Вы находитесь на странице: 1из 18

LAPORAN PENDAHULUAN HIV & AIDS

DI RUANG RAJAWALI 6 A RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

Disusun oleh:
DESSY TAMARA
P. 17420113048

JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2015

LAPORAN PENDAHULUAN
LAPORAN PENDAHULUAN HIV & AIDS

A. Pengertian
HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya
dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa
inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses
yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala
AIDS.

HIV

menyebabkan

beberapa

kerusakan

sistem

imun

dan

menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan
limfosit

untuk

mereplikasikan

diri.

Dalam

proses

itu,

virus

tersebut

menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).


Human

immunodeficiency

virus (HIV)

adalah

penyebab acquired

immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1
dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling
banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat.
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom
virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson,
2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 14001500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun
(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
2

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.


Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada
enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk
manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2
grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai
subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi
AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan
adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan
infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan
tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit
infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus
HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4
yang berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus
HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu
menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan

tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut
(AVERT, 2011).

B. Etiologi
Penyebab AIDS adalah infeksi oleh HIV. Virus ini diketahui sebagai
Human T Cell Lymphatropic Virus (HTLV) atau The Lymphadenophaty
Associated Virus (LAV) yang ditemukan oleh Luc Montaigner (1983) dan Robert
gallo (1984). Tetapi pada tahun 1985 kedua virus tersebut dinyatakan sama oleh
Committee Taxonomy International dan disebut HIV (Human Imunodeficiency
Virus).
Tahun 1994 diketahui ada 2 jenis virus yang menyebabkan AIDS :

HIV 1 : penyebarannya lebih luas hampir di seluruh dunia yaitu jenis


Retovirus

HIV 2 : di Afrika Barat, Portugal lebih mirip dengan Monkey Virus


merupakan suatu virus lentivirus.

Target sel HIV berupa :


Sel limfosit T4 yang merupakan target utama, sedangkan target yang lain
seperti : Sel monosit, makrofag, folikular dendritik, sel retina, serviks, langerhans,
sel otak, endotel sel cerna.
Masa Inkubasi HIV :
Sulit diketahui, rata-rata 5 bulan hingga 5 sampai 10 tahun.
C. Cara Penularan
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular.
Penderita kadang belum merasakan keluhan dan gejalanya. HIV dapat ditularkan
hanya :

Bila kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh.

Makin besar jumlah virusnya makin berat infeksinya.

Jumlah virus yang banyak terdapat dalam :


o Cairan darah, sperma
o Cairan vagina/serviks
4

o Otak

Jumlah virus dalam jumlah sedikit terdapat dalam :


o Urin
o Saliva, keringat
o ASI

Ada tiga cara penularan HIV :


1. Hubungan seksual
Vaginal, oral, anal, mempunyai factor resiko sekitar 80-90 % sedunia.
2. Kontak langsung dengan jarum suntik
o Transfuse darah yang tercemar HIV (90%)
o Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051%
o Pemakaian jarum suntik bersama-sama
o Melalui kecelakaan kerja : tertusuk jarum, resiko penularan 0,03 %
3. Secara vertikal: dari ibu hamil pengidap HIV terhadap bayi atau anak dalam
kandungan

Sejak hamil

Saat atau setelah melahirkan, resiko penularan 50%

Melalui ASI, resiko sekitar 14 %

Resiko terinfeksi :

Pria dengan aktif seksual : biseksual atau homoseksual dengan banyak


pasangan.

Drug users : intravena.

Pasien hemophilia atau pasien yang memerlukan transfuse darah.

Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.

D. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus
yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV
(partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung)
mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dimana p24
5

merupakan komponen stuktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjool


lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41.
Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif adalah gp120
dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencangkup monosit, makrofag dam limfosit T4 helper
(yang dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4
helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah
terikat dengan membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas
benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim
yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman
ulang materi genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA (DNA utas ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanent.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini, sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus
(CMV; Cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simplex, dan hepatitis.
Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi dikatifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru
dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel
CD4+ lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan
tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi
reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun
dan terangkut ke seluruh tubuh untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh.
Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Replikasi virus akan berlangsung terus
menerus sepanjang perjalanan infeksi HIV. Ketika sistem imun tersti,ulasi,
replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah
yang menyebabakan infeksi berikunya pada sel-sel CD4+ yang lain.
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan
orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang vberperang
dengan infeksi virus lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
6

reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat apabila penderitanya sedang


menghadapi infeksi virus lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini
dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita
sesudah terinfeksi HIV.
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang
penting yaitu : mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibody, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduksi limfokin
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika fungsi limfosit T4
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak meinmbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius.
Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun
dinamakan infeksi oportunistik.

E. Pathways
Hub. Seks

Kontak langsung

Ibu Hamil

VOA

darah jarum suntik

HIV (+)

Vaginal, Oral, Anal

Pencegahan + Perawatan

Kurang Informasi

HIV

Penolakan Masyarakat

Menyerang sel-sel
Limfosit T4 HDR

Gangguan Isolasi

Sosial
Monosit, Makrofag, Retina
Kurang Pengetahuan

Serviks, Lengerhans, Otak

Status Imun
7

Inf Akut, Inf Kronis

Demam, Batuk

Asimtomatis

PEL

Imun

Hiperaktivitas

Keringat malam,

Penyakit Lain

Sel limfosit B

Mual, muntah
Neurologis

Inf Sekunder

Kanker

Mielopati

Inf Virus

Sarkoma

kaposi

Perubahan Nutrisi

Neuropati

Inf Parasit

Peny SSP

Mikrobekterm

Limfoma

Hiperplasia

< kebutuhan tubuh


Demensia

Pada Usus

Nyeri

kompleks
Resti tertular penyakit lain/
Resti Infeksi

Diare
Perubahan
Proses pikir

A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai setiap
sistem organ. Tanda gejala secara klinis pada penderita AIDS sulit untuk
diidentifikasi. Hal ini disebabkan karena simptomasi yang ditujukan pada
8

umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada
berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum tanda dan gejala yang dapat
diamati antara lain:
1. Rasa lelah dan lesu yang berkepanjangan
2. Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas
dalam 1 bulan.
3. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
4. Diare terus menerus dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru-paru
8. Kanker kulit
9. Sakit kepala
10. Sakit tenggorokan dengan faringitis
11. Eritema
F. Evaluasi Diagnostik
1) Tes Antibodi HIV
Kalau seseorang terinfeksi oleh virus HIV, system imunnya akan
bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody
umumnya terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi, kendati
pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai hingga 14 bulan;
kenyataan ini menjelaskan mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada
mulanya tidak memperlihatkan hasil tes yang positif.
Sayangnya, antibody untuk HIV tidak efektif dan tidak dapat
menghentikan perkembangan infeksi HIV. Kemampuan untuk mendeteksi
antibody HIV dalam darah telah memungkinkan pemeriksaan skrinning
produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic pada pasien-pasien
terinfeksi HIV. Pada tahun 1985, Food And Drug Administration atau FDA
mengeluarkan lisensi untuk uji kadar antibody HIV bagi semua pendonoran
darah dan plasma.
Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibody terhadap HIV dan
membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes enzyme-linked immunosorbent
assay atau ELISA mengidentifikasikan antibody yang secara spesifik ditujukan
9

kepada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS
tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh
virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibody untuk HIV disebut
sebagai orang yang seropositif. Pemeriksaan western blot assay merupakan tes
lainnya yang dapat mengenali antibody HIV dan digunakan untuk memastikan
seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur ELISA. Indirect
immunofluorescence assay atau IFA kini sedang digunakan oleh sebagian
dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya, radioimmunoprecipitation assay atau RIPA, lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibody.
2) Pelacakan HIV

Antigen p24; positif untuk protein virus yang bebas

Reaksi rantai polymerase atau PCR:polymerase chain reaction;


mendeteksi DNA atau RNA virus HIV

Kultur sel mononuclear darah perifer untuk HIV-1; positif kalau dua
kali uji kadar/ assay secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat

Kultur sel kualitatif; mengukur muatan virus dalam sel

Kultur plasma kuantitatif; mengukur muatan virus lewat virus bebas


yang infeksius dalam plasma

Mikroglobulin B2; protein meningkat bersamaan dengan berlanjutnya


penyakit

Neopterin serum; kadar meningkat dengan berlanjutnya penyakit.

3) Status imun

Sel-sel CD4+; menurun

Rasio CD4:CD8; menurun

Hitung sel darah putih; normal hingga menurun

Kadar immunoglobulin; meningkat

Tes fungsi sel CD4+; sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan


untuk bereaksi terhadap antigen
10

Reaksi sensitivitas pada tes kulit; menurun hingga tidak terdapat

Darah tepi (Hb, leukosit, monosit, trombosit, limfosit); leucopenia,


limfopenia, trombositopenia, displasia sumsum tulang.

4) Pemeriksan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan


Diperiksa sesuai dengan jenis penyakitnya, Misalnya kandidiasis, TB
paru, Lab rutin, Radiologis, USG, CT Scan, Bronkoskopi, dll.
1.

Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang
potensial, termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius
IV. Diantaranya :
a) Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia,
mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu,
kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus
dinilai.

Penimbangan,

berat

badan,

pengukuran

antopometri,

pemeriksaan kadar BUN (bloood urea nitrogen), protein serum,


albumin dan transferin.
b) Kulit dan membran mukosa diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda
lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau
gejala kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim
yang menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk
menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang
profus.

Pemeriksaan

kultur

luka

dapat

dimintakan

untuk

mengidentifikasi mikroorganisme yang infeksius.


c) Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek, ortopnea, takipnea
dan nyeri dada. Keberadaan suara pernafasan dan sifatnya juga harus
diperiksa. Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen
thoraks, hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru.
d) Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,
orientasinya terhadap orang, tampat serta waktu dan ingatan yang
11

hilang. Pasien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik


(perubahan visual, sakit kepala, patirasa dan parestesia pada
ekstremitas) serta gangguan motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau
paralisis) dan serangkaian kejang.
e) Status Cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta
membran mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya.
Peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urine, tekanan darah yang
rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 mmHg dengan
disertai kenaikan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut
nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urine sebesar 1,025 atau
lebih menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan elektrolit
seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan
klorida dalam serum secara khas akan terjadi karena diare hebat.
Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda dan
gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini mencakup penurunan status
mental, kedutan otot vomitus, dan pernapasan yang dangkal.
f) Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara
penularan

penyakit

harus

dievaluasi.

Disamping

itu,

tingkat

pengetahuan keluarga dan sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis


pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting
yang harus digali. Reaksi dapat bervariasi antara pasien yang satu
dengan yang lainnya dan dapat mencakup penolakan, amarah, rasa
takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan sosial dan depresi.
Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stress
utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumbersumber yang dimiliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya
juga harus diidentifikasi.
2. Diagnosis
1. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi
HIV
2. Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi

12

3. Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan rentang


perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
4. Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal
akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
5. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan
dengan penurunan asupan oral
6. Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri
dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya
menulariorang lain.
7. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah
penularan HIV dan perawatan mandiri.
Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Berdasarkan data-data hasil penelitian, komplikasi yang mungkin terjadi
mencakup :
o Infeksi oportunitis
o Kerusakan pernapasan atau kegagalan respirasi
o Sindrom pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit
o Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan
3. Nursing Care Plan
a)

Diagnosa : Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan


atau infeksi HIV
Tujuan : Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang lazim
Intervensi :

Kaji kebiasaan defekasi normal pasien

Kaji terhadap diare : sering, feses encer, nyeri atau kram abdomen,
volume feses cair dan faktor pemberat dan penghilang

Dapatkan kultur feses dan berikan therapi antimikroba sesuai


ketentuan

Lakukan tindakan untuk mengurang pembatasan sesuai ketentuan


dokter :

13

Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan


dokter

Hindari merokok

Hindari iritan usu seperti makanan berlemak atau gorengan,


sayuran mentah dan kacang-kacangan

Berikan makan sedikit dan sering

Kolaborasikan dalam pemberian antispasmodik antikolinergis atau


obat sesuai ketentuan

Pertahankan

masukan

cairan

sedikitnya

kecuali

dikontraindikasikan.
b)

Diagnosa : Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan


imunodefisiensi
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Intervensi :

Pantau adanya infeksi : demam, menggigil dan diaforesis, batuk,


napas pendek, nyeri, oral atau nyeri menelan, bercak berwara krim
di dalam ronggaoral, kemerahan dan bengkak atau drainase luka.
Lesi vesikuler diwajah, bibir atau area perianal

Ajarkan pasienatau pemberi keperawatan tentang perlunya


melaporkan kemungkinan infeksi

Pantau jumlah sel darah putih dan diferensiasi

Dapatkan kultur drainase luka, lesi kulit, urine, feses, sputum,


mulut dan daerah sesuai ketentuan

Instruksikan pasien untuk mencegah infeksi misalnya dengan


Bersihkan dapur dan permukaan kamar mandi dengan desinfectan

c)

Diagnosa : Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan


penyempitan rentang perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan
disorientasi yang menyertai ensefalopati HIV
Tujuan : Mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif
optimal
14

Intervensi :

Kaji status mental dan neurologis dengan menggunakan alat yang


sesuai kemudian catatperubahan dalam orientasi, respons terhadap
rangsang, kemampuan untuk memecahkan masalah.

Pantau adanya tanda tanda infeksi SSp misal : sakit kepala,


kekakuan nukal, muntah, demam

Pertahankan lingkunagn yang menyenangkan dengan rangsang


auditorius, visual dan kognitif yang tepat

Dorong keluarga atau orang terdekat untuk bersosialisasi dan


berikan reorientasi dengan berita aktual, kejadian-kejadian di
dalam keluarga

Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin misal :


berpakaian setiap hari, bertemu teman-teman dll.

Kurangi rangsangan provokatif atau mencemaskan.

Kurangi kebisingan terutama pada malam hari.pertahankan


lingkungan yang aman misal : tempat tidur dengan posisi yang
rendah

d) Diagnosa: Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit


perianal akibat diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
Tujuan : nyeri dapat terkontrol atau hilang
Intervensi :

Kaji keluhan nyeri, perhatian lokasi, intensitas (skala 1-10)

Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya

Berikan aktifitas hiburan misal : membaca dan menonton televisi

Kolaborasikan dalam pemberian analgetik antipiretik, analgesik


narkotik

Lakukan tindakan paliatif misal : masase, perubahan posisi, rentang


gerak pada sendi yang sakit

e) Diagnosa : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh, yang


berhubungan dengan penurunan asupan oral
15

Tujuan : perbaikan status nutrisi


Intervensi :

Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan,


usia, protein serum, albumin dll.

Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan uang disukai dan tidak


disukai serta intoleransi makanan

Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi masukan oral

Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi


pasien

Dorong pasien untuk istirahat sebelum makan

Rencanakan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera


setelah prosedur yang menimbulkan nyeri atau tidak enak

Instruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi :


mengkonsumsi makanan kaya protein

Konsultasi dengan dokter tentang makanan pengganti (nutrisi


enteral atau parenteral)

Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain


bila mungkin.

f) Diagnosa : Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit,


penarikan diri dari sistem pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila
dirinya menulari orang lain.
Tujuan : penurunan rasa isolasi sosial
Intervensi :

Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim

Observasi terhadap perilaku indikatif isolasi sosial, seperti


penurunan

interaksi

dengan

orang

lain,

bermusuhan,

ketidakpatuhan dan menyatakan kesepian

Berikan instruksi mengenai cara-cara penularan HIV

Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menggali sumber untuk


mendukung dan mekanisme pasitif untuk koping

16

Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk


pengobatan atau prosedur

Dorong partisipasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca,


televisi atau kerajinan tangan

g) Diagnosa : Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara


mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri.
Tujuan : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan
penyakit
Intervensi :

Tentukan pemahaman saat ini dan persepsi terhadap diagnosa

Kaji kemampuan emosional untuk mengasimilasikan informasi dan


memahami instruksi.

Berikan informasi yang realitas dan optimistis selama setiap kontak


dengan pasien

Rencanakan pertemuan-pertemuan yang singkat untuk memberikan


informasi tambahanberikan nformasi mengenai perubahan gaya
hidup

yang

sesuai

dan

faktor-faktor

yang

membantu

mempertahankan kesehatan

17

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. jakarta: EGC
Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4
buku II. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 3. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
ms.wikipedia.org. AIDS. 23 0ktober 2007
www.petra.ac.id. HIV/AIDS. 23 Oktober 2007

18

Вам также может понравиться