Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi seorang diri.
Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan tetapi, ramuan musik yang
dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan istri telah masuk banyak restoran dan kafe.
Namun, ramuan musik yang dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian
menyentuh. Hampir setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan
banyak turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersama
penyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang dalam, tampaknya
belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.
Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific Indonesia di Pekan
Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia mengagumkan. House boy (baca :
pembantu) yang bertanggungjawab terhadap guest house yang saya tempati demikian
menyentuh hati saya. Setiap gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya
sambil bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala, tanpa
perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan sempurna. Purwanto,
demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya dengan tanpa keluhan.
Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan, semakin
lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti oleh kebosanan yang
kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.
Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di kantor yang
diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis, saya malu dengan penyanyi
Sanur dan house boy di atas. Di tengah demikian menyesakkannya rutinitas, demikian
monotonnya kehidupan, kedua orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato
Winston Churchill : never give up.
Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda sebenarnya
lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas. Tanpa banyak teori, tanpa
perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka sedang melaksanakan profesinya dengan
prinsip sederhana : jangan pernah berhenti.
Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan pembantu di
atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan direktur sebuah perusahaan
swasta, tentu saja saya berada pada status sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan
lebih besar dibandingkan mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental never give up
yang lebih mengagumkan.
Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan penghasilan yang lebih
tinggi, tidak membuat mental never give up semakin kuat.
Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso, satpam, supir,
penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati kita.
Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip di awal - justru
diperoleh dari guru-guru terakhir.
This entry was posted on Friday, September 14th, 2007 at 1:05 pm and is filed under