Вы находитесь на странице: 1из 3

Jangan Pernah Berhenti

Penulis: Gede Prama


Sejumlah sejarahwan yakin, bahwa pidato Winston Churchill yang paling berpengaruh
adalah ketika beliau berpidato di wisuda Universitas Oxford. Churchill mempersiapkan
pidato ini selama berjam-jam. Dan ketika saat pidatonya tiba, Churchill hanya
mengucapkan tiga kata : never give up (jangan pernah berhenti).
Sejenak saya merasa ini biasa-biasa saja. Tetapi ketika ada orang yang bertanya ke saya,
bagaimana saya bisa berpresentasi di depan publik dengan cara yang demikian
menguasai, saya teringat lagi pidato Churchill ini.
Banyak orang berfikir kalau saya bisa berbicara di depan publik seperti sekarang sudah
sejak awal. Tentu saja semua itu tidak benar. Awalnya, saya adalah seorang pemalu,
mudah tersinggung, takut bergaul dan minder.
Dan ketika memulai profesi pembicara publik, sering sekali saya dihina, dilecehkan dan
direndahkan orang. Dari lafal T yang tidak pernah lempeng, kaki seperti cacing
kepanasan, tidak bisa membuat orang tertawa, pembicaraan yang terlalu teoritis, istilahistilah canggih yang tidak perlu, serta segudang kelemahan lainnya.
Tidak bisa tidur beberapa minggu, stress atau jatuh sakit, itu sudah biasa. Pernah bahkan
oleh murid dianjurkan agar saya dipecat saja menjadi dosen di tempat saya mengajar.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh banyak agen asuransi jempolan. Ditolak,
dibanting pintu, dihina, dicurigai orang, sampai
dengan dilecehkan mungkin sudah kebal. Pejuang kemanusiaan seperti Nelson Mandela
dan Kim Dae Jung juga demikian. Tabungan kesulitan yang mereka miliki demikian
menggunung. Dari dipenjara,hampir dibunuh, disiksa, dikencingin, tetapi toh tidak
berhenti berjuang.
Apa yang ada di balik semua pengalaman ini, rupanya di balik sikap ulet untuk tidak
pernah berhenti ini, sering bersembunyi banyak
kesempurnaan hidup. Mirip dengan air yang menetesi batu yang sama berulang-ulang,
hanya karena sikap tidak pernah berhentilah yang membuat batu berlobang.
Besi hanya menjadi pisau setelah ditempa palu besar berulang-ulang, dan dibakar api
panas ratusan derajat celsius. Pohon beringin besar yang berumur ratusan tahun, berhasil
melewati ribuan angin ribut, jutaan hujan, dan berbagai godaan yang meruntuhkan.
Di satu kesempatan di awal Juni 1999, sambil menemani istri dan anak-anak, saya sempat
makan malam di salah satu restoran di depan hotel Hyatt Sanur Bali. Yang membuat
kejadian ini demikian terkenang, karena di restoran ini saya dan istri bertemu dengan
seorang penyanyi penghibur yang demikian menghibur.

Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi seorang diri.
Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan tetapi, ramuan musik yang
dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan istri telah masuk banyak restoran dan kafe.
Namun, ramuan musik yang dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian
menyentuh. Hampir setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan
banyak turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersama
penyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang dalam, tampaknya
belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.
Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific Indonesia di Pekan
Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia mengagumkan. House boy (baca :
pembantu) yang bertanggungjawab terhadap guest house yang saya tempati demikian
menyentuh hati saya. Setiap gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya
sambil bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala, tanpa
perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan sempurna. Purwanto,
demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya dengan tanpa keluhan.
Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan, semakin
lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti oleh kebosanan yang
kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.
Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di kantor yang
diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis, saya malu dengan penyanyi
Sanur dan house boy di atas. Di tengah demikian menyesakkannya rutinitas, demikian
monotonnya kehidupan, kedua orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato
Winston Churchill : never give up.
Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda sebenarnya
lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas. Tanpa banyak teori, tanpa
perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka sedang melaksanakan profesinya dengan
prinsip sederhana : jangan pernah berhenti.
Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan pembantu di
atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan direktur sebuah perusahaan
swasta, tentu saja saya berada pada status sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan
lebih besar dibandingkan mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental never give up
yang lebih mengagumkan.
Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan penghasilan yang lebih
tinggi, tidak membuat mental never give up semakin kuat.
Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso, satpam, supir,
penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati kita.
Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip di awal - justru
diperoleh dari guru-guru terakhir.

This entry was posted on Friday, September 14th, 2007 at 1:05 pm and is filed under

Вам также может понравиться