalnya, digunakan ketika akan tidur)

dengan dosis yang sangat kecil dan durasi pemberian sekitar 3-5 hari
Pseudoephedrine adalah dekongestan oral dengan onset kerja yang lebih
singkat dibandingkan dengan dekongetsan topical, namun mungkin dapat
menyebabkan iritasi local. Selain itu, dosis hingga 180 mg tidak
mengubah tekanan darah atau kecepatan denyut jantung. Meskipun
demikian, dosis yang lebih besar (210-240 mg) dapat meningkatkan
tekanan darah dan kecepatan denyu jantung. Dekongestan sistemik
mungkin harus dihindari pada pasien hipersensitivitas. Beberapa reaksi
hipertensif terjadi ketika pemberian bersama MAO inhibitor. Dekongestan
nasal

dapat

menstimulasi

SSP

pada

dosis

terapetik.

Karena

penyalahgunaan untuk pembutaan metamfetamin illegal, penggunaan

pesudoephedrin sekarang dibatasi.


Phenylephrn telah menggantikan pseudoephedrine pada kebanyakan

penggunaan kombinasi antihistamin-dekongestan tanpa resep.


Penggunaan kombinasi dekongestan-antihistamin oral adalah rasional
karena keduanya memiliki mekanisme kerja yang berbeda (Dipiro, et al.

2007).
3. Kortikosteroid nasal
Kortikosteroid intranasal efektif mengurangi bersin, rinorrhea, pruritis dan
kungesti nasal dengan efek samping yang diminimalisir. Krtikosteroid

intranasal mengurangi inflamasi dengan menghambat peleasan mediator,


menekan

kemotaksis

neutrofil,

menyebabkan

vasokontriksi

dan

menghambat mediasi sel mast.


Agen ini adalah pilihan yang baik untuk perennial rhinitis dan data
digunakan untuk rhinitis seasonal, khususnya jika mulai meningkat gejala
yang timbul. Beberapa penulis merekomendasikan steroid nasal sebagai
terapi awal dibandingkan dengan antihistamin, karenaderajat efikasinya

yang lebih tinggi.


Efek samping, seperi bersin, sakit kepala, epsitaxis, dan yang jarang

terjadi, infeksi dengan Candida albicans


Beberapa pasien membaik dalam beberaa hari, namun respon puncak
mungkin memerlukan waktu 2-3 minggu. Dosis mungkin dikurangi jika

respon positif telah dicapai.


Penghambatan saluran napas mungkin dibersihkan dengan dekongestan
atau larutan irigasi, sebelum pemberian untuk memastikan penetrasi yang

cukup dari spray yang diberikan (Dipiro, et al. 2007).


4. Natrium cromolyn
Natrium cromolyn (Nasalcrom), penstabil sel mast, tersedia sebagai nasal
spray tanpa resep untuk mencegah gejala dari alergi rhinitis,dan

pengobatan untuk rhinitis alergi


Natrium cromolyn mencegah aktivasi dari sel mast dan mencegah

pelepasan mediator, termasuk histamine


Efeksamping yang paling sering adalah iritasi (bersin-bersin)
Dosis untuk anak kurang dari dua tahun adalah satu semprotan, 3-4 kali
sehari, dengan interval teratur. Saluran pernapsan terlebih dahulu
diberikan sebelum pemberian, dan bernapas melalui hidung selama

pemberian, untuk memastikan distribusi merata (Dipiro, et al. 2007).


5. Ipratroprium bromide

Ipratropium bromide (Atrovent) adalah spray nasal (semprot hidung)

sebagai agen antikolinergik yang berguna untuk rhinitis alergi perennial


Menunjukan sifat antisekretori ketika digunakan secara local dan
mengurangi gejala rinorhea yang berkaitan dengan alergi dan bentuk lain

rhinitis kronik
0,3 % larutan diberikan dalam dua semprotan (42mcg)2-3 kali sehari.
Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah sakit kepala, epitaksis, dan

hidung kering (Dipiro, et al. 2007)


6. Montelukast
Merupakan antagonis reseptor leukotrien yang digunakan dalam
pengobatan rhinitis alergi seasonal. Montelukast efektif baik dalam

penggunaan tunggal maupun dikombinasi dengan antihistamin


Dosis untuk dewasa (lebih dari 15 tahun) adalah tablet 10 mg perhari,
untuk anak 6-14 tahun adalah tablet kunyah 5 mg perhari, dan anak 2-5
tahun adalah tablet kunya 4 mg, atau dibuat dalam bentuk serbuk bagi.
Dosis diberikan pada malam hari, jika pasien mengalami asma dan rhinitis
alergi.
Meskipun antagonis leutrien hadir sebagai alternative terapetik baru,

penelitian menunjukan antagonis leukotrien ini lebih efektif dari pada


antihistamin selektif perifer dan kurang efektif dibandingkan dengan
kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian, kombinasi dengan antihistamin
lebih efektif jika dibangkan dengan penggunaan antihistamin tunggal (Dpiro, et
al. 2007)
C. Swamedikasi
1. Obat modern
Actived plus Expectoran
Komposisi : Per 5 mL Pseudoephedrin HCl 30 mg, Guaifenisin 100 mg,
Triprolidine HCl 1,25 mg Indikasi : Rinitis alergi, selesma, dan batuk yang
disertai dahak Dosis : Dewasa & anak >12tahun 5 mL, anak 6-12 thn 2,5 mL, 2-6

tahun 1,25 mL, diberikan 3x/hari Kontraindikasi : sensitive terhadap obat


simpatomimetik yang lain (seperti efedrin, phenilpropanolamin, fenilefrin,
hipertensi berat, sedang mendapatkan terapi MAOI dalam dua minggu terakhir,
Perhatian : gangguaan fungsi hati dan ginajl, glaucoma, hipertrofiprostat,
hipertiroid, DM, penyakit jantung, hipertensi, kelebihan BB, dapat mengganggu
kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin, hentikan penggunaan jika
terjadi insomnia, palpitasi, dan pusing, lanjut usia, anak <2 tahun, hamil, laktasi
Efek samping : mengantuk, gangguan GI, sakit kepala, insomnia, eksitasi, tremor,
takikardia, aritmia, kesulitan berkemih, Interaksi obat : antihipertensi,
antidepresan siklik, psikostimulan yang menyerupai amfetamin, MAOI,
furazolidon, alcohol, sedative, Kemasan : Sirup 60 mL, Produsen : Glaxo
welcome. Golongan obat : Obat bebas terbatas
2. Obat herbal
Ephedrae herba (Munim &Hanani, 2011)
Berasal dari tanaman Ephedra sinica Stapf.

Kandungan kimia : mengandung alkaloid yaitu efedrin 30-90%,


pseudoefedrin, norefedrin, norpseudoefedrin.

Efedrin dan pseudoefedrin memiliki khasiat simpatomimetik yang


menstimulasi adrenoreseptor, menyebabkan terjadinya vasokontriksi pada
-

mukosa hidung, sehingga menimbulkan efek dekongestan


Cara pembuatan : timbang 1-6 gram simplisia, masukan kedalam air yang

telah didihkan sebelumnya selama kurang lebih 30 menit.


Dosis : diminum satu kali dalam sehari
2. Sinusitis
A. Patofisiologi
Sinusitis adalah inflamasi dan atau infeksi dari mucosa pranasal. Istilah
rhinosinusitis digunakan oleh beberapa spesialis karena sinusitis secara tipikal juga
termasuk kedalam mukosa hidung. Sinusitis dapat disebabkan oleh virus maupun
bakteri. Penting untuk diketahui penyebab sinusitis, sehingga dapat dioptimalkan
pengobatannya (Dipiro, et al. 2006)
Sinusitis bakteri dan sinusitis virus sulit untuk dibedakan karena menunjukan
gejala yang mirip. Sinusitis bacterial dapat dikategorikan menjadi sinusitis akut dan
sinusitis kronis. Sinusitis akut, dialami kurang dari 30 hari dengan gejala lengkap
yang ditunjukan, sedangkan sinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu episode
inflamasi yang dialamai lebih dari 3 bulan dengan menunjukan gejala pada
pernafasannya (Dipiro, et al. 2006).
Tujuan terapi sinusitis akut adalah mengurangi tanda dan gejala, mencapai
kesembuhan ataupun pemeliharaanya, membatasi penggunaan antimikroba pada
pasien yang mulai membaik, pemberantasan bakteri penyebab infeksi dengan terapi
antibiotic yang tepat, mengurangi durasi/lamanya sakit, mencegah komplikasi dan
mencegah perkembangan dari penyakit akut menjadi kronis (Dipiro, et al. 2006).
Mirip dengan otitis media, sinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi
virus pada saluran pernafasan yang menyebabkan inflamasi mukosa. Hal ini
kemudian dapat mencetuskan gangguan dari sinus ostia, saluran dari sinuses. Sekresi

mukosa dijerat, pertahanan local yang lemah, sehingga bakteri yang saling berdekatan
akan berpoliferasi. Belum dilakukan study mengenai pathogenesis dari sinusitis
kronik, apakah disebabkan karena adanya pathogen ataupun adanya kerusakan pada
fungsi imun yang tidak kentara, pada beberapa pasien, berkembang gejala sinusitis
kronik setelah mengalami infeksi sinusitis akut (Dipiro, et al. 2006).
B. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologi
Meskipun terbatasnya data mengenai terapi dengan memberikan dukungan
psikis pada pasien, namun beberapa terapi mungkin bermanfaat. Dekongestan
nasal semprot seperti phenylefrin dan oxymetazolin yang mengurangi inflamasi
dengan vasokontriksi yang sering digunakan pada pasien sinusitis. Waktu
pengguanaan oxymetazolin dan phenylefrin tersebut direkomendasikan untuk
dibatasi, untuk mencegah kambuhnya kongesti. Dekongestan oral juga membantu
pada patency sinus/nasal. Untuk mengurangi fungsi mukosiliary, aliri lubang
hidung dengan larutan saline dan inhalasi uap mungkin digunakan untuk
meningkatkan kelembaban mukosa, dan mukolitik (contohnya : guafenisin )
mungkin digunakan untuk mengurangi viskositas dari sekresi nasal (Dipiro, et al.
2006).
Antihistamin tidak direkomendasikan untuk digunakan untuk sinusitis
bacterial akut karena efek antikolineriknya yang dapat menyebabkan mukosa
kering dan gangguansekresi mukus. Antihistamin generasi kedua mungkin
memainkan peran dalam sinusitis kronik dimana alergi sebagai komponennya.
Glukokortikoid intranasal menurunkan inflamasi dan edema, meskipun demikian
onset yang ditunda membatasi penggunaanya pada sinusitis akut (Dipiro, et al,
2006).
2. Farmakologi

Terapi antimikroba
Dua data meta-analisis menunjukan bahwa terapi antimikroba adalah placebo
utama dalam mengurangi atau menghilangkan gejala, meskipun manfaatnya
sangat kecil. Dua data randomized, controlled, double-blind dilaporkan
memberikan hasil yang berlawanan sebagai penilaian dalam terapi antimikroba.
Hasi penelitian tersebut menunjukan tidak ada manfaat dengan terapi antibiotic
dengan dua kekurangan utama. Radiografi digunakan untuk diagnose sinusitis,
dan lamanya sakit tidak ditetapkan. Infeksi viru terjadi pada beberapa pasien,
menyukarkan evaluasi dari penggunaan antimikroba. Penelitian lainnya
menunjukan adanya efektivitas dari penicillin dan amoksisilin pada pasien dengan
durasi 7 hari sakit. Karena factor ketelitian, dan peralatan diagnostic yang lebih
baik, maka disimpulkan pasien dengan sinusitis bakteri termasuk, dan sinusitis
yang disebabkan tidak ermasuk didalamnya (Dipiro, et al. 2006).
Amoksisilin adalah pilihan utama untuk sinusitis bacterial akut. Karena
tidak ada perbedaan pada hasil klinik diantara antibiotic, keuntungan dari
amoksisilin termasuk efikasi dan keamanan, secara relative, antibakteri spectrum
sempit mengurangi bahaya dari resisten, kemampuan toleransi yang baik dan
harga yang murah. Kebanyakan persetujuan menunjukan dan melaporkan bahwa
pertimbangan amoksisilin sebagai pilihan pertama untuk sinusitis bacterial akut.
Jika pasien alergi terhadap penisilin, azithromycin dan claritomycin mungkin
dapat digunakan. Untuk pasien dewasa, golongan quinolon seperti levofloxacin
juga dapat digunakan sebagai alternative pada pasien yang alergi terhadap
penisilin (Dipiro, et al. 2006)
Pada kasus pasien yang gagal menerima terapi dengan amoksisilin
(misalnya tidak menunjukan perubahan setelah 72 jam pemberian terapi) atau

pasien yang menerima terapi antmikroba dalam masa 4-6 minggu, memperbaiki
ulasan dari H. influenza dan M. catarrhalis dengan dosis lain amoksisilin yang
lebih besar ditambah dengan klavulanat atau -laktamase stabil sefalosporin yang
melindungi S.pneumoniae, disarankan. Alternatif lainnya termasuk cefdinir,
azithromycin, claritromycin, dan kotrimoksazol (Dipiro, et al. 2006).
Lama terapi dari sinusitis tidak ditentukan, namu direkomendasikan 10-14
hari terapi antimikroba, minimal 7 hari setelah muncul tanda dan gejala (Dipiro,
et al. 2006).
C. Swamedikasi
1. Obat modern
Pehamoxil
Komposisi : Amoxicilin Indikasi : infeksi saluran napas atas, otitis media, sinusitis,
ISK, demam tiroid Dosis : Dewasa & anak >20 kg 750mg-1,5 gram/har, anak <20
kg 20-40 mg/kgBB Aturan pakai : dapat diberikan bersama makanan agar
diabsorbsi lebih baik dan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI,
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap penisilin Perhatian : Kehamilan dan
laktasi. Pada penggunaan jangka panjang periksa fungsi hati, ginjal dan
hematopoietik Efek samping : urtikaria, pruritis ringan, dermatitis elksfoliatif,
Glositis, stomatitis, mual, muntah, diare, anemia, leukopenia Interaksi obat :
allopurinol, kloramfenikol, sulfonamide, probenesid Kemasan : Tablet 125 mg,
tablet 500 mg Produsen : Phapros. Golongan obat : Obat bebas terbatas
2. Obat herbal
Akar Manis (Glycyrrhizae radix) (Munim & Hanani, 2011)
Berasal dari tanaman Glycyrrhiza glabra L.

Kandungan kimia : Glisirisin, gliseretin (bentuk aglikon dari glisirisin),


likuiritin, isolikuiritin, kumarin.
Dosis : bentuk simplisia 1-5 gram ( setara dengan asam glisirisinat )
setiap hari, sebaiknya penggunaan tidak lebih dari 6 minggu.
3. Mulut
Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini merupakan
masalah klasik, ini ditandai dengan angka revalensi karies gigi dan penyakit
periodontal yang masih tetap tinggi (RISKESDAS, 2007). Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007 di bidang kesehatan gigi dan mulut, prevalensi
penduduk yang mempunyai masalah gigi-mulut adalah 3,4%, prevalensi nasional
karies aktif 43,4%, dan prevalensi pengalaman karies 67,2%. Dari penduduk yang
mempunyai masalah gigi dan mulut terdapat 29,6% yang menerima perawatan atau
pengobatan dari tenaga kesehatan gigi. Jenis perawatan yang paling banyak
diterima penduduk yang mengalami masalah gigi dan mulut yaitu pengobatan
(87,6%), disusul penambalan, pencabutan, dan bedah gigi (38,5%) (Soelarso dkk,
2005).
Tingkat kebersihan rongga mulut merupakan salah satu indikator kesehatan
gigi dan mulut. Kebersihan rongga mulut dapat dilihat dari ada tidaknya deposit-

deposit organik, seperti pelikel, materi alba, sisa makanan, kalkulus, dan plak gigi.
Saat ini prevalensi tertinggi penyakit gigi dan mulut adalah karies dan penyakit
periodontal yang disebabkan adanya plak gigi (Fontana dan Zero, 2006). Angka
kejadian masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia tergolong tinggi.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun 2007, prevalensi
nasional masalah gigi-mulutadalah 23,4%. Terdapat 1,6% penduduk yang
telahkehilangan seluruh gigi aslinya. Penduduk yangmenerima perawatan atau
pengobatan dari tenagakesehatan gigi hanya 29,6% dari total pendudukdengan
masalah gigi-mulut (RISKESDAS, 2007)
Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan mulut seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku,
dan pela yanan kesehatan. Perilaku memegang peranan yang penting dalam
mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut (Notoatmodjo, 2003).
1) Rongga Mulut
Rongga mulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan dan
daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan (Manson dan Eley,
2004: 1). Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah
bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum
keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, alveolar
ridge, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang
membatasi rongga mulut (Yousem et al., 1998).
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis
oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian
lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi
dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran

mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot
businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara
kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada
bagian bibir (Tortora et al., 2009).

Gambar. Bagian Mulut


1. Bibir
Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi
bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi
oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada bagian internal (JahanParwar et al., 2011).
2. Lidah
Lidah beserta otototot yang berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang
menyusun dasar dari rongga mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral
simetris oleh septum median yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada
tulang hyoid pada bagian inferior, prosesus styloid dari tulang temporal dan
mandibula (Tortorra et al., 2009)
3. Gigi
Struktur jaringan gigi terdiri dari jaringan keras gigi (enamel, dentin, sementum) clan
jaringan lunak gigi (pulpa). Komponen enamel terdiri dari 96% bahan anorganik,
sisanya adalah bahan organik dan air. Bahan anorganik pada enamel terdiri dari
kalsium 36,7 %, fosfat 17,4%. Sedangkan dentin mengandung kalsium 25,1% dan

fosfat 13,9% ( Smith, 1999 ). Enamel sebagian besar terdiri darihidroksi apatit dan
sebagian kecil fluor apatit ( Meurman, 1996 ).
Kebersihan dan kesegaran rongga mulut harus dijaga untuk mencegah penularan
penyakit melalui mulut, meningkatkan daya tahan tubuh, memperbaiki fungsi gigi
dan mulut dalam sistem pengunyahan, serta mencegah penyakit rongga mulut seperti
penyakit pada gigi dan gusi (Hermawan, 2010).
1) Lesi Traumatik
Lesi traumatik merupakan salah satu lesi yang sering di jumpai pada rongga
mulu. Lesi traumatic merupakansuatu luka terbuka yang melibatkan epitel. Lesi
traumatic sering

dibiarkan

tanpa

pengobatan

sehingga

dapat mengganggu

aktivitas rongga mulut seperti mastikasi dan berbicara. Perlukaan pada mukosa
mulut sering dijumpai dalam praktek kedokteran gigi. Luka pada mukosa mulut
dapat disebabkan oleh berbagai agen fisik maupun kimiawi, seperti trauma, suhu
panas atau dingin, sayatan benda tajam, dan paparan zat kimia (Underwood, 1999).
Obat yang saat ini banyak digunakan dimasyarakat umtuk pengobatan luka mukosa
rongga mulut adalah sediaan policresulen yang umum ada di pasaran. Policresulen
mempunyai efek selektif hanya bekerja terhadap jaringan rusak atau patologis, yaitu
koagulasi dan kemudian dikeluarkan atau dilepaskan. Sedangkan epitel skuamosa
yang sehat tidak dipengaruhi oleh obat ini. (Lacy & Amstrong 2009).
2) Sariawan
Sariawan merupakan bahasa awam untuk berbagai macam lesi/benjolan yang
timbul di rongga mulut. Namun biasanya jenis sariawan yang sering timbul seharihari pada rongga mulut kita disebut (dalam istilah kedokteran gigi) adalah Stomatitis
Aftosa Rekuren. Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa
mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak
tunggal maupun berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian

dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut.
Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu. Ada pula
yang mengatakan bahwa sariawan merupakan reaksi imunologik abnormal pada
rongga mulut.
Sampai saat ini penyebab utama dari Sariawan belum diketahui. Namun para ahli
telah menduga banyak hal yang menjadi penyebab timbulnya sariawan ini,
diantaranya adalah :
Kebersihan mulut yang kurang
Letak susunan gigi/ kawat gigi
Makanan /minuman yang panas dan pedas
Rokok
Pasta gigi yang tidak cocok
Lipstik
Infeksi jamur
Overhang tambalan atau karies, protesa (gigi tiruan)
Luka pada bibir akibat tergigit/benturan.
Bagian dari penyakit sistemik antara lain :
Reaksi alergi : seriawan timbul setelah makan jenis makanan tertentu. Jenis

makanan ini berbeda untuk tiap-tiap penderita


Keseimbangan hormonal
Stres mental
Kekurangan vitamin B12 dan mineral
Gangguan pencernaan
Radiasi.
Infeksi virus dan bakteri juga diduga sebagai pencetus timbulnya Sariawan ini.

Ada pula yang mengatakan bahwa sariawan merupakan reaksi imunologik abnormal
pada rongga mulut. Dan imunologik sangat erat hubungannya dengan psikologis
(stress). Faktor psikologis (stress) telah diselidiki berhubungan dengan timbulnya
stomatitis (sariawan) di sebagian besar masyarakat.
Candida albicans merupakan mikroflora normal rongga mulut yang seringkali
menyebabkan infeksi opurtunistik pada pasien yang mengalami penurunan
pertahanan tubuh akibat penuaan, penyakit diabetes dan AIDS, serta factor iatrogenic

(Kumar, Padshetty, Bai, dan Rao, 2005). Spesies tersebut seringkali berkolonisasi
dalam rongga mulut yaitu sebesar 30% - 60% dan permukaan gigi tiruan yang tidak
pas sebesar 60% - 100%. Invasi C. albicans pada jaringan lunak rongga mulut, dapat
menyebabkan terjadinya Kandidiasis oral dan sariawan (Hidayat, 2008).
3) Halitosis
Halitosis berasal dari bahasa Latin nafas (halitus) dan keadaan (osis) adalah
istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tak sedap yang keluar
dari rongga mulut (Widagdo, 2011). Halitosis juga dikenal dengan beberapa nama
lain, seperti mouth odor, bad breath, oral malodor, fetor ex ore, atau fetor oris.
Halitosis disebabkan terutama oleh terbentuknya VSC (Volatile Sulfur Compound)
yaitu sekumpulan gas mengandung sulfur yang dilepaskan lewat udara pernafasan.
VSCyang terdiri dari H2S (Hydrogen Sulfide), CH3SH (Metal Merkaptan),dan
(CH3)2S (Dimethyl Sulfide) adalah suatu gas utama penyebab bau dalam rongga
mulut.
Halitosis umumnya mengacu pada bau mulut yang berasal dari keadaan
metabolik secara sistemik termasuk saluran pencernaan. Halitosis dapat berupa
halitosis fisiologis maupun halitosis patologis. Halitosis fisiologis adalah halitosis
yang bersifat sementara dan terjadi bila substansi yang menimbulkan bau tersebut
secara hematologi menuju paru dan biasanya berasal dari makanan seperti: bawang
dan lobak atau dapat berasal dari minuman seperti: teh, kopi, dan minuman
beralkohol. Halitosis patologis adalah halitosis yang terjadi dalam suatu mekanisme
yang sama dengan halitosis fisiologis dimana bahan berbau yang secara hematologis
menuju paru. Penyebab utama keadaan ini karena adanya kelainan bersifat lokal atau
sistemik seperti: diabetes mellitus, uremia, gastritis, tukak lambung, oesophagus atau
hepatitis (Gunardi, 2009).

Secara umum faktor penyebab halitosis dibagi menjadi atas factor penyebab oral
dan non oral. Faktor penyebab oral meliputi kebersihan mulut yang buruk atau
adanya penyakit periodontal sedangkan faktor non oral meliputi penyebab medis
seperti: penyakit ginjal, diabetes, infeksi paru dan saluran pernafasan, radang sinus,
bronkitis kronis, serta gangguan saluran pencernaan. Selain faktor penyebab oral dan
non oral ada juga faktor resiko seperti:

tembakau, alkohol, mulut kering, diet,

makanan dan minuman, obat, dan gigi tiruan. Halitosis dapat timbul oleh karena
beberapa faktor, antara lain: buruknya kebersihan mulut, penyakit periodontal dan
karies, factor makanan dan minuman (Scully & Greenman, 2008).
4. Penatalaksanaan terapi
a. Mulut
1) Lesi Traumatik
Perlukaan pada mukosa mulut sering dijumpai dalam praktek kedokteran gigi.
Luka pada mukosa mulut dapat disebabkan oleh berbagai agen fisik maupun kimiawi,
seperti trauma, suhu panas atau dingin, sayatan benda tajam, dan paparan zat kimia
(Underwood, 1999). Obat yang saat ini banyak digunakan dimasyarakat umtuk
pengobatan luka mukosa rongga mulut adalah sediaan policresulen yang umum ada di
pasaran. Policresulen mempunyai efek selektif hanya bekerja terhadap jaringan rusak
atau patologis, yaitu koagulasi dan kemudian dikeluarkan atau dilepaskan. Sedangkan
epitel skuamosa yang sehat tidak dipengaruhi oleh obat ini. (Lacy & Amstrong 2009).
Obat-obatan yang ada di pasaran sebagian besar dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diharapkan, oleh karena itu obat herbal dapat menjadi alternatif
pengobatan (Manson & Eley, 1993; Lewis & Lamey, 1998).

Dewasa ini studi

mengenai tanaman obat dan potensinya banyak dikembangkan, tidak terkecuali untuk
kesehatan gigi dan rongga mulut. Carica pubescens merupakan salah satu tanaman

khas dataran tinggi di Indonesia dengan kandungan vitamin C tinggi yang berpotensi
sebagai bahan alami dalam penyembuhan mukosa mulut. Selain itu, buah Carica
pubescens juga mengandung Vitamin A. Vitamin A yang yang berupa asam retinoat
memiliki peranandalam differensiasi sel, sehingga vitamin Amengatur pada proses
reepitelisasi pada mitosissel-sel di sekitar luka (MacKay & Miller, 2003).
Carica pubescens merupakan salah satu tanaman khas dataran tinggi di Indonesia
dengankandungan Vitamin C tinggi yang berpotensisebagai bahan alami dalam
penyembuhan mukosa mulut. Beberapa komponen dalam tanaman Carica pubescens
terbukti memiliki aktivitas yang signifikan dalam penyembuhan penyakit, diantaranya
adalah minyak atsiri, polifenol, dan flavanoid. Minyak atsiri berfungsi sebagai
antibakteri sehingga dapat mempercepat netralisasi bahan asing (Parwata dan Dewi,
2008). Polifenol berfungsi sebagai antihistamin. Sedangkan manfaat flavonoid antara
lain adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan
vitamin C (meningkatkan efektivitas vitamin C), mencegah keropos tulang, antibiotik,
dan sebagai antiinflamasi. Selain memiliki kandungan vitamin C yang tinggi, Carica
pubescens juga mengandung vitamin A (Ahkam, 2008). Adanya senyawa-senyawa
tersebut dapat memungkinkan C.pubescens dapat digunakan sebagai obat herbal yang
dapat meningkatkan kecepatan regenerasi epitel pada penyembuhan luka. Telah
diketahui bahwa Vitamin C merupakan salah satu kandungan utama dari buah Carica
pubescens yang memiliki kemampuan mempercepat proses epitelisasi. Vitamin C
berperan dalam sintesis kolagen, proteoglikan dan komponen organik lain dalam
intrasellular matrik jaringan seperti tulang, kulit, dinding kapiler, dan jaringan ikat
yang lain (MacKay & Miller, 2003). Vitamin C akan mengaktifkan katalisator ion
Fe2+ dan ion Cu+ yang akan mengaktifkan enzim-enzim pada proses hidroksilasi

asam amino prolin dan lisin menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin. Reaksi
hidroksilasi ini diperlukan untuk mengadakan perlekatan silang (cross linking) dan
tripel helix pada jaringan sehingga didapat struktur jaringan yang sehat dan kuat
(Yendriwati, 2006). Jika proses proliferasi yang meliputi sintesis kolagen dapat
tercapai, maka proses epitelisasi akan berlangsung lebih cepat.
Penatalaksanaan perawatan mulut tanpa menimbulkan trauma, melembabkan bibir
dan rongga mulut dan menghilangkan rasa sakit serta inflamasi, dan menyikat gigi
dengan sikat gigi yang lembut. Pilihan untuk membersihkan dan membuang kotoran
dari rongga mulut :
- Membersihkan gigi dan mulut setiap 4 jam dan sebelum tidur
- Menggunakan sikat gigi dengan bulu yang lembut
- Garam dan natrium bikarbonat masing-masing 1 sendok the dalam 240 mL
-

air hangat
NaCl 0,9 %
Natrium bikarbonat dalam 240 mL air hangat
Air yang bersih
Kumur-kumur dengan hydrogen peroksida yang diencerkan dengan air 1:1

atau dengan air garam (1 sendok the garam dalam 960 mL air)
2) Sariawan
Terapi yang diberikan pada lesi rongga mulut berupa sariawan akibat infeksi
tersebut adalah berupa pemberian obat obatan antijamur, tetapi saat ini banyak
dilaporkan beberapa jamur yang resisten terhadap obat obatan antijamur tersebut,
sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai terapi antijamur alternatif. Salah satu
obat topikal umum yang digunakan sebagai terapi antijamur alternative dalam rongga
mulut adalah Chlorhexidine gluconate (Machado et al, 2010).
Menurut perkiraan badan kesehatan dunia WHO 80% penduduk dunia masih
menggantungkan kesehatan pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat
yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman obat yang banyak dipergunakan oleh
masyarakat Indonesia dan telahlama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil

(Zingiber officinale var. amarum).

Rimpang jahe selain berkhasiat sebagai obat

batuk, penawar racun, antitusif, laksatif, antasida,dan sebagai antioksidan serta


dilaporkan rimpangjahe memiliki aktivitas sebagai antijamur pada Candida albicans,
sebagai agen penyebab sariawan. Pada penelitian terdahuludidapatkan efektivitas
antijamur dari ekstrak etanoljahe putih kecil 30% terhadap T. mentagrophytesdan C.
neoforrmans lebih efektif ibandingkandengan ekstrak etanol jahe putih kecil 25%,
20%, 15%, dan 10% ( Gholib, 2008). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa
konsentrasi 30% ekstrak etanol jahe putih kecil memiliki efek antijamur terhadap
Candida albicans. Selanjutya penelitian Gholib, mengatakan bahwa ekstrak etanol
jahe putih kecil pada konsentrasi 30% mempunyai aktivitas antijamur terhadap
C.neoformans.
Candida albicans dan C. neoformans termasuk ragi dengan struktur membran sel
yang sama yaitu memiliki dinding sel khamir (Blastospora) dengan komponen utama
kapsula polisakarida berupa glukan, khitin, mannan. Efek antijamur dari perlakuan
ekstrak etanol jahe putih kecil disebabkan adanya kandungan minyak atsiri yang
terdiri dari senyawa aktif yaitu gingerol, shogaol, zingeron, dan zingiberen. Gingerol,
shogaol, dan zingeron termasuk dalam senyawa fenol, yang diketahui dapat
mendenaturasi ikatan protein membran sel Candida albicans, sehingga membran sel
menjadi lisis dan fenol dapat menembus ke dalam inti sel, menyebabkan jamur
Candida albicans tidak dapat berkembang. Letak dan jumlah kelompok hidroksil
pada kelompok fenol diduga berhubungan dengan sifat toksiknya terhadap
mikroorganisme, yang dapat

meningkatkan hasil hidroksilasi dan peningkatan

toksisitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya inhibisi enzim oleh senyawa


teroksidasi atau interaksi nonspesifik dengan protein mikroorganisme. Mekanisme

kerja lain yang dipercaya bahwa ekstrak jahe menghambat pertumbuhan Candida
albicans dengan berlakunya efek apoptosis pada kandungan sel Candida albicans.
Sel mengalami penghambatan proliferasi, terjadi pengerutan sel dan kondensasi pada
kromosom. Efek ini merupakan penelitian dari ekstrak jahe terhadap Cell-line Hep-2.
Oleh karena, sel jamur termasuk sel eukaryote dan tidak berbeda dengan sel tersebut
sehingga dianalogikan untuk mekanisme kerja terhadap sel Candida albicans Ali et
al, 2012).
Senyawa antijamur lain yang terkandung dalam ekstrak jahe diduga berasal dari
komponen minyak atsiri rimpang jahe yang mengandung senyawa metabolit sekunder
yang termasuk ke dalam golongan seskuiterpen. Senyawa turunan yang termasuk ke
dalam turunan seskuiterpen yaitu : a-zingiberen, b-zingiberen, b-bisabolen, belemen,
b-parnesen, d-salinen, dan b-seskuiphelandren dan senyawa turunan minyak atsiri
lainnya diduga mempunyai sifat antijamur (Griffin, 1994). Senyawa seskuiterpene ini
diduga dapat mengganggu metabolisme energi dalam mitokondria yaitu dalam tahap
transfer elektron dan fosforilasi. Terhambatnya transfer elektron akan mengurangi
oksigen dan mengganggu fungsi dalam siklus sel pada mitokondria. Akibat tidak
terjadinya tahap fosforilasi menyebabkan terhambatnya pembentukan ATP dan ADP.
Terhambatnya pertumbuhan Candida albicans dalam penelitian ini, karena adanya
penurunan pengambilan oksigen oleh mitokondria yang mengalami kerusakan
membran dan kerusakan krista akibat adanya aktivitas senyawa antijamur, sehingga
menyebabkan energi ATP yang dihasilkan untuk proses pertumbuhan dan
perkembangan sel menjadiberkurang, sehingga pertumbuhannya terhambat secara
normal (Griffin, 1994).
Penatalaksanaan Pencegahan sariawan:
Minimal 2 kali sehari membersihkan mulut dengan sikat gigi, dan benang gigi.

Jika menggunakan gigi palsu, harus dirawat dengan baik, dan pastikan memiliki

kesesuaian yang baik ketika digunakan


Kumur dengan air garam (1 sendok teh garam, dalam segelas air hangat)

Antibakteri mouth wash dapat direkomendasikan dalam keadaan tertentu

Hindari obat kumur yang mengandung alcohol, karena dapat menyebabkan mulut
kering

Menanggulangi mulut kering dengan minum yang banyak, potongan nanas,


permen karet bebas gula untuk menstimulasi keluarnya saliva.

Penatalaksanaan pengobatan sariawan

Terapi pada sariawan merupakan terapi

simptomatik, tidak ada pengobatan yang efektif terhadap sariawan. Penatalaksanaan


Recurrent Aphthous Stomatitis ditujukan untuk mengurangi rasa sakit, atau mencegah
timbulnya lesi baru.
a. Lini pertama (stomatitis ringan): Antibakteri mouthwash, contoh: klorheksidin
0,2% qds
b. Lini kedua (stomatitis ringan-sedang) :Antibakteri mouthwash atau anestesi local
mouthwash, contoh: benzydamine 0,15%, lignocain 1% gel dioleskan pada area
yang sakit, Berkumur dengan suspense sukralfat 1g/5ml, jangan ditelan
c. Lini Ketiga (stomatitis sedang-berat) : Sama dengan terapi pada lini kedua
Analgetik oral, penggunaan secara subcutan, dan intravena dapat diberikan jika
diperlukan, jika terdiagnosis adanya infeksi, berikan antibiotic pada infeksi
bakteri, antivirus pada infeksi virus, dan antifungi pada infeksi jamur,
pertimbangkan periksa ke dokter, atau ahli kesehatan gigi dan mulut untuk
mendapatkan nasihat

3) Halitosis
Penatalaksanaan halitosis melalui perawatan sumber penyebab di dalam rongga
mulut dapat secara efektif memecahkan masalah nafas tak sedap. Menurut studi yang
telah dilakukan kurang lebih 90% dari nafas tak sedap berasal dari dalam rongga
mulut dan hanya 10% dari sumber selain mulut.Banyak kondisi sistemik yang dapat
menyebabkan halitosis kronis dan kondisi ini dapat dicurigai apabila telah dilakukan
deteksi nafas tak sedap dari paru dan hidung dengan menggunakan halimeter. Hasil
pengukuran tersebut akan membantu dalam melihat atau menemkan kondisi sistemik
yang berhubungan.

Pada halitosis yang disebabkan oleh kelainan dalam mulut

umumnya terjadi akibat sisa makanan yang membusuk oleh bakteri karena kebersihan
mulut buruk. Keadaan ini dapat diperburuk oleh faktor susunan gigi yang tidak teratur
seperti misalnya gigi berjejal. Pada keadaan ini, bau tak sedap bisa dikurangi atau
dihilangkan sama sekali dengan menjaga kebersihan mulut dengan cara menggosok
gigi secara teratur, menggunakan benang gigi, dan dianjurkan memakai obat kumur
(Yaegaki & Coil, 2000). Jika kecurigaan penyebab di dalam mulut sudah diatasi
tetapi halitosis masih ada maka perlu diwaspadai kemungkinan adanya penyakit yang
tidak berkaitan dengan masalah gigi dan mulut seperti: leukemia, diabetes, tumor
ganas pada hidung, abses paru, dan TBC (Puspita, 2011).
Penatalaksanaan halitosis tentunya melibatkan suatu usaha untuk menghilangkan
penyebab dari keadaan yang mendasarinya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk pencegahan dan penanganan halitosis, antara lain: pendidikan pasien, bantuan
medis untuk menangani pasien dengan latar belakang kelainan sistemik, menghindari
merokok, makan sehat dengan teratur dan membersihkan rongga mulut dengan cara
menyikat gigi, menggunakan dental floss, dan pembersih lidah. Antiseptik rongga

mulut secara umum direkomendasikan bahwa obat kumur harus digunakan dua atau
tiga kali sehari

untuk selama paling sedikit 30 detik. Pada kasus yang sulit

dikendalikan, spesialis secara empiris bisa memberikan metrodinazole 200 mg tiga


kali sehari selama satu minggu sebagai usaha mengurangi infeksi anaerobik yang
tidak teridentifikasi. Disamping cara yang telah dijelaskan, terdapat pula cara
tradisional yang diyakini menghilangkan halitosis misalnya mengunyah daun
kemangi (Naibaho, dkk, 2010)
5. Swamedikasi
a. Mulut
1) Obat-obat sintesis
a) Tantum Verde Oral Rinse

Produsen :
PT SOHO INDUSTRI PHARMASI
JAKARTA - INDONESIA
Indikasi:
untuk meringankan rasa sakit pada mulut dan tenggorokan seperti tonsilitis,

sakit tenggorokan, post-ekstraksi gigi dan kelainan periodontal.


Kontra indikasi:
penderita yang hipersensitif terhadap obat ini.
Peringatan dan perhatian:
Tidak dianjurkan untuk anak di bawah umur 12 tahun, obat jangan ditelan.
hati-hati penggunaan pada penderita dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
yang berat.

Efek samping:

Mungkin dapat menimbulkan rasa mengigit.


Takaran pemakaian:
Tanpa diencerkan, kira-kira 1 sendok makan (15 ml) dikumur-kumur selama 1

menit lalu dibuang, sehari 2-3 kali.


Kemasan:
Botol @ 120 ml, No. Reg. DTL 8824206840A1

Botol @ 60 ml, No. Reg. DTL 8824206840A1


b) Aloclair Plus Oral Rinse 60 ML

Produsen :
PT Kalbe
Indikasi:
Aloclair Plus Oral rinse membentuk suatu film pelindung yang akan
menempel pada rongga mulut dan menjadikannya suatu barier mekanik pada
daerah yang sakit sehingga akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan
paparan terhadap ujung persarafan. Aloclair Plus Oral rinse mempercepat
proses penyembuhan dan membantu mengatasi nyeri yang diakibatkan lesi
minor pada mulut seperti pada kondisi stomatitis aftosa, ulkus aftosa, lesi
trauma karena penggunaan kawat gigi atau gigi palsu. Kegunaan juga
ditujukan untuk ulkus aftosa yang bersifat difus.

.Kontra indikasi:
Penggunaan Aloclair Plus Oral rinse dikontraindikasikan pada pasien dengan
-

riwayat hipersensitivitas terhadap komponen produk ini..


Peringatan dan perhatian:
Jangan digunakan apabila botol telah rusak atau bocor. Simpan pada suhu
ruangan, jangan terpapar sinar matahari langsung. Jauhkan dari jangkauan

anak.
Efek samping:

Mungkin dapat menimbulkan rasa mengigit.


Takaran pemakaian:
Tanpa diencerkan, kira-kira 1 sendok makan (15 ml) dikumur-kumur selama 1

menit lalu dibuang, sehari 2-3 kali.


Kemasan:

Botol @ 60 ml, No. Reg. DTL 8824206840A1


2) Obat- obat dari tanaman
1). Kemangi
a. Klasifikasi Daun Kemangi
Kingdom : Plantae
Divisi
: Spermatophyte
Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo : Tubiflorae
Famili

: Lamiaceae

Genus

: Ocimum

Spesies

: Ociumum sanctum L.

b. Kandungan
Tanaman kemangi mengandung minyak atsiri yang banyak dilaporkan
memiliki aktivitas antibakteri. Disamping itu juga mengandung flafon apigenin,
luteolin,

flavon

O-glukotisidaapigenin

7-O

glukoronida,

luteolin

7-O

glukoronida, flavon C-glukosida orientin, molludistin dan asam ursolat.


Sedangkan pada daun kemangi sendiri, penelitian fitokimia telah mebuktikan
adanya flafonoid, glikosid, asam gallic dan esternya, asam kaffeic, dan minyak
atsiri yang mengandung eugenol sebagai komponen utama (Yosephine dkk,
2013). Menurut daftar komposisi bahan makanan direktorat gizi depertemen
keseharan RI, kemangi termasuk sayuran kaya provitamin A. Setiap 100 g daun
kemangi terkandung 5.000 SI vitamin A. Kelebihan lainnya, kemangi termasuk
tamanan yang banyak mengandung mineral, kalsium dan fosfor yaitu sebanyak 45
dan 75 mg per 100g daun kemangi. Pada Daun kemangi memiliki banyak
kandungan kimia antara lain saponin, flavonoid, tanin dan minyak atsiri. Menurut
Cushnie and Lamb (2005) bahwa flavonoid memiliki aktivitas antibakteri dengan
cara menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma,

dan menghambat metabolisme energi sel. Sedangkan Thaweboon (2009) telah


menguji aktivitas antimikroba minyak atsiri Ocimum americanum L. terhadap
bakteri patogen yang terdapat dalam mulut. Hasilnya menunjukkan bahwa minyak
atsiri ini memiliki aktivitas antimikroba terhadap Streptococcus mutans,
Lactobacillus casei, dan Candida albicans.
c. Cara Pembuatan Sediaan
Cara penggunaannya yaitu sebaiknya sering mengkonsumsi daun kemangi.
Caranya yaitu dengan dikonsumsi langsung atau dimakan sebagai lalapan.
d. Aturan Pemakaian
Untuk mencegah bau mulut datang maka Anda harus mengkonsumsi daun
kemangi minimal 1 kali dalam sehari. Daun kemangi yang Anda konsumsi lebih
baik yang masih muda
2). Sirih
a. Klasifikasi Daun Sirih
Kingdom

: Plantae

Order

: Piperales

Family

: Piperaceae

Genus: Piper
Species: P. betle
Nama Binomial: Piper betle

e. Kandungan
Minyak atsiri sekitar 4,2%, yang mengandung pula fenol, yang disrbut betelfenol
atau aseptosol, Khavikol dan suatu seskuiterpen, Diastase 0,8% sampai 1,8%, Zat
penyamak, gula dan nabati.
f. Cara Pembuatan Sediaan
Cara membuatnya yaitu daun sirih terlebih dahulu dicuci hingga bersih. Lalu daun
sirih tersebut diseduh dengan air panas. Kemudian biarkan sampai airnya dingin.
Setelah dingin, air seduhan itu digunakan untuk kumur-kumur. Ulangi hingga
beberapa kali dalam sehari
g. Aturan Pemakaian
Untuk mencegah bau mulut dan sariawan minimal 1 kali sehari sampai 3 kali
sehari

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Desember
Fontana M and Zero DT, 2006, Assessing patients caries risk. J Am Dent Assoc; 137(9):12311239.
Ahkam, MS. 2008. Obat
www.sarangsemut.50webs.com

Alternatif:

Sarang

Semut

Penakluk

Penyakit

Maut.

Parwata, Adi IMO, Dewi, Sastra PF. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri
Dari Rimpang Lengkuas.ejournal.unud.ac.id
Underwood, JCE. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGC

Lacy, C.F., Amstrong, L.L, 2008. Drug Information Handbook, Ed. 17th.USA : Lexi-Comp Inc.
Manson, J.D dan B. M. Eley. 1993. Buku Ajar Periodonti Edisi 2. Terjemahan oleh Anastasia S
dari Outline of Periodontics. Jakarta: Hipokrates
Lewis, M. A. O dan P. J Lamey. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Terjemahan Elly
Wiriawan. Jakarta: Widya Medika
MacKay, Douglas and alan L. Miller, Nutrional Support for Wound Healing. Alternative
Reviews. Vol 8 No.4 (2003).
Yendriwati, Kebutuhan Vitamin C dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Tubuh dan Rongga
Mulut. Dentika Dental Journal, Vol 11, No. 1 : (2006) 78-83.
Kristanti, Risma A, 2015, Pengaruh Ekstrak Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch yang
Tumbuh dibeberapa Tempat di Indonesia terhadap Penyembuhan Luka Mukosa Rongga Mulut,
El-Hayah Vol 5 No.3
Kumar BV, Padshetty NS, Bai KY, Rao MS, 2005, Prevalance of Candida in the Oral Cavity of
Diabetic Subjects. JAPI ; 99: 39-47.
Machado FC, Portela MB, Cunha AC, Souza IPR, Soares RM, Castro GF, 2010, Antifungal
Activity of Chlorhexidine on Candida spp. biofilm. Rev Odontol ; 39 (5): 271-275.
Gholib D. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum) Dan
Jahe putih (Zingiber officinale Var.Amarum) terhadap Trichophyton mentagrophytes Dan
Cryptococcus neoformans. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor; 2008.
Ali WM. et al, 2012, Evaluation of Antibacterial Effect of Ginger Extract When Used as One
Component of the Root Canal Sealer
Griffin H.D, 1994, Fungal Physiology. New York: John Wiley and Son, Inc.
Notoatmodjo S, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Rineka Cipta
Widagdo Yanuaris, Suntya Kristina, 2011, Volatile sulfur compounds sebagai penyebab
halitosis. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Gunardi Indrayadi, wimardhani yuniardini s, 2009, Oral probiotik: pendekatan baru terapi
halitosis(tinjauan pustaka). Indonesian Journal of Dentistry : 16 (1):6471
Scully Crispian & Greenman John, 2008, Halitosis (breath odor). Journal compilation
periodontology 2000, vol. 48, 6675.

Santik Yunita Diah Puspita, 2011, Efek baking soda pasta gigi terhadap kadar foetor ex
ore. Jurnal kemas 6 (2) 87-92.
Yaegaki Ken, Coil Jeffrey M., 2000, Examination, Classification, and Treatment ofHalitosis;
Clinical Perspectives. J Can Dent Assoc; 66:257-61.
Naibaho Olivia h., Paulina v. Y. Yamlean, Wiyono Weny. Pengaruh basis salep terhadap
formulasi sediaan Salep ekstrak daun kemangi ( ocimum sanctum l.) Pada kulit punggung kelinci
yang dibuat infeksi staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah farmasi unsrat vol. 2 no. 02.
Smith, B.G.N.,1999, "Dental Erosion in patients with chronic alcoholism'" J.Dent.17, 10720
Meurman, J.M., 1996, "Pathogenesis and modifying factors of dental erosion", Eur. J. Oral
Sci, 199-206,

Вам также может понравиться