Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENGEMBANGAN
SENI
PERTUNJUK AN
NA SIONAL
2015-2019
:
Helly Minarti
Yudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri
iv
Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD)
Abduh Azis
Aisha Pletscher
Amna S. Kusumo
Bambang Subekti
Bre Redana
Budi Setiyono
Budi Utomo Prabowo
Butet Kertaredjasa
Dewi Noviami
Edy Utama
Een Herdiani
Ery Mefri
Farah Wardani
Gianti Giadi
Idaman Andarmosoko
Iswadi
Joned Suryatmoko
vi
Kata Pengantar
Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun
tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang
sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,
karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan
dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus
saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi
dan berpentas di panggung-pangung internasional.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka
dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukan
musikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi
besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap
sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Tetapi, benarkah?
Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah
satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif
sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan ini pun lalu diadopsi ke dalam
rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
pada Desember 2011.
Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang
besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya
menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen
Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkan
perolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural,
perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari The Broadway League,
pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke
dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui
kota lain di Amerika.
Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia?
Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni
pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk
tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja
pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta
indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai
suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan
selama penelitian.
vii
Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang
seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi,
transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi
dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang
bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang
tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkan
inefisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting
adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang
masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan
masyarakat penontonnya sendiri.
Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini
berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang
diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar
yang kokoh dan terukur capaiannya. Tentu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan
dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian penting
yang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini.
Terakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak
mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari
banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para
narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjang
bulan Mei-Juni. Tanpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak
mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni
Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini.
Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses
pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.
viii
Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................... vii
Daftar Isi.............................................................................................................................. ix
Daftar Gambar.....................................................................................................................xii
Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii
Ringkasan Eksekutif...........................................................................................................xiv
BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4
1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan........................................................................................ 4
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan....................................................7
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan................................................................... 24
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................24
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27
BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN
INDONESIA........................................................................................................................... 35
2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................................36
2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36
2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................. 36
2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan.........................................................72
2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan.................................................................................72
2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan...............................................................76
2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan...............................................................78
BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA........................................... 85
3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86
3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88
3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan.........................................................................................89
3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90
3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga.......................................................................... 91
3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor............................................................................................... 92
ix
126
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan
Berkelanjutan......................................................................................................... 126
4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat
Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan......................................................... 126
4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127
4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................127
4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan
Karya Seni Pertunjukan...........................................................................................127
xi
Daftar Gambar
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23
Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia.....................................................32
Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.........................................................................38
Gambar 2-2 Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar
yang Umum Digunakan...................................................................................... 46
Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73
Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88
Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89
Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90
Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan........................ 91
Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92
Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93
Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE..................... 94
Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan.............................................................. 105
Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118
xii
Daftar Tabel
Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013..................................................86
Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan.............................................................107
xiii
Ringkasan Eksekutif
Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentifikasi oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang potensial dikembangkan.
Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku
kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas isuisu penting seputar seni pertunjukan.
Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka
pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf
namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan
(Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan.
Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur
potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini
dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia
dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung
menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah
kategorikal seperti tradisi, modern dan kontemporer terlebih dahulu dibedah secara kritis agar
dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman
berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif BaratEropa-Amerikayang
mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap modern oleh Barat belum tentu sama dengan
pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dari
perspektif kesejarahan yang berbeda.
Agar memperjelas uraian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh
pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti
bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya
telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif
dalam lokalitasnya yang khas.
Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identifikasi permasalahan, terutama dari sudut
kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukanmeski
berpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia masih jauh dari
ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai produk yang siap dipasarkan secara
kompetitif). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih
minimbahkan bisa dibilang tidak adasehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang
menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini
tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses
gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang
terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan
karyanya di tempat atau kota lain (touring).
xiv
Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme pasar dalam seni pertunjukan Indonesia dalam
pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris
sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi
penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung
jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda.
Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga
subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yang
sekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi
dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia
bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang
menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni),
maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur seni
pertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan
prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik
seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagi
sektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial.
Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini
tercapai, sambil jeli mempromosikan produk-produk kesenian yang dianggap potensial untuk
bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau
lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang
penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar
(market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yang
sarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang.
Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi
seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi
dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut.
1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer
Indonesia.
2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan
seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi
yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya
akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup
seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta
profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya
dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial).
3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup
masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu
menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
xv
xvi
BAB 1
Perkembangan
Seni Pertunjukan
di Indonesia
(2) Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5 (New York: Routledge, 1998), hlm.21.
Dalam mendefinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaantermasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat
sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana
seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern
di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:
Dalam definisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan definisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu:
1. Gagasan adalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan
tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan
suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan;
2. Perancang adalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangka
penciptaan seni pertunjukan;
3. Penampil adalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentukbentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan
karya seni pertunjukan;
4. Pekerja teknis adalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang
bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan;
5. Penonton adalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya
seni pertunjukan;
6. Langsung (live) adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsung
di dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini
dan kini (hic et nunc).
tari, sebagai salah satu contoh, Tari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks
aslinya ketika ia dipertontonkan di TVRI pada tahun 19701980-an. Tarian-tarian ini banyak
yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk
konsumsi acara-acara pariwisata.
Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan
(teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul
mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para
teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia
merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3
Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun
Ibsen) maupun a na sir-a na sir teater lok a l (ketopra k, Komed ie Sta mboel) da la m
teater modern Indonesia pun diana lisis dan dibeda h oleh beberapa pengkajinya. 4
Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan
masih dalam proses awal pewacanaan seperti tercermin dari minimnya tulisan-tulisan seputar topik ini.5
Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori,
yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk
yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan
sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer).
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater
dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre modern dan kontemporer). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yang
sebetulnya tidak mengenal pemisahan klasifikasi demikian. Teater tradisional dari Minangkabau
(Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada
pencaksilat), meski dalam definisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk teater.
Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas
disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus,
opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
(3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)
dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia (Athens: Ohio
University Press, 2010).
(4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in
Colonial Indonesia 18911903 (Ohio: Ohio University Press, 2006).
(5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The
Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of
Colorado, 1976; dan Helly Minarti, Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskrip
disertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.
Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910
Sumber: Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 18911903 Ohio: Ohio University
Press, 2006
Komedi Stamboel
Komedie Stamboel adalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleks
menggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu
genre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu
kelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunan
Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering
dideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan
besar pada perkembangan teater kontemporerseperti keroncong, ketoprak (yang pernah
disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas
dan representasi.
Julukan stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya,
cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan
mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama mereka
merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Suasana
dan perabotannyapencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik
pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plotmirip dengan
dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah penting
adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkeliling
di Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal).Pada dasawarsa pertama abad
ke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulai
dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra hingga folklor
populer Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima,
hingga Perang Lombok 18991900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Saluran
transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litografi, percetakan, dan
sebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.
Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di
tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha
memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki,
dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.
TARI
Salah satu definisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh
imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis
dan menjadi ungkapan si pencipta. Definisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari
di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia
diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebut
sebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun
1990 sampai 2000-an, ketika karya koreografi tidak selalu terlihat atau berbentuk tarian dalam
pengertian konvensional (menari).
Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu:
1. Tari tradisi atau tradisional merujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian
dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti Tari Bedhaya
Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan
umumnya membawa identitas suku bangsa (Tari Jathilan dari Jawa Tengah, Tari Piringdi
dari Sumatra Barat atau Tari Zapin dari dari khazanah Melayu).
2. Tari kreasi baru atau garapan baru didefinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono
sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah
digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak
ataupun kostum. Tarian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti Tari Yapong
bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan Tari Kukupu gubahan Tjetje
Soemantri yang digarap pada 1950-an.
3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk
pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tari
masuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda
utama. Tokoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (18771927), Ruth St. Denis
(18791968), Mary Wigman (18861973), dan Martha Graham (18941991). St.
Denis pernah tur ke Asia Timur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan
1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi
Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat
berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (Euro-American centric) ini lantas
dikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern
nonEropa-Amerika, antara lain Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang
melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari Tiongkok.6
Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti Samgita
Pancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu tari
dan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia.
Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19681971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari
modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (19392014), Hoerijah Adam
(19361977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau
penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern
(6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance (St. James Press, 1998).
10
Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya
menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang
diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shinta atau Sangkuriang.
Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis,
di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah
modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi)
atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan).
4. Tari kontemporer adalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari
modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang
motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik.
Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa
bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik
(Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari
kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya seperti
teater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luar
panggung prosenium atau pun gedung teater lainnya.
Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang
memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan
anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda
berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan,
Agus Mbendol Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti
Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah
lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun Institut
Kesenian Jakarta.
11
Di luar keempat kategori ini, sendratari adalah kategori khas Indonesia yang muncul setelah
produksi Ballet Ramayana (1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana
(1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional
yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, Telekomunikasi
dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.
TEATER
Istilah teater diserap dari bahasa Inggris theatre, yang berakar pada bahasa latin theatron
(tempat untuk melihat) atau theaomai(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati).
Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya,
atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema,
pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari
ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat ( folk theatre), dan jalanan (street theatre),
sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim
dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan
istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesifik mengacu pada bentuk seni pertunjukan
yang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat,
drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa
Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari
bahasa Sansekerta.
Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan
banyak disiplin seni seperti seni visual untuk set atau dekorasi, properti, serta kostum; seni musik
pada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya,
terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik
pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimental
atau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolah
medium-medium lain (film dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah
teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel Teater Rendra pada akhir 1960an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai
pentas drama atau sandiwara.
Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi
kreatif dalam buku ini, teater diklasifikasikan menjadi:
1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisi
yang sudah berlangsung lamapuluhan atau ratusan tahundan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan,
tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau
syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya
improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku
bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai
serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7
5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara
(bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari
(7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
12
suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan
cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau),
Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa Tengah).
2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasifikasi-klasifikasi
yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis.
Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah
dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasifikasi itu berasal.
Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada
sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan
(Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reason atau Renaissance) yang mengakhiri
zaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropa
merupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi
industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi
intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah
kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yang
terbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya
teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif
di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula).
Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang
dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian,
sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk
teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal
abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri
sekolah seni semacam Akademi Teater Nasional Indonesia-ATNI (Jakarta) dan Akademi
Seni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern
bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham
serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan
teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia).
Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti
garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasifikasikan
dalam kategori teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru, yang akan
dibahas kemudian.
Batas-batas teater modern dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon
(baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang
terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan
menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting
realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh
teater modern dalam batas klasifikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh Teater
Populer dengan sutradara Teguh Karya (1937-2001), Studiklub Teater Bandung (STB)
dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), Teater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta),
Teater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung)
dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), Teater Satu-Lampung dengan sutradara Iswadi
Pratama (1971-), Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).
13
3. Teater Transisi. Teater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun
sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk
panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya.
Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata (Jakarta), Pusat Latihan
Opera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Lenong (Jakarta)
dan Drama Gong (Bali).
4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan (avant-garde). Sesungguhnya, dalam konteks
sejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan
bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas yang lama
(yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk
menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika
yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-garde yang dipopulerkan
pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878.
Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari
modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam
klasifikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung
pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya
teater realis, atau realistik.8
Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi
karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya
atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasifikasi ini dimungkinkan
sejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya
untuk mencari bahasa-bahasa baru dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang
kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan
menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka.
Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia,
misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel Teater arahan Rendra, karyakarya pertunjukan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian
pada 1980 dan 1990-an: Teater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan Teater
Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); Teater Payung Hitam dengan
sutradara Rahman Sabur, Teater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung);
dan Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa
nomor pertunjukan Teater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad Tajuddin dan Gunawan
Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tari Je.ja.l.an, Repertoar
Hujan dan Tubuh Ketiga juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini. Begitu pun nomor
pertunjukan Teater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota, Ayahku Stroke tapi Nggak
Mati oleh Teater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater garda
depan pada era 2000-an.
(8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes, Avant Garde Theatre
18921992 (London: Routledge, 1993).
14
Je.ja.l.an (The Streets). Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta,
Shizuoka dan Osaka (2008-2010).
Foto: Mohamad Amin
Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat.
Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta
menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan
antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie
Taymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai
pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasme
penonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar
sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antarbudaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan
di The Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk
menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.
Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disneys The Lion King .
Foto: Joan Marcus
15
Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat
dibagi menjadi:
1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar
hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan
acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan
temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teater
mereka tak dijalani dengan disiplin yang seriuslebih bersifat hobi dan ekspresi diri.
Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir
(tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok
teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.
2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketiga atau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit
lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan
atau refleksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan
problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atau
ilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik
berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah
yang ada di masyarakat.
Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural.
Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di
masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untuk
pemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatan popular theatre
Augusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori
ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh
pemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik
dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater
profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9
Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karyakaryanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori
ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori
Teater Ketiga ini adalah Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Arifin C. Noer), juga
teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti Teater Satu (Lampung), Laboratorium
Teater Sahid (Jakarta), Teater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta),
Teater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet Theatre (Yogyakarta), Mainteater
Bandung, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Teater Kala (Makassar).
3. Teater Komersial adalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan
serta niatan komersial (profit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuran
relatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika
Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil
para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia
hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.
(9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret (London: Routledge, 1995).
16
17
Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming dengan
mobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangi
yang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan Toto Arto atau Onrop yang
disutradarai Joko Anwar dengan produser Afi Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang
merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan
kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauh
dalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel
di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10
Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada Teater Dardanella, yang bahkan
pernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 19301940-an; juga pada teater hiburan
keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak Tobong di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu
dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang
masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak
pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate).
Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam
ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer serta
pertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial.
(10) Op. cit. Cohen, 2006.
18
Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia,
SRIMULAT
Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo
pada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih.
Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompok
yang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni,
Timbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, Tarzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon.
Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 19701989. Pada masa puncaknya, kelompok
humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman
Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggung yang
juga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur.
Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik.
Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini
terjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yang
umumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulat
bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan
cerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan Teguh sebagai pendiri.
19
Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalam
Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan
masalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada
satu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnya
hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat
pada 1989.
Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang,
kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkan
reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak
penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perak
pada 19952003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembali
mendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode.
Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan
dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untuk
menjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu company yang mempunyai visi dan
kemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelola
sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional.
Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
MUSIK
Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajian
musik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapat
dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik
yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah
genre termasuk musik pop, rock, jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukan
musik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas
pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan.
Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan
musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer,
yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkat
eksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan
senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh
masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan
dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan
dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan
musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti
halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.
20
Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan Eclectic Jazz Session untuk
memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater
Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan
merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme,
metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi.
Foto: Komunitas Salihara.
Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada
sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik
yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genre
musik lainnya.
Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama,
seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi.
Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam
orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi.
Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya
memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta
Concert Orchestra, Twilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.
21
Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok
musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala
kecil.
Paduan suara
Seriosa
Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang
kontemporer berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi
yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian
kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan
anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang
kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik baru yang dibuat dengan kaidah
dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi
bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi
gagasan penciptanyayang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja.
Gubahan bentuk musik kontemporer dapat dilakukan di semua genre. Komponis kontemporer
Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (Trisutji Kamal dan Marusya
Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu
materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai
prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan
ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra,
Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer
yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku
jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkan
dalam sebuah ensemble bersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, Ben
Pasaribu, Tony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan
mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. Tony Prabowo misalnya, dikenal
akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa
pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan,
yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum
harmoni warna musik.Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul Tetabuhan
Sungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakan
teknik garapan gending.
2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer
atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah
dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi
diluar dari apa yang lazimnya dilakukan.
Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan
baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukan
tersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial
dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung
(direct economic benefit) maupun tidak langsung (indirect economic benefit) adalah salah satu faktor
utama yang harus dipertimbangkan.
22
Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang
lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan:
taritradisional, kreasi baru, modern, kontemporer;
Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai
produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai
jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara
nonseni budaya, pengisi acara TV, wedding singer, maupun home band. Tidak termasuk dalam
ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jenis seni pertunjukan yang dilakukan
sebagai bagian dari proses ritual sosial, adat, maupun religius.
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan
BERDASARKAN
PERKEMBANGAN
/GENRE
SENI
PERTUNJUKAN
Tradisional
KATEGORI BESAR
Kreasi Baru
Tari
Modern
Kontemporer
Lintas Disiplin
BERDASARKAN
PENGELOLAAN
KELOMPOK
Tradisional
Amatir
Modern
Non-Komersial
Transisi
Komersial
Teater
BERDASARKAN
BENTUK PENYAJIAN
DAN KONSUMSI
Produk Seni
Avant Garde
Jasa Seni
Populer
Tradisional
Pertunjukan
Musik
BERDASARKAN
GUBAHAN BENTUK
World Music
Kontemporer
/Eksperimen
Klasik Barat
Non-Kontemporer
/Non-Eksperimen
23
24
lainnya di Prancis ataupun Spanyol. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, jejaring di
Eropa ini juga meluas ke negara-negara bekas blok timur seperti Polandia dan Estonia.
Secara artistik, seni pertunjukan kontemporer di Eropa Barat cenderung mempertahankan
eksperimentasi yang konseptual, yang telah dimulai sejak pertengahan 1990-an. Dalam bidang
tari kontemporer misalnya, Brussels menjadi pusat baru yang menandingijika bukan akhirnya
menyamaiBerlin, terutama setelah kemunculan koreografer Anne Teresa de Keersmaeker. Di
sini, tari tidak lagi dipentaskan dengan cara yang konvensional (sebagai gerak gemulai yang indah
yang semata-mata bersandar pada virtuositas kepenarian serta komposisi ruang), namun lebih
sebagai obyek yang dipertanyakan kembali atau diinvestigasi. Sementara itu, baik di negara-negara
Eropa Barat serta Amerika Utara (Amerika Serikat), muncul tren yang merupakan perluasan dari
performance art yang secara historis sesungguhnya berakar pada seni rupa. Di Inggris, jenis ini
dinamai live arts. Seringkali, kesenian jenis ini mencampur-baurkan sisi teatrikal, performatif,
dan seni visual yang landasannya lagi-lagi adalah gagasan sebagai konsep itu sendiri. Unsurunsur dramatik dan representasional yang amat mewarnai seni pertunjukan periode sebelumnya
(modern) lantas dipertanyakan kesahihannya dalam kaitan muatan gagasan dengan kenyataan
tubuh keseharian.
Di Indonesiadan kebanyakan Asiakecenderungan ini masih pelan-pelan terjadi, sehingga
terjadi kesenjangan pemahaman bahkan di antara para praktisi. Itulah salah satu alasan mengapa
seni pertunjukan karya seniman Indonesia dapat dibilang jarang terwakili dalam forum-forum
(festival) seni kontemporer yang dianggap paling progresif di Eropa Barat. Seringkali, pengalaman
modernisme di pentas seni pertunjukan Indonesia masih disalah-tafsirkan sebagai ketertinggalan
secara artistik, sehingga forum-forum festival yang tertarik dengan seni pertunjukan Indonesia
masihlah forum-forum khusus yang dibingkai oleh identitas ke-Asia-an, misalnya seperti pusat
kesenian Asia Society di New York atau House of the World Arts di Berlin.
Perkembangan seni pertunjukan di Asia Tenggara sendiri mengalami pergerakan yang berbeda
dengan negara-negara Eropa. Perkembangan seni pertunjukan di negara-negara Asia Tenggara
menunjukkan kesamaan historis, karena mendapatkan pengaruh dari kolonialisme negara-negara
Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, juga sebagai persinggahan pedagang-pedagang
dari negara-negara sekitar seperti Tiongkok dan India. Masa kolonialisme yang berlangsung
selama berabad-abad ini membuat friksi antar budaya menjadi tidak terelakkan, terutama antara
seni modern yang berkembang di negara-negara Barat dengan seni tradisional Asia Tenggara.
Di negara yang menerapkan sistem demokrasi sosialis atau negara kemakmuran (welfare state),
pemerintah mengambil peran aktif dalam mendukung seniman. Mereka membentuk dewan-dewan
kesenian (arts council) antara lain sebagai badan pendanaan ( funding body) yang memberikan
dukungan finansial dan lainnya bagi seniman berdasarkan prestasi (merit). Di Indonesia, kebijakan
kultural semacam ini tidak pernah dilakukan.
25
26
Sikap yang diambil oleh Thailand dalam mengembangkan seni pertunjukannya tercermin
dari pernyataan Raja Rama VII dalam wawancaranya dengan New York Times pada saat
kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1931: Our slogan is to adapt, not to adopt. The
Siamese people are an adaptable people.
Sumber: Asian Arts Theatre: Research on the Actual Condition of Performing Arts in Asia. disunting oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea. Seoul: Yu, In Chon
27
sesuatu yang datang dari Eropa. Kehadirannya merupakan bagian dari sikap kebudayaan yang
terbuka: menerima serta mengadaptasi secara bertahap kebudayaan-kebudayaan asing yang
datang, sembari mencari padanannya dalam konteks lokal. Mula-mula ia bekerja dengan orientasi
publik Eropa: kerani-kerani perusahaan dagang Inggris, lalu perusahaan dagang dan kerajaan
Belanda di Hindia dan bangsawan dan intelektual tanah jajahan yang mempelajari alam pikir
(dan gaya hidup) tuannya. Guliran selanjutnya, seni pertunjukan (teater, tari, musik) modern
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat kelas menengah perkotaan, yang mulai
memasuki kultur baru (modernisme).11
Keterkaitan dan pertalian Indonesia dengan yang global mulai marak di penghujung abad ke-19,
ketika kelompok-kelompok seni dari Hindia Belandaumumnya gamelan Jawa dan Bali
berpentas di kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.12 Pementasan dalam konteks kolonial
ini di panggung beragam ajang world fair atau pameran keberhasilan industrialisasi oleh para
negara penjajahmenciptakan imajinasi-imajinasi awal tentang seni pertunjukan Indonesia
selanjutnya yang diproyeksikan melalui lensa Orientalisme seperti yang dapat ditemukan di dalam
pembacaan-pembacaan para seniman Eropa waktu itu, misalnya Antonin Artaud tentang Bali
(1938) ataupun karya-karya seni mereka seperti perintis tari modern Amerika Ruth St. Denis
yang melakukan tur ke Asia Timur Jauh pada 1925-1926, termasuk ke Batavia dan beberapa
kota di Jawa.
Setelah Proklamasi Republik Indonesia pada 1945, sifat keterhubungan dengan dunia seni
pertunjukan global pun berubah, bergeser dari Orientalisme menuju masuknya pengaruh agendaagenda politik pasca Perang Dunia II. Para seniman Indonesia pun mulai menjelajahi dunia: dari
Peking hingga Paris, dari Moskow hingga New York. Pada penghujung akhir 1960-an, misalnya,
banyak seniman atau praktisi seni pertunjukan Indonesia (teater, tari, dan musik) belajar ke
luar negeri, terutama ke Amerika Serikat sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan Amerika
Serikat, selain juga ke negara-negara lain seperti Uni Soviet (untuk film dan tari) bahkan India.13
Beberapa di antara para seniman itu mengambil gelar pascasarjana di jurusan seni di universitasuniversitas di Amerika Serikat, yang waktu itu, masih menggolongkan seni-seni non-Barat
ke dalam rubrik Seni Etnik. Setelah lulus, mereka kembali ke Indonesia dan mengajar di
akademi seni nasional sehingga mereka pun ikut menentukan arah kurikulum pendidikan
tinggi kesenian, misalnya, R.M. Soedarsono di bidang tari dan I Made Bandem di bidang
musikkeduanya menuntut ilmu di Amerika Serikat pada 1960-an dan awal 1970-an.14
Setelah Indonesia merdeka, seni pertunjukan pun mengalami transformasi, baik dengan menjadi
menasional atau menjadi bagian dari identitas kebudayaan nasional, antara lain melalui proses
pelembagaan di dalam sistem pendidikan modern yang mengadaptasi pendidikan seni di dunia
28
Barat (konservatori). Awalnya, konservatori nasional ini bertujuan untuk melahirkan senimanseniman Indonesia di bidangnya, dengan perkembangan sebagai berikut:
Konservatori Karawitan atau dikenal sebagai KOKAR (1950) di Yogyakarta dapat dibilang
sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan semacam ini. KOKAR berevolusi menjadi beragam
akademi seni seperti ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), ASRI (Akademi Seni
Rupa Indonesia), ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada 1960-an,
dan pada 1980-an kembali berevolusi menjadi Sekolah Tinggi Seni (STSI) sebelum
akhirnya menjadi Institusi Seni Indonesia (ISI) pada 19902000-an yang tersebar di empat
kota (Surakarta, Yogyakartakeduanya di Jawa, Denpasar di Bali, Padang Panjang di
Sumatra Barat). Saat ini, beberapa kampus ISI ditugaskan untuk merintis pembentukan
ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang akan dibuka di Banda Aceh, Tenggarong,
Makassar, dan Jayapura.
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dibentuk belakangan pada 1970
memiliki sejarah yang agak berbeda dari keempat ISI di atas sebelum akhirnya menjadi
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jika keempat ISI berada langsung di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdiknas), maka IKJ adalah bagian dari latar
historis empat lembaga terkait yang bernaung di bawah Pemerintah Kota DKI Jakarta.
Keempat lembaga tersebut adalah PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail
Marzuki), Akademi Jakarta (AJ), serta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai
dan dibentuk oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 19661977. IKJ berstatus
sebagai akademi swasta yang dananya tergantung dari perolehan hibah Pemda DKI Jakarta
serta dari pemasukan-pemasukan lainnya.
Model konservatori yang tujuannya melahirkan seniman perlahan dilengkapi dengan bidang kajian
yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya). Oleh karena
itu, dapat dibilang bahwa kajian di bidang seni pertunjukan terbilang baru dalam konteks dan
praktik Indonesia. Padahal, kajian adalah syarat dan penanda utama bagi perkembangan seni
pertunjukan sebagai sebuah sistem pengetahuanatau sebuah sektor yang memiliki parameterparameter tertentuterlebih jika Indonesia ingin terlibat secara aktif, berkontribusi hingga tingkat
wacana di dalam konteks global.
Secara bertahap mulai dari 1980-an dan seterusnya, pertunjukan-pertunjukan mengalir antara
Indonesia dan dunia, dan bentuk-bentuknya mulai terbuka dan beragam. Kebangkitan Jepang
dan Singapura sebagai pusat pertunjukan antarbudaya, dengan fokus kolaborasi antar-Asia,
telah memberikan kesempatan yang besar bagi seniman-seniman Indonesia untuk menampilkan
karya-karyanya. Singapura, khususnya Singapore Arts Festival, telah menjadi tempat pertunjukan
bagi banyak produksi karya seni pertunjukan Indonesia. Sedangkan Jepang telah menjadi tujuan
utama bagi kelompok-kelompok teater untuk melakukan touring, sekaligus produksi kolaborasi
dengan seniman-seniman Jepang.
Memasuki abad ke-21, proses akademisasi kesenian pertunjukan Indonesia pun melengkapi
siklusnya dengan dibukanya program pascasarjana S2 (master) dan S3 (doktoral) di beberapa
ISI, yang terbagi ke dalam bidang kajian dan penciptaaan. Proyek nasionalisasi inipun berlanjut
dengan dirintisnya ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak paruh kedua dekade abad ke-21
di kota-kota seperti Banda Aceh (Nanggroe Aceh), Tenggarong (Kalimantan Timur), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua).
29
Sementara itu, di luar ruang akademis, proses profesionalisasi seni pertunjukan itu sendiri
berkembang lambat dan sporadis. Seniman lulusan institut-institut seni ini belum tentu mampu
bekerja sebagai seniman penuh waktu, karena minimnya dukungan dan infrastruktur. Hanya
segelintir yang berani menjalani pilihan menjadi seniman mandiri (independen), dengan konsekuensi
harus selalu bernegosiasi dengan situasi yang tidak kondusif. Sebagai perbandingan, di Inggris,
proses profesionalisasi di bidang teater telah berlangsung sejak abad ke-16 di zaman penyair dan
penulis naskah William Shakespeare, ketika naskah drama mulai ditulis oleh perorangan (tidak
lagi kolektif dan anonim) untuk memenuhi kebutuhan pentas yang makin sering hingga empat
kali seminggu.
Model profesionalisasi seni pertunjukan lainnya adalah intervensi negara. Pada masa setelah Perang
Dunia II, misalnya, beberapa negara berkembang membentuk national performing arts company
(kelompok seni pertunjukan nasional). Misalnya saja RRC (Tiongkok) maupun Vietnam. Dengan
model ini, banyak seniman pertunjukan terserap bekerja penuh waktu dan bergaji dengan status
pegawai negeri. Pada 2003, disinyalir ada sekitar 6.000 penari di seluruh RRC yang bergabung
dalam berbagai kelompok seni pertunjukan lokal dan nasional yang dibentuk oleh beragam
instansi pemerintah. Intervensi seperti ini tidak pernah sepenuhnya terjadi di Indonesia.
Seni pertunjukan di Indonesia umumnya masih dikonsumsi secara tradisional, yaitu seniman hanya
akan menerima bayaran ketika pertunjukan ditampilkan (commisioned performance) sebagai pengisi
acara upacara atau perhelatan khusus. Hanya sebagian kecil seniman pertunjukan (baik individual
maupun kelompok atau kolektif) yang mampu mengakses pendanaan yang ditawarkan secara
transparan dengan sistem terbuka, yang biasanya hanya diterapkan oleh lembaga-lembaga asing.
Sejak 1999, Yayasan Kelola (yang antara lain didanai Ford Foundation selama paling tidak 10
tahun pertama) merintis model hibah berupa dukungan finansial untuk karya baru maupun
touring ke tiga kota di Indonesia, yang bisa diakses secara transparan (melalui aplikasi atau
lamaran yang harus memenuhi persyaratan tertentu). Sementara itu, sampai saat ini, dukungan
pemerintah untuk seni pertunjukan masih sporadis dan hanya berfokus pada pemberian dana
atau sponsor untuk penyelenggaraan pertunjukan-pertunjukan tertentu, bukan pada dukungan
terus-menerus terhadap kelompok seni. Akibatnya, seni tradisi saat ini berkembang menjadi
komoditas pariwisata dan hiburan (entertainment) sementara seni modern atau kontemporer
dibiarkan mencari jalan keberlangsungannya sendiri.
Namun demikian, terjadi perkembangan menarik di dunia seni pertunjukan Indonesia yang
ditandai dengan banyaknya interaksi internasional yang berlangsung di dalam festival-festival lokal
dan ruang-ruang independen yang berdiri sejak berakhirnya masa Orde Baru Soeharto. Teater
Salihara adalah contoh dari ruang independen yang telah menjadi tempat pertunjukan utama bagi
pementasan kelompok-kelompok teater, musik dan tari eksperimental, juga sebagai tuan rumah
touring dari Eropa, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya, serta pementasan kolaborasi lokalinternasional. Beasiswa internasional dan program-program residensi untuk seniman-seniman
Indonesia, yang membuka wawasan mengenai praktik-praktik seni pertunjukan di luar negeri,
memberikan kontribusi signifikan pada meningkatnya jumlah pertunjukan-pertunjukan Indonesia
di kancah internasional, begitu pula pertunjukan-pertunjukan internasional di Indonesia. Aliran
pertunjukan internasional saat ini begitu banyak dan lebih kolaboratif dibandingkan dengan
masa lalu.
30
Ontosoroh
Ontosoroh adalah karya yang menggabungkan lagu, musik, dan tarian yang terinspirasi dari
karakter Jawa Nyai Ontosoroh dalam novel bersejarah Bumi Manusia, karya Pramoedya
Ananta Toer. Ontosoroh merupakan hasil kolaborasi antara penyanyi dan komposer klasik
Jawa-kontemporer Indonesia, Peni Candra Rini, dengan penari dan koreografer Australia
keturunan Indonesia, Ade Suharto, diiringi perkusi oleh Plenthe, gender oleh Iswanto, dan
biola oleh Prisha Bashori Musthofa. Ontosoroh dipentaskan di Adelaide Festival Centre dalam
Festival OzAsia, September, 2013.
Walaupun terlatih untuk menyanyi klasik Jawa, Peni tidak segan untuk mengeksplorasi teknik
baru dalam kolaborasinya dengan Ade. Karena sosoknya yang cukup kompleks, karakter
utama Nyai Ontosoroh dinilai sebagai inspirasi yang tepat untuk mewujudkan karya Ontosoroh
sebagai wadah untuk menunjukkan keragaman kemampuan artistik para seniman yang terlibat
di dalamnya. Keragaman instrumen yang dimainkan, baik yang berasal dari Timur maupun
Barat, dibawakan dengan luwes dan mahir, dengan menggunakan teknik yang menyelaraskan
gaya tradisional dan kontemporer.
Sumber: dirangkum dari berbagai sumber.
31
32
34
BAB 2
Ekosistem dan Ruang Lingkup
Industri Seni Pertunjukan
Indonesia
35
seni tari). Kegiatan utama dalam proses ini adalah penelitian dan pengembangan. Pelaku
utama dalam proses ini dikategorikan sebagai generative artists, yaitu para seniman yang
memicu lahirnya sebuah karya dengan membuat konsep dan kerangka acuan produksi.
Seniman yang termasuk dalam kategori ini pada umumnya adalah koreografer, sutradara,
penulis naskah (playwright), komposer, dan penulis lagu.
2. Proses eksplorasi, interpretasi, dan finalisasi secara menyeluruh atas sebuah ide karya
seni pertunjukan sehingga menghasilkan sebuah desain. Kegiatan utama dalam proses
ini adalah interpretasi, realisasi, dan finalisasi naskah atau musical score, ide visual, dan
ide koreografis.
Pelaku utama dalam proses ini:
a. Generative artists atau seniman pencipta, yaitu seniman yang mencetuskan konsep
awal dan kerangka produksi. Yang termasuk seniman pencipta pada umumnya:
Koreografer atau penata tari, yaitu orang yang menciptakan konsep sebuah
pertunjukan tari (koreografi).
Komposer atau komponis, yaitu orang yang menciptakan hasil karya musik,
baik berupa komposisi musik instrumental, maupun vokal dalam format solo,
duo, trio, kuartet maupun kuintet dan seterusnya sampai dengan orkestra,
kemudian meneruskan kepada orang lain untuk memainkannya atau ditafsir
oleh konduktor.
Sutradara, yaitu orang yang menafsir lakon atau menyusun ide dasar serta visi
estetika pertunjukan lalu memimpin kerja tim kreatif dalam perwujudan ide
serta visi tersebut. Dalam kajian teater, berkembang pemilahan antara sutradara
penafsir (interpretive director) dan sutradara pencipta (author director). Meskipun
klasifikasi ini bisa saling berkelindan, pembagian dasarnya disusun berdasarkan
penjelasan di bawah ini:
37
38
Mira Lesmana bersama tim kreatif Musikal Laskar Pelangi: Andrea Hirata, Riri Riza, Toto Arto, Jay
Subiakto, dan Erwin Gutawa.
Foto: Musikal Laskar Pelangi
Produser individu atau independen, yaitu orang yang memiliki ide untuk
memproduksi sebuah pertunjukan dengan orientasi serta target-target tertentu, lalu
menyusun suatu rencana produksi dengan mengundang (atau mengontrak) senimanseniman pertunjukan sebagai tim kreatif untuk mewujudkan ide pertunjukan
tersebut. Produser bisa sekaligus merangkap sutradara atau koreografer, tetapi
bisa juga bukan dari kalangan seniman. Pak Teguh pendiri Srimulat, misalnya,
adalah produser dari sekian banyak pertunjukan Srimulat. Contoh yang lebih
dikenal generasi muda, Mira Lesmana, misalnya, adalah orang yang memiliki
gagasan awal untuk membuat drama-musikal Laskar Pelangi, lalu meminta Riri
Riza, Erwin Gutawa, Jay Subiakto, dan seniman-seniman lain untuk mewujudkan
ide pertunjukan tersebut. Meskipun bukan sutradara atau koreografer, produser
biasanya juga terlibat dalam rancangan gagasan dasar pertunjukan.
b. Interpretive artists atau seniman pelaku, yaitu seniman yang mengolah konsep
dan kerangka yang diciptakan oleh seniman pencipta sebagai acuan pengembangan
konsep menjadi sebuah desain utuh. Interpretive artists pada umumnya adalah
penampil, seperti aktor, penari, penyanyi, konduktor, serta musisi atau seniman
visual seperti skenografer.
Pada prinsipnya, kerja seniman tidak berbeda dengan ilmuwan. Karya artistik lahir dari buah
pemikiran seniman yang dilakukan melalui pengamatan atau penelitian yang dalam dan tak
jarang memakan waktu yang cukup panjang. Penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk
mendapatkan data, tetapi juga menciptakan atmosfer serta pengalaman artistik terkait dengan
39
tema yang akan diusung dalam karya yang ingin ditampilkan. Dengan demikian, estetika yang
dihasilkan benar-benar melayani proses investigasi terhadap tema tersebut.
R iset keaktoran, sebagaimana riset yang
dilakukan oleh fungsi-fungsi lain dalam
pertunjukan (sutradara atau para desainer),
juga banyak ditempuh melalui studi literatur
pendukung dari naskah lakon atau gagasan
penciptaan sutradara. Untuk naskah lakon realis,
misalnya, aktor kerap dituntut untuk mempelajari
psikologi peran dan melakukan kajian sosiologis
serta antropologis dalam batas tertentu untuk
memahami konteks sosial-budaya lakon yang
hendak dipentaskan. Dari kajian-kajian ini, sang
aktor bisa membangun dan menyusun imajinasi
peran yang akan dimainkannya. Di Indonesia,
aktivitas penelitian yang menjadi elemen proses
kreatif seorang seniman seperti yang dipaparkan
di atas jarang menjadi perhatian dan mendapat
dukungan dari pemerintah, sehingga pada
akhirnya seniman harus melakukan penelitian ini
secara swadaya. Tidak ada dukungan pendanaan
Sampul buku naskah dan catatan proses Goyang
secara berkala yang menjamin mereka untuk
Penasaran.
terus-menerus dapat melakukan penelitian yang
menghasilkan ide-ide segar yang dimanifestasikan dalam setiap karya.
Pada 2010, Naomi Srikandi sebagai sutradara Goyang Penasaran mendapatkan dana hibah dari
program Empowering Woman Artist (EWA) dari Yayasan Kelola, berupa kesempatan untuk
menghasilkan karya dalam dua tahun berturut-turut. Goyang Penasaran adalah karya tahun kedua,
yang merupakan adaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Intan Paramaditha. Catatan
selama proses penelitian mengenai tema yang diangkat, proses latihan hingga tahap menghasilkan
naskah drama, semuanya dibukukan lalu kemudian diterbitkan. Hal ini tergolong langka karena
hanya sedikit penerbit yang bersedia membukukan naskah drama yang dipentaskan. Padahal,
buku naskah drama merupakan sumber literatur yang sangat berguna bagi calon-calon seniman
seni pertunjukan yang ingin mengetahui proses kreatif di balik produksi sebuah karya teater.
Melalui contoh di atas, dapat kita lihat betapa pentingnya proses penelitian dan pengembangan
dalam konseptualisasi ide yang sampai saat ini tidak banyak menjadi perhatian pemerintah
40
Di dalam organisasi atau kelompok seni pertunjukan, diperlukan kegiatan-kegiatan lain di luar
pengembangan nilai artistik untuk mendukung jalannya sebuah organisasi, yang mencakup:
1. Tata kelola organisasi: pengelolaan organisasi atau kelompok seni, manajemen sumber
daya manusia dan keuangan, serta administrasinya.
2. Penggalangan dana ( fund-raising): penggalangan dana untuk operasional organisasi
atau disebut juga contributed income, seperti misalnya pengajuan dana hibah, donasi,
subsidi, dan bantuan nontunai (in-kind) yang ditujukan pada pemerintah, perusahaan
swasta, maupun donatur individu.
Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki lembaga pemerintah yang melakukan investasi
berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding body), di mana para seniman dapat mengajukan
proposal untuk mendapatkan dana hibah bagi organisasi, kelompok atau produksi
41
Menurut data yang dimiliki oleh Yayasan Kelola tahun 2004, terdapat lebih dari 2.800 organisasi
(umumnya berbentuk kelompok, bukan company) seni pertunjukan di Indonesia, yang saat ini
jumlahnya diperkirakan menurun hingga hanya berkisar 1.000 organisasi. Anggaran kelompok yang
meliputi biaya operasional, peningkatan kapasitas, produksi, dan pameran atau showcase nasional,
tidak termasuk showcase internasional, latihan (rehearsal) dan persiapan, dan sewa tempat (venue)
sampai saat ini, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), sehingga seniman
juga kerap berperan sebagai produser eksekutif dan tak jarang menjadi seorang filantropi. Selain
dari seniman sendiri, pendanaan untuk kelompok-kelompok seni saat ini bersumber dari bantuan
donor lembaga asing, institusi nirlaba (Lembaga Swadaya Masyarakat), individu, dan perusahaan
swasta. Bentuk donasi yang diberikan bermacam-macam, mulai dari one-off donation, bantuan
dana operasional, donasi biaya produksi, dan donasi untuk showcase yang dapat bersumber dari:
1. Pendanaan Pemerintah. Idealnya, paling tidak seniman dapat mengajukan bantuan
dana kepada pemerintah dalam bentuk pembebasan dari biaya atau potongan harga sewa
gedung pertunjukan milik atau disubsidi pemerintah atau dalam bentuk dana produksi,
terutama bagi sanggar-sanggar untuk pertunjukan berskala kecil. Namun demikian, pada
praktiknya dukungan dana pemerintah seringkali diberikan kepada sanggar-sanggar yang
telah ditunjuk langsung oleh pihak pemerintah. Padahal, seharusnya proses mengajukan
dana ini sebaiknya jelas, transparan, dan terbuka yang diseleksi berdasarkan prestasi
(merit-based) bukan berdasarkan koneksi.
2. Pendanaan Swasta. Seniman harus tetap mencari sumber-sumber pendanaan dari
perusahaan swasta agar bisa mewujudkan gagasan kreatifnya. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas
Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Sosial yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto merupakan satu-satunya peraturan pemerintah
yang menjadi harapan terbukanya peluang donasi dari pihak perusahaan swasta untuk
operasional kelompok seni melalui insentif pajak. Namun, pada praktiknya peraturan
ini belum cukup memotivasi perusahaan untuk memberikan bantuan kepada kelompok
seni, karena kesenian sebagai sektor yang terkena insentif pajak masih menjadi bagian
dari fasilitas pendidikan, yang meliputi prasarana dan sarana untuk kegiatan pendidikan
kepramukaan, olahraga, dan program bidang seni dan budaya nasional, yang termaktub
dalam bab penjelasan, bukan pasal.
3. Pendanaan Lembaga Internasional. Tidak banyak lembaga internasional yang mendukung
kegiatan seni budaya yang membuka kantor di Indonesia. Untuk jangka waktu yang cukup
lama, Ford Foundation (Amerika Serikat) mengisi kekosongan ini dengan mendanai
banyak kegiatan di bidang kesenian, mulai dari produksi, distribusi hingga pengarsipan.
Sayang, dukungan ini berhenti sejak 2009 karena perubahan orientasi program. Hivos
(Belanda) mulai aktif sejak tahun-tahun terakhir era 1990-an, namun arah kebijakannya
kini juga berubah. Sementara lembaga internasional di luar seperti Prince Claus Fund
juga membuka kesempatan namun dengan agenda tertentu.
4. Lembaga Seni Nirlaba. Satu-satunya lembaga seni nirlaba yang membuka peluang hibah
seni untuk produksi karya baru dan touring ke tiga kota Indonesia adalah Yayasan Kelola
yang didirikan sejak 1999. Selama lebih-kurang 10 tahun, Yayasan Kelola didanai terutama
oleh lembaga donor asingFord Foundationdan menjalin kerja sama dengan beberapa
lembaga asing di luar negeri seperti Asian Arts Council di New York dan Asialink di
Melbourne untuk program residensi bagi manajer seni, yang sayangnya, terhenti beberapa
42
tahun silam. Yayasan Kelola memperkenalkan sistem mengakses hibah seni yang transparan
dan rasional (persyaratan aplikasi yang jelas, berkala, dan sistem seleksi yang dikerjakan
oleh panel yang selalu berubah dan terbatas (untuk menjaga kemandirian). Sejak 2010,
Yayasan Kelola harus mencari sumber dana lain agar program lainnya tetap berlangsung.
Lembaga nirlaba lainnya yang menyediakan dana bagi produksi seni adalah Djarum
Foundation (Apresiasi Budaya). Meski tercatat telah aktif bergerak di bidang seni budaya
sejak 1992, yayasan yang dibentuk oleh salah satu kelompok konglomerat Indonesia ini
baru terlihat aktif sejak pertengahan 2000-an. Sayangnya, prosedur mengakses dana masih
belum transparan dan terkesan masih menitikberatkan pada lobi personal. Dilihat dari
jenis produk seni pertunjukan yang didukungnya, nilai komersial masih terlihat penting
ketimbang nilai eksperimentasi seni sehingga dukungan diberikan lebih sebagai bagian
dari kegiatan humas sang induk korporasi ketimbang filantropi.
5.
6. Donasi Autodebit. Beberapa kelompok seni sudah melakukan skema donasi autodebit.
Skema ini diakui cukup berhasil sebagai sumber pendanaan berkelanjutan, karena secara
psikologis lebih mengikat pendonor untuk terus menyumbang tanpa harus memantaunya
setiap saat. Di samping itu, para pendonor pun dapat terdata dengan baik.
Untuk sumber pendapatan seniman, di Indonesia belum dikenal sistem pendanaan untuk kelompok
kesenian atau seniman independen yang berlangsung transparan seperti yang diterapkan di
beberapa negara (terutama negara maju). Oleh karena itu, seniman Indonesia harus siap mengurus
dan menghidupi dirinya sendiri dari sumber-sumber pendanaan alternatif.
Tidak seperti di beberapa negara lain, terutama negara maju, di Indonesia pemerintah tidak
memiliki kelompok seni pertunjukan yang disubsidi sebagian, apalagi secara penuh. Program
pemerintah di bidang kesenian umumnya berbasis acara (event-based) seperti penyelenggaraan
festival atau lomba, yang sayangnya, seringkali dilaksanakan tanpa bersinergi dengan pelaku seni
yang relevan sehingga tidak tepat sasaran.
Seniman Indonesia dapat memperoleh pendapatan dengan beberapa cara, di antaranya melalui:
Sebagian penjualan tiket (biasanya berdasarkan sistem bagi hasil dengan gedung pertunjukan,
tetapi presentasinya kecil sekali karena harga tiket juga ditekan agar terjangkau, serta
jumlah pertunjukan yang amat terbatas).
43
Pilihan lainnya, kadang seniman penampil pertunjukan (performers) seperti aktor dan penari
dapat bekerja penuh-waktu di stasiun televisi, tetapi pada umumnya hanya dibayar per tiap kali
pertunjukan.
Seniman papan atas, terutama jika bersinggungan dengan dunia komersial (hiburan), dapat hidup
dari honor yang mereka peroleh dari setiap kali pementasan. Seniman ternama seperti penari
Didik Nini Thowok, musisi serta konduktor Erwin Gutawa dan Addie MS dapat menetapkan
harga tinggi dalam produksi yang bersifat komersial sehingga mereka dapat menerapkan prinsip
subsidi silang ketika harus berkontribusi pada upaya kreatif yang lebih eksperimental. Erwin
Gutawa misalnya, adalah salah satu seniman pendukung kunci yang bersedia tidak menerima
honorarium dalam tahap awal produksi drama musikal Laskar Pelangi.
Aktor dan staf administratif kelompok-kelompok teater di Indonesia tidak ada yang mendapatkan
gaji tetap. Segelintir kelompok teater yang populer seperti Teater Koma, biasanya menerima
sponsorship dari perusahan-perusahaan pada saat pementasan, yang dapat mereka gunakan untuk
melakukan pementasan dalam jangka waktu tertentu (1 minggu sampai 1 bulan). Namun,
honor ini sesungguhnya tidak cukup untuk menutup biaya selama masa-masa latihan (rehearsal)
yang berlangsung cukup lama. Memang kini ada beberapa kelompok tari yang telah berusaha
memasukkan biaya latihan (jumlah penari x durasi waktu latihan) ke dalam biaya produksi,
tetapi hal ini terbatas pada proyek-proyek komersial yang diistilahkan secara kasual sebagai peye.
Beberapa universitas utama di Indonesia
mempunyai unit-unit kesenian mahasiswa,
baik itu tari maupun musik, seperti Liga Tari
UI (Universitas Indonesia). Para anggota
menerima honor setiap kali mereka tampil
dalam pementasan, terutama pementasan di
luar negeri yang dikomisi oleh pemerintah.
Namun, mereka biasanya menggalang dana
secara swadaya dan tak jarang harus merogoh
kocek sendiri. Salah satu kesempatan bagi para
seniman seni pertunjukan untuk memperoleh
pendapatan tetap adalah dengan cara menjadi
pengajar, baik di institusi pemerintah atau
swasta, formal, maupun nonformal.
Mayoritas musisi klasik di Indonesia adalah
pekerja lepas (freelancer) yang tidak bekerja tetap
pada organisasi atau kelompok musik apa pun.
Mereka harus mengurus sendiri perlindungan
tenaga kerja, karena tidak mempunyai standar
Pertunjukan Sampek Engtay karya Teater Koma
gaji tertentu. Pada masa-masa tertentu (peak
yang didukung oleh beberapa sponsor korporasi
season), dalam satu hari, seorang musisi bisa
tampil dalam tiga konser sekaligus. Hal ini menyebabkan lemahnya kontrol kualitas seorang
pemain. Tidak ada regulasi yang mengatur jam kerjanya, misalnya seperti di Eropa. Di sana,
seorang musisi hanya dapat bermain dari satu konser ke konser lainnya jika sudah melakukan
istirahat minimal 10 jam.
44
2. Organisasi (kelompok)
Kelompok teater (komersial dan nonkomersial)
Teater komersial: beroperasi tanpa subsidi,
Teater nonkomersial: beroperasi dengan subsidi, menerima hibah filantropi,contohnya
teater komunitas, sanggar teater, kolektif seniman, teater mahasiswa.
Sanggar tari atau dance company.
Pick-up company, yaitu gabungan beberapa seniman yang dibentuk dan dipimpin
oleh individu (baik seniman, maupun nonseniman) yang mengambil peran sebagai
produser untuk memproduksi suatu karya tertentu.
Kegiatan utama dalam proses produksi mencakup (namun, tidak terbatas pada):
1. Artistik, meliputi audisi pemain, latihan (rehearsal), desain dan pembuatan kostum/wig/
properti dan tata rias, desain visual, desain panggung (set design), desain tata suara dan
pencahayaan, serta desain multi-media. Pelaku-pelaku artistik utama dalam produksi
karya di antaranya:
Sutradara atau koreografer atau konduktor;
Penata artistik;
Penata musik;
2. Manajerial, mencakup baik hal-hal yang berhubungan dengan sisi pelaksanaan pertunjukan
dan sisi operasional. Pada umumnya, sisi pertunjukan diisi oleh fungsi-fungsi sebagai berikut:
Direktur teknis, bertanggung jawab mengawasi semua teknisi dan pengrajin yang
terlibat dalam proses produksi serta mengimplementasikan rancangan yang dibuat oleh
desainer produksi. Direktur teknis juga bertugas untuk mengoordinasikan kebutuhan
45
General manager, bertanggung jawab atas hal-hal nonartistik dari sebuah produksi,
seperti administrasi, pemasaran dan sponsorship, keuangan, penjualan tiket, dan lain
sebagainya.
Teknikal, mencakup pembangunan set, pembuatan dan pengaturan teknis tata suara
dan cahaya, serta pembuatan efek visual (multimedia) yang dilakukan oleh para teknisi.
Gambar 2-2 Bagan struktur organisasi produksi seni pertunjukan berskala menengah-besar yang umum
digunakan
PRODUSER
Penata Artisttik
Manajer Produksi
Desainer
Produksi
Direktur Teknis
Manajer Panggung
(Stage)
General Manager
Manajer
Kelompok
Box Office
(Ticketing)
Manajer
Bisnis
Akuntan
Aktor
Humas
Kru
Teknisi Panggung
Penata Panggung
(Scenery)
Teknisi Kostum
Penata Kostum
Teknisi Prop
Penata Prop
Teknisi Listrik
Desainer
Tata Cahaya
Teknisi Suara
Desainer
Tata Suara
SISI PERTUNJUKAN
Direktur
Pemasaran
Pemasaran &
Sponsorship
Promosi
SISI OPERASIONAL
Keterangan:
Artistik
Manajerial
Teknikal
46
Ada juga desainer produksi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu artistik dan manajerial. Desainer
produksi berfungsi sebagai orang yang membantu sutradara dalam merealisasikan ide kreatif
berupa suasana, gambaran sebuah tempat atau set, kostum, dan lain-lain, ke dalam suatu adegan
yang dibayangkan oleh sutradara atau koreografer. Desainer produksi umumnya membawahi:
Sebagai catatan, komposisi fungsi-fungsi dalam struktur organisasi produksi pada gambar 2-1
umumnya dipakai untuk produksi pertunjukan berskala besar yang melibatkan banyak orang.
Struktur ini bisa jadi sangat fleksibel dan sederhana, disesuaikan dengan skala dan kebutuhan
produksi itu sendiri.
47
Harrison Dowzell dan The Ballet Girls dalam Billy Elliot. Sebanyak 30 penari balet anak-anak berusia 10-16 tahun
mengikuti kasting musikal Billy Elliot di West End.
Sumber: london.broadway.com
Agensi pemasaran atau promotor yang masih belum ada di Indonesia. Promotor juga
dapat berfungsi sebagai produser tur, bila pementasan dilakukan di luar kota atau negara;
Rumah produksi.
Ada juga yang tergabung dengan atau menjadi perwakilan produser, misalnya sebagai:
48
Distribusi karya perdana, distribusi karya yang baru pertama kali dipentaskan. Aktivitas
utamanya adalah pemasaran karya untuk mendapatkan satu presenter.
Distribusi touring, distribusi karya untuk penampilan karya kesekian kalinya, yang
biasanya dilakukan di beberapa venue, kota, atau negara berbeda, dalam satu periode
waktu tertentu (misalnya 13 minggu, bahkan bisa mencapai tahunan).
Indonesia Performing Art Mart (IPAM), terakhir diselenggarakan pada 2013 oleh
Kemenparekraf;
49
Karya atau produk seni dalam seni pertunjukan adalah pertunjukan yang dipentaskan secara
langsung (live). Idealnya, produk ini dipentaskan berulang-ulang di beberapa kesempatan dan
tempat (gedung, kota, bahkan dalam konteks tertentu juga negara) yang berbeda-beda. Proses
distribusi ini penting untuk menjaga agar diseminasi gagasan yang dikandung dalam sebuah
produk tetap berlangsung, sehingga bisa mendapat tanggapan dari penonton baik yang awam
maupun yang ahli (berupa kritik).
Di Indonesia, proses distribusi ini tidak selalu terjadi karena satu dan lain hal, antara lain belum
terbangunnya infrastruktur yang memungkinkan proses distribusi/diseminasi ini berlangsung
terus-menerus. Di samping itu, para presenterterutama gedung-gedung pertunjukan yang ada
di kota-kotabelum terhubung dalam sebuah jejaring. Sesungguhnya jika gedung-gedung
pertunjukan, baik milik publik (dan dikelola oleh pemerintah) termasuk Taman Budaya di
beberapa kota, dan milik swasta (seperti Komunitas Salihara), menjalin jejaring touring, maka
rantai distribusi bisa menjadi rangsangan untuk kesinambungan produksi. Idealnya, para presenter
ini juga memiliki kemampuan untuk memproduksi melalui komisi (seperti Komunitas Salihara)
dan arah kuratorial yang kuat sehingga jejaring juga bisa dijalin dalam skema koproduksi (atau
memproduksi karya pertunjukan bersama) seperti model yang diterapkan di banyak negara di
Eropa Barat.
Publikasi hasil kerjasama KAMS dengan IETM (International European Theatre Meeting)
yang dapat diunduh gratis di situs KAMS & IETM (www.ietm.org)
50
51
53
Pementasan seni pertunjukan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pertunjukan-pertunjukan
yang disponsori oleh pihak-pihak individu dan swasta yang ditujukan untuk para undangan tertentu
dalam peringatan suatu acara (event) dan bukan pertunjukan yang memang diselenggarakan
dengan basis penjualan tiket masuk untuk penonton umum. Pertunjukan seperti ini lumrah
terjadi di daerah-daerah luar Jakarta. Bahkan di Jakarta sekali pun, para elit biasanya berharap
mendapatkan undangan (gratis), daripada membeli tiket untuk menonton suatu pertunjukan.
Perizinan
Diperlukan izin dari kepolisian untuk setiap penyelenggaraan pertunjukan untuk publik. Penting
bagi seniman untuk mempertahankan relasi dan jejaring orang-orang yang mempunyai pengaruh
atas sponsorship, pengiklanan dan dukungan moral jika suatu saat menemui kesulitan dalam
memperoleh izin.
Promotor
Promotor seni pertunjukan di Indonesia disinyalir belum ada.
54
Festival
Ada beberapa festival seni pertunjukan di Indonesia yang bertaraf internasional, meski
keberlangsungannya masih sesuatu yang harus diperjuangkan dari tahun ke tahun.
Festival internasional yang diselenggarakan di Indonesia di antaranya:
Indonesian Dance Festival (IDF) sejak 1992, yang awalnya didirikan oleh para pengajar
dan mahasiswa Jurusan Tari IKJ, dan kini berkembang menjadi satu-satunya festival tari
internasional di Indonesia dua tahunan;
Art Summit Indonesia (ASI) yang digagas pemerintah (waktu itu Depdikbud) sejak 1995
dan kini diserahkan ke Kemenparekraf;
Solo International Performing Arts (SIPA), yang programnya cenderung bersifat populer;
Sawah Lunto International Music Festival (SIMFEST) yang telah menjadi agenda tahunan
(kerjasama produser atau kurator independen dan kotamadya);
Bali Spirit Festival, sebuah festival bertema spiritualitas seperti yoga, qigong, dan meditasi
yang kini bertaraf internasional dan memasukkan unsur seni pertunjukan di dalamnya
seperti pertunjukan world music dari seniman lokal, nasional, maupun internasional;
Festival Teater Jakarta (FTJ), program Dewan Kesenian Jakarta yang sudah berlangsung
sejak 1974, dan masih bersifat lokal meski diarahkan untuk menanjak menjadi bertaraf
nasional dan akhirnya internasional.
Festival Salihara, diadakan selama sebulan penuh. Festival ini akan memadukan seni musik,
tari, teater, instalasi, dan kesusastraan. Program utamanya adalah apresiasi seni musik,
tari, dan teater dari seniman dalam dan luar negeri, sedangkan program pendamping di
antaranya apresiasi musik dan instalasi dari musisi dalam negeri.
Jazz Gunung 2014 dengan latar belakang keindahan pegunungan Bromo Tengger Semeru
Sumber: indonesia.travel
55
B. Pasar
Daya tarik seni pertunjukan bagi penontonnya dapat dipahami melalui konsep modal budaya atau
cultural capital.20 Norma-norma, nilai, kepercayaan dan respon psikologis penonton membentuk
pilihan untuk membeli dan mengkonsumsi sebuah aktivitas.21 Aktivitas budaya misalnya,
(20) Pierre Bourdieu, Distinct: A Social Critique of the Judgement of Taste (Boston: Harvard University Press, 1984)
(21) Douglas Holt, Does cultural capital structure American consumption?, Journal of Consumer Research, Vol. 25,
1998, hlm. 1-25.
56
diasosiasikan dengan selera yang lebih tinggi yang berarti memiliki modal budaya yang lebih
tinggi pula dan sebaliknya. Menyaksikan suatu karya seni pertunjukan mengandung modal
budaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan menonton program televisi.
Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1) penonton dan
2) presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program.
57
Pementasan Laki-laki Laut karya Papermoon Puppet Theatre di ART|JOG 2013 (Yogyakarta).
Sumber: Papermoon Puppet Theatre
58
59
60
Jake & Petes Big Reconciliation Attempt for the Disputes from the Past karya Jakob Ampe & Pieter Ampe/Campo
(Belgia) yang ikut ditampilkan di Festival Bo:m 2014.
Sumber: Festival Bo:m
Festival Bo:m
Festival Bo:m adalah festival seni pertunjukan dan seni rupa internasional yang menampilkan
beragam karya dari seniman-seniman Korea Selatan dan mancanegara yang multidisiplin,
multikultural, multigenre, dan memiliki konsep unik. Festival yang pertama kali diselenggarakan
pada 2007 dengan nama Springwave Festival ini telah rutin diselenggarakan setiap tahunnya
selama tiga minggu sampai satu bulan pada musim semi (MaretApril)berkat dukungan Arts
Council Korea serta Seoul Foundation for Arts and Culture. Pada 2014, Festival Bo:m berhasil
menghadirkan karya seni tari, drama, dan musik 25 seniman dari Korea Selatan, Jepang, Spanyol,
Jerman, Myanmar, Tiongkok, Belgia, Norwegia; juga beberapa kuliah umum dan workshop di
berbagai venue di kota Seoul, Busan, dan Yokohama.
Selain ingin memperkenalkan karya-karya seni inovatif dan garda depan, Festival Bo:m juga
ingin memberikan apresiasi kepada semangat eksperimentasi dan tantangan dan berfokus pada
pencarian talenta-talenta baru. Festival Bo:m berusaha untuk memperkenalkan seniman-seniman
dengan berbagai latar belakang, terutama dari Asia, di panggung internasional.
Sumber: www.festivalbom.org
61
Untuk contoh yang lebih spesifik (menurut cabang seni) ada Festival da:ns (tari kontemporer,
Singapura), Wifi Body (tari kontemporer, Manila), dan My Dance Alliance Festival (Kuala
Lumpur). Untuk musik ada Java Jazz di Jakarta, WOMAD (World Music and Dance) Festival
di Singapura, dan Rainforest World Music Festival di Kuching (Malaysia).
Australia adalah negara tetangga yang mulai menyadari betapa minimnya pengetahuan mereka
tentang seni pertunjukan kontemporer di Indonesia paling mutakhir. Beberapa seniman seni
pertunjukan kontemporer Indonesia mulai merambah kemungkinan residensi di Australia dan
menjajaki kemungkinan produksi. Dua di antaranya adalah Pappermoon Puppet Theatre dan
kelompok musik eksperimental Senyawa.
Jazirah Eropa menawarkan ratusan presenter baik dalam bentuk venue maupun festival, seperti
Edinburgh Fringe Festival (Skotlandia), Festival dAvignon (Prancis), tetapi profil mereka sebaiknya
dipilih dan pilah melalui analisis kuratorial masing-masingmana yang sesuai dengan kelompok
seni Indonesia.
Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) adalah kawasan yang juga harus dibaca dengan
saksama dari sudut pandang kuratorial, selera, dan peredaran wacana tentang seni pertunjukan
mereka yang bisa bertemu atau berdialog dengan apa yang terjadi dalam konteks Indonesia.
62
63
Sardono W. Kusumo
Distinguished Artist Award dari International Society of Performing Arts (ISPA), 2003
Penghargaan atas pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian tradisional dan modern.
Sardono memberi warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negaranegara Asia Tenggara.
Prince Claus Awards, 1997
Penghargaan atas prestasinya sebagai koreografer, penari, dan pembuat film, yang
menggabungkan tari tradisional dengan teknik-teknik dan bentuk-bentuk improvisasi tari
modern. Sardono menciptakan campuran gerakan yang berakar pada latihan klasik pencak
silat Jawa dan tari Keraton dengan gagasan kontemporer teater.
Dances of Sumatera: Aceh and Minangkabau, oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti
Dance Company, dan dua kelompok tari dari Aceh, Bessie, New York Dance and Performance
Awards, 1991.
Penghargaan atas prestasi kreatif luar biasa lewat penampilan di Joyce Theatre, New York,
Amerika Serikat, yang menyuguhkan karya tari tradisional (Aceh) dan modern (Sumatera
Barat) yang dibangun dari dalam dan di luar batas tradisi budaya klasik musik dan tari
Sumatera: Aceh dan Minangkabau.
Proses peningkatan literasi merupakan kunci dari pembinaan penonton (audience development).
Pembinaan penonton adalah sebuah proses membina hubungan dengan penonton yang sudah
ada (existing audiences) dan menjaring calon penonton (potential audiences) yang dilakukan
secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui program-progam seperti pemasaran dan
pendidikan. Terdapat 5 prinsip utama yang dilakukan dalam pembinaan penonton:
1. Merupakan proses jangka panjang;
2. Membutuhkan komitmen organisasi;
3. Melibatkan penonton yang sudah ada (existing audiences) dan calon penonton (potential
audiences);
4. Merupakan proses terus-menerus bukan hanya proyek jangka pendek;
5. Memerlukan rencana, evaluasi, dan review untuk setiap kegiatan yang dilakukan.
Proses literasi dapat dilakukan melalui:
1. Lembaga pendidikan umum di mana kesenian terintegrasi dalam kurikulum pendidikan
nasional, misalnya melalui intra maupun ekstra kurikuler. Kesenian seperti musik atau tari
adalah sama pentingnya dengan mata pelajaran lain seperti matematika ataupun ilmu alam;
2. Organisasi nonprofit seperti lembaga kebudayaan lokal dan internasional, contoh: GoetheInstitut,YayasanKelola, dan ErasmusHuis;
3. Venue, yangmembuatprogramuntukpembinaanpenonton seperti kelas diskusi, kuliah
umum, dan artist talk (diskusi dengan seniman);
4. Kegiatan apresiasi oleh komunitas seni pertunjukan berupa riset, pengembangan wacana,
publikasi buku, dan lain sebagainya;
5. Mediacetakseperti buku,suratkabar,majalah,danmediaelektronik.
64
Festival menciptakan wadah bagi pengembangan wacana teater, karena di dalamnya terdapat
kegiatan-kegiatan lain seperti peluncuran buku dan diskusi yang bertujuan meningkatkan tingkat
apresiasi teater, baik di kalangan pelaku maupun penonton.
Saat ini, literasi mengenai seni pertunjukan, misalnya seni tari, hanya diajarkan di sekolah
(pendidikan umum) sebagai pelajaran pilihan, bukan wajib. Apresiasi terhadap seni pertunjukan
tidak dibangun sejak dini. Selain itu, walaupun mempunyai daya beli yang tinggi, banyak masyarakat
yang masih menganggap seni pertujukan sebagai sesuatu yang eksklusif dan membutuhkan
pemahaman khusus untuk mengapresiasi karya.
C.2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses pembelajaran yang meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan,
sikap serta perilaku yang sangat berpengaruh pada penciptaan orang kreatif yang terkait dengan
seni pertunjukan.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, seniman pertunjukan di Indonesia dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu: 1) seniman lulusan institusi pendidikan formal seni; 2) seniman otodidak yang
bergabung dengan kelompok atau sanggar seni (institusi nonformal); serta 3) seniman yang
mendapat pendidikan baik secara nonformal, maupun formal.
Menurut tokoh tari Indonesia, Sal Murgiyanto,22 terdapat empat jenis sumber daya manusia yang
diperlukan untuk keberlangsungan seni pertunjukan, yaitu: 1) seniman, baik pelaku maupun
pencipta; 2) penonton; 3) pengelola atau penyelenggara pertunjukan; dan 4) kritikus seni.
Sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia yang diungkapkan di atas, maka diperlukan
lembaga pendidikan yang dapat mendidik calon-calon pelaku seni pertunjukan, sesuai dengan
fungsi dan perannya masing-masing. Institusi pendidikan untuk seni pertunjukan idealnya dapat
dibagi menjadi:
1. Pendidikan Seni Pertunjukan
Berdasarkan fokus bidang pengajarannya, pendidikan seni pertunjukan dapat dibagi
menjadi:
Pendidikan kajian, yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan
lain sebagainya untuk menciptakan kritikus, kurator, dan pengkaji.
Tujuan dari pendidikan seni ini adalah berkembangnya seni pertunjukan sebagai ilmu
pengetahuan, pengembangan wacana, dan ekplorasi estetika.
a. Pendidikan Formal, adalah institusi pendidikan yang disubsidi oleh pemerintah
nasional atau daerah:
(22) Sal Murgiyanto, Menuliskan Seni Pertunjukan, Catatan Lokakarya Penulisan Seni Pertunjukan Sesi 1, Yayasan
Kelola, 2012.
65
seperti ISI (Instititut Seni Indonesia) dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)
berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud),
sedangkan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) berada di bawah naungan pemerintah
daerah Jakarta. Kurikulum sekolah tinggi seni di Indonesia cenderung berfokus
pada penguasaan keterampilan dan teknik, dan mengabaikan muatan kesejarahan
serta konteks kultural yang lebih rumit dan substansial.
Ada beberapa jenis lembaga pendidikan seni di Indonesia, di antaranya:
66
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). IKJ membuka tiga fakultas: Fakultas Film dan
Televisi Indonesia (FFTV), Fakultas Seni Rupa, dan Fakultas Seni Pertunjukan.
Khusus untuk seni pertunjukan, IKJ menawarkan program studi Diploma 3
Seni Musik, Penata Tari, dan Pemeranan. Sedangkan untuk program studi
Strata 1 Seni Musik, Seni Tari, Seni Teater, Etnomusikologi, Antropologi
Tari, dan Antropologi Tari peminatan Pengelolaan Seni Pertunjukan. Selain
itu, IKJ juga memiliki program pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni
Urban dan Industri Budaya yang berfokus pada penguasaan keahlian seni,
ilmu dan teknologi serta keahlian pendukung seperti pengelolaan kegiatan,
kewirausahaan, hak kekayaan intelektual, dan keahlian komunikasi, serta
promosi mutakhir.
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memiliki dua fakultas, yaitu Fakultas
Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Untuk Fakultas Seni
Pertunjukan, ISI memiliki empat jurusan, yaitu Jurusan Karawitan, Jurusan
Tari, Jurusan Etnomusikologi, dan Jurusan Pedalangan yang terbagi menjadi
dua program studi yaitu, Program Studi Pedalangan dan Program Studi Seni
Teater. Semua jurusan tersebut berada di jenjang Strata 1.
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, memiliki dua fakultas yaitu
Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Fakultas
Seni Pertunjukan mempunyai lima program studi: Seni Tari, Seni Karawitan,
Seni Pedalangan, Sendratasik (seni drama, tari, dan musik) dan Seni Musik
yang semuanya berada di jenjang Strata 1.
SMK Negeri 8 Surakarta, atau lebih dikenal dengan nama Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia, adalah sekolah yang khusus didirikan untuk menjadi
konservatorium bagi kesenian karawitan yang ada di daerah Surakarta.
SMIK 8 ini telah memiliki lima kejuruan, yaitu Seni Karawitan, Seni Tari,
Seni Pedalangan, Seni Musik, dan Seni Teater.
67
berkreasi dan mengajar adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan); 3) praktik pengajaran
seni di Indonesia hanya menekankan pada apresiasi estetika, tidak berusaha memahami seni
secara holistik dengan sistem masyarakat penciptanya; 4) pendidikan kesenian yang modernis
membuat pelajar sulit mengapresiasi kesenian tradisi.23
Oleh karena itu, pendidikan seni pertunjukan yang diajarkan institusi besar seperti ISI, STSI,
dan IKJ diakui tidak cukup memberi calon seniman pertunjukan bekal ilmu yang cukup,
sehingga seringkali mereka harus mengambil kelas lokakarya, berjejaring (networking) ke luar
negeri dengan biaya sendiri, bahkan menerbitkan publikasi sendiri untuk mendidik masyarakat
agar lebih mengapresiasi seni pertunjukan.
2. Pendidikan Manajemen
Ilmu manajemen sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan berkesenian yang dilakukan
oleh seniman, terutama agar seniman dapat terus berkarya secara berkesinambungan.
Pendidikan manajemen dapat dibagai menjadi:
Manajemen seni, yaitu manajemen semua bentuk kesenian dan organisasi seni,
termasuk kelompok seni, venue, pameran, konser dan festival;
Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga pendidikan yang layak untuk bidang manajemen
dan teknis seni pertunjukan. Dalam tingkat nonformal, Yayasan Kelola bekerja sama
dengan PPM Manajemen (Pendidikan dan Pembinaan Manajemen) untuk mengembangkan
modul pelatihan manajemen seni pertunjukan intensif dan sempat melatih ratusan pelaku
seni. IKJ pernah membuka program studi manajemen seni pertunjukan dan beberapa
lulusannya kini bekerja di berbagai organisasi.
3. Pendidikan Produksi, Desain dan Teknis
Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan mencakup pengetahuan
interpretasi, dan teknis penyelenggaraan pertunjukan seperti desain, konstruksi atau
pembuatan panggung dan manajemen dalam pengembangan proses produksi.
Desain dan pengoperasian, seperti desain panggung dan kostum, desain dan
pengoperasian tata cahaya dan tata suara;
Teknis, seperti konstruksi properti dan dekorasi panggung (scenery), dan mekanis
backstage.
Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan dapat ditempuh melalui dua
cara, yaitu:
(23) Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009.
68
Secara umum, profesi teknisi tata lampu dan suara di Indonesia masih dipandang sebelah
mata dan tidak dianggap sebagai profesi yang memerlukan kreativitas. Kebanyakan dari
teknisi tersebut belajar sambil bekerja, karena tidak ada pelatihan profesional khusus untuk
keahlian tata lampu dan suara. Oleh karena itu, banyak teknisi panggung di Indonesia
yang mempunyai keterampilan teknis pas-pasan. Namun, bukan berarti tak ada teknisi
panggung di Indonesia yang memiliki kemampuan profesional di bidangnya.
Sertifikasi pengajar
Pada beberapa bidang seni tertentu dapat diterapkan sertifikasi pengajar, misalnya sertifikasi
yang diberikan kepada pengajar profesional tari untuk teknik tertentu. Ada beberapa sertifikasi
pendidikan tari dengan kurikulum baku internasional, seperti dari Commonwealth Society of
Teachers of Dancing (CSTD), Royal Academy of Dance London (balet), dan Vaganova (balet
Rusia). Namun, sertifikasi seperti ini jika tidak diregulasi dengan baik justru akan memberikan
efek yang tidak baik. Misalnya, orang cenderung hanya mengejar sertifikasi tanpa menggubris
makna pendidikan sesungguhnya.
Selain dari lembaga sertifikasi internasional, sertifikasi untuk pengajar juga seharusnya dapat
diberikan oleh lembaga pendidikan nonformal seperti kursus musik, sanggar tari, dan kelompok
teater yang telah diakreditasi oleh pemerintah.
69
dan spektakuler. Akibatnya, penilaian intrinsik atas karya seni pertunjukan tidak berfokus pada
substansi tetapi hanya berdasarkan tampak luarnya belaka.
Media massa mempunyai peran besar dalam penciptaan tren. Banyak kritikus seni pertunjukan
di Indonesia yang terafiliasi dengan media tertentu, seperti jurnalis dan kritikus lepas (reviewer).
Hanya segelintir media yang mendidik jurnalis di bidang seni pertunjukan dengan merekrut
orang dengan latar belakang yang tepat (filsafat dan estetika, misalnya). Kebanyakan media
menerapkan sistem rotasi di mana para jurnalis wajib berganti rubrik spesialisasinya setiap beberapa
bulan. Akibatnya, ada generasi baru wartawan seni Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan
cukupatau bahkan buta sama sekalitentang seni pertunjukan Indonesia, apalagi pertaliannya
dengan yang global.
D. Pengarsipan
Terdapat beberapa organisasi di Indonesia yang menaruh perhatian pada pemeliharaan arsip juga
pelestarian praktik seni dan budaya. Namun, dalam pelaksanaannya selalu ada kendala yang
menghambat, seperti perubahan sosial yang dapat mengikis seni tradisi dan juga keterbatasan
biaya untuk melakukan perawatan arsip dan keterbatasan ruang pamer. Bila keterbatasan ini
bisa dilampaui, arsip-arsip tersebut dapat sangat berguna bagi beberapa pemangku kepentingan
seperti praktisi, peneliti dan masyarakat luas.
Sayangnya, kebanyakan arsip seni pertunjukanterutama dalam bentuk rekaman atau
dokumentasi audio visualsaat ini masih disimpan atau menjadi koleksi pribadi seniman sendiri.
Ada beberapa koleksi arsip seni pertunjukan seperti milik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, arsip
sejak 1968) atau Yayasan Kelola (arsip sejak 1999) yang dapat diakses publik secara khusus. Arsip
DKJ sedang didigitalisasi sementara arsip di Yayasan Kelola masih dikelola secara mandiri dan
belum maksimal dimanfaatkan.
70
New York Public Library for the Performing Arts, Dorothy and Lewis B. Cullman Center
The New York Public Library for the Performing Arts (NYPL) adalah salah satu perpustakaan
yang memiliki koleksi terlengkaptermasuk sirkulasi, referensi, dan arsip langkadi bidang
seni pertunjukan. Selain memiliki materi yang dapat diakses dengan gratis, NYPL juga
menyelenggarakan beragam program khusus, termasuk pameran, seminar, dan pertunjukan.
Jenis materi yang ada mencakup nonbuku seperti rekaman sejarah, kaset video, manuskrip,
korespondensi, notasi musik, desain panggung, kliping, buku program, poster, dan foto-foto.
Di samping koleksi-koleksi tersebut, ada juga koleksi penelitian yang didanai oleh pemerintah
kota New York dan swasta.
Sumber: www.nypl.org
71
72
73
Sejak 2014, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2013-2015 mulai menerbitkan enam seri
Antologi Musik, berupa buku notasi (music score) karya para komponis Indonesia yang dibagi
ke dalam tema-tema (musik klasik Barat, musik untuk seriosa, musik untuk ilustrasi film, dan
lain sebagainya).
Gagasan-gagasan kreatif yang ada di kepala sutradara kerap menyimpan banyak hal yang
menarik, seperti: sumber inspirasi kreatif, alasan dan orientasi penciptaan, sampai pendekatanpendekatan kreatif yang digunakan dalam mewujudkan ide-ide tersebut. Karena itu, banyak
sutradara menuliskan gagasan dan proses kreatifnya baik dalam bentuk esai (tulisan panjang) atau
sketsa-sketsa yang menjelaskan gagasan atau pendekatan kreatif mereka. Banyak dari kumpulan
tulisan gagasan atau pendekatan kreatif yang diterbitkan sebagai buku, sehingga bisa menjadi
panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara muda. Buku semacam The Empty
Space dan Shifting Point yang merupakan kumpulan tulisan gagasan dan pendekatan kreatif
sutradara teater terkemuka dari Inggris, Peter Brook, misalnya, terus mengalami cetak ulang.
Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang kerap
kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film
maupun sebagai pelatih akting (acting coach). Di Jakarta, misalnya, Wendy Nasution (aktor
Teater Mandiri) dan Norman Akyuwen (aktor dan penulis Teater Stock), banyak terlibat di
industri film sebagai acting coach. Generasi selanjutnya, seperti Joind Bayuwinanda, yang dengan
kelompoknya memenangkan Festival Teater Jakarta hingga dua kali, menjadi acting couch untuk
produksi drama musikal.
74
75
76
kesenian daerah (wayang orang, lenong), jasa hiburan band, orkestra dan sejenisnya. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti panggung, televisi, dan radio.
Kode 90002: Kegiatan Pekerja Seni
Kelompok ini mencakup kegiatan pekerja seni, seperti novelis, penulis cerita, dan pengarang
lainnya, aktor, penyanyi, penari sandiwara, penari, dan seniman panggung lainnya yang sejenis.
Termasuk pula usaha kegiatan produser radio, televisi, dan film, pelukis, kartunis dan pemahat
patung.
Kode 90003: Jasa Penunjang Hiburan
Kelompok ini mencakup usaha jasa penunjang hiburan, seperti jasa juru kamera, juru lampu,
juru rias, penata musik, dan jasa peralatan lainnya sebagai penunjang seni panggung.
Kode 90004: Jasa Impresariat Bidang Seni
Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan baik
yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat,
waktu, dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang
seni. Misalnya Java Musikindo.
Kode 93191: Promotor Kegiatan Olahraga
Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan, baik
yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu
dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang olahraga.
Dalam ruang lingkup industri seni pertunjukan yang dikemukakan oleh negara Inggris dalam
Blueprint Performing Art UK 2010, ditemukan elemen-elemen profesi atau usaha utama dalam
seni pertunjukan, yaitu:
1. Usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dan pekerjanya;
2. Usaha kelompok kesenian (kolektif, sanggar);
3. Usaha pekerja lepas di dunia tari, teater dan musik nonrekaman, yang mencakup:
a. Seniman penampil
b. Promotor
c. Staf administrasi dan manajemen
d. Teknisi
Sementara itu, dari definisi seni pertunjukan yang tercantum pada KBLI Ekonomi Kreatif 2009
dan ruang lingkup industrinya, usaha-usaha utama yang muncul adalah:
1. Jasa reservasi, mencakup penjualan tiket pertunjukan;
2. Kegiatan seni pertunjukan, mencakup penyelenggaraan pertunjukan/festival;
3. Kegiatan pekerja seni, mencakup seniman penampil;
4. Jasa penunjang hiburan, mencakup usaha penunjang teknis penyelenggaraan pertunjukan;
5. Jasa impresariat bidang seni, mencakup promotor seni pertunjukan;
6. Promotor kegiatan olahraga.
77
Membandingkan antara keduanya, maka terdapat perbedaan mencolok, yaitu tidak adanya klasifikasi
usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dalam KBLI Ekonomi Kreatif 2009, padahal fasilitas
gedung pertunjukan merupakan elemen usaha penting dalam penyelenggaraan pertunjukan.
Dalam kode 4 digit KBLI 2009, subgolongan kode 9000 Kegiatan Hiburan, Kesenian dan
Kreativitas mencakup:
Proses produksi dari persembahan teater yang disajikan secara langsung, konser dan
opera atau tari serta proses produksi dari pertunjukan panggung lainnya, seperti kegiatan
kelompok sirkus atau kegiatan sejenis, pertunjukan orkestra atau band dan kegiatan artis
perorangan, seperti penulis, aktor, sutradara, produser, musisi, penceramah atau ahli
pidato, pendesain dan pembangun panggung pertunjukan;
Kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater serta fasilitas seni lainnya;
Kegiatan penulis, untuk semua subjek mencakup penulis fiksi, penulis teknis dan lain-lain;
Kegiatan memperbaiki atau restorasi hasil karya seni seperti lukisan dan lain-lain.
Terlihat dari cakupan subgolongan 9000 diatas, bahwa Kegiatan operasional ruang konser dan
ruang teater termasuk di dalamnya. Namun, kegiatan ini tidak dikembangkan menjadi kode 5
digit, karena di lapangan usaha ini dianggap jumlah dan perkembangannya di Indonesia tidak
signifikan.
Agar perhitungan kontribusi ekonomi seni pertunjukan Indonesia dapat dilakukan secara
komprehensif di semua elemen usaha, maka pemerintah sebaiknya membuat kode 5-digit untuk
usaha kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater (fasilitas gedung seni pertunjukan
atau venue).
Klasifikasi lapangan usaha bidang seni pertunjukan yang digunakan saat ini memang belum
sepenuhnya mencerminkan realitas paling mutakhir dari situasi Indonesia. Namun, klasifikasiklasifikasi tersebut tetap diuraikan di sini sebagai panduan informasi yang terbuka untuk
masukan-masukan di masa depan.
peluang-peluang artistik, tetapi juga mampu menyampaikan nilai artistik tersebut kepada penonton
dan mengomunikasikannya secara efektif baik dalam konteks lokal atau internasional. Kelompok
seni pertunjukan yang mampu berkembang dan berkelanjutan secara finansial pada umumnya
memiliki pengetahuan dasar yang kuat, dan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dan
mempunyai jejaring yang luas.
Secara umum, ada beberapa contoh model bisnis di dalam seni pertunjukan, beberapa diantaranya
juga diterapkan oleh para seniman kita, antara lain:
Kelompok seni yang disubsidi penuh oleh pemerintah melalui sistem pendanaan untuk
kesenian, seperti Singapore Dance Theatre (SDT) yang memang dibentuk sebagai flagship
company. Selain bersandar pada subsidi pemerintah, biasanya arts company model ini juga
mencari sponsor eksternal berupa donatur-donatur individual (patron) ataupun korporasi.
Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki kelompok kesenian nasional seperti ini.
Promotor. Berbeda dengan promotor seni pertunjukan yang saat ini belum ada di Indonesia,
promotor pertunjukan musik populer sudah berkembang menjadi sebuah industri yang
menjanjikan karena adanya permintaan pasar yang terus-menerus akan pertunjukan
musik populer, seperti Java Musikindo. Di luar negeri, usaha promotor seni pertunjukan
sudah lebih berkembang, sebagai contohnya adalah From Sweden Production (www.
fromswedenproductions.com) yang mempromosikan karya-karya seni pertunjukan
Swedia, terutama pertunjukan musik klasik ke luar negeri. From Sweden Production
menawarkan beragam jasa bagi kliennya, mulai dari strategi penggalangan dana, branding,
public relation (PR), pemasaran, konsultasi, manajemen, hingga promosi sebuah konser,
festival, dan event yang berhubungan dengan Swedia.
Kelompok seni yang dikelola oleh tim kecil (seperti kelompok teater atau tari) contohnya:
Teater Koma yang berdiri pada 1977 adalah satu-satunya kelompok teater nonprofit
yang masih aktif berkarya hingga saat ini (dua pertunjukan per tahun). Meskipun
tidak berbentuk perusahaan, Teater Koma tetap menjalankan sistem manajemennya
dengan profesional. Para anggotanya paham bahwa mereka tidak dapat hidup dari
penghasilan teater, sehingga mereka tidak mengandalkan honor dari pementasan.
Sebagian besar memiliki pekerjaan lain di luar teater.
Pendapatan Teater Koma di setiap pementasannya adalah dari penjualan tiket, yang
rata-rata tingkat penjualannya sebesar 80 persen, hal yang sangat jarang ditemui di
kelompok-kelompok teater lainnya. Dengan harga tiket berkisar Rp75.000300.000
untuk umum dan Rp50.000 untuk mahasiswa, Teater Koma kerap kali berpentas
di Graha Bhakti Budaya (800 kursi). Selain dari penjualan tiket, sumber pendanaan
Teater Koma juga berasal dari:
Sponsor korporasi seperti Unilever, Djarum Foundation, dan perusahaanperusahaan lain yang memberikan kontribusi in-kind. Kekuatan Teater Koma
terletak pada para simpatisan, donatur, dan sponsornya. Setiap anggota harus
bisa berpromosi, menjadi humas dan menjual tiket di lingkaran komunitas diluar
79
Teater Koma saat memainkan peran dalam lakon Sampek Engtay di Gedung Kesenian Jakarta, 13 Maret 2013.
Foto: Fernando Randy, VIVAnews
80
Gigi Art of Dance (GAOD), Jakartadance company. Agar dapat berkelanjutan secara
finansial, GAOD mempunyai 3 lini usaha, yaitu: 1) edukasi (kursus tari ekstensif),
2) kelompok tari (dance company) baik untuk jasa komersial maupun pendidikan
lanjut bagi siswa kursusnya; 3) Gigi Foundation. Pendapatan dari masing-masing
lini usaha dapat digunakan untuk mensubsidi silang.
Namarina Jakarta adalah sekolah tari balet klasik Barat (kursus ekstensif ) yang
mengajarkan gaya Inggris. Didirikan oleh almarhum Nani Lubis, Namarina juga
membuka kelas jazz dance dan teknik tari Barat lainnya. Namarina juga menerbitkan
sertifikasi tari internasional bekerjasama dengan Royal Ballet.
Choreography Night Dance for Earth 2014, sebuah showcase tahunan yang diselenggarakan oleh Gigi Art of Dance
sebagai platform untuk menunjukkan kreasi para koreografer pemula
Sumber: Gigi Art of Dance
Pementasan produksi Namarina Ballet & Jazz School: La Fille mal garde, 3 Mei 2014, Graha Bhakti Budaya
Sumber: Namarina
81
Sumber Cipta, sekolah tari yang didirikan oleh Farida Oetoyobalerina lulusan Bolshoi
Academy (Moskow)yang mengajarkan tari klasik balet gaya Rusia (Vaganova),
tari jazz, dan kontemporer Barat. Sekolah ini juga memiliki Kreativitaet Dance
Company, sebuah kelompok tari yang sesekali berproduksi sebagai latihan kreatif
para murid seniornya. Setelah Farida meninggal dunia pada Mei 2014 lalu, sekolah
ini dipimpin oleh anaknya, koreografer Yudi Sjuman (lulusan Folkwang Tanzschule,
Essen, Jerman) yang juga berafiliasi dengan sekolah musik yang didirikan oleh putra
Farida lainnya, Aksan Sjuman.
Padnewara, sebuah sanggar tari tari klasik Jawa aliran Surakarta yang didirikan
oleh penari dan koreografer Retno Maruti sejak 1976 di Jakarta. Berbentuk sanggar
informal, Padnewara membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar tari
klasik Jawa ala Surakarta tanpa bayaran. Prinsip ini dipercaya oleh Retno Maruti
untuk meneladani salah satu gurunya, KRT Kusumokesowo, empu tari Jawa Kraton
Surakarta pada era 1950 sampai 1960-an. Padnewara menarik minat kelas menengah
Jakarta yang berlatih secara tekun di bawah bimbingan Maruti yang berusaha untuk
menciptakan dan memanggungkan paling tidak satu karya drama tari setiap tahunnya.
Untuk merealisasikan produksinya, Maruti bergantung pada donatur pribadi dan
korporasi. Meski berformat sanggar, mutu artistik karya-karya yang lahir di bawah
payung Padnewara dinilai profesional.
82
83
84
BAB 3
Kondisi Umum
Seni Pertunjukan
di Indonesia
85
INDIKATOR
SATUAN
2010
2011
2012
2013
RATA RATA
1,897.53
2,091.25
2,294.11
2,595.32
2,219.55
Miliar Rupiah
Persen
0.40
0.40
0.40
0.40
0.40
Persen
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
Persen
2.72
2.98
6.88
4.19
2 BERBASIS KETENAGAKERJAAN
a
Orang
72,010
75,494
78,131
79,258
76,223
Persen
0.63
0.65
0.66
0.67
0.65
Persen
0.07
0.07
0.07
0.07
0.07
Persen
4.84
3.49
1.44
3.26
Ribu Rupiah/
Pekerja
Pertahun
26.351
27,701
29,362
32,745
29,039.90
22,237
22,859
23,488
24,236
23,205
Perusahaan
Persen
0.42
0.43
0.44
0.45
0.43
Persen
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
Persen
2.80
2.75
3.18
2.91
Juta Rupiah
252,880
253,521
259,318
254,195
86
251,059
INDIKATOR
SATUAN
2010
2011
2012
2013
RATA RATA
Persen
0.26
0.24
0.23
0.22
0.24
Persen
0.02
0.01
0.01
0.01
0.01
Persen
0.73
0.25
2.29
1.09
1,506,915
1,742,645
2,024,875
2,407,812
1,920,562
0.23
0.25
0.26
0.28
0.25
0.04
0.04
0.05
0.05
0.04
Juta Rupiah
Persen
*ADHB: Atas Dasar Harga Berlaku **ADHK: Atas Dasar Harga Konstan
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah
87
88
89
Berdasarkan Gambar 3-3, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi
0,45% terhadap total unit usaha industri kreatif. Dengan kontribusi tersebut, subsektor seni
pertunjukan berada di peringkat ketujuh dari 15 subsektor. Angka pertumbuhan rata-rata
tenaga kerja seni pertunjukan sebesar 2,91%, dan berada di atas rata-rata pertumbuhan unit
usaha ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan, yang masing-masing sebesar 0,98%
dan 1,05%. Terdapat 24.236 unit usaha seni pertunjukan pada 2013.
90
Berdasarkan gambar 3-4, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi
0,28% atau sebesar Rp2,4 triliun terhadap total konsumsi rumah tangga industri kreatif. Kontribusi
tersebut berada di posisi kesembilan dari 15 subsektor industri kreatif. Rata-rata pertumbuhan
konsumsi rumah tangga di subsektor seni pertunjukan adalah 16,92%, di atas pertumbuhan
konsumsi rumah tangga ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan yang masing-masing
bernilai 10,5% dan 11,15%.
91
92
Pada Gambar 3-6, terlihat perbedaan jumlah impor dan ekspor subsektor seni pertunjukan.
Jumlah impor subsektor seni pertunjukan jauh lebih besar dibandingkan ekspor, begitu pula
dengan rata-rata pertumbuhan impor (21,43%) dibandingkan pertumbuhan ekspor yang hanya
sebesar 1,08%. Rata-rata pertumbuhan impor tersebut lebih besar daripada rata-rata impor skala
industri kreatif sebesar 15,2% dan nasional sebesar 15,4%. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan
ekspor seni pertunjukan masih jauh lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan ekspor skala
industri kreatif yang sebesar 7,2% dan nasional sebesar 9,9%.
Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013
Berbeda dengan data BPS, data UN COMTRADE (The United Nations Commodity Trade
Statistics Database) menunjukan nilai ekspor seni pertunjukan yang lebih kecil, yaitu Rp88
miliar, dengan rata-rata pertumbuhan 0,02% untuk periode 2010-2013. Yang termasuk dalam
kategori ekspor menurut data COMTRADE untuk seni pertunjukan adalah perayaan (celebration)
dengan kode sebagai berikut:
Kode 950510 untuk barang-barang perayaan Natal (tidak termasuk lilin dan lampu,
pohon Natal, dan penyangga pohon Natal)
93
Sumber: COMTRADE
94
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
KELEMAHAN PERATURAN
95
KESIMPULAN
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
KELEMAHAN PERATURAN
96
KESIMPULAN
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
97
KESIMPULAN
98
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
KELEMAHAN PERATURAN
KESIMPULAN
99
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
100
KESIMPULAN
3.2.6 Kepabeanan
1
NAMA PERATURAN
PENJELASAN SINGKAT
KELEMAHAN PERATURAN
101
102
KESIMPULAN
Produser
Tidak ada mekanisme industri yang jelas, sehingga produser bisa jadi hanyalah orang yang
kebetulan punya akses ke pemilik dana besar. Produser berbentuk perusahaan besar saat ini
hanya bersifat one-off, dalam artian tidak rutin memproduksi karya. Dengan biaya produksi
karya seni pertunjukan yang cukup besar, seniman kerap berperan sebagai produser eksekutif
dan tak jarang menjadi seorang filantropis.
Distribusi
Idealnya, para presenter yang ada (venue) terhubung dalam sebuah jejaring sehingga bisa saling
berbagi informasi serta sumber daya lainnya (dana atau fasilitas) untuk mengadakan turing produksiproduksi bermutu. Selama ini, karya pertunjukan Indonesia cenderung hanya dipentaskan sekali
atau dua kali, terutama yang bertipe eksperimental (kontemporer). Para presenter ini seharusnya
dibekali kemampuan untuk memproduksi, sehingga mereka bisa bekerja sama (koproduksi), serta
didorong untuk perlahan tapi pasti mengembangkan market knowledge tentang seni pertunjukan
lokal maupun global melalui pengasahan di tingkat profesionalisme dan wacana.
Oleh karena itu, belum ada promotor seni pertunjukan di Indonesia. Promotor seni pertunjukan
bisa hadir jika rantai produksi dan distribusi benar-benar berjalan sebagai prasyarat.
Festival
Festival seni pertunjukan harus dibedakan dengan pesta rakyat ataupun perayaan yang lebih
bersifat kultural. Festival seni pertunjukan selayaknya dibingkai dengan sebuah posisi kuratorial
yang secara spesifik memang ingin mengartikulasikan sebuah wacana, yang hanya bisa terbentuk
103
bila akumulasi pengetahuan telah terjadi melalui serangkaian pengalaman yang dibentuk oleh
pendidikan, kontinuitas pertunjukan, serta terbangunnya apresiasi penonton yang cerdas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kemenparekraf, sejak 24 Februari 2014 sampai 4
April 2014, ditemukan 117 kegiatan kesenian bertaraf lokal, nasional, dan internasional yang
diselenggarakan di Indonesia, dengan komposisi 65 (55,5%) bertaraf lokal, 36 (30,8%) bertaraf
internasional, dan 16 (13,7%) bertaraf nasional. Penyelenggaraan festival-festival tersebut
tersebar di enam provinsi di Indonesia, dengan persebaran utama sebagai berikut: 25% di DKI
Jakarta, 17% di Jawa Tengah, 15,5% di Jawa Barat, 8,55% di Jawa Timur, 7,7% di Bali, dan 6%
di DI Yogyakarta. Untuk festival yang diselenggarakan di seluruh dunia, dari 83 festival besar,
penyelenggaraan terbanyak dilakukan di Eropa (34%), Asia (24%), Amerika Utara (20,5%),
Afrika (10%), dan Amerika Selatan (3,5%).
Asosiasi Internasional
Ada banyak asosiasi internasional atau jejaring dalam seni pertunjukan, dan biasanya bersifat
keanggotaan (membership). Beberapa di antaranya adalah:
1. Association for Performing Arts Presenters (APAP) adalah asosiasi internasional
yang beranggotakan lebih dari 5.000 presenter dan organisasi profesional di bidang seni
pertunjukan, termasuk di dalamnya pusat seni pertunjukan, venue (gedung pertunjukan),
fasilitas seni pertunjukan yang dimiliki oleh universitas dan pemerintah lokal, agen atau
manajer seni, perusahaan turing, jasa konsultan, vendor, dan seniman itu sendiri. APAP
secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan konferensi dan marketplace internasional,
yang diikuti oleh 3.600 presenter, seniman, manajer, agen, dan para pemimpin seni baru
dari 50 negara bagian Amerika Serikat dan lebih dari 30 negara lainnya, melalui rangkaian
kegiatan pengembangan profesional, kesepakatan bisnis, dan pertunjukan-pertunjukan
yang berlangsung selama lima hari di kota New York.
2. International Society for Performing Arts (ISPA) adalah jejaring global yang mewadahi
lebih dari 400 pelaku (pemimpin) di sektor seni pertunjukan, mewakili lebih dari 185
kota diseluruh dunia. Anggota ISPA terdiri atas penyedia fasilitas (venue atau gedung
pertunjukan), organisasi seni pertunjukan, manajer seniman, penyelenggara kompetisi,
donor, konsultan, dan para profesional lainnya di bidang seni pertunjukan.
3. IETM (International European Theatre Meeting) adalah jejaring yang didirikan oleh
para praktisi teater di Eropa Barat yang kini telah meluas dan menjangkau tidak hanya
teater, tetapi juga seni pertunjukan. Sejak 2005, IETM telah menjangkau Asia melalui
program Asia Satellite Meeting yang diselenggarakan bergantian di kota-kota Asia yang
berbeda (antara lain Beijing, Jakarta, Yogyakarta, Melbourne, dan Sydney).
104
SUMBER DAYA
PENDUKUNG
6
4
3,1
2,4
3,5
2,3
3,6
1,7
INFRASTRUKTUR
DAN TEKNOLOGI
INDUSTRI
2,8
PEMASARAN
PEMBIAYAAN
105
Pembiayaan
Lemahnya pembiayaan (skor 1,7) disebabkan karena sampai saat ini Indonesia tidak memiliki
lembaga pemerintah yang melakukan investasi berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding
body) yang menyediakan skema hibah dan memungkinkan organisasi, kelompok, atau produksi
karya untuk berkompetisi secara adil.
Saat ini seluruh biaya, mulai dari biaya operasional kelompok, produksi, sampai showcase nasional
dan internasional, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), karena bantuan
pendanaan yang bersumber dari pemerintah, donor lembaga asing, institusi nirlaba (LSM),
individu, dan perusahaan swasta masih berupa one-off donation dan insidental.
Pemasaran
Dari sisi pemasaran pun masih dinilai kurang (skor 2,8) karena meskipun jumlah venue (gedung
pertunjukan) milik publik sudah ada dan tersebar di beberapa provinsi, peruntukannya belum
tepat. Saat ini gedung pertunjukan milik publik masih berfungsi sebagai gedung penyewaan
(dengan harga sewa tinggi), bukan sebagai produser atau presenter produk kesenian bermutu atau
eksperimental; dan juga tidak terhubung dengan suatu jejaring yang dapat dengan mudah diakses
oleh seniman. Event atau festival seni pertunjukan di Indonesia masih didominasi oleh event atau
festival yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan tidak ada strategi
atau pendekatan kuratorial dalam merancang programnya. Festival-festival ini cenderung dibuat
dalam format perayaan, bukan sebagai ajang artikulasi wacana dalam kerangka kuratorial. Tari
dan musik masih mendominasi pertunjukan di festival-festival ini dan hanya sedikit yang memberi
ruang bagi pertunjukan teater. Di sisi lain, sistem pembinaan penonton tidak terjadi, sehingga
apresiasi terhadap eksperimentasi di seni pertunjukan belum bisa berkembang.
Untuk pemasaran di luar negeri, permintaan presenter atau festival luar negeri untuk seni
pertunjukan Indonesia sulit untuk diukur, meski minat untuk itu ada dan bisa jadi cenderung
tinggi. Terdapat ratusan festival seni pertunjukan di dunia dengan kerangka kuratorial dan selera
artistik yang berbeda-beda. Namun sayangnya, tidak ada promotor, agensi, atau produser Indonesia
yang mempunyai market knowledge yang berfungsi untuk menghubungkan karya seni pertunjukan
Indonesia dengan pasar yang relevan. Diplomasi kebudayaan juga sering diterjemahkan ke dalam
beragam program berlabel misi kesenian yang cenderung mengedepankan produk-produk yang
lebih sesuai untuk promosi pariwisata ketimbang mewakili kebudayaan Indonesia yang eklektik.
Kelembagaan
Isu kelembagaan untuk seni pertunjukan adalah isu yang kritis dan harus ditangani segera
(skor 2,4), karena pada dasarnya pemerintah sampai saat ini belum menyusun kebijakan yang
mendukung industri seni pertunjukan secara komprehensif, yang mempunyai pengaruh besar
terhadap isu-isu lainnya terutama infrastruktur seni dan pembiayaan.
106
Dari segi regulasi, walaupun sudah ada regulasi pemerintah mengenai insentif pajak bagi korporasi
untuk menjadi filantropis seni melalui dana CSR, implementasinya masih lemah. Di samping itu,
masih terdapat banyak regulasi kebudayaan yang menghambat seniman dalam berkreasi, seperti:
regulasi dan penghargaanterutama pemberian insentifyang mengatur soal pembiayaan
alternatif atau sponsor swasta; dan regulasi pemanfaatan venue atau gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak berpihak pada seniman (biaya sewa & retribusi tinggi). Termasuk di
dalamnya adalah regulasi yang mengatur pengelolaan tempat-tempat kesenian publik yang saat
ini masih dikelola oleh birokrat seni yang umumnya masih minim kapasitas manajerialnya di
bidang seni pertunjukan.
Partisipasi aktif seni pertunjukan Indonesia dalam forum internasional saat ini sudah banyak
dan semakin meningkat, hal ini dibantu oleh semakin terbukanya kontak dengan para pengelola
festival internasional melalui forum-forum dan kanal-kanal komunikasi yang tersedia. Walaupun
demikian, tidak pernah dilakukan studi mendalam yang kritis mengenai peta forum kesenian
di tataran internasional, lengkap dengan analisis kuratorial masing-masing yang penting untuk
dipahami oleh Indonesia, jika ingin meningkatkan eksistensinya di kancah internasional. Saat ini
peran negara dalam memfasilitasi, mendukung, dan membangun jejaring kerja di tingkat lokal
dan nasional belum maksimal; sedangkan di tingkat global tak dilakukan, karena minimnya
pengetahuan tentang pasar dan wacana kuratorial yang mendasari praktiknya.
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
107
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
10
11
12
13
INDUSTRI
108
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
PEMBIAYAAN
3
4
109
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
PEMASARAN
110
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
KELEMBAGAAN
111
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)
PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)
10
10
11
11
12
12
13
13
14
15
16
17
112
114
BAB 4
Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan
Indonesia
115
116
Secara strategis pengembangan ekonomi kreatif tahun 2015-2019 bertujuan untuk menciptakan
ekonomi kreatif yang berdaya saing global. Tujuan ini akan dicapai antara lain melalui peningkatan
kuantitas dan kualitas orang kreatif lokal yang didukung oleh lembaga pendidikan yang sesuai
dan berkualitas, peningkatan kualitas pengembangan dan pemanfaatan bahan baku lokal yang
ramah lingkungan dan kompetitif, industri kreatif yang bertumbuh, akses dan skema pembiayaan
yang sesuai bagi wirausaha kreatif lokal, pasar yang makin beragam dan pangsa pasar yang makin
besar, peningkatan akses terhadap teknologi yang sesuai dan kompetitif, penciptaan iklim usaha
yang kondusif dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap karya kreatif lokal.
Sejalan dengan tujuan pengembangan ekonomi kreatif 2015-2019, pengembangan seni pertunjukan
sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif juga diarahkan untuk
117
VISI
Mengoptimalkan
pemanfaatan dan
mengembangkan sumber
daya seni pertunjukan
lokal yang berdaya saing,
dinamis, dan berkelanjutan
Mengembangkan seni
pertunjukan menjadi
industri kreatif
yang tumbuh dan
berkualitas
Peningkatan kuantitas
dan kualitas sumber daya
manusia seni pertunjukan
yang berdaya (empowered)
Peningkatan
pertumbuhan dan
kualitas industri seni
pertunjukan
TUJUAN
Seni pertunjukan indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi
dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat indonesia
MISI
Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019
Peningkatan kualitas
perlindungan,
pengembangan dan
pemanfaatan sumber
daya budaya bagi seni
pertunjukan secara
berkelanjutan
Meningkatnya kuantitas
dan kualitas pendidikan
yang mendukung
penciptaan karya seni
pertunjukan
Meningkatnya
kuantitas dan kualitas
wirausaha kreatif seni
pertunjukan lokal
SASARAN STRATEGIS
Meningkatnya
usaha kreatif seni
pertunjukan lokal
yang mandiri,
berjejaring, dan
berkualitas
Meningkatnya
mutu karya seni
pertunjukan
118
119
120
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan, artinya
meningkatnya jumlah penonton seni pertunjukan di dalam dan luar negeri melalui strategi
program dukungan dan promosi yang berkualitas serta dilakukan secara terus-menerus
(berkelanjutan).
6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan
tempat latihan, artinya meningkatnya jumlah gedung pertunjukan serta ruang-ruang
kreatif publik yang dapat digunakan sebagai panggung presentasi karya pertunjukan
serta studio atau ruang tempat latihan yang dilengkapi dengan infrastruktur teknis yang
memadai atau mutakhir.
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan seni pertunjukan. Dalam mengembangkan seni pertunjukan, diperlukan
kelembagaan yang kondusif yang mencakup: 1) regulasi mendukung penciptaan rantai
kreatif seni pertunjukan; 2) adanya pelibatan partisipasi aktif pemangku kepentingan
yang terdiri dari elemen praktisi dan akademisi seni pertunjukan, pemerintah, dan swasta;
3) terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaran kegiatan seni pertunjukan; 4)
meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora
internasional; serta 5) apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan (baik
tradisi maupun kontemporer) di Indonesia.
121
diharapkan sudah dapat diselesaikan pada hingga akhir 2019; b) Meningkatnya kuantitas
dan kualitas SDM seni pertunjukan yang mendapatkan program beasiswa dan fellowship
untuk mengikuti program residensi seniman, menghadiri festival serta fora pasar seni
pertunjukan internasional, maupun untuk menempuh pendidikan formal. SDM seni
pertunjukan yang dimaksud yaitu: manajer, produser; desainer tata cahaya dan desainer tata
suara, seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus seni pertunjukan.
3. Sasaran 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan
yang dapat diakses oleh publik, yang dapat diindikasikan oleh: a) Terciptanya sistem
pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia
yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional, bekerja sama dengan ANRI
(Arsip Nasional Republik Indonesia); b) Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni
pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni pertunjukan maupun masyarakat
umum, yang ditunjukan oleh meningkatnya jumlah penelitian dan penerbitan hasil
penelitian yang memanfaatkan sumber daya budaya yang diarsipkan.
4. Sasaran 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan
lokal, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme)
produser produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan
Indonesia yang terlibat dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan; b)
Meningkatnya jumlah koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat
lokal, nasional dan global.
5. Sasaran 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri,
berjejaring, dan berkualitas, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah
usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola organisasi/
usaha; b) Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer,
presenter) tingkat lokal, nasional, maupun global yang ditunjukkan dengan pelaksanaan
pertemuan atau konferensi rutin tahunan.
6. Sasaran 6: Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan
oleh: a) Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman
dalam penciptaan karya seni pertunjukan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya
jumlah penelitian seniman dalam rangka produksi karya seni; b) Meningkatnya jumlah
kokreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional
dan internasional; c) Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung atau tempattempat pertunjukan publik utama, yang ditunjukkan oleh mampunya gedung-gedung/
tempat-tempat pertunjukan publik utama di kota-kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura,
untuk melakukan kurasi dan mengembangkan program.
7. Sasaran 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan
produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses, yang
dapat diindikasikan oleh meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program,
dan kegiatan seni yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang
dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN).
8. Sasaran 8: Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, yang dapat
diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan)
dalam melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan, yang ditunjukkan
dari meningkatnya jumlah venue atau gedung pertunjukan yang melakukan programprogram outreach yang mendekatkan masyarakat dengan praktik seni pertunjukan
122
123
125
karya-karya seni pertunjukan dengan kritis dan dapat mengaitkan praktik seni pertunjukan
dengan kajian yang beredar di dunia global. Adanya sistem penilaian seperti ini penting sebagai
acuan dalam menilai mutu karya seni pertunjukan, yang mendorong seniman-seniman untuk
menghasilkan karya yang lebih bermutu.
4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang
Berkualitas Dan Berkelanjutan
Perluasan pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri diarahkan untuk mengembangkan
penonton karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri. Pengembangan penonton di
dalam negeri dilakukan melalui pengembangan kapasitas venue atau gedung pertunjukan dan
lembaga pendidikan untuk dapat melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan.
Sedangkan pengembangan penonton di luar negeri dilakukan melalui pengembangan jalur/kanal
distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat
global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil di presenterpresenter internasional.
Selain pengembangan penonton, perluasan pasar juga diarahkan untuk mengembangkan
sistem informasi pasar karya kreatif yang dapat diakses dengan mudah dan informasinya
didistribusikan dengan baik. Sistem informasi yang dikembangkan meliputi sistem informasi
offline yaitu berupa pusat informasi seni pertunjukan Indonesia yang berada di Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri, juga sistem informasi online berupa portal yang memuat
informasi pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar
negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia.
126
127
strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan
bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan
tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya,
ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta).
3. Strategi 3: Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengajar, pembaharuan kurikulum,
metode pengajaran, pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di
7 (tujuh) perguruan tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta,
STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta). Untuk melaksanakan
strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan pemisahan pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian seni
pertunjukan, yang jenjangnya setara Strata 1.
b. Fasilitasi pemutakhiran kurikulum pendidikan seni pertunjukan, sesuai dengan
perkembangan seni pertunjukan terkini.
c. Fasilitasi akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) seni pertunjukan
untuk mengikuti seminar yang mempertemukan mereka dengan peneliti dan seniman
yang aktif dan bereputasi di tingkat lokal maupun internasional. Fasilitasi dapat
berupa pemberian hibah partisipasi seminar.
d. Fasilitasi persiapan kemampuan bahasa asing (mis. Inggris) para akademisi (pengajar)
seni pertunjukan (formal dan nonformal) sebelum menempuh sekolah di luar negeri.
4. Strategi 4: Mengakreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari
(sekolah tari). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah pengembangan akreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik)
dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar Indonesia, meliputi Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, dan Medan.
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan memiliki 2 strategi
utama yang dicapai melalui 5 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Mengembangkan profil profesi seni pertunjukan yang diindikasikan oleh
tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
secara cepat, mudah dan akurat. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi
yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan profil profesi seni pertunjukan dan
pemetaan SDM seni pertunjukan berdasarkan profil profesi yang telah diidentifikasi.
2. Strategi 2: Memfasilitasi pemberdayaan SDM seni pertunjukan (manajer, pengelola venue
& festival, kurator, kritikus, teknisi, seniman) untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi SDM seni pertunjukan non seniman untuk mengikuti pendidikan formal,
yaitu: manajer dan produser setaraf S2 nonkajian; dan desainer tata cahaya dan
desainer tata suara setara S2. Saat ini Indonesia belum memiliki perguruan tinggi
yang menawarkan program-program manajemen seni dan keproduseran yang baik,
begitu pula dengan program desain tata cahaya dan tata suara yang sesuai dengan
kebutuhan pementasan. Oleh karena itu, pendidikan sebaiknya ditempuh di luar negeri.
b. Fasilitasi SDM seni pertunjukan (seniman, manajer, produser, desainer, teknisi,
kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program workshop yang diselenggarakan
secara mandiri oleh pemerintah.
128
129
130
131
133
134
136
BAB 5
Penutup
BAB 5: Penutup
137
5.1 Kesimpulan
Dalam penyusunan rencana pengembangan seni pertunjukan nasional 2015-2019, seni pertunjukan
didefinisikan sebagai: Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja teknis dan penampil
(performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton
(audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian;
yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic
et nunc). Definisi tersebut merupakan hasil elaborasi dari proses analisis yang meliputi: kajian
pustaka, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion, yang melibatkan para narasumber
yang mewakili pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, praktisi seni pertunjukan,
komunitas, dan kalangan intelektual.
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari,
teater dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre modern dan kontemporer). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi. Selain ketiga kategori utama
(tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas disiplin (crossover) seperti
sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus, opera, drama-musikal,
pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
Untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara setiap peran di dalam proses
penciptaan nilai kreatif dengan lingkungan sekitar, dikembangkan peta ekosistem seni pertunjukan
yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu: rantai nilai kreatif, lingkungan pengembangan,
pasar, dan pengarsipan. Rantai nilai kreatif seni pertunjukan meliputi proses kreasi, produksi,
distribusi, dan presentasi. Lingkungan pengembangan seni pertunjukan meliputi pendidikan
dan apresiasi. Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu
penonton dan presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program.
Sedangkan pengarsipan yang dimaksud dalam seni pertunjukan meliputi pemeliharaan arsip
juga pelestarian praktik seni dan budaya.
Dampak ekonomi dari pengembangan seni pertunjukan dapat dilihat dari peta industri yang
menggambarkan hubungan antar pelaku dan entitas usaha yang membentuk industri utama seni
pertunjukan, mulai dari proses kreasi hingga presentasi, serta pelaku dan entitas pendukung yang
memberikan suplai pada pelaku dan entitas usaha di industri utama (backward linkage) dan entitas
pendukung yang memberikan permintaan (demand) kepada pelaku dan entitas usaha industri
utama (forward linkage). Para pelaku dan entitas usaha yang termasuk backward linkage ditemukan
terutama dalam proses produksi karya seni pertunjukan. Pada proses ini, seniman sebagai pelaku
di industri utama membutuhkan pelaku-pelaku pendukung, seperti para perancang, untuk
merealisasikan dan mengembangkan gagasan penciptaan mereka ke dalam ruang dan lokasi (set
dan dekorasi), suasana serta mood peristiwa (cahaya dan atau musik ilustrasi), kostum, dan lain
sebagainya. Perancang utama yang diperlukan dalam produksi di antaranya perancang panggung
(set designer atau skenografer), perancang tata cahaya (lighting designer), perancang tata suara
(sound designer atau sound engineer), dan perancang kostum dan properti. Sedangkan pelaku dan
entitas usaha yang termasuk forward linkage dapat terlihat terutama dalam proses kreasi. Dalam
proses ini, banyak sutradara yang menuliskan gagasan dan proses kreatifnya untuk diterbitkan
sebagai buku, sehingga bisa menjadi panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara
138
muda. Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang
kerap kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film
maupun sebagai pelatih akting (acting coach).
Sifat seni pertunjukan yang serba multidisiplin dan kerap multimedia membuat proses produksi
karya seni pertunjukan selalu melibatkan banyak orang (baik seniman perancang, penampil
maupun teknisi). Sementara itu, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), di sini dan
kini, maka proses konsumsi atau resepsinya pun mesti melibatkan sejumlah pelaku yang sama
banyaknya dengan proses produksinya. Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan yang
seperti itu membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar.
Dibandingkan dengan film, misalnya, proses produksi film juga melibatkan banyak pelaku, tetapi
karena watak karya film sebagai (berada di dalam) medium terekam maka proses distribusinya
setelah proses penciptaan (perekaman dan pengeditan) selesaimenjadi lebih ringan dan lebih
mudah ketimbang seni pertunjukan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, subsektor seni pertunjukan memberikan
kontribusi sebesar 0,4% terhadap total PDB Industri Kreatif. Nilai ini berada di urutan kedua
terbawah dari 15 subsektor ekonomi kreatif. Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan NTB 20102013, maka pertumbuhan pada subsektor seni pertunjukan sebesar 4,20%, berada di bawah laju
rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif 5,08% dan pertumbuhan nasional 6,15%. Walaupun
demikian, seni pertunjukan mengalami peningkatan pertumbuhan yang sangat drastis dari
2,98% pada 2012 dan 6,89% pada 2013.
Berdasarkan kondisi seni pertunjukan di Indonesia saat ini, tantangan yang mungkin dihadapi,
serta dengan memperhitungkan daya saing serta potensi yang dimiliki dan juga arahan strategis
pembangunan nasional serta pengembangan ekonomi kreatif periode 20152019, maka visi
pengembangan seni pertunjukan selama periode 20152019 adalah Seni pertunjukan Indonesia
yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk
membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat
Indonesia.
BAB 4: Penutup
139
5.2 Saran
Pengembangan seni pertunjukan dalam lima tahun kedepan akan difokuskan pada:
1. Fasilitasi pengembangan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia, termasuk pembaharuan kurikulum dan
metode pengajarannya; fasilitasi SDM seni pertunjukan untuk mengikuti pendidikan
formal, workshop dan residensi baik di dalam maupun luar negeri.
2. Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online).
3. Fasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan internasional) secara
berkesinambungan serta fasilitasi ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan
di tingkat nasional dan internasional.
4. Fasilitasi penelitian seniman, ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni
pertunjukan di tingkat nasional dan internasional.
5. Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga
pemerintah (Kementerian dan BUMN) yang transparan, akuntabel dan mudah diakses.
6. Fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan publik utama serta ruang-ruang kreatif
publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan serta
pemutakhiran infrastruktur teknis yang ada didalamnya.
7. Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) dan insentif
pajak korporasi dan untuk bidang seni dan budaya; regulasi retribusi gedung pertunjukan
publik utama agar dapat mudah diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus
produksi dan distribusi karya seni pertunjukan, serta regulasi pengadaan barang dan jasa
penyelenggaraan program kesenian/festival oleh pemerintah.
Untuk penyempurnaan studi dan penulisan buku rencana aksi periode selanjutnya, perlu dilakukan
beberapa hal seperti: meningkatkan intensitas kolaborasi antar pemangku kepentingan di bidang
seni pertunjukan, meningkatkan intensitas komunikasi lintas kementerian, dan memutakhirkan
data kontribusi ekonomi dengan perbaikan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) Kreatif.
140
142
LAMPIRAN
LAMPIRAN
143
144
ARAH KEBIJAKAN
STRATEGI
2.1
2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan
1.2
1.1
1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)
MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan
MISI/TUJUAN/SASARAN
MATRIKS TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN
LAMPIRAN
145
MISI/TUJUAN/SASARAN
ARAH KEBIJAKAN
3.1
3.2
3.3
MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas
STRATEGI
146
ARAH KEBIJAKAN
STRATEGI
Meningkatnya ketersediaan
pembiayaan bagi pengembangan
dan produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah
diakses
6.1
Menjamin ketersediaan,kesesuaian,jangkauan
harga/biaya, sebaran/penetrasi, dan performansi
sarana dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan
6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
5.1
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan
4.1
4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan
MISI/TUJUAN/SASARAN
LAMPIRAN
147
MISI/TUJUAN/SASARAN
ARAH KEBIJAKAN
7.1
7.2
7.3
3
1
STRATEGI
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
148
7.5
7.4
MISI/TUJUAN/SASARAN
ARAH KEBIJAKAN
Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian serta
kepemimpinan Indonesia dalam forum diplomasi
bilateral, regional dan multilateral
STRATEGI
LAMPIRAN
149
INDIKASI STRATEGIS
1.2
a
b
c
d
a
b
Terciptanya sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan
Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional
Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni
pertunjukan maupun masyarakat umum
a
b
3.1
Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme) produser produser, manajer, promotor, presenter,
dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia
Meningkatnya jumlah ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat lokal, nasional
dan global
a
b
MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas
2.1
2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan
1.1
1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)
MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan
MISI/TUJUAN/SASARAN
150
3.3
Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman dalam penciptaan karya seni
pertunjukan
Meningkatnya jumlah ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat
nasional dan internasional
Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung /tempat-tempat pertunjukan publik utama
b
c
Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) tingkat lokal,
nasional, maupun global
b
a
Meningkatnya jumlah usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola
organisasi/usaha
INDIKASI STRATEGIS
Meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program, dan kegiatan seni yang adil, transparan,
akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah
(Kementerian dan BUMN)
Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan) dalam melakukan program pembinaan
penonton secara berkelanjutan
Meningkatnya jumlah jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar
(Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil
Meningkatnya fungsi kedutaan besar RI di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia
(tradisi dan kontemporer)
Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan
luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia
a
b
c
d
6.1
Meningkatnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana gedung-gedung pertunjukan publik utama
yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio
atau ruangan-ruangan tempat latihan
6. Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan
Indonesia
5.1
5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan
4.1
4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses.
MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan
3.2
MISI/TUJUAN/SASARAN
LAMPIRAN
151
MISI/TUJUAN/SASARAN
INDIKASI STRATEGIS
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
Terciptanya regulasi insentif pajak yang memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan
Tersusunnya kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival sebagai pendukung regulasi
pengadaan barang dan jasa pemerinta
Meningkatnya koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang seni pertunjukan
Terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta
Meningkatnya kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan
c
d
a
b
c
Meningkatnya jumlah anugerah/penghargaan seni pertunjukan yang dilakukan secara berkelanjutan dan
prestisius
Terciptanya kurikulum pendidikan umum yang mengintegrasikan seni di sekolah-sekolah (dari PAUDSMA)
Meningkatnya jumlah negara-negara yang menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan kapasitas produksi karya seni pertunjukan
Teraktivasinya taman-taman kota, plaza-plaza terbuka yang dapat digunakan publik sebagai ajang
menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan
Terciptanya regulasi pemerintah daerah yang melakukan pembebasan biaya retribusi dan pengurangan
biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian
Terciptanya regulasi alokasi dana CSR korporasi yang memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan
budaya di Indonesia
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
152
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
Fasilitasi pengembangan
bidang studi manajemen
dan teknologi panggung seni
pertunjukan di perguruan
tinggi seni
Menyediakan infrastruktur
pendidikan
Menyiapkan tenaga pendidik yang
diperlukan
Monitoring dan evaluasi yang
dilakukan oleh orang-orang yang
kompeten dalam bidang seni
e
f
g
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
Aceh,
Kalimantan
Timur,
Sulawesi
Selatan, Papua
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
SASARAN 1: Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
153
Fasilitasi pengembangan
pemisahan pendidikan
konservatori (vokasional) dan
kajian seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
154
Fasilitasi pemutakhiran
kurikulum pendidikan seni
pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
155
Fasilitasi persiapan
kemampuan bahasa asing
(mis. Inggris) para akademisi
(pengajar) seni pertunjukan
(formal dan nonformal)
seni pertunjukan sebelum
menempuh sekolah di luar
negeri
Pengembangan akreditasi
lembaga pendidikan
nonformal musik (kursus
musik) dan tari (sekolah tari)
Terciptanya pembiayaan yang
sesuai, mudah diakses, dan
kompetitif
SASARAN/RENCANA AKSI
Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Denpasar
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
156
FOKUS
WILAYAH
Fasilitasi pengembangan
profil profesi seni pertunjukan
dan pemetaan SDM seni
pertunjukan berdasarkan
profil profesi yang telah
diidentifikasi
2
Membentuk panel seleksi bagi aplikasi
beasiswa
Mengembangkan sistem informasi
program beasiswa seni pertunjukan
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
SASARAN 2: Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
157
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
158
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
159
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
Fasilitasi pengembangan
sistem pengarsipan seni
pertunjukan (Join Katalog
Online)
Fasilitasi pengembangan
kapasitas pengelola
pengarsipan dan pusat
penyimpanan data seni
pertunjukan
Menyelenggarakan pelatihan
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pelatihan
Mengembangkan kerjasama
pengelolaan sistem pengarsipan
seni pertunjukan antar lembaga
pemerintah terkait
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
Arsip Nasional
Republik
Indonesia
(ANRI),
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif, serta
Arsip Nasional
Republik
Indonesia (ANRI)
2015
SASARAN 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
SASARAN/RENCANA AKSI
2016
2017
TAHUN
2018
2019
160
c
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan hibah
penelitian
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Mengembangkan konsep
pendampingan dan materi pelatihan
yang melibatkan tenaga ahli di
bidang penyelenggaraan festival seni
pertunjukan skala lokal, nasional dan
internasional
Seluruh
Indonesia
SASARAN 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif, serta
Arsip Nasional
Republik
Indonesia (ANRI)
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
161
SASARAN/RENCANA AKSI
Melakukan pemetaan (pengembangan
instrumen, pelatihan surveyor/
assessor, survei/assesment, verifikasi
data, pembersihan data) tenaga ahli
bidang festival seni pertunjukan lokal
dengan kemampuan penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan
Melakukan pemetaan festival-festival
(pengembangan instrumen, pelatihan
surveyor/assessor, survei/assesment,
verifikasi data, pembersihan data)
yang diselenggarakan oleh pemerintah
di Indonesia (skala lokal, nasional,
internasional)
Mengembangkan sistem
database tenaga ahli lokal bidang
penyelenggaraan pementasan /festival
seni pertunjukan dan pementasan/
festival seni pertunjukan di Indonesia
Menyelenggarakan pendampingan
dan pelatihan oleh para tenaga ahli
lokal dalam bidang penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pendampingan dan
pelatihan pementasan/festival seni
pertunjukan
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
162
Fasilitasi program
magang/bekerja untuk
manajer, produser,
promotor, dan pekerja
teknis seni pertunjukan
dalam penyelenggaraan
pementasan/festival seni
pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan konsep magang dan
mekanisme seleksi pemagang yang
melibatkan tenaga ahli di bidang seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi pemagang
Melakukan pemetaan (pengembangan
instrumen, pelatihan surveyor/assesor,
survei, verifikasi data, pembersihan
data) organisasi/festival tuan rumah
tempat magang di seluruh Indonesia
Mengembangkan sistem database
organisasi/festival tuan rumah tempat
magang
Mengembangkan sistem informasi
program magang
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan magang
Menyelenggarakan program magang
Monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan magang
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
163
Fasilitasi ko-produksi
antar produser/presenter
seni pertunjukan di tingkat
nasional dan internasional
SASARAN/RENCANA AKSI
Menyelenggarakan program
pendampingan oleh para produser dan
presenter kelas internasional kepada
produser/presenter dalam negeri
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
164
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
Fasilitasi pendampingan
manajemen dan tata kelola
kelompok seni pertunjukan
secara berkelanjutan
Mengembangkan konsep
pendampingan yang melibatkan
tenaga ahli di bidang manajemen seni
pertunjukan
Melakukan pemetaan kelompokkelompok seni pertunjukan yang dapat
mengikuti pendampingan manajemen
dan tata kelola
Mengembangkan sistem database
kelompok-kelompok seni pertunjukan
yang mengikuti pendampingan
manajemen dan tata kelola
Menyelenggarakan pendampingan
manajemen dan tata kelola untuk
kelompok-kelompok seni pertunjukan
Melakukan monitoring dan evaluasi
program dan kelompok-kelompok hasil
pendampingan manajemen dan tata
kelola seni pertunjukan
Seluruh
Indonesia
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
SASARAN 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
SASARAN/RENCANA AKSI
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
165
Fasilitasi pelatihan
manajemen dan tata kelola
kelompok seni pertunjukan
Fasilitasi pertemuan/
konferensi rutin nasional
praktisi seni pertunjukan di
seluruh Indonesia
SASARAN/RENCANA AKSI
Menyelenggarakan pertemuan
nasional praktisi seni pertunjukan
Indonesia secara rutin setiap tahun
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pertemuan/
konferensi nasional praktisi seni
pertunjukan Indonesia
Menyelenggarakan pelatihan
manajemen dan tata kelola seni
pertunjukan
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
166
SASARAN/RENCANA AKSI
Menyusun pedoman fasilitasi
dana perjalanan (travel grant)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi
pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Mengembangkan sistem informasi
program pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Menyelenggarakan program
pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Melakukan pengarsipan laporan
pertemuan/konferensi dan publikasi
laporan secara online
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program pemberian
dana perjalanan (travel grant)
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
167
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
168
Fasilitasi pengalaman
keberagaman di Indonesia
melalui kerja kolaborasi
antar pelaku seni pertunjukan
daerah di seluruh Indonesia
SASARAN/RENCANA AKSI
c
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan program
hibah kolaborasi
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
169
SASARAN/RENCANA AKSI
Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan,
serta seluruh
Pemerintah
Daerah
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
170
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
Fasilitasi pengembangan
skema hibah bagi program
dan kegiatan seni oleh
lembaga-lembaga
pemerintah (Kementerian dan
BUMN)
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
ekonomi kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
SASARAN 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses
SASARAN/RENCANA AKSI
2019
LAMPIRAN
171
Merawat portal
Meningkatkan kapasitas pengelola
portal
Melakukan monitoring dan evaluasi
performa portal
Mengembangkan konsep
pendampingan dan materi pelatihan
yang melibatkan tenaga ahli di
bidang pembianaan penonton seni
pertunjukan
Mengembangkan sistem database
penonton (pengembangan instrumen,
pelatihan surveyor/assessor,
survei/assesment, verifikasi data,
pembersihan data) yang dapat
digunakan oleh venue-venue
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan
pendampingan dan pelatihan venuevenue
Menyelenggarakan pendampingan dan
pelatihan oleh para tenaga ahli seni
pertunjukan
Memfasilitasi kerjasama antara venuevenue dengan sekolah-sekolah umum
Melakukan monitoring dan evaluasi
hasil pendampingan dan pelatihan
pembinaan penonton
SASARAN/RENCANA AKSI
Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
172
Fasilitasi kelompok-kelompok
seni yang melakukan
pengenalan seni pertunjukan
di sekolah-sekolah
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
173
Pengembangan pusat
informasi seni pertunjukan
Indonesia baik tradisi dan
kontemporer melalui pusat
budaya di kedutaan besar RI
SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan kelembagaan
kemitraan pengembangan pusat
informasi seni pertunjukan indonesia
Mempersiapkan materi yang
dibutuhkan untuk mempromosikan
seni pertunjukan melalui kedutaan
besar RI
Mempersiapkan materi yang
dibutuhkan untuk mempromosikan
seni pertunjukan melalui kedutaan
besar RI
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
hubungan
luar negeri,
ekonomi kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
174
Pengembangan portal
informasi seni pertunjukan
online yang memuat:
perkembangan seni
pertunjukan dalam negeri
dan mancanegara, informasi
suplai dan permintaan
terhadap karya seni
pertunjukan di dalam dan luar
negeri
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan,
kebudayaan, dan
hubungan luar
negeri
PENANGGUNG
JAWAB
Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan,
serta seluruh
Pemerintah
Daerah
SASARAN 9: Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan
SASARAN/RENCANA AKSI
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
175
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
2015
Harmonisasi-regulasi dana
CSR korporasi (Corporate
Social Responsibility)
Seluruh
Indonesia
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
hukum, dan
ekonomi kreatif
SASARAN 10: Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
2016
2017
TAHUN
2018
2019
176
Harmonisasi-regulasi
sewa dan retribusi gedung
pertunjukan publik
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor
(pemerintah pusat dan daerah) untuk
melakukan pembahasan terhadap
substansi perundang-undangan yang
mengatur tentang retribusi gedung
pertunjukan publik utama di kota-kota
besar
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan retribusi
gedung pertunjukan publik utama
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun perbaikan bersama
perundang-undangan retribusi gedung
pertunjukan publik utama
Melakukan diskusi publik rancangan
perbaikan perundang-undangan
retribusi gedung pertunjukan publik
utama dengan para pemangku
kepentingan (pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan praktisi
seni) untuk melihat kemungkinan
pembebasan biaya retribusi dan
pengurangan biaya sewa untuk
kegiatan-kegiatan kesenian
Melakukan proses
pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi terhadap
perundang-undangan retribusi
gedung pertunjukan publik utama
Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan retribusi gedung
pertunjukan publik utama kepada
publik
Jakarta,
Surabaya,
Bandung,
Yogyakarta,
Medan,
Makassar
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
hukum, ekonomi
kreatif, dan
Pemerintah
Daerah terkait
PENANGGUNG
JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
177
Harmonisasi-regulasi insentif
pajak korporasi
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor untuk
melakukan pembahasan terhadap
substansi perundang-undangan
insentif pajak korporasi
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan insentif pajak
korporasi
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun perbaikan bersama
perundang-undangan insentif pajak
korporasi untuk untuk melihat
kemungkinan memasukkan kesenian
sebagai bidang penerima sumbangan
atau meningkatkan persentase nilai tax
deduction untuk kesenian pada PP No
93/2010
Melakukan diskusi publik rancangan
perbaikan perundang-undangan
insentif pajak korporasi
Melakukan proses pengharmonisasian,
pembulatan
dan pemantapan konsepsi terhadap
perundang-undangan insentif pajak
korporasi
Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan insentif pajak
korporasi
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan, pajak,
dan hukum
PENANGGUNG
JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
2018
2019
178
Harmonisasi-regulasi
pengadaan barang/
jasa pemerintah untuk
penyelenggaraan program
kesenian/festival
SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor
untuk melakukan pembahasan
terhadap substansi perundangundangan pengadaan barang dan
jasa pemerintah (PERPRES Nomor
54/2010 )
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan pengadaan
barang dan jasa pemerintah
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival dalam kerangka PERPRES No
54/2010
Melakukan diskusi publik rancangan
kriteria khusus penyelenggaraan
program kesenian/festival oleh
pemerintah
Melakukan proses pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan
konsepsi terhadap kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival
Melakukan sosialisasi kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival oleh pemerintah
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pengadaan
barang/jasa,
keuangan,
hukum, dan
ekonomi kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
X
2016
X
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
179
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
Fasilitasi terbentuknya
organisasi pengelola dana
abadi yang didukung oleh
pemerintah dan swasta
Seluruh
Indonesia
Seluruh
Indonesia
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
SASARAN 11: Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan
SASARAN/RENCANA AKSI
2018
2019
180
Fasilitasi pelatihan/seminar
untuk meningkatkan
kapasitas aparatur negara
dalam mengembangkan seni
pertunjukan
Seluruh
Indonesia
Pemerintah
pusat
(Kementerian),
Dinas provinsi
dan kota
FOKUS
WILAYAH
Seluruh
Indonesia
SASARAN 12: Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
X
2015
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif, serta
seluruh
Pemerintah
Daerah
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
181
FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
Seluruh
Indonesia
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan,
kebudayaan, dan
hubungan luar
negeri
SASARAN 13: Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
2018
2019
182
Fasilitasi keikutsertaan/
penampilan seniman-seniman
Indonesia di forum-forum
International Performing Art
Market, misalnya di: APAP
(Amerika), PAMS (Korea),
TPAM (Jepang) dan IETM
(Australia), dll; dan festivalfestival seni pertunjukan
internasional yang prestisius
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Fasilitasi terlembaganya
anugerah/penghargaan seni
pertunjukan (untuk seniman,
praktisi, dan venue-venue)
yang diberikan oleh lembaga
pemerintah
Seluruh
Indonesia
di tingkat
Provinsi, Kota,
dan Kabupaten)
SASARAN 14: Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan
SASARAN/RENCANA AKSI
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
LAMPIRAN
183
Pengembangan kurikulum
pendidikan umum yang
terintegrasi dengan seni sejak
dini, yaitu sejak PAUD sampai
dengan pendidikan menengah
atas
SASARAN/RENCANA AKSI
Seluruh
Indonesia
FOKUS
WILAYAH
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif
PENANGGUNG
JAWAB
2015
2016
2017
TAHUN
2018
2019
IklanParekraf.pdf
9/22/14
3:27 PM
CM
MY
CY
CMY
348
186