Вы находитесь на странице: 1из 11

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi


Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung
Astinawaty(1), Iwan Kustiwan(2)
(1)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB.
Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perencangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB.

(2)

Abstrak
Perkembangan kawasan pinggiran pada kawasan perkotaan di Indonesia termasuk di Kawasan
Perkotaan Bandung menunjukkan kecenderungan yang sama; urban sprawl. Pada akhirnya,
peningkatan kawasan terbangun di pinggiran perkotaan ini berdampak pada peningkatan panjang
perjalanan yang berpengaruh terhadap kebergantungan terhadap kendaraan bermotor pribadi.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat keterkaitan antara bentuk perkotaan dan konsumsi energi
transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung yang ditinjau melalui unsur-unsur bentuk perkotaan
seperti densitas, diversitas, aksesibilitas, dan desain konektivitas yang dijabarkan lebih lanjut melalui
bentuk perkotaan pada skala kawasan perumahan, seperti ukuran dan kepadatan perumahan,
ketersediaan fasilitas internal perumahan, tipe rumah, tipe perumahan, serta pola jaringan jalan
internal perumahan. Metode stratified random sampling digunakan untuk menentukan sampel dalam
penelitian ini, sehingga sampel terpilih diantaranya tiga berada di kawasan dalam perkotaan yaitu
Buah Batu Regensi, Taman Holis Indah, Puri Cipageran Indah II dan tiga lainnya berada di kawasan
pinggiran perkotaan, yaitu Pondok Hijau Indah, Griya Mitra Posindo dan Griya Bandung Indah.
Melalui analisis deskriptif kuantitatif serta hasil analisis tabulasi silang, penelitian ini membuktikan
bahwa: (1) keterkaitan antara bentuk perkotaan dengan konsumsi energi transportasi dihubungkan
melalui karakteristik pola perjalanan penduduk; dan (2) perkotaan dengan kecenderungan
perkembangan ke arah pinggiran, konsumsi energi transportasinya lebih kuat dipengaruhi oleh
bentuk perkotaan daripada karakteristik sosial ekonomi penduduk.
Kata-kunci: bentuk perkotaan, konsumsi energi transportasi, kawasan perkotaan Bandung

Pengantar
Kawasan Perkotaan Bandung merupakan salah
satu kawasan perkotaan di Indonesia dengan
luas wilayah 343.627 ha. Secara administratif,
kawasan
perkotaan
ini
meliputi
lima
kota/kabupaten, yakni Kota Bandung dan Kota
Cimahi sebagai kota inti, sedangkan Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan
Kabupaten Sumedang yang terdiri dari lima
kecamatan
yaitu
Kecamatan
Jatinangor,
Kecamatan Cimanggung, Kecamatan Sukasari,
Kecamatan
Tanjungsari,
dan
Kecamatan
Pamulihan yang berfungsi sebagai kota satelit.
Jumlah penduduk di kawasan perkotaan ini
adalah 6.535.266 jiwa pada tahun 2005 dan

menjadi 7.972.369 jiwa pada tahun 2010 atau


mengalami peningkatan sebesar 18% dalam
lima tahun (BPS Kota Bandung; Kota Cimahi;
Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab.
Sumedang, 2010). Seiring dengan peningkatan
penduduk
tersebut,
terjadi
pertambahan
populasi
kendaraan
bermotor
(untuk
transportasi darat). Jumlah kendaraan bermotor
di Kawasan Perkotaan Bandung khususnya di
Kota Bandung pada tahun 2010 mencapai
1.215.585 unit kendaraan. Jumlah ini mengalami
kenaikan dari jumlah kendaraan bermotor pada
tahun 2005, yaitu 732.216 unit kendaraan
bermotor atau bertambah 39,76% dalam lima
tahun (Dinas Perhubungan Kota Bandung,
2010). Kondisi ini secara tidak langsung
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 109

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung

menunjukkan
peningkatan
penggunaan
kendaraan bermotor pribadi (sepeda motor dan
mobil) yang berimplikasi terhadap penurunan
tingkat penggunaan kendaraan umum (mobil
penumpang umum). Laju pertumbuhan kawasan
terbangun di pinggiran perkotaan ini sebesar
3,38% per tahun, jauh lebih tinggi dari kawasan
dalam perkotaan yang hanya mengalami
pertumbuhan 0,73% per tahun sejak tahun
2005 menandakan perkotaan ini mengalami
sprawl yang berdampak pada peningkatan
panjang perjalanan yang berpengaruh terhadap
kebergantungan terhadap kendaraan bermotor
pribadi.Besarnya jarak antar kegiatan fungsional
akibat bentuk perkotaan yang mengalami
kecederungan
pertumbuhan
ke
arah
pinggiranmemiliki korelasi positif terhadap
pertambahan
panjang
perjalanan
dan
kebergantungan terhadap kendaraan bermotor
pribadi yang berimplikasi terhadap peningkatan
konsumsi energi transportasi.
Pada
kenyataannya,
konsumsi
energi
transportasi tidak hanya dipengaruhi oleh
bentuk perkotaan, tetapi juga dipengaruhi oleh
karakteristik sosial ekonomi penduduk. Belum
adanya studi keterkaitan antara bentuk
perkotaan dan konsumsi energi transportasi di
Kawasan Perkotaan Bandung menjadikan
penelitian ini penting dilakukan. Dalam hal ini,
pertanyaan penelitian yang muncul adalah
sebagai berikut: (1) Bagaimana keterkaitan
antara bentuk perkotaan dan konsumsi energi
transportasi pada kawasan perkotaan; dan (2)
Apakah perkotaan yang memiliki kecenderungan
perkembangan ke arah pinggiran, bentuk
perkotaan lebih kuat memengaruhi konsumsi
energi transportasi daripada kondisi sosial
ekonomi penduduk. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi keterkaitan antara
bentuk perkotaan dan konsumsi energi
transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut,
maka sasaran penelitian ini adalah: (1)
mengidentifikasi karakteristik bentuk perkotaan
pada skala perumahan di kawasan perkotaan;
(2) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi
penghuni perumahan di kawasan perkotaan; (3)
mengidentifikasi keterkaitan antara bentuk
110 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1

perkotaan pada skala perumahan dengan


karakteristik
sosial
ekonomi
penghuni
perumahan di kawasan perkotaan; dan (4)
mengidentifikasi keterkaitan antara bentuk
perkotaan
pada
skala
perumahan
dan
karakteristik
sosial
ekonomi
penghuni
perumahan
dengan
konsumsi
energi
transportasi di kawasan perkotaan.
Keterkaitan antara Bentuk Perkotaan dan
Karakteristik Sosial Ekonomi
Bentuk perkotaan merupakan ukuran (size),
bentuk (shape), dan intensitas permukiman
perkotaan
yang
mencakup
beberapa
karakteristik spasial yang terukur seperti
kepadatan, pencampuran penggunaan lahan,
dan konektivitas jaringan jalan (Knaap et al.,
2007). Pendekatan untuk mengukur bentuk
perkotaan dengan menggunakan struktur
perkotaan dilakukan dengan menggunakan
indikator, seperti:
a. Kepadatan
Kepadatan dapat diukur menggunakan
kepadatan penduduk, kepadatan rumah
tangga,
kepadatan
pekerjaan,
dan
kepadatan perumahan.
b. Keragaman
Indikator keragaman dapat diukur melalui
rasio job housing, ukuran rumah tangga dan
keragaman jenis pekerjaan.
c. Aksesibilitas
Aksesibilitas
diukur
menggunakan
aksesibilitas pekerjaan dan rumah tangga,
jumlah atau frekuensi pekerjaan dan
aksesibilitas rumah tangga.
d. Jaringan transportasi
Jaringan
transportasi
terukur
melalui
konektivitas
internal
dan
eksternal,
kepadatan jaringan jalan dan ukuran blok.
Unsur-unsur bentuk perkotaan (urban form)
pada dasarnya dapat diidentifikasi melalui skala
perkotaan maupun pada skala kawasan atau
perumahan. Identifikasi terhadap bentuk
perkotaan skala perumahan, dapat dilakukan
melalui indentifikasi terhadap: (a) jarak
perumahan dari pusat kota; (b) ukuran kawasan
perumahan; (c) percampuran penggunaan

Astinawaty

lahan; (d) penyediaan fasilitas lokal; (e)


kepadatan
pembangunan;
(f)
kedekatan
terhadap jaringan transportasi; (g) ketersediaan
sarana parkir di perumahan; (h) tipe jaringan
jalan; dan (i) tipe neighbourhood (Stead dan
Marshal, 2001).
Variabel lainnya juga dikemukakan oleh Crane
(2000) yang digunakan dalam penelitian
mengenai dampak dari kondisi sosial ekonomi
terhadap karakteristik pergerakan. Variabel yang
dianggap berpengaruh terhadap karakteristik
pergerakan yaitu: (1) jenis kelamin; (2) ras; (3)
usia;
tingkat
pendidikan;
(4)
tingkat
pendapatan; dan (5) jumlah anggota keluarga
dimana variabel tersebut termasuk pada
karakteristik sosial ekonomi penduduk. Lee
(1998) mengindentifikasi bahwa semakin tinggi
pendapatan, tingkat pendidikan, dan jenis
pekerjaan penduduk maka akan berdampak
pada tingginya panjang perjalanan yang
dilakukan. Woo (2005) menemukan bahwa
lokasi perumahan merupakan salah satu unsur
penting dalam perkotaan yang berpotensi dalam
mengurangi panjang perjalanan. Semakin besar
konsumsi energi transportasi akan berkaitan
dengan peningkatan jarak perjalanan dan
kondisi sosial ekonomi penghuni perumahan,
seperti ukuran rumah tangga, pemilikan
kendaraan bermotor, dan tingkat pendapatan.
Keterkaitan antara bentuk perkotaan dan
karakteristik sosial ekonomi penduduk dapat
diidentifikasi melalui pola perjalanan. Pola
perjalanan dalam perkotaan tergambarkan
dalam sistem yang sangat kompleks. Lalu lintas
perkotaan terdiri dari dua elemen utama yaitu
perjalanan yang menuju ke dalam wilayah kota
dan perjalanan yang terdapat dalam kota
sendiri. Perjalanan tersebut dapat terjadi karena
beberapa alasan yang berbeda-beda tergantung
dari kepentingan individu pelaku perjalanan.
Keterkaitan antara Bentuk Perkotaan dan
Kondisi Sosial Ekonomi dengan Konsumsi
Energi Transportasi
Shunping et al., (2009) melakukan penelitian
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh
terhadap
konsumsi
energi
transportasi perkotaan di Cina. Dari hasil
penelitian tersebut, faktor-faktor yang dianggap

berpengaruh
terhadap
konsumsi
transportasi perkotaan mencakup:

energi

1. Harga bahan bakar


Harga bahan bakar merupakan biaya yang
harus dikelurkan oleh pengemudi untuk
membeli bahan bakar untuk setiap jenis
kendaraan. Jenis bahan bakar kendaraan
memengaruhi harga bahan bakar yang
digunakan.
2. Jarak tempuh
Jarak
tempuh
merupakan
panjang
perjalanan yang ditempuh dari lokasi asal
menuju
lokasi
tujuan
perjalanan.
Ketersediaan fasilitas perkotaan dan lokasi
perumahan
sangat
berperan
dalam
menentukan jarak tempuh kendaraan.
3. Frekuensi perjalanan
Frekuensi perjalanan adalah banyaknya
perjalanan yang ditempuh pengemudi
berdasarkan tujuan perjalanan. Banyak
faktor yang bisa memengaruhi frekuensi
perjalanan seseorang seperti preferensi,
kondisi sosial ekonomi termasuk tujuan
perjalanan.
4. Jenis bahan bakar
Jenis bahan bakar penting diketahui untuk
mengetahui jenis energi transportasi dan
jenis kendaraan yang digunakan. Informasi
mengenai jenis bahan bakar merupakan
dasar klasifikasi tingkat konsumsi energi
yang dihabiskan pada masing-masing moda.
5. Jenis moda
Moda yang digunakan penduduk terbagi
menjadi dua, yaitu moda angkutan pribadi
dan moda angkutan umum. Jenis moda
tersbut
kemudian
diklasifikasikan
lagi
menjadi moda beroda dua, empat atau jenis
lainnya. Pengetahuan akan jenis moda ini
berkaitan dengan kapasitas mesin yang
memengaruhi
konsumsi
energi
transportasinya.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 111

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung

Hal yang sama juga dikemukakan dengan cara


berbeda oleh Frediani et al. (2008) yang
menyatakan
bahwa
konsumsi
energi
transportasi bergantung kepada:
1. Bentuk perkotaan
Bentuk perkotaan yang dimaksud merupakan
kondisi fisik perkotaan seperti ukuran
perkotaan, kepadatan dan ketersediaan
fasilitas perkotaan. Ukuran perkotaan yang
luas akan menambah jarak perjalanan dan
membutuhkan
lebih
banyak
fasilitas
perkotaan dibandingkan dengan perkotaan
dengan ukuran yang lebih kecil.
2. Jarak tempuh perjalanan
Jarak
tempuh
perjalanan
merupakan
panjang perjalanan yang ditempuh oleh
penduduk perkotaan per satuan waktu.
Ketersediaan fasilitas perkotaan dan lokasi
perumahan juga sangat berperan dalam
menentukan jarak tempuh perjalanan.
3. Penggunaan kendaraan pribadi
Dominasi kendaraan pribadi pada ruas-ruas
jalan di perkotaan akan menambah konsumsi
energi transportasi perkotaan. Penggunaan
kendaraan pribadi pada dasarnya merupakan
reaksi atas kondisi pelayanan infrastruktur
perkotaan yang tidak memadai. Untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,
peningkatan pelayanan angkutan umum
harus
dimaksimalkan.
Setiap
wilayah
perkotaan harus dapat dijangkau oleh
angkutan umum. Interaksi antara bentuk
kota yang sprawl dan kompak dihubungkan
melalui
pemilihan
penggunaan
moda
angkutan pribadi atau umum.
Faktor-faktor
penentu
konsumsi
energi
transportasi perkotaan menurut Adam et al.,
(2008) adalah: (1) tingkat pendapatan; (2)
umur kendaraan; (3) kapasitas mesin (CC)
kendaraan; (4) waktu tempuh; (5) jarak
tempuh; (6) merek kendaraan; dan (7)
aksesibilitas. Hasil analisis faktor-faktor yang
memengaruhi konsumsi energi transportasi
112 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1

menunjukkan bahwa terdapat empat variabel


yang secara signifikan mempengaruhi konsumsi
energi transportasi, yaitu:
1. Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan yang juga merupakan
karakteristik sosial ekonomi penduduk
diidentifikasi memiliki hubungan positif atas
konsumsi energi transportasi. Pengeluaran
energi transportasi yang meningkat sejalan
dengan meningkatnya pendapatan terutama
disebabkan oleh jumlah kendaraan yang
lebih banyak atau pengeluaran energi
transportasi dengan kualitas yang tinggi
dengan harga yang lebih mahal.
2. Umur kendaraan
Umur
kendaraan
merupakan
kondisi
kendaraan terutama pada kemampuan mesin
kendaraan. Semakin tua umur kendaraan,
maka konsumsi energinya akan semakin
besar karena kemampuan mesin kendaraan
tersebut
telah
berkurang
seiring
pertambahan umur kendaraan.
3. Kapasitas mesin kendaraan
Kapasitas
mesin
kendaraan
sangat
bergantung pada jenis kendaraan yang
digunakan. Jenis kendaraan yang berbeda
memiliki kapasitas mesin yang juga berbeda.
Kapasitas mesin yang dipengaruhi oleh usia
kendaraan juga menentukan jarak tempuh
yang dapat dicapai oleh kendaraan tesebut.
4. Jarak tempuh perjalanan
Jarak tempuh perjalanan dinyatakan dalam
satuan kilometer. Kapasitas mesin (cc)
kendaraan bersama jarak tempuh perjalanan
juga
terbukti
signifikan
memengaruhi
konsumsi untuk energi transportasi.

Astinawaty

yang masing-masing terletak tiga di kawasan


dalam adalah Buah Batu Regensi, Taman Holis
Indah dan Puri Cipageran Indah II dan tiga di
kawasan pinggiran adalah Pondok Hijau Indah,
Griya Bandung Indah dan Griya Mitra Posindo.

Gambar 1. Keterkaitan antara bentuk perkotaan dan


konsumsi energi transportasi

Hubungan antara variabel yang memengaruhi


konsumsi enrgi transportasi perkotaan terlihat
seperti pada gambar 1. sebelumnya.
Metode
Berdasarkan pada tujuannya, penelitian ini
diklasifikasikan sebagai penelitian eksplanasi
(explanation research). Jika ditinjau dari
manfaatnya, penelitian dengan judul keterkaitan
antara bentuk perkotaan dan konsumsi energi
transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung ini
merupakan penelitian terapan. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis deskriptif kuantitatif. Metode ini
dilakukan
melalui
pendekatan
observasi
lapangan dan wawancara terhadap responden
penelitian. Populasi dalam penelitian ini
merupakan semua perumahan formal di wilayah
yang ditentukan berdasarkan data dari DPD Real
Estate Indonesia (REI) Provinsi Jawa Barat
tahun 2011. Pemilihan sampel penelitian
dilakukan melalui metode stratified random
sampling yang didasarkan pada: (1) lokasi
perumahan dalam perkotaan (kawasan dalam
dan kawasan pinggiran); (2) jenis atau kriteria
perumahan berdasarkan acuan yang ditawarkan
oleh
pengembang
(mewah,
menengah,
sederhana); dan (3) hasil observasi lapangan
yang dilakukan. Berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan, terpilih sebanyak enam perumahan

Gambar 2. Lokasi Perumahan

Besar sampel dalam penelitian ini diperoleh


menggunakan metode alokasi sama besar
dengan besar subsampel setiap strata adalah
sama. Hal ini didasarkan pada ketentuan: (1)
jumlah unit elementer pada setiap stratum lebih
kurang sama; (2) variance setiap stratum (i2)
dan biaya per unit sampling tidak banyak
berbeda; dan (3) data mengenai variance
stratum atau ongkos per unit sampling tidak
diketahui. Maka besarnya sampel ditentukan
menggunakan rumus:

n=
dimana:
N
n
Ni
i2

ni
B
L

= besar populasi
= besar sampel
= besar subpopulasi stratum ke-i
= variance subpopulasi stratum ke-i (jika
tidak diketahui keragaman populasi maka
diasumsikan
keragaman
populasi
heterogen dengan nilai i2 = 0,5)
= besar subsampel stratum ke-i
= bound of error
= banyaknya strata

Bound of error penelitian yaitu tidak lebih dari


10% pada derajat kepercayaan 90%. Hal ini
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 113

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung

dilakukan mengingat semakin besar sampel


yang diambil, maka semakin banyak waktu dan
biaya penelitian yang digunakan. Total sampel
untuk enam perumahan adalah 180 sampel dan
masing-masing perumahan dengan 30 sampel.
Perangkat penelitian untuk survai primer berupa
kuesioner
yang
memuat:
(1)
identitas
responden seperti nama, usia, jenis kelamin,
ukuran rumah tangga, pekerjaan, pendapatan,
pengeluaran untuk transportasi, pemilikan
kendaraan, biaya perjalanan; (2) informasi pola
perjalanan seperti tujuan, lokasi aktivitas, jarak
tempuh, waktu tempuh, jenis moda yang
digunakan,
frekuensi
perjalanan,
biaya
transportasi, serta penggantian kendaraan yang
dilakukan; dan (3) karakteristik penggunaan
bahan bakar pada moda yang digunakan,
seperti jenis dan merek kendaraan, dan
kapasitas mesin kendaraan. Teknik analisis yang
digunakan adalah statistik deskriptif kuantitatif
berdasarkan hasil analisis dari data-data yang
dikumpulkan baik melalui survai data primer
maupun sekunder. Karakteristik sosial ekonomi,
pola perjalanan penduduk dan konsumsi energi
transportasi pada moda yang digunakan
diperoleh dari hasil survai primer yang
ditampilkan
melalui
analisis
deskriptif.
Keterkaitan antara bentuk perkotaan skala
perumahan, karakteristik sosial ekonomi, pola
perjalanan dan konsumsi energi transportasi
diolah menggunakan software SPSS 17.0.
Diskusi
Bentuk Perkotaan pada Skala Perumahan
Bentuk perkotaan pada skala perumahan
ditinjau melalui ukuran kawasan perumahan,
kepadatan, ketersediaan fasilitas internal, tipe
rumah, tipe perumahan dan pola jaringan jalan
internal. Perumahan dengan luas terbesar
terdapat di kawasan dalam perkotaan yaitu
Perumahan Buah Batu Regensi yang luasnya
mencapai 130 ha. Perumahan dengan luas
terkecil adalah Griya Bandung Indah dengan
luas 16,5 ha di kawasan pinggiran perkotaan.
Berdasarkan hasil observasi, Griya Bandung
Indah dan Griya Mitra Posindo merupakan
perumahan dengan lokasi terjauh dari pusat
114 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1

perkotaan. Pada umumnya, sampel perumahan


di Kawasan Perkotaan Bandung masing-masing
telah memiliki fasilitas internal yang lengkap,
kecuali pada perumahan Pondok Hijau Indah.
Kepadatan kawasan tertinggi terdapat di
perumahan Griya Bandung Indah yang terletak
di kawasan pinggiran perkotaan. Setiap sampel
perumahan di Kawasan Perkotaan Bandung
memiliki lebih dari satu tipe perumahan dan
memiliki tipe rumah campuran antara kopel
maupun rumah deret. Pola jaringan jalan berupa
grid terdapat pada perumahan Taman Holis
Indah, Griya Mitra Posindo dan Griya Bandung
Indah. Pola jaringan jalan cluster dan cul de sac
terdapat di Perumahan Buah Batu Regensi,
sedangkan pola jaringan jalan campuran berupa
grid dan culdesac berada di Pondok Hijau Indah
dan Puri Cipageran Indah.
Karakteristik Sosial Ekonomi
Karakteristik sosial ekonomi penghuni rumah
tangga mencakup beberapa karakteristik,
seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
pekerjaan, ukuran
rumah
tangga,
dan
kepemilikan kendaraan bermotor. Berdasarkan
hasil survai, tingkat pendidikan ke enam
perumahan memperlihatkan karakteristik yang
hampir sama yang didominasi oleh lulusan
perguruan tinggi. Penghuni rumah tangga pada
perumahan Pondok Hijau Indah dan Buah Batu
Regensi sebagian besarnya memiliki pendapatan
di atas rata-rata atau lebih dari Rp.5.000.000
per bulan. Pendapatan tertinggi kedua atau
berada pada rentang Rp. 1.500.000-Rp.
5.000.000 per bulan yang rata-rata dimiliki oleh
penghuni rumah tangga pada perumahan Griya
Mitra Posindo dan Griya Bandung Indah di
kawasan pinggiran. Wiraswasta merupakan jenis
pekerjaan yang paling banyak ditekuni oleh
penghuni perumahan di Buah Batu Regensi,
Taman Holis Indah, Puri Cipageran Indah II,
Pondok Hijau Indah, dan Griya Bandung Indah.
Penghuni perumahan baik di kawasan dalam
maupun di pinggiran Kawasan Perkotaan
Bandung rata-rata merupakan keluarga kecil,
yang memiliki anggota keluarga kurang dari
atau sama dengan empat orang. Perbedaan
karakteristik sosial ekonomi penghuni yang

Astinawaty

mencolok pada setiap kawasan perumahan


tampak pada kepemilikan kendaraan bermotor.
Penghuni di Perumahan Pondok Hijau Indah dan
Buah Batu Regensi memiliki total kendaraan
bermotor pribadi lebih banyak dibandingkan ke
empat perumahan lainnya.
Karakteristik Pola Perjalanan
Pola perjalanan yang dipengaruhi bentuk
perkotaan dan kondisi sosial ekonomi, meliputi
tujuan perjalanan; frekuensi perjalanan; jarak
tempuh; waktu tempuh; biaya transportasi dan
pemilihan moda transportasi. Tujuan perjalanan
penghuni perumahan di Kawasan Perkotaan
Bandung untuk bekerja (73%), belanja (55%)
dan berobat (72%) lebih banyak dilakukan di
kawasan dalam perkotaan. Banyaknya kegiatan
yang dilakukan di kawasan dalam perkotaan
mengindikasikan bahwa sebaran fasilitas di
kawasan perkotaan belum merata antara
kawasan dalam dan pinggiran sehingga
penghuni perumahan di kawasan dalam maupun
pinggiran lebih memilih untuk bekerja, belanja,
dan berobat di kawasan dalam perkotaan. Selain
menuju kawasan dalam, penghuni perumahan
juga memiliki tujuan perjalanan yang dilakukan
di luar kawasan perkotaan, seperti untuk
rekreasi dan bekerja. Berdasarkan hasil survai,
penghuni perumahan di kawasan dalam
perkotaan rata-rata menempuh jarak 21,80
km/hari untuk keseluruhan aktivitas seperti
bekerja, sekolah/kuliah, belanja, berobat dan
aktivitas lainnya. Hal ini terlihat berbeda dengan
kawasan pinggiran perkotaan yang menempuh
jarak untuk beraktivitas selama satu hari yaitu
31,9 km. Tingginya jarak tempuh perjalanan di
kawasan pinggiran dapat mengindikasikan
bahwa fasilitas yang berada di kawasan tersebut
belum
mampu
memenuhi
kebutuhan
masyarakat yang tinggal di kawasan pinggiran
perkotaan. Waktu tempuh perjalanan untuk
setiap aktivitas yang dilakukan dimana aktivitas
terlama yang dilakukan adalah untuk tujuan
rekreasi yaitu rata-rata 60 menit/hari di
kawasan dalam maupun di kawasan pinggiran
perkotaan. Penghuni perumahan di Kawasan
Perkotaan Bandung rata-rata menghabiskan
biaya transportasi Rp. 500.000 per bulan.
Penghuni Perumahan Puri Cipageran Indah II,
Taman Holis Indah, Griya Mitra Posindo dan

Griya Bandung Indah rata-rata menghabiskan


biaya untuk transportasi Rp. 500.000 per
bulan.
Konsumsi Energi Transportasi
Konsumsi energi transportasi pada moda
angkutan pribadi di Kawasan Perkotaan
Bandung dapat digambarkan, melalui: (1)
persentasi penggunaan jenis bahan bakar; serta
(2) konsumsi energi transportasi dalam waktu
satu hari (ltr/hr). Jenis bahan bakar yang paling
banyak digunakan pada moda angkutan pribadi
adalah premium. Penggunaan premium di
kawasan dalam oleh penghuni perumahan
sebesar 91% dan di kawasan pinggiran
perkotaan sebesar 90%. Penggunaan jenis
moda angkutan berupa motor oleh penghuni di
Perumahan Buah Batu Regensi rata-rata
konsumsi energi transportasinya 0,585 ltr/hr dan
untuk mobil sebesar 5,426 ltr/hr.

Gambar 3. Konsumsi energi transportasi per jenis


moda di kawasan perkotaan

Konsumsi energi transportasi di Perumahan


Taman Holis Indah masing-masing sebesar
0,668 ltr/hr untuk jenis kendaraan motor dan
3,751 ltr/hr untuk jenis kendaraan mobil. Di
kawasan pinggiran perkotaan, penghuni di
Perumahan Pondok Hijau Indah menghabiskan
bahan bakar terbesar, yaitu 1,569 ltr/hr untuk
penggunaan motor pribadi dan 6,658 ltr/hr
untuk penggunaan mobil pribadi. Penghuni
Perumahan Pondok Hijau Indah merupakan
pengguna energi transportasi terbesar untuk
keseluruhan konsumsi energi transportasi pada
penghuni perumahan di Kawasan Perkotaan
Bandung.
Berbeda dengan penggunaan angkutan pribadi,
karakteristik konsumsi energi transportasi pada
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 115

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung

moda angkutan umum di Kawasan Perkotaan


Bandung digambarkan melaluibiaya transportasi
yang dikeluarkan oleh penghuni perumahan
yang menggunakan angkutan umum dalam
beraktivitas selama satu hari (Rp/hr). Penghuni
di Perumahan Puri Cipageran Indah II
merupakan perumahan yang menghabiskan
biaya tertinggi yaitu Rp. 19.100/hr untuk
penggunaan semua jenis angkutan umum. Di
sisi lain, penghuni di perumahan Griya Mitra
Posindo, Griya Bandung Indah dan Taman Holis
Indah
rata-rata
menghabiskan
biaya
transportasi tidak lebih dari Rp. 2.500/hr untuk
penggunaan semua jenis angkutan umum.
Tingkat Keterkaitan Karakteristik Bentuk
Perkotaan, Karakteristik Sosial Ekonomi
dan Pola Perjalanan dengan Konsumsi
Energi Transportasi
Hasil analisis tabulasi silang yang dilakukan
untuk melihat keterkaitan antara bentuk

Gambar 4. Biaya penggunaan angkutan umum


perumahan per hari

Hasil analisis tabulasi silang yang dilakukan


untuk melihat keterkaitan antara bentuk
perkotaan skala perumahan, karakteristik sosial
ekonomi dan pola perjalanan dengan konsumsi
energi transportasi memperlihatkan bahwa
bentuk perkotaan (ukuran kawasan, jarak dari
pusat kota, kepadatan perumahan, ketersediaan
fasilitas internal, tipe perumahan dan pola
jaringan jalan internal), karakterstik sosial
ekonomi
penghuni
perumahan
(tingkat
pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, dan
pemilikan kendaraan bermotor) dan pola
116 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1

perjalanan (frekuensi, jarak dan waktu tempuh,


pemilihan moda, dan biaya transportasi)
memiliki keterkaitan dengan konsumsi energi
transportasi yang ditinjau dari variabel jenis
bahan
bakar,
jenis
kendaraan,
jumlah
penggunaan bahan bakar, dan kapasitas mesin
kendaraan. Kategorisasi hubungan masingmasing keterkaitan dilihat melalui koefisien
kontingensi (Guilford dalam Hasan, 2000)
adalah: (1) < 0,20 berarti korelasi rendah atau
sangat lemah; (2) 0,20-0,40 berarti korelasi
rendah tapi pasti; (3) 0,40-0,70 berarti korelasi
cukup berarti; dan (d) 0,70-0,90 berarti korelasi
tergolong tinggi atau kuat. Nilai koefisien
kontingensi tertinggi berturut-turut terdapat
pada
aspek
ukuran
kawasan
(0,582),
ketersediaan fasilitas internal (0,555) dan pola
internal jaringan jalan (0,473) yang memiliki
korelasi cukup berarti terhadap penggunaan
bahan bakar. Di sisi lain, keterkaitan
karakteristik sosial ekonomi terhadap konsumsi
energi transportasi pada sebagian besar
tergolong sangat lemah (nilai koefisien
kontingensi <0,20). Nilai koefisien kontingensi
tertinggi karakteristik sosial ekonomi berturutturut terdapat pada aspek pemilikan kendaraan
bermotor (0,581), tingkat pendidikan (0,452)
dan tingkat pendapatan (0,457) yang memiliki
korelasi cukup berarti terhadap penggunaan
bahan bakar. Karakteristik pola perjalanan
memiliki nilai koefisien kontingensi tertinggi
terdapat pada aspek pemilihan moda terhadap
jumlah penggunaan bahan bakar. Dari hasil
analisis tabulasi silang ini diperoleh total nilai
koefisien kontingensi untuk masing-masing
variabel dan dapat disimpulkan bahwa
karakteristik bentuk perkotaan lebih kuat
pengaruhnya
terhadap
konsumsi
energi
transportasi
daripada
karakteristik
sosial
ekonomi penghuni perumahan.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil
temuan studi yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
1.

Bentuk perkotaan pada skala perumahan


yang ditinjau melalui ukuran kawasan, Buah

Astinawaty

perkotaan. Kegiatan untuk bekerja, belanja


maupun sekolah/kuliah memiliki frekuensi
terbesar baik pada kawasan dalam maupun
di
kawasan
pinggiran
perkotaan.
Berdasarkan
hasil
survai,
penghuni
perumahan di kawasan dalam perkotaan
rata-rata menempuh jarak 21,80 km/hari
untuk keseluruhan aktivitas seperti bekerja,
sekolah/kuliah, belanja, berobat dan
aktivitas lainnya. Hal ini terlihat berbeda
dengan kawasan pinggiran perkotaan yang
menempuh jarak untuk beraktivitas yaitu
31,9 km/hari. Waktu tempuh perjalanan
terlama dilakukan untuk tujuan rekreasi
yaitu rata-rata 60 menit/hari oleh penghuni
perumahan di kawasan dalam maupun di
kawasan pinggiran perkotaan. Setiap tujuan
perjalanan
yang
dilakukan
penghuni
perumahan
cenderung
menggunakan
kendaraan bermotor pribadi.

Batu Regensi merupakan perumahan


dengan
luas
terbesar
sedangkan
perumahan dengan luas terkecil adalah
Griya Bandung Indah yang berada di
kawasan pinggiran perkotaan. Kepadatan
perumahan tertinggi terdapat di Perumahan
Griya Bandung Indah yang terletak di
kawasan pinggiran perkotaan. Setiap
sampel perumahan di Kawasan Perkotaan
Bandung memiliki tipe rumah kopel maupun
rumah deret. Pola jaringan jalan berupa
grid terdapat di Perumahan Taman Holis
Indah, Griya Mitra Posindo dan Griya
Bandung Indah. Pola jaringan jalan cluster
dan cul de sac terdapat di Perumahan Buah
Batu Regensi, sedangkan pola jaringan
jalan campuran berupa grid dan cul de sac
terdapat di Perumahan Pondok Hijau Indah
dan Puri Cipageran Indah II.
2.

3.

Karakteristik sosial ekonomi penghuni


perumahan mencakup tingkat pendidikan
pada enam sampel perumahan didominasi
oleh lulusan perguruan tinggi. Untuk tingkat
pendapatan, penghuni Perumahan Pondok
Hijau Indah dan Buah Batu Regensi
memiliki pendapatan di atas rata-rata atau
lebih dari Rp. 5.000.000/bulan. Pendapatan
tertinggi kedua atau berada pada rentang
Rp. 1.500.000-Rp. 5.000.000 per bulan
yang terdapat pada perumahan Griya Mitra
Posindo dan Griya Bandung Indah yang
terletak di kawasan pinggiran perkotaan.
Sebagian besar penghuni Perumahan
Pondok Hijau Indah dan Buah Batu Regensi
memiliki dua unit mobil dan motor,
sementara sebagian besar penghuni di
Perumahan Griya Bandung Indah, Griya
Mitra Posindo dan Puri Cipageran Indah II
sama sekali tidak memiliki mobil. Penghuni
pada tiga perumahan tersebut memiliki
pendapatan sedang (Rp. 1.500.000 - Rp.
5.000.000 per bulan) yang rata-rata
memiliki dua unit motor.
Pola perjalanan yang diidentifikasi melalui
tujuan perjalanan penghuni perumahan di
Kawasan Perkotaan Bandung untuk bekerja
(73%), belanja (55%) dan berobat (72%)
lebih banyak dilakukan di kawasan dalam

4.

Konsumsi energi transportasi pada moda


angkutan pribadi di Kawasan Perkotaan
Bandung dapat digambarkan, melalui
persentasi penggunaan jenis bahan bakar
dan konsumsi energi transportasi dalam
waktu satu hari (ltr/hr). Jenis bahan bakar
yang paling banyak digunakan pada enam
sampel perumahan di Kawasan Perkotaan
Bandung adalah premium. Penggunaan
jenis moda angkutan pribadi berupa motor
oleh penghuni di Perumahan Buah Batu
Regensi
rata-rata
konsumsi
energi
transportasinya 0,585 ltr/hr dan untuk
mobil sebesar 5,426 ltr/hr. Konsumsi energi
transportasi di Perumahan Taman Holis
Indah masing-masing sebesar 0,668 ltr/hr
untuk jenis kendaraan motor dan 3,751
ltr/hr untuk jenis kendaraan mobil. Di
kawasan pinggiran perkotaan, penghuni di
Perumahan
Pondok
Hijau
Indah
menghabiskan bahan bakar terbesar yaitu
1,569 ltr/hr untuk penggunaan motor
pribadi dan 6,658 ltr/hr untuk penggunaan
mobil pribadi sekaligus menjadi pengguna
energi
transportasi
terbesar
untuk
keseluruhan
perumahan
di
Kawasan
Perkotaan Bandung. Untuk penggunaan
kendaraan umum, penghuni di Perumahan
Puri Cipageran Indah II merupakan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 117

Keterkaitan Antara Bentuk Perkotaan dan Konsumsi Energi Transportasi di Kawasan Perkotaan Bandung

perumahan yang menghabiskan biaya


tertinggi yaitu Rp. 19.100/hr. Di sisi lain,
penghuni di perumahan Griya Mitra
Posindo, Griya Bandung Indah dan Taman
Holis Indah rata-rata menghabiskan biaya
transportasi tidak lebih dari Rp. 2.500/hr.
5.

Keterkaitan antara bentuk perkotaan,


karakteristik
sosial
ekonomi
dengan
konsumsi energi transportasi dilihat melalui
hasil analisis tabulasi silang. Nilai koefisien
kontingensi tertinggi pada bentuk perkotaan
berturut-turut terdapat pada aspek ukuran
kawasan (0,582), ketersediaan fasilitas
internal (0,555) dan pola internal jaringan
jalan (0,473) yang memiliki korelasi cukup
berarti terhadap penggunaan bahan bakar.
Di sisi lain, keterkaitan karakteristik sosial
ekonomi
terhadap
konsumsi
energi
transportasi pada sebagian besar tergolong
sangat lemah (nilai koefisien kontingensi
<0,20). Nilai koefisien kontingensi tertinggi
karakteristik sosial ekonomi berturut-turut
terdapat pada aspek pemilikan kendaraan
bermotor (0,581), tingkat pendidikan
(0,452) dan tingkat pendapatan (0,457)
yang memiliki korelasi cukup berarti
terhadap penggunaan bahan bakar. Dari
hasil analisis tabulasi silang ini diperoleh
total nilai koefisien kontingensi untuk
masing-masing variabel dan disimpulkan
bahwa karakteristik bentuk perkotaan lebih
kuat pengaruhnya terhadap konsumsi
energi transportasi daripada karakteristik
sosial ekonomi penghuni perumahan.

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, maka


rekomendasi terhadap upaya untuk mengurangi
konsumsi energi transportasi di kawasan
perkotaan dapat dilakukan dengan:
1.

2.

Intervensi terhadap unsur-unsur bentuk


perkotaan pada skala perumahan, perlu
dilakukan untuk mengurangi konsumsi
energi transportasi.
Pembatasan terhadap kendaraan pribadi
dan umum yang beroperasi ditinjau dari
umur
kendaraan
dan
penggunaan

118 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1

3.

kendaraan dengan kapasitas mesin yang


relatif besar.
Peningkatan pelayanan angkutan umum di
kawasan dalam dan pinggiran perkotaan
oleh pemerintah.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini


adalah:
1.

2.

3.

4.

Identifikasi terhadap karakteristik konsumsi


energi transportasi juga perlu dilakukan
secara rinci pada setiap aktivitas penduduk
seperti bekerja, sekolah/kuliah, belanja,
rekreasi, berobat, maupun aktivitas lainnya
sehingga dapat diketahui aktivitas mana
yang lebih banyak mengkonsumsi energi
transportasi.
Untuk melihat perbandingan konsumsi
energi antara perumahan pada penelitian,
sebaiknya ditentukan berdasarkan proporsi
jumlah penghuni pada perumahan.
Analisis terhadap unsur-unsur bentuk
perkotaan pada skala perkotaan perlu
dilakukan untuk melihat keterkaitan setiap
unsur bentuk perkotaan tersebut terhadap
konsumsi energi transportasi.
Hasil dari penelitian ini merupakan
cerminan dari wilayah studi di Kawasan
Perkotaan
Bandung
yang
memiliki
karakteristik berbeda dengan kawasan
perkotaan lainnya. Oleh karena itu, hasil
penelitian pada kawasan ini belum tentu
juga berlaku di kawasan perkotaan lainnya.

Untuk melengkapi penelitian yang berkaitan


selanjutnya, maka beberapa rekomendasi yang
perlu dilakukan adalah sebagai berikut;
1.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat


keterkaitan antara bentuk perkotaan skala
perumahan dengan konsumsi energi
transportasi
di
Kawasan
Perkotaan
Bandung. Sebaiknya terdapat penelitian
dengan pemilihan lokasi kawasan perkotaan
yang berbeda untuk melihat keterkaitan
antara bentuk perkotaan dengan konsumsi
energi transportasi.

Astinawaty

2.

3.

Responden utama penelitian ini adalah


penghuni perumahan di Kawasan Perkotaan
Bandung. Pada dasarnya, terdapat banyak
pelaku
(stakeholders)
yang
juga
berpengaruh terhadap konsumsi energi
transportasi seperti pihak pemerintah
sebagai regulator atau dari pihak swasta
sebagai developer perumahan. Oleh karena
itu, disamping penghuni perumahan, objek
penelitian sebaiknya juga diambil dari
pihaklainnya seperti pihak pemerintah dan
swasta (developer).
Bila dalam penelitian ini salah satu variabel
yang diidentifikasi adalah pola perjalanan
penduduk, maka perlu dilakukan studi
lanjutan mengenai karakteristik pelayanan
infrastruktur transportasi di Kawasan
Perkotaan Bandung.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir.
Iwan Kustiwan, MT selaku pembimbing atas
bimbingan dan arahan selama penelitian.
Daftar Pustaka
Adam et al., (2008). The Estimation of Energy
Consumption and Amount of Population.
Transportation, Vol. 19, hal 303-311.
Akisawa, et al. (1998). New directions in urban
regeneration and the governance of city
regions.Springer, Tokyo.
Akiva, B. et al., 1985. Discrete Choice Analysis
Theory and Application to Travel Demand. MIT
Press.
Burhan, Bungin. 2011. Metodologi Penelitian
Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Burton, Elizabeth. 2002. The Compact City: Just
or Just Compact? A Preliminery Analysis.Urban
Studies, vol. 37, No.11, 1969-2001, 2000.
Breheny, M. 1992. The compact city and
transport energy consumption, Transportation
Infrastructure Geography, vol. 20.
Chervero, R., 1998. The Transit Metropolis.
Washington, DC: Island Press.
Chervero, R., K., Kockelman. 1997. Travel
Demand and the Three Ds: Density, Diversity,
and Design, Transportation Research, Part D

2(2).

Chen et.al., 2011. Estimating the Relationship


between
Urban
Form
and
Energy
Consumption: A Case Study in the Pearl River
Delta, 2005-2008. Journal Landscape and
Urban Planning, vol.102.
Crane, Randall. 2000. The Influence of Urban
Form on Travel: An Interpretive Review.
Journal Transportation Research, vol. 30 (4).
Frediani et al. 2008. Compact City-Sprawl City:
Two Interacting Urban Forms. ISOCARP
Congress.
Knaap et al., 2007. Measuring Pattern of Urban
Development: new intelligence for the war and
sprawl, Local Environment, Vol.12.
Kustiwan,
Iwan.
2010.
Bentuk
dan

Pengembangan
Kawasan
Perkotaan
Berkelanjutan, Disertasi Program Studi Ilmu
Lingkungan, Jakarta: Universitas Indonesia.
Lee, R. 1998. Development factor on travel
demand. Annual ULI Conference, Developing
Green: Integrating Sustainability with Success,
Pittsburgh.
Nazir, M. 2003. Metoda penelitian. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Newman, P., dan J. Kenworthy. 1999.

Sustainablility
and
cities:
overcoming
automobile dependence. Washington, DC:
Island Press.
Pouyanne, G. 2004. Urban form dan travel
patterns: An application to the metropolitan
area Bordeaux. Canadian Journal of Regional

Science (Spring).
Shunping et al., 2009. Review of Transportation
and Energy Consumption Related Research.

Journal of Transportation System Engineering


and Information Technology.Volume 9.
Stead, D., dan S., Marshall, 2001. The
Relationship between urban form and travel
pattern.
An international review and
evaluation, ETJIR, Vol. 1 (2).
Woo. 2005. The advantages of a high density,
mixed land use, linear urban development.
Journal of Transportation, vol. 24.
Badan Pusat Statistik. 2005-2010. Kota
Bandung, Kab. Bandung, Kota Cimahi Dalam
Angka Tahun 2010, Kab. Bandung Barat
Dalam Angka Tahun 2010, Kab. Sumedang
Dalam Angka Tahun 2010.
Dinas Perhubungan Kota Bandung Tahun 2010.
Statistik Manual Energi (SME) Tahun 2011
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N1 | 119

Вам также может понравиться