Вы находитесь на странице: 1из 11

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.

)
MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO
FISHFINDER PCFF-80
Muhammad Zainuddin Lubis 1, 2 , Pratiwi Dwi Wulandari

Corresponding Author
Depertemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Email: lubiszainuddin@gmail.com
2

ABSTRAK
Metode hidroakustik telah digunakan di berbagai penelitian dibidang kelautan. Penggunaan metode
hidroakustik merupakan merupakan metode yang dikembangkan untuk mendapatkan informasi mengenai
kepiting bakau (Scylla spp.). Penelitian ini menganalisis nilai Targer Strength (TS), Power Spectral
Density (PSD), dan Fast Fourier Transform (FFT) menggunakan instrumen hidroakustik. Pengambilan
data dilakukan di Laboratorium Akustik Kelautan dengan menggunakan instrumen CruzPro PCFF-80
yang dioperasikan dengan frekuensi 200 kHz. Rata-rata nilai Target Strength (TS) yaitu 60 dB. Nilai
TS pada waktu 0-500 s memiliki nilai yang lebih besar yaitu dengan nilai -55 dB, nilai TS pada waktu
tersebut memiliki kesamaan dengan nilai TS pada waktu 2500-3000 s. Hasil deteksi target dengan melihat
hasil dari nilai TS dapat dilihat nilai TS terkuat berada di kedalaman 0.6 meter dari transducer dengan
estimasi hal ini merupakan hasil deteksi target. Nilai SV tidak berbeda dengan nilai TS diesbabkan
menggunakan 1 target. Nilai Echo level terhadap waktu memiliki puncak tertinggi yaitu pada 115 dB
dengan range waktu yaitu pada selang 15-25 s, dengan nilai akhir echo yaitu berada pada waktu 70 s
dengan nilai 132 dB Nilai Power Spectral Density (PSD) sebenarnya berada pada waktu 2900 s.

Kata Kunci :CruzPro, hambur balik, kepiting bakau, Target Strength (TS) , Scattering Volume
(SV)
PENDAHULUAN
Kepiting bakau adalah salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial untuk
dibudidayakan dan dikonsumsi karena memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama kepiting yang
matang gonad atau sudah bertelur, dewasa dan gemuk (Kanna 2002). Keberadaan spesies ini
sudah banyak dibudidayakan di tambak, dan benih kepiting diambil dari alam, seperti yang
sudah dilakukan pembudidaya di Karawang, Jawa Barat. Secara garis besar, sistem budidaya
kepiting bakau yang telah dikenal oleh dmasyarakat adalah pembesaran benih menjadi kepiting
ukuran konsumsi, penggemukan, produksi kepiting cangkang lunak, dan produksi kepiting
bertelur. Kepiting bakau ditangkap dari perairan estuaria dan saluran petak tambak. Kepiting
bakau lebih suka hidup di perairan yang relatif dangkal dengan dasar berlumpur. Daerah yang
cocok untuk lokasi budidaya kepiting ialah tambak yang dasarnya berlumpur dengan suhu 2535C , pH 7.0 -9.0, DO lebih dari 5 ppm, dan kadar garam berkisar 10-30 ppt (FAO 2011).
Kepiting bakau dikenal sebagai pemakan segala bangkai (omnivorous-scavenger) (Ariola
1940 dan Moosa et al. 1985 dalam Mulya 2000). Kepiting bakau umumnya memangsa
gastropoda, bivalve dan berbagai hewan-hewan kecil yang dapat mereka tangkap, tetapi mereka
1

juga pemakan bangkai yang giat (vigorous scavenger) (Hill 1976). Sebagai pemakan bangkai
mereka mudah tertangkap dengan perangkap berumpan baik dalam penangkapan komersial
maupun rekreasional (Hill 2007). Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus
(voracious scavenger), yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang
keruh dan berhutan bakau. (Sulistiono et al.1992) dalam (Mulya 2002) mengklasifikasikan
kepiting bakau sebagai berikut;
Filum: Arthropoda
Sub Filum: Mandibulata
Kelas: Crustacea
Ordo: Decapoda
Sub Ordo: Pleocyemata
Famili: Portunidae
Genus: Scylla
Spesies: Scylla spp.

Gambar 1. Kepiting Bakau Betina (A) dan Kepiting Bakau Jantan (B)
Teknologi hidroakustik memanfaatkan pencarian bawah laut dengan suara yang kuat
untuk mendeteksi, mengamati dan menghitung parameter fisik dan biologi. Teknologi
hidroakustik merupakan metode yang populer digunakan selama bertahun-tahun dalam survei
sumber daya perikanan. Penelitian di bidang hidroakustik terus mengalami perkembangan yang
signifikan. Berdasarkan teori dan formula hidroakustik, teknik ini sekarang sedang diadopsi
untuk melakukan survei terumbu karang. Adanya kebutuhan yang terus meningkat untuk
mengklasifikasi dan memetakan ekosistem laut di berbagai skala spasial dalam mendukung ilmu
pengetahuan berbasis ekosistem untuk pengelolaan laut (Anderson et al. 2008).
Teknologi hidroakustik telah banyak digunakan untuk memetakan dan
mengklasifikasikan dasar perairan dan kandungan sumberdaya hewan bentik yang ada di dasar
perairan, tipe substrat dan biota bentik. Perkembangan dalam mengklasifikasikan substrat dasar
perairan dan vegetasi bawah air membuat hidroakustik sebagai alat yang efektif untuk memantau
dan pemetaan parameter habitat di ekosistem air. Selain itu, dengan menggunakan teknologi
hidroakustik dapat membedakan dan mengelompokkan berbagai tipe substrat dasar perairan.
Perbedaan tipe dasar perairan dapat digambarkan melalui tingkat kekasaran (roughness) dan
kekerasan (hardness) dasar perairan seperti batu, pasir, lumpur atau campurannya (Siwabessy
2001; Penrose et al. 2005).

Gambar 2 Komponen utama dan prinsip dasar echosounder (Johannesson dan Mitson 1983)

Gambar 3. Prinsip kerja Single Beam echosounder (MacLennan and Simmonds ,2005)
Transduser yang digunakan untuk perekaman data dapat ditempatkan pada sebuah rangka
yang telah dimodifikasi untuk menghindari pengaruh gelombang. Pada penelitian ini akan
digunakan satu frekuensi akustik. Hasil yang diperoleh dengan metode akustik dapat
dikombinasikan dengan hasil observasi visual melalui pengambilan foto atau gambar. Penelitian
yang mengkaji mengenai kepiting bakau dengan menggunakan metode hidroakustik masih
belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk dapat menganalisis
keberadaan kepiting bakau secara akustik dengan menggunakan metode akustik single beam
echosounder . Penelitian ini memberikan informasi kuantitatif mengenai nilai hambur balik dari
kepiting bakau. Kepiting bakau juga merupakan kepiting yang bernilai ekonomis dan sangat
banyak ditemui di sekitaran pesisir yang kaya akan hutan mangrove.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai hambur balik kepiting bakau (Scylla spp.).
berdasarkan energi Target Strength (TS), volume backscattering strength (SV), dan Fast Fourier
Transform (FFT) dengan menggunakan instrumen echosounder single beam CruzPro PcFF80
frekuensi 200 kHz.
3

METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan skala laboratorium yang dilakukan pada
Watertank di Laboratorium Akustik Kelautan FPIK-IPB .
Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam metode penelitian dapat dilihat pada tabel
1., dan spesifikasi instrument yang diganakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 2.
No
1
2
3
4
6

Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan Bahan
Echosunder (Single beam , scientific
Echosounder (Cruzpro PcFF80)
Laptop
1 Ekor Kepiting bakau jantan dewasa (dengan
lebar karapas (90-100 mm)
Roll Kabel
Meteran dan benang pancing

Tabel 2 Spesifikasi echosounder single beam CruzPro PcFF80


Spesifikasi
Besaran
Tipe transduser
THDT-5 Long Stem Bronze Thru
Hull Transducer
Frekuensi transduser
Dual frekuensi, 50 kHz dan 200 kHz
Operating voltase
9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal,
4.7 amps peak at max power
Output power
2560 watts peak-to-peak (320W
RMS) 24KW DSP processed power
(3200 WRMS)
Kedalaman
1000 feet atau lebih (200 kHz) 1500
feet atau lebih (50 kHz)
Temperatur
0 to 50 oC ( 32 to 122 oF)
Kotak interface
100 x 80 x 50 mm (4 x 3.2 x 2 inch).
Powder Coated Aluminum Extrusion
Interface
RS-232, 115 KBaud, serial data and
USB
Source level
163 dB (200 kHz), 156 dB (50 kHz)
Receiving sensitivity
-185 dB (200 kHz), -173 dB (50
kHz)
Beam width
11o (200 kHz), 45o (50 kHz)
Diameter transduser
6 cm

Metode Pengambilan Data


Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan
observasi visual (pengamatan langsung) dan menggunakan metode akustik yang dilakukan pada
kolam penelitian. Sketsa rancangan kolam penelitian dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Sketsa Tank Penelitian


Perekaman Data Akustik

Alat yang digunakan untuk perekaman data akustik adalah echosounder single beam
CruzPro PcFF80 dengan tipe transduser THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull yang digunakan
sebagai alat proses sounding dasar perairan untuk mengidentifikasi pantulan tiap tipe substrat
dasar perairan (karang dan pasir).
Sebelum melakukan proses sounding akustik, terlebih dahulu dilakukan proses setingan
alat (Tabel 3). Transmitter power yang digunakan pada saat pengambilan data akustik adalah 320
watt. Diagram alir proses perekaman data akustik menggunakan Cruzpro PcFF80 dapat dilihat
pada gambar 4 , dan gambar 5 merupakan diagram alir pengambilan data menggunakan Cruzpro.
Parameter
Nilai
Frekuensi yang
200 kHz
digunakan
Transmitter power
320
(W)
Near field (m)
0.47
Gambar 5.
Diagram alir proses
Kecepatan suara
1516
perekaman data akustik
menggunakan Cruzpro
(m/s)
Durasi
pulsa
(ms)
0.4
PcFF80
Ping rate (s)
0.334
Surface gain
110
Volume Backscattering
Strength (SV)
Change rate
240
Selain
nilai Amplifier gain (dB)
surface backscattering
-20.83
TS
sphere
(dB)
-42.43
strength (SS), juga dapat
dihasilkan nilai volume
5

backscattering strength (SV) dapat diturunkan dari nilai surface backscattering strength (SS).
Dalam proses membedakan echo dari beberapa kepiting dan substrat maka dilakukan dengan
kuantifikasi sinyal gema untuk menghasilkan suatu data berdasarkan nilai rata-rata yang
diperoleh. Nilai SV dari tipe karang di ekstrak dari pantulan pertama (E1) yang mengindikasikan
tingkat kekasaran (roughness) dan pantulan kedua (E2) yang mengindikasikan tingkat kekerasan
(hardness). Nilai SV diperoleh dengan menghubungkan nilai surface backscattering coefficient
(Ss) dan bottom volume backscattering coefficient (Sv) .
Target Strength (TS) adalah ukuran daya pantul dari target setelah dikenakan suara aktif
dan merupakan fungsi dari frekuensi, aspek dan tipe target. Dapat diketahui melalui persamaan
berikut :
TS = 10 log (Ir/Ii)
(1)
Keterangan ,
TS : Target strength,
Ir :intensitas suara yang dipantulkan.
Ii : Intesitas suara yang datang.
Near Field dan Far Field
Pada saat perekaman data, transduser memancarkan suara maka akan terjadi perpindahan
energi pada lingkungan. Energi yang dipancarkan oleh transduser ke suatu medium dapat
menghilang seiring perambatan suara pada medium tersebut. Proses hilangnya energi tersebut
bergantung pada jarak Antara titik observasi terhadap transduser. Terdapat dua zona dimana
terjadi perpindahan energi saat suara dipancarkan, zona tersebut (Gambar 4) adalah Near field
dan Far field. (Lurton, 2002)

Power Spectral Density


Frekuensi sebuah gelombang secara alami ditentukan oleh frekuensi sumber. Laju
gelombang melalui sebuah medium ditentukan oleh sifat-sifat medium. Sekali frekuensi (f) dan
laju suara (v) dari gelombang sudah tertentu, maka panjang gelombang () sudah ditetapkan.
Dengan hubungan f = 1/T maka dapat diperoleh persamaan (2).

(2)
Karena pada penelitian laju suara yang digunakan pada medium zat cair, yaitu air laut.
Maka laju suara di udara yang dilambangkan dengan (v) dapat dirubah dengan laju suara di air
yang dilambangkan dengan (C), sehingga diperoleh persamaan (3)
C

f
(3)
Power Spectral Density (PSD) didefenisikan sebagai besarnya power per interval
frekuensi, dalam bentuk mate,atik (Brook dan Wynne 1991):
6

PSD =

Xn
f

( Amplitudo)
Hz

(4)
Studi Literatur

Persiapan kolam penelitian

pemilihan kepiting bakau pada Aklimatisasi


kolam penelitian
kepiting bakau pada kolam penelitian
Echosounder single beam (Cruzpro)

200 kHz

Raw data :
Analisis nilai backscattering strength kepiting bakau dan dasar kolam
200 kHz

Target Strength (TS)


E1 (kekasaran):

Scattering Volume (SV)

Deteksi hambur balik Kepiting bakau

Gambar 6 Diagram alir Penelitian


HASIL DAN PEMBAHASAN

Saat dilakukan perekaman data, transduser memancarkan gelombang suara sehingga


terjadi perpindahan energi pada lingkungan. Energi yang dipancarkan oleh transduser ke suatu
medium dapat menghilang seiring perambatan suara pada medium tersebut. Proses hilangnya
energi tersebut bergantung pada jarak antara titik observasi terhadap transduser. Near field
merupakan jarak dari permukaan transduser sampai jarak dimana terjadi fluktuasi yang tinggi
dari intensitas atau tekanan (Maclennan and Simmonds 2005). Lurton (2002) juga memaparkan
bahwa near field (zona fresnel) merupakan zona adanya pengaruh dari titik-titik yang berbeda
fase satu dengan lainnya pada saat transduser mentransmisikan suara. Gambar hasil hubungan
Antara waktu dengan nilai target dapat dilihat pada gambar 7.

E1
E2

Gambar 7 Hubungan waktu terhadap dengan Target Strength (TS)


Hasil yang terlihat pada gambar 7 dihasilkan hubungan Antara waktu terhadap nilai TS dengan
kedalaman maksimal yaitu 2.5 meter , dan rata-rata nilai Target Strength (TS) yaitu 60 dB. Nilai TS
pada waktu 0-500 s memiliki nilai yang lebih besar yaitu dengan nilai -55 dB, nilai TS pada waktu
tersebut memiliki kesamaan dengan nilai TS pada waktu 2500-3000 s. Hasil deteksi target dengan melihat
hasil dari nilai TS dapat dilihat nilai TS terkuat berada di kedalaman 0.6 meter dari transducer dengan
estimasi hal ini merupakan hasil deteksi target yang dideteksi oleh Cruzpro. Nilai Echo level 1 (E1) dapat
ditunjukkan pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai -70 dB, sedangkan nilai E2 yaitu berada pada
kedalaman 2 meter dengan nilai -70 dB sama dengan nilai TS dari E1 yang ditunjukkan dengan garis
berwarna hitam. Hasil hubungan Antara SS dengan waktu dapat dilihat pada gambar 8.

E1
E2

Gambar 8 Hubungan waktu terhadap Scattering Volume (SV)


Hasil yang terlihat pada gambar 7 dihasilkan hubungan Antara waktu terhadap nilai TS dengan
kedalaman maksimal yaitu 2.5 meter , dan rata-rata nilai Scattering Volume (SV) yaitu 60 dB. Nilai SV
pada waktu 0-500 s memiliki nilai yang lebih besar yaitu dengan nilai -55 dB, nilai TS pada waktu
tersebut memiliki kesamaan dengan nilai SV pada waktu 2500-3000 s. Hasil deteksi target dengan melihat
hasil dari nilai SV dapat dilihat nilai SV terkuat berada di kedalaman 0.6 meter dari transducer dengan
estimasi hal ini merupakan hasil deteksi target yang dideteksi oleh Cruzpro. Nilai Echo level 1 (E1) dapat
ditunjukkan pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai -70 dB, sedangkan nilai E2 yaitu berada pada
kedalaman 2 meter dengan nilai -70 dB sama dengan nilai SV dari E1 yang ditunjukkan dengan garis
berwarna hitam, hasil Antara SV dan TS tidak memiliki perbedaan karena target yang digunakan yaitu
hanya 1 kepiting bakau, sehingga target yang dihasilkan sama. Hasil Antara hubungan waktu dengan
kedalaman dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9 Hubungan Antara Echo level terhadap waktu

Pada gambar 9 diatas diperoleh hubungan Antara Echo level terhadap waktu memiliki puncak
tertinggi yaitu pada 115 dB dengan range waktu yaitu pada selang 15-25 s, dengan nilai akhir echo yaitu
berada pada waktu 70 s dengan nilai 132 dB. Hasil Fast Fourier Transform dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10 Fast Fourier Transform


Dari Cruzpro yang digunakan memiliki frekuensi yaitu 200 KHz sedangkan hasil yang
ditampilkan oleh gambar 10 menunjukkan pengaruh perubahan Antara domain frekuensi dengan domain
waktu akan membagi nilai frekuensi yaitu bagi 2. Dalam Frekuensi sample yang ditunjukkan yaitu
memiliki 200 KHz. Hasil Power Spectral Density (PSD) dari kepiting bakau dapat dilihat pada gambar
11.

Pada Gambar diatas menunjukkan nilai spectral tertinggi yaitu pada waktu 2900 s dengan
ditunjukkan pada gambar diatas yaitu berwarna pink dan nilai terendah dari PSD yang dihasilkan kepiting
yaitu pada range waktu 1000-2400s dan range waktu 3000 -3500 s. hal ini membuktikan bahwa puncak
frekuensi terhadap nilai Power Spectral Density (PSD) sebenarnya yaitu berada pada waktu 2900 s.

10

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan menggunakan Echosunder (Single beam ,
scientific Echosounder (Cruzpro PcFF80) membuktikan tidak adanya perbedaan Antara nilai
Target Strength (TS) dengan nilai Scattering Volume (SV) dengan menggunakan 1 target yaitu
target kepiting bakau, dan kedalaman suatu kolam tidak berpengaruh kepada nilai hambur balik
target.
PUSTAKA
Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, Simard Y. 2008. Acoustic seabed classification:
current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science, 65: 1004-1011.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. 2011. The State of Word Fisheries and Aquaculture.
Rome (IT) : FAO
Haris K, Chakraborty B, Ingole B, Menezes A, Srivastava R. 2012. Seabed habitat mapping
employing single and multi-beam backscatter data: A case study from the western
continental shelf of India. Cont. Shelf Res., Vol. 48: 40-49.
Hill BJ. 1976. Natural food, foregut clearance-rate and activity of the crab Scylla serrata
[abstrak]. Marine Biology 34: 109 116.
Hill F. 2007. Annual status report: Queensland mud crab fishery 2007, Queensland Department
of Primary Industries and Fisheries, Brisbane.
Johannesson KA, Mitson RB. 1983. Fisheries Acoustic A Practical Manual for Acoustic
Biomass
Estimation.
Roma:
FAO
Fisheries
Technical
Paper.
http://www.fao.org/docrep/X5818E/X5818E00.html [4 September 2015].
Kanna, A. 2002. Budidaya Kepiting Bakau : Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius. Jakarta
(ID). 80 hal.
Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acaoustic. Principles and Applications. Praxis
Publishing Ltd. Chichester. UK.
Mulya MB. 2000. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla sp) serta Keterkaitannya
dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. 96 hlm.
Simmonds J. & MacLennan D. 2005. Fisheries Acoustics: Theory and Practice, second edition.
Blackwell.
Siwabessy PJW. 2001. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and
bentho-pelagic biota using acoustic techniques [dissertation]. Australia (AU). The Curtin
University of Technology
Urick, R.J. 1975. Principles of Underwater Sound. Kingsport Press, 384 pp.

11

Вам также может понравиться