Вы находитесь на странице: 1из 14

Penentuan Konsentrasi Larutan dengan Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS

Penentuan Konsentrasi Larutan dengan Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS

I. TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan konsentrasi larutan FeCl3.6H2O dengan menggunakan larutan yang telah diketahui
konsentrasinya.
II. DASAR TEORI
2.1 Spektrofotometer UV Vis
Spektrofotometer Uv-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur transmitansi, reflektansi
dan absorbsi dari cuplikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer sesuai
dengan namanya merupakan alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat
pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi cahaya secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Suatu spektrofotometer
tersusun dari sumber spektrum sinar tampak yang sinambung dan monokromatis. Sel
pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan absorbsi antara cuplikan dengan blanko ataupun
pembanding.

Spektrofotometri UV-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200350 nm)
dan sinar tampak (350 800 nm) oleh suatu senyawa. Semua metode spektrofotometri
berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan, sinar yang digunakan adalah sinar
yang semonokromatis mungkin.
2.2 Absorbsi
Absorbsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi electron-electron dari
orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi.
Energi yang terserap kemudian terbuang sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia.
Absorbsi cahaya tampak dan radiasi ultraviolet meningkatkan energi elektronik sebuah molekul,
artinya energi yang disumbangkan oleh foton-foton memungkinkan electron-electron itu
mengatasi kekangan inti dan pindah ke luar ke orbital baru yag lebih tinggi energinya. Semua
molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak karena mereka mengandung electron,
baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet
dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut,
struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan-satuan b dan
c. Jika satuan c dalam molar (M) maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar dan
disimbolkan dengan dengan satuan M -1cm-1 atau liter.mol-1cm-1. Jika c dinyatakan dalam
persen berat/volume (g/100mL) maka absorptivitas dapat ditulis dengan E1%1cmA1%1cm
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Pada spektrofotometer UV-Vis, warna yang diserap oleh suatu senyawa atau unsur adalah warna
komplementer dari warna yang teramati. Hal tersebut dapat diketahui dari larutan berwarna yang
memiliki serapan maksimum pada warna komplementernya. Namun apabila larutan berwarna
dilewati radiasi atau cahaya putih, maka radiasi tersebut pada panjang gelombang tertentu, akan
secara selektif sedangkan radiasi yang tidak diserap akan diteruskan (Underwood dan Day,
1996).
Kandungan Besi III dapat ditentukan dengan beberapa metode, salah satunya yaitu dengan
spektrofotometer sinar tampak. Salah satu metode yang cukup handal pada spektrofotometer
adalah dengan penambahbakuan atau adisi standar. Metode ini merupakan suatu pengembangan
metode spektrofotometer sinar tampak dengan biaya relatif lebih murah (Watulingas, 2008).

Panjang gelombang 450 nm digunakan sebagai panjang gelombang untuk menganalisis kadar
besi di dalam larutan karena pada panjang gelombang ini, absorbansi sinar mempunyai nilai
maksimal, dengan kata lain, pada panjang gelombang ini, sinar yang dipancarkan oleh
spektrofotometer paling banyak diserap oleh larutan. Oleh karena itu, pengukuran pada panjang
gelombang 450 ini menghasilkan pengukuran yang akurat.
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
3.1.1 Labu ukur 50 ml 5 buah
3.1.2 Bulp 1 buah
3.1.3 Pipet volume 25 ml 1 buah
3.1.4 Corong 1 buah
3.1.5 Gelas kimia 250 ml 3 buah
3.1.6 Pipet tetes 1 buah
3.2 Bahan
3.2.1 FeCl3.6H2O padatan
3.2.2 Aquades
IV. PROSEDUR KERJA
4.1 Pembuatan Larutan FeCl3.6H2O 100 ppm.
a. Ditimbang padatan FeCl3.6H2O dengan menggunakan neraca digital.
b. Dilarutkan dengan aquades dan dipindahkan kedalam labu ukur 1L.
c. Ditambah aquades sampai tanda batas, kemudian dihomogenkan larutan.
4.2 Diencerkan larutan FeCl3.6H2O 100 ppm menjadi larutan FeCl3.6H2O 10 ppm, 20 ppm, 30
ppm, 40 ppm, 50 ppm sebanyak 50 ml.
a. Dihitung dengan rumus pengenceran
b. Diambil beberapa ml (sesuai perhitungan) larutan FeCl3.6H2O 100 ppm.
c. Dimasukkan ke labu ukur 50 ml + aquades sampai tanda batas. Dihomogenkan larutan.
4.3 Diukur absorbansi maksimum dari panjang gelombang 400-480 nm untuk larutan
FeCl3.6H2O 30 ppm.
4.4 Diukur absorbansi larutan FeCl3.6H2O 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm

4.5 Dibuat kurva standar untuk langkah 4.


4.6 Diukur absorbansi FeCl3.6H2O unknown ppm pada panjang gelombang maksimum.
Dilakukan duplo.
V. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
5.1 Tabel 1
Konsentrasi (ppm) x

Absorbansi (y)

10
20
30
40
50
= 150

0,12
0,25
0,56
0,38
0,50
1,81

x2

y2

100
400
900
1600
2500
5500

0,0144
0,0625
0,3136
0,1444
0,25
0,7849

5.2 Panjang gelombang maksimum


Panjang Gelombang
440 nm
450 nm
460 nm

Absorbansi
0,4
0,56
0,27

5.3 Regresi linier


Konsentrasi (x)
10 ppm
20 ppm
30 ppm
40 ppm
50 ppm

Absorbansi (y)
0,12 A
0,25 A
0,56 A
0,38 A
0,50 A

5.4 Perhitungan
Diketahui:
x= 150

x2= 5500

y= 1,81

y2= 0,7849

Regresi Linier
y = bx + a

y = 63,2

x.y
1,2
5
16,8
15,2
25
63,2

b = n (xy) - (x) (y)


n (x2) - (x)2
= 5 (63,2) - (150) (1,81)
5 (5500) - (150)2
= 44,5 / 5000 = 8,9 x 10-3

a = (y) (x2) - (x) (xy)


n (x2) - (x)2
= (1,81) (5500) - (150) (63,2)
5 (5500) - (150)2
= 475 / 5000 = 0,095
Percobaan
1
2
3
rata-rata
y= 8,9 10-3 x + 0,095

0,29 = 8,9 10-3 x + 0,095

0,29 - 0,095 = 8,9 10-3 x

x=

0,195
8,9 x 10-3

= 21,91 ppm
VI. PEMBAHASAN

Absorbansi
0,29
0,25
0,31
0,29

Pada percobaan kali ini, dilakukan analisis penentuan konsentrasi larutan dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis serta larutan FeCl3.6H20 berbagai konsentrasi. Pembuatan larutan
FeCl3.6H2O dengan berbagai konsentrasi dapat dilakukan dengan pengenceran kedalam lima
labu ukur menggunakan aquades memakai rumus, M1.V1=M2.V2
Dari larutan FeCl3.6H2O dengan konsentrasi 100 ppm akan dibuat menjadi larutan FeCl3.6H2O
dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm. Jika larutan FeCl3.6H2O
konsentrasi 100 ppm akan dibuat menjadi konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50
ppm. Maka dipipet dari FeCl3.6H2O masing-masing 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml, dan 25 ml.
Kemudian ditambahkan aquades hingga tanda batas.
Selanjutnya yaitu menganalisa spektroskopi dari larutan FeCl3.6H2O dengan menggunakan
spektrofotometer. serta mengatur panjang gelombang yang digunakan yaitu 440-460 nm.
Selanjutnya yaitu menentukan kadar sampel. Dengan cara yang sama memasukkan kuvet berisi
larutan FeCl3.6H2O berbagai konsentrasi mulai dari konsentrasi rendah sampai tertinggi dengan
jangkauan panjang gelombang yang sama antara 440-460 nm.
Dari percobaan, data berupa absorbansi (A) vs panjang gelombang (gamma) dapat dilihat pada
grafik dibawah ini.
grafik 450
Dari grafik diatas dapat dilihat panjang gelombang maksimum sebesar 450 nm. Selanjutnya
dapat ditentukan nilai absorban (A) untuk tiap konsentrasi dari panjang gelombang maksimum
(450 nm) sebagai acuan untuk larutan yang belum diketahui (unknown) dan diperoleh rata-rata
dari larutan tersebut adalah 0,29 ppm.

Konsentrasi (x)
10 ppm
20 ppm
30 ppm
40 ppm
50 ppm

Absorbansi (y)
0,12 A
0,25 A
0,56 A
0,38 A
0,50 A

Dari data tersebut dibuat grafik hubungan antara absorban (A) vs konsentrasi (c), sehingga
diperoleh persamaan regresi linier y=bx+a, dengan y=absorbansi sampel, dan x=konsentrasi
yang terdapat pada larutan.
Persamaan regresi linier yang diperoleh yaitu y = 8,9 10-3 x + 0,095. Hubungan antara
absorbansi terhadap konsentrasi akan linier (A=C). y=bx+a, rumus tersebut digunakan untuk
menghitung nilai konsentrasi larutan FeCl3.6H2O yang belum diketahui dan didapatkan nilai
konsentrasi larutan unknown sebesar 21,9 ppm atau 22 ppm.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan maka dapat disimpulkan bahwa, FeCl3.6H2O memiliki panjang
gelombang maksimum sebesar 450 nm serta regresi linier dengan persamaan y = 8,9 10-3 x +
0,095 dan konsentrasi larutan unknown adalah 22 ppm.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Gandjar, I.G & Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Underwood, A. L dan R.A. Day. J. R. 1996. Analisis Kimia Kuantitatif edisi Kelima. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Watulingas. M.C. 2008. Aplikasi Teknik Adisi Standar Pada Penetapan Kadar Besi III Dalam Air
Sungai Karang Mumus Dengan Spektronik 21-D. Samarinda: Universitas Mulawarman.

Persamaan Arhenius
Nama : Ika Fatmawati
NIM : 4301409022
Rombel : 2
Prodi : Pendidikan Kimia
Kelompok : 6

LAPORAN PRAKTIKUM
PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI

I.

II.

TUJUAN
1.

Memperlihatkan bagaimana kebergantungan laju reaksi pada suhu.

2.

Menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan Arrhenius.

LANDASAN TEORI
Persamaan laju dari suatu reaksi antara dua senyawa A dan B ditulis seperti dibawah ini:
Persamaan laju menunjukkan pengaruh dari perubahaan konsentrasi reaktan terhadap laju reaksi. Ketika kita mengubah suhu

maupun katalis, tetapan laju akan berubah.


Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dipenuhi agar reaksi dapat berjalan. Istilah energi aktifasi (Ea) pertama kali
diperkenalkan oleh Svante Arrhenius dan dinyatakan dalam satuan kilojule per mol. Terkadang suatu reaksi kimia membutuhkan energi
aktivasi yang teramat sangat besar, maka dari itu dibutuhkan suatu katalis agar reaksi dapat berlangsung dengan pasokan energi yang lebih
rendah. Jika terdapat suatu reaksi sebagai berikut:
Reaktan -> Produk

Maka jika reaksi diatas berlangsung secara eksoterm maka diagram energi aktivasinya adalah sebagai berikut:
Dan jika reaksinya endoterm maka diagramnya adalah sebagai berikut:
Persamaan Arrhenius mendefisinkan secara kuantitatif hubungan antara energi aktivasi dengan konstanta laju reaksi,
Dimana A adalah faktor frekuensi dari reaksi, R adalah konstanta universal gas, T adalah temperatur dalam Kelvin dan k adalah
konstanta laju reaksi. Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa Ea dipengaruhi oleh temperatur.
Adanya katalis dalam suatu reaksi akan memperkecil besarnya energi aktifasi yang dimiliki oleh reaksi, dan dapat digambarkan
dengan grafik berikut ini:
Grafik biru adalah reaksi tanpa katalis dan grafik merah adalah reaksi dengan katalis dapat dilihat E 1 (tanpa katalis) lebih besar
daripada E2 (dengan katalis). Jadi adanya katalis akan memperkecil Ea reaksi sehingga reaksi dapat berlangsung dengan lebih cepat.
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang menggambarkan pengaruh suhu terhadap konstanta laju
reaksi. Persamaan yang diusulkan adalah:
K=
K = konstanta laju reaksi
A = faktor frekuensi
Ea = energi aktivasi
Persamaan dalam bentuk logaritma dapat ditulis:
ln k = ln A (Ea/RT)
ln k = - x + ln A
Dari persamaan di atas terlihat bahwa kurva ln K sebagai fungsi dari 1/T akan berupa garis lurus dengan perpotongan (intersep) ln
A dan gradien Ea/R.
Kedua faktor A dan Ea dikenal sebagai parameter Arrhenius. Plot dari log K terhadap T -1 adalah linear untuk sejumlah besar reaksi
dan pada temperatur sedang. Hubungan antara konstanta laju pada dua temperatur adalah

III.

ALAT DAN BAHAN


1.
a.

Rak tabung reaksi 1 buah

b.

Tabung reaksi 8 buah

c.

Gelas piala 600 ml 1 buah

d.

Pipet ukur 10 ml

e.

Pengaduk

f.

Termometer

g.

Stopwatch

h.

Penangas air

Alat:

1.

Bahan:

a.

H2O2 0,04 M

b.

KI 0,10 M

c.

Na2S2O3 0,001 M

d.

Larutan amilum 1% (dibuat pada saat digunakan)

e.

Es batu.

IV.

CARA KERJA

Tabung 1

Tabung 2

Jml
Volum
VolumVolum
Siste VolumeH2O2(
e Volumeamilum (
e H2O e
m
ml)
S2O32ml)
(ml) I (ml)
(ml)
5

10

V.

DATA PENGAMATAN

Suhu kamar: 30 C

No.

Suhu
Awal
(C)

Suhu Akhir
Campuran(C)

Tabung
1

Tabung 2

Rata-rata
Suhu
Waktu Reaksi (detik)
Campuran

1 40

40

40

38

39

17

2 30

30

30

33

31,5

27

3 20

20

20

22

22

37

4 10

10

10

12

11

42

5 55

55

55

49

52

112

VI.

PEMBAHASAN
Percobaan ini dilakukan dengan mereaksikan antara larutan H 2O2 yang diencerkan dengan aquades pada tabung 1 dan campuran

KI, Na2S2O3 dan larutan amilum 1% pada tabung 2. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi dan
menghitung energi aktivasi menggunakan persamaan Arrhenius. Sistem yang terdiri dari tabung 1 dan tabung 2 pertama kali harus
disamakan suhunya. Suhu pengamatan dalam percobaan ini yaitu 0-40C dan kita memilih suhu 10C , 20C, 30C, 40C dan 55C. Kita
memilih 55C untuk membandingkan, bagaimana jika suhu larutan diatas suhu pengamatan. Suhu kedua larutan dibuat sama karena kita
akan mempelajari pengaruh suhu terhadap laju reaksi.
Larutan amilum dalam percobaan ini digunakan sebagai indikator adanya I 2. I2 akan bereaksi dengan amilum setelah Na2S2O3 pada
campuran habis bereaksi dan hal ini dijadikan sebagai waktu akhir reaksi, waktu dimana muncul warna biru pertama kali (waktu awal reaksi
saat kedua tabung dicampur). Larutan amilum yang digunakan dibuat sesaat sebelum percobaan karena larutan ini mudah rusak.
H2O2 berfungsi sebagai oksidator yang akan menjadi H2O sedangkan KI sebagai penghasil I2 jika direaksikan dengan H2O2. Reaksi yang
diukur adalah reaksi hidrogen peroksida dengan ion iodida. Dalam hal ini, hidrogen peroksida dicampurkan bersamaan dengan iodide, ion
tiosulfat dan amilum.
Ion iodide dan hidrogen peroksida akan bereaksi membentuk gas I 2, gas tersebut akan bereaksi kembali dengan ion tiosulfat
membentuk kembali ion iodide. Namun, dalam reaksi ini, tidak akan ada yodium yang dibebaskan sampai semua ion tiosulfat habis bereaksi.
Dengan tambahan amilum, ion iodide yang terbentuk kembali akan bereaksi dengan amilum dan menghasilkan warna biru pada larutan.
Reaksi yang terjadi:
H2O2 + KI I2 + KOH + H2O
Na2S2O3 + KI NaI + Na2S4O6
H2O2 + Na2S2O3 + KI I2 + KOH + NaI + Na2S4O6 + H2O
Dari percobaan tersebut, variabel bebasnya adalah suhu sedangkan variabel terikatnya adalah waktu. Dan diperoleh semakin tinggi
suhunya maka waktu reaksinya akan semakin cepat. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu maka energi kinetik suatu partikel akan
meningkat. Sehingga pergerakan partikel untuk menimbulkan tumbukan efektif semakin besar juga. Dan sebaliknya, jika reaksi dilakukan
pada suhu rendah, reaksi akan semakin lambat. Hal ini tidak berlaku untuk suhu 55C karena suhu ini diatas suhu pengamatan dan suhu
optimum reaksi yaitu 40C. Sehingga waktu berjalannya reaksi pada suhu 55C paling lambat dibandingkan suhu pengamatan lainnya dalam
percobaan ini.

Dari percobaan diperoleh untuk suhu 55C, waktu yang diperlukan yaitu 112sekon, suhu 40C = 17 sekon, 30C = 27 sekon,
suhu 20C = 37 sekon, dan suhu10C = 42 sekon. Dari lima sistem dapat disimpulkan bahwa temperatur berbanding terbalik dengan waktu
sesuai dengan teori karena reaksi berlangsung lebih cepat jika suhu tinggi akibat tumbukan semakin banyak karena gerakan yang semakin
cepat dan komposisi H2O2 yang berubah menyebabkan waktu yang diperlukan lebih sedikit.
Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju k. Jika suhu dinaikan maka harga k akan meningkat dan sebaliknya.
Dari harga k tersebut maka akan dapat dihitung energi aktivasi. Melalui proses perhitungan (analisa data pada lampiran) didapat data
sebagai berikut:

Wakt
u
(deti
k)

0,0032

17

0,005
88

31,5o
C

0,0032
84

27

0,003
7

3.

21oC

0,0034

37

0,002
7

4.

11oC

0,0035
21

42

0,002
38

5.

52oC

0,0030
77

112

0,000
89

N
o.

Rerat
a
suhu

1.

39 C

2.

1/T

Ln k
5,136
19
5,599
42
5,914
5
6,040
65
7,024
3

Grafik Ln k vs 1/T sebagai berikut:

Persamaan regresinya adalah y = -0,421x -4,677


y = mx + b,
m = -0,421
ln k = - x + ln A
maka m = Ea = -m.R = -(-0,421).(8,314) = 3,5 J/mol = 0,0035 kJ/mol
B = intercept = ln A = -4,677
A = 0,00931
Dari grafik Ln k dan 1/T diperoleh Ea = 0,0035 kJ/mol dengan nilai A =0,00931. Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah
berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin
besar.
Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa grafik yang menunjukkan hubungan konstanta laju reaksi dan suhu tidak berbentuk garis
lurus atau linear, melainkan terjadi penyimpangan pada suhu lebih dari 40 C. Hal ini dimungkinkan karena jika suhunya lebih dari 40C maka
amilum yang ada pada larutan akan rusak atau rusak sebagian , sehingga ion iodide yang terbentuk dari perubahan yodium tidak dapat
terdeteksi dengan baik.
Faktor yang mempengaruhi energi aktivasi (Ea) yaitu suhu, faktor frekuensi (A), katalis. Semakin kecil harga Ln k maka harga 1/T
rata-rata semakin besar. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan semakin sedikit
waktu yang diperlukan sehingga akan memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi berbanding terbalik
dengan laju reaksi.

VII.

KESIMPULAN DAN SARAN


a.

Kesimpulan
1.

Temperatur berpengaruh pada laju reaksi, jika suhu semakin tinggi maka laju reaksi akan semakin cepat.
Hal ini dibuktikan dengan dihasilkannya harga k yang lebih besar pada suhu yang lebih tinggi.

b.

2.

Energi aktivasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius.

3.

Dari perhitungan data diperoleh harga Ea sebesar 0,0035 kJ/mol dan harga A sebesar 0,00931.

Saran

Sebaiknya praktikan benar-benar mendalami materi praktikum dan alur kerja praktikum sehingga kesalahan dalam pelaksanaan praktikum
minim dan hasil praktikum yang diperoleh maksimal.

VIII.

JAWABAN PERTANYAAN
Alasan yang mungkin menyebabkan terjadinya penyimpangan apabila suhu diatas 40C karena jika suhunya lebih dari 40C maka

amilum yang ada pada larutan akan rusak atau rusak sebagian , sehingga ion iodide yang terbentuk dari perubahan yodium tidak dapat
terdeteksi dengan baik.

IX.

DAFTAR PUSTAKA

Atkins PW. 1999. Kimia Fisika. Ed ke-2 Kartahadiprodjo Irma I, penerjemah;Indarto Purnomo Wahyu, editor. Jakarta : Erlangga. Terjemahan
dari : Physichal Chemistry.
Castellan GW. 1982. Physichal Chemistry. Third Edition. New York : General Graphic Services.
Naruti, Nunung. 2011. Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi. Diakses darihttp://nugiluph24.blogspot.com/2011/05/persamaan-arrhenius-danenergi-aktivasi.html pada tanggal 31 Oktober 2011.
Tim Dosen Kimia Fisik. 2011. Diktat Petunjuk Praktikum Kimia Fisik. Semarang : Jurusan Kimia FMIPA UNNES.
Vogel. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Semarang, 2 November 2011


Mengetahui,
Dosen Pengampu Praktikan

Ir. Sri Wahyuni, M.Si Ika Fatmawati


NIM. 4301409022

X.

LAMPIRAN

mgrek H2O2 = M . V . val


= 0,04 x 5 x 2 = 0,4 mgrek
mgrek KI = M . V . val
= 0,1 x 10 x 1 = 1 mgrek
mgrek Na2S2O3 = M . V . val
= 0,001 x 1 x 1 = 0,001 mgrek (pereaksi pembatas)
mgrek H2O2 yang bereaksi = mgrek Na2S2O3

a.

Menghitung nilai k

1.

t = 17 detik

2.

t = 27 detik

3.

t = 37 detik

4.

t = 42 detik

5.

t = 112 detik

b.

Menghitung nilai 1/T

1.

T = 39oC

2.

T = 31,5oC

3.

T = 21oC

4.

T = 11oC

5.

T = 52oC

c.

Perhitungan Ea

Persamaan regresinya adalah y = -0,421x -4,677


y = mx + b,
m = -0,421
ln k = - x + ln A
maka m = Ea = -m.R = -(-0,421).(8,314) = 3,5 J/mol = 0,0035 kJ/mol
B = intercept = ln A = -4,677
A = 0,00931

Вам также может понравиться