Вы находитесь на странице: 1из 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem respirasi atau sistem pernapasan adalah pergerakan oksigen dari
atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel ke udara bebas.
Pemakaian

oksigen

dan

pengeluaran

karbondioksida

diperlukan

untuk

menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh. Sistem pernapasan terdiri dari suatu
rangkaian saluran udara yang membawa udara ke dalam paru, terdiri dari hidung,
faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus (Price, 2005).
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di
negara maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi
merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya
peningkatan kesehatan, dari data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab kematian kedua di negara berkembang termasuk Indonesia
setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang
menyerang salah satu bagian dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah, dan pleura (Depkes, 2002). Sedangkan pengertian akut
adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari. Klasifikasi infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu infeksi saluran
pernapasan bagian atas yang terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis, rinosinositis,
dan otitis media. Sedangkan untuk infeksi saluran pernapasan bagian bawah
terdiri atas epiglotitis, group (laringotrakeobronkitis), bronkhitis, bronkiolitis, dan
pneumonia (Rahajoe dkk, 2012).
Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia
dibawah lima tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Penelitian oleh The
board on science and technology for internasional Develeopment (BOSTID)
menunjukkan bahwa insidensi ISPA pada anak berusia dibawah 5 tahun mencapai
12,7-16,8 episode per 100 anak perminggu (child-weeks) (Rahajoe dkk, 2012) dan

TPP Kelompok 3 Blok XIII

hampir dua juta anak meninggal setiap tahun, dan sebagian besar anak-anak ini
tinggal di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian infeksi saluran
pernapasan akut tinggi dan menyebabkan 19% menjadi 27% rawat inap pada anak
di bawah usia 5 tahun di Amerika Serikat (Peng dkk, 2009).
Di Indonesa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan kematian bayi
dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Pada
tahun 2010 cakupan penemuan pneumonia sebesar 23% dengan jumlah kasus
yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus dan untuk provinsi Jawa Tengah
didapatkan prevalensi sebesar 10,96% (Depkes, 2010). Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya, dan kunjungan pasien penderita
antara 40 % sampai 60 % rawat jalan serta 15-30 % rawat inap dari kunjungan di
Puskesmas (Depkes, 2010). Di Indonesia kasus ISPA juga masih menempati
urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan
angka kesakitan akibat ISPA masih tinggi. Angka kematian pneumonia juga masih
tinggi, yaitu kurang 5 per 1000 balita (Rahajoe dkk, 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka kami selaku kelompok 3 bermaksud untuk
melakukan TPP dengan judul Identifikasi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) di Puskesmas. Dengan adanya kegiatan ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami konsep penyakit ISPA serta dapat memahami prinsip
pencegahan penyakit sehingga mampu memberikan solusi atau anjuran pada
masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi ini ialah :
1. Apa jenis-jenis penyakit ISPA pada anak ?
2. Apa faktor risiko penyakit ISPA pada anak?
3. Bagaimana manifestasi klinis penyakit ISPA pada anak?
4. Bagaimana tatalaksana penyakit ISPA pada anak?

TPP Kelompok 3 Blok XIII

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan TPP ini adalah mengidentifikasi penyakit ISPA di
Puskesmas.
2

Tujuan Khusus
Tujuan khusus pelaksanaan TPP ini, yaitu:
1

Untuk mengetahui jenis-jenis penyakit ISPA pada anak

Untuk mengetahui faktor risiko penyakit ISPA pada anak

Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit ISPA pada anak

Untuk mengetahui tatalaksana penyakit ISPA pada anak

1.4 Manfaat
Kegiatan ini diharapkan memberi manfaat, yaitu:
1

Menambah pengetahuan tentang konsep penyakit ISPA

Dapat lebih mengenal pasien penyakit ISPA pada anak bila nanti
bertemu kasus tersebut saat di klinik dan mahasiswa mampu
mengidentifikasikan

dan

memberikan

tatalaksana

secara

komperhensif.
3

Menambah pengalaman bersosialisasi dan sopan santun terhadap


pasien.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respirasi

Gambar 1. Anatomi Sistem Respirasi


Sumber: Buku Respirologi Anak, 2012
2.1.1 Hidung
Menurut Snell (2006), hidung terdiri atas nasus externus (hidung
luar) dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang
dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar
hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris dibatasi di
lateral oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi.
Rangka nasus externus dibentuk di atas oleh os. nasale, processus
frontalis ossis maxillaries dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka
ini dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilago nasi
superior dan inferior serta kartilago septi nasi (Snell, 2006).
Cavum nasi merupakan rongga yang dipisahkan oleh septum.
Lubang depan disebut sebagai nares anterior dan lubang belakang
merupakan koana yang memisahkan antara cavum nasi dengan nasofaring.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

TPP Kelompok 3 Blok XIII

periosteum pada bagian tulang sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa
hidung. Bagian dari cavum nasi yang tepat berada di belakang nares anterior
disebut vestibulum, yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambutrambut panjang. Dasar rongga hidung melekat dengan palatum durum dan
sebagian besar dari atap hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina
kribiformis os ethmoidalis, yang memisahkannya dengan rongga tengkorak
(Boediman dan Muljono, 2008).
Cavum nasi memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat
3 buah konka, yaitu konka superior, konka media dan konka inferior.
Rongga yang terletak di antara konka disebut sebagai meatus. Bergantung
pada letaknya, meatus dibagi menjadi 3, yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung
dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan
merupakan saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara di
saluran ini, yang kemudian membentuk osteo-meatal kompleks. Adanya
kelainan pada daerah ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan
mukosiliar sehingga mempermudah terjadinya rinosinusitis. Meatus superior
merupakan muara dari sinus spenoidalis (Boediman dan Muljono, 2008).
Cavum nasi merupakan saluran respiratori primer pada saat
bernapas. Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan hidung, terdapat
tahanan sebesar lebih dari 50 %, dari seluruh tahanan pada saluran
respiratori. Tahanan tersebut dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan
dengan pernapasan mulut (Boediman dan Muljono, 2008).
2.1.2 Faring
Menurut Boediman dan Muljono (2008), faring memiliki 3 bagian
yang terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan
dengan cavum nasi, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir
adalah laringofaring.
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Orofaring
yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring, dipisahkan oleh

TPP Kelompok 3 Blok XIII

otot membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian orofaring


adalah dasar lidah (1/3 posterior lidah), palatum, ovula, dinding lateral
faring termasuk tonsila palatina serta dinding posterior faring. Laringofaring
merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan faringoepiglotika ke arah
posterior, inferior terhadap esofagus segmen atas (Boediman dan Muljono,
2008).
2.1.3

Laring
Menurut Snell (2006), laring adalah organ khusus yang mempunyai

sphincter pelindung pada pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam
pembentukan suara (fonasi). Di atas laring terbuka ke dalam laringofaring
dan di bawah laring berlanjut sebagai trakea.
Kerangka laring dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan
oleh membrana dan ligamentum dan digerakan oleh otot. Laring dilapisi
oleh membrana mukosa (Snell, 2006).
Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk seperti lembaran,
yang melekat pada dasar lidah dan kartilago tiroid. Kartilago tiroid
merupakan struktur kartilago yang terbesar pada laring, yang membentuk
jakun (Adams Apple). Kartilago tiroid terdiri atas 2 sayap atau alae yang
bergabung pada garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada
bagian depan terdapat tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian
belakang terdapat 2 prosesus, yaitu prosesus superior dan inferior. Kartilago
krikoid melekat pada daerah posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago
krikoid disatukan oleh membrane krikotiroid. Kartilago krikoid merupakan
tulang rawan yang berbentuk cincin penuh. Kartilago aritenoid merupakan
bagian dari laring yang berperan pada pergerakan pita suara. Kartilago ini
terletak di belakang kartilago tiroid dan merupakan kartilago paling bawah
dari laring. Di setiap sisi kartilago krikoid, terdapat ligamentum
krikoaritenoid, otot krikoartitenoid lateral dan otot krikoaritenoid posterior
(Boediman dan Muljono, 2008).
Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada
bagian depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini

TPP Kelompok 3 Blok XIII

disebut sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruang
yang disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot
yang disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat
pada garis tengah sampai permukaan posterior kartilago tiroid dan bagian
posterior pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah
pita suata terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang
membentang pada membran krikotiroid (Boediman dan Muljono, 2008).
2.1.4

Trakea, Brokus dan Bronkiolus


Menurut Boediman dan Muljono (2008), trakea merupakan bagian

dari saluran respiratori yang bentuknya menyerupai pipa serta memanjang


mulai dari bagian inferior laring, yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah
percabangannya (bifurcatio) yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 915 cm. Trakea terdiri dari 15-20 kartilago hyaline yang berbentuk huruf C
dengan bagian posterior yang tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat
mencegah trakea untuk kolaps. Adanya serat elastin longitudinal pada
trakea, menyebabkan trakea dapat melebar dan menyempit sesuai dengan
irama pernapasan. Trakea mengandung banyak reseptor yang sensitif
terhadap stimulus mekanik dan kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian
posterior mengandung reseptor yang berperan pada regulasi kecepatan dan
dalamnya pernapasan.
Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan
dan kiri. Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih
horizontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut
menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri.
Trakea dan bronkus terdiri dari kartilago dan dilapisi oleh epiter bersilia
yang mengandung mukus dan kelenjar serosa. Bronkus kemudian akan
bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu bronkiolus.
Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilia namun tidak mengandung kelenjar
serta dindingnya tidak mengandung jaringan kartilago (Boediman dan
Muljono, 2008).

TPP Kelompok 3 Blok XIII

2.1.5

Alveolus

Gambar 3. Alveoli
Sumber : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, 2006
Menurut Boediman dan Muljono (2008), bronkiolus berakhir pada
suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan nama
alveolus. Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks ekstraseluler yang
dikelilingi oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel
utama, yaitu sel tipe 1 yang membentuk struktur dinding alveolus dan sel
tipe 2 yang menghasilkan surfaktan. Alveolus memiliki kecenderungan
untuk kolaps karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal dan
adanya tegangan permukaan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan
adanya fosfolipid, yang dikenal dengan nama surfaktan dan pori-pori pada
dindingnya.
Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1
m. Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada
gradien konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus.
Setiap alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah (Boediman dan
Muljono, 2008).
2.2 Fisiologi Sistem Respirasi

TPP Kelompok 3 Blok XIII

Proses fisiologi pernapasan yaitu proses oksigen dipindahkan dari


udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbondioksida di keluarkan ke udara
ekspirasi. Dapat dibagi menjadi tiga stadium (Price, 2005).

Gambar 4. Fisiologi Sistem Respirasi


Sumber: Buku Ajar Fisiologi Manusia, 2012
Stadium pertama adalah ventilasi , yaitu masuknya campuran gasgas ke dalam dan keluar paru-paru. Stadium kedua transportasi , yang harus
ditinjau dari beberapa aspek yaitu difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler
paru (respirasi eksternal) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan,
distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus, dan reaksi kimia dan fisik dari
oksigen dan karbondioksida dengan darah. Respirasi sel atau respirasi
interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi
untuk mendapatkan energi, dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel (Price, 2005).
a. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih
tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja

TPP Kelompok 3 Blok XIII

mekanik otot-otot. Selama fase inspirasi, volume thoraks bertambah


besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke
atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga. Thoraks membesar ke tiga arah yaitu
anteroposterior, lateral, dan vertikal. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan inrapleura dari sekitar -4 mmHg
menjadi sekitar -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu
inspirasi (Price, 2005).
Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal menurun sampai
sekitar -2mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih
tekanan antara jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan
atmosfer. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan
pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot
intercostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung
diafragma naik ke atas ke dalam rongga thoraks, menyebabkan
volume toraks berkurang. Pengurangan volume thoraks ini
meningkatkan tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara jalan
nafas dan tekanan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan tekanan
atmosfer kembali pada akhir ekspirasi (Price,2005).

Gambar 5. Fase inspirasi

TPP Kelompok 3 Blok XIII

10

Sumber: Buku Ajar Fisiologi Manusia, 2012


b. Transportasi
Transportasi udara terjadi secara difusi yang melintasi
membran alvolus kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase
gas. Tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di
kapiler paru kira-kira sebesar 40mmHg. PO 2 kapiler lebih rendah
dari pada tekanan dalam alveolus (PAO2 =103 mmHg) sehingga
oksigen dengan mudah berdifusi kedalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah dan PaCO2 yang jauh lebih rendah (6mmHg)
menyebabkan
Karbondioksida

karbondioksida
kemudian

berdifusi

ke

dalam

alveolus.

dikeluarkan

ke

atmosfer,

yang

konsentrasinya pada hakekatnya nol (Price, 2005).


2.3 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak
2.3.1 Definisi ISPA
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan
pleura (Elsevier, 2014).
Menurut Depkes RI (2004), Infeksi Saluran Pernapasan Akut
sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam
bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan
gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran
pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah

TPP Kelompok 3 Blok XIII

11

(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran


pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam
saluran pernapasan (respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang
dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda
dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran
pernapasan

atau

struktur

yang

berhubungan

dengan

saluran

pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.


2.3.2 Klasifikasi ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), berdasarkan lokasi
anatomisnya ISPA digolongkan menjadi infeksi saluran pernapasan
atas akut dan infeksi saluran pernapasan bawah akut.
a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi saluran pernapasan atas akut adalah infeksi primer
respiratori di atas laring. Infeksi saluran pernapasan atas akut
terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis dan otitis
media (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).
1) Rhinitis (common cold)
Rhinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza,
cold atau selesma adalah salah satu dari penyakit infeksi
saluran pernapasan atas akut tersering pada anak. Rhinitis
ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi
tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa demam.
Gejala lain meliputi nyeri tenggorokan, batuk, rewel,
gangguan tidur dan penurunan nafsu makan. Pada
pemeriksaan fisik tidak menunjukkan tanda yang khas,

TPP Kelompok 3 Blok XIII

12

tetapi dapat dijumpai edema dan eritema mukosa hidung


serta limfadenopati servikal anterior (Naning, Rina dan
Amalia, 2008).
Hampir semua rhinitis disebabkan oleh virus. Virus
penyebab tersering adalah Rhinovirus, sedangkan virus lain
adalah virus Parainfluenza, Respiratory Syncytil Virus
(RSV) dan Coronavirus. Dengan demikian, antibiotik tidak
diperlukan dalam tatalaksana rhinitis. Hanya dalam
keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rhinitis yaitu
jika merupakan bagian dari faringitis seperti pada
rhinofaringitis atau nasofaringitis (Naning, Rina dan
Amalia, 2008).
2) Faringitis dan Tonsilitis
Faringitis dan tonsilitis akut sebagian besar disebabkan oleh
virus, yaitu Adenovirus, Rhinovirus, Coronavirus, dan
Influenza. Penyebab infeksi bakteri adalah Streptococci B,
Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenza
(Chapman dkk, 2005).
Manifestasi klinis adalah nyeri tenggorokan, yang biasanya
bersifat self-limiting. Gejala klinis yang lain muncul adalah
demam, malaise, lymphadenopathy, conjunctivitis, sakit
kepala, mual, dan muntah. Penatalaksanaan biasanya
bersifat supportif, tetapi penggunaan antibiotik bisa
mengurangi komplikasi yang terjadi misalnya sinusitis dan
demam rematik. Penatalaksanaan awal adalah penicilin atau
makrolida (Chapman, 2005).
3) Sinusitis

TPP Kelompok 3 Blok XIII

13

Sinus paranasal umumnya steril, ia berhubungan dengan


hidung,

sehingga

rentan

untuk

mengalami

infeksi.

Mukosiliar membersihkan drainase sinus, jika terjadi


blokade dari drainase maka akan rentan mengalami infeksi
bakteri. Awalnya sinusitis diawali dengan batuk pilek, atau
infeksi gigi. Gejala klinis yang dialami pasien adalah
demam dan nyeri sinus, yang diperburuk dengan posisi
condong ke depan. Sinusitis akut adalah radang pada sinus
paranasal yang terjadi kurang dari 3 bulan (Chapman,
2005).
Secara epidemiologi, sinusitis akut muncul 1 dari 200 kasus
infeksi saluran napas atas yang akut di dunia. Etiologi yang
paling sering dialami adalah virus dan bakteri. Virus akan
mengganggu barrier dari mukosa sehingga memproduksi
eksudat dengan disertai infeksi bakterial sekunder. Etiologi
dari bakteri yang tersering adalah S. Pneumoniae, H.
Influenzae, S. aureus dan S. Pyogenes (Chapman, 2005).
4) Otitis Media
Otitis media adalah suatu inflamasi telinga tengah
berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang merupakan
penumpukan cairan di telinga tengah. Otitis media akut
paling sering terjadi pada anak-anak dan termasuk
diagnosis yang paling sering pada anak dengan gejala
panas. Membran timpani yang cembung merupkan salah
satu tanda kecurigaan terhadap otitis media (Dadiyanto,
2008).
Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran napas yang
kemudian disertai keluhan nyeri telinga, demam dan
gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini dapat tidak
TPP Kelompok 3 Blok XIII

14

khas sehingga gejala yang timbul seperti iritabel, diare,


muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak
yang lebih besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak
nyaman pada telinga (Dadiyanto, 2008).

b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)


Infeksi saluran pernapasan bawah akut adalah infeksi dari
laring ke bawah. Infeksi saluran pernapsan bawah akut terdiri
dari epiglotitis, croup (laringotrakeobronkitis), bronkitis,
bronkiolitis dan pneumonia (Wantania, Roni dan Audrey,
2008).
1) Epiglotitis
Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari
epiglotis dan struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi
jalan napas akut dan menyebabkan kematian jika tidak
diobati.

Epiglotitis

hampir

selalu

disebabkan

oleh

Haemophilus influenza tipe B. Penyebab lain adalah


Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan
lain-lain (Yangtjik dan Fatimah, 2008).
Gambaran klinis epiglotitis antara lain demam tinggi, tidak
selalu batuk (batuk jarang), disfagia berat, dispnea,
drooling dan gambaran radiologis Positive thumb sign
(Yangtjik dan Fatimah, 2008).

2) Croup Syndrome (Laringotrakeobronkitis Akut)


Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu
grup

penyakit

heterogen

yang

mengenai

laring,

infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom


TPP Kelompok 3 Blok XIII

15

croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak,


stridor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan
napas. (Yangtjik dan Dwi, 2008).
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60%
kasus) adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1),
HPIV-2,3 dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus,
Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus campak.
Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia (Yangtjik dan Dwi, 2008).
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang
tidak begitu tinggi selama 12-72 hari, hidung berair, nyeri
menelan dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang
menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar.
Gejala sistemik yang berkembang seperti demam, malaise.
Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stidor
inspiratorik yang berat, retraksi, anak tampak gelisah, dan
akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak
terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak
akan sering menangis, rewel dan akan merasa nyaman jika
duduk di tempat tidur atau digendong (Yangtjik dan Dwi,
2008).
3) Bronkitis
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membran
mukosa bronkus disebabkan oleh infeksi mikroorganisme.
Penyebab yang paling sering adalah virus influenza,
parainfluenza, adenovirus serta rhinovirus. Bakteri yang
sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pneumonia,
tetapi

biasanya

bukan

merupakan

infeksi

primer

(Djojodibroto, 2009).

TPP Kelompok 3 Blok XIII

16

Manifestasi klinis biasanya didahului oleh gejala infeksi


saluran pernapasan bagian atas seperti hidung buntu
(stuffy), pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk
yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai
dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat
mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara,
napas dalam serta tertawa akan merangsang terjadinya
batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal dan rasa
gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat
produksi sputum yang banyak, dapat bersifat mukus tetapi
dapat juga mukopurulen. Peradangan bronkus biasanya
menyebabkan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang
memudahkan

terjadinya

bronkospasme

(Djojodibroto,

2009).
4) Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan
bawah akut yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh
virus. Sekitar 95% dari kasus tersebut secara serologis
terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Secara klinis ditandai
dengan periode pertama wheezing pada bayi yang didahului
dengan gejala ISPA (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).
Diagnosis
pemeriksaan

dapat
fisik,

ditegakkan
pemeriksaan

melalui

anamnesis,

laboratorium

dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Berdasarkan anamnesis,


gejala awal berupa gejala ISPA akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian
timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya
dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),

TPP Kelompok 3 Blok XIII

17

napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan


nafsu makan. Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah
ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi
dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga
ditemukan konjungtivitis dan faringitis. Obstruksi saluran
pernapasan bawah akibat respon inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing.
Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk
mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping
hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga
ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis
dapat terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea,
terutama pada bayi berusia < 6 minggu. Untuk menemukan
RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests
(direct

immunofluoresence

assay

dan

enzyme-linked

immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase chain


reaction (PCR) dan pengukuran titer antibodi pada fase
akut dan konvalesens (Naning, Hadianto dan Amalia,
2008).
5) Pneumonia
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri Gram negatif seperti E.
colli, Pseudomonas sp, atau Klesiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan
oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan
pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan Mycoplasma pneumoniae
(Said, 2008).
TPP Kelompok 3 Blok XIII

18

Menurut Said (2008), gambaran klinis pneumonia pada


bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala,
gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare;
kadang-kadang

ditemukan

gejala

infeksi

ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas,
retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih dan sianosis.

2. Klasifikasi ISPA Menurut Depkes RI


Menurut Depkes RI (2002), klasifikasi ISPA dibagi berdasarkan
tingkat berat ringannya.
a. ISPA Ringan
Seseorang

dinyatakan

menderita

ISPA

ringan

apabila

ditemukan gejala batuk pilek dan sesak.


b. ISPA Sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang apabila timbul
gejala sesak napas, suhu tubuh lebih dari 39 oC dan bila
bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA Berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat apabila kesadaran
menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun,
bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

19

3. Klasifikasi ISPA Menurut WHO


Berikut ini adalah klasifikasi ISPA menurut WHO:
a. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan, terdiri dari:
1) Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat yaitu
frekuensi pernapasan sama atau lebih dari 60 kali per menit
atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian
bawah.
2) Bukan pneumonia, ditandai dengan batuk dan pilek dengan
atau tanpa dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan
gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak ada tarikan
dinding dada.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun, terdiri dari:
1) Pneumonia berat, yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau
kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan
dinding dada bagian bawah. Dikenal pula diagnosis
pneumonia sangat berat, yaitu batuk atau kesukaran
bernapas yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan
anak tidak dapat minum.
2) Pneumonia, yaitu berdasarkan adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai
umur, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah. Batas
napas cepat pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun adalah 50 kali atau lebih permenit sedangkan untuk
anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun adalah 40 kali
atau lebih per menit.
3) Bukan pneumonia, meliputi batuk dan pilek dengan atau
tanpa dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah. Klasifikasi
bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di
luar pneumonia seperti rhinitis (common cold), faringitis,

TPP Kelompok 3 Blok XIII

20

tonsillitis, rhinosinusitis, otitis media, epiglotitis, croup


syndrome

(laringotrakeobronkitis),

bronkitis

dan

bronkiolitis.
2.3.3 Etiologi ISPA
Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri dari 300
jenis bakteri, virus dan ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain
adalah genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, dan
Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Myxovirus (Orthamyxoviruses dan Paramyxoviruses), Adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.

Gambar 6. Etiologi ISPA


Sumber: Buku Ajar Patofisiologi, 2005
2.3.4

Epidemiologi ISPA
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), infeksi saluran
pernapasan akut paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA
merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5
tahun dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Walaupun sebagian
besar terbatas pada saluran pernapasan atas, tetapi sekitar 5% juga
melibatkan saluran pernapasan bawah, terutama pneumonia. Anak
berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali
TPP Kelompok 3 Blok XIII

21

per tahun, tetapi biasanya ringan. Puncak insidens biasanya terjadi


pada usia 2-3 tahun.
Insidens ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih
banyak daripada negara maju. Di Indonesia, ISPA merupakan salah
satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 4060% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh
kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di
Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah
(Wantania, Roni dan Audrey, 2008).
2.3.5

Faktor Risiko Terjadinya ISPA


Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), terdapat banyak
faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini
berhubungan dengan penjamu, agen penyakit dan lingkungan.
1. Usia
Setelah dikemukakan sebelumnya, ISPA dapat ditemukan pada
50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun.
World Health Organization melaporkan bahwa di Negara
berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran pernapasan bawah
(pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain) yang merupakan penyebab
utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan
kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus
atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens
lebih tinggi pada anak laki-laki berusia 6 tahun.
3. Status Gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya ISPA.
Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada
anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin

TPP Kelompok 3 Blok XIII

22

A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Anak dengan


defisiensi vitamin A mengalami ISPA dua kali lebih banyak
daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh
karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian ASI, harus
dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk
mencegah ISPA.
4. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara
pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai
nilai proteksi terhadap ISPA, terutama selama 1 bulan pertama.
Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1
bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan
mengalami perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan
dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi
yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap infeksi saluran
pernapasan bawah akut selama tahun pertama.
5. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA. Di Negara berkembang, kematian akibat pneumonia
diperkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan
bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi berusia di
bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan
risiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi
sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak yang baru sembuh
dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA
enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak.
Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan
15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin

TPP Kelompok 3 Blok XIII

23

campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%.


Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan
pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua
penyakit ini. Vaksin pneumokokus dan H. influenza tipe B saat ini
sudah diberikan pada anak-anak dengan efektivitas yang cukup
baik.
7. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan
terbalik antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat
pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi
dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnnya
pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui
oleh orang tua dan tidak diobati.
8. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktorfaktor lain seperti nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan
kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial
ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode
ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi pada
anak dengan status sosial ekonomi rendah.
9. Penggunaan Fasilitas Kesehatan
Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan
masih rendah. Hal ini dapat berdampak pada tingkat keparahan
ISPA.
10. Penyakit Lain
Human immunodeficiency virus / AIDS serta penyakit-penyakit
lain merupakan faktor risiko ISPA. Di beberapa Negara, HIV
mulai menjadi masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan
lebih berat pada pasien HIV. Penelitian menunjukkan bahwa 25%
dari kematian HIV disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan
bawah akut.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

24

11. Lingkungan
a. Polusi Udara
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan
bahwa polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah,
berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal
ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang
dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori. Anak yang
tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di
dalam rumah berventilasi buruk.
Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Pajanan terhadap suhu dingin juga
merupakan salah satu faktor risiko pneumonia.
b. Bencana Alam
Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh dan
beberapa

negara

lain

di

dunia)

dapat

menyebabkan

peningkatan kasus dan kematian akibat ISPA, khususnya


pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah pneumonia
aspirasi akibat masuknya cairan dan benda-benda asing lain ke
dalam paru, misalnya pada keadaan hampir tenggelam. Selain
itu, di tempat pengungsian insidens ISPA juga meningkat
dikarenakan kepadatan tempat tinggal dan keadaan lingkungan
yang kurang baik.
2.3.6 Manifestasi Klinis ISPA
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap
bagian saluran pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat
peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya
sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi silia. (Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,
pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus
(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,

TPP Kelompok 3 Blok XIII

25

stridor

(suara

nafas),

dispnea

(kesakitan

bernafas),

retraksi

suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen) dan


dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan
dan mengakibatkan kematian (Elsevier, 2014).
2.3.7

Cara mendignosis penyakit ISPA


Dalam pelaksanaan Program P2 ISPA, penentuan klasifikasi
pneumonia berat dan pneumonia sekaligus merupakan penegakkan
diagnosis, sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak
dianggap sebagai penegakkan diagnosis. Jika seorang balita keadaan
penyakitnya termasuk klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosis
penyakitnya kemungkinan adalah batuk pilek biasa (common cold),
pharungitis, tonsilitis, otitis atau penyakit ISPA non pneumonia
lainnya (Depkes,2002).
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai
oleh program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan
pada adanya batuk dan kesukaran bernafas disertai peningkatan
frekuensi nafas sesuai umur. Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan
cara menghitung frekuensi pernapasan. Batas nafas cepat adalah
frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak
usia 2 bulan 1 tahun dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia
1 tahun 5 tahun. Pada anak usia < 2 bulan tidak dikenal diagnosis
pneumonia (Depkes, 2002).
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau
kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau penarikan dinding dada
sebelah bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan 5
tahun. Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat
ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang
kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. (severe chest
indrawing) (Depkes, 2002).

TPP Kelompok 3 Blok XIII

26

2.3.8

Tatalaksana penyakit ISPA


Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai
berikut (Elsevier, 2014) :

a. Pengobatan
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral, oksigen dan sebagainya.
2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata
dengan pemberian kotrimoksasol keadaan penderita menetap,
dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan antihistamin.
Bila demam, diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai
radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi
antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
b. Perawatan di rumah : Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu
untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam) : Untuk anak usia 2 bulan sampai 5
tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus
segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk
waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan.
2) Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih,
celupkan pada air (tidak perlu air es).
3) Mengatasi batuk : dianjurkan memberi obat batuk yang aman
yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis sendok teh

TPP Kelompok 3 Blok XIII

27

dicampur dengan kecap atau madu sendok teh, diberikan tiga


kali sehari.
4) Pemberian makanan: berikan makanan yang cukup gizi, sedikitsedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya,
lebih-lebih jika muntah.
5) Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
6) Pemberian minuman : usahakan pemberian cairan (air putih, air
buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan
membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
2.3.9 Cara Penularan ISPA
Pada umumnya ISPA termasuk kedalam penyakit menular
yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita
ISPA yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin
dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya
kuman penyebab ISPA kedalam saluran pernapasan yaitu bersama
udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara penularan
langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh
penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar
penderita,

transmisi

langsung

dapat

juga

melalui

ciuman,

memegang/menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran


pernapasan penderita (Depkes RI, 2002).
2.3.10 Pencegahan
Menurut Depkes RI (2002), ISPA dapat dicegah dengan cara berikut
ini:
1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan
mencegah kita atau terhindar dari penyakit yang terutama penyakit
ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima
sempurna, banyak minum air putih, olahraga dengan teratur, serta
istirahat yang cukup, semuanya itu akan menjaga badan kita tetap
sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita

TPP Kelompok 3 Blok XIII

28

akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus ataupun


bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
2) Imunisasi
Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anakanak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk menjaga
kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai
macam penyakit yang disebabkan oleh virus/bakteri.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang
baik akan mengurangi polusi asap dapur/asap rokok yang ada di
dalam rumah, sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap
tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi
yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar
tetap segar dan sehat bagi manusia.
4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh
virus/ bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit
penyakit ini melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam
tubuh orang lain. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri
di udara yang umumnya berbentuk aerosol (suspensi yang
melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni droplet nuclei
(sisa dari sekresi saluran pernapasan yang dikeluarkan dari tubuh
secara droplet dan melayang di udara berisi bibit penyakit). Oleh
karena itu, kontak langsung anak dengan penderita ISPA harus
dihindari.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

29

BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1

Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi dilaksanakan di Puskesmas Kertapati Jl.

Abikusno Komplek Semen Baturaja Kecamatan Kertapati Palembang.


3.2

Waktu Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada:

3.3

Hari

: Kamis

Tanggal

: 25 Juni 2015

Pukul

: 08.00 s.d selesai

Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan TPP ini adalah pasien anak

penderita ISPA.
3.4

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada Tugas Pengenalan profesi kali ini
adalah panduan observasi/ daftar wawancara, alat tulis, dan alat perekam.

3.5

Langkah-Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan adalah:
1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
2. Menyiapkan daftar tilikan dalam melakukan observasi.
3. Konsultasi kepada pembimbing.
4. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi.
5. Membuat janji dengan pihak pengelola/ narasumber.
6. Melakukan observasi.
7. Mencatat kembali hasil observasi.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

30

8. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dan membuat


kesimpulan hasil observasi.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

31

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1

Hasil
Dari kegiatan wawancara yang kami lakukan dengan tenaga medis pada

saat Tugas Pengenalan Profesi, didapatkan hasil sebagai berikut:


4.1.1 Pasien Pertama
Nama

: MA

Umur

: 4,5 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Berat badan

: 16 kg

Tinggi badan

: 108 cm

Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu


Batuk

Keluhan Tambahan

berdahak

berwarna

hijau

kekuning-kuningan sejak 1 hari yang


lalu, demam disertai susah tidur dan
badannya lemas

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Makanan
Riwayat Pengobatan Dahulu
Riwayat Keluarga

9 bulan yang lalu pernah mengalami


sesak nafas
Sering

mengkonsumsi

makanan

ringan (coklat, snack)


9

bulan

yang

lalu,

pernah

menggunakan inhaler
Ibu pasien pernah mengalami asma
1. Pneumonia

Diagnosis Banding
2. Asma
Pemeriksaan Tambahan

Pernah dilakukan rontgen thorax


dengan hasil normal

Diagnosa Kerja

Pneumonia

Tatalaksana

1. Kotrimoksazol Sirup 2 x sehari, 1

TPP Kelompok 3 Blok XIII

32

sdm
2. Paracetamol Sirup 3 x sehari, 1
sdm
3. Deksametason 2 x tablet
4. GG 3 x tablet
4.1.2 Pasien Kedua
Nama

:H

Umur

: 1,8 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Berat badan

: 12 kg

Tinggi badan

: 99 cm

Keluhan Utama

Batuk dan Pilek sejak 3 hari yang lalu

Keluhan Tambahan

Nafsu makan menurun

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada data

Riwayat Makanan

Tidak ada data

Riwayat Pengobatan Dahulu

Tidak ada data

Riwayat Keluarga

Tidak ada data

Diagnosis Banding

Tidak ada data

Pemeriksaan Tambahan

Tidak ada data

Diagnosa Kerja

Common Cold
1. Kotrimoksazol Sirup 2 x sehari

Tatalaksana
2. GG 3 x sehari tablet.

4.2 Pembahasan
Dari hasil wawancara yang kami lakukan pada petugas medis di
Puskesmas Kertapati, jenis-jenis penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang ditemukan pada pasien di Puskesmas Kertapati terdapat 2 jenis

TPP Kelompok 3 Blok XIII

33

penyakit, yaitu Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Pneumonia dan
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Common Cold.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ISPA di
klasifikasikan berdasarkan letak anatominya, yaitu Infeksi Saluran Pernafasan
Atas Akut dan Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Infeksi Saluran
Pernafasan Atas Akut terdiri dari penyakit rhinitis (common cold), tonsillitis,
faringitis, sinusitis, dan otitis media. Pada Infeksi Saluran Pernafasan Bawah
Akut terdiri dari penyakit epiglottitis, croup syndrome (laringotrakeobronkial
akut), bronchitis, bronkiolitis, dan pneumonia (Said, 2008).
Faktor risiko pada pasien yang pertama dan kedua adalah usia. Hal ini
berdasarkan teori ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5
tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. World Health Organization melaporkan
bahwa di Negara berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran pernapasan bawah
(pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain) adalah penyebab utama dari empat
penyebab terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak
berusia di bawah 1 tahun (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).
Faktor risiko yang ditemukan pada pasien kedua selain usia adalah jenis
kelamin. Hal ini sesuai dengan teori, pada umumnya, tidak ada perbedaan
insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu
insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia 6 tahun (Wantania, Roni dan
Audrey, 2008).
Di Puskesmas Kertapati didapatkan 2 orang anak menderita ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut). Pada pasien pertama yaitu seorang anak laki-laki
bernama M.A, 4,5 tahun didiagnosa menderita ISPbA (pneumonia). Pasien
datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu dan batuk
berdahak berwarna hijau kekuningan sejak 1 hari yang lalu, demam disertai
susah tidur dan badan lemas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada penderita
ISPbA (pneumonia) dapat ditemukan gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner dan

gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas,


TPP Kelompok 3 Blok XIII

34

retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis
(Said, 2008).
Pada pasien kedua yaitu seorang anak perempuan bernama H,1,8 tahun
didiagnosa menderita common cold. Pasien datang dengan keluhan batuk dan
pilek sejak 3 hari yang lalu, disertai penurunan nafsu makan. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa pada penderita ISPaA (common cold) dapat ditemukan
gejala Rhinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi
tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa demam. Gejala lain meliputi
nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan tidur dan penurunan nafsu makan
(Naning, Rina dan Amalia, 2008).
Untuk tatalaksana pada pasien pertama, diberikan obat kotrimoksazol sirup
2 x sehari 1 sdm, paracetamol sirup 3 x sehari 1 sdm, deksametason 2 x tablet
dan GG 3 x sehari

tablet. Lalu, pasien kedua mendapatkan obat

kotrimoksazol sirup 2 x sehari dan GG 3 x sehari tablet.


Pemberian kotrimoksazol pada M.A sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa banyak penderita pneumonia diberikan agen antibiotik pada mulanya jika
dicurigai pneumonia bakteria. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka M.A dicurigai
mengalami pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sehingga ia diberikan
kotrimoksazol yang merupakan antibiotik, sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa kotrimoksazol adalah antibiotik yang merupakan kombinasi trimetoprim
dan sulfametoksazol dengan perbandingan 1:5. Kombinasi tersebut mempunyai
aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat pada dua tahap sintesis asam
nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme. Kotrimoksazol
mempunyai spectrum aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri gram-positif dan
gram-negatif, misalnya Streptococci, Staphylococci, Pneumococci, Neisseria,
Bordetella, Klabsiella, Shigella dan Fibriokolera. Kotrimoksazol juga efektif
terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain seperti H. Influenzae, E.
coli, P. mirrabilis, P. vulgaris dan berbagai strain Staphylococci (Petri, 2008).
Obat paracetamol yang diberikan kepada M.A untuk menurunkan
demamnya telah sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa obat asetaminofen
(parasetamol) merupakan pengganti aspirin yang cocok untuk penggunaan

TPP Kelompok 3 Blok XIII

35

analgesic dan antipiretik. Terapi antipiretik diberikan untuk pasien yang keadaan
demamnya dapat membahayakan dan untuk pasien yang mengalami peredaan
besar jika demamnya diturunkan (L. Jackson Robert dan Jason D. Morrow,
2008).
Obat deksametason 2 x tablet yang diberikan pada M.A yang
didiagnosis pneumonia telah sesuai dengan beberapa teori yang ada dan saling
berhubungan karena pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan
konsolidasi ruang alveolar (Carter & Marshall, 2014) sedangkan deksametason
yang merupakan salah satu contoh dari beberapa kortikosteroid sintetik secara
dramatis mengurangi manifestasi peradangan (Chrousos, 2010).
Pemberian obat GG 3 x sehari tablet pada M.A telah sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa obat GG (Gliseril Guaiakolat) digunakan sebagai
ekspektoran

dimana

ekspektoran

berfungsi

sebagai

obat

yang

dapat

menstimulus pengeluaran dahak dari saluran napas atau ekspektorasi. Indikasi


penggunaan obat GG digunakan untuk batuk yang membutuhkan pengeluaran
dahak. Dosis oral obat GG untuk anak-anak adalah sehari 3 kali 1/2 1 tablet
(Tjay, 2007).
Pada pasien kedua, ia didiagnosis mengalami common cold. Berdasarkan
teori yang ada banyak virus respiratori yang dapat menyebabkan selesma
(common cold). Virus yang terutama menjadi penyebab selesma adalah
rhinovirus dan yang lebih jarang adalah coronavirus (Carter & Marshall, 2014).
Oleh karena itu, pemberian obat kotrimoksazol sirup 2 x sehari pada pasien
common cold bukan merupakan terapi yang tepat karena menurut teori yang ada,
kotrimoksazol adalah antibiotik yang mempunyai spektrum aktivitas luas dan
efektif terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif (Petri, 2008). Adapun
terapi terbaik pada flu virus tanpa komplikasi mungkin berupa istirahat baring
dan isolasi sekitar dua hari. Hidrasi yang memadai dipastikan dengan alat
pelembab udara uap dingin, masukkan cairan yang banyak, dan pemberian tetes
hidung salin (Adams & Hilger, 2013).
Selain itu, ia juga diberikan obat GG x sehari tablet seperti pasien
pertama untuk menghilangkan batuk. Hal tersebut sesuai dengan teori yang

TPP Kelompok 3 Blok XIII

36

mengatakan bahwa obat GG (Gliseril Guaiakolat) digunakan sebagai


ekspektoran

dimana

ekspektoran

berfungsi

sebagai

obat

yang

dapat

menstimulus pengeluaran dahak dari saluran napas atau ekspektorasi. Indikasi


penggunaan obat GG digunakan untuk batuk yang membutuhkan pengeluaran
dahak. Dosis oral obat GG untuk anak-anak adalah sehari 3 kali 1/2 1 tablet
(Tjay, 2007).

TPP Kelompok 3 Blok XIII

37

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada pelaksanaan Tugas Pengenalan
Profesi kali ini adalah:
1. Jenis-jenis penyakit ISPA pada anak yang didapat di Puskesmas Kertapati,
ialah Common Cold dan Pneumonia.
2. Faktor risiko pada pasien penyakit ISPA pada anak yang Common Cold
dan pneumonia adalah usia, dan jenis kelamin.
3. Manifestasi klinis Common Cold, yaitu batuk, pilek dan nafsu makan
menurun. Sedangkan pada pneumonia yaitu, sesak nafas, batuk berdahak
berwarna hijau kekuning-kuningan, demam disertai susah tidur dan
badannya lemas.
4. Tatalaksana pada pasien Common Cold mendapatkan obat kotrimoksazol
sirup dan GG. Lalu, pada pasien pneumonia, diberikan obat kotrimoksazol
sirup, paracetamol sirup, deksametason dan GG.
5.2 Saran
Adapun saran pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi
kali ini untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada anak
disarankan kepada masyarakat adalah:
1. Menjaga asupan nutrisi anak.
2. Menjaga kebersihan baik perorangan serta lingkungan
sekitar.
3. Mencegah kontak langsung dengan penderita ISPA.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

38

DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Botes, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies Buku Ajar Penyakit THT;
Penyakit Hidung. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal. 207
Boediman dan Muljono Wirjodiardjo. 2008. Anatomi Sistem Respiratori dalam
Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Carter, E.R., dan Marshall, Susan., 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial:
Selesma. (Editor) Darmawan, B.S., dan Fauzie, R. Singapura: Pte.Ltd. Hal.
512
Chapman S, dkk. 2005. Acute upper respiratory tract infections (URTIs) dalam
Oxford Handbook of Respiratory Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford
University Press.
Chrousos, G.P., 2010. Buku Farmakologi Dasar & Klinik; Adrenokortikosteroid
& Antagonis Adrenokortikal. Edisi 10. Jakarta; EGC. Hal. 660
Dadiyanto, Dwi Wastoro. 2008. Otitis Media dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Depkes RI., 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta. http//
Litbang.Depkes.co.id.
Depkes RI., 2010. Anak dengan Gizi Baik Menjadi Aset dan Investasi Bangsa di
Masa Depan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta :
EGC.
Elsevier, Saunders. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. IDAI
Muttaqin, Arif.2008. Buku Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

39

Naning, Roni, Hadianto Ismangoen dan Amalia Setyati. 2008. Bronkitis Akut
dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
___________, Rina Triasih dan Amaliah Setyati. 2008. Rinitis dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Peng. Dan, Dongchi Zhao., Jingtao Liu., Xia Wang., Kun Yang., Hong
Xicheng.,Yang Li., dan Fubing Wang., 2009. Multipathogen Infections in
Hospitalized Children with Acute Respiratory Infections.
Petri, A.W., 2008. Buku Dasar Farmakologi Terapi Goodman & Gilman; Senyawa
Antimikroba Sulfonamida, Trimetoprim-Sulfametoksazol, Kuinolon, dan
Obat untuk Infeksi Saluran Urin. Edisi 10. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A dkk. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
ed.6 Volume 2. Jakarta : EGC
Rahajoe N., Supriyatno B., dan Setyanto Budi D., 2012. Buku Ajar Respirologi
Anak, cetakan ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ridwan, Hibsah, dkk. 2012. Modul Pembelajaran Blok VII Imunologi dan Infeksi.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Robert, L.J., dan Morrow, J.D., 2008. Buku Dasar Farmakologi Terapi Goodman
& Gilman; Senyawa Analgesik-Antipiretik Dan Antiradang Serta ObatObat Yang Digunakan Dalam Penanganan Pirai. Edisi 10. Jakarta: EGC
Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta :
EGC.
Suhandayani, I. 2007. Faktor faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. Semarang:
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

40

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
efek-efek sampingnya. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Hal.193
Wantania, Jan M., Roni Naning, Audrey Wahani. 2008. Infeksi Respiratori Akut
dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Yangtjik, Kiagus dan Fatimah Arifin. 2008. Epiglotitis dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
______________

dan

Dwi

Wastoro

Dadiyanto.

2008.

Croup

(Laringotrakeobronkitis Akut) dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:


Ikatan Dokter Anak Indonesia.

TPP Kelompok 3 Blok XIII

41

LAMPIRAN 1. FOTO HASIL TUGAS PENGENALAN PROFESI

Gambar 1. Proses wawancara bersama salah satu Tenaga Medis di Puskesmas


Kertapati

Gambar 2. Foto seluruh anggota tutorial 3 bersama seluruh Tenaga Medis di


Puskesmas Kertapati

TPP Kelompok 3 Blok XIII

42

LAMPIRAN 2. DAFTAR WAWANCARA TUGAS PENGENALAN


PROFESI

Data Identitas Pasien


Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Usia

Alamat

1. Apa keluhan awal yang Anda rasakan ?


Jawab :

2. Sudah berapa lama keluhan tersebut Anda alami ?


Jawab :

3. Apa keluhan lain yang Anda rasakan selain keluhan utama?


Jawab :

4. Apa makanan yang sering Anda konsumsi?


Jawab :

TPP Kelompok 3 Blok XIII

43

5. Apakah di keluarga Anda ada yang menderita penyakit yg sama seperti


Anda ?
Jawab :

6. Apa saja pengobatan yang sudah Anda jalani ?


Jawab :

7. Apa komplikasi yang Anda alami ?


Jawab :
Mewawancarai dokter
1. Bagaimana cara mendiagnosis penyakitnya?
Jawab :

2. Bagaimana tatalaksana dari penyakitnya?


Jawab :

3. Bagaimana pencegahan dari penyakitnya?


Jawab :

TPP Kelompok 3 Blok XIII

44

Вам также может понравиться

  • BAB I Case Panu
    BAB I Case Panu
    Документ2 страницы
    BAB I Case Panu
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • BAB V Case Panu
    BAB V Case Panu
    Документ2 страницы
    BAB V Case Panu
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • BAB I Case Panu
    BAB I Case Panu
    Документ2 страницы
    BAB I Case Panu
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • PENGELOLAAN AIRWAY Dan Breathing
    PENGELOLAAN AIRWAY Dan Breathing
    Документ20 страниц
    PENGELOLAAN AIRWAY Dan Breathing
    Mohammad Pino Hakim
    Оценок пока нет
  • Bab 2 Ikm
    Bab 2 Ikm
    Документ20 страниц
    Bab 2 Ikm
    Alqodri Setiawan
    Оценок пока нет
  • Ringkasan D
    Ringkasan D
    Документ12 страниц
    Ringkasan D
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • InfertilitasPasangan
    InfertilitasPasangan
    Документ29 страниц
    InfertilitasPasangan
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Ringkasan Histo
    Ringkasan Histo
    Документ7 страниц
    Ringkasan Histo
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Ringkasan C
    Ringkasan C
    Документ12 страниц
    Ringkasan C
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • BAB II Case Panu
    BAB II Case Panu
    Документ20 страниц
    BAB II Case Panu
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Ringkasan B
    Ringkasan B
    Документ13 страниц
    Ringkasan B
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Kehamilan Ektopik Terganggu
    Kehamilan Ektopik Terganggu
    Документ24 страницы
    Kehamilan Ektopik Terganggu
    Muhammad Alif
    Оценок пока нет
  • Ringkasan A
    Ringkasan A
    Документ14 страниц
    Ringkasan A
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Jawaban Tutor Blok 17 Rido
    Jawaban Tutor Blok 17 Rido
    Документ21 страница
    Jawaban Tutor Blok 17 Rido
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Tambahan S.B T.1 XVII
    Tambahan S.B T.1 XVII
    Документ16 страниц
    Tambahan S.B T.1 XVII
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • KURETASE
    KURETASE
    Документ22 страницы
    KURETASE
    Prashana Velayutham
    Оценок пока нет
  • Ringkasan Osoca Skenario B
    Ringkasan Osoca Skenario B
    Документ22 страницы
    Ringkasan Osoca Skenario B
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Tambahan S.B T.1 XVII
    Tambahan S.B T.1 XVII
    Документ16 страниц
    Tambahan S.B T.1 XVII
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • MCQ 17
    MCQ 17
    Документ38 страниц
    MCQ 17
    Putri Utami Pratiwi
    100% (1)
  • MAKNA_KONTRASEPSI
    MAKNA_KONTRASEPSI
    Документ3 страницы
    MAKNA_KONTRASEPSI
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Jawab S.B t.1 Xvii
    Jawab S.B t.1 Xvii
    Документ20 страниц
    Jawab S.B t.1 Xvii
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Tutorial Skenario A Blok 3
    Tutorial Skenario A Blok 3
    Документ59 страниц
    Tutorial Skenario A Blok 3
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Tutorial Skenario A Blok 3
    Tutorial Skenario A Blok 3
    Документ59 страниц
    Tutorial Skenario A Blok 3
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • S.A T.1 Xvii
    S.A T.1 Xvii
    Документ32 страницы
    S.A T.1 Xvii
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Soal MTB
    Soal MTB
    Документ8 страниц
    Soal MTB
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Proposal - COVER B10 T2
    Proposal - COVER B10 T2
    Документ1 страница
    Proposal - COVER B10 T2
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • MCQ 17
    MCQ 17
    Документ38 страниц
    MCQ 17
    Putri Utami Pratiwi
    100% (1)
  • Ske A Adm Kese - Pendproskes Blok 18 2011
    Ske A Adm Kese - Pendproskes Blok 18 2011
    Документ57 страниц
    Ske A Adm Kese - Pendproskes Blok 18 2011
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Os B 18
    Os B 18
    Документ12 страниц
    Os B 18
    Putri Utami Pratiwi
    Оценок пока нет
  • Fix Skenario A
    Fix Skenario A
    Документ27 страниц
    Fix Skenario A
    Fauziah Nabila
    Оценок пока нет