Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
H I P E RT R O P I P R O S TAT [ B P H ]
PENDAHULUAN
Istilah hipertropi prostat sebenarnya tidaklah tepat, karena sebenarnya
kelenjar prostat tidaklah membesar/hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretral lah yang mengalami hiperplasia [tidak hipertropi]. Dalam hal ini sel-sel
glandular dan sel-sel interstisial mengalami hiperplasia [sel-selnya bertambah
banyak].
Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan
pada saluran kemih juga terjadi perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot destrosur menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrosur ini disebut fase kompensasi.
Apabila keadaan berlanjut, maka destrosur menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio
urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih
atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah:
Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan retensi uretra adalah
gambaran awalnya dan menetap dari BPH
Etiologi
Masih belum diketahui dengan pasti, tetapi banyak juga teori yang ditegakkan
untuk BPH ini seperti:
Teori tumor jinak [karena komponennya]
Teori rasial dan faktor sosial
Teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui.
Teori yang berhubungan dengan aktivitas hubungan seks
Teori ketidakseimbangan hormonal.
Pendapat terakhir ini sering kali dipakai yaitu terjadi ketidakseimbangan
antara hormon androgen dan hormon setrogen. Pada usia lanjut estrogen tetap dan
androgen turun, maka terjadi ketidakseimbangan estrogen menjadi lebih banyak
secara relatif ataupun secara absolut dan ini menyebabkan prostat membesar.
Gejala klinik
Sesuai dengan anatominya, maka pembesaran prostat dapat mengenai daerah
peri uretral, daerah subtrigonal atau daerah bladder neck dan pendesakan daerah
inilah yang menyebabkan gejala klinik.
Progresifitas dari BPH adalah lambat, artinya penderita tidak mengetahui
onset dari penyakitnya itu dan ia timbul telah ada penyulit-penyulit, seperti yang
sering adalah retensi urine, berkurangnya pancaran kencing, air kencing menetas
setelah habis berkemih, berkemih yang tidak lampias.
Tetapi tidak semua BPH menimbulkan keluhan, maka dari itu besarnya
kelenjar prostat tidak menentukan berat ringannya gejala, walau biasanya prostat
yang besar menyebabkan obstruksi yang besar pula.
Adapun keluhan keluhan tersebut dapat dibagi dalam derajatderajat:
Derajat I
membesar, edema akut juga dapat disebabkan oleh menahan kencing yang terlau
lama, disebabkan oleh udara dingin atau terlalu banyak minum.
Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi decompensasi akan terjadi retensio urine karena
produksi urine terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urine sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal, proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam bulibuli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid.
Te r a p i
Terapi untuk BPH ada 2 macam yakni:
1 . Ko n s e r v a t i f
Terapi konservatif dilakukan bila terapi operatif tidak dapat dilakukan, karena
misalnya: menolak operasi, mempunyai sakit jantung berat dan kontra indikasi
operasi lainnya.
Tindakan konservatif yaitu mengusahanakan agar prostat tidak mendadak
membesar, karena terjadi/adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotik
Terapi untuk retensi urine yaitu dengan kateterisasi dengan 2 cara:
a.
Kateterisasi intermiten
Buli buli dapat dikosongkan dan kateter segera dilepas, beberapa pasien
kemudian akan dapat miksi sendiri dengan spontan.
b.
Kateterisasi Indwelling
Sangat berguna terutama bila penderita dulunya juga pernah mengalami retensi
urine akut. Tiap hari hendaknya kateter dibersihkan dan tiap minggu diganti
dengan kateter baru.
Pada tindakan ini hendaknya disertai dengan perlindungan terhadap bahaya
infeksi dengan memberikan juga obat sulfa atau antibiotik.
2.
Te r a p i o p e r a t i f
Tindakan operatif
-
Kontra Indikas i
Kelainan jantung yang berat [dekompensai dan infark segar], insufisiensi paru yang
hebat, hipertensi.
Ko n t r a i n d i ka s i re l a t i f
-
2.
3.
[Sekarang
sudah
ditinggalkan
karena
banyak
menimbulkan
komplikasi]
4.
1. Perdarahan
2. Inkontinensia
3.
4. Epindidimiorkhitis
5. Trombosis
6. Fistula [suprapubik, rektiproostatik]
7. Osteitis pubis.
Prognosis
Prognosis dari penyakit ini cukup baik bila penderita berobat dengan baik
yaitu operatif. Tindakan pengobatan konservatif hanyalah menunda waktu operasi /
tidak menghilangkan causanya.
1.
Persiapan kulit
Daerah yang akan dicukur ditentukan, lebih baik kalau pencukuran itu langsung
dilaksanakan sebelum pembedahan. Penderita harus dimandikan dengan bersih
malam sebelum pembedahan.
2. Diet
Penderita tidak boleh makan makanan padat selama 12 jam atau pasien dipuasakan
dan minum cairan selama 8 jam sebelum pembedahan.
3. Cairan IV
Pemberian cairan intra vena tidak diperlukan pada berbagai kasus tetapi pada
penderita yang lansia atau yang lemah maka perlu diberikan cairan penguat yang
diberikan pada malam sebelum pembedahan
4. Pengurangan isi perut
Pencahar dan enema kebanyakan dilaksanakan pada pembedahan perut, pengosongan
sebagian dari usus dilaksanakan pemberian 2- 3 tablet Biksahodil [Dulcolax]
Per oral atau melalui supositoria. Pengurasan lebih sempurna dilaksanakan
dengan enema memakai garam fisiologis atau air ledeng + sabun yang hangat
hangat kuku [500 1500cc].
5. Pemberian obat-obatan
Premedikasi anestetik biasanya ditangani oleh dokter ahli anestesi. Obat-obatan
sebelum pembedahan dapat atau tidak dapat diteruskan harus dilihat lagi.
6. Test laboratorium
Penentuan BUN, kreatinin serum dan urinalisa rutin, kalium serum, kreatinin serum,
lab darah dll.
7. Sinar x
Penyinaran pada dada, pielogram IV dapat menetapkan besarnya ginjal dan adanya
obstruksi air kemih dan arteriogram kadang-kadang diperlukan.
8.
Transfusi darah.
Bibliography
Mansjoer Arif [edit] [et _al.].Kapita Selekta Kedokteran.Ed. 3, cet.1.
Jakarta: Media Aesculapius, 2000.
Doenges, Marylinn E . . . [et_al].Rencana Asuhan Keperawatan.Ed.3.
Jakarta: EGC.1999.
Drajat. M.T.Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus,--Jakarta: Aksara
Medisina, --1986.
Oswari.E.Bedah dan Perawatannya.Jakarta: Gramedia, -- 1993.
KONSEP DASAR
a. DEFINISI
Appendicsitis adalah merupakan radang appendics, suatu bagian seperti kantung
yang non fungsional dan terletak dibagian inferior sekum.
B. ETIOLOGI
Paling umum oleh obstruksi lumen oleh feses.
C. PATOFISIOLOGI
Bila appendics tersembat, tekanan intralumen meningkat, menimbulkan
penurunan drainase vena, oedema dan invasi bakteri dinding usus. Bila obstruksi
berlanjut appendics menjadi semakin hiperemik, hangat dan tertutup eksudat
yang seterusnya menjadi gangren dan perforasi.
Appendics tersumbat
Tekanan intraluminal
Drainase vena
Trombosis, oedema
Obstruksi berlanjut
(hiperemik dan eksudat)
pengangkatan appendics
Malaise
B. SIRKULASI
Tanda
: Takhikardi
C. ELEMINASI
Gejala
Tanda
D. MAKANAN/CAIRAN
Gejala
: Anoreksia, muntah-muntah.
E. NYERI/KENYAMANAN
Gejala
Tanda
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (perforasi/ruptur, peritonitis) dan prosedur invasif insisi bedah.
Tujuan :
Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi, drainase
purulen, eritema dan demam.
Intervensi :
Awasi tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan
mental, meningkatnya nyeri abdomen.
Lakukan perawatan secara septik dna aseptik pada luka post op.
Lihat insisi dan balutan, catat karakteristik drainase luka adanya eritema.
Berikan informasi yang tepat, jujur pada pasien.
Berikan antibiotik sessuai instruksi.
2. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) berhubungan dengan muntah pra
operasi, pembatasan pasca operasi (ex. Puasa). Status hipermetabolik (demam,
proses penyembuhan) inflamasi peritonium dengan cairan asing.
Tujuan :
Pertahankan keseimbangan cairan dibuktikan dengan kelembaban membran
mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil.
Intervensi :
Awasi tanda vital, lihat membran mukosa. Kaji turgor kulit dan pengisian
kapiler.
Awasi pemasukan dan haluaran, catat warna urine/konsentrasi berat jenis.
Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.
Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila masukan peroral dimulai dan
lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
Berikan perawatan mulut.
3. Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi adanya
insisi bedah.
Tujuan :
Klien melaporkan nyeri hilang, tampak rileks, mampu tidur.
Intervensi :
Kaji nyeri, catat lokasi nyeri, beratnya (skala 1-10).
Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler.
Dorong ambulasi dini.
Berikan aktivitas hiburan
Berikan analgetik sesuai instruksi
Berikan kantong es pada abdomen.
Daftar Pustaka
1. Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta
2. Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
3. Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000,
Jakarta.
4. Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
5. Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal),
EGC, Jakarta.
6. Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara
Jakarta.