Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem respirasi atau sistem pernapasan adalah pergerakan oksigen dari
atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel ke udara bebas.
Pemakaian
oksigen
dan
pengeluaran
karbondioksida
diperlukan
untuk
menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh. Sistem pernapasan terdiri dari suatu
rangkaian saluran udara yang membawa udara ke dalam paru, terdiri dari hidung,
faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus (Price, 2005).
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di
negara maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi
merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya
peningkatan kesehatan, dari data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab kematian kedua di negara berkembang termasuk Indonesia
setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang
menyerang salah satu bagian dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah, dan pleura (Depkes, 2002). Sedangkan pengertian akut
adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari. Klasifikasi infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu infeksi saluran
pernapasan bagian atas yang terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis, rinosinositis,
dan otitis media. Sedangkan untuk infeksi saluran pernapasan bagian bawah
terdiri atas epiglotitis, group (laringotrakeobronkitis), bronkhitis, bronkiolitis, dan
pneumonia (Rahajoe dkk, 2012).
Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia
dibawah lima tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Penelitian oleh The
board on science and technology for internasional Develeopment (BOSTID)
menunjukkan bahwa insidensi ISPA pada anak berusia dibawah 5 tahun mencapai
12,7-16,8 episode per 100 anak perminggu (child-weeks) (Rahajoe dkk, 2012) dan
hampir dua juta anak meninggal setiap tahun, dan sebagian besar anak-anak ini
tinggal di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian infeksi saluran
pernapasan akut tinggi dan menyebabkan 19% menjadi 27% rawat inap pada anak
di bawah usia 5 tahun di Amerika Serikat (Peng dkk, 2009).
Di Indonesa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan kematian bayi
dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Pada
tahun 2010 cakupan penemuan pneumonia sebesar 23% dengan jumlah kasus
yang ditemukan sebanyak 499.259 kasus dan untuk provinsi Jawa Tengah
didapatkan prevalensi sebesar 10,96% (Depkes, 2010). Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya, dan kunjungan pasien penderita
antara 40 % sampai 60 % rawat jalan serta 15-30 % rawat inap dari kunjungan di
Puskesmas (Depkes, 2010). Di Indonesia kasus ISPA juga masih menempati
urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan
angka kesakitan akibat ISPA masih tinggi. Angka kematian pneumonia juga masih
tinggi, yaitu kurang 5 per 1000 balita (Rahajoe dkk, 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka kami selaku kelompok 3 bermaksud untuk
melakukan TPP dengan judul Identifikasi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) di Puskesmas. Dengan adanya kegiatan ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami konsep penyakit ISPA serta dapat memahami prinsip
pencegahan penyakit sehingga mampu memberikan solusi atau anjuran pada
masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi ini ialah :
1. Apa jenis-jenis penyakit ISPA pada anak ?
2. Apa faktor risiko penyakit ISPA pada anak?
3. Bagaimana manifestasi klinis penyakit ISPA pada anak?
4. Bagaimana tatalaksana penyakit ISPA pada anak?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan TPP ini adalah mengidentifikasi penyakit ISPA di
Puskesmas.
2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus pelaksanaan TPP ini, yaitu:
1
1.4 Manfaat
Kegiatan ini diharapkan memberi manfaat, yaitu:
1
Dapat lebih mengenal pasien penyakit ISPA pada anak bila nanti
bertemu kasus tersebut saat di klinik dan mahasiswa mampu
mengidentifikasikan
dan
memberikan
tatalaksana
secara
komperhensif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respirasi
periosteum pada bagian tulang sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa
hidung. Bagian dari cavum nasi yang tepat berada di belakang nares anterior
disebut vestibulum, yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambutrambut panjang. Dasar rongga hidung melekat dengan palatum durum dan
sebagian besar dari atap hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina
kribiformis os ethmoidalis, yang memisahkannya dengan rongga tengkorak
(Boediman dan Muljono, 2008).
Cavum nasi memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat
3 buah konka, yaitu konka superior, konka media dan konka inferior.
Rongga yang terletak di antara konka disebut sebagai meatus. Bergantung
pada letaknya, meatus dibagi menjadi 3, yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung
dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan
merupakan saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara di
saluran ini, yang kemudian membentuk osteo-meatal kompleks. Adanya
kelainan pada daerah ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan
mukosiliar sehingga mempermudah terjadinya rinosinusitis. Meatus superior
merupakan muara dari sinus spenoidalis (Boediman dan Muljono, 2008).
Cavum nasi merupakan saluran respiratori primer pada saat
bernapas. Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan hidung, terdapat
tahanan sebesar lebih dari 50 %, dari seluruh tahanan pada saluran
respiratori. Tahanan tersebut dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan
dengan pernapasan mulut (Boediman dan Muljono, 2008).
2.1.2 Faring
Menurut Boediman dan Muljono (2008), faring memiliki 3 bagian
yang terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan
dengan cavum nasi, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir
adalah laringofaring.
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Orofaring
yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring, dipisahkan oleh
Laring
Menurut Snell (2006), laring adalah organ khusus yang mempunyai
sphincter pelindung pada pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam
pembentukan suara (fonasi). Di atas laring terbuka ke dalam laringofaring
dan di bawah laring berlanjut sebagai trakea.
Kerangka laring dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan
oleh membrana dan ligamentum dan digerakan oleh otot. Laring dilapisi
oleh membrana mukosa (Snell, 2006).
Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk seperti lembaran,
yang melekat pada dasar lidah dan kartilago tiroid. Kartilago tiroid
merupakan struktur kartilago yang terbesar pada laring, yang membentuk
jakun (Adams Apple). Kartilago tiroid terdiri atas 2 sayap atau alae yang
bergabung pada garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada
bagian depan terdapat tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian
belakang terdapat 2 prosesus, yaitu prosesus superior dan inferior. Kartilago
krikoid melekat pada daerah posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago
krikoid disatukan oleh membrane krikotiroid. Kartilago krikoid merupakan
tulang rawan yang berbentuk cincin penuh. Kartilago aritenoid merupakan
bagian dari laring yang berperan pada pergerakan pita suara. Kartilago ini
terletak di belakang kartilago tiroid dan merupakan kartilago paling bawah
dari laring. Di setiap sisi kartilago krikoid, terdapat ligamentum
krikoaritenoid, otot krikoartitenoid lateral dan otot krikoaritenoid posterior
(Boediman dan Muljono, 2008).
Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada
bagian depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini
disebut sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruang
yang disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot
yang disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat
pada garis tengah sampai permukaan posterior kartilago tiroid dan bagian
posterior pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah
pita suata terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang
membentang pada membran krikotiroid (Boediman dan Muljono, 2008).
2.1.4
2.1.5
Alveolus
Gambar 3. Alveoli
Sumber : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, 2006
Menurut Boediman dan Muljono (2008), bronkiolus berakhir pada
suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan nama
alveolus. Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks ekstraseluler yang
dikelilingi oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel
utama, yaitu sel tipe 1 yang membentuk struktur dinding alveolus dan sel
tipe 2 yang menghasilkan surfaktan. Alveolus memiliki kecenderungan
untuk kolaps karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal dan
adanya tegangan permukaan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan
adanya fosfolipid, yang dikenal dengan nama surfaktan dan pori-pori pada
dindingnya.
Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1
m. Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada
gradien konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus.
Setiap alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah (Boediman dan
Muljono, 2008).
2.2 Fisiologi Sistem Respirasi
10
karbondioksida
kemudian
berdifusi
ke
dalam
alveolus.
dikeluarkan
ke
atmosfer,
yang
11
atau
struktur
yang
berhubungan
dengan
saluran
12
13
sehingga
rentan
untuk
mengalami
infeksi.
14
Epiglotitis
hampir
selalu
disebabkan
oleh
penyakit
heterogen
yang
mengenai
laring,
15
biasanya
bukan
merupakan
infeksi
primer
(Djojodibroto, 2009).
16
terjadinya
bronkospasme
(Djojodibroto,
2009).
4) Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan
bawah akut yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh
virus. Sekitar 95% dari kasus tersebut secara serologis
terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Secara klinis ditandai
dengan periode pertama wheezing pada bayi yang didahului
dengan gejala ISPA (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).
Diagnosis
pemeriksaan
dapat
fisik,
ditegakkan
pemeriksaan
melalui
anamnesis,
laboratorium
dan
17
immunofluoresence
assay
dan
enzyme-linked
18
ditemukan
gejala
infeksi
ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas,
retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih dan sianosis.
dinyatakan
menderita
ISPA
ringan
apabila
19
20
(laringotrakeobronkitis),
bronkitis
dan
bronkiolitis.
2.3.3 Etiologi ISPA
Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri dari 300
jenis bakteri, virus dan ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain
adalah genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, dan
Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Myxovirus (Orthamyxoviruses dan Paramyxoviruses), Adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.
Epidemiologi ISPA
Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), infeksi saluran
pernapasan akut paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA
merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5
tahun dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Walaupun sebagian
besar terbatas pada saluran pernapasan atas, tetapi sekitar 5% juga
melibatkan saluran pernapasan bawah, terutama pneumonia. Anak
berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali
TPP Kelompok 3 Blok XIII
21
22
23
24
11. Lingkungan
a. Polusi Udara
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan
bahwa polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah,
berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal
ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang
dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori. Anak yang
tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka
insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di
dalam rumah berventilasi buruk.
Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan
terhadap pneumonia. Pajanan terhadap suhu dingin juga
merupakan salah satu faktor risiko pneumonia.
b. Bencana Alam
Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh dan
beberapa
negara
lain
di
dunia)
dapat
menyebabkan
25
stridor
(suara
nafas),
dispnea
(kesakitan
bernafas),
retraksi
26
2.3.8
a. Pengobatan
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral, oksigen dan sebagainya.
2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila
penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata
dengan pemberian kotrimoksasol keadaan penderita menetap,
dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan antihistamin.
Bila demam, diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai
radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi
antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
b. Perawatan di rumah : Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu
untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam) : Untuk anak usia 2 bulan sampai 5
tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus
segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk
waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan.
2) Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih,
celupkan pada air (tidak perlu air es).
3) Mengatasi batuk : dianjurkan memberi obat batuk yang aman
yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis sendok teh
27
transmisi
langsung
dapat
juga
melalui
ciuman,
28
29
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1
Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi dilaksanakan di Puskesmas Kertapati Jl.
Waktu Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi akan dilaksanakan pada:
3.3
Hari
: Kamis
Tanggal
: 25 Juni 2015
Pukul
penderita ISPA.
3.4
3.5
Langkah-Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan adalah:
1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi.
2. Menyiapkan daftar tilikan dalam melakukan observasi.
3. Konsultasi kepada pembimbing.
4. Menyiapkan surat permohonan izin melakukan kegiatan Tugas
Pengenalan Profesi.
5. Membuat janji dengan pihak pengelola/ narasumber.
6. Melakukan observasi.
7. Mencatat kembali hasil observasi.
30
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Dari kegiatan wawancara yang kami lakukan dengan tenaga medis pada
: MA
Umur
: 4,5 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Berat badan
: 16 kg
Tinggi badan
: 108 cm
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
berdahak
berwarna
hijau
mengkonsumsi
makanan
bulan
yang
lalu,
pernah
menggunakan inhaler
Ibu pasien pernah mengalami asma
1. Pneumonia
Diagnosis Banding
2. Asma
Pemeriksaan Tambahan
Diagnosa Kerja
Pneumonia
Tatalaksana
32
sdm
2. Paracetamol Sirup 3 x sehari, 1
sdm
3. Deksametason 2 x tablet
4. GG 3 x tablet
4.1.2 Pasien Kedua
Nama
:H
Umur
: 1,8 Tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Berat badan
: 12 kg
Tinggi badan
: 99 cm
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Riwayat Makanan
Riwayat Keluarga
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Tambahan
Diagnosa Kerja
Common Cold
1. Kotrimoksazol Sirup 2 x sehari
Tatalaksana
2. GG 3 x sehari tablet.
4.2 Pembahasan
Dari hasil wawancara yang kami lakukan pada petugas medis di
Puskesmas Kertapati, jenis-jenis penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang ditemukan pada pasien di Puskesmas Kertapati terdapat 2 jenis
33
penyakit, yaitu Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Pneumonia dan
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Common Cold.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ISPA di
klasifikasikan berdasarkan letak anatominya, yaitu Infeksi Saluran Pernafasan
Atas Akut dan Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Infeksi Saluran
Pernafasan Atas Akut terdiri dari penyakit rhinitis (common cold), tonsillitis,
faringitis, sinusitis, dan otitis media. Pada Infeksi Saluran Pernafasan Bawah
Akut terdiri dari penyakit epiglottitis, croup syndrome (laringotrakeobronkial
akut), bronchitis, bronkiolitis, dan pneumonia (Said, 2008).
Faktor risiko pada pasien yang pertama dan kedua adalah usia. Hal ini
berdasarkan teori ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5
tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. World Health Organization melaporkan
bahwa di Negara berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran pernapasan bawah
(pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain) adalah penyebab utama dari empat
penyebab terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak
berusia di bawah 1 tahun (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).
Faktor risiko yang ditemukan pada pasien kedua selain usia adalah jenis
kelamin. Hal ini sesuai dengan teori, pada umumnya, tidak ada perbedaan
insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi, ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu
insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia 6 tahun (Wantania, Roni dan
Audrey, 2008).
Di Puskesmas Kertapati didapatkan 2 orang anak menderita ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut). Pada pasien pertama yaitu seorang anak laki-laki
bernama M.A, 4,5 tahun didiagnosa menderita ISPbA (pneumonia). Pasien
datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu dan batuk
berdahak berwarna hijau kekuningan sejak 1 hari yang lalu, demam disertai
susah tidur dan badan lemas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada penderita
ISPbA (pneumonia) dapat ditemukan gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner dan
34
retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis
(Said, 2008).
Pada pasien kedua yaitu seorang anak perempuan bernama H,1,8 tahun
didiagnosa menderita common cold. Pasien datang dengan keluhan batuk dan
pilek sejak 3 hari yang lalu, disertai penurunan nafsu makan. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa pada penderita ISPaA (common cold) dapat ditemukan
gejala Rhinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi
tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa demam. Gejala lain meliputi
nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan tidur dan penurunan nafsu makan
(Naning, Rina dan Amalia, 2008).
Untuk tatalaksana pada pasien pertama, diberikan obat kotrimoksazol sirup
2 x sehari 1 sdm, paracetamol sirup 3 x sehari 1 sdm, deksametason 2 x tablet
dan GG 3 x sehari
35
analgesic dan antipiretik. Terapi antipiretik diberikan untuk pasien yang keadaan
demamnya dapat membahayakan dan untuk pasien yang mengalami peredaan
besar jika demamnya diturunkan (L. Jackson Robert dan Jason D. Morrow,
2008).
Obat deksametason 2 x tablet yang diberikan pada M.A yang
didiagnosis pneumonia telah sesuai dengan beberapa teori yang ada dan saling
berhubungan karena pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan
konsolidasi ruang alveolar (Carter & Marshall, 2014) sedangkan deksametason
yang merupakan salah satu contoh dari beberapa kortikosteroid sintetik secara
dramatis mengurangi manifestasi peradangan (Chrousos, 2010).
Pemberian obat GG 3 x sehari tablet pada M.A telah sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa obat GG (Gliseril Guaiakolat) digunakan sebagai
ekspektoran
dimana
ekspektoran
berfungsi
sebagai
obat
yang
dapat
36
dimana
ekspektoran
berfungsi
sebagai
obat
yang
dapat
37
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada pelaksanaan Tugas Pengenalan
Profesi kali ini adalah:
1. Jenis-jenis penyakit ISPA pada anak yang didapat di Puskesmas Kertapati,
ialah Common Cold dan Pneumonia.
2. Faktor risiko pada pasien penyakit ISPA pada anak yang Common Cold
dan pneumonia adalah usia, dan jenis kelamin.
3. Manifestasi klinis Common Cold, yaitu batuk, pilek dan nafsu makan
menurun. Sedangkan pada pneumonia yaitu, sesak nafas, batuk berdahak
berwarna hijau kekuning-kuningan, demam disertai susah tidur dan
badannya lemas.
4. Tatalaksana pada pasien Common Cold mendapatkan obat kotrimoksazol
sirup dan GG. Lalu, pada pasien pneumonia, diberikan obat kotrimoksazol
sirup, paracetamol sirup, deksametason dan GG.
5.2 Saran
Adapun saran pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi
kali ini untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada anak
disarankan kepada masyarakat adalah:
1. Menjaga asupan nutrisi anak.
2. Menjaga kebersihan baik perorangan serta lingkungan
sekitar.
3. Mencegah kontak langsung dengan penderita ISPA.
38
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Botes, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies Buku Ajar Penyakit THT;
Penyakit Hidung. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal. 207
Boediman dan Muljono Wirjodiardjo. 2008. Anatomi Sistem Respiratori dalam
Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Carter, E.R., dan Marshall, Susan., 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial:
Selesma. (Editor) Darmawan, B.S., dan Fauzie, R. Singapura: Pte.Ltd. Hal.
512
Chapman S, dkk. 2005. Acute upper respiratory tract infections (URTIs) dalam
Oxford Handbook of Respiratory Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford
University Press.
Chrousos, G.P., 2010. Buku Farmakologi Dasar & Klinik; Adrenokortikosteroid
& Antagonis Adrenokortikal. Edisi 10. Jakarta; EGC. Hal. 660
Dadiyanto, Dwi Wastoro. 2008. Otitis Media dalam Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Depkes RI., 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Jakarta. http//
Litbang.Depkes.co.id.
Depkes RI., 2010. Anak dengan Gizi Baik Menjadi Aset dan Investasi Bangsa di
Masa Depan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta :
EGC.
Elsevier, Saunders. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. IDAI
Muttaqin, Arif.2008. Buku Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika.
39
Naning, Roni, Hadianto Ismangoen dan Amalia Setyati. 2008. Bronkitis Akut
dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
___________, Rina Triasih dan Amaliah Setyati. 2008. Rinitis dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Peng. Dan, Dongchi Zhao., Jingtao Liu., Xia Wang., Kun Yang., Hong
Xicheng.,Yang Li., dan Fubing Wang., 2009. Multipathogen Infections in
Hospitalized Children with Acute Respiratory Infections.
Petri, A.W., 2008. Buku Dasar Farmakologi Terapi Goodman & Gilman; Senyawa
Antimikroba Sulfonamida, Trimetoprim-Sulfametoksazol, Kuinolon, dan
Obat untuk Infeksi Saluran Urin. Edisi 10. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A dkk. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
ed.6 Volume 2. Jakarta : EGC
Rahajoe N., Supriyatno B., dan Setyanto Budi D., 2012. Buku Ajar Respirologi
Anak, cetakan ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ridwan, Hibsah, dkk. 2012. Modul Pembelajaran Blok VII Imunologi dan Infeksi.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Robert, L.J., dan Morrow, J.D., 2008. Buku Dasar Farmakologi Terapi Goodman
& Gilman; Senyawa Analgesik-Antipiretik Dan Antiradang Serta ObatObat Yang Digunakan Dalam Penanganan Pirai. Edisi 10. Jakarta: EGC
Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta :
EGC.
Suhandayani, I. 2007. Faktor faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. Semarang:
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.
40
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
efek-efek sampingnya. Edisi ke-6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Hal.193
Wantania, Jan M., Roni Naning, Audrey Wahani. 2008. Infeksi Respiratori Akut
dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Yangtjik, Kiagus dan Fatimah Arifin. 2008. Epiglotitis dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
______________
dan
Dwi
Wastoro
Dadiyanto.
2008.
Croup
41
42
Alamat
43
44