Вы находитесь на странице: 1из 204

RENCANA

PENGEMBANGAN

SENI
PERTUNJUK AN
NA SIONAL

2015-2019

RENCANA PENGEMBANGAN SENI


PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019

:

Helly Minarti
Yudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri

PT. REPUBLIK SOLUSI

iv

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

RENCANA PENGEMBANGAN SENI


PERTUNJUKAN NASIONAL 2015-2019

Tim Studi dan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif:


Penasihat
Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI
Pengarah
Ukus Kuswara, Sekretaris Jenderal Kemenparekraf
Ahman Sya, Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya
Cokorda Istri Dewi, Staf Khusus Bidang Program dan Perencanaan
Penanggung Jawab
Mumus Muslim, Setditjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya
Juju Masunah, Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik
Tim Studi
Helly Minarti
Yudi Ahmad Tajudin
Dian Ika Gesuri
ISBN
978-602-72387-3-2
Tim Desain Buku
RURU Corps (www.rurucorps.com)
Sari Kusmaranti Subagiyo
Penerbit
PT. Republik Solusi
Cetakan Pertama, Maret 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Terima kasih Kepada Narasumber dan Peserta Focus Group Discussion (FGD)

Abduh Azis
Aisha Pletscher
Amna S. Kusumo
Bambang Subekti
Bre Redana
Budi Setiyono
Budi Utomo Prabowo
Butet Kertaredjasa
Dewi Noviami
Edy Utama
Een Herdiani
Ery Mefri
Farah Wardani
Gianti Giadi
Idaman Andarmosoko
Iswadi
Joned Suryatmoko

vi

Kunci Cultural Studies


Kurniawan
Linda Hoemar Abidin
Lono Simatupang
Madia Patra Ismar
Maria Tri Sulistyani
Mesdin Kornelis Simarmata
Naomi Srikandi
Nirwan Dewanto
Rama Thaharani
Ratna Riantiarno
Sal Murgiyanto
Siti Tri Joelyartini
Susi Ivvaty
Susiyanti
Toto Arto
Ubiet Raseuki

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Kata Pengantar
Perbincangan tentang seni pertunjukan di Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari maupun
tulisan-tulisan di media massa, di satu sisi kerap muncul dalam nada sumbang dan lagu yang
sedih. Namun di sisi lain, dari tahun ke tahun, di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia,
karya-karya seni pertunjukan (baik yang tradisional maupun kontemporer) terus digelar. Dengan
dukungan dan fasilitas yang relatif minim, seniman atau kelompok tari, teater, serta musik terus
saja bermunculan dan melahirkan karya. Beberapa di antara mereka bahkan sanggup berprestasi
dan berpentas di panggung-pangung internasional.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 2000-an, istilah dan gagasan industri kreatif mengemuka
dalam perbincangan teater di Indonesia, terutama seiring dengan maraknya fenomena pertunjukan
musikal di Jakarta pada tahun-tahun tersebut. Pertunjukan-pertunjukan dengan dana produksi
besar dengan harga tiket yang tak bisa dibilang murah itu ramai diperbincangkan dan dianggap
sebagai kebangkitan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia. Tetapi, benarkah?
Pemerintah Indonesia sendiri sejak sekitar pertengahan tahun 2000-an, di bawah kepemimpinan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai melontarkan gagasan ekonomi kreatif sebagai salah
satu kerangka ekonomi pembangunan Indonesia. Gagasan yang melihat bahwa praktik kreatif
sesungguhnya memiliki potensi ekonomi yang cukup signifikan ini pun lalu diadopsi ke dalam
rencana kerja pemerintahan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
pada Desember 2011.
Satu hal tampak jelas, praktik kreatif dalam bidang seni apapun, memiliki potensi ekonomi yang
besar dan karenanya dibutuhkan suatu kerangka yang komprehensif untuk mengembangkannya
menjadi industri kreatif. Pada tahun 1999, di Inggris misalnya, laporan tahunan Departemen
Kebudayaan, Media dan Olahraga (Department of Culture, Media and Sport-DCMS) menunjukkan
perolehan ekonomi industri kreatif di Inggris empat kali lebih besar dari industri agrikultural,
perikanan dan perhutanan. Sementara di New York, berdasar data dari The Broadway League,
pertunjukan-pertunjukan di Broadway pada tahun 2008-2009 menyumbang US$ 9,8 miliar ke
dalam pemasukan kota. Industri kreatif yang sangat kuat di New York ini bahkan jauh melampaui
kota lain di Amerika.
Lalu bagaimana dengan ekonomi kreatif seni pertunjukan di Indonesia?
Buku ini disusun sebagai suatu upaya memetakan kenyataan dan potensi ekonomi kreatif seni
pertunjukan di Indonesia. Lebih dari itu, tim penyusun buku ini sejak awal bersepakat untuk
tak hanya berhenti di sana tetapi juga berusaha membuat semacam cetak biru dan rencana kerja
pengembangan industri kreatif bidang seni pertunjukan di Indonesia. Sasaran strategis serta
indikasi capaian yang ditulis di buku ini, disusun berdasarkan watak seni pertunjukan sebagai
suatu disiplin serta berdasarkan kenyataan, sejarah, potensi serta masalah yang yang ditemukan
selama penelitian.

vii

Beberapa kenyataan yang penting disampaikan di sini adalah bahwa industri kreatif bidang
seni pertunjukan di Indonesia belum terolah dan terbangun dengan sistematis, terkoordinasi,
transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Infrastruktur kelembagaan dalam bentuk regulasi
dan sokongan dana yang mendukung seni pertunjukan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang
bisa dibilang masih lemah dan tak terencana dengan baik. Masih ditemukan banyaknya tumpang
tindih antara lembaga terkait (Kemenparekraf, Kemendikbud, Kemendag) yang menyebabkan
inefisiensi serta pelaksanaan program yang tak tepat sasaran. Soal lain yang tak kalah penting
adalah kurikulum dan sistem pendidikan seni pertunjukan di sekolah-sekolah seni Indonesia yang
masih lemah dalam bertaut dengan perkembangan seni pertunjukan global dan perkembangan
masyarakat penontonnya sendiri.
Kami menyusun Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 Indonesia ini
berdasarkan kenyataan-kenyataan dan potensi yang ada, dengan harapan rencana aksi yang
diusulkan untuk mengembangkan industri kreatif seni pertunjukan ini benar-benar memiliki dasar
yang kokoh dan terukur capaiannya. Tentu saja masih banyak kelemahan dan ketaksempurnaan
dalam rancangan yang kami susun ini. Karenanya, kritik dan saran merupakan bagian penting
yang kami harapkan bisa muncul untuk menyempurnakan buku ini.
Terakhir, dalam keterbatasan-keterbatasan yang kami hadapi, tim penyusun buku ini tak
mungkin bisa merampungkan tugas seluas ini tanpa bantuan dan sumbangan pemikiran dari
banyak pihak. Karena itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar pada para
narasumber penelitian dan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang kami adakan sepanjang
bulan Mei-Juni. Tanpa informasi, saran serta pengetahuan yang dibagi oleh mereka semua tak
mungkin kami bisa memetakan masalah, potensi serta menyusun Rencana Pengembangan Seni
Pertunjukan Nasional 2015-2019 ini.
Semoga buku ini dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait dan bisa ikut menyumbang proses
pembentukan industri kreatif dalam bidang seni pertunjukan di Indonesia.

Jakarta, September 2014.


Salam Kreatif,

Mari Elka Pangestu


Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

viii

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................................... vii
Daftar Isi.............................................................................................................................. ix
Daftar Gambar.....................................................................................................................xii
Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii
Ringkasan Eksekutif...........................................................................................................xiv
BAB 1 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA....................................... 3
1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia............................................ 4
1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan........................................................................................ 4
1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan....................................................7
1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan................................................................... 24
1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia................................................24
1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia........................................ 27
BAB 2 EKOSISTEM DAN RUANG LINGKUP INDUSTRI SENI PERTUNJUKAN
INDONESIA........................................................................................................................... 35
2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan.............................................................................................36
2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan....................................................................... 36
2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan............................................................................. 36
2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan.........................................................72
2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan.................................................................................72
2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan...............................................................76
2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan...............................................................78
BAB 3 KONDISI UMUM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA........................................... 85
3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan............................................................................ 86
3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)................................................................. 88
3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan.........................................................................................89
3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan.................................................................................. 90
3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga.......................................................................... 91
3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor............................................................................................... 92

ix

3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan.....................................................................94


3.2.1 Retribusi Daerah......................................................................................................94
3.2.2 Pajak Daerah........................................................................................................... 96
3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa...................................................................................... 97
3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian........................................................ 98
3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni........................................................................100
3.2.6 Kepabeanan.............................................................................................................101
3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan.......................................................................................103
3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan........................................................................................... 105
3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan.............................................107
BAB 4 RENCANA PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA...................................115
4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019......................................... 116
4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan.................................................117
4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan......................................................................119
4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan.....................................................................119
4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan................................................................. 120
4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni Pertunjukan.................... 121
4.4 Indikator dan Target Pengembangan Ekonomi Kreatif......................................................124
4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan Yang
Berdaya (Empowered)............................................................................................. 124
4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan Sumber Daya
Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan............................................... 124
4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang Berkualitas............. 125
4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses Kreasi Dan
Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses

126

4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang Berkualitas Dan
Berkelanjutan......................................................................................................... 126
4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat
Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan......................................................... 126
4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif Untuk
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 127
4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan............................................127
4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung Penciptaan
Karya Seni Pertunjukan...........................................................................................127

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni


Pertunjukan............................................................................................................ 128
4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan Budaya Seni
Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik.........................................................129
4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal .......129
4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri, Berjejaring, Dan
Berkualitas ..............................................................................................................130
4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan ............................................................ 130
4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan Produksi Seni
Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah Diakses ............................. 131
4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri ................................131
4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan Profesional
Dan Tempat Latihan .............................................................................................. 132
4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang Kondusif Bagi
Pengembangan Seni Pertunjukan ........................................................................... 132
4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Seni
Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan ................................................ 133
4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk Penyelenggaraan Kegiatan
Seni Pertunjukan ....................................................................................................133
4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan Indonesia
Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan ...............................................134
4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni Pertunjukan............134
BAB 5 PENUTUP...................................................................................................................137
5.1 Kesimpulan......................................................................................................................138
5.2 Saran................................................................................................................................140
LAMPIRAN............................................................................................................................143

xi

Daftar Gambar
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan.............................. 23
Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia.....................................................32
Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan.........................................................................38
Gambar 2-2 Bagan Struktur Organisasi Produksi Seni Pertunjukan Berskala Menengah-Besar
yang Umum Digunakan...................................................................................... 46
Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan........................................................................... 73
Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan......................................................................... 88
Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan..................................................................... 89
Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan................................................................. 90
Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan........................ 91
Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan............................................................................ 92
Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013................................. 93
Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE..................... 94
Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan.............................................................. 105
Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019..... 118

xii

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Daftar Tabel
Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013..................................................86
Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Seni Pertunjukan.............................................................107

xiii

Ringkasan Eksekutif
Seni pertunjukan adalah salah satu dari 15 subsektor ekonomi kreatif yang diidentifikasi oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang potensial dikembangkan.
Buku ini disusun berdasarkan penelitian literatur, statistik serta masukan para pemangku
kepentingan yang bertemu dalam tiga sesi Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas isuisu penting seputar seni pertunjukan.
Buku ini pada dasarnya adalah upaya memetakan potensi sektor seni pertunjukan dalam kerangka
pembangunan nasional yang meski memusatkan perhatian pada ruang lingkup kerja Kemenparekraf
namun juga mendiskusikan pentingnya koordinasi dengan lembaga-lembaga negara terkait lainnya
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdiknas) dan Kementerian Perdagangan
(Kemendag) termasuk instrumen di bidang perpajakan.
Karena fokus bahasan utama ada pada ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif, mengukur
potensi ekonomi sektor seni pertunjukan pun menjadi prioritas dalam buku ini. Upaya ini
dilakukan pertama-tama dengan memaparkan konteks kesejarahan seni pertunjukan Indonesia
dari segi etimologis maupun pengalaman-pengalaman kultural yang khas, dengan langsung
menghadapkannya pada hegemoni wacana global yang berlaku. Misalnya saja, istilah-istilah
kategorikal seperti tradisi, modern dan kontemporer terlebih dahulu dibedah secara kritis agar
dapat memahami perbedaan pengertian maupun daerah-daerah irisan antara konteks pengalaman
berkesenian Indonesia dan mancanegara (terutama perspektif BaratEropa-Amerikayang
mendominasi). Pasalnya, apa yang dianggap modern oleh Barat belum tentu sama dengan
pengertian yang dipahami oleh para praktisi kesenian Indonesia, yang memang bertolak dari
perspektif kesejarahan yang berbeda.
Agar memperjelas uraian, problematika terminologis ini dilengkapi dengan contoh-contoh
pengalaman lokal. Contoh kasus pengecualian pun juga diselipkan sebagai narasi pelengkap seperti
bahasan khusus tentang Komedi Stamboel ataupun Srimulat yang dengan unik sesungguhnya
telah menyodorkan contoh kasus kelompok kesenian yang mencapai parameter ekonomi kreatif
dalam lokalitasnya yang khas.
Pemetaan ini pun segera menukik ke dalam identifikasi permasalahan, terutama dari sudut
kebijakan dan struktural. Salah satu kesimpulan penting adalah praktik seni pertunjukanmeski
berpotensi menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif andalan Indonesia masih jauh dari
ukuran-ukuran sebuah subsektor ekonomi (yakni sebagai produk yang siap dipasarkan secara
kompetitif). Pasalnya, kebijakan nasional yang mendukung perkembangan sektor ini relatif masih
minimbahkan bisa dibilang tidak adasehingga berdampak pada absennya infrastruktur yang
menjadi prasyarat minimum diterapkannya parameter-parameter ekonomi kreatif tadi. Hal ini
tercermin antara lain dari jumlah dan kualitas prasarana seperti gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak dikelola secara profesional, sulitnya bagi para seniman untuk mengakses
gedung-gedung teater publik ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme dukungan dana yang
terbuka, transparan dan akuntabel bagi para seniman untuk mencipta dan untuk mementaskan
karyanya di tempat atau kota lain (touring).

xiv

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Sehingga, tidak heran jika tidak ada mekanisme pasar dalam seni pertunjukan Indonesia dalam
pengertian yang sesungguhnya, karena pertunjukan seni hiburan yang terhitung paling laris
sekalipun seperti drama-musikal Laskar Pelangi yang sempat pentas 70 kali dan selalu dipenuhi
penonton pun masih terhitung merugi. Rata-rata pertunjukan seni lainnya sudah cukup beruntung
jika bisa mentas 2-4 kali di dua kota berbeda.
Permasalahan serta ketegangan situasi lokal dan global ini pun dibahas secara detil untuk tiga
subsektor seni pertunjukan, yaitu tari, teater dan musik panggung (live). Pada keadaannya yang
sekarang, seni pertunjukan Indonesia masih jauh dari berskala industrial, karena profesionalisasi
dalam bidang ini bahkan belum terjadi. Disimpulkan bahwa agar seni pertunjukan Indonesia
bisa menjadi sebuah subsektor ekonomi kreatif yang kuat, dibutuhkan kebijakan nasional yang
menyeluruh: mulai dari reformasi di sektor pendidikan (umum maupun sekolah-sekolah seni),
maksud baik negara (political will) untuk berinvestasi dalam membangun infrastruktur seni
pertunjukan yang saling terkait, terkoordinasi dengan rapi dan berstrategi, mulai dari peningkatan
prasarana, kualitas sumber daya manusia sektor pendukungnya (manajemen, akademisi dan kritik
seni) hingga insentif berupa kebijakan perpajakan yang adil seperti pajak penonton serta pajak bagi
sektor swasta jika mereka ingin mensponsori kegiatan di bidang seni pertunjukan nonkomersial.
Dinamika seni pertunjukan lokal ini harus dihidupkan hingga profesionalisasi di bidang ini
tercapai, sambil jeli mempromosikan produk-produk kesenian yang dianggap potensial untuk
bersaing di fora internasional yang memang tepat sasaran. Untuk porsi kerja Kementerian atau
lembaga yang membidangin urusan ekonomi kreatif, pemasaran adalah salah satu sasaran yang
penting. Untuk itu, selain pemahaman akan produk, mutlak dibutuhkan pengetahuan akan pasar
(market knowledge) berupa informasi seputar wacana serta praktik seni pertunjukan global yang
sarat diwarnai oleh arah kuratorial dan dialektika akademis yang berkembang.
Yang terakhir adalah perumusan mendetil tentang rancangan (cetak biru) Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019 dalam rangka mencapai visi
seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi
dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut.
1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer
Indonesia.
2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan
seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi
yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya
akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup
seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta
profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya
dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial).
3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup
masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu
menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
xv

If you fail to plan, you are planning to fail.


Benjamin Franklin

xvi

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

BAB 1
Perkembangan
Seni Pertunjukan
di Indonesia

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Seni Pertunjukan di Indonesia


Untuk mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia, perlu dipahami posisi seni pertunjukan
Indonesia jika dilihat dari perspektif ekonomi kreatif sebagai salah satu subsektor yang potensial.
Pemahaman terhadap seni pertunjukan dalam konteks ekonomi kreatif dapat ditelusuri dari
sejarah dan parameter-parameter global sebagai sebuah subsektor ekonomi kreatif. Sebagai
sebuah paradigma yang relatif baru dalam melihat serta mengukur perkembangan kesenian di
Indonesia, perbedaan serta kompleksitas yang ditimbulkan dari parameter-parameter global ini
pun akan dipaparkan, beserta upaya mengadaptasi ukuran-ukuran tersebut ke dalam situasi serta
kebutuhan Indonesia.
Pada dasarnya, definisi dan ruang lingkup subsektor seni pertunjukan harus mempertimbangkan
konteks serta situasi kultural yang khas Indonesia pada tingkat tertentu, sebelum merefleksikannya
pada parameter-parameter global tadi. Tentu saja definisi serta ukuran-ukuran global dalam seni
pertunjukan tetap bisa digunakan untuk melihat dan memetakan praktik seni pertunjukan yang
berlangsung di Indonesia, tetapi pada saat yang sama kenyataan-kenyataan lain (watak kultural,
situasi-situasi pascakolonial, dan lain-lain) yang ikut menentukan situasi serta bentuk-bentuk
seni pertunjukan di Indonesia mesti juga dilihat dan ditimbang. Sehingga, ukuran, gagasan
serta rencana fasilitasi serta pengembangan seni pertunjukan di Indonesia bisa lebih membumi
dan relevan.
Pemetaan yang dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan kontekstual ini penting sebagai
upaya pertama membentuk ekosistem yang ideal bagi seni pertunjukan Indonesia agar mampu
beroperasi di dalam ukuran-ukuran ekonomi kreatif yang sesuai dan relevan dengan situasi
Indonesia. Karena, bahkan gagasan dan kerangka ekonomi kreatif serta industri kreatif itu
sendiri (yang melatari pemetaan dan penyusunan rencana aksi jangka menengah ini), kita tahu,
tidak tumbuh dari bumi seni pertunjukan kita.
Hal ini tak lantas berarti kerangka dan gagasan ekonomi serta industri kreatif tak bisa kita
gunakan dan aplikasikan di Indonesia karena dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia sendiri,
(sebagaimana yang terlihat pada sejarah Komedi Stamboel, Ketoprak Tobong, atau Srimulat), pada
tingkat tertentu, dengan ukuran-ukuran yang sedikit berbeda, praktik ekonomi serta industri
kreatif itu telah dan sedang berlangsung. Apa yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk bisa
melihatnya secara dialektis, sehingga niat untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia
bisa berjalan dengan produktif karena berdasarkan bentuk serta situasi yang ada.

1.1.1 Definisi Seni Pertunjukan


Dilihat dari sejarah perkembangan etimologisnya, istilah seni pertunjukan sendiri merupakan
serapan dari istilah bahasa Inggris performing arts yang berkembang di Eropa pada 1300-an. Kata
perform diserap dari bahasa Prancis, parfornir (par dalam bahasa Inggris berarti completely
+ fornir dalam bahasa Inggris berarti to provide) yang berarti melakukan, menyelenggarakan,
menyelesaikan, ataupun mencapai. Seiring dengan berkembangnya aktivitas teatrikal atau musikal
pada 1600-an, kata perform kemudian sering dipahami melalui sudut pandang tata bahasa
Inggris yang artinya mencakup:1

(1) Online Etymology Dictionary: http://www.etymonline.com

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

1. to make (membuat), construct (membangun); produce (memproduksi), bring about


(menimbulkan), atau come true (mencapai).
2. present (kata kerja transitif - memerlukan objek dalam kalimatnya) yaitu mempersembahkan,
menyajikan (kepada penonton).
Ketika istilah tersebut diserap dan diterjemahkan ke dalam pengalaman serta sejarah kebudayaan
di Indonesia, maknanya harus beradaptasi dan dilihat dalam konteks-konteks lokal yang spesifik
secara kultural. Hal ini terkait dengan kenyataan kultural di negeri kepulauan di Indonesia sebagai
salah satu yang paling beragam di dunia, apalagi ragam tradisi pertunjukan telah menjadi bagian
dari dinamika perkembangan masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Selain itu,
sejarah kebudayaan Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah mengalami penjajahan (Portugis,
Belanda, Inggris, dan Jepang), sebagaimana banyak negara di Asia dan Afrika, menyusun sejarah
kebudayaan dengan kompleksitas yang berbeda dengan sejarah dan pengalaman kebudayaan di
Barat, dari mana asal istilah ini berakar.
Seni pertunjukan di Indonesia, dengan latar belakang di atas, tersusun oleh pertemuan dan
persilangan kebudayaan yang relatif lebih rumit ketimbang pengalaman paralel historis di Eropa
Barat yang relatif lebih linear dan ditandai oleh patahan-patahan (rupture) yang tegas yang menandai
peralihan dari satu masa ke masa lainnya. Untuk mempermudah pengamatan, pembatasan
dasar kerap disusun mengikuti konfigurasi kesejarahan: pembagian serta pengelompokan seni
pertunjukan di antara yang modern dan pramodern (atau tradisional). Pemilahan dasar ini
secara kronologis bisa diterima, karena bentuk-bentuk teater (juga seni pertunjukan) modern
di sebagian besar negara Asia bisa dibilang baru muncul, sementara teater pramodern memiliki
asal-usul yang sangat tua dan banyak yang masih berlangsung dalam keberlanjutan yang utuh.2
Wayang kulit di Jawa Tengah maupun Indang di Minangkabau adalah dua dari sekian banyak
contoh pertunjukan pramodern. Kedua pertunjukan ini baru dimulai larut malam (sekitar pukul
21:00 atau bahkan sesudahnya) dan berlangsung hingga lima-enam jam berikutnya hingga dini
hari. Kadang mereka bersanding atau bahkan menghadapi tegangan ketika berhadapan dengan
seni pertunjukan komersial, seperti campur sari di Jawa Tengah maupun dangdut organ tunggal
di Sumatera Barat (yang terakhir ini menjadi lebih populer di beberapa wilayah Sumatera Barat
dan menggantikan ruang yang tadinya diisi oleh kesenian tradisional seperti indang).
Oleh karena itu, adalah penting mengadaptasi pendekatan etimologis ini ke dalam konteks serta
situasi kultural Indonesia. Komposer terkenal Rahayu Supanggah yang juga seorang pakar seni
pertunjukan pernah berujar, Bisa jadi istilah seni tontonan atau seni menonton lebih tepat
digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman khas Indonesia, mengingat praktik-praktik unik
yang masih berlangsung, seperti contoh menonton pertunjukan wayang kulit atau pun Indang
yang bisa memakan waktu berjam-jam, dan tidak mengenal relasi spasial (hubungan ruang) yang
seketat pertunjukan Barat. Dalam menonton wayang kulit yang berdurasi panjang, misalnya,
penonton bisa duduk dengan leluasa dan mengikuti jalannya pertunjukan yang lebih mengalir
dan alamiah ketimbang penonton di ruang teater modern yang berbentuk prosenium.

(2) Don Rubin (ed.), The World Encyclopedia of Contemporary Theatre Volume 5 (New York: Routledge, 1998), hlm.21.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

Dalam mendefinisikan seni pertunjukan, maka pertama-tama harus disadari bahwa kebudayaantermasuk kesenian-tidak pernah berlangsung dalam ruang yang vakum, sehingga ia harus dilihat
sebagai sebuah dinamika yang terkait dengan kompleksitas perkembangan lingkungan di mana
seni pertunjukan itu lahir dan tumbuh. Jika dilihat dari sudut pandang seni pertunjukan modern
di Barat, maka seni pertunjukan dapat diartikan sebagai:

Kegiatan bernilai seni yang melibatkan para penampil


(performers) yang menginterpretasikan suatu materi
kepada penonton (audiences); baik melalui tutur kata,
musik, gerakan, tarian dan bahkan akrobat. Unsur
terpenting dari seni pertunjukan adalah terjadinya
interaksi secara langsung (live) antara penampil dan
penonton, walaupun elemen pendukung seperti film
atau materi rekaman termasuk di dalamnya.
A Guide to the UK Performing Arts (2006)

Sejarah pascakolonial dalam seni pertunjukan di Indonesia mencerminkan suatu kompleksitas


kenyataan yang pada tingkat tertentu berbeda dengan kenyataan seni pertunjukan di Barat, sehingga
perbandingan seni pertunjukan di Indonesia dengan di Barat pun harus dilakukan dengan kritis.
Hingga kini, di banyak desa di Indonesia, misalnya, masih banyak ditemukan pertunjukan yang
terjadi di ruang ritual (religius maupun spiritual), sosial maupun komersial. Kategori-kategori ini
(ritual religius atau spiritual, sosial maupun komersial) terjadi dalam geografi kultural yang sama,
yaitu Indonesia, sehingga tidak jarang yang ritual (religius) disusul oleh yang sosial, bahkan juga
berimpitan atau bertautan dengan yang bersifat komersial.
Disesuaikan dengan konteks perkembangan seni pertunjukan yang terjadi di Indonesia dan
berdasarkan kerangka pemetaan potensi ekonomi, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai:

Cabang kesenian yang melibatkan perancang,


pekerja teknis dan penampil (performers), yang
mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu
gagasan kepada penonton (audiences); baik dalam
bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan
tubuh, atau tarian; yang terjadi secara langsung (live)
di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini
(hic et nunc).
Sumber: Focus Group Discussion Subsektor Seni Pertunjukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Mei-Juni 2014)

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Dalam definisi seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam menjelaskan definisi seni pertunjukan secara lebih mendalam, yaitu:
1. Gagasan adalah struktur pemikiran yang berasal dari perumusan atau perenungan
tentang sesuatu yang dapat dituangkan atau memandu pengolahan serta pembentukan
suatu wujud atau pementasan karya seni pertunjukan;
2. Perancang adalah pelaku seni yang menggagas dan merancang konsep awal dan kerangka
penciptaan seni pertunjukan;
3. Penampil adalah pelaku seni yang mewujudkan gagasan pertunjukan dalam bentukbentuk yang dapat disaksikan (didengar dan ditonton) oleh pemirsa dalam pementasan
karya seni pertunjukan;
4. Pekerja teknis adalah pekerja seni yang mewujudkan rancangan pertunjukan yang
bersifat teknis dalam sebuah produksi seni pertunjukan;
5. Penonton adalah orang yang secara sadar dan aktif datang menyaksikan suatu karya
seni pertunjukan;
6. Langsung (live) adalah keadaan dimana peristiwa pergelaran pertunjukan berlangsung
di dalam ruang dan waktu yang sama di mana penonton dan penampil berada, di sini
dan kini (hic et nunc).

1.1.2 Ruang Lingkup Pengembangan Seni Pertunjukan


Berdasarkan perkembangan serta kategori yang mengikuti garis modernitas dan modernisme
global, maka seni pertunjukan dapat dibagi menjadi seni pertunjukan tradisional, modern dan
kontemporer. Kategori atau terminologi ini bukannya tanpa perdebatan, karena, lagi-lagi, istilahistilah tersebut berasal dari rahim pemikiran serta perkembangan sejarah seni Barat yang tidak
selalu bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam konteks historis Indonesia, terlebih jika hanya
semata-mata dicangkok seperti yang umumnya menjadi kecenderungan.
Namun, dalam khazanah wacana global-baik dalam dunia akademisi (kajian) maupun praktik
(produksi pementasan dan kuratorial)-sedang terjadi fenomena menarik berupa adanya kesadaran
untuk bersikap kritis terhadap konstelasi pemikiran tradisional-modern-kontemporer yang selama
abad ke-20 menjadi hegemoni Barat, dengan munculnya penelitian, kajian serta pendekatan serta
arah kuratorial yang berlawanan.
Adalah penting untuk ikut mengambil posisi kritis ini bagi seni pertunjukan Indonesia, terutama
dalam mengaitkan praktik seni pertunjukan dengan kajian yang beredar di dunia global. Seni
pertunjukan tradisionaldalam konteks Indonesiaseringkali menjadi basis inspirasi bagi
perkembangan seni modern serta kontemporer. Sebagai bagian dari budaya yang integral, seni
tradisi atau tradisional hadir dan mengalir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia
yang beragam. Ia mewujud dalam berbagai ritual: baik yang bersifat sosial, adat maupun religius
(upacara-upacara keagamaan).
Selain hidup dan dilakoni dalam kehidupan sehari-hariyang ditandai oleh transmisi
(penyampaian) dari satu generasi ke generasi berikutnyaapa yang disebut seni tradisi atau
tradisional juga mengalami kodifikasi (pembakuan) melalui media (televisi, misalnya) atau
pun proses belajar-mengajar di institut-institut seni (seperti Institut Seni Indonesia). Seringkali
tranformasi yang terakhir ini mengubah gaya ungkap seni tradisi yang cenderung diadopsi ke
dalam konteks-konteks lainnya seperti konteks komersial. Hal ini terjadi misalnya pada seni

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

tari, sebagai salah satu contoh, Tari Piring (Sumatera Barat) mengalami perubahan dari konteks
aslinya ketika ia dipertontonkan di TVRI pada tahun 19701980-an. Tarian-tarian ini banyak
yang dipendekkan durasinya untuk kepentingan tayangan televisi atau menjadi komersial untuk
konsumsi acara-acara pariwisata.
Dalam konteks Indonesia, istilah modern dan kontemporer dalam seni pertunjukan
(teater-tari-musik) bisa dikatakan masih berada dalam tahap diskusi, belum betul-betul
mewacana (diskursus). Dalam dunia teater, paling tidak sudah menjadi konsensus para
teoretis dan praktisi teater bahwa apa yang dimaksud sebagai teater modern Indonesia
merujuk pada teater yang berdasarkan naskah tertulis yang menggunakan bahasa Indonesia.3
Pengaruh idiom-idiom teater Barat klasik atau modern (Shakespeare, Brecht, ataupun
Ibsen) maupun a na sir-a na sir teater lok a l (ketopra k, Komed ie Sta mboel) da la m
teater modern Indonesia pun diana lisis dan dibeda h oleh beberapa pengkajinya. 4
Sedangkan dalam seni tari, istilah modern dan kontemporer masih cenderung tumpang-tindih, dan
masih dalam proses awal pewacanaan seperti tercermin dari minimnya tulisan-tulisan seputar topik ini.5
Sementara itu, musik (pertunjukan live, bukan musik rekaman), terbagi dalam tiga kategori,
yaitu tradisional, klasik, dan populer. Pada setiap kategori ini terjadi pengembangan bentuk
yang kontemporer atau merujuk pada eksperimentasi yang melebihi apa yang sudah dilakukan
sebelumnya (tradisional-kontemporer, klasik-kontemporer, dan populer-kontemporer).
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari, teater
dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre modern dan kontemporer). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi, karena banyak ekspresilokal yang
sebetulnya tidak mengenal pemisahan klasifikasi demikian. Teater tradisional dari Minangkabau
(Sumatera Barat), Randai misalnya, adalah perpaduan sastra, musik dan tari (yang berdasar pada
pencaksilat), meski dalam definisi kajian cenderung direduksi menjadi sekedar bentuk teater.
Selain ketiga kategori utama (tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas
disiplin (crossover) seperti sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus,
opera, drama-musikal, pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.

(3) Baca Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992)
dan Michael H. Bodden, Resistance on the National Stage: Theater and Politics in Late New Order Indonesia (Athens: Ohio
University Press, 2010).
(4) Ibid, Soemardjo, 1992; Bodden, 2010. Baca pula Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in
Colonial Indonesia 18911903 (Ohio: Ohio University Press, 2006).
(5) Setidaknya ada dua kajian mengenai seni tari di Indonesia oleh akademisi Indonesia, yaitu Sal Murgiyanto, The
Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of
Colorado, 1976; dan Helly Minarti, Modern and Contemporary Dance in Asia: Body, Routes and Discourse, manuskrip
disertasi doktoral, London: University of Roehampton, 2014.

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht, pada sekitar 1910
Sumber: Matthew Isaac Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 18911903 Ohio: Ohio University
Press, 2006

Komedi Stamboel
Komedie Stamboel adalah teater campuran (hibrida) pada zaman kolonial yang dengan kompleks
menggabungkan beragam teater, kesusastraan, dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu
genre pertunjukan populer di Indonesia, asal-muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu
kelompok teater dengan nama yang sama pada 1891 di Surabaya, dengan aktor keturunan
Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering
dideskripsikan sebagai versi Melayu dari teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan
besar pada perkembangan teater kontemporerseperti keroncong, ketoprak (yang pernah
disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas
dan representasi.

Julukan stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya,
cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan
mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada sepuluh bulan pertama mereka
merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Suasana
dan perabotannyapencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik
pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, riasan, plotmirip dengan
dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad ke-19. Pengaruh lain yang tidak kalah penting
adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay (India) dan banyak berkeliling
di Hindia Belanda semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal).Pada dasawarsa pertama abad
ke-20, komedi stambul sudah punya koleksi drama (repertoar) yang sangat beragam, mulai
dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra hingga folklor
populer Eropa (misalnya lakon Dr. Faust atau Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima,
hingga Perang Lombok 18991900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Perubahan pesat di Hindia Belanda mengiringi sejarah awal berdirinya stambul. Saluran
transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, fonograf, litografi, percetakan, dan
sebagainya pun bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.
Komedie Stamboel ini merupakan usaha untuk mewujudkan suatu kesenian modern di
tengah-tengah kehidupan kesenian tradisional yang sudah ada dan merupakan suatu usaha
memasukkan kehidupan kesenian baru ke dalam masyarakat yang telah melakukan, memiliki,
dan memelihara kelangsungan hidup kesenian tradisionalnya.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

TARI
Salah satu definisi tari yang umum dikenal adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh
imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis
dan menjadi ungkapan si pencipta. Definisi ini tidak selalu bisa menjelaskan perkembangan tari
di wilayah eksperimentasi artistik (modern dan kontemporer) di ranah global, misalnya jika ia
diterapkan untuk menjelaskan tari garda depan (avant-garde) atau pun apa yang kerap disebut
sebagai tari kontemporer konseptual yang berkembang di Eropa Barat (kontinental) dari tahun
1990 sampai 2000-an, ketika karya koreografi tidak selalu terlihat atau berbentuk tarian dalam
pengertian konvensional (menari).
Menurut perkembangannya, maka tari dapat dibagi menjadi beberapa genre yaitu:
1. Tari tradisi atau tradisional merujuk pada tarian yang dipentaskan sebagai bagian
dari tradisi setempat, dan ini bisa terdiri dari tari ritual atau klasik seperti Tari Bedhaya
Ketawang dari Kesultanan Surakarta, juga tarian rakyat yang bentuknya beragam dan
umumnya membawa identitas suku bangsa (Tari Jathilan dari Jawa Tengah, Tari Piringdi
dari Sumatra Barat atau Tari Zapin dari dari khazanah Melayu).
2. Tari kreasi baru atau garapan baru didefinisikan pertama kali oleh R.M. Soedarsono
sebagai komposisi tari yang masih menggunakan idiom-idiom tari tradisi, namun telah
digarap ulang dengan memasukkan elemen-elemen baru seperti irama paduan gerak
ataupun kostum. Tarian massal yang digarap Bagong Kussudiardjo seperti Tari Yapong
bisa menjadi salah satu contoh tari kreasi baru atau bahkan Tari Kukupu gubahan Tjetje
Soemantri yang digarap pada 1950-an.
3. Tari modern, sebagai istilah baku dalam kajian tari global, istilah ini awalnya merujuk
pada eksperimentasi artistik di Barat (Eropa-Amerika) pada awal abad ke-20 ketika tari
masuk ke dalam ruang teater modern, saat ekspresi individualitas menjadi penanda
utama. Tokoh-tokoh generasi ini adalah Isadora Duncan (18771927), Ruth St. Denis
(18791968), Mary Wigman (18861973), dan Martha Graham (18941991). St.
Denis pernah tur ke Asia Timur, antara lain ke Hindia Belanda pada pertengahan
1920-an, sementara Graham pernah pentas di Jakarta ketika Indonesia telah menjadi
Republik Indonesia, pada 1955 dan 1974. Pada akhir abad ke-20, wacana yang sangat
berpusat pada pengalaman historis Eropa-Amerika (Euro-American centric) ini lantas
dikoreksi oleh para ahli tari dunia dengan mulai memasukkan tokoh-tokoh tari modern
nonEropa-Amerika, antara lain Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno (dua penari yang
melahirkan Butoh di Jepang) atau Wu Xiao Bang dan Dai Ai Lan dari Tiongkok.6
Di Indonesia, tarian Sardono W. Kusumo melalui karya-karya awalnya seperti Samgita
Pancasona I-IX pada akhir 1960-an, ketika pertanyaan eksistensial tentang apa itu tari
dan gerak menari muncul, bisa dimaknai sebagai awal munculnya tari modern Indonesia.
Selain karya-karya Sardono, karya-karya awal koreografer yang berkumpul di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19681971 juga dapat digolongkan sebagai rintisan tari
modern Indonesia, seperti karya koreografer Farida Oetoyo (19392014), Hoerijah Adam
(19361977) maupun Julianti Parani (lahir 1941). Farida dan Julianti mewakili penari atau
penata tari Indonesia yang berlatar belakang tari balet klasik Barat dan teknik tari modern
(6) Taryn Benbow-Pfalzgraf (ed.), International Dictionary of Modern Dance (St. James Press, 1998).

10

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Barat. Sekalipun tari yang mereka pelajari adalah tari Barat, mereka mengadaptasinya
menjadi apa yang disebut balet Indonesia, yaitu gaya serta sensibilitas balet klasik Barat yang
diterapkan ke dalam narasi-narasi Nusantara seperti Rama dan Shinta atau Sangkuriang.
Baik dalam pemakaian sehari-hari dalam media maupun dalam lingkungan akademis,
di Indonesia, pengertian tari modern masih cenderung melenceng dari alur sejarah
modernisme global. Seringkali, tari modern dianggap sebagai garapan baru (tari kreasi)
atau malah disalahtafsirkan sebagai tari latar (hiburan).
4. Tari kontemporer adalah kategori yang cenderung ditumpang-tindihkan dengan tari
modern, namun juga yang secara lentur juga dipahami sebagai garapan tari baru yang
motivasinya mendasarkan diri pada eksperimentasi artistik.
Dalam konteks pengalaman Indonesia, inspirasi sebuah karya tari kontemporer bisa
bersumber dari satu atau lebih teknik tari, mulai dari teknik tari tradisi, tari balet klasik
(Barat), teknik tari modern Barat, hip hop, dan lain sebagainya. Sebuah komposisi tari
kontemporer juga bisa mengambil sumber dari idiom-idiom pertunjukan lainnya seperti
teater. Eksperimentasi bisa berpusat pada gerak, komposisi maupun situs (sites) di luar
panggung prosenium atau pun gedung teater lainnya.
Koreografer yang aktif menggarap tari kontemporer adalah Jecko Siompo (1976-) yang
memiliki dua kelompok: Jecko Dance (kontemporer) dan Animal Pop (hiburan dan
anak-anak), Fitri Setyaningsih (1978-) di Yogyakarta serta sekelompok koreografer muda
berdomisili di Surakarta seperti Danang Pamungkas, Windarti, Bobby Ari Setiawan,
Agus Mbendol Maryanto dan beberapa nama dari generasi yang lebih muda seperti
Darlane Litaay (asal Papua berdomisili di Yogyakarta). Kebanyakan dari mereka adalah
lulusan Institut Seni Indonesia (Yogyakarta, Surakarta, Padang Panjang) maupun Institut
Kesenian Jakarta.

Bintang Hening, karya Fitri Setyaningsih, 2011


Foto: Afrizal Malna

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

11

Di luar keempat kategori ini, sendratari adalah kategori khas Indonesia yang muncul setelah
produksi Ballet Ramayana (1961) atau yang kemudian diberi nama baru sebagai Sendratari Ramayana
(1970). Kedua produksi Ramayana yang masih dipentaskan hingga kini adalah proyek nasional
yang semula dirancang dan didanai pemerintah (dulu didanai Departemen Pos, Telekomunikasi
dan Pariwisata) untuk mendongkrak perolehan pariwisata.

TEATER
Istilah teater diserap dari bahasa Inggris theatre, yang berakar pada bahasa latin theatron
(tempat untuk melihat) atau theaomai(yang berarti melihat, menyaksikan atau mengamati).
Dengan sejarah etimologis seperti ini, penggunaan istilah teater kerap tidak jelas batas-batasnya,
atau terlalu luas. Di samping merujuk pada gedung tempat digelarnya pertunjukan atau sinema,
pengertian kata ini juga mencakup hampir seluruh bentuk seni pertunjukan yang terentang dari
ritual purba, upacara keagamaan, pertunjukan rakyat ( folk theatre), dan jalanan (street theatre),
sampai pada bentuk seni pertunjukan yang muncul kemudian (termasuk di dalamnya pantomim
dan tableaux atau pentas gerak tanpa kata). Kata atau istilah lain yang kerap dipadankan dengan
istilah ini adalah drama, yang sesungguhnya lebih spesifik mengacu pada bentuk seni pertunjukan
yang melibatkan kata-kata (lakon) yang diucapkan aktor di atas panggung. Sebagai kata sifat,
drama menunjuk pada peristiwa atau keadaan yang bergairah dan emosional. Dalam bahasa
Indonesia, kata lain yang juga kerap dianggap sepadan adalah sandiwara, yang berasal dari
bahasa Sansekerta.
Di samping itu, watak teater sebagai seni pertunjukan yang sejak awal multidisiplin (melibatkan
banyak disiplin seni seperti seni visual untuk set atau dekorasi, properti, serta kostum; seni musik
pada ilustrasi; sastra pada naskah lakon) membuat istilah ini sulit ditentukan batas kategorikalnya,
terutama ketika disandingkan dengan kategori lain dalam seni pertunjukan (tari dan musik
pertunjukan). Belum lagi jika kita hendak membicarakan praktik atau bentuk teater eksperimental
atau garda depan (avant-garde), yang kerap secara sengaja melintasi batas disiplin dan mengolah
medium-medium lain (film dan video, misalnya) dalam pertunjukannya. Merujuk pada sejarah
teater di Indonesia sendiri, pentas-pentas improvisasi Bengkel Teater Rendra pada akhir 1960an dan awal 1970-an, yang minim dialog (dikenal sebagai teater mini kata) dan lebih banyak
menggunakan bahasa tubuh, gerak, bunyi, dan visual, misalnya, sulit dikategorikan sebagai
pentas drama atau sandiwara.
Dengan menimbang problem kategorikal itu, untuk kepentingan pemetaan potensi ekonomi
kreatif dalam buku ini, teater diklasifikasikan menjadi:
1. Teater tradisi. Pengertian teater tradisi dibatasi pada: 1) bentuk seni pertunjukan tradisi
yang sudah berlangsung lamapuluhan atau ratusan tahundan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya; 2) watak multidisiplin teater tradisi yang cukup dominan,
tak hanya melibatkan olah gerak dengan iringan musik, tapi juga pengucapan dialog atau
syair, serta ekspresi dramatik lainnya, baik berdasar pakem, lakon tertulis, atau hanya
improvisasi; 3) berakar pada serta mengolah idiom budaya dan menggunakan bahasa suku
bangsa setempat serta menjadi bagian dari proses solidaritas warga; 4) terkait dengan nilai
serta kepercayaan komunitas masyarakat tempat seni pertunjukan itu hadir dan tumbuh;7
5) berlangsung di luar ruangan (outdoor) atau di tempat-tempat yang sifatnya sementara
(bukan gedung atau bangunan yang dirancang khusus); 6) banyak teater tradisi dari
(7) Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).

12

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

suatu daerah berangkat dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan
cerita-cerita rakyat setempat (folklore). Contoh teater tradisi Indonesia: Makyong (Riau),
Mamanda (Kalimantan Selatan), Longser (Jawa Barat), Wayang Wong (Jawa Tengah).
2. Teater modern. Seperti yang sudah disampaikan di awal bab ini, klasifikasi-klasifikasi
yang dikenakan pada seni pertunjukan di Indonesia sesungguhnya selalu problematis.
Hal ini terkait dengan sejarah serta situasi pasca-kolonial Indonesia yang memiliki sejarah
dan situasi kebudayaan yang berbeda dari Barat (Eropa) dari mana klasifikasi itu berasal.
Di Barat misalnya, istilah teater modern terkait erat dengan perubahan besar di Eropa pada
sekitar abad ke-17, dengan lahirnya apa yang kemudian dikenal sebagai masa pencerahan
(Enlightenment) atau zaman rasionalitas (Age of Reason atau Renaissance) yang mengakhiri
zaman kegelapan (Dark Age) di Eropa. Dalam keterkaitan ini, teater modern di Eropa
merupakan bagian dari perubahan masyarakat Eropa yang digerakkan oleh revolusi
industri yang diawali di Inggris, revolusi demokratis di Prancis, serta arus besar revolusi
intelektual yang mencoba menegakkan akal (reason) dalam memandang dan mengolah
kehidupan. Oleh karena itu, realisme dalam teater, sebagaimana dalam novel-novel yang
terbit waktu itu, merupakan penanda yang paling kuat atas teater modern, sebagai upaya
teater memotret dan menampilkan masalah sosial saat itu dalam tatapan yang lebih objektif
di hadapan penonton yang dibayangkan mencernanya secara objektif (atau rasional pula).
Sementara pada kasus di Indonesia, teater modern adalah bagian dari produk kultural yang
dibawa oleh kontak Indonesia dengan Barat pada zaman kolonial. Meskipun demikian,
sebagai bagian dari kegairahan untuk menjadi Indonesia modern, prinsip dan bentuk
teater modern (realisme) itu lalu dipelajari, ditiru, dan diadopsi di Indonesia sejak awal
abad ke-19. Secara akademis, setelah masa kemerdekaan, pada 1950-an, banyak berdiri
sekolah seni semacam Akademi Teater Nasional Indonesia-ATNI (Jakarta) dan Akademi
Seni Drama dan Film Indonesia-ASDRAFI (Yogyakarta) yang mengajarkan teater modern
bergaya realis pada anak didiknya, yang kemudian meneruskan dan menurunkan paham
serta gaya teater realis ini sampai sekarang (yang juga dikembangkan di jurusan-jurusan
teater Institut Seni Indonesia di banyak kota di Indonesia).
Oleh karena itu, untuk memudahkan, pengertian teater modern dalam buku ini mengikuti
garis sejarah tersebut. Sementara untuk praktik dan bentuk teater nonrealis diklasifikasikan
dalam kategori teater eksperimental atau garda depan atau garda depan baru, yang akan
dibahas kemudian.
Batas-batas teater modern dalam buku ini melingkupi: 1) berdasarkan naskah lakon
(baik terjemahan maupun orisinal); 2) melisankan naskah dengan iringan musik yang
terbatas; 3) kebanyakan berlangsung di panggung prosenium yang memisahkan dan
menghadapkan penonton dengan pemain secara frontal; serta 4) mengutamakan akting
realistik, meskipun ditempatkan dalam konteks dan situasi-situasi nonrealis. Contoh
teater modern dalam batas klasifikasi ini, misalnya pertunjukan-pertunjukan oleh Teater
Populer dengan sutradara Teguh Karya (1937-2001), Studiklub Teater Bandung (STB)
dengan sutradara Suyatna Anirun (1936-2002), Teater Lembaga (Insitut Kesenian Jakarta),
Teater Koma dengan sutradara Nano Riantiarno (1949-), kelompok Mainteater (Bandung)
dengan sutradara Wawan Sofwan (1965-), Teater Satu-Lampung dengan sutradara Iswadi
Pratama (1971-), Teater Gardanalla dengan sutradara Joned Suryatmoko (1976-).

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

13

3. Teater Transisi. Teater transisi adalah teater yang jejak tradisinya masih terasa namun
sudah menggunakan elemen-elemen atau praktik-praktik modern, seperti pada bentuk
panggung (prosenium, dalam ruang), tema yang digarap (mulai mengangkat tema yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat), maupun pengelolaan organisasinya.
Contoh teater transisi di Indonesia di antaranya: Srimulat (Surabaya dan Jakarta), Kelompok
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih (Jakarta), Wayang Orang Bharata (Jakarta), Pusat Latihan
Opera Batak (Siantar), Ketoprak (Jawa Tengah), Ludruk (Jawa Timur), Lenong (Jakarta)
dan Drama Gong (Bali).
4. Teater Eksperimental, atau Garda Depan (avant-garde). Sesungguhnya, dalam konteks
sejarah teater di Eropa, teater eksperimental, atau teater garda depan juga merupakan
bagian dari gerakan modernisme, terutama dalam konteks penolakan atas yang lama
(yang kerap ditafsir sebagai konvensi, pakem atau tradisionalisme) dan keinginan untuk
menemukan bahasa dan idiom ungkap teater yang baru. Pencarian atas wilayah estetika
yang belum dirambah inilah yang menjadi dasar dari istilah avant-garde yang dipopulerkan
pertama kali oleh seorang anarkis Rusia, Michael Bakunin pada 1878.
Dalam konteks di Indonesia, dengan kompleksitas sejarah yang berbeda, arus lain dari
modernisme (yang kebanyakan justru menyangkal realisme ini), ditempatkan dalam
klasifikasi yang terpisah dengan teater modern, seturut pemahaman yang berlangsung
pada publik teater di Indonesia yang lebih mengasosiasikan teater modern dengan gaya
teater realis, atau realistik.8
Bentuk pertunjukan teater eksperimental atau teater garda depan tak dapat digeneralisasi
karena semangat eksperimentasi yang ada membuat setiap pertunjukan akan memiliki gaya
atau percampuran gaya yang bisa berbeda dengan tajam. Klasifikasi ini dimungkinkan
sejauh kita menempatkan amatan pada semangat eksperimentasi tersebut dan upaya
untuk mencari bahasa-bahasa baru dalam ekspresi mereka. Semangat dan upaya yang
kerap mendorong praktik penciptaan teater garda depan melintasi banyak disiplin dan
menggunakan beragam medium dalam pertunjukan mereka.
Contoh teater eksperimental atau teater garda depan dalam sejarah teater di Indonesia,
misalnya: nomor-nomor improvisasi (mini kata) Bengkel Teater arahan Rendra, karyakarya pertunjukan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya, atau yang muncul kemudian
pada 1980 dan 1990-an: Teater SAE dengan sutradara Budi S. Otong dan Teater
Kubur dengan sutradara Dindon (keduanya dari Jakarta); Teater Payung Hitam dengan
sutradara Rahman Sabur, Teater Republik dengan sutradara Benny Johanes (Bandung);
dan Teater Kita dengan sutradara Asia Ramli Prapanca (Makassar). Sementara beberapa
nomor pertunjukan Teater Garasi dengan sutradara Yudi Ahmad Tajuddin dan Gunawan
Maryanto, seperti trilogi pentas teater visual Waktu Batu, teater-tari Je.ja.l.an, Repertoar
Hujan dan Tubuh Ketiga juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi ini. Begitu pun nomor
pertunjukan Teater Satu-Lampung, Nostalgia Sebuah Kota, Ayahku Stroke tapi Nggak
Mati oleh Teater Gardanalla, untuk menyebut beberapa bentuk dan praktik teater garda
depan pada era 2000-an.
(8) Untuk pembacaan awal mengenai teater garda depan di Eropa, lihat: Christopher Innes, Avant Garde Theatre
18921992 (London: Routledge, 1993).

14

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Je.ja.l.an (The Streets). Produksi Teater Garasi. Sutradara:Yudi Ahmad Tajudin. Yogyakarta, Jakarta,
Shizuoka dan Osaka (2008-2010).
Foto: Mohamad Amin

Catatan yang penting diungkapkan dalam konteks buku ini merujuk pada sejarah teater di Barat.
Eksperimentasi yang dilakukan teater-teater garda depan, pada gilirannya, menginspirasi serta
menyegarkan bentuk pertunjukan-pertunjukan teater komersial (profesional) dan memulihkan
antusiasme penonton. Contoh paling representatif atas hal ini adalah dengan ditunjuknya Julie
Taymor (sutradara teater garda depan Amerika) oleh produser Broadway untuk menyutradarai
pentas musikal Lion King, yang kemudian menjadi sukses besar dan ikut memulihkan antusiasme
penonton Broadway (salah satu dari empat pentas terlama dan pentas dengan pemasukan terbesar
sepanjang masa di Broadway). Dalam skala yang berbeda, eksperimentasi-eksperimentasi antarbudaya yang dilakukan Peter Brook di tahun 1960-an, turut menyegarkan pertunjukan-pertunjukan
di The Royal Shakespeare Company London, serta memulihkan antusiasme penonton untuk
menyaksikan gelaran karya-karya maestro Shakespeare.

Julie Taymor, sutradara The Circle of Life - Disneys The Lion King .
Foto: Joan Marcus

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

15

Di sisi lain, berdasarkan tujuan penciptaan serta watak pengelolaan kelompok karya, teater dapat
dibagi menjadi:
1. Teater Amatir. Di banyak kota di Indonesia, teater atau drama sesungguhnya menyebar
hampir merata, baik di kota maupun di perdesaan. Biasanya, setiap penyelenggaraan
acara hari besar kerap diisi dengan pentas-pentas drama, baik oleh kelompok spontan dan
temporer maupun oleh kelompok yang relatif lebih permanen. Akan tetapi praktik teater
mereka tak dijalani dengan disiplin yang seriuslebih bersifat hobi dan ekspresi diri.
Watak pengelolaan pertunjukan maupun kelompok seperti ini juga bisa disebut amatir
(tidak dengan pengetahuan serta disiplin manajemen yang kuat). Kelompok-kelompok
teater pelajar sekolah menengah juga bisa dimasukkan dalam kategori ini.
2. Teater Nonkomersil atau Teater Ketiga atau teater sebagai aktivisme kultural. Sedikit
lebih jauh dari teater amatir adalah praktik teater yang dilakukan dengan dasar pembacaan
atau refleksi atas kenyataan dan masalah yang lebih luas dari si seniman: kenyataan dan
problem masyarakatnya. Sebagaimana pekerja sosial di organisasi nonpemerintah, atau
ilmuwan dan peneliti sosial di kampus maupun di ruang dan media publik, praktik
berkesenian kerap dilandasi oleh keinginan untuk menyampaikan (atau membela) masalah
yang ada di masyarakat.

Penciptaan dan pertunjukan teater semacam ini bisa kita lihat sebagai aktivisme kultural.
Di samping hiburan, penonton juga diajak untuk memikirkan persoalan-persoalan di
masyarakat yang menjadi pijakan berkarya. Praktik teater rakyat (popular theatre) untuk
pemberdayaan masyarakat, yang terinspirasi dari gagasan dan pendekatan popular theatre
Augusto Boal dan mulai berkembang di Indonesia pada 1970-an, termasuk dalam kategori
ini. Sementara itu, istilah teater ketiga merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh
pemikir dan sutradara teater dari Italia, Eugenio Barba, yang menunjuk pada praktik
dan pengelolaan teater yang memiliki disiplin (serta pengetahuan) sebagaimana teater
profesional tetapi tidak bekerja di dalam lingkungan dan ukuran teater komersial.9
Jika dilihat dari dua batasan di atas, maka sebagian besar kelompok teater yang karyakaryanya banyak diperbincangkan dalam sejarah teater di Indonesia masuk dalam kategori
ini. Untuk menyebut beberapa, kelompok-kelompok teater yang termasuk dalam kategori
Teater Ketiga ini adalah Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Arifin C. Noer), juga
teater-teater yang masih aktif sampai sekarang seperti Teater Satu (Lampung), Laboratorium
Teater Sahid (Jakarta), Teater Garasi atau Garasi Performance Institute (Yogyakarta),
Teater Gardanalla (Yogyakarta), Papermoon Puppet Theatre (Yogyakarta), Mainteater
Bandung, Teater Sakata (Padang Panjang), dan Teater Kala (Makassar).
3. Teater Komersial adalah praktik teater yang diciptakan dan dipentaskan dengan tujuan
serta niatan komersial (profit-oriented), dengan standar profesionalisme dalam ukuran
relatif berdasarkan konteks masing-masing. Memasuki milenia baru, kelompok Eksotika
Karmawibhangga Indonesia (EKI) mulai memproduksi drama-musikal, dengan penampil
para penari yang mereka didik sendiri sejak akhir 1990-an, maupun bintang tamu dari dunia
hiburan, mulai dari almarhum Indra Safera hingga Sarah Sechan dan selebritis lainnya.

(9) Lihat: Ian Watson, Towards a Third Theatre: Eugenio Barba and Odin Teatret (London: Routledge, 1995).
16

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Pementasan Jakarta Love Riot, Juli 2010 (E.K.I Dance Company)

EKI DANCE COMPANY


EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) mewakili model seni pertunjukan yang menarik
karena berawal dari komunitas religius yang kebetulan dipimpin oleh seorang pandita modern
yang peduli pada kesenian, khususnya seni tari. Menjadi pemimpin sebuah komunitas religius,
pasangan Rusdi Rukmarata (koreografer) dan Aiko Senosoenoto kerap didatangi para remaja
bermasalah yang kemudian mereka tampung dalam sebuah asrama; bahkan mereka pun
menanggung kebutuhan makan serta pengeluaran sehari-hari dari para remaja itu. Mereka
lantas diberi beragam pelatihan teknik tari serta pengetahuan tentang seni budaya oleh para
pakar yang sengaja diundang untuk mengajar. EKI mulai dari produksi-produksi kecil, awalnya
berusaha mendalami tari kontemporer sebelum akhirnya mulai menjelajah ke drama musikal.
EKI juga sempat membentuk semacam biro manajemen seni yang berperan sebagai manajer
beberapa seniman seperti almarhum dalang Slamet Gundono dan penari atau koreografer
Mugiyono pada akhir 1990-an.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

17

Pada pertengahan 2000-an di Jakarta, genre drama musikal ini pun menjadi booming dengan
mobilisasi dana produksi dan penonton yang besar, di antaranya seperti pertunjukan Laskar Pelangi
yang disutradarai Riri Reza dan diproduksi oleh Mira Lesmana dan Toto Arto atau Onrop yang
disutradarai Joko Anwar dengan produser Afi Shamara. Pertunjukan musikal ini dapat dibilang
merupakan varian baru dari teater komersial yang muncul berdasarkan aspirasi dan kebutuhan
kelas menengah baru di Jakarta. Praktik teater komersial sendiri sesungguhnya bisa dirujuk jauh
dalam sejarah teater di Indonesia pada maraknya pentas-pentas kelompok Komedi Stamboel
di kota-kota di Jawa dan kepulauan Melayu (sampai Malaka), pada kisaran awal abad ke-19.10

Musikal Laskar Pelangi, 2010-2011


Sumber: Musikal Laskar Pelangi

Praktik dan pengelolaan kelompok semacam itu menurun pada Teater Dardanella, yang bahkan
pernah pentas keliling sampai Amerika Utara pada 19301940-an; juga pada teater hiburan
keliling yang muncul kemudian seperti Ketoprak Tobong di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
yang juga menjadi inspirasi kelompok Srimulat yang pernah sangat terkenal pada 1980-an, lalu
dihidupkan kembali oleh anggotanya melalui medium televisi pada pertengahan 1990-an, yang
masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.Karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak
pertunjukan-pertunjukan semacam ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate).
Oleh karena tujuan dan aspirasinya komersial, maka watak pertunjukan-pertunjukan semacam
ini menekankan pada sisi hiburan yang segera (immediate). Unsur musik (dan lagu) populer serta
pertunjukan kerupaan (spektakel) mendapat porsi yang besar di panggung-panggung komersial.
(10) Op. cit. Cohen, 2006.

18

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Finding Srimulat (Charles Gozali, 2013),film yang terinspirasi oleh eksistensi Srimulat sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia,

SRIMULAT
Srimulat, grup atau kelompok lawak yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo di Solo
pada 1950 ini, terus berkibar di tengah pentas seni pertunjukan lawak selama 60 tahun lebih.
Sepanjang sejarah berdirinya kelompok lawak Indonesia, Srimulat merupakan kelompok
yang memiliki paling banyak anggota dan mencetak pelawak-pelawak andal seperti Asmuni,
Timbul, Gepeng, Bambang Gentolet, Basuki, Tarzan, Polo, Nunung, Mamiek, dan Gogon.
Srimulat mencapai puncak kejayaannya pada 19701989. Pada masa puncaknya, kelompok
humor ini mampu menyedot penonton hingga memenuhi kapasitas 800 penonton di Taman
Hiburan Rakyat Surabaya. Bahkan mereka pun mampu membuka franchise panggung yang
juga laris di Jakarta dan Solo dengan menampilkan 300 lebih pelawak dan penghibur.
Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan karismatik.
Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini
terjadi karena Srimulat dikelola secara kekeluargaan dan berbasis komunal. Anggota yang
umumnya berpendidikan rendah juga turut berperan membuat kepemimpinan Srimulat
bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan
cerita, hingga keputusan untuk mengembangkan usaha, ada di tangan Teguh sebagai pendiri.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

19

Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan di dalam
Srimulat. Kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan
masalah secara rasional-modern: tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada
satu orang, tidak adanya sistem penghargaan yang jelas, persoalan suksesi, dan munculnya
hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor tersebut menjadi sebab utama bubarnya Srimulat
pada 1989.
Dua tahun sebelum dibubarkan, serial Srimulat di TVRI sempat dihentikan. Lama berselang,
kerinduan para personel untuk berkumpul kembali memuncak. Pada 1995, Gogon mengusulkan
reuni Srimulat. Pelaksanaan reuni Srimulat terbilang sukses dan tetap menyedot banyak
penonton. Stasiun Indosiar pun meminangnya dan Srimulat tampil kembali di layar perak
pada 19952003. Pada 2004, Srimulat kembali vakum. Baru pada 2006, Srimulat kembali
mendapat tawaran manggung di Indosiar untuk 36 episode.
Kemunculan Srimulat di Indosiar, mau tak mau, membuatnya bersentuhan langsung dengan
dunia bisnis. Masuknya manajemen bisnis ke dalam Srimulat bukan saja diperlukan untuk
menjual jasa, tetapi juga membuat Srimulat sebagai suatu company yang mempunyai visi dan
kemahiran wirausaha; bahwa Srimulat harus mampu bersikap proaktif dalam mengelola
sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran secara lebih profesional.
Sumber : Dirangkum dari berbagai sumber

MUSIK
Dalam konteks penulisan buku ini, seni pertunjukan musik merujuk pada bentuk penyajian
musik secara langsung (live) di hadapan penonton (audiences). Seni pertunjukan musik dapat
dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pertunjukan musik populer merujuk pada pertunjukan musik yang memiliki daya tarik
yang luas dan didistribusikan secara luas kepada masyarakat, yang terdiri dari sejumlah
genre termasuk musik pop, rock, jazz, soul, R&B, reggae, dan sebagainya. Pertunjukan
musik populer terkait erat dengan aktivitas rekaman musik, yaitu sebagai aktivitas
pendukung (promosi penjualan lagu) dari musisi yang bersangkutan.
Adapun pertunjukan musik populer yang merupakan fokus pengembangan seni pertunjukan
musik dalam kerangka ekonomi kreatif adalah pertunjukan musik populer kontemporer,
yaitu musik dengan genre populer (seperti rock, jazz, soul) yang mempunyai tingkat
eksperimentasi tinggi dan digunakan sebagai medium penyampaian gagasan penciptaan
senimannya (komponisnya). Musik populer kontemporer tidak selalu dapat diterima oleh
masyarakat luas dan didistribusikan secara luas pula, oleh karena itu, dalam penciptaan
dan penyajian karyanya, pertunjukan musik populer kontemporer tidak selalu berkaitan
dengan rekaman musik (industri musik). Dengan demikian, konser atau pertunjukan
musik ditempatkan sebagai aktivitas utama dalam berkesenian, bukan pendukung seperti
halnya yang terjadi dalam pertunjukan musik populer.

20

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Karya-karya yang ditampilkan oleh Duo Ubiet & Tohpati pada pertunjukan Eclectic Jazz Session untuk
memperingati 100 tahun kelahiran komponis legendaris Ismail Marzuki pada tanggal 21 Juni 2014 di Teater
Salihara adalah contoh pertunjukan musik jazz yang dipadukan dengan nyanyian eklektik. Musik yang dihasilkan
merupakan musik kontemporer karena keduanya menggali berbagai spektrum musikal yang luas dalam ritme,
metrum, melodi, harmoni, maupun tekstur, dan warna bunyi.
Foto: Komunitas Salihara.

2. Pertunjukan musik yang berakar pada kebudayaan lokal:


Pertunjukan musik tradisional - musik yang diwariskan secara turun-temurun


dan berkelanjutan pada masyarakat suatu daerah, dan mempunyai ciri khas masingmasing baik dari alat, gaya dan bahasa yang digunakan. Contoh: Gondang (Batak),
Gambus dan Orkes Melayu (Riau), Gambang Kromong (Betawi), Angklung (Sunda),
Gamelan (Jawa dan Bali).

Pertunjukan musik dunia (world music) - kategori ini secara umum merujuk pada
sebuah genre yang pada dasarnya merupakan perpaduan (fusion) antara musik-musik
yang mengambil sumber dari lokalitas tertentu (non-Barat) tertentu dengan genre
musik lainnya.

3. Pertunjukan musik klasik Barat, yang dapat dibagi menjadi:


Orkestra, adalah sekelompok musisi yang memainkan alat musik Klasik bersama,
seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi.
Selain tiga kategori tersebut, piano dan gitar juga terkadang dapat dijumpai dalam
orkestra. Orkestra yang besar kadang-kadang disebut sebagai orkestra simponi.
Orkestra simponi memiliki sekitar 100 pemain, sementara orkestra yang kecil hanya
memiliki 30 atau 40 pemain. Contoh kelompok orkestra Indonesia misalnya Jakarta
Concert Orchestra, Twilite Orchestra, dan Yayasan Musik Jakarta.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

21

Musik kamar (chamber music), adalah musik klasik yang dimainkan oleh sekelompok
musisi berjumlah kecil (biasanya empat orang) dan dipentaskan di ruangan berskala
kecil.

Paduan suara

Seriosa

Berdasarkan gubahan bentuk, maka seni pertunjukan musik dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pertunjukan musik kontemporer atau eksperimen. Pengembangan bentuk yang
kontemporer berlaku pada setiap genre di atas, artinya merujuk pada eksperimentasi
yang melebihi apa yang sudah dilakukan sebelumnya (disemangati oleh pencarian
kemungkinan baru), menekankan sifat anti pada kaidah-kaidah kompositoris, bahkan
anti pada bentuk-bentuk penyajian musikal yang baku dan mapan. Dari sudut pandang
kreativitas, musik kontemporer dimengerti sebagai musik baru yang dibuat dengan kaidah
dan suasana yang baru, berkembang dari gagasan yang menempatkan proses eksplorasi
bunyi sebagai yang utama dan medium ekspresi yang tak terbatas agar dapat mewadahi
gagasan penciptanyayang pada akhirnya lepas dari konsep musik yang enak didengar saja.
Gubahan bentuk musik kontemporer dapat dilakukan di semua genre. Komponis kontemporer
Indonesia seperti Amir Pasaribu, Dua Srikandi piano (Trisutji Kamal dan Marusya
Nainggolan Abdullah) menggarap musik kontemporer dalam idiom tradisi Barat, yaitu
materi garapannya dapat berupa musik tradisional, namun teknik garapannya memakai
prinsip-prinsip musik barat, misalnya nuansa gending gamelan Jawa yang ditranskripsikan
ke dalam piano. Lain halnya dengan A.W. Sutrisna, Rahayu Supanggah, Wayan Sadra,
Dody Satya Ekagustdiman, dan Peni Candra Rini yang menggarap musik kontemporer
yang bersumber dari unsur tradisional, misalnya, memetik kecapi dengan gesekan kuku
jari, atau mengubah fungsi degung sebagai instrumen solo padahal seharusnya dimainkan
dalam sebuah ensemble bersama. Sedangkan Slamet Abdul Sjukur, Sapto Rahardjo, Ben
Pasaribu, Tony Prabowo, dan Otto Sidharta menggarap musik kontemporer dengan
mencampurkan budaya Indonesia dan budaya Barat. Tony Prabowo misalnya, dikenal
akan kemahirannya dalam melakukan eksplorasi teknik permainan yang tidak biasa
pada alat-alat akustik untuk menciptakan tuntutan karakter suara yang dibutuhkan,
yang tidak hanya mengubah karakteristik bunyi, tetapi juga mempengaruhi spektrum
harmoni warna musik.Begitu pula dengan karya Slamet Abdul Sjukur, berjudul Tetabuhan
Sungut, yang sesungguhnya adalah karya canon vocal, namun strukturnya menggunakan
teknik garapan gending.
2. Pertunjukan musik nonkontemporer atau noneksperimen. Musik nonkontemporer
atau noneksperimen merujuk pada gubahan musik yang bentuknya relatif tidak berubah
dari zaman ke zaman dan tidak terjadi eksplorasi dalam teknik permainan maupun bunyi
diluar dari apa yang lazimnya dilakukan.

Elaborasi mengenai pembagian seni pertunjukan di atas mencakup semua jenis seni pertunjukan
baik dari genre, maupun tujuan penciptaan. Namun demikian, tidak semua jenis seni pertunjukan
tersebut dapat dikembangkan dalam kerangka ekonomi kreatif karena selain potensi nilai sosial
dan budaya, potensi nilai ekonomi yang diberikan oleh seni pertunjukan tersebut, baik langsung
(direct economic benefit) maupun tidak langsung (indirect economic benefit) adalah salah satu faktor
utama yang harus dipertimbangkan.

22

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Oleh karena itu, pengembangan ekonomi kreatif subsektor seni pertunjukan membatasi ruang
lingkupnya pada jenis-jenis pertunjukan:
taritradisional, kreasi baru, modern, kontemporer;

teatertradisional, modern, transisi, kontemporer-eksperimental (avant-garde), komersial,


nonkomersial;

musikpopuler-kontemporer (eksperimentasi); tradisional, world music, klasik Barat


(kontemporer dan nonkontemporer);

lintas disiplincontoh: wayang, sendratari, sastra lisan, musikalisasi puisi.

Seni pertunjukan yang dimaksud dalam kerangka ekonomi kreatif adalah yang disajikan sebagai
produk seni yang dipentaskan untuk dinikmati atau dikonsumsi sebagai produk seni, bukan sebagai
jasa seni. Seni pertunjukan sebagai jasa dapat dilihat pada seni pertunjukan sebagai pengisi acara
nonseni budaya, pengisi acara TV, wedding singer, maupun home band. Tidak termasuk dalam
ruang lingkup pengembangan ekonomi kreatif adalah jenis seni pertunjukan yang dilakukan
sebagai bagian dari proses ritual sosial, adat, maupun religius.
Gambar 1-1 Ruang Lingkup dan Fokus Pengembangan Seni Pertunjukan
BERDASARKAN
PERKEMBANGAN
/GENRE

SENI
PERTUNJUKAN

Tradisional

KATEGORI BESAR
Kreasi Baru
Tari
Modern

Kontemporer

Lintas Disiplin

BERDASARKAN
PENGELOLAAN
KELOMPOK

Tradisional

Amatir

Modern

Non-Komersial

Transisi

Komersial

Teater

BERDASARKAN
BENTUK PENYAJIAN
DAN KONSUMSI

Produk Seni
Avant Garde
Jasa Seni

Bagian dari ritual


sosial, adat, dan
religius

Populer

Tradisional
Pertunjukan
Musik

BERDASARKAN
GUBAHAN BENTUK

World Music

Kontemporer
/Eksperimen

Klasik Barat

Non-Kontemporer
/Non-Eksperimen

Fokus pengembangan Seni Pertunjukan

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

23

1.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan


1.2.1 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Dunia
Perkembangan teater di Inggris pada abad ke-16 bisa dijadikan salah satu titik awal berkembangnya
seni pertunjukan menjadi sebuah industri. Sebelum memasuki masa penyair dan penulis drama
legendaris William Shakespeare, naskah drama hanya ditulis oleh beberapa orang (kolektif) dan
anonim. Seiring berkembangnya teater menjadi seni populer dan semakin menarik lebih banyak
penonton, permintaan dan kebutuhan akan naskah-naskah baru pun meningkat.
Selama beberapa abad, seni pertunjukan hadir semata-mata sebagai hiburan orang kebanyakan.
Memasuki abad ke-19, forum kolonial seperti colonial exhibition di Paris, menjadikan seni
pertunjukan sebagai ajang pementasan beragam kesenian negeri jajahan.
Sementara di Amerika Serikat, Civil War atau Perang Saudara (1860-1865) membawa perubahan
besar pada dunia seni pertunjukan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya peran
manajerial sejalan dengan perkembangan tur, yang juga dipacu oleh pesatnya pembangunan jalur
kereta api pada saat itu.
Sejarah perkembangan seni pertunjukan dan manajemennya terkait erat dengan sejarah
perkembangan teater. Sejalan dengan kebutuhan fungsi yang semakin banyakseperti fungsi
manajer, administrator, dan penampil utamapara seniman terpaksa merangkap beberapa fungsi
sekaligus. Perubahan kebutuhan fungsi inilah yang mengawali perkembangan peran pemilik
dan manajer gedung seni pertunjukan sebagai pihak yang tepat untuk melakukan fungsi-fungsi
manajemen seni pertunjukan tersebutyang seharusnya tidak dibebankan kepada seniman.
Kemudian pada awal abad ke-20, Eropa Barat menjadi pemicu gerakan modernisme seni, termasuk
dalam seni pertunjukan. Salah satu tokoh pada masa ini adalah Isadora Duncan, yang mendirikan
sekolah tari modern pertama di Berlin pada tahun 1905, diikuti oleh Martha Graham pada tahun
1926 dengan penampilan 18 orang penari bertelanjang kaki (barefoot) dan kostum mencolok di
New Yorkmenjadikannya pioner revolusi tari modern di Amerika.
Sementara itu, para seniman dan artisan Rusia Putih (atau orang-orang Rusia yang menolak
Revolusi Bolshevik di tahun 1917) melarikan diri ke Paris, dan di bawah pimpinan impresariat
Serge Diaghilev, mereka mendirikan Ballets Russes (1909-1929), sebuah dance company yang
legendaris.
Memasuki abad ke-21, negara-negara Eropa Barat yang menerapkan kebijakan kebudayaan
ala negara-negara kemakmuran (welfare state) saling terhubung melalui jejaring teater publik
mereka. Kedekatan geografis negara-negara Eropa Barat, juga sistem kuratorial (wacana dan arah
artistik) yang mirip, serta referensi pendidikan seni yang relatif serupa, membuat mereka saling
mengundang seniman (touring) serta mementaskan karya masing-masing seniman. Pada akhirnya,
jejaring ini diperluasdengan skema koproduksi. Artinya, selain dapat menawarkan karyanya
untuk dipentaskan di teater-teater publik negara-negara yang berbeda itu, seorang seniman juga
dapat mencari dukungan produksi (berupa dana, tempat berlatih, dan lainnya). Tentu hal ini
bisa terjadi karena kesamaan arah kuratorial teater-teater tersebut, misalnya, gedung teater yang
mengkhususkan pada pertunjukan balet klasik seperti Royal Opera House (ROH) di London,
Inggris, kemungkinan besar akan menjalin kerjasama dengan gedung pertunjukan balet klasik

24

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

lainnya di Prancis ataupun Spanyol. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, jejaring di
Eropa ini juga meluas ke negara-negara bekas blok timur seperti Polandia dan Estonia.
Secara artistik, seni pertunjukan kontemporer di Eropa Barat cenderung mempertahankan
eksperimentasi yang konseptual, yang telah dimulai sejak pertengahan 1990-an. Dalam bidang
tari kontemporer misalnya, Brussels menjadi pusat baru yang menandingijika bukan akhirnya
menyamaiBerlin, terutama setelah kemunculan koreografer Anne Teresa de Keersmaeker. Di
sini, tari tidak lagi dipentaskan dengan cara yang konvensional (sebagai gerak gemulai yang indah
yang semata-mata bersandar pada virtuositas kepenarian serta komposisi ruang), namun lebih
sebagai obyek yang dipertanyakan kembali atau diinvestigasi. Sementara itu, baik di negara-negara
Eropa Barat serta Amerika Utara (Amerika Serikat), muncul tren yang merupakan perluasan dari
performance art yang secara historis sesungguhnya berakar pada seni rupa. Di Inggris, jenis ini
dinamai live arts. Seringkali, kesenian jenis ini mencampur-baurkan sisi teatrikal, performatif,
dan seni visual yang landasannya lagi-lagi adalah gagasan sebagai konsep itu sendiri. Unsurunsur dramatik dan representasional yang amat mewarnai seni pertunjukan periode sebelumnya
(modern) lantas dipertanyakan kesahihannya dalam kaitan muatan gagasan dengan kenyataan
tubuh keseharian.
Di Indonesiadan kebanyakan Asiakecenderungan ini masih pelan-pelan terjadi, sehingga
terjadi kesenjangan pemahaman bahkan di antara para praktisi. Itulah salah satu alasan mengapa
seni pertunjukan karya seniman Indonesia dapat dibilang jarang terwakili dalam forum-forum
(festival) seni kontemporer yang dianggap paling progresif di Eropa Barat. Seringkali, pengalaman
modernisme di pentas seni pertunjukan Indonesia masih disalah-tafsirkan sebagai ketertinggalan
secara artistik, sehingga forum-forum festival yang tertarik dengan seni pertunjukan Indonesia
masihlah forum-forum khusus yang dibingkai oleh identitas ke-Asia-an, misalnya seperti pusat
kesenian Asia Society di New York atau House of the World Arts di Berlin.
Perkembangan seni pertunjukan di Asia Tenggara sendiri mengalami pergerakan yang berbeda
dengan negara-negara Eropa. Perkembangan seni pertunjukan di negara-negara Asia Tenggara
menunjukkan kesamaan historis, karena mendapatkan pengaruh dari kolonialisme negara-negara
Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugal dan Spanyol, juga sebagai persinggahan pedagang-pedagang
dari negara-negara sekitar seperti Tiongkok dan India. Masa kolonialisme yang berlangsung
selama berabad-abad ini membuat friksi antar budaya menjadi tidak terelakkan, terutama antara
seni modern yang berkembang di negara-negara Barat dengan seni tradisional Asia Tenggara.
Di negara yang menerapkan sistem demokrasi sosialis atau negara kemakmuran (welfare state),
pemerintah mengambil peran aktif dalam mendukung seniman. Mereka membentuk dewan-dewan
kesenian (arts council) antara lain sebagai badan pendanaan ( funding body) yang memberikan
dukungan finansial dan lainnya bagi seniman berdasarkan prestasi (merit). Di Indonesia, kebijakan
kultural semacam ini tidak pernah dilakukan.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

25

Pertunjukan Nang Yai Wat Khanorn di Provinsi Ratchaburi


Sumber: flickriver.com

Perkembangan Seni Pertunjukan di Thailand


Seni pertunjukan di Thailand berevolusi selama berabad-abad dan telah berkembang
dengan ciri khasnya sendiri. Praktik-praktik seni pertunjukan kontemporer Thailand telah
jauh melampaui praktik-praktik yang berasal dari negara-negara Barat dan Asia Tenggara
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi dapat mendorong terciptanya tradisi baru.
Sebagai contoh, Nang Yai (wayang kulit berukuran besar), tidak dapat ditemukan dalam
teater Melayu atau Jawa, di mana wayang kulit dominan di kedua daerah ini. Meskipun
teknik pedalangan Jawa dan Melayu masih digunakan, dalang Nang Yai tampil di depan
layarsebuah gaya yang tidak ditemukan di Jawa maupun Melayu.
Selain pengaruh dari negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara, seni pertunjukan
Barat juga turut mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan kontemporer Thai. Sebagai
contohnya adalah pertunjukan teater pada masa pemerintahan Raja Rama VI. Meskipun
di tengah tekanan pengaruh imperialisme, teater pada masa itu tetap mengadopsi teori
dan praktik teater Eropa namun mengadaptasi dan menggubahnya ke dalam konteks Thai,
menyesuaikan penonton Thailand.
Selanjutnya pada 1970-an, terjemahan naskah-naskah drama Barat sangat berpengaruh pada
munculnya lakon phutsamai mhai (drama lisan modern). Selain itu, fakultas tari, musik, dan
teater di universitas-universitas Thailand pun mempekerjakan pengajar-pengajar dari Eropa
dan Amerika untuk mengembangkan kurikulum dan mendidik seniman-seniman baru.
Seniman-seniman ini lalu melanjutkan pendidikan pascasarjana, memperoleh pelatihan
tingkat lanjut, dan bekerja di luar negeri. Sekembalinya ke Thailand, mereka direkrut oleh
universitas di mana mereka mengenyam pendidikan sarjananya dahulu atau oleh professional
companies, di mana mereka menerapkan ilmu Barat yang mereka miliki lalu menciptakan
karya yang merupakan gabungan antara teori dan praktik Barat dan tradisi yang merespons
isu-isu global pada masanya, juga menciptakan genre seni pertunjukan baru seperti lakon
khanob niyom mhai (teater tradisi baru, atau amalgam dari teater tradisi dan modern).

26

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Sikap yang diambil oleh Thailand dalam mengembangkan seni pertunjukannya tercermin
dari pernyataan Raja Rama VII dalam wawancaranya dengan New York Times pada saat
kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1931: Our slogan is to adapt, not to adopt. The
Siamese people are an adaptable people.
Sumber: Asian Arts Theatre: Research on the Actual Condition of Performing Arts in Asia. disunting oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Korea. Seoul: Yu, In Chon

1.2.2 Sejarah dan Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia


Ragam tradisi lokal mewarnai kekayaan khasanah seni pertunjukan Indonesia, yang juga kental
mempengaruhi perkembangan seni pertunjukan Indonesia pada umumnya. Terminologi tradisi
atau tradisional; modern dan kontemporeryang lagi-lagi diadaptasi dari wacana pengetahuan
Baratcenderung diterapkan sebagai kategori atau genre yang tidak selalu jelas batas-batasnya
dalam seni pertunjukan di Indonesia.
Selain tema serta bentuk pertunjukan, salah satu penanda kunci perbedaan kategorial ini adalah
proses transmisi sebuah bentuk kesenian. Misalnya, dalam konteks tradisional atau kesenian
tradisi, transmisi terjadi antar generasi atau diturunkan di dalam lingkup komunitas kultural
yang homogen dan terikat oleh nilai-nilai yang sama. Sementara dalam konteks modern, transmisi
seringkali terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi modern, atau dimotivasi oleh
pengalaman-pengalaman bertemu dengan yang liyan (the other) yang diserap melalui perjalananperjalanan sang seniman yang membuat mereka keluar dari konteks budayanya (ke luar negeri,
misalnya). Meski demikian, dalam praktiknya tidak selalu ada perbedaan yang jelas antara
keduanya, karena ada proses transisi bagaimana sebuah generasi seniman Indonesiamisalnya
mereka yang lahir antara 19301940-anyang menyerap inspirasi serta mengasah kemampuan
artistiknya baik melalui lingkup tradisi maupun modern.
Berbeda dengan kesenian yang mediumnya memang berakar pada modernitas (seperti fotografi
dan film), seni pertunjukan adalah bentuk ekspresi kesenian yang dilansir telah ada di bumi
Nusantara sejak zaman purba. Maka, pertaliannya dengan seni pertunjukan global tidak semulus
cabang seni berbasis media seperti fotografi dan film yang memang berakar pada modernitas tadi.
Kontekstualisasi adalah kata kunci dalam mengaitkan pertalian lokal-global ini.
Pada awalnya, praktisi kesenian Indonesiapemain musik, penari, aktor, sutradara serta
pendukung-pendukung artistik lainnyamemang berasal dari lingkungan tradisi lokal yang
beragam tersebut, yang umumnya terkait erat dengan identitas kesukuan serta ikatan-ikatan
primordial lainnya. Modernitas serta proses modernisasi yang menyertai, mengubah bentuk serta
konteks seni pertunjukan Indonesia dari waktu ke waktubaik melalui proses yang organik
yang tak terelakkan terjadi di dalam berbagai komunitas kesenian, maupun melalui intervensi
atau strategi kebudayaan nasional seperti tercermin dalam kebijakan kebudayaan serta proses
perlembagaan (institusionalisasi) pendidikan seni pertunjukan yang dilakukan negara dari satu
pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.
Seni pertunjukan modern, sebagaimana puisi modern, novel modern, ilmu pengetahuan sosial
modern, mula-mula masuk di tengah-tengah masa kolonial pada sekitar abad ke-17, sebagai

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

27

sesuatu yang datang dari Eropa. Kehadirannya merupakan bagian dari sikap kebudayaan yang
terbuka: menerima serta mengadaptasi secara bertahap kebudayaan-kebudayaan asing yang
datang, sembari mencari padanannya dalam konteks lokal. Mula-mula ia bekerja dengan orientasi
publik Eropa: kerani-kerani perusahaan dagang Inggris, lalu perusahaan dagang dan kerajaan
Belanda di Hindia dan bangsawan dan intelektual tanah jajahan yang mempelajari alam pikir
(dan gaya hidup) tuannya. Guliran selanjutnya, seni pertunjukan (teater, tari, musik) modern
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat kelas menengah perkotaan, yang mulai
memasuki kultur baru (modernisme).11
Keterkaitan dan pertalian Indonesia dengan yang global mulai marak di penghujung abad ke-19,
ketika kelompok-kelompok seni dari Hindia Belandaumumnya gamelan Jawa dan Bali
berpentas di kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat.12 Pementasan dalam konteks kolonial
ini di panggung beragam ajang world fair atau pameran keberhasilan industrialisasi oleh para
negara penjajahmenciptakan imajinasi-imajinasi awal tentang seni pertunjukan Indonesia
selanjutnya yang diproyeksikan melalui lensa Orientalisme seperti yang dapat ditemukan di dalam
pembacaan-pembacaan para seniman Eropa waktu itu, misalnya Antonin Artaud tentang Bali
(1938) ataupun karya-karya seni mereka seperti perintis tari modern Amerika Ruth St. Denis
yang melakukan tur ke Asia Timur Jauh pada 1925-1926, termasuk ke Batavia dan beberapa
kota di Jawa.
Setelah Proklamasi Republik Indonesia pada 1945, sifat keterhubungan dengan dunia seni
pertunjukan global pun berubah, bergeser dari Orientalisme menuju masuknya pengaruh agendaagenda politik pasca Perang Dunia II. Para seniman Indonesia pun mulai menjelajahi dunia: dari
Peking hingga Paris, dari Moskow hingga New York. Pada penghujung akhir 1960-an, misalnya,
banyak seniman atau praktisi seni pertunjukan Indonesia (teater, tari, dan musik) belajar ke
luar negeri, terutama ke Amerika Serikat sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan Amerika
Serikat, selain juga ke negara-negara lain seperti Uni Soviet (untuk film dan tari) bahkan India.13
Beberapa di antara para seniman itu mengambil gelar pascasarjana di jurusan seni di universitasuniversitas di Amerika Serikat, yang waktu itu, masih menggolongkan seni-seni non-Barat
ke dalam rubrik Seni Etnik. Setelah lulus, mereka kembali ke Indonesia dan mengajar di
akademi seni nasional sehingga mereka pun ikut menentukan arah kurikulum pendidikan
tinggi kesenian, misalnya, R.M. Soedarsono di bidang tari dan I Made Bandem di bidang
musikkeduanya menuntut ilmu di Amerika Serikat pada 1960-an dan awal 1970-an.14
Setelah Indonesia merdeka, seni pertunjukan pun mengalami transformasi, baik dengan menjadi
menasional atau menjadi bagian dari identitas kebudayaan nasional, antara lain melalui proses
pelembagaan di dalam sistem pendidikan modern yang mengadaptasi pendidikan seni di dunia

(11) Op. cit., Umar Kayam, 1981.


(12) Op. cit., Cohen, 2010.Lihat: Marieke Bloembergen, Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies
at the World Exhibitions, 1880-1931, diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Beverly Jackson (Singapore: Singapore
University Press, 2006).
(13) Lihat: Jennifer Lindsay dan Maya Liem, Heirs to World Culture 19501965: An Introduction, dalam Jennifer Lindsay dan
Maya Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012). Versi elektroniknya dapat
diunduh di: www.kitlv.nl/book/show/1307. Terakhir diakses pada 9 Januari 2012; R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan: Dari
Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003); dan op. cit., Helly Minarti, 2014.
(14) Ibid., R.M Soedarsono, 2003.

28

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Barat (konservatori). Awalnya, konservatori nasional ini bertujuan untuk melahirkan senimanseniman Indonesia di bidangnya, dengan perkembangan sebagai berikut:

Konservatori Karawitan atau dikenal sebagai KOKAR (1950) di Yogyakarta dapat dibilang
sebagai cikal-bakal lembaga pendidikan semacam ini. KOKAR berevolusi menjadi beragam
akademi seni seperti ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), ASRI (Akademi Seni
Rupa Indonesia), ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) pada 1960-an,
dan pada 1980-an kembali berevolusi menjadi Sekolah Tinggi Seni (STSI) sebelum
akhirnya menjadi Institusi Seni Indonesia (ISI) pada 19902000-an yang tersebar di empat
kota (Surakarta, Yogyakartakeduanya di Jawa, Denpasar di Bali, Padang Panjang di
Sumatra Barat). Saat ini, beberapa kampus ISI ditugaskan untuk merintis pembentukan
ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang akan dibuka di Banda Aceh, Tenggarong,
Makassar, dan Jayapura.

Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dibentuk belakangan pada 1970
memiliki sejarah yang agak berbeda dari keempat ISI di atas sebelum akhirnya menjadi
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jika keempat ISI berada langsung di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdiknas), maka IKJ adalah bagian dari latar
historis empat lembaga terkait yang bernaung di bawah Pemerintah Kota DKI Jakarta.
Keempat lembaga tersebut adalah PKJ-TIM (Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail
Marzuki), Akademi Jakarta (AJ), serta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai
dan dibentuk oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 19661977. IKJ berstatus
sebagai akademi swasta yang dananya tergantung dari perolehan hibah Pemda DKI Jakarta
serta dari pemasukan-pemasukan lainnya.

Model konservatori yang tujuannya melahirkan seniman perlahan dilengkapi dengan bidang kajian
yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya). Oleh karena
itu, dapat dibilang bahwa kajian di bidang seni pertunjukan terbilang baru dalam konteks dan
praktik Indonesia. Padahal, kajian adalah syarat dan penanda utama bagi perkembangan seni
pertunjukan sebagai sebuah sistem pengetahuanatau sebuah sektor yang memiliki parameterparameter tertentuterlebih jika Indonesia ingin terlibat secara aktif, berkontribusi hingga tingkat
wacana di dalam konteks global.
Secara bertahap mulai dari 1980-an dan seterusnya, pertunjukan-pertunjukan mengalir antara
Indonesia dan dunia, dan bentuk-bentuknya mulai terbuka dan beragam. Kebangkitan Jepang
dan Singapura sebagai pusat pertunjukan antarbudaya, dengan fokus kolaborasi antar-Asia,
telah memberikan kesempatan yang besar bagi seniman-seniman Indonesia untuk menampilkan
karya-karyanya. Singapura, khususnya Singapore Arts Festival, telah menjadi tempat pertunjukan
bagi banyak produksi karya seni pertunjukan Indonesia. Sedangkan Jepang telah menjadi tujuan
utama bagi kelompok-kelompok teater untuk melakukan touring, sekaligus produksi kolaborasi
dengan seniman-seniman Jepang.
Memasuki abad ke-21, proses akademisasi kesenian pertunjukan Indonesia pun melengkapi
siklusnya dengan dibukanya program pascasarjana S2 (master) dan S3 (doktoral) di beberapa
ISI, yang terbagi ke dalam bidang kajian dan penciptaaan. Proyek nasionalisasi inipun berlanjut
dengan dirintisnya ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) sejak paruh kedua dekade abad ke-21
di kota-kota seperti Banda Aceh (Nanggroe Aceh), Tenggarong (Kalimantan Timur), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua).

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

29

Sementara itu, di luar ruang akademis, proses profesionalisasi seni pertunjukan itu sendiri
berkembang lambat dan sporadis. Seniman lulusan institut-institut seni ini belum tentu mampu
bekerja sebagai seniman penuh waktu, karena minimnya dukungan dan infrastruktur. Hanya
segelintir yang berani menjalani pilihan menjadi seniman mandiri (independen), dengan konsekuensi
harus selalu bernegosiasi dengan situasi yang tidak kondusif. Sebagai perbandingan, di Inggris,
proses profesionalisasi di bidang teater telah berlangsung sejak abad ke-16 di zaman penyair dan
penulis naskah William Shakespeare, ketika naskah drama mulai ditulis oleh perorangan (tidak
lagi kolektif dan anonim) untuk memenuhi kebutuhan pentas yang makin sering hingga empat
kali seminggu.
Model profesionalisasi seni pertunjukan lainnya adalah intervensi negara. Pada masa setelah Perang
Dunia II, misalnya, beberapa negara berkembang membentuk national performing arts company
(kelompok seni pertunjukan nasional). Misalnya saja RRC (Tiongkok) maupun Vietnam. Dengan
model ini, banyak seniman pertunjukan terserap bekerja penuh waktu dan bergaji dengan status
pegawai negeri. Pada 2003, disinyalir ada sekitar 6.000 penari di seluruh RRC yang bergabung
dalam berbagai kelompok seni pertunjukan lokal dan nasional yang dibentuk oleh beragam
instansi pemerintah. Intervensi seperti ini tidak pernah sepenuhnya terjadi di Indonesia.
Seni pertunjukan di Indonesia umumnya masih dikonsumsi secara tradisional, yaitu seniman hanya
akan menerima bayaran ketika pertunjukan ditampilkan (commisioned performance) sebagai pengisi
acara upacara atau perhelatan khusus. Hanya sebagian kecil seniman pertunjukan (baik individual
maupun kelompok atau kolektif) yang mampu mengakses pendanaan yang ditawarkan secara
transparan dengan sistem terbuka, yang biasanya hanya diterapkan oleh lembaga-lembaga asing.
Sejak 1999, Yayasan Kelola (yang antara lain didanai Ford Foundation selama paling tidak 10
tahun pertama) merintis model hibah berupa dukungan finansial untuk karya baru maupun
touring ke tiga kota di Indonesia, yang bisa diakses secara transparan (melalui aplikasi atau
lamaran yang harus memenuhi persyaratan tertentu). Sementara itu, sampai saat ini, dukungan
pemerintah untuk seni pertunjukan masih sporadis dan hanya berfokus pada pemberian dana
atau sponsor untuk penyelenggaraan pertunjukan-pertunjukan tertentu, bukan pada dukungan
terus-menerus terhadap kelompok seni. Akibatnya, seni tradisi saat ini berkembang menjadi
komoditas pariwisata dan hiburan (entertainment) sementara seni modern atau kontemporer
dibiarkan mencari jalan keberlangsungannya sendiri.
Namun demikian, terjadi perkembangan menarik di dunia seni pertunjukan Indonesia yang
ditandai dengan banyaknya interaksi internasional yang berlangsung di dalam festival-festival lokal
dan ruang-ruang independen yang berdiri sejak berakhirnya masa Orde Baru Soeharto. Teater
Salihara adalah contoh dari ruang independen yang telah menjadi tempat pertunjukan utama bagi
pementasan kelompok-kelompok teater, musik dan tari eksperimental, juga sebagai tuan rumah
touring dari Eropa, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya, serta pementasan kolaborasi lokalinternasional. Beasiswa internasional dan program-program residensi untuk seniman-seniman
Indonesia, yang membuka wawasan mengenai praktik-praktik seni pertunjukan di luar negeri,
memberikan kontribusi signifikan pada meningkatnya jumlah pertunjukan-pertunjukan Indonesia
di kancah internasional, begitu pula pertunjukan-pertunjukan internasional di Indonesia. Aliran
pertunjukan internasional saat ini begitu banyak dan lebih kolaboratif dibandingkan dengan
masa lalu.

30

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Pementasan Ontosoroh di Festival OzAsia 2013, Adelaide.


Foto: Sam Oster

Ontosoroh
Ontosoroh adalah karya yang menggabungkan lagu, musik, dan tarian yang terinspirasi dari
karakter Jawa Nyai Ontosoroh dalam novel bersejarah Bumi Manusia, karya Pramoedya
Ananta Toer. Ontosoroh merupakan hasil kolaborasi antara penyanyi dan komposer klasik
Jawa-kontemporer Indonesia, Peni Candra Rini, dengan penari dan koreografer Australia
keturunan Indonesia, Ade Suharto, diiringi perkusi oleh Plenthe, gender oleh Iswanto, dan
biola oleh Prisha Bashori Musthofa. Ontosoroh dipentaskan di Adelaide Festival Centre dalam
Festival OzAsia, September, 2013.
Walaupun terlatih untuk menyanyi klasik Jawa, Peni tidak segan untuk mengeksplorasi teknik
baru dalam kolaborasinya dengan Ade. Karena sosoknya yang cukup kompleks, karakter
utama Nyai Ontosoroh dinilai sebagai inspirasi yang tepat untuk mewujudkan karya Ontosoroh
sebagai wadah untuk menunjukkan keragaman kemampuan artistik para seniman yang terlibat
di dalamnya. Keragaman instrumen yang dimainkan, baik yang berasal dari Timur maupun
Barat, dibawakan dengan luwes dan mahir, dengan menggunakan teknik yang menyelaraskan
gaya tradisional dan kontemporer.
Sumber: dirangkum dari berbagai sumber.

BAB 1: Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

31

Gambar 1-2 Perkembangan Seni Pertunjukan di Indonesia

32

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

34

Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah Kuliner 20152019

BAB 2
Ekosistem dan Ruang Lingkup
Industri Seni Pertunjukan
Indonesia

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

35

2.1 Ekosistem Seni Pertunjukan


2.1.1 Definisi Ekosistem Seni Pertunjukan
Peta ekosistem subsektor seni pertunjukan adalah peta yang dibuat dengan menggunakan
pendekatan kondisi ideal atau modelling untuk menggambarkan bentuk ideal industri seni
pertunjukan secara komprehensif dan mendalam serta untuk mengembangkan industri kreatif
seni pertunjukan secara berkelanjutan. Peta ini menggambarkan aktivitas yang terjadi di setiap
tahapan kreatif, para pelaku yang terlibat di dalamnya, dan keterkaitan tiap-tiap komponen
sebagai sebuah ekosistem secara berkelanjutan, sehingga seni pertunjukan dapat berkembang
dalam konteks industri.
Modeling dilakukan dengan memetakan ekosistem yang meliputi empat komponen, yaitu:
1. Rantai nilai kreatif (creative value chain);
2. Lingkungan pengembangan (nurturance environment);
3. Pasar: presenter, penonton (presenter-audiences);
4. Pengarsipan (archiving).
Rantai nilai kreatif yang terdapat dalam peta ekosistem adalah proses yang pada dasarnya dilalui
oleh para pelaku seni pertunjukan, baik seni pertunjukan tari, teater, dan musik, komersial
maupun nonkomersial, dalam memproduksi sebuah karya atau pertunjukan. Di dalam rantai
nilai kreatif inilah terjadi pertambahan nilai dari satu proses ke proses berikutnya. Nilai yang
diciptakan dalam proses ini, mencakup nilai ekonomi (tangible) dan nilai sosial-budaya (intangible).
Di dalam setiap proses dalam rantai nilai kreatif, terdapat aktivitas utama, aktivitas pendukung,
dan peran utama yang melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Lingkungan pengembangan (nurturance environment) adalah lingkungan yang dapat menggerakkan
dan meningkatkan kualitas proses penciptaan nilai kreatif, yang terdiri atas pendidikan dan
apresiasi. Pendidikan dalam seni pertunjukan tidak hanya ditujukan untuk seniman, tetapi juga
untuk penonton, pengelola atau penyelenggara pertunjukan, serta kritikus seni. Sementara itu,
literasi masyarakat terhadap seni dan budaya diperlukan agar karya seni pertunjukan dapat terus
diapresiasi, demikian juga apresiasi berupa penghargaan yang diberikan kepada seniman, karya,
dan proses kreatif seni pertunjukan.

2.1.2 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan


A. Rantai Nilai Kreatif
A.1. Proses Kreasi
Proses kreasi adalah proses penciptaan sebuah karya seni berupa pertunjukan yang melibatkan
berbagai tahapan mulai dari konseptualisasi ide (gagasan), eksplorasi di ruang studio hingga
detail dramaturgis (pemanggungan) lainnya.

Aktivitas Utama dalam Proses Kreasi


Proses kreasi mencakup:
1. Konseptualisasi ide: penciptaan ide atau konsep awal karya seni pertunjukan yang hasilnya
dapat berupa draf naskah atau musical score, ide visual, maupun ide koreografis (untuk
36

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

seni tari). Kegiatan utama dalam proses ini adalah penelitian dan pengembangan. Pelaku
utama dalam proses ini dikategorikan sebagai generative artists, yaitu para seniman yang
memicu lahirnya sebuah karya dengan membuat konsep dan kerangka acuan produksi.
Seniman yang termasuk dalam kategori ini pada umumnya adalah koreografer, sutradara,
penulis naskah (playwright), komposer, dan penulis lagu.
2. Proses eksplorasi, interpretasi, dan finalisasi secara menyeluruh atas sebuah ide karya
seni pertunjukan sehingga menghasilkan sebuah desain. Kegiatan utama dalam proses
ini adalah interpretasi, realisasi, dan finalisasi naskah atau musical score, ide visual, dan
ide koreografis.
Pelaku utama dalam proses ini:
a. Generative artists atau seniman pencipta, yaitu seniman yang mencetuskan konsep
awal dan kerangka produksi. Yang termasuk seniman pencipta pada umumnya:

Koreografer atau penata tari, yaitu orang yang menciptakan konsep sebuah
pertunjukan tari (koreografi).

Komposer atau komponis, yaitu orang yang menciptakan hasil karya musik,
baik berupa komposisi musik instrumental, maupun vokal dalam format solo,
duo, trio, kuartet maupun kuintet dan seterusnya sampai dengan orkestra,
kemudian meneruskan kepada orang lain untuk memainkannya atau ditafsir
oleh konduktor.

Pengaransir musik, yaitu orang yang merancang aransemen musik untuk


sebuah lagu.

Penulis naskah, yaitu orang yang menulis naskah drama.

Sutradara, yaitu orang yang menafsir lakon atau menyusun ide dasar serta visi
estetika pertunjukan lalu memimpin kerja tim kreatif dalam perwujudan ide
serta visi tersebut. Dalam kajian teater, berkembang pemilahan antara sutradara
penafsir (interpretive director) dan sutradara pencipta (author director). Meskipun
klasifikasi ini bisa saling berkelindan, pembagian dasarnya disusun berdasarkan
penjelasan di bawah ini:

Sutradara penafsir, sutradara yang menginterpretasikan naskah lakon lalu


menyusun ide penciptaan berdasarkan pembacaan dan tafsir (yang biasanya
tak jauh dari pengertian yang disarankan naskah lakon).

Sutradara pencipta, menyusun ide penciptaan lebih dari gagasan di


pikirannya sendiri. Biasanya pertunjukan dengan sutradara pencipta disusun
tidak melulu berdasarkan naskah lakon, atau menggunakan lebih daripada
satu sumber teks. Sekalipun menggunakan dasar naskah lakon, sutradara
pencipta melakukan tafsir yang jauh dari pengertian yang disarankan naskah
lakon yang digunakan dan kerap menyandingkannya dengan teks-teks lain.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

37

Gambar 2-1 Peta Ekosistem Seni Pertunjukan

38

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Mira Lesmana bersama tim kreatif Musikal Laskar Pelangi: Andrea Hirata, Riri Riza, Toto Arto, Jay
Subiakto, dan Erwin Gutawa.
Foto: Musikal Laskar Pelangi

Produser individu atau independen, yaitu orang yang memiliki ide untuk
memproduksi sebuah pertunjukan dengan orientasi serta target-target tertentu, lalu
menyusun suatu rencana produksi dengan mengundang (atau mengontrak) senimanseniman pertunjukan sebagai tim kreatif untuk mewujudkan ide pertunjukan
tersebut. Produser bisa sekaligus merangkap sutradara atau koreografer, tetapi
bisa juga bukan dari kalangan seniman. Pak Teguh pendiri Srimulat, misalnya,
adalah produser dari sekian banyak pertunjukan Srimulat. Contoh yang lebih
dikenal generasi muda, Mira Lesmana, misalnya, adalah orang yang memiliki
gagasan awal untuk membuat drama-musikal Laskar Pelangi, lalu meminta Riri
Riza, Erwin Gutawa, Jay Subiakto, dan seniman-seniman lain untuk mewujudkan
ide pertunjukan tersebut. Meskipun bukan sutradara atau koreografer, produser
biasanya juga terlibat dalam rancangan gagasan dasar pertunjukan.

b. Interpretive artists atau seniman pelaku, yaitu seniman yang mengolah konsep
dan kerangka yang diciptakan oleh seniman pencipta sebagai acuan pengembangan
konsep menjadi sebuah desain utuh. Interpretive artists pada umumnya adalah
penampil, seperti aktor, penari, penyanyi, konduktor, serta musisi atau seniman
visual seperti skenografer.
Pada prinsipnya, kerja seniman tidak berbeda dengan ilmuwan. Karya artistik lahir dari buah
pemikiran seniman yang dilakukan melalui pengamatan atau penelitian yang dalam dan tak
jarang memakan waktu yang cukup panjang. Penelitian yang dilakukan tidak hanya untuk
mendapatkan data, tetapi juga menciptakan atmosfer serta pengalaman artistik terkait dengan

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

39

tema yang akan diusung dalam karya yang ingin ditampilkan. Dengan demikian, estetika yang
dihasilkan benar-benar melayani proses investigasi terhadap tema tersebut.
R iset keaktoran, sebagaimana riset yang
dilakukan oleh fungsi-fungsi lain dalam
pertunjukan (sutradara atau para desainer),
juga banyak ditempuh melalui studi literatur
pendukung dari naskah lakon atau gagasan
penciptaan sutradara. Untuk naskah lakon realis,
misalnya, aktor kerap dituntut untuk mempelajari
psikologi peran dan melakukan kajian sosiologis
serta antropologis dalam batas tertentu untuk
memahami konteks sosial-budaya lakon yang
hendak dipentaskan. Dari kajian-kajian ini, sang
aktor bisa membangun dan menyusun imajinasi
peran yang akan dimainkannya. Di Indonesia,
aktivitas penelitian yang menjadi elemen proses
kreatif seorang seniman seperti yang dipaparkan
di atas jarang menjadi perhatian dan mendapat
dukungan dari pemerintah, sehingga pada
akhirnya seniman harus melakukan penelitian ini
secara swadaya. Tidak ada dukungan pendanaan
Sampul buku naskah dan catatan proses Goyang
secara berkala yang menjamin mereka untuk
Penasaran.
terus-menerus dapat melakukan penelitian yang
menghasilkan ide-ide segar yang dimanifestasikan dalam setiap karya.
Pada 2010, Naomi Srikandi sebagai sutradara Goyang Penasaran mendapatkan dana hibah dari
program Empowering Woman Artist (EWA) dari Yayasan Kelola, berupa kesempatan untuk
menghasilkan karya dalam dua tahun berturut-turut. Goyang Penasaran adalah karya tahun kedua,
yang merupakan adaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Intan Paramaditha. Catatan
selama proses penelitian mengenai tema yang diangkat, proses latihan hingga tahap menghasilkan
naskah drama, semuanya dibukukan lalu kemudian diterbitkan. Hal ini tergolong langka karena
hanya sedikit penerbit yang bersedia membukukan naskah drama yang dipentaskan. Padahal,
buku naskah drama merupakan sumber literatur yang sangat berguna bagi calon-calon seniman
seni pertunjukan yang ingin mengetahui proses kreatif di balik produksi sebuah karya teater.
Melalui contoh di atas, dapat kita lihat betapa pentingnya proses penelitian dan pengembangan
dalam konseptualisasi ide yang sampai saat ini tidak banyak menjadi perhatian pemerintah

Aktivitas Pendukung dalam Proses Kreasi


Proses kreasi adalah proses yang didominasi oleh para insan kreatif seperti seniman. Para
seniman dalam proses ini bisa berstatus sebagai pekerja lepas (freelancer) yang tidak tergabung
dalam organisasi seni apapun atau menjadi anggota sebuah kelompok (komunitas atau kolektif).
Terkadang, kolaborasi dan kelompok baru terbentuk ketika sebuah produksi akan dibuat.

40

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Di dalam organisasi atau kelompok seni pertunjukan, diperlukan kegiatan-kegiatan lain di luar
pengembangan nilai artistik untuk mendukung jalannya sebuah organisasi, yang mencakup:
1. Tata kelola organisasi: pengelolaan organisasi atau kelompok seni, manajemen sumber
daya manusia dan keuangan, serta administrasinya.
2. Penggalangan dana ( fund-raising): penggalangan dana untuk operasional organisasi
atau disebut juga contributed income, seperti misalnya pengajuan dana hibah, donasi,
subsidi, dan bantuan nontunai (in-kind) yang ditujukan pada pemerintah, perusahaan
swasta, maupun donatur individu.
Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki lembaga pemerintah yang melakukan investasi
berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding body), di mana para seniman dapat mengajukan
proposal untuk mendapatkan dana hibah bagi organisasi, kelompok atau produksi

Contoh lembaga pendanaan: The National Arts Council di Singapura


The National Arts Council (NAC) adalah badan yang dibentuk pada September 1991
sebagai perpanjangan tangan pemerintah Singapura untuk mengembangkan kesenian
di Singapura. NAC mempunyai misi untuk mengembangkan seni dan menjadikannya
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Singapura. Sejak 2012, induk
organisasi NAC adalah Kementerian Kebudayaan, Masyarakat dan Pemuda Singapura
(The Ministry of Culture, Community and Youth, disingkat MCCY). NAC mempunyai
dua strategi untuk mengembangkan keunggulan dan partisipasi seni, yaitu menciptakan
lingkungan kondusif agar seni dapat diakses oleh siapa saja dan memberikan talenta artistik
(para seniman) sumber daya dan kemampuan yang diperlukan untuk unggul dan mencipta
secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Fungsi utama dewan adalah membangun landasan kapabilitas kesenian sebagai sektor
yang berkelanjutan. Melalui program pelatihan, pendidikan dan infrastruktur fisik,
NAC menggunakan sarana seperti hibah, beasiswa, dan skema lainnya untuk mendorong
berkembangnya talenta para pelaku seni dan profesional lainnya seperti teknisi gedung teater
dan administrator seni. Di kancah internasional, NAC juga berkolaborasi dengan badanbadan pemerintah lainnya untuk mempromosikan kesenian Singapura demi memasuki
pasar baru dan menumbuhkan pangsa penonton (audiences) internasional. Penghargaan
diberikan setiap tahunnya kepada seniman-seniman yang memiliki keunggulan artistik
dan patron-patron yang memberikan sponsorship.
Anggota dewan terdiri atas tokoh-tokoh penting dari unsur swasta, pemerintah, dan praktisi
seni. Mereka bertugas untuk mengarahkan program-program NAC dalam mengembangkan
dan mempromosikan seni di Singapura, mengawasi pengelolaan korporasi dan finansial,
serta memberi masukan untuk pengelolaan dan perencanaan inisiatif-inisiatif dan skemaskema hibah besar.
Sumber: www.nac.gov.sg

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

41

Menurut data yang dimiliki oleh Yayasan Kelola tahun 2004, terdapat lebih dari 2.800 organisasi
(umumnya berbentuk kelompok, bukan company) seni pertunjukan di Indonesia, yang saat ini
jumlahnya diperkirakan menurun hingga hanya berkisar 1.000 organisasi. Anggaran kelompok yang
meliputi biaya operasional, peningkatan kapasitas, produksi, dan pameran atau showcase nasional,
tidak termasuk showcase internasional, latihan (rehearsal) dan persiapan, dan sewa tempat (venue)
sampai saat ini, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), sehingga seniman
juga kerap berperan sebagai produser eksekutif dan tak jarang menjadi seorang filantropi. Selain
dari seniman sendiri, pendanaan untuk kelompok-kelompok seni saat ini bersumber dari bantuan
donor lembaga asing, institusi nirlaba (Lembaga Swadaya Masyarakat), individu, dan perusahaan
swasta. Bentuk donasi yang diberikan bermacam-macam, mulai dari one-off donation, bantuan
dana operasional, donasi biaya produksi, dan donasi untuk showcase yang dapat bersumber dari:
1. Pendanaan Pemerintah. Idealnya, paling tidak seniman dapat mengajukan bantuan
dana kepada pemerintah dalam bentuk pembebasan dari biaya atau potongan harga sewa
gedung pertunjukan milik atau disubsidi pemerintah atau dalam bentuk dana produksi,
terutama bagi sanggar-sanggar untuk pertunjukan berskala kecil. Namun demikian, pada
praktiknya dukungan dana pemerintah seringkali diberikan kepada sanggar-sanggar yang
telah ditunjuk langsung oleh pihak pemerintah. Padahal, seharusnya proses mengajukan
dana ini sebaiknya jelas, transparan, dan terbuka yang diseleksi berdasarkan prestasi
(merit-based) bukan berdasarkan koneksi.
2. Pendanaan Swasta. Seniman harus tetap mencari sumber-sumber pendanaan dari
perusahaan swasta agar bisa mewujudkan gagasan kreatifnya. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas
Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Sosial yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto merupakan satu-satunya peraturan pemerintah
yang menjadi harapan terbukanya peluang donasi dari pihak perusahaan swasta untuk
operasional kelompok seni melalui insentif pajak. Namun, pada praktiknya peraturan
ini belum cukup memotivasi perusahaan untuk memberikan bantuan kepada kelompok
seni, karena kesenian sebagai sektor yang terkena insentif pajak masih menjadi bagian
dari fasilitas pendidikan, yang meliputi prasarana dan sarana untuk kegiatan pendidikan
kepramukaan, olahraga, dan program bidang seni dan budaya nasional, yang termaktub
dalam bab penjelasan, bukan pasal.
3. Pendanaan Lembaga Internasional. Tidak banyak lembaga internasional yang mendukung
kegiatan seni budaya yang membuka kantor di Indonesia. Untuk jangka waktu yang cukup
lama, Ford Foundation (Amerika Serikat) mengisi kekosongan ini dengan mendanai
banyak kegiatan di bidang kesenian, mulai dari produksi, distribusi hingga pengarsipan.
Sayang, dukungan ini berhenti sejak 2009 karena perubahan orientasi program. Hivos
(Belanda) mulai aktif sejak tahun-tahun terakhir era 1990-an, namun arah kebijakannya
kini juga berubah. Sementara lembaga internasional di luar seperti Prince Claus Fund
juga membuka kesempatan namun dengan agenda tertentu.
4. Lembaga Seni Nirlaba. Satu-satunya lembaga seni nirlaba yang membuka peluang hibah
seni untuk produksi karya baru dan touring ke tiga kota Indonesia adalah Yayasan Kelola
yang didirikan sejak 1999. Selama lebih-kurang 10 tahun, Yayasan Kelola didanai terutama
oleh lembaga donor asingFord Foundationdan menjalin kerja sama dengan beberapa
lembaga asing di luar negeri seperti Asian Arts Council di New York dan Asialink di
Melbourne untuk program residensi bagi manajer seni, yang sayangnya, terhenti beberapa

42

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

tahun silam. Yayasan Kelola memperkenalkan sistem mengakses hibah seni yang transparan
dan rasional (persyaratan aplikasi yang jelas, berkala, dan sistem seleksi yang dikerjakan
oleh panel yang selalu berubah dan terbatas (untuk menjaga kemandirian). Sejak 2010,
Yayasan Kelola harus mencari sumber dana lain agar program lainnya tetap berlangsung.
Lembaga nirlaba lainnya yang menyediakan dana bagi produksi seni adalah Djarum
Foundation (Apresiasi Budaya). Meski tercatat telah aktif bergerak di bidang seni budaya
sejak 1992, yayasan yang dibentuk oleh salah satu kelompok konglomerat Indonesia ini
baru terlihat aktif sejak pertengahan 2000-an. Sayangnya, prosedur mengakses dana masih
belum transparan dan terkesan masih menitikberatkan pada lobi personal. Dilihat dari
jenis produk seni pertunjukan yang didukungnya, nilai komersial masih terlihat penting
ketimbang nilai eksperimentasi seni sehingga dukungan diberikan lebih sebagai bagian
dari kegiatan humas sang induk korporasi ketimbang filantropi.
5.

Crowdfunding. Perkembangan dunia teknologi informasi saat ini turut mendukung


terciptanya metode-metode baru dalam pencarian dana, salah satunya adalah crowd-funding.
Crowd-funding, yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pendanaan ramai-ramai atau
patungan, memungkinkan seniman pertunjukan mendapatkan modal bagi terwujudnya
suatu produksi, baik komersial maupun nonkomersial atau untuk membiayai operasional
suatu kelompok seni. Penyumbang crowd-funding pada dasarnya adalah individu (investor),
bersama-sama dengan seniman sebagai kreator dalam mewujudkan sebuah karya. Oleh
karena itu, seniman harus mengemas dan mengomunikasikan produksi dengan baik
agar menarik perhatian para calon investor. Contoh situs crowd-funding internasional di
antaranya IndieGogo, PledgeMe dan Kickstarter. Contoh situs crowd-funding Indonesia
yang terbilang aktif, misalnya patungan.net dan wujudkan.com.

6. Donasi Autodebit. Beberapa kelompok seni sudah melakukan skema donasi autodebit.
Skema ini diakui cukup berhasil sebagai sumber pendanaan berkelanjutan, karena secara
psikologis lebih mengikat pendonor untuk terus menyumbang tanpa harus memantaunya
setiap saat. Di samping itu, para pendonor pun dapat terdata dengan baik.
Untuk sumber pendapatan seniman, di Indonesia belum dikenal sistem pendanaan untuk kelompok
kesenian atau seniman independen yang berlangsung transparan seperti yang diterapkan di
beberapa negara (terutama negara maju). Oleh karena itu, seniman Indonesia harus siap mengurus
dan menghidupi dirinya sendiri dari sumber-sumber pendanaan alternatif.
Tidak seperti di beberapa negara lain, terutama negara maju, di Indonesia pemerintah tidak
memiliki kelompok seni pertunjukan yang disubsidi sebagian, apalagi secara penuh. Program
pemerintah di bidang kesenian umumnya berbasis acara (event-based) seperti penyelenggaraan
festival atau lomba, yang sayangnya, seringkali dilaksanakan tanpa bersinergi dengan pelaku seni
yang relevan sehingga tidak tepat sasaran.
Seniman Indonesia dapat memperoleh pendapatan dengan beberapa cara, di antaranya melalui:

Honorarium ketika mereka tampil;

Pertunjukan yang dikomisi (dipesan);

Dana yang dikumpulkan melalui penajaan (sponsorship) swasta;

Sebagian penjualan tiket (biasanya berdasarkan sistem bagi hasil dengan gedung pertunjukan,
tetapi presentasinya kecil sekali karena harga tiket juga ditekan agar terjangkau, serta
jumlah pertunjukan yang amat terbatas).

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

43

Pilihan lainnya, kadang seniman penampil pertunjukan (performers) seperti aktor dan penari
dapat bekerja penuh-waktu di stasiun televisi, tetapi pada umumnya hanya dibayar per tiap kali
pertunjukan.
Seniman papan atas, terutama jika bersinggungan dengan dunia komersial (hiburan), dapat hidup
dari honor yang mereka peroleh dari setiap kali pementasan. Seniman ternama seperti penari
Didik Nini Thowok, musisi serta konduktor Erwin Gutawa dan Addie MS dapat menetapkan
harga tinggi dalam produksi yang bersifat komersial sehingga mereka dapat menerapkan prinsip
subsidi silang ketika harus berkontribusi pada upaya kreatif yang lebih eksperimental. Erwin
Gutawa misalnya, adalah salah satu seniman pendukung kunci yang bersedia tidak menerima
honorarium dalam tahap awal produksi drama musikal Laskar Pelangi.
Aktor dan staf administratif kelompok-kelompok teater di Indonesia tidak ada yang mendapatkan
gaji tetap. Segelintir kelompok teater yang populer seperti Teater Koma, biasanya menerima
sponsorship dari perusahan-perusahaan pada saat pementasan, yang dapat mereka gunakan untuk
melakukan pementasan dalam jangka waktu tertentu (1 minggu sampai 1 bulan). Namun,
honor ini sesungguhnya tidak cukup untuk menutup biaya selama masa-masa latihan (rehearsal)
yang berlangsung cukup lama. Memang kini ada beberapa kelompok tari yang telah berusaha
memasukkan biaya latihan (jumlah penari x durasi waktu latihan) ke dalam biaya produksi,
tetapi hal ini terbatas pada proyek-proyek komersial yang diistilahkan secara kasual sebagai peye.
Beberapa universitas utama di Indonesia
mempunyai unit-unit kesenian mahasiswa,
baik itu tari maupun musik, seperti Liga Tari
UI (Universitas Indonesia). Para anggota
menerima honor setiap kali mereka tampil
dalam pementasan, terutama pementasan di
luar negeri yang dikomisi oleh pemerintah.
Namun, mereka biasanya menggalang dana
secara swadaya dan tak jarang harus merogoh
kocek sendiri. Salah satu kesempatan bagi para
seniman seni pertunjukan untuk memperoleh
pendapatan tetap adalah dengan cara menjadi
pengajar, baik di institusi pemerintah atau
swasta, formal, maupun nonformal.
Mayoritas musisi klasik di Indonesia adalah
pekerja lepas (freelancer) yang tidak bekerja tetap
pada organisasi atau kelompok musik apa pun.
Mereka harus mengurus sendiri perlindungan
tenaga kerja, karena tidak mempunyai standar
Pertunjukan Sampek Engtay karya Teater Koma
gaji tertentu. Pada masa-masa tertentu (peak
yang didukung oleh beberapa sponsor korporasi
season), dalam satu hari, seorang musisi bisa
tampil dalam tiga konser sekaligus. Hal ini menyebabkan lemahnya kontrol kualitas seorang
pemain. Tidak ada regulasi yang mengatur jam kerjanya, misalnya seperti di Eropa. Di sana,
seorang musisi hanya dapat bermain dari satu konser ke konser lainnya jika sudah melakukan
istirahat minimal 10 jam.

44

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

A.2. Proses Produksi


Proses produksi adalah proses persiapan dari segi artistik, teknis, dan manajerial, untuk
menghasilkan sebuah karya seni (produksi) pertunjukan yang siap untuk dikonsumsi oleh para
penonton (manufacture process).

Aktivitas Utama dalam Proses Produksi


Pelaku utama dalam proses produksi adalah produser, yaitu pihak yang menginisiasi produksi
suatu karya seni pertunjukan, dengan tugas-tugas mencakup (namun tidak terbatas pada):
mengawasi standar artistik sebuah produksi, mencari dan memastikan produksi tersebut dapat
ditampilkan di venue yang diinginkan, menggalang dana, merekrut sutradara dan para pemain
serta membayar honor mereka selama proses produksi berlangsung.
Berdasarkan bentuknya, produser terbagi menjadi dua yaitu:
1. Perusahaan
Perusahaan Terbatas (PT): biasanya yang bergerak dalam dunia komersial (hiburan),

Perusahaan hiburan besar.

2. Organisasi (kelompok)
Kelompok teater (komersial dan nonkomersial)
Teater komersial: beroperasi tanpa subsidi,
Teater nonkomersial: beroperasi dengan subsidi, menerima hibah filantropi,contohnya
teater komunitas, sanggar teater, kolektif seniman, teater mahasiswa.
Sanggar tari atau dance company.

Grup musik atau orkestra atau paduan suara.

Pick-up company, yaitu gabungan beberapa seniman yang dibentuk dan dipimpin
oleh individu (baik seniman, maupun nonseniman) yang mengambil peran sebagai
produser untuk memproduksi suatu karya tertentu.

Kegiatan utama dalam proses produksi mencakup (namun, tidak terbatas pada):
1. Artistik, meliputi audisi pemain, latihan (rehearsal), desain dan pembuatan kostum/wig/
properti dan tata rias, desain visual, desain panggung (set design), desain tata suara dan
pencahayaan, serta desain multi-media. Pelaku-pelaku artistik utama dalam produksi
karya di antaranya:
Sutradara atau koreografer atau konduktor;

Penata artistik;

Penata musik;

Manajer panggung (stage manager).

2. Manajerial, mencakup baik hal-hal yang berhubungan dengan sisi pelaksanaan pertunjukan
dan sisi operasional. Pada umumnya, sisi pertunjukan diisi oleh fungsi-fungsi sebagai berikut:

Manajer produksi, bertanggung jawab dalam penghitungan biaya, penjadwalan kerja


atau latihan, serta mengoordinasikan berbagai hal terkait dalam persiapan hingga
pelaksanaan. Manajer produksi juga memastikan segala hal yang dilaksanakan sesuai
dengan perencanaan namun tetap sesuai anggaran.

Direktur teknis, bertanggung jawab mengawasi semua teknisi dan pengrajin yang
terlibat dalam proses produksi serta mengimplementasikan rancangan yang dibuat oleh
desainer produksi. Direktur teknis juga bertugas untuk mengoordinasikan kebutuhan

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

45

perangkat keras yang harus disediakan dalam pertunjukan dan mengomunikasikannya


kepada supplier.
Manajer panggung (stage manager), bertindak sebagai perpanjangan tangan penata
artistik,. yaitu mengoordinasikan keputusan-keputusan yang ditetapkan penata artistik
kepada desainer untuk kemudian dilanjutkan dan disiapkan ke bagian-bagian terkait.

Manajer kelompok, bertanggung jawab atas kebutuhan kelompok kesenian, termasuk


transportasi dan akomodasi yang terlibat dalam produksi.

General manager, bertanggung jawab atas hal-hal nonartistik dari sebuah produksi,
seperti administrasi, pemasaran dan sponsorship, keuangan, penjualan tiket, dan lain
sebagainya.

Teknikal, mencakup pembangunan set, pembuatan dan pengaturan teknis tata suara
dan cahaya, serta pembuatan efek visual (multimedia) yang dilakukan oleh para teknisi.


Gambar 2-2 Bagan struktur organisasi produksi seni pertunjukan berskala menengah-besar yang umum
digunakan
PRODUSER

Penata Artisttik

Manajer Produksi

Desainer
Produksi

Direktur Teknis

Manajer Panggung
(Stage)

General Manager

Manajer
Kelompok
Box Office
(Ticketing)
Manajer
Bisnis
Akuntan

Aktor

Humas

Kru

Teknisi Panggung

Penata Panggung
(Scenery)

Teknisi Kostum

Penata Kostum

Teknisi Prop

Penata Prop

Teknisi Listrik

Desainer
Tata Cahaya

Teknisi Suara

Desainer
Tata Suara

SISI PERTUNJUKAN

Direktur
Pemasaran

Pemasaran &
Sponsorship

Promosi

SISI OPERASIONAL

Keterangan:
Artistik
Manajerial
Teknikal

46

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Ada juga desainer produksi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu artistik dan manajerial. Desainer
produksi berfungsi sebagai orang yang membantu sutradara dalam merealisasikan ide kreatif
berupa suasana, gambaran sebuah tempat atau set, kostum, dan lain-lain, ke dalam suatu adegan
yang dibayangkan oleh sutradara atau koreografer. Desainer produksi umumnya membawahi:

Penata panggung (set designer);

Penata kostum dan properti;

Perancang tata cahaya (lighting designer);

Perancang tata suara (sound designer atau sound engineer).


Sebagai catatan, komposisi fungsi-fungsi dalam struktur organisasi produksi pada gambar 2-1
umumnya dipakai untuk produksi pertunjukan berskala besar yang melibatkan banyak orang.
Struktur ini bisa jadi sangat fleksibel dan sederhana, disesuaikan dengan skala dan kebutuhan
produksi itu sendiri.

Aktivitas Pendukung dalam Proses Produksi


Seperti halnya dalam proses kreasi, untuk dapat melakukan proses produksi pun diperlukan
aktivitas pendukung yaitu pendanaan, hanya saja sifatnya berbeda. Pendanaan untuk kreasi
bersifat terus-menerus dan dilakukan dalam jangka waktu panjang, sedangkan pendanaan
produksi cenderung insidental.
Penggalangan dana (fund-raising) untuk membiayai proses produksi dan penyelenggaraan sebuah
karya seni pertunjukan mencakup semua biaya dan pemasukan agar estimasi anggaran dapat
diperkirakan yang meliputi: 1) honor seniman atau produser, 2) penyewaan gedung dan fasilitas
pendukungnya, 3) honor kru atau teknisi, 4) biaya pemasaran, periklanan, dan publikasi, 5)
pendapatan box office (tiket), 6) laba presenter, dan 7) royalti.
Pertunjukan drama musikal yang marak diselenggarakan pada saat ini memang spektakular, tetapi
masih sporadis alias kagetan, tidak seperti siklus di area West End di London atau Broadway di
New York. Tidak ada mekanisme industri yang jelas, sehingga produser bisa jadi hanyalah orang
yang kebetulan punya akses ke pemilik dana besar. Penyelenggaraan pertunjukan tidak jarang
selalu merugi, meski karcis laris terjual.
Salah satu contoh kasus ini adalah drama musikal Laskar Pelangi, yang bahkan sudah dipentaskan
70 kali, di Jakarta, Yogyakarta dan di luar negeri (Esplanade-Theatres on the Bay, Singapura).
Terbatasnya jumlah gedung pertunjukan, tingginya biaya sewa, ditambah belum terjadinya
profesionalisasi di bidang seni pertunjukan membuat produksi tidak bisa berlangsung dalam
waktu cukup lama untuk bisa menutup biaya. Bandingkan kasus Laskar Pelangi dengan drama
musikal West End atau Broadway Billy Elliot. Produser Laskar Pelangi harus selalu mengudisi
pemain cilik dan secara konsisten melatih mereka, karena tidak ada pemain cilik yang terbiasa
.dengan irama profesional seperti di Amerika dan Inggris ketika produksi Billy Elliot berlangsung.
Itu baru sebuah kendala diantara kendala-kendala lainnya.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

47

Harrison Dowzell dan The Ballet Girls dalam Billy Elliot. Sebanyak 30 penari balet anak-anak berusia 10-16 tahun
mengikuti kasting musikal Billy Elliot di West End.
Sumber: london.broadway.com

A.3. Proses Distribusi


Produser seringkali berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengelola dan mendistribusikan
karyanya kepada presenter (presenter di sini bisa berupa venue atau gedung pertunjukan maupun
festival), yang biasa disebut manajer. Dalam proses rantai nilai seni pertunjukan, manajer dapat
dikategorikan sebagai penyelia yang mempunyai fungsi serupa dengan distributor, yaitu mencari
peluang pasar dan berjejaring (networking) untuk menghubungkan sebuah produksi dengan
presenter melalui proses pemasaran.
Manajer dapat berdiri menjadi entitas sendiri, seperti:

Agensi pemasaran atau promotor yang masih belum ada di Indonesia. Promotor juga
dapat berfungsi sebagai produser tur, bila pementasan dilakukan di luar kota atau negara;

Rumah produksi.

Ada juga yang tergabung dengan atau menjadi perwakilan produser, misalnya sebagai:

Manajer artis (personal manager);

Manajer kelompok atau sanggar (company manager).

Distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

48

Distribusi karya perdana, distribusi karya yang baru pertama kali dipentaskan. Aktivitas
utamanya adalah pemasaran karya untuk mendapatkan satu presenter.

Distribusi touring, distribusi karya untuk penampilan karya kesekian kalinya, yang
biasanya dilakukan di beberapa venue, kota, atau negara berbeda, dalam satu periode
waktu tertentu (misalnya 13 minggu, bahkan bisa mencapai tahunan).

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Aktivitas Utama dalam Proses Distribusi


Pemasaran merupakan aktivitas utama dalam proses distribusi. Pemasaran dapat ditujukan
untuk presenter atau langsung kepada penonton, tergantung dari fungsi presenter, apakah hanya
sebagai presenter atau produser, atau merangkap keduanya. Lebih lanjut mengenai presenter
dijelaskan di bab berikutnya.
Pemasaran suatu karya seni pertunjukan mencakup serangkaian aktivitas promosi, publikasi,
PR (public relation) dan pengiklanan. Namun tidak hanya itu, pemasaran akan berhasil jika
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Menempatkan (positioning) karya dan kelompok seniman dengan cara tertentu sehingga
membuat karya tersebut tercitrakan (branding) dan diasosiasikan dengan nilai-nilai
artistik yang ingin disampaikan kepada target pembeli (presenter atau penonton) yang
dituju. Kesadaran akan posisi kuratorial venue dan festival-festival yang berbeda-beda
ini sangat penting.
2. Menentukan bagaimana cara mengomunikasikan karya produksi untuk calon pembeli.
Sebagai contoh, karya yang dipasarkan untuk festival dan masyarakat umum akan
dikomunikasikan dengan cara yang berbeda. Festival pun memiliki arah kuratorial yang
beragam dan seniman harus jeli sekaligus peka terhadap relasi antara arah atau posisi
artistik yang diambil berhadapan dengan posisi kuratorial yang berbeda-beda ini.
3. Membangun pembeli setia yang akan terus-menerus menikmati dan mendukung karyakarya yang dibuat oleh kelompok seniman.
Kegiatan distribusi sebuah produksi seni pertunjukan tidak berhenti di aktivitas pemasaran
saja, tetapi dilanjutkan dengan aktivitas mencari dan memesan presenter, mengajukan proposal
dan melakukan persetujuan kontrak. Aktivitas-aktivitas ini banyak memerlukan keterampilan
administrasi yang sejatinya merupakan ruang lingkup pekerjaan manajer, terpisah dari ruang
lingkup pekerjaan artistik (seniman).
Pemasaran dapat ditempuh secara:
1. Online melalui Internet dan media sosial, contoh: mengunggah publikasi video profil
kelompok seniman atau teaser produksi di Youtube, Vimeo, membuat website, fanpage
di Facebook, dan lain sebagainya. Pemasaran jenis ini banyak melibatkan pihak media
(cetak dan elektronik) untuk mendistribusikan informasi.
2. Offline, misalnya, melalui jejaring pasar (Performing Art Mart), mengirimkan portfolio
dan mengajukan proposal kepada beberapa presenter yang dituju.
Performing art mart atau market adalah suatu wadah tempat bertemunya para pelaku seni
pertunjukan termasuk di dalamnya presenter, manajer seni, promotor, agen, produser,
akademisi, dari berbagai negara dengan seniman pertunjukan. Pertemuan semacam ini
diharapkan dapat menjadi tempat terjadinya transaksi atau komitmen dalam bentuk
kontrak atau perjanjian penyelenggaraan pertunjukan. Beberapa performing art mart yang
diselenggarakan di berbagai negara, contohnya:

Indonesia Performing Art Mart (IPAM), terakhir diselenggarakan pada 2013 oleh
Kemenparekraf;

Asian Arts Mart, di Singapura, tetapi berhenti setelah 23 periode;

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

49

Performing Arts Market in Seoul (PAMS) di Korea, diselenggarakan oleh KAMS


(Korea Arts Management Service) yang hingga kini masih berjalan dan menjadi
salah satu yang terbesar di Asia.

Karya atau produk seni dalam seni pertunjukan adalah pertunjukan yang dipentaskan secara
langsung (live). Idealnya, produk ini dipentaskan berulang-ulang di beberapa kesempatan dan
tempat (gedung, kota, bahkan dalam konteks tertentu juga negara) yang berbeda-beda. Proses
distribusi ini penting untuk menjaga agar diseminasi gagasan yang dikandung dalam sebuah
produk tetap berlangsung, sehingga bisa mendapat tanggapan dari penonton baik yang awam
maupun yang ahli (berupa kritik).
Di Indonesia, proses distribusi ini tidak selalu terjadi karena satu dan lain hal, antara lain belum
terbangunnya infrastruktur yang memungkinkan proses distribusi/diseminasi ini berlangsung
terus-menerus. Di samping itu, para presenterterutama gedung-gedung pertunjukan yang ada
di kota-kotabelum terhubung dalam sebuah jejaring. Sesungguhnya jika gedung-gedung
pertunjukan, baik milik publik (dan dikelola oleh pemerintah) termasuk Taman Budaya di
beberapa kota, dan milik swasta (seperti Komunitas Salihara), menjalin jejaring touring, maka
rantai distribusi bisa menjadi rangsangan untuk kesinambungan produksi. Idealnya, para presenter
ini juga memiliki kemampuan untuk memproduksi melalui komisi (seperti Komunitas Salihara)
dan arah kuratorial yang kuat sehingga jejaring juga bisa dijalin dalam skema koproduksi (atau
memproduksi karya pertunjukan bersama) seperti model yang diterapkan di banyak negara di
Eropa Barat.

Publikasi hasil kerjasama KAMS dengan IETM (International European Theatre Meeting)
yang dapat diunduh gratis di situs KAMS & IETM (www.ietm.org)

50

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Korea Arts Management Service (KAMS)


Didirikan pada 2006, KAMS memfokuskan dirinya sebagai lembaga nirlaba publik yang
memberikan dukungan dan layanan di bidang pertukaran kebudayaan internasional untuk
meningkatkan daya saing seni pertunjukan di Korea Selatan. Didukung oleh Kementerian
Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, KAMS memberikan berbagai bentuk
bantuan yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kelompok-kelompok dan organisasiorganisasi seni, sekaligus memperkuat daya saing mereka dengan cara mengembangkan
beragam dukungan yang efektif demi menajemen seni yang lebih efisien.
Selain melakukan beragam proyek penelitian, KAMS juga memberikan program konsultasi
dan pendidikan bagi para profesional yang ingin berkiprah di dunia seni pertunjukan.
KAMS ingin menjadi kendaraan yang tepat untuk mencapai tujuan itu dan membantu
para seniman pertunjukan Korea Selatan untuk dapat lebih banyak bertukar pengalaman
dengan masyarakat internasional.
Beberapa program utama KAMS:
International Market Development, yang terbagi menjadi dua jenis program: 1) Center
Stage Korea Focus, menampilkan karya-karya seni pertunjukan Korea Selatan di venue besar
dan festival-festival mancanegara untuk memperkenalkan seni pertunjukan Korea Selatan;
dan 2) Center Stage Korea International Touring, yang bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas pementasan seni pertunjukan Korea melalui 23 tur internasional.
Funding for International Exchange, yaitu dukungan biaya perjalanan bagi senimanseniman yang ingin tampil di pentas intenasional.
KAMS Connection, yaitu menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi, dewan kesenian,
festival, dan teater di Korea Selatan dan mancanegara, serta mengembangkan proyek kolaborasi.
KAMS Connection juga memberi dukungan bagi penyelenggaraan pertemuan, penelitian
bersama (joint research), dan forum berbagi ide oleh para praktisi seni pertunjukan, termasuk
produser, para penyusun program, penyelenggara festival, perencana, dan administrator.
Arts Management Consulting Services, yaitu program yang ditujukan untuk organisasi
seni dan budaya untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam segala hal yang terkait
dengan administrasi seni, seperti hukum dan kontrak, manajemen keuangan dan akuntansi,
manajemen SDM dan personeldengan cara mendatangkan para pakar untuk melatih mereka.
T-CAM: Training for Culture & Arts Management, adalah program pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan - juga kerja praktik di lapangan, untuk menyiapkan dan menghasilkan
para profesional di bidang perencanaan dan manajemen seni pertunjukan agar dapat siap
bekerja di organisasi-organisasi seni dan budaya.
Sumber: www.eng.gokams.or.kr

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

51

A.4. Proses Presentasi


Proses presentasi adalah proses pelaksanaan sebuah produksi seni pertunjukan yang bersifat
repetitif (performance process).

Aktivitas Utama dalam Proses Presentasi


Aktivitas utama dalam proses ini bersifat manajerial, yang mencakup:
1. Manajemen panggung (stage management);
2. Manajemen venue: front of house, manajemen penonton, manajemen fasilitas;
3. Manajemen pertunjukan: box office, hubungan masyarakat (public relation), promosi
dan pemasaran, audience outreach;
4. Manajemen tur atau festival.
Pelaku utama di dalam proses ini adalah presenter. Presenter biasanya berbentuk venue (gedung
pertunjukan yang dikuratori khusus) atau program (festival) yang memfasilitasi pertemuan antara
para seniman dengan penonton melalui program kreatif, pendidikan, dan pertunjukan. Dalam
beberapa kasus, presenter juga bisa menjadi koproduser, bekerja sama dengan presenter-presenter
lain dalam jejaringnya. Model ini adalah pola standar di negara-negara Eropa Barat khususnya,
dan mulai merambah ke bagian dunia lainnya, termasuk negara-negara Asia seperti Singapura,
Jepang dan Korea Selatan yang memiliki infrastruktur pendanaan seni yang mirip.
Fungsi utama presenter adalah memilih program dan produksi yang tidak hanya dapat memuaskan
para penonton (audiences) dari sisi artistik, tetapi juga realistis secara finansial. Selain itu, presenter
juga bertugas untuk mengontrak masing-masing kelompok penampil, menyewakan tempat (bila
presenter tidak memiliki venue sendiri), mempromosikan acara yang akan ditampilkan dan
menyelesaikan urusan administrasi keuangan dengan pihak produser.
Presenter adalah:
1. Individu atau kelompok, contoh: direktur eksekutif, sponsor, atau pemilik (owner).
2. Presenter nonkomersial, contoh: pusat kebudayaan yang disubsidi pemerintah (gedung
pertunjukan publik termasuk Taman Budaya), pusat kebudayaan komunitas, museum,
organisasi mahasiswa, perpustakaan, community centre.
3. Presenter komersial, contoh: gedung pertunjukan nonpublik, ruang-ruang komersial
seperti kafe, klub, restoran dan lainnya.
4. Venue (gedung pertunjukan)
Building-based company, yaitu venue yang berfungsi sebagai home base (tempat latihan
atau rehearsal dan pertunjukan) bagi suatu kelompok seni. Segala kegiatan administrasi
dan artistik grup tersebut dilakukan dalam satu atap.

Venue untuk disewakan (venue for rent).

5. Kompleks multi-fungsi (arts centre) yang menyediakan sarana keseniantermasuk di


dalamnya ruangan pertunjukan, bioskop, galeri, dan outlet makanan atau minuman
dan tidak memproduksi suatu pertunjukan, seperti: gedung pertunjukan besar, fasilitas
serbaguna (komersial dan nonkomersial), fasilitas pertunjukan yang dimiliki oleh sekolah,
auditorium, dan fasilitas publik lainnya.
6. Tur dan festival, menampilkan seni pertunjukan dalam jangka waktu tertentu (misalnya
12 minggu), baik di satu lokasi yang sama atau beberapa lokasi yang berbeda. Tur dan
festival dapat berperan sebagai produser dan atau atau presenter, dan sangat bergantung
pada ketersediaan venue di suatu tersebut.
52

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

PACT ZOLLVEREIN, Ruhr, Essen, Jerman


Sejak awal berdirinya pada 2002 di pusat area metropolitan Ruehr, PACT Zollverein telah
mengukuhkan posisinya sebagai inisiator, katalis, sekaligus venue untuk mendukung
pengembangan senikhususnya tari, pertunjukan, teater, media, seni rupa murni, dan seni
rupa berbasis mediayang inovatif.
PACT Zollverein mempunyai sistem kerja yang unik, di mana mereka menggabungkan tiga
program pengembangan sebagai respons terhadap isu-isu sosial dan budaya dalam skala
regional, nasional, maupun internasionalyang pada akhirnya mendorong peningkatan
apresiasi terhadap tari dan pertunjukan sebagai bentuk kesenian yang independen. Ketiga
program tersebut itu adalah: 1) program residensi, yang terbuka untuk seniman di seluruh
duniaPACT berfungsi sebagai pusat kesenian yang menawarkan tempat untuk seniman
berkonsentrasi penuh pada proses penciptaannya; 2) platform, yang menginisiasi terjadinya
pertukaran ilmu antara seniman, akademisi, dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan
mendorong terjadinya dialog-dialog kritis dan reflektif terhadap metodologi-metodologi dan
temuan-temuan; 3) stage programme, menampilkan pertunjukan-pertunjukan perdana,
koproduksi, dan pertunjukan tamu (guest performances).
Alih-alih mendapatkan hasil yang instan, PACT justru memberi ruang untukperlahan, tetapi
terus-menerusuntuk mencari model organisasi yang tepat. Ciri khas PACT adalah konsepnya
yang menggabungkan tiga aktivitas utama di atas yang saling terkait dan melengkapi. PACT
menciptakan ruang untuk pertukaran ide, aksi, pengalaman, dan diskursus teori yang dapat
mendukung dan mendorong kerjasama, kolaborasi, dan kemitraan jangka panjang.
Sumber: www.pact-zollverein.de

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

53

Pementasan seni pertunjukan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pertunjukan-pertunjukan
yang disponsori oleh pihak-pihak individu dan swasta yang ditujukan untuk para undangan tertentu
dalam peringatan suatu acara (event) dan bukan pertunjukan yang memang diselenggarakan
dengan basis penjualan tiket masuk untuk penonton umum. Pertunjukan seperti ini lumrah
terjadi di daerah-daerah luar Jakarta. Bahkan di Jakarta sekali pun, para elit biasanya berharap
mendapatkan undangan (gratis), daripada membeli tiket untuk menonton suatu pertunjukan.

Harga Tiket dan Pajak Venue


Harga tiket bervariasi tergantung tempat pelaksanaan pertunjukan dan terkadang kualitas
artistiknya. Harga tiket pertunjukan pun menjadi relatif mahal. Harga tiket pertunjukan
teater umumnya berkisar (Rp50.000500.000), drama musikal (Rp150.000750.000), tari
(Rp50.000100.000), konser musik populer Indonesia (Rp150.0003.500.000), konser musik
populer mancanegara (Rp400.0003.500.000), konser musik jazz (Rp200.000500.000) dan
konser musik klasik (Rp100.000500.000).
Tempat-tempat di Jakarta yang menyelenggarakan pertunjukan lokal (bukan luar negeri) dibebankan
biaya pajak hiburan sebesar 10 persen dari total jumlah pemasukan tiket dengan asumsi tiket
laku terjual semua. Pada kenyataannya, tiket jarang terjual habis. Besar pajak berbeda untuk
wilayah luar Jakarta. Walaupun demikian, ada beberapa gedung pertunjukan milik pemerintah
yang membebankan pajak kurang dari 10 persen, jika pertunjukan yang diselenggarakan bersifat
nonkomersial.

Kondisi Venue (gedung pertunjukan)


Dukungan teknis di gedung-gedung pertunjukan di Indonesia, terutama milik pemerintah
atau milik sekolah atau universitas (bersifat nonkomersial), sangatlah lemah. Dukungan teknis
yang seharusnya menjadi standar fasilitas sebuah venue seperti teknisi tata lampu dan suara atau
bahkan staf tetap administrasi seringkali berjumlah terbatas, dan mereka umumnya adalah para
otodidak bukan profesional terdidik. Teknisi tambahan (honorer) seringkali harus direkrut sesuai
kebutuhan pertunjukan.
Kondisi fasilitas teknis gedung-gedung pertunjukan di Indonesia umumnya masih buruk. Lumrah
untuk menemukan gedung pertunjukan dengan peralatan yang minim, rusak, ataupun baru
tapi tidak terawat dengan baik; pasokan listrik yang kurang memadai, jalur kabel yang tidak
rapi, ketiadaan petugas keamanan, dan seterusnya. Meskipun demikian, ada beberapa gedung
pertunjukan yang cukup memenuhi standar. Dengan fasilitas yang minim, biaya sewa venue
pertunjukan terbilang sangat mahal.

Perizinan
Diperlukan izin dari kepolisian untuk setiap penyelenggaraan pertunjukan untuk publik. Penting
bagi seniman untuk mempertahankan relasi dan jejaring orang-orang yang mempunyai pengaruh
atas sponsorship, pengiklanan dan dukungan moral jika suatu saat menemui kesulitan dalam
memperoleh izin.

Promotor
Promotor seni pertunjukan di Indonesia disinyalir belum ada.

54

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Festival
Ada beberapa festival seni pertunjukan di Indonesia yang bertaraf internasional, meski
keberlangsungannya masih sesuatu yang harus diperjuangkan dari tahun ke tahun.
Festival internasional yang diselenggarakan di Indonesia di antaranya:

Indonesian Dance Festival (IDF) sejak 1992, yang awalnya didirikan oleh para pengajar
dan mahasiswa Jurusan Tari IKJ, dan kini berkembang menjadi satu-satunya festival tari
internasional di Indonesia dua tahunan;

Art Summit Indonesia (ASI) yang digagas pemerintah (waktu itu Depdikbud) sejak 1995
dan kini diserahkan ke Kemenparekraf;

Solo International Performing Arts (SIPA), yang programnya cenderung bersifat populer;

Sawah Lunto International Music Festival (SIMFEST) yang telah menjadi agenda tahunan
(kerjasama produser atau kurator independen dan kotamadya);

International Gamelan Festival di Yogyakarta;

Bali Spirit Festival, sebuah festival bertema spiritualitas seperti yoga, qigong, dan meditasi
yang kini bertaraf internasional dan memasukkan unsur seni pertunjukan di dalamnya
seperti pertunjukan world music dari seniman lokal, nasional, maupun internasional;

Jazz Gunung di Probolinggo, sebuah pergelaran musik bertaraf internasional yang


menampilkan komposisi jazz bernuansa etnik, digelar setiap tahun di daerah pegunungan
Bromo.

Sementara itu, festival lokal di antaranya:


Festival Teater Jakarta (FTJ), program Dewan Kesenian Jakarta yang sudah berlangsung
sejak 1974, dan masih bersifat lokal meski diarahkan untuk menanjak menjadi bertaraf
nasional dan akhirnya internasional.

Festival Salihara, diadakan selama sebulan penuh. Festival ini akan memadukan seni musik,
tari, teater, instalasi, dan kesusastraan. Program utamanya adalah apresiasi seni musik,
tari, dan teater dari seniman dalam dan luar negeri, sedangkan program pendamping di
antaranya apresiasi musik dan instalasi dari musisi dalam negeri.

Jazz Gunung 2014 dengan latar belakang keindahan pegunungan Bromo Tengger Semeru
Sumber: indonesia.travel

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

55

Aktivitas Pendukung dalam Proses Presentasi


Agar proses presentasi dapat berlangsung berulang-ulang, diperlukan promosi yang pada saat ini
bisa didukung oleh adanya rekaman video pertunjukan.
Karena pementasan karya seni pertunjukan sifatnya live, pihak produser dan atau presenter kerap
kali merasa perlu untuk mendokumentasikan secara penuh pertunjukan yang sedang berlangsung
melalui rekaman video dalam bentuk CD atau DVD. Bagi pihak produser atau seniman,
dokumentasi ini menjadi penting selain sebagai bahan portfolio (promosi) yang dikirimkan
kepada para presenter potensial agar proses presentasi dapat berlangsung berulang-ulang (terutama
untuk produksi-produksi besar yang berhasil memasuki jejaring distribusi atau diseminasi), juga
sebagai bahan pengembangan karya berikutnya. Bagi presenter, dokumentasi ini penting untuk
diarsipkan sehingga dapat diakses oleh publik yang ingin mengetahui pertunjukan-pertunjukan
apa saja yang telah diselenggarakan oleh presenter tersebut.
Selain menjual CD atau DVD, ajang pementasan kerap kali digunakan seniman untuk menjajakan
merchandise yang berkaitan dengan karya-karya seni mereka. Hal ini dilakukan selain untuk
mendapatkan pemasukkan tambahan, juga sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada
penonton dan memperdalam pemahaman penonton akan karya-karya yang ditampilkan.

Beragam merchandise Papermoon Puppet Theatre yang bertemakan karya-karya mereka


Sumber: Papermoon Puppet Theatre

B. Pasar
Daya tarik seni pertunjukan bagi penontonnya dapat dipahami melalui konsep modal budaya atau
cultural capital.20 Norma-norma, nilai, kepercayaan dan respon psikologis penonton membentuk
pilihan untuk membeli dan mengkonsumsi sebuah aktivitas.21 Aktivitas budaya misalnya,
(20) Pierre Bourdieu, Distinct: A Social Critique of the Judgement of Taste (Boston: Harvard University Press, 1984)
(21) Douglas Holt, Does cultural capital structure American consumption?, Journal of Consumer Research, Vol. 25,
1998, hlm. 1-25.

56

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

diasosiasikan dengan selera yang lebih tinggi yang berarti memiliki modal budaya yang lebih
tinggi pula dan sebaliknya. Menyaksikan suatu karya seni pertunjukan mengandung modal
budaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan menonton program televisi.
Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1) penonton dan
2) presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program.

B.1. Penonton Seni Pertunjukan


Penonton adalah orang yang secara sadar dan berkemauan menonton karya seni pertunjukan
terlepas dari apakah pertunjukan tersebut menarik tiket masuk atau tidak (gratis). Secara garis
besar, penonton dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, penonton umum dan penonton ahli.
1. Penonton umum adalah penonton awam yang tidak memiliki referensi tentang
perkembangan artistik dunia seni pertunjukan secara spesifik.
2. Penonton ahli adalah penonton yang telah memiliki pengalaman menonton dan secara
akumulatif membangun referensi kritis tentang wacana seputar seni pertunjukan.
Penonton umum bisa berkembang menjadi penonton ahli jika mereka juga tertarik membekali
diri dengan mengikuti diskusi seputar tontontan yang mereka nikmati dari waktu ke waktu.
Apresiasi adalah sesuatu yang bisa berkembang dan dikembangkan.
Selama ini, karya seni pertunjukan cenderung dianggap terlalu eksperimental dan eksklusif,
sehingga tidak dapat dimengerti oleh penonton awam. Tingkat ketertarikan penonton tidak
dipupuk. Seringkali, penonton pun menjadi kapok untuk menonton seni pertunjukan. Padahal,
ketika membuat suatu karya seniman harus memikirkan pengalaman seperti apa yang akan
didapat oleh penonton atau apa yang bisa didapatkan penonton dari menonton suatu karya seni
pertunjukan, seperti nilai hiburan (dikemas dengan menarik), nilai pendidikan (mempunyai
pesan moral), dan nilai artistik.
Walaupun pasar nasional seni pertunjukan Indonesia masih sempit dan belum terbentuk, publik
Indonesia saat ini sudah relatif lebih terbuka dan apresiatif terhadap ide-ide menantang maupun
inovasi-inovasi baru yang ditampilkan oleh seniman kita. Sebagai contohnya adalah kemunculan
Papermoon Puppet Theatre, satu-satunya teater boneka di Indonesia yang berdiri pada 2011.
Pementasan karyanya selalu dinantikan oleh para penonton yang relatif masih awam tentang
teater boneka. Selalu ada penonton baru untuk setiap pertunjukan. Penonton dalam negeri saat
ini mulai didominasi oleh kalangan anak muda perkotaan kelas menengah yang mempunyai
latar belakang pendidikan yang baik.

Selama ini karya seni pertunjukan cenderung


dianggap terlalu eksperimental dan eksklusif
sehingga tidak dapat dimengerti oleh penonton
awam.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

57

Pementasan Laki-laki Laut karya Papermoon Puppet Theatre di ART|JOG 2013 (Yogyakarta).
Sumber: Papermoon Puppet Theatre

Reaksi penonton terhadap boneka setelah pementasan


Sumber: Papermoon Puppet Theatre

58

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

B.2. Presenter Nasional dan Internasional


Pasar nasional merujuk pada potensi penonton seni pertunjukan yang masih belum tergarap
dengan baik, baik hiburan yang bermutu (drama musikal, misalnya) maupun seni pertunjukan
yang lebih eksperimental (kontemporer).
Belum tergarapnya potensi penonton ini penyebabnya adalah bahwa hampir semua venue atau
gedung pertunjukan di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah (gedung pertunjukan publik)
hanya berfungsi sebagai ruang untuk disewakan dengan harga yang relatif mahal. Dengan
demikian, pementasan karya tidak kontinu untuk dapat menjaring banyak penonton. Venue yang
mempunyai program dengan kuratorial yang relatif jelas dan ikut menanggung biaya produksi
pertunjukan dimiliki oleh swasta seperti Komunitas Salihara.
Festival dalam negeri yang awalnya dikuratori dengan saksama adalah Arts Summit Indonesia di
tiga edisi pertama (1995, 1998, dan 2001). Indonesian Dance Festival (IDF) mengundang kurator
internasional sejak 2006 yang bingkainya masih terhitung probono, tetapi proses penyesuaian kerja
kuratorial ini masih tetap berjalan dalam mencari bentuknya. Tahun ini, untuk pertama kalinya,
IDF merintis koproduksi internasional dengan sebuah dance company berbasis di Eropa, selain
membantu serta menginisiasi beberapa produksi lokal. Sebagai sebuah presenter venue, Gedung
Kesenian Jakarta (GKJ) rutin menyelenggarakan Festival Schouwburg, tetapi kuratorialnya masih
bergantung pada produksi insidental yang kebetulan terjadi dan agenda pusat-pusat kebudayaan
internasional yang menjadi mitranya.
Pasar internasional merujuk pada peluang bagi seniman Indonesia untuk tampil di ranah global.
Hal ini bisa diterjemahkan sebagai gedung-gedung pertunjukan dan festival-festival tertentu yang
menerapkan kebijakan kuratorial yang sesuai dengan muatan artistik sang seniman.
Festival internasional mencakup venue maupun festival di seluruh dunia yang program kuratorialnya
menawarkan peluang bagi seni pertunjukan Indonesia untuk mengambil peran. Di tingkat
regional (kawasan Asia Tenggara), ada beberapa presenter utama seperti (untuk kategori venue):
Esplanade-Theatres on the Bay (Singapura), Kalang Theatre (Singapura), Istana Budaya (Malaysia),
Bangkok Arts Centre (Thailand), dan Pusat Kebudayaan di Manila (Filipina).
Festival seni pertunjukan kontemporer yang terhitung bereputasi internasional di kawasan Asia
Tenggara adalah Singapore International Festival of Arts (SIFA) yang tahun ini berubah format.
Di kawasan Asia yang lebih luas, beberapa festival seni pertunjukan kontemporer utama adalah
Hong Kong Arts Festival (HKAF) dan Festival Tokyo, keduanya diselenggarakan tahunan.
Beberapa festival yang tergolong baru dan garda depan juga mulai muncul seperti Festival Bo:m
di Seoul (Korea Selatan), yang baru dan mencoba mainstream seperti Georgetown Festival di
Penang; dan forum menarik seperti TPAM: Performing Arts Meeting di Yokohama, yang awalnya
berformat art mart dan berubah sejak 2010 menjadi meeting (mirip festival) dan berhasil menarik
para presenter kaliber internasional utama dari seluruh dunia.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

59

Facing Goya, salah satu karya yang dipentaskan di SIFA 2014,


koproduksi oleh Spoleto Festival USA dan SIFA.
Foto: Julia Flynn

Singapore International Festival of Arts (SIFA)


Festival of The Arts pertama kali diselenggarakan pada 1977 sebagai bienial dan sempat vakum
tahun lalu sebelum berganti format menjadi Singapore International Festival of the Arts (SIFA)
dengan citra, konsep, dan pendekatan baru. Diselenggarakan dan dikelola secara independen
oleh Arts House Limited, SIFA menampilkan karya-karya seni pertunjukan teater, tari, dan
musik bermutu yang bertujuan untuk menginspirasi beragam penontonnya melalui pengalaman
artistik yang mengesankan. Mulai dari 2014 sampai 2017 penyelenggaraan SIFA dipimpin
oleh Ong Keng Sen, sutradara Theatreworks, kelompok teater berbasis di Singapura. SIFA
2014 mengambil tema Legacy and the Expanded Classic yang dibuka selama empat minggu
dengan kegiatan prafestival The O.P.E.N (Open, Participate, Enrich, Negotiate)sebuah
rangkaian acara yang melibatkan publik seperti pemutaran film, diskusi, lokakarya, juga demo
pertunjukan-pertunjukan khusus yang dilakukan dengan format kasual dan inklusif. Setelah
itu, SIFA menampilkan sederet produksi seni pertunjukan selama lebih dari enam minggu (12
Augustus 21 September 2014).
Sumber: www.sifa.sg

60

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Jake & Petes Big Reconciliation Attempt for the Disputes from the Past karya Jakob Ampe & Pieter Ampe/Campo
(Belgia) yang ikut ditampilkan di Festival Bo:m 2014.
Sumber: Festival Bo:m

Festival Bo:m
Festival Bo:m adalah festival seni pertunjukan dan seni rupa internasional yang menampilkan
beragam karya dari seniman-seniman Korea Selatan dan mancanegara yang multidisiplin,
multikultural, multigenre, dan memiliki konsep unik. Festival yang pertama kali diselenggarakan
pada 2007 dengan nama Springwave Festival ini telah rutin diselenggarakan setiap tahunnya
selama tiga minggu sampai satu bulan pada musim semi (MaretApril)berkat dukungan Arts
Council Korea serta Seoul Foundation for Arts and Culture. Pada 2014, Festival Bo:m berhasil
menghadirkan karya seni tari, drama, dan musik 25 seniman dari Korea Selatan, Jepang, Spanyol,
Jerman, Myanmar, Tiongkok, Belgia, Norwegia; juga beberapa kuliah umum dan workshop di
berbagai venue di kota Seoul, Busan, dan Yokohama.
Selain ingin memperkenalkan karya-karya seni inovatif dan garda depan, Festival Bo:m juga
ingin memberikan apresiasi kepada semangat eksperimentasi dan tantangan dan berfokus pada
pencarian talenta-talenta baru. Festival Bo:m berusaha untuk memperkenalkan seniman-seniman
dengan berbagai latar belakang, terutama dari Asia, di panggung internasional.
Sumber: www.festivalbom.org

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

61

Untuk contoh yang lebih spesifik (menurut cabang seni) ada Festival da:ns (tari kontemporer,
Singapura), Wifi Body (tari kontemporer, Manila), dan My Dance Alliance Festival (Kuala
Lumpur). Untuk musik ada Java Jazz di Jakarta, WOMAD (World Music and Dance) Festival
di Singapura, dan Rainforest World Music Festival di Kuching (Malaysia).
Australia adalah negara tetangga yang mulai menyadari betapa minimnya pengetahuan mereka
tentang seni pertunjukan kontemporer di Indonesia paling mutakhir. Beberapa seniman seni
pertunjukan kontemporer Indonesia mulai merambah kemungkinan residensi di Australia dan
menjajaki kemungkinan produksi. Dua di antaranya adalah Pappermoon Puppet Theatre dan
kelompok musik eksperimental Senyawa.
Jazirah Eropa menawarkan ratusan presenter baik dalam bentuk venue maupun festival, seperti
Edinburgh Fringe Festival (Skotlandia), Festival dAvignon (Prancis), tetapi profil mereka sebaiknya
dipilih dan pilah melalui analisis kuratorial masing-masingmana yang sesuai dengan kelompok
seni Indonesia.
Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) adalah kawasan yang juga harus dibaca dengan
saksama dari sudut pandang kuratorial, selera, dan peredaran wacana tentang seni pertunjukan
mereka yang bisa bertemu atau berdialog dengan apa yang terjadi dalam konteks Indonesia.

C. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment)


C.1. Apresiasi
Apresiasi merupakan tanggapan terhadap karya, orang kreatif, serta proses penciptaan nilai kreatif
yang menstimulasi peningkatan kualitas karya, orang, dan proses kreatif tersebut.
Apresiasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
1. Apresiasi oleh pasar (penonton), ditunjukkan dari konsumsi serta tanggapan penonton
terhadap karya, orang (personel), dan proses kreatif seni pertunjukan. Kegiatan apresiasi
oleh penonton dapat ditingkatkan melalui proses peningkatan literasi masyarakat terhadap
kreativitas.
2. Apresiasiterhadaporang, karya, dan proses kreatif seni pertunjukan, dapat berupa
penghargaan, pemberian insentif, dan juga apresiasi terhadap HKI (Hak atas Kekayaan
Intelektual). Contohnya Tony Awards di Amerika dan Prince Claus Awards di Belanda.
Penghargaan seperti ini tidak ada di Indonesia, yang ada hanyalah penghargaan oleh
instansi pemerintah (seperti kementerian) atau institusi pendidikan, misalnya penghargaan
Institut Kesenian Jakarta terhadap seniman pertunjukan Indonesia. Apresiasi ini dapat
ditingkatkan dengan mengomunikasikan seniman dan karyanya kepada masyarakat.
Dengan adanya kegiatan apresiasi yang baik maka orang-orang kreatif seni pertunjukanbaik
seniman, manajer, maupun teknisiakan terdorong untuk terus berkreasi, menghasilkan karyakarya, dan pencapaian-pencapaian yang berkualitas.

62

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Penghargaan Internasional Seni Pertunjukan


Penghargaan internasional seni pertunjukan yang prestisius di antaranya:
Prince Claus Awards
Sejak 1997 Prince Claus Fund telah menyerahkan penghargaan tahunan yang disebut Prince
Claus Awards kepada seniman, pemikir, dan lembaga budaya, terutama dari Afrika, Asia,
Amerika Latin, dan Karibia untuk bidang kebudayaan dan perkembangan. Lewat Prince
Claus Award, organisasi ini ingin memberikan penghargaan kepada para penerimanya atas
karya dan pengabdian mereka di bidang sosial dan budaya.
John D. Rockefeller 3rd Award
John D. Rockefeller 3rd Award adalah penghargaan yang diberikan oleh Asian Cultural
Council kepada individu-individu di Asia atau Amerika Serikat yang telah memberikan
kontribusi signifikan terhadap pemahaman internasional, praktik, dan studi di bidang seni
rupa atau seni pertunjukan Asia. Penghargaan diberikan bagi prestasi profesional luar biasa
dalam rangka memperingati dedikasi John D. Rockefeller 3rd terhadap seni dan budaya Asia.
Seniman dan praktisi seni pertunjukan Indonesia penerima penghargaan internasional:
Amna S. Kusumo (Direktur Yayasan Kelola), John D. Rockefeller 3rd Award, 2013
Penghargaan diberikan atas kontribusinya untuk menyatukan dunia seni Indonesia yang
terpencar-pencar. Amna membawa model program berstandar internasional ke dalam
pengelolaan seni di Indonesia dan membuat kebijakan yang mendukung perkembangan
kelompok-kelompok seni Indonesia. Yayasan Kelola, organisasi yang didirikannya pada 1999,
konsisten memberikan lokakarya tentang pengelolaan festival dan institusi kebudayaan, serta
mendorong pertukaran budaya.
Teater Garasi, Prince Claus Awards, 2013
Penghargaan atas semangat penjelajahan dan terobosan karya-karya mereka yang merangsang
seni pertunjukan di Asia Tenggara; atas karya-karya inovatif mereka yang menggairahkan
(vibrant) dan beragam, serta menawarkan pengalaman keterlibatan serta ide-ide yang
menantang; atas kemampuan Teater Garasi menerobos batas-batas teater sebagai seni
tinggi (high art), menggabungkan yang modern dan yang tradisional, melibatkan publik
luas melalui (di dalam) kekuatan seni pertunjukan; dan atas kemampuan Teater Garasi
menekankan serta merayakan watak masyarakat Indonesia yang majemuk dan kompleks
dalam karya-karya mereka.
Alm. Slamet Gundono, Prince Claus Awards, 2005
Penghargaan atas jasanya dalam mengembangkan seni tradisional dengan mengadaptasi idiom
dan gaya modern, yang menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan penggerak kuat bagi
ekspresi kontemporer. Slamet Gundono adalah seorang dalang interaktif yang memakai unsur
humor dan satir dengan cara yang tidak konfrontatif untuk mengeluarkan suara masyarakat
marjinal dan populer di kalangan luas. Lewat karyanya, ia menyelidiki masalah-masalah
sosial seperti gender, eksploitasi, kefanatikan agama, dan perusakan lingkungan.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

63

Sardono W. Kusumo
Distinguished Artist Award dari International Society of Performing Arts (ISPA), 2003
Penghargaan atas pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian tradisional dan modern.
Sardono memberi warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negaranegara Asia Tenggara.
Prince Claus Awards, 1997
Penghargaan atas prestasinya sebagai koreografer, penari, dan pembuat film, yang
menggabungkan tari tradisional dengan teknik-teknik dan bentuk-bentuk improvisasi tari
modern. Sardono menciptakan campuran gerakan yang berakar pada latihan klasik pencak
silat Jawa dan tari Keraton dengan gagasan kontemporer teater.
Dances of Sumatera: Aceh and Minangkabau, oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti
Dance Company, dan dua kelompok tari dari Aceh, Bessie, New York Dance and Performance
Awards, 1991.
Penghargaan atas prestasi kreatif luar biasa lewat penampilan di Joyce Theatre, New York,
Amerika Serikat, yang menyuguhkan karya tari tradisional (Aceh) dan modern (Sumatera
Barat) yang dibangun dari dalam dan di luar batas tradisi budaya klasik musik dan tari
Sumatera: Aceh dan Minangkabau.

Proses peningkatan literasi merupakan kunci dari pembinaan penonton (audience development).
Pembinaan penonton adalah sebuah proses membina hubungan dengan penonton yang sudah
ada (existing audiences) dan menjaring calon penonton (potential audiences) yang dilakukan
secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan melalui program-progam seperti pemasaran dan
pendidikan. Terdapat 5 prinsip utama yang dilakukan dalam pembinaan penonton:
1. Merupakan proses jangka panjang;
2. Membutuhkan komitmen organisasi;
3. Melibatkan penonton yang sudah ada (existing audiences) dan calon penonton (potential
audiences);
4. Merupakan proses terus-menerus bukan hanya proyek jangka pendek;
5. Memerlukan rencana, evaluasi, dan review untuk setiap kegiatan yang dilakukan.
Proses literasi dapat dilakukan melalui:
1. Lembaga pendidikan umum di mana kesenian terintegrasi dalam kurikulum pendidikan
nasional, misalnya melalui intra maupun ekstra kurikuler. Kesenian seperti musik atau tari
adalah sama pentingnya dengan mata pelajaran lain seperti matematika ataupun ilmu alam;
2. Organisasi nonprofit seperti lembaga kebudayaan lokal dan internasional, contoh: GoetheInstitut,YayasanKelola, dan ErasmusHuis;
3. Venue, yangmembuatprogramuntukpembinaanpenonton seperti kelas diskusi, kuliah
umum, dan artist talk (diskusi dengan seniman);
4. Kegiatan apresiasi oleh komunitas seni pertunjukan berupa riset, pengembangan wacana,
publikasi buku, dan lain sebagainya;
5. Mediacetakseperti buku,suratkabar,majalah,danmediaelektronik.

64

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Festival menciptakan wadah bagi pengembangan wacana teater, karena di dalamnya terdapat
kegiatan-kegiatan lain seperti peluncuran buku dan diskusi yang bertujuan meningkatkan tingkat
apresiasi teater, baik di kalangan pelaku maupun penonton.
Saat ini, literasi mengenai seni pertunjukan, misalnya seni tari, hanya diajarkan di sekolah
(pendidikan umum) sebagai pelajaran pilihan, bukan wajib. Apresiasi terhadap seni pertunjukan
tidak dibangun sejak dini. Selain itu, walaupun mempunyai daya beli yang tinggi, banyak masyarakat
yang masih menganggap seni pertujukan sebagai sesuatu yang eksklusif dan membutuhkan
pemahaman khusus untuk mengapresiasi karya.

C.2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses pembelajaran yang meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan,
sikap serta perilaku yang sangat berpengaruh pada penciptaan orang kreatif yang terkait dengan
seni pertunjukan.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, seniman pertunjukan di Indonesia dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu: 1) seniman lulusan institusi pendidikan formal seni; 2) seniman otodidak yang
bergabung dengan kelompok atau sanggar seni (institusi nonformal); serta 3) seniman yang
mendapat pendidikan baik secara nonformal, maupun formal.
Menurut tokoh tari Indonesia, Sal Murgiyanto,22 terdapat empat jenis sumber daya manusia yang
diperlukan untuk keberlangsungan seni pertunjukan, yaitu: 1) seniman, baik pelaku maupun
pencipta; 2) penonton; 3) pengelola atau penyelenggara pertunjukan; dan 4) kritikus seni.
Sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia yang diungkapkan di atas, maka diperlukan
lembaga pendidikan yang dapat mendidik calon-calon pelaku seni pertunjukan, sesuai dengan
fungsi dan perannya masing-masing. Institusi pendidikan untuk seni pertunjukan idealnya dapat
dibagi menjadi:
1. Pendidikan Seni Pertunjukan
Berdasarkan fokus bidang pengajarannya, pendidikan seni pertunjukan dapat dibagi
menjadi:

Pendidikan konservatori, berfokus pada pengembangan keterampilan seni melalui


teori dan praktik untuk menciptakan seniman (contoh: aktor, penari, musisi);

Pendidikan kajian, yang sifatnya lintas disiplin (sejarah, antropologi, sosiologi, dan
lain sebagainya untuk menciptakan kritikus, kurator, dan pengkaji.

Tujuan dari pendidikan seni ini adalah berkembangnya seni pertunjukan sebagai ilmu
pengetahuan, pengembangan wacana, dan ekplorasi estetika.
a. Pendidikan Formal, adalah institusi pendidikan yang disubsidi oleh pemerintah
nasional atau daerah:

Perguruan Tinggi Seni (Diploma, Sertifikat, Sarjana, Pascasarjana)


Pendidikan seni pertunjukan Indonesia masih berfokus pada pendidikan akademis
dan cenderung melahirkan seniman-seniman birokrat (seniman yang berkarier
sebagai akademisi di kampus). Institusi pendidikan tinggi utama di Indonesia,

(22) Sal Murgiyanto, Menuliskan Seni Pertunjukan, Catatan Lokakarya Penulisan Seni Pertunjukan Sesi 1, Yayasan
Kelola, 2012.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

65

seperti ISI (Instititut Seni Indonesia) dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)
berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud),
sedangkan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) berada di bawah naungan pemerintah
daerah Jakarta. Kurikulum sekolah tinggi seni di Indonesia cenderung berfokus
pada penguasaan keterampilan dan teknik, dan mengabaikan muatan kesejarahan
serta konteks kultural yang lebih rumit dan substansial.
Ada beberapa jenis lembaga pendidikan seni di Indonesia, di antaranya:

66

Institut Kesenian Jakarta (IKJ). IKJ membuka tiga fakultas: Fakultas Film dan
Televisi Indonesia (FFTV), Fakultas Seni Rupa, dan Fakultas Seni Pertunjukan.
Khusus untuk seni pertunjukan, IKJ menawarkan program studi Diploma 3
Seni Musik, Penata Tari, dan Pemeranan. Sedangkan untuk program studi
Strata 1 Seni Musik, Seni Tari, Seni Teater, Etnomusikologi, Antropologi
Tari, dan Antropologi Tari peminatan Pengelolaan Seni Pertunjukan. Selain
itu, IKJ juga memiliki program pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni
Urban dan Industri Budaya yang berfokus pada penguasaan keahlian seni,
ilmu dan teknologi serta keahlian pendukung seperti pengelolaan kegiatan,
kewirausahaan, hak kekayaan intelektual, dan keahlian komunikasi, serta
promosi mutakhir.

Universitas Sumatera Utara, merupakan satu-satunya universitas yang


memiliki departemen etnomusikologi di Indonesia.

Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menawarkan tiga program


studi Strata 1 di bidang seni pertunjukan, yaitu program studi Seni Tari, Seni
Karawitan, dan Seni Teater; dan satu program studi Diploma 4 Angklung
dan Musik Bambu.

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memiliki dua fakultas, yaitu Fakultas
Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Untuk Fakultas Seni
Pertunjukan, ISI memiliki empat jurusan, yaitu Jurusan Karawitan, Jurusan
Tari, Jurusan Etnomusikologi, dan Jurusan Pedalangan yang terbagi menjadi
dua program studi yaitu, Program Studi Pedalangan dan Program Studi Seni
Teater. Semua jurusan tersebut berada di jenjang Strata 1.

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memiliki tiga fakultas untuk


tingkat kesarjanaan Strata 1: Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan,
dan Fakultas Seni Media Rekam. Fakultas Seni Pertunjukan memiliki
jurusan Tari, Karawitan, Teater, Etnomusikologi, Pedalangan, dan Seni
musik. Untuk program pascasarjanadi luar program Magister Penciptaan
dan Pengkajian Seni dan Doktor Penciptaan dan Pengkajian Senisejak
2010, ISI Yogyakarta telah mempunyai program studi Magister Tata Kelola
Seni dengan tiga konsentrasi yang terdiri dari: (1) Manajemen Budaya dan
Pariwisata, (2) Manajemen Seni Pertunjukan, dan (3) Manajemen Seni Rupa.

Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Surabaya. STKW memiliki


tiga jurusan di Strata 1 (S1) bidang seni pertunjukan, yaitu Seni Teater,
Seni Tari, dan Seni Karawitan. Kurikulum Seni Tari dan Seni Karawitan
berorientasi pada kesenian Jawa Timur.

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, memiliki dua fakultas yaitu
Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Fakultas
Seni Pertunjukan mempunyai lima program studi: Seni Tari, Seni Karawitan,
Seni Pedalangan, Sendratasik (seni drama, tari, dan musik) dan Seni Musik
yang semuanya berada di jenjang Strata 1.

Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang (Sumatera Barat) memiliki


Fakultas Seni Rupa dan Desain serta Fakultas Seni Pertunjukan (FSP). FSP
memiliki jurusan Karawitan, Tari, Musik dan Teater. FSP juga menawarkan
program pascasarjana dengan dua jalur program, yaitu Pengkajian Seni
dan Penciptaan Seni. Masing-masing jalur memiliki mata kuliah khusus
Manajemen Seni (2 SKS).

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan spesialisasi seni pertunjukan:


SMK Negeri 8 Surakarta, atau lebih dikenal dengan nama Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia, adalah sekolah yang khusus didirikan untuk menjadi
konservatorium bagi kesenian karawitan yang ada di daerah Surakarta.
SMIK 8 ini telah memiliki lima kejuruan, yaitu Seni Karawitan, Seni Tari,
Seni Pedalangan, Seni Musik, dan Seni Teater.

SMKN 10 Bandung adalah sekolah kejuruan yang memiliki program


khusus Seni Pertunjukan.

SMKN 1 Bantul (lebih dikenal sebagai Sekolah Menengah Karawitan


Indonesia) setara sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk menjadi
konservatorium bagi kesenian karawitan yang ada di daerah Yogyakarta
dan sekitarnya.

SMKN 5 Denpasar, awalnya bernama Sekolah Menengah Musik Negeri


Denpasar. Adapun program studi yang terdapat di sekolah menengah tersebut
adalah program studi Musik Diatonis (modern), Tari, dan Teater Nasional

Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Negeri Denpasar (SMKI) yang


sekarang telah berubah nama menjadi SMKN 23 Sukowati dan berlokasi
di kampus Batubulan, Gianyar, Bali. Program studi yang disediakan di
sekolah ini adalah program studi Seni Tari, Seni Musik (musik daerah atau
karawitan), dan Seni Teater (daerah atau pedalangan).

b. Lembaga pendidikan nonformal, adalah organisasi pendidikan berbentuk kelompok


atau sanggar seni yang umumnya dikelola dan didanai oleh swasta atau perorangan,
seperti sanggar tari, teater komunitas, dan paguyuban seni.
Di luar intitusi pendidikan, pengembangan pengetahuan seni pun dapat diperoleh dari berbagai
kegiatan lainnya yang sering diadakan oleh lembaga-lembaga kebudayaan, seperti program
magang (internship), residensi seniman (artist residency) serta program pertukaran budaya.
Tantangan terbesar bagi seni pertunjukan Indonesia adalah bagaimana membangun medannya
(nurturance environment) sendiri, misalnya pendidikan. Kekurangan pendidikan seni di Indonesia
di antaranya: 1) pengaturan syarat pendidikan bagi pengajar institut seni mengakibatkan siswa
kehilangan kesempatan diajar oleh maestro seni; 2) mayoritas pengajar seni tidak berkarya,
sehingga ada kesenjangan antara teori dan praktik (meski menurut sebagian narasumber, antara

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

67

berkreasi dan mengajar adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan); 3) praktik pengajaran
seni di Indonesia hanya menekankan pada apresiasi estetika, tidak berusaha memahami seni
secara holistik dengan sistem masyarakat penciptanya; 4) pendidikan kesenian yang modernis
membuat pelajar sulit mengapresiasi kesenian tradisi.23
Oleh karena itu, pendidikan seni pertunjukan yang diajarkan institusi besar seperti ISI, STSI,
dan IKJ diakui tidak cukup memberi calon seniman pertunjukan bekal ilmu yang cukup,
sehingga seringkali mereka harus mengambil kelas lokakarya, berjejaring (networking) ke luar
negeri dengan biaya sendiri, bahkan menerbitkan publikasi sendiri untuk mendidik masyarakat
agar lebih mengapresiasi seni pertunjukan.
2. Pendidikan Manajemen
Ilmu manajemen sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan berkesenian yang dilakukan
oleh seniman, terutama agar seniman dapat terus berkarya secara berkesinambungan.
Pendidikan manajemen dapat dibagai menjadi:
Manajemen seni, yaitu manajemen semua bentuk kesenian dan organisasi seni,
termasuk kelompok seni, venue, pameran, konser dan festival;

Manajemen pertunjukan, mencakup pengetahuan teori dan praktik penyelenggaraan


pertunjukan, seperti manajemen proses kreasi, produksi, dan presentasi seni pertunjukan.

Pendidikan manajemen dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:


Pendidikan formal: perguruan tinggi (sarjana, pascasarjana);

Nonformal: kursus, pelatihan, dan lokakarya.

Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga pendidikan yang layak untuk bidang manajemen
dan teknis seni pertunjukan. Dalam tingkat nonformal, Yayasan Kelola bekerja sama
dengan PPM Manajemen (Pendidikan dan Pembinaan Manajemen) untuk mengembangkan
modul pelatihan manajemen seni pertunjukan intensif dan sempat melatih ratusan pelaku
seni. IKJ pernah membuka program studi manajemen seni pertunjukan dan beberapa
lulusannya kini bekerja di berbagai organisasi.
3. Pendidikan Produksi, Desain dan Teknis
Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan mencakup pengetahuan
interpretasi, dan teknis penyelenggaraan pertunjukan seperti desain, konstruksi atau
pembuatan panggung dan manajemen dalam pengembangan proses produksi.

Manajemen, seperti manajemen panggung dan manajemen produksi;

Desain dan pengoperasian, seperti desain panggung dan kostum, desain dan
pengoperasian tata cahaya dan tata suara;

Teknis, seperti konstruksi properti dan dekorasi panggung (scenery), dan mekanis
backstage.

Pendidikan produksi, desain dan teknis seni pertunjukan dapat ditempuh melalui dua
cara, yaitu:

Pendidikan formal: perguruan tinggi (diploma, sertifikasi).

Nonformal: kursus, pelatihan, dan magang.

(23) Kajian Kerangka Hukum Untuk Kegiatan Kesenian dan Kebudayaan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009.
68

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Secara umum, profesi teknisi tata lampu dan suara di Indonesia masih dipandang sebelah
mata dan tidak dianggap sebagai profesi yang memerlukan kreativitas. Kebanyakan dari
teknisi tersebut belajar sambil bekerja, karena tidak ada pelatihan profesional khusus untuk
keahlian tata lampu dan suara. Oleh karena itu, banyak teknisi panggung di Indonesia
yang mempunyai keterampilan teknis pas-pasan. Namun, bukan berarti tak ada teknisi
panggung di Indonesia yang memiliki kemampuan profesional di bidangnya.

Sertifikasi pengajar
Pada beberapa bidang seni tertentu dapat diterapkan sertifikasi pengajar, misalnya sertifikasi
yang diberikan kepada pengajar profesional tari untuk teknik tertentu. Ada beberapa sertifikasi
pendidikan tari dengan kurikulum baku internasional, seperti dari Commonwealth Society of
Teachers of Dancing (CSTD), Royal Academy of Dance London (balet), dan Vaganova (balet
Rusia). Namun, sertifikasi seperti ini jika tidak diregulasi dengan baik justru akan memberikan
efek yang tidak baik. Misalnya, orang cenderung hanya mengejar sertifikasi tanpa menggubris
makna pendidikan sesungguhnya.
Selain dari lembaga sertifikasi internasional, sertifikasi untuk pengajar juga seharusnya dapat
diberikan oleh lembaga pendidikan nonformal seperti kursus musik, sanggar tari, dan kelompok
teater yang telah diakreditasi oleh pemerintah.

International Artist Residency


Tidak banyak kelompok seni pertunjukan Indonesia yang melakukan residensi di luar negeri
dalam rangka meningkatkan kapasitas organisasi dan keterampilan artistik. Padahal, pertukaran
pengetahuan antara seniman Indonesia dan seniman asing terjadi selama residensi. Seniman
asing umumnya berbagi pengetahuan dengan cara memberikan lokakarya terkait dengan fokus
keahliannya masing-masing, serta melakukan proyek kolaborasi dengan seniman-seniman
Indonesia. Saat ini, seniman-seniman asing masih dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan
modern dan keterampilan teknis yang lebih maju. Namun, dalam kolaborasi internasional,
seniman-seniman Indonesia berpartisipasi setara dengan seniman asing, bukan sebagai seniman
tamu yang dianggap eksotis dan berbeda.

Kritikus seni pertunjukan


Seni pertunjukan memerlukan lingkungan kritik dan peneliti. Namun karena di Indonesia
lingkungan ini belum terbentuk, maka praktisi seni pertunjukan Indonesia menciptakan
lingkungan pengkritiknya sendiri. Hal ini didasari atas pemahaman bahwa keberlanjutan gagasan
(ideas sustainability) sama pentingnya dengan keberlanjutan ekonomi (financial sustainability),
sehingga kesenjangan pengetahuan antar seniman harus diperkecil.
Kritikus adalah salah satu pilar penting dalam siklus kehidupan seni pertunjukan. Kritikus
yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang genre yang ia ulas dan menawarkan sudut
pandang kritis tentang apa yang ia tonton, bukan hanya sekadar menilai pertunjukan tersebut
baik atau tidak. Masukan (input) dari kritikus yang baik tidak hanya bermanfaat bagi pendidikan
penonton, tetapi juga menjadi masukan bagi sang seniman.
Seni pertunjukan yang disukai kebanyakan penonton awam belum tentu mencerminkan
kualitas yang baik. Dominasi kebudayaan yang berkembang saat ini masih merupakan dominasi
ekonomi, sehingga seringkali pertunjukan yang dinilai bagus adalah pertunjukan yang meriah

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

69

dan spektakuler. Akibatnya, penilaian intrinsik atas karya seni pertunjukan tidak berfokus pada
substansi tetapi hanya berdasarkan tampak luarnya belaka.
Media massa mempunyai peran besar dalam penciptaan tren. Banyak kritikus seni pertunjukan
di Indonesia yang terafiliasi dengan media tertentu, seperti jurnalis dan kritikus lepas (reviewer).
Hanya segelintir media yang mendidik jurnalis di bidang seni pertunjukan dengan merekrut
orang dengan latar belakang yang tepat (filsafat dan estetika, misalnya). Kebanyakan media
menerapkan sistem rotasi di mana para jurnalis wajib berganti rubrik spesialisasinya setiap beberapa
bulan. Akibatnya, ada generasi baru wartawan seni Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan
cukupatau bahkan buta sama sekalitentang seni pertunjukan Indonesia, apalagi pertaliannya
dengan yang global.

Riset dan ulasan seni pertunjukan


Untuk merawat sisi intelektual seni pertunjukan, diperlukan pengembangan wacana melalui
penelitian serta ulasan-ulasan seni pertunjukan yang bermutu. Dengan demikian, akan tercipta
akumulasi pengetahuan berupa referensi dan ulasan kritis yang ikut membangun dialektika di
ruang publik sehingga pengalaman-pengalaman tampil dan menonton tersebut menjadi sebuah
sistem pengetahuan. Ulasan dapat ditulis cetak seperti dalam surat kabar, majalah populer;
diterbitkan sebagai majalah dan buku khusus, ataupun jurnal akademis atau nonakademis.
Ada beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh jurusan seni pertunjukan (STSI Bandung
dan ISI), tetapi penyebarannya masih belum merata. Teater Garasidengan bantuan dana dari
Hivospernah menerbitkan Lebur, jurnal seni pertunjukan, tetapi kini terhenti. Buku-buku
tentang kajian seni pertunjukanbaik tulisan para akademisi di bidang ini maupun terjemahan
teks-teks kunci internasionalmasih terhitung minim, padahal elemen yang membangun wacana
ini penting untuk perkembangan praktik seni pertunjukan Indonesia.

D. Pengarsipan
Terdapat beberapa organisasi di Indonesia yang menaruh perhatian pada pemeliharaan arsip juga
pelestarian praktik seni dan budaya. Namun, dalam pelaksanaannya selalu ada kendala yang
menghambat, seperti perubahan sosial yang dapat mengikis seni tradisi dan juga keterbatasan
biaya untuk melakukan perawatan arsip dan keterbatasan ruang pamer. Bila keterbatasan ini
bisa dilampaui, arsip-arsip tersebut dapat sangat berguna bagi beberapa pemangku kepentingan
seperti praktisi, peneliti dan masyarakat luas.
Sayangnya, kebanyakan arsip seni pertunjukanterutama dalam bentuk rekaman atau
dokumentasi audio visualsaat ini masih disimpan atau menjadi koleksi pribadi seniman sendiri.
Ada beberapa koleksi arsip seni pertunjukan seperti milik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, arsip
sejak 1968) atau Yayasan Kelola (arsip sejak 1999) yang dapat diakses publik secara khusus. Arsip
DKJ sedang didigitalisasi sementara arsip di Yayasan Kelola masih dikelola secara mandiri dan
belum maksimal dimanfaatkan.

70

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

The New York Public Library for The Performing Arts


Sumber: Wikipedia

New York Public Library for the Performing Arts, Dorothy and Lewis B. Cullman Center
The New York Public Library for the Performing Arts (NYPL) adalah salah satu perpustakaan
yang memiliki koleksi terlengkaptermasuk sirkulasi, referensi, dan arsip langkadi bidang
seni pertunjukan. Selain memiliki materi yang dapat diakses dengan gratis, NYPL juga
menyelenggarakan beragam program khusus, termasuk pameran, seminar, dan pertunjukan.
Jenis materi yang ada mencakup nonbuku seperti rekaman sejarah, kaset video, manuskrip,
korespondensi, notasi musik, desain panggung, kliping, buku program, poster, dan foto-foto.
Di samping koleksi-koleksi tersebut, ada juga koleksi penelitian yang didanai oleh pemerintah
kota New York dan swasta.
Sumber: www.nypl.org

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

71

2.2 Peta dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan


2.2.1 Peta Industri Seni Pertunjukan
Peta industri adalah peta yang menggambarkan hubungan antar pelaku dan entitas usaha yang
membentuk industri utama, mulai dari proses kreasi hingga ekshibisi atau presentasi, serta pelaku
dan entitas pendukung yang memberikan suplai pada pelaku dan entitas usaha di industri utama
(backward linkage) dan entitas pendukung yang memberikan permintaan (demand) kepada pelaku
dan entitas usaha industri utama (forward linkage).
Sifat seni pertunjukan yang serba multidisiplin dan kerap multimedia membuat proses produksi
karya seni pertunjukan selalu melibatkan banyak orang (baik seniman perancang, penampil
maupun teknisi). Sementara itu, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), di sini dan
kini, maka proses konsumsi atau resepsinya pun mesti melibatkan sejumlah pelaku yang sama
banyaknya dengan proses produksinya. Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan yang
seperti itu membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar.
Dibandingkan dengan film, misalnya, proses produksi film juga melibatkan banyak pelaku, tetapi
karena watak karya film sebagai (berada di dalam) medium terekam maka proses distribusinya
setelah proses penciptaan (perekaman dan pengeditan) selesaimenjadi lebih ringan dan lebih
mudah ketimbang seni pertunjukan.
Kerangka ekonomi dan industri kreatif atas seni pertunjukan mesti menimbang dan bertolak
dari watak dasar seni pertunjukan tersebut.

Konsekuensi ekonomis dari watak


seni pertunjukan membuat biaya
produksi dan distribusi karya seni
pertunjukan menjadi relatif besar
A. Pelaku Industri dalam Proses Kreasi
Pada industri utama seni pertunjukan, proses awal penciptaan karya dimulai dari proses kreasi.
Dalam awal proses kreasi, para seniman pencipta adalah pelaku yang kaya akan ide dan merupakan
sumber pengetahuan dalam perwujudan karya yang kemudian dituangkan menjadi konsep atau
rancangan pertunjukan. Konsep dan rancangan pertunjukan ini bentuknya bermacam-macam;
untuk seorang penulis naskah misalnya, konsep ide dituangkan ke dalam naskah drama. Naskah
drama ini kemudian dapat dicetak menjadi sebuah buku dan diterbitkan. Untuk seorang komposer,
konsep dan rancangan musiknya dituangkan dalam bentuk notasi (music score). Lembaranlembaran music score ini juga dapat dicetak menjadi buku dan diterbitkan. Oleh karena itu, industri
penerbitan dan percetakan merupakan industri forward linkage yang disuplai oleh karya buku
yang ditulis oleh seniman pencipta. Contoh entitas usaha yang menjual buku-buku/notasi-notasi
musik misalnya Boosey & Hawkes (www.boosey.com), yang saat ini menjadi penerbit utama
notasi-notasi musik klasik Barat yang digunakan oleh musisi klasik Indonesia.

72

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Gambar 2-3 Peta Industri Seni Pertunjukan

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

73

Sejak 2014, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2013-2015 mulai menerbitkan enam seri
Antologi Musik, berupa buku notasi (music score) karya para komponis Indonesia yang dibagi
ke dalam tema-tema (musik klasik Barat, musik untuk seriosa, musik untuk ilustrasi film, dan
lain sebagainya).
Gagasan-gagasan kreatif yang ada di kepala sutradara kerap menyimpan banyak hal yang
menarik, seperti: sumber inspirasi kreatif, alasan dan orientasi penciptaan, sampai pendekatanpendekatan kreatif yang digunakan dalam mewujudkan ide-ide tersebut. Karena itu, banyak
sutradara menuliskan gagasan dan proses kreatifnya baik dalam bentuk esai (tulisan panjang) atau
sketsa-sketsa yang menjelaskan gagasan atau pendekatan kreatif mereka. Banyak dari kumpulan
tulisan gagasan atau pendekatan kreatif yang diterbitkan sebagai buku, sehingga bisa menjadi
panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara muda. Buku semacam The Empty
Space dan Shifting Point yang merupakan kumpulan tulisan gagasan dan pendekatan kreatif
sutradara teater terkemuka dari Inggris, Peter Brook, misalnya, terus mengalami cetak ulang.
Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang kerap
kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film
maupun sebagai pelatih akting (acting coach). Di Jakarta, misalnya, Wendy Nasution (aktor
Teater Mandiri) dan Norman Akyuwen (aktor dan penulis Teater Stock), banyak terlibat di
industri film sebagai acting coach. Generasi selanjutnya, seperti Joind Bayuwinanda, yang dengan
kelompoknya memenangkan Festival Teater Jakarta hingga dua kali, menjadi acting couch untuk
produksi drama musikal.

B. Pelaku Industri dalam Proses Produksi


Pada tahapan produksi, seniman pencipta (sutradara, koreografer, dan komposer) membutuhkan
peran perancang (desainer) untuk merealisasikan dan mengembangkan gagasan penciptaan mereka
ke dalam ruang dan lokasi (set dan dekorasi), suasana serta mood peristiwa (cahaya dan atau musik
ilustrasi), kostum, dan lain sebagainya, sehingga menyusun peristiwa-peristiwa pertunjukan (adegan)
yang lengkap dan meyakinkan. Perancang utama yang diperlukan dalam produksi di antaranya
perancang panggung (set designer atau skenografer), perancang tata cahaya (lighting designer),
perancang tata suara (sound designer atau sound engineer), dan perancang kostum dan properti.
Para perancang dan seniman pencipta (sutradara, komposer, koreografer) yang terlibat dalam
proses produksi ini berada dalam platform kerja tim yang dipimpin oleh produser. Dalam banyak
kasus, seniman pencipta utama (sutradara, komposer, koreografer) kerap menjadi produser yang
dibantu oleh produser pelaksana untuk mengorganisir proses produksinya.
Siapapun yang menjadi produser, yang jelas ia bertugas untuk mengoordinasikan proses produksi.
Oleh karena itu, produser membutuhkan pihak-pihak lain yang dapat mendukung terwujudnya
konsep dan rancangan suatu pertunjukan. Pihak-pihak lain yang memberi bantuan dalam
perwujudan rancangan produksi ini disebut sebagai industri pendukung (backward linkage),
yang terdiri atas berbagai entitas usaha penyedia jasa, seperti jasa penyewaan (alat pencahayaan
panggung, sound system, alat musik, juga teknisi tata cahaya dan suara, serta studio latihan); jasa
pembuatan (panggung, kostum dan props, jasa tata rias dan rambut); penjual wig; dan jasa desain
komunikasi visual (yang diperlukan untuk membantu promosi pertunjukan).

74

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

C. Pelaku Industri dalam Proses Distribusi


Seperti yang telah disampaikan di bab awal, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live),
maka proses penikmatannya (konsumsi) juga berlangsung secara kini dan di sini (hic et nunc).
Hal ini membuat proses distribusinya relatif lebih kompleks jika dibanding dengan disiplin seni
lain seperti yang terekam (film atau musik rekaman), atau tertulis (sastra), atau material (seni
rupa: lukis, patung, instalasi).
Akan tetapi, dalam konteks pemasaran, sebagai awal proses distribusi karya seni pertunjukan
maka pelaku utama yang kerap mengambil peran adalah produser atau manajer seniman atau
manajer kelompok. Seperti telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya, manajer dapat berdiri
sebagai entitas sendiri seperti agensi (promotor) atau tergabung dengan perwakilan produser
seperti manajer kelompok.
Produser yang berupa kelompok (kelompok teater, sanggar tari, grup musik) biasanya menggunakan
manajer yang berdiri sebagai entitas terpisah dari kelompok untuk mendistribusikan karya,
sedangkan produser yang berupa perusahaan besar biasanya mempunyai fungsi manajer yang
sudah menjadi bagian dari produser itu sendiri, seperti general manager.
Baik manajer kelompok atau produser, peran penting di awal proses produksi adalah mengidentifikasi
pasar yang tepat untuk karya seni pertunjukannya. Pasar itu bisa berarti festival yang kerangka
kuratorialnya relevan dengan watak karya atau acara yang cocok dengan watak karya. Jika pasar yang
dimaksud adalah festival, maka peran produser atau manajer kelompok adalah mempertemukan
seniman atau karya seni pertunjukan dengan kurator atau direktur festival yang kerangka serta
selera artistiknya relevan. Dalam kerangka ini, peran yang dibutuhkan adalah semacam mak
comblang (match maker) untuk karya atau seniman pertunjukan. Karena itu, pengetahuan atas
pasar (market knowledge) sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
Selain itu, untuk mendukung proses distribusi ini, maka manajer memerlukan dukungan industri
media (cetak, elektronik, digital) untuk mempromosikan dan memasarkan karya seni pertunjukan.
Promosi pertunjukan yang dilakukan oleh manajer kemudian ditindaklanjuti oleh agen penjualan
tiket sebagai pengelola box office. Walaupun demikian, tidak semua pertunjukan menggunakan
agen penjualan tiket sebagai pengelola tiket masuk. Hal ini tergantung dari skala produksi yang
dilakukan dan banyaknya tiket yang dijual. Untuk pertunjukan skala kecil dan menengah, penjualan
tiket biasanya dilakukan in-house oleh pihak manajer kelompok. Atau, apabila presenter yang dituju
mempunyai program dan sistem box office, maka penjulan tiket dilakukan oleh presenter, seperti
yang dilakukan oleh Komunitas Salihara untuk setiap pertunjukan yang diselenggarakannya.

D. Pelaku Industri dalam Proses Presentasi


Presenter adalah pelaku utama dalam proses produksi. Presenter yang berada dalam industri
utama seni pertunjukan adalah venue (gedung pertunjukan yang selayaknya dikuratori khusus),
sedangkan presenter berupa program (festival) merupakan industri yang didukung oleh presentasi
karya di venue (forward linkage). Sebab, festival sendiri merupakan industri lain yang kebutuhan
penyelenggaraannya membutuhkan sumber daya yang berbeda dengan penyelenggaraan
pertunjukan itu sendiri. Begitu pun halnya dengan stasiun televisi. Pada saat suatu pertunjukan
dipentaskan, terdapat entitas-entitas usaha lain yang mendukung kegiatan pementasan (backward
linkage) seperti jasa rekaman audio/video, produser DVD, jasa dokumentasi, dan merchandiser.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

75

2.2.2 Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan


Seperti telah dijabarkan di dalam uraian-uraian sebelumnya, jelaslah bahwa seni pertunjukan
Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai industri dalam pengertian yang ideal seperti
yang dicangkok dari konteks negara tertentu, misalnya, Inggris Raya yang menyatakan bahwa
industri seni pertunjukan meliputi usaha fasilitas venue dan pekerjanya, usaha (kelompok seni)
kecil dan para pekerja lepas di sektor teater, tari, opera, dan industri pertunjukan musik (termasuk
pertunjukan musik klasik, pop, rock dan genre musik kontemporer lainnya). Termasuk pula para
pekerja atau profesi yang bekerja di dalamnya seperti penampil (performer), promotor, dan para
teknisi dan staf administrasi, tidak termasuk industri musik rekaman dan pekerjaan-pekerjaan
yang terkait di dalamnya (Blueprint Performing Art UK , 2010).
Untuk bisa mencapai tahapan industrial, banyak rantai produksi dan distribusi yang harus
dilengkapi berdasarkan modelling yang ditawarkan di atas dan dijabarkan pada bagian sebelumnya.

Sebagai sebuah model ideal, ruang lingkup subsektor


industri seni pertunjukan bisa mencakup tenaga kerja
yang bekerja di dalam sektor ini, seperti misalnya
di gedung-gedung pertunjukan (venue), kelompok
kesenian (kolektif, sanggar), serta pekerja lepas
di dunia tari, teater dan musik nonrekaman (baik
seniman penampil, promotor, staf administrasi dan
manajemen dan teknisi).
Jika mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bidang Ekonomi Kreatif
2009, maka seni pertunjukan didefinisikan sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha
pengembangan konten, produksi pertunjukan (misalnya: pertunjukan balet, tarian tradisional,
tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik),
desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. KBLI Seni
Pertunjukan pun dibagi ke dalam kelompok-kelompok kode industri yaitu:
Kode 79990: Jasa Reservasi Lainnya ybdi (yang berhubungan dengan itu) dan ytdl (yang tidak
diklasifikasikan di tempat lain)
Kelompok ini mencakup usaha jasa perjalanan wisata lainnya yang belum termasuk pada
subgolongan 7991 s.d. 7993, seperti penyediaan jasa pemesanan lainnya yang berkaitan dengan
perjalanan, seperti transportasi, hotel, restoran, sewa mobil, kegiatan hiburan dan olahraga;
penyediaan jasa time share exchange (akomodasi); kegiatan penjualan tiket untuk acara tertentu
seperti teater, olahraga dan acara hiburan, pertunjukan seni budaya, serta kunjungan obyek dan
daya tarik wisata dan kesenangan lainnya dan kegiatan ybdi ytdl.
Kode 90001: Kegiatan Seni Pertunjukan
Kelompok ini mencakup kegiatan atau usaha menyelenggarakan pertunjukan kesenian dan
hiburan panggung, seperti pertunjukan drama, pagelaran musik, opera, sandiwara, perkumpulan

76

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

kesenian daerah (wayang orang, lenong), jasa hiburan band, orkestra dan sejenisnya. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti panggung, televisi, dan radio.
Kode 90002: Kegiatan Pekerja Seni
Kelompok ini mencakup kegiatan pekerja seni, seperti novelis, penulis cerita, dan pengarang
lainnya, aktor, penyanyi, penari sandiwara, penari, dan seniman panggung lainnya yang sejenis.
Termasuk pula usaha kegiatan produser radio, televisi, dan film, pelukis, kartunis dan pemahat
patung.
Kode 90003: Jasa Penunjang Hiburan
Kelompok ini mencakup usaha jasa penunjang hiburan, seperti jasa juru kamera, juru lampu,
juru rias, penata musik, dan jasa peralatan lainnya sebagai penunjang seni panggung.
Kode 90004: Jasa Impresariat Bidang Seni
Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan baik
yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat,
waktu, dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang
seni. Misalnya Java Musikindo.
Kode 93191: Promotor Kegiatan Olahraga
Kelompok ini mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan, baik
yang berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu
dan jenis hiburan. Kegiatan usaha jasa impresariat pada kelompok ini khusus bidang olahraga.
Dalam ruang lingkup industri seni pertunjukan yang dikemukakan oleh negara Inggris dalam
Blueprint Performing Art UK 2010, ditemukan elemen-elemen profesi atau usaha utama dalam
seni pertunjukan, yaitu:
1. Usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dan pekerjanya;
2. Usaha kelompok kesenian (kolektif, sanggar);
3. Usaha pekerja lepas di dunia tari, teater dan musik nonrekaman, yang mencakup:
a. Seniman penampil
b. Promotor
c. Staf administrasi dan manajemen
d. Teknisi
Sementara itu, dari definisi seni pertunjukan yang tercantum pada KBLI Ekonomi Kreatif 2009
dan ruang lingkup industrinya, usaha-usaha utama yang muncul adalah:
1. Jasa reservasi, mencakup penjualan tiket pertunjukan;
2. Kegiatan seni pertunjukan, mencakup penyelenggaraan pertunjukan/festival;
3. Kegiatan pekerja seni, mencakup seniman penampil;
4. Jasa penunjang hiburan, mencakup usaha penunjang teknis penyelenggaraan pertunjukan;
5. Jasa impresariat bidang seni, mencakup promotor seni pertunjukan;
6. Promotor kegiatan olahraga.

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

77

Membandingkan antara keduanya, maka terdapat perbedaan mencolok, yaitu tidak adanya klasifikasi
usaha fasilitas gedung pertunjukan (venue) dalam KBLI Ekonomi Kreatif 2009, padahal fasilitas
gedung pertunjukan merupakan elemen usaha penting dalam penyelenggaraan pertunjukan.
Dalam kode 4 digit KBLI 2009, subgolongan kode 9000 Kegiatan Hiburan, Kesenian dan
Kreativitas mencakup:

Proses produksi dari persembahan teater yang disajikan secara langsung, konser dan
opera atau tari serta proses produksi dari pertunjukan panggung lainnya, seperti kegiatan
kelompok sirkus atau kegiatan sejenis, pertunjukan orkestra atau band dan kegiatan artis
perorangan, seperti penulis, aktor, sutradara, produser, musisi, penceramah atau ahli
pidato, pendesain dan pembangun panggung pertunjukan;

Kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater serta fasilitas seni lainnya;

Kegiatan dari pemahat, pelukis, kartunis, pengukir, pengetsa, dan lain-lain;

Kegiatan penulis, untuk semua subjek mencakup penulis fiksi, penulis teknis dan lain-lain;

Kegiatan jurnalis independen;

Kegiatan memperbaiki atau restorasi hasil karya seni seperti lukisan dan lain-lain.

Kegiatan produser atau wirausaha seni pertunjukan,dengan atau tanpa fasilitas.

Terlihat dari cakupan subgolongan 9000 diatas, bahwa Kegiatan operasional ruang konser dan
ruang teater termasuk di dalamnya. Namun, kegiatan ini tidak dikembangkan menjadi kode 5
digit, karena di lapangan usaha ini dianggap jumlah dan perkembangannya di Indonesia tidak
signifikan.
Agar perhitungan kontribusi ekonomi seni pertunjukan Indonesia dapat dilakukan secara
komprehensif di semua elemen usaha, maka pemerintah sebaiknya membuat kode 5-digit untuk
usaha kegiatan operasional ruang konser dan ruang teater (fasilitas gedung seni pertunjukan
atau venue).
Klasifikasi lapangan usaha bidang seni pertunjukan yang digunakan saat ini memang belum
sepenuhnya mencerminkan realitas paling mutakhir dari situasi Indonesia. Namun, klasifikasiklasifikasi tersebut tetap diuraikan di sini sebagai panduan informasi yang terbuka untuk
masukan-masukan di masa depan.

2.2.3 Model Bisnis di Industri Seni Pertunjukan


Dengan tiadanya infrastruktur kesenian yang memadai, seniman Indonesia harus memaksimalkan
kreativitasnya agar proses kreatifnya tetap berlangsung. Pendanaan adalah salah satu hambatan
dalam mewujudkan kreativitas. Untuk itu, para seniman Indonesia mencoba beberapa pendekatan
yang dalam konteks penulisan buku ini didefinisikan sebagai model bisnis. Pendekatan kolektif
terhadap kreativitas melalui pengembangan kelompok lebih mampu diadopsi dalam mengembangkan
model bisnis atau kewirausahaan, baik model bisnis kreatif dan tradisional.24
Pendekatan ini kemudian dihubungkan dengan pemikiran bahwa wirausahawan budaya (cultural
enterpreneur) adalah individu yang tidak hanya mampu mengidentifikasi dan mengembangkan
(24) G. Akehurst, J.M.Comeche, dan M.A. Galindo, Job satisfaction and commitment in the entrepreneurial SME, Small
Business Economics, Vol. 32, hlm. 277-89, 2009.
78

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

peluang-peluang artistik, tetapi juga mampu menyampaikan nilai artistik tersebut kepada penonton
dan mengomunikasikannya secara efektif baik dalam konteks lokal atau internasional. Kelompok
seni pertunjukan yang mampu berkembang dan berkelanjutan secara finansial pada umumnya
memiliki pengetahuan dasar yang kuat, dan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dan
mempunyai jejaring yang luas.
Secara umum, ada beberapa contoh model bisnis di dalam seni pertunjukan, beberapa diantaranya
juga diterapkan oleh para seniman kita, antara lain:

Kelompok seni yang disubsidi penuh oleh pemerintah melalui sistem pendanaan untuk
kesenian, seperti Singapore Dance Theatre (SDT) yang memang dibentuk sebagai flagship
company. Selain bersandar pada subsidi pemerintah, biasanya arts company model ini juga
mencari sponsor eksternal berupa donatur-donatur individual (patron) ataupun korporasi.
Sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki kelompok kesenian nasional seperti ini.

Gedung pertunjukan (venue) komersial. Saat ini gedung-gedung pertunjukan utama di


Indonesia kepemilikannya masih didominasi oleh pemerintah, yang seharusnya beroperasi
secara nonkomersial. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Gedung-gedung pertunjukan
milik pemerintah ini menetapkan biaya sewa dan retribusi yang sangat tinggi sehingga
mudah untuk memasukkannya ke dalam kategori komersial (lihat Bab 2.1.2.A.4: Proses
Presentasi untuk penjelasan lebih detail).

Promotor. Berbeda dengan promotor seni pertunjukan yang saat ini belum ada di Indonesia,
promotor pertunjukan musik populer sudah berkembang menjadi sebuah industri yang
menjanjikan karena adanya permintaan pasar yang terus-menerus akan pertunjukan
musik populer, seperti Java Musikindo. Di luar negeri, usaha promotor seni pertunjukan
sudah lebih berkembang, sebagai contohnya adalah From Sweden Production (www.
fromswedenproductions.com) yang mempromosikan karya-karya seni pertunjukan
Swedia, terutama pertunjukan musik klasik ke luar negeri. From Sweden Production
menawarkan beragam jasa bagi kliennya, mulai dari strategi penggalangan dana, branding,
public relation (PR), pemasaran, konsultasi, manajemen, hingga promosi sebuah konser,
festival, dan event yang berhubungan dengan Swedia.

Kelompok seni yang dikelola oleh tim kecil (seperti kelompok teater atau tari) contohnya:

Teater Koma yang berdiri pada 1977 adalah satu-satunya kelompok teater nonprofit
yang masih aktif berkarya hingga saat ini (dua pertunjukan per tahun). Meskipun
tidak berbentuk perusahaan, Teater Koma tetap menjalankan sistem manajemennya
dengan profesional. Para anggotanya paham bahwa mereka tidak dapat hidup dari
penghasilan teater, sehingga mereka tidak mengandalkan honor dari pementasan.
Sebagian besar memiliki pekerjaan lain di luar teater.
Pendapatan Teater Koma di setiap pementasannya adalah dari penjualan tiket, yang
rata-rata tingkat penjualannya sebesar 80 persen, hal yang sangat jarang ditemui di
kelompok-kelompok teater lainnya. Dengan harga tiket berkisar Rp75.000300.000
untuk umum dan Rp50.000 untuk mahasiswa, Teater Koma kerap kali berpentas
di Graha Bhakti Budaya (800 kursi). Selain dari penjualan tiket, sumber pendanaan
Teater Koma juga berasal dari:
Sponsor korporasi seperti Unilever, Djarum Foundation, dan perusahaanperusahaan lain yang memberikan kontribusi in-kind. Kekuatan Teater Koma
terletak pada para simpatisan, donatur, dan sponsornya. Setiap anggota harus
bisa berpromosi, menjadi humas dan menjual tiket di lingkaran komunitas diluar

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

79

komunitas seniman. Prinsip menjemput bola adalah prinsip yang dijalankan


Teater Koma dalam membinapenonton (audience development).

Honor diskusi di sekolah-sekolah yang mempunyai ekstrakurikuler teater yang


kuat seperti di Al Izhar, Pelita Harapan, dan JIS.

Undangan korporasi-korporasi besar untuk tampil di acara perayaan korporasi.

Kerjasama program Akhir Pekan dengan Museum Nasional.

Teater Koma saat memainkan peran dalam lakon Sampek Engtay di Gedung Kesenian Jakarta, 13 Maret 2013.
Foto: Fernando Randy, VIVAnews

80

Gigi Art of Dance (GAOD), Jakartadance company. Agar dapat berkelanjutan secara
finansial, GAOD mempunyai 3 lini usaha, yaitu: 1) edukasi (kursus tari ekstensif),
2) kelompok tari (dance company) baik untuk jasa komersial maupun pendidikan
lanjut bagi siswa kursusnya; 3) Gigi Foundation. Pendapatan dari masing-masing
lini usaha dapat digunakan untuk mensubsidi silang.

Namarina Jakarta adalah sekolah tari balet klasik Barat (kursus ekstensif ) yang
mengajarkan gaya Inggris. Didirikan oleh almarhum Nani Lubis, Namarina juga
membuka kelas jazz dance dan teknik tari Barat lainnya. Namarina juga menerbitkan
sertifikasi tari internasional bekerjasama dengan Royal Ballet.

Papermoon Puppet Theatre Yogyakarta, sebagai kelompok teater melakukan subsidi


silang dari pentas-pentas di luar negeri, tur, festival dan berjualan merchandise (secara
online, maupun pada saat pementasan).

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Choreography Night Dance for Earth 2014, sebuah showcase tahunan yang diselenggarakan oleh Gigi Art of Dance
sebagai platform untuk menunjukkan kreasi para koreografer pemula
Sumber: Gigi Art of Dance

Pementasan produksi Namarina Ballet & Jazz School: La Fille mal garde, 3 Mei 2014, Graha Bhakti Budaya
Sumber: Namarina

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

81

Sumber Cipta, sekolah tari yang didirikan oleh Farida Oetoyobalerina lulusan Bolshoi
Academy (Moskow)yang mengajarkan tari klasik balet gaya Rusia (Vaganova),
tari jazz, dan kontemporer Barat. Sekolah ini juga memiliki Kreativitaet Dance
Company, sebuah kelompok tari yang sesekali berproduksi sebagai latihan kreatif
para murid seniornya. Setelah Farida meninggal dunia pada Mei 2014 lalu, sekolah
ini dipimpin oleh anaknya, koreografer Yudi Sjuman (lulusan Folkwang Tanzschule,
Essen, Jerman) yang juga berafiliasi dengan sekolah musik yang didirikan oleh putra
Farida lainnya, Aksan Sjuman.

Teater Garasi, di samping mendapatkan hibah institusional dari lembaga donor


internasional Seperti Hivos (Belanda) dan Open Society Institute (Amerika),
juga membuka kelas keaktoran sebagai bagian dari Garasi Performance Institute.
Sebagaimana kelompok lain, pendapatan dari pentas-pentas Teater Garasi di luar
negeri juga menjadi subsidi silang untuk lembaga. Seniman-seniman Teater Garasi pun
banyak terlibat dalam proyek proyek serta produksi perunjukan lain (baik nasional
maupun internasional) dengan ketentuan: honor yang didapat dari pekerjaan di luar
Teater Garasi didonasikan sebagian untuk kelompok.

Padnewara, sebuah sanggar tari tari klasik Jawa aliran Surakarta yang didirikan
oleh penari dan koreografer Retno Maruti sejak 1976 di Jakarta. Berbentuk sanggar
informal, Padnewara membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin belajar tari
klasik Jawa ala Surakarta tanpa bayaran. Prinsip ini dipercaya oleh Retno Maruti
untuk meneladani salah satu gurunya, KRT Kusumokesowo, empu tari Jawa Kraton
Surakarta pada era 1950 sampai 1960-an. Padnewara menarik minat kelas menengah
Jakarta yang berlatih secara tekun di bawah bimbingan Maruti yang berusaha untuk
menciptakan dan memanggungkan paling tidak satu karya drama tari setiap tahunnya.
Untuk merealisasikan produksinya, Maruti bergantung pada donatur pribadi dan
korporasi. Meski berformat sanggar, mutu artistik karya-karya yang lahir di bawah
payung Padnewara dinilai profesional.

Retno Maruti dan para penari Pandewara dalam Abimanyu Gugur,


memperingati ulang tahun Padnewara ke-38 di Gedung Kesenian Jakarta
Foto: Danny Tumbelaka

82

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Poster pertunjukan tari Kreativitat Dance di Salihara, 2010.


Sumber: Sumber Cipta

BAB 2: Ekosistem dan Ruang Lingkup Industri Seni Pertunjukan Indonesia

83

84

Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah Kuliner 20152019

BAB 3
Kondisi Umum
Seni Pertunjukan
di Indonesia

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

85

3.1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan


Seni pertunjukan merupakan potensi ekonomi kreatif yang besar bagi Indonesia, baik yang berupa
dampak ekonomi langsung (direct economic benefit) dan dampak ekonomi tidak langsung (indirect
economic benefit). Oleh karena itu, perlu dilakukan pendataan yang spesifik terhadap kontribusi
ekonomi seni pertunjukan Indonesia.
Kontribusi seni pertunjukan terhadap perekonomian dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu
kontribusi ekonomi berdasarkan produk domestik bruto, ketenagakerjaan, aktivitas perusahaan,
konsumsi rumah tangga, dan berdasarkan kontribusi terhadap ekspor nasional. Secara umum
kontribusi ekonomi subsektor seni pertunjukan dapat dilihat pada Tabel 3-1.
Tabel 3-1 Kontribusi Ekonomi Seni Pertunjukan 2010-2013

INDIKATOR

SATUAN

2010

2011

2012

2013

RATA RATA

1,897.53

2,091.25

2,294.11

2,595.32

2,219.55

1 BERBASIS PRODUK DOMESTIK BRUTO


a

Nilai Tambah Subsektor (ADHB)*

Miliar Rupiah

Kontribusi Nilai Tambah Subsektor


Terhadap Ekonomi Kreatif (ADHB)

Persen

0.40

0.40

0.40

0.40

0.40

Kontribusi Nilai Tambah Subsektor


Terhadap Total PDB (ADHB)*

Persen

0.03

0.03

0.03

0.03

0.03

Pertumbuhan Nilai Tambah


Subsektor (ADHK)**

Persen

2.72

2.98

6.88

4.19

2 BERBASIS KETENAGAKERJAAN
a

Jumlah Tenaga Kerja Subsektor

Orang

72,010

75,494

78,131

79,258

76,223

Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja


terhadap Ketenagakerjaan Sektor
Ekonomi Kreatif

Persen

0.63

0.65

0.66

0.67

0.65

Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja


terhadap Ketenagakerjaan Nasional

Persen

0.07

0.07

0.07

0.07

0.07

Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja


Subsektor

Persen

4.84

3.49

1.44

3.26

Produktivitas Tenaga Kerja


Subsektor

Ribu Rupiah/
Pekerja
Pertahun

26.351

27,701

29,362

32,745

29,039.90

22,237

22,859

23,488

24,236

23,205

3 BERBASIS AKTIVITAS PERUSAHAAN


a

Jumlah Perusahaan Subsektor

Perusahaan

Kontribusi Jumlah Perusahaan


terhadap Jumlah Perusahaan
Ekonomi Kreati

Persen

0.42

0.43

0.44

0.45

0.43

Kontribusi Jumlah Perusahaan


terhadap Total Usaha

Persen

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

Pertumbuhan Jumlah Perusahaan

Persen

2.80

2.75

3.18

2.91

Nilai Ekspor Subsektor

Juta Rupiah

252,880

253,521

259,318

254,195

86

251,059

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

INDIKATOR

SATUAN

2010

2011

2012

2013

RATA RATA

Kontribusi Ekspor Subsektor


Terhadap Ekspor Sektor Ekonomi
Kreatif

Persen

0.26

0.24

0.23

0.22

0.24

Kontribusi Ekspor Subsektor


Terhadap Total Ekspor

Persen

0.02

0.01

0.01

0.01

0.01

Persen

0.73

0.25

2.29

1.09

1,506,915

1,742,645

2,024,875

2,407,812

1,920,562

Pertumbuhan Ekspor Subsektor

BERBASIS KONSUMSI RUMAH TANGGA

Nilai Konsumsi Rumah Tangga


Subsektor

Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga


Persen
Subsektor terhadap Konsumsi Sektor
Ekonomi Kreatif

0.23

0.25

0.26

0.28

0.25

Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga


terhadap Total Konsumsi Rumah
Tangga

0.04

0.04

0.05

0.05

0.04

Juta Rupiah

Persen

*ADHB: Atas Dasar Harga Berlaku **ADHK: Atas Dasar Harga Konstan
Sumber: Badan Pusat Statistik 2013, diolah

Seni pertunjukan merupakan potensi ekonomi kreatif


yang besar bagi Indonesia, baik yang berupa dampak
ekonomi langsung (direct economic benefit) dan
dampak ekonomi tidak langsung (indirect economic
benefit).

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

87

3.1.1 Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB)


Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS yang dapat dilihat di Gambar 3-1, subsektor seni
pertunjukan memberikan kontribusi sebesar 0,4% terhadap total PDB Industri Kreatif. Nilai
ini berada di urutan kedua terbawah setelah Seni Rupa dari 15 subsektor industri kreatif.
Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan NTB 2010-2013, maka pertumbuhan pada subsektor
seni pertunjukan sebesar 4,20%, berada di bawah laju rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif
5,08% dan pertumbuhan nasional 6,15%. Walaupun demikian, seni pertunjukan mengalami
peningkatan pertumbuhan yang sangat drastis dari 2,98% pada 2012 dan 6,89% pada 2013.
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh banyaknya kegiatan dan festival seni pertunjukan berskala
internasional yang dilakukan di Indonesia pada 2012-2013, di antaranya: Indonesian Dance
Festival (2012), Solo Internasional Performing Arts (2012), Indonesia Performing Art Mart (2013)
serta Art Summit Indonesia (2013). Nilai Tambah Bruto (NTB) subsektor seni pertunjukan pada
2013 maka bernilai Rp2,6 triliun.
Gambar 3-1 Nilai Tambah Seni Pertunjukan

Sumber: Badan Pusat Statistik

88

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

3.1.2 Berbasis Ketenagakerjaan


Subsektor seni pertunjukan menyerap tenaga kerja sebesar 0,67% dari total tenaga kerja industri
kreatif, yaitu sejumlah 79.258 orang. Angka kontribusi tersebut berada di peringkat ketujuh dari
15 subsektor industri kreatif. Seperti dapat dilihat pada Gambar 3-2, rata-rata pertumbuhan
tenaga kerja subsektor seni pertunjukan sejumlah 3.26%, di atas tingkat pertumbuhan ekonomi
kreatif yang sebesar 1,09% dan juga pertumbuhan nasional sebesar 0,79%.
Gambar 3-2 Ketenagakerjaan Seni Pertunjukan

Sumber: Badan Pusat Statistik

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

89

3.1.3 Berbasis Aktivitas Perusahaan


Gambar 3-3 Jumlah Unit Usaha Seni Pertunjukan

Sumber: Badan Pusat Statistik

Berdasarkan Gambar 3-3, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi
0,45% terhadap total unit usaha industri kreatif. Dengan kontribusi tersebut, subsektor seni
pertunjukan berada di peringkat ketujuh dari 15 subsektor. Angka pertumbuhan rata-rata
tenaga kerja seni pertunjukan sebesar 2,91%, dan berada di atas rata-rata pertumbuhan unit
usaha ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan, yang masing-masing sebesar 0,98%
dan 1,05%. Terdapat 24.236 unit usaha seni pertunjukan pada 2013.

90

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

3.1.4 Berbasis Konsumsi Rumah Tangga


Gambar 3-4 Jumlah Nilai Konsumsi Rumah Tangga untuk Seni Pertunjukan

Sumber: Badan Pusat Statistik

Berdasarkan gambar 3-4, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi
0,28% atau sebesar Rp2,4 triliun terhadap total konsumsi rumah tangga industri kreatif. Kontribusi
tersebut berada di posisi kesembilan dari 15 subsektor industri kreatif. Rata-rata pertumbuhan
konsumsi rumah tangga di subsektor seni pertunjukan adalah 16,92%, di atas pertumbuhan
konsumsi rumah tangga ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan yang masing-masing
bernilai 10,5% dan 11,15%.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

91

3.1.5 Berbasis Nilai Ekspor


Berdasarkan gambar 3-5, dapat dilihat bahwa subsektor seni pertunjukan memberikan kontribusi
0,22% (Rp259 miliar) terhadap nilai ekspor industri kreatif. Kontribusi tersebut berada di
posisi keempat terbawah dari 15 subsektor industri kreatif. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor
di subsektor seni pertunjukan adalah 1,09% dan berada di bawah pertumbuhan nilai ekspor
ekonomi kreatif dan Indonesia secara keseluruhan yang masing-masing bernilai 7,16% dan 9,89%.
Gambar 3-5 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan

Sumber: Badan Pusat Statistik

92

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Pada Gambar 3-6, terlihat perbedaan jumlah impor dan ekspor subsektor seni pertunjukan.
Jumlah impor subsektor seni pertunjukan jauh lebih besar dibandingkan ekspor, begitu pula
dengan rata-rata pertumbuhan impor (21,43%) dibandingkan pertumbuhan ekspor yang hanya
sebesar 1,08%. Rata-rata pertumbuhan impor tersebut lebih besar daripada rata-rata impor skala
industri kreatif sebesar 15,2% dan nasional sebesar 15,4%. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan
ekspor seni pertunjukan masih jauh lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan ekspor skala
industri kreatif yang sebesar 7,2% dan nasional sebesar 9,9%.
Gambar 3-6 Perbandingan Ekspor-Impor Seni Pertunjukan 2010-2013

Sumber: Badan Pusat Statistik

Berbeda dengan data BPS, data UN COMTRADE (The United Nations Commodity Trade
Statistics Database) menunjukan nilai ekspor seni pertunjukan yang lebih kecil, yaitu Rp88
miliar, dengan rata-rata pertumbuhan 0,02% untuk periode 2010-2013. Yang termasuk dalam
kategori ekspor menurut data COMTRADE untuk seni pertunjukan adalah perayaan (celebration)
dengan kode sebagai berikut:

Kode 950510 untuk barang-barang perayaan Natal (tidak termasuk lilin dan lampu,
pohon Natal, dan penyangga pohon Natal)

Kode 950590 untuk festival, karnaval, dan barang-barang hiburan (entertainment)


Kode 950810 untuk sirkus keliling dan hewan-hewan sirkus

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

93

Gambar 3-7 Nilai Ekspor Seni Pertunjukan Menurut Data UN COMTRADE

Sumber: COMTRADE

3.2 Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan


Terdapat banyak peraturan yang berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan seni pertunjukan di
Indonesia. Di bawah ini dijelaskan beberapa peraturan saja yang mempunyai dampak langsung
dan signifikan terhadap perkembangan seni pertunjukan Indonesia.

3.2.1 Retribusi Daerah


Retribusi berlaku untuk gedung-gedung pertunjukan di daerah se-Indonesia dan besarannya
diatur dalam PERDA masing-masingyang jumlahnya berbeda-beda di setiap daerah. Analisis
di bawah ini mengambil contoh kasus Perda DKI Jakarta yang mempunyai gedung-gedung
pertunjukan publik utama.
Retribusi daerah adalah pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tempat
rekreasi dan olahraga pada bidang kebudayaan dan permuseuman dipunguti retribusi dengan nama
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, yang termasuk ke dalam golongan dan jenis Retribusi
Jasa Usaha. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa usaha yang diberikan pemerintah daerah
dengan menganut prinsip komersial, karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh swasta.

94

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

NAMA PERATURAN

Perda DKI Jakarta Nomor 3/2012 tentang Retribusi Daerah, Bagian


Keempat Bidang Kebudayaan

PENJELASAN SINGKAT

Perda DKI Jakarta Nomor 3/2012 tentang Retribusi Daerah dibuat


sebagai penyempurnaan PERDA Nomor 1 Tahun 2006 yang
berisi pengaturan tentang Retribusi Daerah, dengan menimbang
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian penyelenggaraan pemerintah di
daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah
satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah. Perda ini mencakup golongan
dan jenis retribusi; nama dan objek retribusi; subjek retribusi; cara
mengukur tingkat penggunaan jasa; prinsip penetapan struktur,
dan besarnya tarif.

KELEMAHAN PERATURAN

Perda retribusi dan pajak daerah merupakan jenis perda yang


paling sering ditemukan di tiap daerah. Setelah penerapan
otonomi daerah, tiap daerah berlomba untuk meningkatkan
pendapatannya dengan pembentukan perda retribusi. Retribusi
dan pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli
daerah. Asumsinya, semakin besar pendapatan daerah. maka
semakin besar anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Hal tersebut dijelaskan pada pasal 46 ayat:
Atas pelayanan tempat rekreasi dan olahraga pada bidang
Kebudayaan dan Permuseuman dipungut retribusi dengan nama
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.
Objek Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh Pemerintah Daerah, yaitu Tempat Untuk Rekreasi dan
Jasa Konservasi.
Yang kemudian dijelaskan maksud diberlakukannya retribusi
tersebut pada Pasal 49 ayat (1):
Prinsip penetapan tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) adalah untuk
memperoleh keuntungan yang layak dengan mempertimbangkan
biaya administrasi, biaya pengadaan, biaya perawatan/
pemeliharaan, dan biaya pembinaan.
Walaupun demikian, pada praktiknya, retribusi yang dikembalikan
kepada pengelola gedung tidak sesuai dengan kebutuhan,
sehingga pihak pengelola membebankan juga biaya sewa kepada
penyewa gedung. Oleh karena itu, penyewa gedung dikenai
dua kali biaya: sewa dan retribusi.Padahal, gedung-gedung ini
dibangun oleh pajak rakyat dan merupakan milik publik. Jadi,
adalah keliru jika ia diperlakukan sebagai gedung komersial. Ia
selayaknya harus dianggap sebagai modal untuk investasi kultural
(cultural investment) yang menjadi sebuah keharusan bagi suatu
daerah.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

95

KESIMPULAN

Dalam kerangka pengembangan seni pertunjukan sebagai


salah satu subsektor ekonomi kreatif, perda semacam ini harus
dihapus. Sebaliknya, gedung-gedung pertunjukan publik harus
diberdayakan dengan seperangkat keahlian dan fasilitas agar
bisa berfungsi maksimal sebagai produser (karya maupun
kegiatan seni seperti festival) maupun presenter yang memiliki
wawasan cukup untuk menyusun kuratorial yang strategis dan
kritis. Gedung pertunjukan publik harus menerapkan manajemen
profesional agar siap berjejaring secara lokal, nasional maupun
internasional.
Kesenian dan kebudayaan seharusnya tidak semata dipandang
sebagai objek yang mampu memberi sumbangan pendapatan
besar bagi daerah. Akan tetapi, ia juga perlu dipandang sebagai
aset daerah yang berpotensi dengan mendapatkan stimulus dan
kontribusi dari pemerintah daerah. Dengan berkembangnya seni
budaya di daerah, akan terdorong pula pariwisata yang mampu
mendongkrak pendapatan daerah (efek tidak langsung).

3.2.2 Pajak Daerah


Dalam sampel-sampel perda tentang pajak hiburan, pertunjukan kesenian dikenakan pajak yang
besarannya bervariasi, dan analisis di bawah ini mengambil contoh Perda DKI Jakarta. Pajak
Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutangoleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan daerah untuk kemakmuran rakyat.
1

NAMA PERATURAN

Perda DKI Jakarta Nomor 3/2010 tentang Pajak Hiburan.

PENJELASAN SINGKAT

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,maka Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan sudah tidak
sesuai lagi sehingga perlu dibentuk PeraturanDaerah tentang
Pajak Hiburan.

KELEMAHAN PERATURAN

Perda DKI Jakarta Nomor 3/2010 menetapkan pajak pergelaran


kesenian, musik, tari, dan busana sebesar 10%. Pajak untuk
pergelaran kesenian, musik, tari, dan busana disamakan
dengan pajak untuk permainan biliar, boling, dan seluncur es
yang notabene adalah usaha berorientasi pada laba.
Seharusnya, pemerintah daerah mempertimbangkan
penghapusan atau setidaknya keringanan pajak bagi
pertunjukan kesenian tertentu yang berada di luar mekanisme
pasar (misalnya seni tradisional atau seni rakyat), tetapi
penting bagi penguatan komunitas. Hal ini perlu dilakukan,
selain sebagai stimulus perkembangan seni-seni tertentu yang
tersisih, juga untuk menumbuhkan minat masyarakat atas seni
tersebut sehingga nantinya mampu bersaing.

96

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Selain hal di atas, dasar penetapan tarif yang besarannya


rata-rata sama tersebut (undang-undang memberikan batas
maksimal 35%), juga belum terlihat didasarkan pada kondisi
objektif tertentu pada daerah terkait. Indikasinya, antara lain,
dapat terlihat dari kategorisasi yang tidak tepat sasaran.
Mengapa pagelaran seni, misalnya disetarakan dengan kontes
kecantikan? Lalu mengapa kegiatan olahraga dibebani pajak
lebih ringan daripada pergelaran musik atau tari?
Padahal, terkait dengan pungutan pajak, ketentuan di dalam
Perda membuka kemungkinan untuk pengajuan pengurangan,
keringanan, dan pembebasan. Tata cara untuk mendapatkannya
diatur oleh kepala daerah. Agar ketentuan tersebut dapat
efektif dan tepat sasaran, tentu dibutuhkan data empiris di
sektor tersebut, seperti misalnya pertunjukan seni apa yang
sudah dapat berjalan sendiri mengikuti mekanisme pasar dan
pertunjukan seni apa yang masih butuh dukungan pemerintah
karena bersifat eksperimental. Tanpa adanya data objektif,
maka sulit untuk menggunakan instrumen pajak dan retribusi
ini sebagai alat pemerintah untuk mengembangkan sektor seni
dan budaya.
4

KESIMPULAN

Pajak hiburan harus diterapkan secara adil dan berimbang


berdasarkan tipe serta kategori kegiatan seni (komersial versus
nonkomersial). Jadi, penerapannya tidak bisa disamaratakan.

3.2.3 Pengadaan Barang dan Jasa


Peraturan Presiden atau Perpres adalah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh undangundang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
1

NAMA PERATURAN

Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah.

PENJELASAN SINGKAT

Perlu adanya sistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang


efisien, terbuka, dan kompetitif bagi ketersediaan barang atau
jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga berdampak
pada peningkatan pelayanan publik. Peraturan Presiden
mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah ditetapkan
untuk mengatur tata cara pengadaan barang atau jasa yang
sederhana, jelas, dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola
yang baik sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif
bagi para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa
pemerintah.

KELEMAHAN DARI PERATURAN

Peraturan ini awalnya disusun untuk melibatkan pihak swasta


agar turut aktif menjalankan kegiatan kesenian, yaitu dengan
merekrut event organiser (sering disingkat EO) untuk mengikuti
tender terbuka.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

97

Dalam praktiknya, banyak masalah yang ditimbulkan oleh


pendekatan ini, seperti: mayoritas EO (jika tidak semua)
membangun portfolionya dalam menyelenggarakan kegiatankegiatan komersial yang melibatkan jasa seni pertunjukan (lihat
definisi). Sementara itu, pada umumnya para EO tidak punya
pengalaman mengurus acara-acara kesenian sehingga dalam
skema peraturan ini mereka semata-mata hanya berperan
dalam prapembiayaan (pre-financing), dengan tujuan menalangi
anggaran pemerintah yang hanya bisa dicairkan setelah acara
berjalan.
Konsekuensinya, EO sering meminta keuntungan sangat besar
(kadang lebih dari 30%) karena tidak ada lagi keuntungan
bagiannya (seperti akumulasi pengetahuan yang ikut
membentuk kredibilitas profesionalismenya sebagai sebuah
perusahaan yang menjalankan kegiatan kesenian).
Praktik pemberian persentase (komisi) kepada pihak-pihak lain
jadi tidak terkontrol dan seringkali pemberian ekstra (semacam
bonus) ini dibebankan ke dalam biaya produksi.
4

KESIMPULAN

Pertama-tama, logika anggaran harus diubah secara mendasar.


Bagaimana mungkin pendanaan hanya bisa dicairkan setelah
acara selesai? Pendanaan sebuah kegiatan seharusnya sudah
disediakan begitu anggaran disetujui, sesuai dengan koridorkoridor transparansi yang diberlakukan.
Dalam tahap berikutnya, model pembiayaan yang paling
baik dan masuk akal dalam hal pengadaan barang dan jasa
bukan melalui mekanisme EO, tetapi dengan cara bersinergi
dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang
kesenian terkait. Jika program yang dijalankan adalah festival
yang diselenggarakan oleh pemerintah, misalnya dengan
tujuan menjadi agenda yang berkelanjutan, kepanitiaan adhoc dapat dibentuk, terdiri dari para birokrat dan pemangku
kepentingan (seniman, kurator, manajer seni) yang kinerjanya
selalu dievaluasi secara berkala, tetapi dengan niatan
berkelanjutan (bukan diganti setiap kali). Asas transparansi
serta profesionalisme harus diterapkan dalam proses kerja
kepanitiaan ini.

3.2.4 Insentif Pajak Mengenai Pembiayaan Kesenian


Peraturan mengenai pemberian insentif pajak bagi korporasi diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 93 Tahun 2010. Sementara itu, tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan
penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan
fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan infrastruktur
sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, seperti yang tercantum pada Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010, dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 76/PMK.03/2011.

98

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Peraturan Pemerintah atau PP adalah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan


oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi untuk menjalankan undang-undang.
1

NAMA PERATURAN

PP Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan


Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Dan penjelasan tata caranya pada:
Permen Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan

PENJELASAN SINGKAT

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j,


huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubahterakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilanperlu ditetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Insentif pajak ini belum memasukkan kategori kesenian
sehingga kegiatan kesenian harus masuk di bawah kategori
lainnya seperti penelitian dan pengembangan, fasilitas
pendidikan serta biaya pembangunan infrastruktur sosial.
Pendekatan semacam ini bisa diterapkan pada kasus-kasus
khusus yang memang masuk ke dalam kategori-kategori
tersebut. Namun, hal ini bisa jadi terkesan agak kompleks bagi
pembayar pajak (pihak swasta) yang ingin mendukung kegiatan
kesenian di luar kategori tersebut. kibatnya, mereka enggan
memakai kanal kebijakan ini untuk membantu programprogram kesenian dengan kategori umum, misalnya program
yang mendukung produksi karya seni.

KELEMAHAN PERATURAN

Tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan pun


seharusnya mengikuti asas pelaporan keuangan yang
transparan dan akuntabel, jika perlu (melewati jumlah tertentu),
diaudit oleh akuntan publik.

KESIMPULAN

Peraturan ini sebaiknya direvisi agar juga memasukkan


kategori kesenian ke dalam subsektor yang secara langsung
dinyatakan dalam peraturan (bukan merupakan bagian dari
subsektor lainnya) dan bisa dikenai insentif pajak.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

99

3.2.5 CSR Korporasi untuk Kegiatan Seni


1

NAMA PERATURAN

PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan


Lingkungan Perseroan Terbatas

PENJELASAN SINGKAT

Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung


Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas dibuat untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai tanggung
jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi
komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun
perseroan itu sendiri dalam rangka terjalinnya hubungan
perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, perseroan yang kegiatan
usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam
diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung
jawab sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

KELEMAHAN DARI PERATURAN

Pasal 74 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 telah mengatur bahwa


perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Yang dimaksud dengan
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya
mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan
yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah
perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan
sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam.
Hal tersebut kemudian diperkuat oleh Pasal 74 ayat (2) yang
mengatur bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Pasal 74 ayat (3) menambahkan bahwa perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Lebih lanjut, pada Pasal 74 ayat (4) terdapat ketentuan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

100

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan


Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Sangat
disayangkan justru pada pengaturan di tingkat pelaksanaan
inilah ada sebuah loophole atau celah yang dapat digunakan
oleh perusahaan untuk menghindari kewajiban melakukan
CSR. Hal tersebut terdapat pada Pasal 4 ayat (1) di mana
pelaksanaan CSR tersebut baru dapat dilaksanakan apabila
telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris atau
RUPS sesuai dengan anggaran dasar dari perusahaan tersebut.
Dengan adanya Pasal 4 ayat (1) ini maka keputusan untuk
menjadikan CSR wajib atau tidak wajib jatuh sepenuhnya
kepada internal perusahaan (dewan komisaris atau RUPS).
Pasal tersebut juga melucuti kuasa negara untuk memaksa
perseroan yang tidak memasukkan mata anggaran CSR dalam
daftar biayanya.
4

KESIMPULAN

CSR di Indonesia masih bersifat imbauan dan belum ada


sanksi yang mengatur hal tersebut ataupun insentif bagi
yang menjalankannya. Padahal, dana CSR sangat potensial
untuk mendukung para seniman agar lebih aktif berkarya
dan mendorong perkembangan seni. Oleh karena itu,
undang-undang ini sebaiknya direvisi, termasuk tata cara
pelaksanaannya yang mencakup audit, pemberian sanksi (bagi
korporasi yang tidak menjalankan), dan insentif (bagi korporasi
yang menjalankan) di mana kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan pemerintah, bukan internal perusahaan.

3.2.6 Kepabeanan
1

NAMA PERATURAN

Permen Keuangan No. 223 PMK.011/2008 tentang Penetapan


Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dengan Tarif Bea
Keluar

PENJELASAN SINGKAT

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3


ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang
Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor,
Maka perlu ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif
Bea Keluar

KELEMAHAN PERATURAN

Praktik kegiatan seni dan budaya berhubungan dengan masalah


kepabeanan. Masalah timbul akibat tidak adanya praktik yang
pasti dalam pemberlakuan bea masuk dan bea keluar atas
barang-barang yang digunakan untuk pengadaan pementasan
seni pertunjukan di luar negeri. Praktik adanya pungutan
terhadap barang-barang keperluan pameran di luar negeri,
berupa pungutan pajak ekspor ketika barang tersebut dibawa ke
luar negeri dan berupa bea masuk ketika barang pementasan
tersebut dibawa kembali ke dalam negeri, ternyata tidak sesuai
dengan peraturan perundangan yang ada.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

101

Seperti sudah disebutkan di bagian hasil penelitian di atas


(baik UU No. 10/1995 ataupun UU No. 17/2006), pada dasarnya
terdapat dua pasal yang dapat dijadikan dasar pengecualian
atas barang-barang untuk keperluan pameran seni.
Untuk keperluan pameran benda seni dari luar negeri di
wilayah Indonesia, pada dasarnya pasti akan pembebasan dari
peraturan ini sejauh untuk meningkatkan hubungan kebudayaan
antar negara. Meskipun begitu, undang-undang juga mengatur
perlunya rekomendasi dari departemen terkait (untuk konteks
saat ini adalah Kemenparekraf atau Kemendikbud) yang belum
tentu fasih akan isi aturan ini. Sementara itu, untuk pameran
seni di luar negeri dengan barang-barang dari Indonesia, pada
dasarnya ada ketentuan pembebasan bea impor ketika barang
tersebut masuk kembali ke Indonesia. Kriteria ini dalam UU
No. 10/1995 termasuk ke dalam pengecualian relatif, sedang
menurut perubahan dalam UU No. 17/2006 dimasukkan ke
dalam pengecualian mutlak.
Seperti sudah disinggung di atas, masalah-masalah di lapangan
timbul akibat tidak adanya aturan yang pasti mengenai
pemberlakuan bea masuk dan bea keluar. Dari pengalaman
seorang perupa terkemuka di Indonesia, setidaknya terdapat
beberapa hal yang perlu dijadikan catatan:
1. Tidak ada kejelasan akan aturan main dalam memasukkan
atau mengeluarkan barang di wilayah pabean Republik
Indonesia.
2. Ketidakjelasan juga menyangkut prosedur penyimpanan
(termasuk untuk pengambilan barang) dan tarif yang dikenakan
oleh pihak pabean.
3. Adanya ketidakjelasan tersebut mengakibatkan terjadinya
praktik tindakan sewenang-wenang oleh aparat pabean, baik
berupa pemberlakuan prosedur yang lama dan berbelit-belit,
hingga praktik pemerasan.
4. Seniman sendiri berharap adanya pemisahan antara barang
komersial dan nonkomersial, karena harga benda-benda seni
tentu tidak dapat diukur setara dengan benda-benda komersial
biasa.
Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi komunitas seni.
Adanya pameranatau pementasan yang memerlukan properti
yang harus dikirim terpisahdi luar negeri, dapat dijadikan
sarana untuk mengembangkan potensi kegiatan kesenian
dan kebudayaan di Indonesia. Walaupun demikian, untuk
memanfaatkan potensi ini, perlu ada perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan aparat di lapangan.
Setidaknya ada dua alternatif yang mungkin ditempuh, yaitu
dengan memanfaatkan bantuan hukum (baik dengan melalui
konsultasi sebelum kegiatan dilaksanakan, maupun meminta
advokasi ketika mendapat masalah dengan aparat pabean),
serta menghidupkan perdebatan mengenai masalah ini.

102

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

KESIMPULAN

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bagaimana aturan


yang tak jelas ditambah pengetahuan yang minim dari
warga negara, menimbulkan peluang besar terjadinya
penyalahgunaan kewenangan oleh aparat negara. Di sisi lain,
sekalipun perubahan diharapkan terjadi dari lembaga negara
(pemerintah), pemerintah sendiri belum tentu tahu atau mau
tahu permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, diperlukan peran
aktif dari warga negara untuk dapat memanfaatkan terjadinya
perubahan dari bawah ke atas, antara lain melalui optimalisasi
bantuan hukum. Selain itu, perlu dimunculkan perdebatan
publik untuk menggalang kekuatan komunitas seni untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Banyak orang
selama ini tak peduli, karena tak banyak orang mengetahui hal
tersebut

3.3 Struktur Pasar Seni Pertunjukan


Kelompok Seni dan Persebarannya
Berdasarkan pendataan terakhir yang dilakukan oleh Yayasan Kelola, yang didanai oleh Ford
Foundation, pada 2004 terdapat 2.800 organisasi atau kelompok seni di Indonesia dengan sebaran
utama sebagai berikut: 24% (684 kelompok) di Jawa, 17% (463 kelompok) di Sumatera, 13%
(361 kelompok) di Kalimantan, 12% (333 kelompok) di Sulawesi, 3.3% (94 kelompok) di Bali,
2% (55 kelompok) di Papua, dan sisanya tersebar di daerah-daerah lain. Tidak ada pendataan
lagi setelah tahun 2004 karena tidak ada pendanaan.

Produser
Tidak ada mekanisme industri yang jelas, sehingga produser bisa jadi hanyalah orang yang
kebetulan punya akses ke pemilik dana besar. Produser berbentuk perusahaan besar saat ini
hanya bersifat one-off, dalam artian tidak rutin memproduksi karya. Dengan biaya produksi
karya seni pertunjukan yang cukup besar, seniman kerap berperan sebagai produser eksekutif
dan tak jarang menjadi seorang filantropis.

Distribusi
Idealnya, para presenter yang ada (venue) terhubung dalam sebuah jejaring sehingga bisa saling
berbagi informasi serta sumber daya lainnya (dana atau fasilitas) untuk mengadakan turing produksiproduksi bermutu. Selama ini, karya pertunjukan Indonesia cenderung hanya dipentaskan sekali
atau dua kali, terutama yang bertipe eksperimental (kontemporer). Para presenter ini seharusnya
dibekali kemampuan untuk memproduksi, sehingga mereka bisa bekerja sama (koproduksi), serta
didorong untuk perlahan tapi pasti mengembangkan market knowledge tentang seni pertunjukan
lokal maupun global melalui pengasahan di tingkat profesionalisme dan wacana.
Oleh karena itu, belum ada promotor seni pertunjukan di Indonesia. Promotor seni pertunjukan
bisa hadir jika rantai produksi dan distribusi benar-benar berjalan sebagai prasyarat.

Festival
Festival seni pertunjukan harus dibedakan dengan pesta rakyat ataupun perayaan yang lebih
bersifat kultural. Festival seni pertunjukan selayaknya dibingkai dengan sebuah posisi kuratorial
yang secara spesifik memang ingin mengartikulasikan sebuah wacana, yang hanya bisa terbentuk

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

103

bila akumulasi pengetahuan telah terjadi melalui serangkaian pengalaman yang dibentuk oleh
pendidikan, kontinuitas pertunjukan, serta terbangunnya apresiasi penonton yang cerdas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kemenparekraf, sejak 24 Februari 2014 sampai 4
April 2014, ditemukan 117 kegiatan kesenian bertaraf lokal, nasional, dan internasional yang
diselenggarakan di Indonesia, dengan komposisi 65 (55,5%) bertaraf lokal, 36 (30,8%) bertaraf
internasional, dan 16 (13,7%) bertaraf nasional. Penyelenggaraan festival-festival tersebut
tersebar di enam provinsi di Indonesia, dengan persebaran utama sebagai berikut: 25% di DKI
Jakarta, 17% di Jawa Tengah, 15,5% di Jawa Barat, 8,55% di Jawa Timur, 7,7% di Bali, dan 6%
di DI Yogyakarta. Untuk festival yang diselenggarakan di seluruh dunia, dari 83 festival besar,
penyelenggaraan terbanyak dilakukan di Eropa (34%), Asia (24%), Amerika Utara (20,5%),
Afrika (10%), dan Amerika Selatan (3,5%).

Asosiasi Industri Seni Pertunjukan


Asosiasi Nasional
1. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), didanai oleh Ford Foundation,
yang sayangnya kini sudah tidak aktif. MSPI sempat menerbitkan jurnal dan membiayai
penelitian-penelitian serta upaya menjalin jejaring.
2. Asosiasi Komposer Indonesia, awalnya dirintis oleh komposer musik elektronik Otto
Sidharta. Sayangnya, asosiasi ini juga sudah tidak aktif. Salah satu sebabnya adalah makin
sedikit komisi pembuatan musik baru (no commission no composition).

Asosiasi Internasional
Ada banyak asosiasi internasional atau jejaring dalam seni pertunjukan, dan biasanya bersifat
keanggotaan (membership). Beberapa di antaranya adalah:
1. Association for Performing Arts Presenters (APAP) adalah asosiasi internasional
yang beranggotakan lebih dari 5.000 presenter dan organisasi profesional di bidang seni
pertunjukan, termasuk di dalamnya pusat seni pertunjukan, venue (gedung pertunjukan),
fasilitas seni pertunjukan yang dimiliki oleh universitas dan pemerintah lokal, agen atau
manajer seni, perusahaan turing, jasa konsultan, vendor, dan seniman itu sendiri. APAP
secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan konferensi dan marketplace internasional,
yang diikuti oleh 3.600 presenter, seniman, manajer, agen, dan para pemimpin seni baru
dari 50 negara bagian Amerika Serikat dan lebih dari 30 negara lainnya, melalui rangkaian
kegiatan pengembangan profesional, kesepakatan bisnis, dan pertunjukan-pertunjukan
yang berlangsung selama lima hari di kota New York.
2. International Society for Performing Arts (ISPA) adalah jejaring global yang mewadahi
lebih dari 400 pelaku (pemimpin) di sektor seni pertunjukan, mewakili lebih dari 185
kota diseluruh dunia. Anggota ISPA terdiri atas penyedia fasilitas (venue atau gedung
pertunjukan), organisasi seni pertunjukan, manajer seniman, penyelenggara kompetisi,
donor, konsultan, dan para profesional lainnya di bidang seni pertunjukan.
3. IETM (International European Theatre Meeting) adalah jejaring yang didirikan oleh
para praktisi teater di Eropa Barat yang kini telah meluas dan menjangkau tidak hanya
teater, tetapi juga seni pertunjukan. Sejak 2005, IETM telah menjangkau Asia melalui
program Asia Satellite Meeting yang diselenggarakan bergantian di kota-kota Asia yang
berbeda (antara lain Beijing, Jakarta, Yogyakarta, Melbourne, dan Sydney).

104

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

3.4 Daya Saing Seni Pertunjukan


Gambar 3-8 Daya Saing Subsektor Seni Pertunjukan
SUMBER DAYA
KREATIF
10
8
KELEMBAGAAN

SUMBER DAYA
PENDUKUNG

6
4
3,1
2,4

3,5

2,3

3,6
1,7

INFRASTRUKTUR
DAN TEKNOLOGI

INDUSTRI

2,8

PEMASARAN

PEMBIAYAAN

Sumber Daya Kreatif


Sumber daya kreatif seni pertunjukan dinilai cukup rendah, yaitu dengan skor 3,1. Indonesia
kaya akan talenta di bidang seni pertunjukan dan banyak dari mereka yang mampu berprestasi
dengan praktik-praktik seni yang sudah mendobrak batas-batas bentuk masa lalu, bahkan tanpa
bantuan negara. Talenta yang sangat potensial ini tidak diiringi dengan tersedianya pendukung
seniman seperti manajer, pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi, baik dari segi jumlah
maupun kualitasnya. Padahal, justru SDM pendukung seniman inilah yang dapat meningkatkan
produktivitas seniman dan menjamin kontinuitas produksi karya-karya seni pertunjukan untuk
dapat terus dikonsumsi oleh masyarakat luas. Kontinuitas produksi seni pertunjukan adalah kunci
untuk mempertahankan dan meningkatkan permintaan terhadap pementasan seni pertunjukan
dan menjadikan seni pertunjukan berdaya saing.

Sumber Daya Pendukung


Budaya merupakan sumber daya pendukung seni pertunjukan. Pengarsipan sumber daya
budaya masih dinilai kurang (skor 3,5) karena tidak disimpan dalam suatu sistem direktori yang
memungkinkan untuk diakses oleh banyak pihak. Walaupun sudah banyak lembaga-lembaga
kebudayaan nonprofit dan para seniman yang menyimpan dokumentasi (direktori) secara mandiri,
arsip yang dimiliki masih terpencar-pencar dan hanya dapat diakses secara terbatas. Karena
sulitnya akses, maka sumber daya budaya Indonesia yang ada menjadi kurang termanfaatkan
untuk pengembangan wawasan seni pertunjukan. Hal ini ditunjukan dengan kurangnya publikasi
serta sosialisasi karya-karya penelitian, buku, dan majalah seni pertunjukan.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

105

Pembiayaan
Lemahnya pembiayaan (skor 1,7) disebabkan karena sampai saat ini Indonesia tidak memiliki
lembaga pemerintah yang melakukan investasi berkelanjutan terhadap seni dan budaya (funding
body) yang menyediakan skema hibah dan memungkinkan organisasi, kelompok, atau produksi
karya untuk berkompetisi secara adil.
Saat ini seluruh biaya, mulai dari biaya operasional kelompok, produksi, sampai showcase nasional
dan internasional, masih banyak ditanggung oleh seniman sendiri (self-funded), karena bantuan
pendanaan yang bersumber dari pemerintah, donor lembaga asing, institusi nirlaba (LSM),
individu, dan perusahaan swasta masih berupa one-off donation dan insidental.

Pemasaran
Dari sisi pemasaran pun masih dinilai kurang (skor 2,8) karena meskipun jumlah venue (gedung
pertunjukan) milik publik sudah ada dan tersebar di beberapa provinsi, peruntukannya belum
tepat. Saat ini gedung pertunjukan milik publik masih berfungsi sebagai gedung penyewaan
(dengan harga sewa tinggi), bukan sebagai produser atau presenter produk kesenian bermutu atau
eksperimental; dan juga tidak terhubung dengan suatu jejaring yang dapat dengan mudah diakses
oleh seniman. Event atau festival seni pertunjukan di Indonesia masih didominasi oleh event atau
festival yang diselenggarakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan tidak ada strategi
atau pendekatan kuratorial dalam merancang programnya. Festival-festival ini cenderung dibuat
dalam format perayaan, bukan sebagai ajang artikulasi wacana dalam kerangka kuratorial. Tari
dan musik masih mendominasi pertunjukan di festival-festival ini dan hanya sedikit yang memberi
ruang bagi pertunjukan teater. Di sisi lain, sistem pembinaan penonton tidak terjadi, sehingga
apresiasi terhadap eksperimentasi di seni pertunjukan belum bisa berkembang.
Untuk pemasaran di luar negeri, permintaan presenter atau festival luar negeri untuk seni
pertunjukan Indonesia sulit untuk diukur, meski minat untuk itu ada dan bisa jadi cenderung
tinggi. Terdapat ratusan festival seni pertunjukan di dunia dengan kerangka kuratorial dan selera
artistik yang berbeda-beda. Namun sayangnya, tidak ada promotor, agensi, atau produser Indonesia
yang mempunyai market knowledge yang berfungsi untuk menghubungkan karya seni pertunjukan
Indonesia dengan pasar yang relevan. Diplomasi kebudayaan juga sering diterjemahkan ke dalam
beragam program berlabel misi kesenian yang cenderung mengedepankan produk-produk yang
lebih sesuai untuk promosi pariwisata ketimbang mewakili kebudayaan Indonesia yang eklektik.

Infrastruktur dan Teknologi


Infrastruktur dan teknologi, terutama yang mendukung pementasan seni di venue atau gedunggedung seni pertunjukan juga dinilai masih lemah (skor 2,3). Fasilitas teknis yang mencakup
pencahayaan, sound system, flooring panggung, dan sebagainya masih jauh dari standar dan tidak
lengkap, sehingga seniman harus membawa peralatannya sendiri jika ingin melakukan pementasan.
Selain itu, infrastruktur lain seperti studio tempat latihan yang memadai dan terjangkau juga
tidak tersedia, terutama di kota-kota besar ketika segala sesuatu cenderung mahal.

Kelembagaan
Isu kelembagaan untuk seni pertunjukan adalah isu yang kritis dan harus ditangani segera
(skor 2,4), karena pada dasarnya pemerintah sampai saat ini belum menyusun kebijakan yang
mendukung industri seni pertunjukan secara komprehensif, yang mempunyai pengaruh besar
terhadap isu-isu lainnya terutama infrastruktur seni dan pembiayaan.

106

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Dari segi regulasi, walaupun sudah ada regulasi pemerintah mengenai insentif pajak bagi korporasi
untuk menjadi filantropis seni melalui dana CSR, implementasinya masih lemah. Di samping itu,
masih terdapat banyak regulasi kebudayaan yang menghambat seniman dalam berkreasi, seperti:
regulasi dan penghargaanterutama pemberian insentifyang mengatur soal pembiayaan
alternatif atau sponsor swasta; dan regulasi pemanfaatan venue atau gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak berpihak pada seniman (biaya sewa & retribusi tinggi). Termasuk di
dalamnya adalah regulasi yang mengatur pengelolaan tempat-tempat kesenian publik yang saat
ini masih dikelola oleh birokrat seni yang umumnya masih minim kapasitas manajerialnya di
bidang seni pertunjukan.
Partisipasi aktif seni pertunjukan Indonesia dalam forum internasional saat ini sudah banyak
dan semakin meningkat, hal ini dibantu oleh semakin terbukanya kontak dengan para pengelola
festival internasional melalui forum-forum dan kanal-kanal komunikasi yang tersedia. Walaupun
demikian, tidak pernah dilakukan studi mendalam yang kritis mengenai peta forum kesenian
di tataran internasional, lengkap dengan analisis kuratorial masing-masing yang penting untuk
dipahami oleh Indonesia, jika ingin meningkatkan eksistensinya di kancah internasional. Saat ini
peran negara dalam memfasilitasi, mendukung, dan membangun jejaring kerja di tingkat lokal
dan nasional belum maksimal; sedangkan di tingkat global tak dilakukan, karena minimnya
pengetahuan tentang pasar dan wacana kuratorial yang mendasari praktiknya.

3.5 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan


Tabel 3-2 Potensi dan Permasalahan Pengembangan Seni Pertunjukan
POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

SUMBER DAYA KREATIF

Anggaran pendidikan yang tinggi (20%


APBN).

Penyebaran lembaga pendidikan formal


dan nonformal terlalu terpusat di Jawa dan
kota-kota besar.

Perguruan Tinggi: 7 sekolah tinggi atau


institut seni dan 12 program studi seni
di universitas negeri seperti IKIP dan
universitas swasta di bidang seni.

Tidak ada pendataan atau pemetaan,


standardisasi, klasifikasi, evaluasi atau
kontrol, dan rencana pengembangan yang
jelas dan berkelanjutan.

Sistem penggajian pengajar yang sudah


diperbaharui sehingga mencukupi (berlaku
untuk ISI).

Kualitas pengajar seni pertunjukan ratarata tidak memadai.

Telah tersedianya beasiswa pascasarjana


Dikti bagi tenaga pengajar kreatifbaik di
dalam maupun di luar lembaga pendidikan
tinggi negeriyang ingin menempuh studi
baik di dalam maupun luar negeri dengan
kompensasi ikatan kerja.

Kurikulum yang tidak terbarui (tidak


up to date) dengan perkembangan seni
pertunjukan terakhir.

Telah tersedianya beragam beasiswa


pascasarjana dari lembaga-lembaga
internasional bagi tenaga kreatif dan
pengkaji seni.

Pola transfer pengetahuan (belajarmengajar) yang tak inspiratif dan tak


merangsang peserta didik.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

107

POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

Indonesia kaya akan orang-orang yang


bertalenta di bidang seni pertunjukan.
Dalam praktiknya para pelaku seni mampu
berprestasi tanpa bantuan negara.

Ada kecenderungan praktik seni di Indonesia


sudah mendobrak batas-batas bentuk masa
lalu dan lebih melihat keluar (Asia).

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

Manajemen seni pertunjukan belum


berkembang sebagai cabang ilmu di
dalam sistem pendidikan kesenian
Indonesia. Oleh karena itu, kebanyakan
para manajer (penyelia) seni pertunjukan
adalah mereka yang mendidik diri sendiri
(otodidak), sehingga tidak terjadi akumulasi
pengetahuan yang sistematis dan
terlembagakan.

Pendekatan kreativitas cenderung masih


kaku dan diseragamkan.

Tidak ada data kebutuhan pasar, sehingga


dunia pendidikan tidak mempunyai orientasi
link and match.

Pola rekruitmen Dikti masih pasif, belum


proaktif mengidentifikasi calon-calon
penerima beasiswa yang potensial.

10

Belum ada database serta portal satu pintu


tentang skema beasiswa seni yang tersedia
serta bagaimana mengaksesnya.

11

Kuantitas dan kualitas SDM pendukung


seniman (manajer, pengelola venue &
festival, kurator, kritikus, teknisi) masih
kurang.

12

Persaingan seniman Indonesia dengan


seniman negara-negara ASEAN lainnya
menyambut AFTA.

13

Belum ada regulasi profesi untuk seniman


dan standar honorarium.

SUMBER DAYA PENDUKUNG

Lembaga-lembaga kebudayaan nonprofit


dan para seniman sudah cukup banyak yang
menyimpan dokumentasi (direktori).

Tidak ada pusat arsip dan pusat kajian seni


pertunjukan.

Lembaga pendidikan seni formal mempunyai


hasil-hasil riset yang belum terpublikasikan
kepada publik.

Tidak ada skema yang menautkan data


dan dokumen pengetahuan yang dimiliki
seniman maupun lembaga kebudayaan yang
ada dengan perpustakaan di perguruan
tinggi kesenian.

Kurangnya publikasi serta sosialisasi


karya-karya penelitian, buku, dan majalah
seni pertunjukan.

Tidak dibuatnya program pengembangan


dan pemanfaatan riset.

Promotor dan agensi seni pertunjukan tidak


ada di Indonesia.

INDUSTRI

108

Tersedianya potensi para profesional


yang terlihat berminat menekuni seni
pertunjukan.

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

Banyak seniman pertunjukan yang telah


mampu membangun jejaring global dengan
upaya mandiri (tanpa bantuan negara).

Kurangnya kapasitas wirausaha seni


pertunjukan dalam merancang dan
mengembangkan program yang sesuai
dengan konteks lokal-nasional-global.

Mulai munculnya entitas usaha di seni


pertunjukan yang potensial berkembang
lebih besar dan luas seperti kursus tari dan
musik ekstensif.

Peran negara dalam memfasilitasi,


mendukung, dan membangun jejaring
kerja di tingkat lokal dan nasional belum
maksimal; sedangkan di tingkat global tak
dilakukan karena minimnya pengetahuan
tentang pasar dan wacana kuratorial yang
mendasari praktiknya.

Saat ini potensi terbesar linkage dunia seni


pertunjukan adalah dengan dunia pariwisata.

Sistem industri seni pertunjukan belum


terbentuk.

Besarnya potensi karya kreatif di bidang seni


pertunjukan, baik teater, tari maupun musik
serta genre lintas disiplin.

Tidak ada pemetaan karya seni pertunjukan


yang komprehensif (di tingkat provinsi,
antar provinsi, antar negara, atau misalnya
ASEAN saja).

Motivasi seniman Indonesia untuk tetap


berkarya di tengah kondisi sulitnya
memproduksi.

Kualitas karya kreatif ini amat beragam


dan seringkali tidak diimbangi dengan
kajian yang bermutu sebagai prasyarat
berkembangnya praktik seni pertunjukan.

Tidak ada standar kurasi (kuratorial) karya


seni pertunjukan.

Seni pertunjukan belum bisa bersaing


dengan kegiatan pengisi waktu luang lain.

PEMBIAYAAN

Adanya alokasi dana untuk kegiatan seni


dan budaya di hampir setiap Kementerian
maupun lembaga tinggi pemerintah, contoh:
dana untuk promosi kesenian Indonesia di
luar negeri.

Tidak ada skema hibah nasional yang adil,


transparan, dan akuntabel untuk seniman.

Adanya alokasi dana dari sektor swasta


(korporasi) dalam bentuk CSR, sebagai salah
satu alternatif pembiayaan dengan skala
tertentu.

Jumlah hibah yang masih sangat minim.

Tidak adanya sosialisasi berupa informasi


berkala, database atau portal tunggal
tentang skema hibah yang tersedia.

3
4

Mulai munculnya minat pihak swasta untuk


menggandeng kegiatan seni dan budaya
sebagai salah satu alat promosi.
Ada beberapa organisasi internasional yang
menawarkan hibah terbatas seperti biaya
perjalanan (travel grant).

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

Belum ada kanal untuk biaya perjalanan


yang dapat diakses oleh seniman secara
transparan dari waktu ke waktu (selama
ini yang terjadi adalah insidental dan
berdasarkan lobi pribadi).

Sponsorship swasta masih minim dan


insidental.

109

POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

Belum muculnya filantropis seni budaya


yang berminat mendalami permasalahan di
dunia seni pertunjukan (seperti Rockefeller
Foundation di Amerika Serikat atau Ford
Foundation di Indonesia hingga 2009).

PEMASARAN

Potensi pasar yang besar (penduduk


Indonesia dengan daya beli tertentu) dan
meningkatnya kelas menengah yang mulai
membutuhkan hiburan alternatif.

Pasar dalam seni pertunjukan belum


terbentuk akibat siklus kreatif yang
belum bisa dijaga (proses penciptaan dan
distribusi). Jika tidak dibenahi segera,
potensi pasar ini akan dilindas oleh jenisjenis hiburan dan pengisi waktu luang
lainnya.

Meningkatnya minat masyarakat Indonesia


dan internasional yang tinggi terhadap
kebudayaan Indonesia.

Tidak adanya jejaring yang menghubungkan


gedung pertunjukan milik publik yang
seharusnya dapat diakses seniman
berdasarkan kualitas karya.

Banyaknya festival yang diadakan baik di


tingkat nasional maupun lokal.

Tidak adanya strategi atau pendekatan


kuratorial dalam merancang program seni
yang melibatkan seni pertunjukan (baik
gedung teater publik maupun festival yang
diorganisasi pemerintah).

Ada segmen penonton Indonesia yang sudah


relatif terbuka menonton pertunjukan yang
eksperimental, seperti para penonton di
Surakarta.

Tidak ada jalur atau kanal untuk


mengorbitkan potensi yang layak tampil
(kanal distribusi) seperti promotor yang
mempunyai pengetahuan tentang pasar
(market knowledge) di tingkat global.

Potensi pasar internasional seni


pertunjukan Indonesia besar, banyak dicari
oleh presenter di luar negeri.

Diplomasi kebudayaan sering


diterjemahkan ke dalam beragam program
berlabel misi kesenian yang cenderung
mengedepankan produk-produk yang lebih
sesuai untuk promosi pariwisata ketimbang
mewakili kebudayaan Indonesia yang
eklektik.

Adanya minat masyarakat Barat terhadap


tradisi-tradisi Timur.

Tidak ada pemahaman tentang sistem


kuratorial dalam seni pertunjukan global
dan apa konsekuensinya.

Fasilitas teknis yang dimiliki gedunggedung pertunjukan seperti pencahayaan,


sound system, flooring panggung, dan
sebagainya masih jauh dari standar dan
tidak lengkap, sehingga seniman harus
membawa peralatannya sendiri.

Tidak tersedianya studio tempat latihan


yang memadai dan terjangkau (ini terutama
berlaku di kota-kota besar ketika segala
sesuatu cenderung mahal).

INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI

110

Kecanggihan teknologi informasi


memperbesar peluang berjejaring, promosi,
dan pembelian tiket pertunjukan melalui
dunia maya atau website (online).

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

KELEMBAGAAN

Tempat-tempat pertunjukan publik sudah


tersedia (contoh: Taman Budaya di 25
provinsi, Gedung Kesenian Jakarta, Taman
Ismail Marzuki, Wayang Orang Bharata,
Gedung Teater Miss Tjitjih).

Gedung pertunjukan milik publik yang


masih berfungsi sebagai gedung
penyewaan bukan berfungsi sebagai
produser atau presenter produk kesenian
bermutu atau eksperimental; belum dikelola
dengan profesional dan belum ada jejaring
yang menghubungkan fasilitas teater-teater
publik tersebut.

Regulasi mengenai insentif pajak bagi


korporasi untuk menjadi filantropis seni
melalui dana CSR sudah ada.

Birokrat seni yang mengelola tempattempat kesenian publik tersebut tidak


memiliki kapasitas manajerial yang
memadai di bidang seni pertunjukan.

Mulai munculnya sinergi di antara praktisi


seni pertunjukan (seniman, pekerja lepas,
intelektual serta aktivis) seperti mereka
yang tergabung dalam perkumpulan Koalisi
Seni Indonesia (KSI).

Belum dimilikinya pengetahuan untuk


menyusun program kesenian yang
berdasarkan kuratorial yang cerdas bagi
tempat-tempat pertunjukan publik tersebut.

Kreativitas telah begitu merasuk ke dalam


kehidupan sehari-hari, bahkan hingga ke
politik (baru-baru ini), sehingga kreativitas
telah menjadi bagian dari identitas individual
maupun kelompok serta mata uang sosial
bagi yang memilikinya.

Infrastruktur dan kebijakan yang


mendukung industri seni pertunjukan
belum disusun.

Bergesernya tren atau kecenderungan


berupa kesediaan para orangtua untuk
melihat kreativitas sebagai salah satu
profesi di masa depan bagi anak-anaknya.

Banyak regulasi kebudayaan yang masih


menghambat seniman dalam berkreasi,
seperti: regulasi dan penghargaan
terutama pemberian insentifyang
mengatur soal pembiayaan alternatif atau
sponsor swasta; dan regulasi pemanfaatan
venue atau gedung-gedung pertunjukan
milik publik yang tidak berpihak pada
seniman (biaya sewa & retribusi tinggi).

Munculnya beragam perkumpulan formal


maupun informal yang berkenaan dengan
profesi di bidang industri kreatif maupun
sekadar hobi yang digeluti secara serius.

Tidak adanya sinergi antara pemerintah


dengan pelaku seni pertunjukan di lapangan
dalam menyelenggarakan festival sehingga
tidak terjadi akumulasi pengetahuan.

Munculnya dan dibenahinya ruang publik


alternatif seperti taman-taman kota, plazaplaza terbuka, sebagai ajang kreativitas
berbagai kalangan masyarakat.

Tidak ada sinergi antara pemerintah pusat


dan daerah dalam program pengembangan
seni dan budaya, sehingga pemanfaatan
fasilitas-fasilitas publik (gedung teater,
misalnya) tidak maksimal.

Tersedianya anggaran pemerintah untuk


program-program misi kesenian baik
di tingkat bilateral, regional maupun
multilateral.

Penyelenggaraan event kesenian oleh


pemerintah tidak berkelanjutan karena
selalu berganti kepanitiaan.

BAB 3: Kondisi Umum Seni Pertunjukan di Indonesia

111

POTENSI
(Peluang dan kekuatan)

PERMASALAHAN
(Tantangan, hambatan, kelemahan, ancaman)

Terbukanya kontak dengan para pengelola


festival internasional melalui forum-forum
dan kanal-kanal komunikasi yang tersedia.

Lemahnya program-program kesenian


disebabkan oleh ketidakpahaman para
birokrat dan para pengambil kebijakan
terhadap dinamika kebudayaan, termasuk
kesenian.

10

Adanya penghargaan yang diberikan oleh


lembaga-lembaga tertentu terhadap
pencapaian di dunia seni pertunjukan.

10

Belum adanya studi mendalam dan kritis


tentang peta forum kesenian di tataran
internasional, lengkap dengan analisis
kuratorial masing-masing.

11

Mulai adanya kesadaran akan nilai tambah


kreativitas dalam kepribadian seseorang
dan munculnya kebutuhan akan hal-hal baru,
termasuk menonton pertunjukan teater,
konser musik maupun pagelaran tari.

11

Peran negara dalam memfasilitasi,


mendukung, dan membangun jejaring
kerja di tingkat lokal dan nasional belum
maksimal; sedangkan di tingkat global tak
dilakukan karena minimnya pengetahuan
tentang pasar dan wacana kuratorial yang
mendasari praktiknya.

12

Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual


telah diberlakukan.

12

Belum terlembaganya penghargaanpenghargaan kesenian sehingga tidak


kontinu.

13

Munculnya beragam program tentang


sumber daya budaya lokal dalam media
massa lokal seperti televisi.

13

Kurikulum pendidikan umum yang


belum terintegrasi dengan seni (mata
pelajaran kesenian cenderung masih
dianggap kegiatan ekstrakurikuler), yang
menyebabkan minimnya apresiasi terhadap
karya seni pertunjukan.

14

Tidak ada atau minimnya program-program


outreach yang mendekatkan masyarakat
dengan praktik seni pertunjukan (menonton,
mengetahui proses backstage, mendengar
uraian sejarah, dan lain sebagainya).

15

Minimnya sosialisasi tentang HKI.

16

Inkonsistensi penegakan hukum yang jelas


bagi mereka yang melanggar HKI.

17

Program pengenalan sumber daya budaya


lokal sejatinya harus diintegrasikan ke
dalam kurikulum pendidikan nasional
secara nyata (tidak hanya abstrak berupa
hafalan).

112

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

114

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

BAB 4
Rencana Pengembangan
Seni Pertunjukan
Indonesia

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

115

4.1 Arahan Strategis Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015-2019


Arahan RPJPN 2005-2025, pembangunan nasional tahap ketiga (2015-2019) adalah ditujukan
untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan
menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan
sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terus meningkat.
Pembangunan periode 2015-2019 tetap perlu mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi
haruslah inklusif dan berkelanjutan, yaitu meminimasi permasalahan sosial dan lingkungan.
Pembangunan inklusif dilakukan terutama untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan antar
penduduk dan ketimpangan kewilayahan antara Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan kawasan
timur, serta antara kota-kota dan kota-desa. Pembangunan berkelanjutan dilakukan untuk
memberikan jaminan keberlanjutan manfaat yang bisa dirasakan generasi mendatang dengan
memperbaiki kualitas lingkungan (sustainable).
Tema pembangunan dalam RPJMN 2015- 2019 adalah pembangunan yang kuat, inklusif dan
berkelanjutan. Untuk dapat mewujudkan apa yang ingin dicapai dalam lima tahun mendatang,
maka fokus perhatian pembangunan nasional adalah:
1. Merealisasikan potensi ekonomi Indonesia yang besar menjadi pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, yang menghasilkan lapangan kerja yang layak (decent jobs) dan mengurangi
kemiskinan yang didukung oleh struktur dan ketahanan ekonomi yang kuat.
2. Membuat pembangunan dapat dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia di berbagai
wilayah Indonesia secara adil dan merata.
3. Menjadikan Indonesia yang bersih dari korupsi dan memiliki tata kelola pemerintah
dan perusahaan yang benar dan baik.
4. Menjadikan Indonesia indah yang lebih asri, lebih lestari.
Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019 terdapat enam agenda pembangunan
nasional, yaitu: (1) Pembangunan Ekonomi; (2) Pembangunan Pelestarian Sumber Daya Alam,
Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana (3) Pembangunan Politik, Hukum, Pertahanan,
dan Keamanan; (4) Pembangunan Kesejahteraan Rakyat; (5) Pembangunan Wilayah; dan (6)
Pembangunan Kelautan.
Pembangunan Ekonomi Kreatif pada lima tahun mendatang ditujukan untuk memantapkan
pengembangan ekonomi kreatif dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif
berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta
kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat.
Memantapkan pengembangan ekonomi kreatif yang dimaksud adalah memperkuat landasan
kelembagaan untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif yang mengarusutamakan kreativitas
dalam pembangunan dengan melibatkan seluruh pemangku kebijakan. Landasan yang kuat akan
menjadi dasar untuk mewujudkan daya saing nasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan kreativitas serta kedinamisan masyarakat untuk berinovasi, dan menciptakan
solusi atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi dengan memanfaatkan sumber daya lokal
untuk menciptakan industri kreatif yang berdaya saing, beragam, dan berkelanjutan.

116

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Secara strategis pengembangan ekonomi kreatif tahun 2015-2019 bertujuan untuk menciptakan
ekonomi kreatif yang berdaya saing global. Tujuan ini akan dicapai antara lain melalui peningkatan
kuantitas dan kualitas orang kreatif lokal yang didukung oleh lembaga pendidikan yang sesuai
dan berkualitas, peningkatan kualitas pengembangan dan pemanfaatan bahan baku lokal yang
ramah lingkungan dan kompetitif, industri kreatif yang bertumbuh, akses dan skema pembiayaan
yang sesuai bagi wirausaha kreatif lokal, pasar yang makin beragam dan pangsa pasar yang makin
besar, peningkatan akses terhadap teknologi yang sesuai dan kompetitif, penciptaan iklim usaha
yang kondusif dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap karya kreatif lokal.
Sejalan dengan tujuan pengembangan ekonomi kreatif 2015-2019, pengembangan seni pertunjukan
sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif juga diarahkan untuk

membangun landasan yang kuat agar mampu


memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuan
yang dimiliki oleh semua sumber daya manusia seni
pertunjukan sehingga tercipta profesionalismeyang
diperlukan untuk membentuk mekanisme yang dapat
mendukung terbentuknya industri seni pertunjukan
sehingga mampu untuk terus menghadirkan karyakarya berkualitas dan meginspirasi kehidupan
bermasyarakat di Indonesia sehingga menjadi
mandiri secara ekonomi (finansial).
Pengembangan seni pertunjukan dalam lima tahun mendatang dilakukan melalui peningkatan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered );
peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi
seni pertunjukan secara berkelanjutan; peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni
pertunjukan; peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi
seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses; perluasan pasar di dalam dan
luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan; peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana
tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan; serta peningkatan kualitas kelembagaan
yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan.

4.2 Visi, Misi, Dan Tujuan Pengembangan Seni Pertunjukan


Visi, misi, tujuan dan sasaran strategis merupakan kerangka strategis pengembangan seni
pertunjukan pada periode 2015-2019 yang menjadi landasan dan acuan bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam melaksanakan program kerja di masing-masing organisasi/lembaga terkait
secara terarah dan terukur. Secara umum, kerangka strategis pengembangan seni pertunjukan
pada periode 2015-2019 dapat dilihat pada Gambar 4-1.

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

117

VISI

Mengoptimalkan
pemanfaatan dan
mengembangkan sumber
daya seni pertunjukan
lokal yang berdaya saing,
dinamis, dan berkelanjutan

Mengembangkan seni
pertunjukan menjadi
industri kreatif
yang tumbuh dan
berkualitas

Peningkatan kuantitas
dan kualitas sumber daya
manusia seni pertunjukan
yang berdaya (empowered)

Peningkatan
pertumbuhan dan
kualitas industri seni
pertunjukan

TUJUAN

Seni pertunjukan indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi
dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan
kualitas hidup masyarakat indonesia

MISI

Gambar 4-1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pengembangan Seni Pertunjukan 2015-2019

Mengembangkan lingkungan yang


kondusif untuk pemberdayaan potensi
dan pengetahuan seni pertunjukan
dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan
Peningkatan ketersediaan dan akses
pembiayaan bagi proses kreasi dan
produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah
diakses
Perluasan pasar di dalam dan
luar negeri yang berkualitas dan
berkelanjutan
Peningkatan ketersediaan sarana
dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan

Peningkatan kualitas
perlindungan,
pengembangan dan
pemanfaatan sumber
daya budaya bagi seni
pertunjukan secara
berkelanjutan

Peningkatan kualitas kelembagaan


yang menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan seni pertunjukan

Meningkatnya kuantitas
dan kualitas pendidikan
yang mendukung
penciptaan karya seni
pertunjukan

Meningkatnya
kuantitas dan kualitas
wirausaha kreatif seni
pertunjukan lokal

Meningkatnya ketersediaan dan akses


pembiayaan bagi pengembangan
dan produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah
diakses

SASARAN STRATEGIS

Meluasnya pasar seni pertunjukan di


dalam dan luar negeri
Meningkatnya ketersediaan sarana
dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan
Terciptanya regulasi yang mendukung
penciptaan iklim yang kondusif bagi
pengembangan seni pertunjukan
Meningkatnya kuantitas
dan kualitas sumber daya
manusia seni pertunjukan

Terciptanya pusat dan


infrastruktur pengetahuan
budaya seni pertunjukan
yang dapat diakses oleh
publik

Meningkatnya
usaha kreatif seni
pertunjukan lokal
yang mandiri,
berjejaring, dan
berkualitas

Meningkatnya partisipasi aktif


pemangku kepentingan dalam
pengembangan seni pertunjukan
secara berkualitas dan berkelanjutan

Meningkatnya
mutu karya seni
pertunjukan

Meningkatnya posisi, kontribusi,


kemandirian, serta kepemimpinan
Indonesia dalam fora internasional
melalui seni pertunjukan

Terbukanya ruang-ruang publik


untuk penyelenggaraan kegiatan seni
pertunjukan

Meningkatnya apresiasi kepada orang


dan karya kreatif seni pertunjukan

118

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

4.2.1 Visi Pengembangan Seni pertunjukan


Berdasarkan kondisi seni pertunjukan di Indonesia saat ini, tantangan yang mungkin dihadapi,
serta dengan memperhitungkan daya saing serta potensi yang dimiliki dan juga arahan strategis
pembangunan nasional dan juga pengembangan ekonomi kreatif periode 2015-2019 maka visi
pengembangan seni pertunjukan selama periode 20152019 adalah:

Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan


memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk
membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia
Visi pengembangan seni pertunjukan Indonesia mengandung makna sebagai berikut:
1. Seni pertunjukan Indonesia mencakup seni pertunjukan tradisional dan kontemporer
Indonesia.
2. Seni pertunjukan Indonesia yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan
seluruh potensi dan pengetahuannya untuk membangun kemampuan ekonomi
yang dimaksud adalah kondisi seni pertunjukan yang mampu mendukung terciptanya
akumulasi pengetahuan di seluruh sumber daya manusia seni pertunjukan (yang mencakup
seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus), sehingga tercipta
profesionalisme dalam mengelola talenta seni pertunjukan yang ada untuk aktif berkarya
dan mempunyai kapasitas untuk menjadi mandiri secara ekonomi (finansial).
3. Seni pertunjukan Indonesia yang berperan dalam peningkatan kualitas hidup
masyarakat Indonesia yang dimaksudkan adalah seni pertunjukan Indonesia yang mampu
menghadirkan karya-karya berkualitas dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.

4.2.2 Misi Pengembangan Seni pertunjukan


Visi pengembangan seni pertunjukan akan diwujudkan melalui tiga misi utama, sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya
saing, dinamis, dan berkelanjutan. Misi ini memiliki beberapa konsep dasar, meliputi:
a. Mengembangkan SDM seni pertunjukan lokal yang dinamis dan berdaya saing
artinya: (1) mengembangkan SDM seni pertunjukan secara inklusif, yaitu merata
di seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan seluruh pelaku seni pertunjukan di
seluruh rantai nilai kreatif; (2) mengembangkan SDM seni pertunjukan sehingga
mampu meningkatkan kualitas artistik dengan mengangkat nilai-nilai lokal dengan
semangat kekinian sehingga dapat bersaing di pasar global.
b. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya budaya lokal artinya menjaga
keseimbangan nilai-nilai asli dengan pengemasan konsep kekinian sehingga seni
pertunjukan memiliki peran yang sentral dalam pelestarian budaya lokal yang dapat
memperkuat karakter dan jati diri Bangsa Indonesia.
c. Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangan sumber daya lokal harus
dilakukan secara bekelanjutan, artinya upaya pemanfaatan dan pengembangan
yang dilakukan secara terus-menerus, sistematis, dan memiliki capaian-capaian
yang terukur.
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

119

2. Mengembangkan seni pertunjukan menjadi industri kreatif yang tumbuh dan


berkualitas, artinya menghidupkan ekosistem seni pertunjukan yang dapat mendorong
tumbuhnya wirausaha, usaha serta meningkatnya kualitas karya seni pertunjukan yang
dihasilkan.
3. Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan
pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Misi ini memiliki beberapa konsep dasar, meliputi:
a. Mengembangkan lingkungan yang kondusif, artinya pemerintah memfasilitasi
terciptanya infrastruktur kesenian yang kondusif untuk perkembangan seni pertunjukan
Indonesia, yang mencakup: seluruh institusi, ruang, dan sistem pendukung sosial
baik formal maupun nonformal, regulasi yang dapat memberikan insentif pada
penciptaan rantai nilai kreatif seni pertunjukan, organisasi seni (profit & nonprofit),
akses pembiayaan, jejaring dan asosiasi;
b. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan, artinya adanya upaya-upaya nyata
pemerintah untuk meningkatkan partisipasi aktif para akademisi dan praktisi dengan
kapasitas yang mumpuni di bidang seni pertunjukan dalam mengembangkan seni
pertunjukan, yang sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

4.2.3 Tujuan Pengembangan Seni pertunjukan


Dalam pengembangan seni pertunjukan terdapat tujuh tujuan yang ingin dicapai berdasarkan
3 (tiga) misi utama yang diemban untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Tujuan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang
berdaya (empowered). Sumber daya manusia seni pertunjukan mencakup seniman,
manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus seni pertunjukan. Sumber daya
manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered) artinya mempunyai pengetahuan
dan keahlian untuk mendukung penciptaan karya seni pertunjukan yang berkualitas.
2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber
daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan. Sumber daya budaya seni
pertunjukan yang dimaksud adalah semua pengetahuan, tradisi dan kearifan lokal (local
wisdom) yang terkait dengan dan mendukung perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.
Perlindungan artinya pengarsipan dengan baik. Pengembangan artinya penggunaan sumber
daya budaya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya seni pertunjukan. Pemanfaatan
artinya sumber daya budaya harus dapat diakses untuk dimanfaatkan oleh publik dengan
cepat dan mudah.
3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan, artinya terbentuk
suatu sistem kelembagaan dan infrastruktur yang memungkinkan tumbuhnya usaha dan
wirausaha baru yang berkualitas, dalam mendukung konsistensi penciptaan karya seni
pertunjukan bermutu.
4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi
seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses. Transparan atau
terbuka artinya segala informasi yang berkaitan dengan pembiayaan dapat diketahui
oleh publik. Akuntabel artinya adanya sistem pengelolaan dan pelaporan pembiayaan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Mudah diakses artinya adanya sistem informasi dan
pengelolaan yang memudahkan publik untuk mengakses pembiayaan tersebut.

120

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan, artinya
meningkatnya jumlah penonton seni pertunjukan di dalam dan luar negeri melalui strategi
program dukungan dan promosi yang berkualitas serta dilakukan secara terus-menerus
(berkelanjutan).
6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan
tempat latihan, artinya meningkatnya jumlah gedung pertunjukan serta ruang-ruang
kreatif publik yang dapat digunakan sebagai panggung presentasi karya pertunjukan
serta studio atau ruang tempat latihan yang dilengkapi dengan infrastruktur teknis yang
memadai atau mutakhir.
7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan seni pertunjukan. Dalam mengembangkan seni pertunjukan, diperlukan
kelembagaan yang kondusif yang mencakup: 1) regulasi mendukung penciptaan rantai
kreatif seni pertunjukan; 2) adanya pelibatan partisipasi aktif pemangku kepentingan
yang terdiri dari elemen praktisi dan akademisi seni pertunjukan, pemerintah, dan swasta;
3) terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaran kegiatan seni pertunjukan; 4)
meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora
internasional; serta 5) apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan (baik
tradisi maupun kontemporer) di Indonesia.

4.3 Sasaran dan Indikasi Strategis Pencapaian Pengembangan Seni


Pertunjukan
Untuk mencapai tujuan pengembangan seni pertunjukan maka terdapat empat belas sasaran
strategis yang dapat diindikasikan oleh 42 indikasi strategis. Sasaran dan indikasi strategis
pengembangan seni pertunjukan meliputi:
1. Sasaran 1: Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung
penciptaan karya Seni Pertunjukan yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya
kuantitas dan kualitas perguruan tinggi seni di luar Jawa, dengan fokus wilayah Aceh,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua; b) Terdapat bidang studi manajemen
dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia,
yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar,
STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta); c) Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengajar, artinya
jumlah dan kualitas tenaga pendidik yang sesuai di bidang keahlian seni pertunjukan
yang dibutuhkan semakin bertambah; rutin dilakukannya pembaharuan kurikulum
dan metode pengajaran (minimum setiap 2 tahun sekali); serta dilakukannya pemisahan
antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni
di Indonesia yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya,
ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta); d) Terakreditasinya lembaga pendidikan
nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar di Indonesia
meliputi Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar,
Palu, dan Medan.
2. Sasaran 2: Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni
pertunjukan yang dapat diindikasikan oleh: a) Tersedianya data profil profesi dan pelaku
seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat, mudah, dan akurat. Profil
profesi menunjukkan beragam fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam penciptaan
karya seni pertunjukan sampai karya tersebut ditampilkan dan diapresiasi. Profil profesi

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

121

diharapkan sudah dapat diselesaikan pada hingga akhir 2019; b) Meningkatnya kuantitas
dan kualitas SDM seni pertunjukan yang mendapatkan program beasiswa dan fellowship
untuk mengikuti program residensi seniman, menghadiri festival serta fora pasar seni
pertunjukan internasional, maupun untuk menempuh pendidikan formal. SDM seni
pertunjukan yang dimaksud yaitu: manajer, produser; desainer tata cahaya dan desainer tata
suara, seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus seni pertunjukan.
3. Sasaran 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan
yang dapat diakses oleh publik, yang dapat diindikasikan oleh: a) Terciptanya sistem
pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia
yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional, bekerja sama dengan ANRI
(Arsip Nasional Republik Indonesia); b) Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni
pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni pertunjukan maupun masyarakat
umum, yang ditunjukan oleh meningkatnya jumlah penelitian dan penerbitan hasil
penelitian yang memanfaatkan sumber daya budaya yang diarsipkan.
4. Sasaran 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan
lokal, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme)
produser produser, manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan
Indonesia yang terlibat dalam penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan; b)
Meningkatnya jumlah koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat
lokal, nasional dan global.
5. Sasaran 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri,
berjejaring, dan berkualitas, yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah
usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola organisasi/
usaha; b) Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer,
presenter) tingkat lokal, nasional, maupun global yang ditunjukkan dengan pelaksanaan
pertemuan atau konferensi rutin tahunan.
6. Sasaran 6: Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan
oleh: a) Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman
dalam penciptaan karya seni pertunjukan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya
jumlah penelitian seniman dalam rangka produksi karya seni; b) Meningkatnya jumlah
kokreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat nasional
dan internasional; c) Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung atau tempattempat pertunjukan publik utama, yang ditunjukkan oleh mampunya gedung-gedung/
tempat-tempat pertunjukan publik utama di kota-kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura,
untuk melakukan kurasi dan mengembangkan program.
7. Sasaran 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan
produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses, yang
dapat diindikasikan oleh meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program,
dan kegiatan seni yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang
dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN).
8. Sasaran 8: Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, yang dapat
diindikasikan oleh: a) Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan)
dalam melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan, yang ditunjukkan
dari meningkatnya jumlah venue atau gedung pertunjukan yang melakukan programprogram outreach yang mendekatkan masyarakat dengan praktik seni pertunjukan
122

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

seperti menonton, mengetahui proses belakang panggung (backstage), mendengar uraian


sejarah, dan lain sebagainya.; b) Meningkatnya jumlah jalur/kanal distribusi (promotor,
agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk
mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil, yang ditunjukkan dari
meningkatnya jumlah manajer atau promotor seni pertunjukan Indonesia yang menghadiri
internasional performing art market; c) Meningkatnya fungsi kedutaan besar RI di luar
negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer); d)
Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan
di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia.
9. Sasaran 9: Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan, yang dapat diindikasikan oleh meningkatnya ketersediaan
dan kualitas sarana dan prasarana gedung-gedung pertunjukan publik utama yang tersebar
di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio
atau ruangan-ruangan tempat latihan.
10. Sasaran 10: Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif
bagi pengembangan seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh: a) Terciptanya
regulasi alokasi dana CSR korporasi yang memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni
dan budaya di Indonesia; b) Terciptanya regulasi pemerintah daerah yang melakukan
pembebasan biaya retribusi dan pengurangan biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian;
c) Terciptanya regulasi insentif pajak yang memasukkan kesenian sebagai bidang penerima
sumbangan; d) Tersusunnya kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival
sebagai pendukung regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
11. Sasaran 11: Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam
pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan, yang dapat
diindikasikan oleh: a) Meningkatnya koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang
seni pertunjukan, yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah konferensi tahunan
organisasi-organisasi yang melakukan resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku
kepentingan (termasuk praktisi, komunitas, akademisi, pemerintah, dan swasta) ; b)
Terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta;
c) Meningkatnya kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan.
12. Sasaran 12: Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni
pertunjukan, yang dapat diindikasikan oleh teraktivasinya taman-taman kota, plaza-plaza
terbuka yang dapat digunakan publik sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman
seni pertunjukan.
13. Sasaran 13: Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan
Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan, yang dapat diindikasikan
oleh: a) Meningkatnya jumlah negara-negara yang menjalin kemitraan strategis dengan
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kapasitas produksi karya seni pertunjukan; b)
Meningkatnya tingkat partisipasi seniman-seniman Indonesia di forum-forum International
Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang)
dan IETM; dan festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius.
14. Sasaran 14: Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan,
yang dapat diindikasikan oleh: a) Meningkatnya jumlah anugerah atau penghargaan seni
pertunjukan yang dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius; b) Terciptanya kurikulum
pendidikan umum yang mengintegrasikan seni di sekolah-sekolah (dari PAUD-SMA).

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

123

4.4 Arah Kebijakan Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia


Arah pengembangan seni pertunjukan dijabarkan berdasarkan tujuan pengembangan seni
pertunjukan, meliputi 7 tujuan utama, yaitu: 1) peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered); 2) peningkatan kualitas perlindungan,
pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan;
3) peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan; 4) peningkatan ketersediaan
dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan,
akuntabel dan mudah diakses; 5) perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan
berkelanjutan; 6) peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional
dan tempat latihan; dan 7) peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif
bagi pengembangan seni pertunjukan.

4.4.1 Arah Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia Seni Pertunjukan


Yang Berdaya (Empowered)
Sumber daya manusia seni pertunjukan merupakan input utama dalam pengembangan seni
pertunjukan. Pengembangan seni pertunjukan dalam kerangka ekonomi kreatif membutuhkan
sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya. Hal ini dicapai melalui peningkatan
kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan formal vokasional dan nonformal, didukung oleh
adanya bidang studi manajemen dan teknologi panggung bagi seni pertunjukan; dan penciptaan
SDM seni pertunjukan yang dinamis dan profesional di tingkat nasional dan global.
Peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikanyang mendukung penciptaan karya seni
pertunjukan diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga pendidikan
formal seni vokasional seni pertunjukan yang diharapkan dapat mencetak seniman-seniman
yang tidak hanya terampil, tetapi juga berwawasan lokal dan global. Pengembangan juga
difokuskan kepada lembaga-lembaga pendidikan nonformal seni seperti sanggar tari, teater
komunitas, dan paguyuban seni sebagai lembaga pendidikan alternatif yang pada praktiknya,
banyak menghasilkan seniman-seniman berkualitas. Turut menjadi bagian dari pengembangan
lembaga pendidikan formal seni adalah pengembangan bidang studi manajemen seni dan
teknologi panggung yang merupakan pendukung utama penciptaan karya seni pertunjukan.
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan diarahkan untuk
menciptakan SDM seni pertunjukan yang dinamis dan profesional di tingkat nasional
dan global. Dalam mengembangkan seni pertunjukan, selain seniman, dibutuhkan SDM seni
pertunjukan lainnya yang mendukung penciptaan karya yang mencakup manajer, produser,
desainer, teknisi, kurator, dan kritikus. SDM pendukung seni pertunjukan ini diharapkan
menjadi SDM yang dinamisyang dapat terus maju dan berkembang menjawab tantangan
dan kebutuhan dunia seni pertunjukandan juga dapat bekerja dengan profesional baik untuk
pengelolaan maupun penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan di tingkat nasional dan global.

4.4.2 Arah Kebijakan Perlindungan, Pengembangan Dan Pemanfaatan


Sumber Daya Budaya Bagi Seni Pertunjukan Secara Berkelanjutan
Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses
oleh publik diarahkan untuk mengembangkan sistem informasi pengetahuan budaya seni
pertunjukan yang akurat dan terpercaya yang dikelola secara profesional. Sistem informasi
berupa pengarsipan praktik seni dan budaya, terutama dokumentasi audio-visual seni pertunjukan
yang akurat dan terpercaya, perlu dikelola secara profesional agar dapat diakses dan dimanfaatkan
oleh praktisi dan peneliti seni pertunjukan, juga masyarakat luas.
124

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

4.4.3 Arah Kebijakan Pertumbuhan Industri Seni Pertunjukan Yang


Berkualitas
Untuk mendorong potensi seni pertunjukan industri kreatif, maka dibutuhkan suatu keberlanjutan
dalam rantai nilai kreatifnya. Di dalam rantai nilai kreatif, ketersediaan wirausaha, usaha, dan
karya merupakan elemen-elemen penting yang bersinergi dalam membentuk keberlanjutan proses
penciptaan karya seni pertunjukan.
Peningkatan kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal diarahkan untuk
memfasilitasi penciptaan dan peningkatan profesionalisme (skill-knowledge-attitude)
wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal yang dapat mengembangkan program yang
sesuai dengan konteks lokal-nasional-global. Dengan mendorong para SDM seni pertunjukan
(terutama seniman, manajer, dan produser) untuk menjadi wirausaha yang profesional, maka
penciptaan karya dan penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan dapat menjadi lebih mandiri
dan terdorong untuk terus mengembangkan program dengan konteks lokal-nasional-global. Selain
menjadi profesional, kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan ini ditingkatkan
dengan cara memfasilitasi kolaborasi dan penciptaan jejaring kreatif antar wirausaha
kreatif seni pertunjukan Indonesia di tingkat nasional dan internasional. Artinya, semakin
banyak kolaborasi (kokreasi dan koproduksi) yang dihasilkan oleh para wirausaha kreatif seni
pertunjukan Indonesia baik di tingkat nasional maupun internasional, semakin banyak referensi,
ilmu, dan kesempatan yang mereka dapatkan.
Peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
diarahkan untuk memperkuat kemampuan kelompok seni pertunjukan lokal menjadi usaha
kreatif seni pertunjukan yang mandiri secara finansial dan efektif dalam berproduksi.
Tidak semua kelompok seni pertunjukan (sanggar tari, grup musik, kelompok teater) harus
beroperasi layaknya sebuah usaha. Namun demikian, bagi kelompok-kelompok seni pertunjukan
yang ingin berkarir secara profesional dan terus menghasilkan karya dengan konsisten, maka
menjalankan kelompok layaknya usaha merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini
menjamin adanya pengelolaan SDM dan keuangan yang lebih terstruktur, terarah, dan akuntabel;
sehingga kelompok dapat menjadi mandiri secara finansial dan lebih efektif dalam berproduksi.
Selain untuk memperkuat kapasitas usaha, peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan juga
diarahkan untuk memfasilitasi kolaborasi dan keterkaitan antar usaha dalam industri seni
pertunjukan maupun antara industri seni pertunjukan dengan industri lainnya di tingkat
lokal, nasional, dan global. Agar seni pertunjukan dapat tumbuh menjadi sebuah industri kreatif,
maka keterkaitan antar usaha dalam seni pertunjukan baik antar usaha dalam industri utama,
maupun antar usaha dalam industri utama dengan usaha-usaha dalam industri pendukung yaitu
backward linkage dan forward linkage.
Peningkatan mutu karya seni pertunjukan diarahkan untuk memfasilitasi pengembangan
wacana dan eksplorasi bentuk-bentuk baru dalam penciptaan karya seni pertunjukan yang
memanfaatkan sumber daya budaya lokal secara berkelanjutan. Hal ini berarti, pengembangan
wacana dan bentuk-bentuk baru dapat terus dilakukan dengan semangat kekinian, namun tetap
menunjukkan karakter dan jati diri Bangsa Indonesia dengan memanfaatkan dan melestarikan
kebudayaan lokal. Selain itu, peningkatan mutu karya seni pertunjukan juga diarahkan untuk
mengembangkan sistem penilaian mutu karya seni pertunjukan yang sesuai dengan
kuratorial seni pertunjukan nasional maupun global. Artinya, gedung-gedung atau tempattempat pertunjukan publik utama didorong untuk mempunyai kapasitas dalam melakukan kurasi

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

125

karya-karya seni pertunjukan dengan kritis dan dapat mengaitkan praktik seni pertunjukan
dengan kajian yang beredar di dunia global. Adanya sistem penilaian seperti ini penting sebagai
acuan dalam menilai mutu karya seni pertunjukan, yang mendorong seniman-seniman untuk
menghasilkan karya yang lebih bermutu.

4.4.4 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Proses


Kreasi Dan Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan
Mudah Diakses
Peningkatan ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah diakses diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan
lembaga dan alternatif pembiayaan bagi organisasi, program dan kegiatan seni yang mudah
diakses. Lembaga-lembaga pemerintah seperti Kementerian dan BUMN merupakan lembagalembaga yang potensial untuk dikembangkan sebagai lembaga alternatif bagi pembiayaan seni,
yaitu dengan menciptakan alternatif pembiayaan skema hibah yang adil, transparan, akuntabel,
mudah diakses dan berkelanjutan.

4.4.5 Arah Kebijakan Perluasan Pasar Di Dalam Dan Luar Negeri Yang
Berkualitas Dan Berkelanjutan
Perluasan pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri diarahkan untuk mengembangkan
penonton karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri. Pengembangan penonton di
dalam negeri dilakukan melalui pengembangan kapasitas venue atau gedung pertunjukan dan
lembaga pendidikan untuk dapat melakukan program pembinaan penonton secara berkelanjutan.
Sedangkan pengembangan penonton di luar negeri dilakukan melalui pengembangan jalur/kanal
distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat
global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil di presenterpresenter internasional.
Selain pengembangan penonton, perluasan pasar juga diarahkan untuk mengembangkan
sistem informasi pasar karya kreatif yang dapat diakses dengan mudah dan informasinya
didistribusikan dengan baik. Sistem informasi yang dikembangkan meliputi sistem informasi
offline yaitu berupa pusat informasi seni pertunjukan Indonesia yang berada di Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri, juga sistem informasi online berupa portal yang memuat
informasi pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar
negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia.

4.4.6 Arah Kebijakan Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana


Tempat Pertunjukan Profesional Dan Tempat Latihan
Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat
latihan diarahkan untuk menjamin ketersediaan, kesesuaian, jangkauan harga/biaya,
sebaran/penetrasi, dan performansi sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional
yang tersebar di beberapa provinsi dan tempat latihan melalui pemanfaatan ruang-ruang kreatif
publik. Peningkatan prasarana mencakup prasarana teknis seperti tata lampu, tata suara, flooring,
dan lain sebagainya.

126

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

4.4.7 Arah Kebijakan Peningkatan Kualitas Kelembagaan Yang Kondusif


Untuk Pengembangan Seni Pertunjukan
Lingkungan yang kondusif merupakan infrastruktur utama yang dibutuhkan dalam pengembangan
seni pertunjukan. Upaya penciptaan regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif
bagi pengembangan seni pertunjukan diarahkan untuk pencapaian 1) harmonisasi-regulasi
penciptaan rantai nilai kreatif (creative value chain); 2) meningkatkan sinergi, koordinasi, dan
kolaborasi antar pemangku kepentingan seni pertunjukan (pemerintah pusat dan daerah, lintas
kementerian, dan pelaku seni pertunjukan); 3) mengembangkan, memfasilitasi pembentukan
dan peningkatan kualitas organisasi yang dapat mempercepat pengembangan seni pertunjukan;
4) meningkatkan ketersediaan dan aktivasi ruang publik yang dapat memfasilitasi pementasan
seni pertunjukan; 5) meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian serta kepemimpinan Indonesia
dalam forum diplomasi bilateral, regional dan multilateral; 6) meningkatkan partisipasi Indonesia
dalam forum-forum/festival-festival seni pertunjukan tingkat internasional yang dapat mengangkat
citra Indonesia sebagai bangsa yang kreatif; 7) memfasilitasi dan memberikan penghargaan bagi
seniman, karya, dan profesional seni pertunjukan di tingkat nasional; dan 8) meningkatkan
literasi masyarakat terhadap seni pertunjukan.

4.5 Strategi dan Rencana Aksi Pengembangan Seni Pertunjukan


Strategi pengembangan jangka menengah seni pertunjukan merupakan pendekatan pelaksanaan
perencanaan dan rencana aksi dalam kurun waktu 2015-2019, yang dilaksanakan dengan beberapa
prinsip dasar, sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan rencana aksi pengembangan seni pertunjukan, pemerintah
berfungsi sebagai fasilitator, yaitu pihak yang memfasilitasi pengembangan bukan sebagai
penyelenggara acara atau event. Sebagai fasilitator, pemerintah menjembatani berbagai
kepentingan para pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan dan
memberi dana fasilitasi.
2. Perencanaan dan pelaksanaan rencana aksi pengembangan seni pertunjukan dilakukan
dengan melibatkan tenaga ahli di bidang seni pertunjukan, yakni mencakup para akademisi
dari sekolah tinggi seni dan praktisi di luar sekolah tinggi seni.
3. Pemberian dana fasilitasi dilakukan dengan transparan dan akuntabel.

4.5.1 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Pendidikan Yang Mendukung


Penciptaan Karya Seni Pertunjukan
Peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni
pertunjukan memiliki 4 strategi utama yang dapat diindikasikan oleh 4 indikasi strategis,
sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga pendidikan formal di luar
Jawa. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah:
fasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga pendidikan tinggi seni di luar Jawa, yaitu
Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penguatan dan pengembangan
termasuk penyediaan dana pengembangan, infrastruktur, kurikulum yang sesuai dengan
perkembangan seni pertunjukan, dan menyediakan tenaga pendidik yang diperlukan.
2. Strategi 2: Mengembangkan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni
pertunjukan di lembaga pendidikan seni pertunjukan yang sudah ada. Untuk melaksanakan

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

127

strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan
bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 7 (tujuh) perguruan
tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, STKW Surabaya,
ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta).
3. Strategi 3: Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengajar, pembaharuan kurikulum,
metode pengajaran, pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di
7 (tujuh) perguruan tinggi seni yaitu ISI Padang Panjang, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta,
STKW Surabaya, ISI Denpasar, STSI Bandung, dan IKJ (Jakarta). Untuk melaksanakan
strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan pemisahan pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian seni
pertunjukan, yang jenjangnya setara Strata 1.
b. Fasilitasi pemutakhiran kurikulum pendidikan seni pertunjukan, sesuai dengan
perkembangan seni pertunjukan terkini.
c. Fasilitasi akademisi (pengajar) seni pertunjukan (formal dan nonformal) seni pertunjukan
untuk mengikuti seminar yang mempertemukan mereka dengan peneliti dan seniman
yang aktif dan bereputasi di tingkat lokal maupun internasional. Fasilitasi dapat
berupa pemberian hibah partisipasi seminar.
d. Fasilitasi persiapan kemampuan bahasa asing (mis. Inggris) para akademisi (pengajar)
seni pertunjukan (formal dan nonformal) sebelum menempuh sekolah di luar negeri.
4. Strategi 4: Mengakreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari
(sekolah tari). Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah pengembangan akreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik)
dan tari (sekolah tari) di kota-kota besar Indonesia, meliputi Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar, Palu, dan Medan.

4.5.2 Peningkatan Kuantitas Dan Kualitas Sumber Daya Manusia Seni


Pertunjukan

Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan memiliki 2 strategi
utama yang dicapai melalui 5 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Mengembangkan profil profesi seni pertunjukan yang diindikasikan oleh
tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik
secara cepat, mudah dan akurat. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi
yang perlu dilakukan adalah fasilitasi pengembangan profil profesi seni pertunjukan dan
pemetaan SDM seni pertunjukan berdasarkan profil profesi yang telah diidentifikasi.
2. Strategi 2: Memfasilitasi pemberdayaan SDM seni pertunjukan (manajer, pengelola venue
& festival, kurator, kritikus, teknisi, seniman) untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi SDM seni pertunjukan non seniman untuk mengikuti pendidikan formal,
yaitu: manajer dan produser setaraf S2 nonkajian; dan desainer tata cahaya dan
desainer tata suara setara S2. Saat ini Indonesia belum memiliki perguruan tinggi
yang menawarkan program-program manajemen seni dan keproduseran yang baik,
begitu pula dengan program desain tata cahaya dan tata suara yang sesuai dengan
kebutuhan pementasan. Oleh karena itu, pendidikan sebaiknya ditempuh di luar negeri.
b. Fasilitasi SDM seni pertunjukan (seniman, manajer, produser, desainer, teknisi,
kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program workshop yang diselenggarakan
secara mandiri oleh pemerintah.
128

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

c. Fasilitasi SDM seni pertunjukan (termasuk seniman, manajer, produser, desainer,


teknisi, kurator, dan kritikus) untuk mengikuti program residensi dan workshop (yang
sudah ada) di tingkat lokal maupun internasional.
d. Fasilitasi penulisan kritik seni pertunjukan tahunan. Fasilitasi dapat berupa
penyelenggaraan sayembara penulisan kritik seni pertunjukan, yang hasilnya kemudian
diterbitkan berupa buku kumpulan kritik seni.

4.5.3 Penciptaan Pusat Pengetahuan Dan Infrastruktur Pengetahuan


Budaya Seni Pertunjukan Yang Dapat Diakses Oleh Publik
Penciptaan pusat pengetahuan dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat
diakses oleh publik memiliki 2 strategi utama yang dicapai melalui 4 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Mengembangkan sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan
nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara
profesional. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online).
Pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan membutuhkan sumber dana,
sumber daya manusia dan kapasitas penyimpanan yang besar. Oleh karena itu,
sistem pengarsipan sebaiknya dilakukan bekerja sama dengan ANRI (Arsip Nasional
Republik Indonesia).
b. Fasilitasi pengembangan kapasitas pengelola pengarsipan dan pusat penyimpanan
data seni pertunjukan.
2. Strategi 2: Memfasilitasi penelitian untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan seni
pertunjukan Indonesia. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi hibah penelitian seni pertunjukan untuk mengembangkan keilmuan
dan wawasan seni pertunjukan. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang
memanfaatkan sumber daya budaya yang diarsipkan.
b. Fasilitasi penerbitan hasil penelitian keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia.

4.5.4 Penciptaan Kuantitas Dan Kualitas Wirausaha Kreatif Seni


Pertunjukan Lokal
Penciptaan kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal memiliki 2
strategi utama yang dicapai melalui 4 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam
penyelenggaraan pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan
internasional) secara berkesinambungan untuk meningkatkan profesionalisme produser,
manajer, promotor, presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia. Untuk
melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pendampingan dan pelatihan penyelenggaraan pementasan atau festival seni
pertunjukan. Pendampingan dan pelatihan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan
para profesional seni pertunjukan. Pendampingan penyelenggaraan pementasan atau
festival juga sebaiknya dilakukan selama setidaknya selama tiga tahun beturut-turut
untuk memastikan terjadinya akumulasi pengetahuan dan pembelajaran yang terukur
diantara para pelakunya, termasuk pemerintah.
BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

129

b. Fasilitasi program magang/bekerja untuk manajer, produser, promotor, dan pekerja


teknis seni pertunjukan dalam penyelenggaraan pementasan atau festival seni
pertunjukan. Peserta magang dipilih melalui seleksi sesuai dengan organisasi atau
tuan rumah tempat magang yang tersedia.
c. Fasilitasi program mentoring untuk para manajer, produser dan presenter seni
pertunjukan. Program mentoring terbuka untuk umum, tanpa melalui proses seleksi.
2. Strategi 2: Memfasilitasi koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan. Untuk
melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi koproduksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat nasional dan internasional.

4.5.5 Peningkatan Usaha Kreatif Seni Pertunjukan Lokal Yang Mandiri,


Berjejaring, Dan Berkualitas
Peningkatan usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas
memiliki 2 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi pendampingan kepada kelompok seni pertunjukan secara
berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan tata kelola organisasi/
usaha kreatif seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang
perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pendampingan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan secara
berkelanjutan, yang melibatkan tenaga ahli di bidang manajemen seni pertunjukan.
b. Fasilitasi pelatihan manajemen dan tata kelola kelompok seni pertunjukan, yang
terbuka untuk umum.
2. Strategi 2: Mengembangkan jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer,
presenter) di tingkat lokal, nasional, maupun global. Untuk melaksanakan strategi ini,
maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pertemuan/konferensi rutin nasional praktisi seni pertunjukan di seluruh
Indonesia, yang meliputi seniman, produser, manajer, dan presenter seni pertunjukan.
b. Fasilitasi praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) Indonesia
untuk mengikuti pertemuan/konferensi asosiasi seni pertunjukan internasional.
Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah dengan metode seleksi.

4.5.6 Peningkatan Mutu Karya Seni Pertunjukan


Peningkatan mutu seni pertunjukan memiliki 3 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi penelitian seniman untuk mendapatkan pengalaman artistik,
seperti studi literatur dan kajian psikososial untuk mendukung gagasan penciptaan
karya seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah fasilitasi penelitian seniman dalam rangka produksi karya.
2. Strategi 2: Memfasilitasi kokreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni
pertunjukan di tingkat nasional dan internasional. Untuk melaksanakan strategi ini,
maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pengalaman keberagaman di Indonesia melalui kerja kolaborasi antar pelaku
seni pertunjukan daerah di seluruh Indonesia. Fasilitasi dapat berupa pemberian
hibah kolaborasi yang mengutamakan kolaborasi seniman antar daerah di Indonesia.
b. Fasilitasi seniman untuk menonton festival di tingkat lokal dan internasional. Fasilitasi
dapat berupa pemberian hibah dana perjalanan (travel grant).

130

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

3. Strategi 3: Memfasilitasi pengembangan kapasitas pengelola gedung-gedung/tempat-tempat


pertunjukan publik utama. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah fasilitasi pelatihan dan studi banding untuk pengelola gedung-gedung
pertunjukan publik utama di kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung,
Padang, Riau, Makassar, Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura, untuk meningkatkan
kapasitas kurasi dan pengembangan program. Topik pelatihan adalah pengembangan
program dan kapasitas kurasi. Di dalam negeri, studi banding dapat dilakukan ke gedung/
venue pertunjukan yang merupakan best practice (contoh: Komunitas Salihara, Jakarta).
Sedangkan untuk studi banding ke luar negeri dapat dilakukan ke negara-negara yang
mempunyai gedung atau venue pertunjukan yang baik, seperti India, Thailand, Korea
Selatan.

4.5.7 Peningkatan Ketersediaan Pembiayaan Bagi Pengembangan Dan


Produksi Seni Pertunjukan Yang Transparan, Akuntabel Dan Mudah
Diakses
Peningkatan ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah diakses dicapai melalui strategi memfasilitasi pengembangan
skema hibah yang adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan bagi organisasi,
program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN). Untuk
melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembagalembaga pemerintah (Kementerian dan BUMN). Skema hibah mencakup biaya produksi
karya, biaya residensi, biaya penelitian dan pengembangan, biaya perjalanan (travel grant)
dan pentas keliling (touring) nasional dan internasional.
b. Pengembangan portal yang menjadi hub skema hibah atau pembiayaan yang tersedia
bagi kegiatan seni dan budaya.

4.5.8 Perluasan Pasar Seni Pertunjukan Di Dalam Dan Luar Negeri


Perluasan pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri memiliki 4 strategi dan 5 rencana
aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi pengembangan kapasitas venue (gedung pertunjukan) dan
lembaga pendidikan umum untuk dapat melakukan program pembinaan penonton
secara berkelanjutan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitasi pendampingan dan pelatihan untuk venue (gedung-gedung pertunjukan)
dalam melakukan pembinaan penonton. Materi pelatihan termasuk: manajemen
program, manajemen venue, pemasaran, dan teknis. Program pembinaan penonton
meliputi program-program outreach yang mendekatkan masyarakat dengan praktik
seni pertunjukan seperti menonton, mengetahui proses belakang panggung (backstage),
mendengar uraian sejarah, dan lain sebagainya.
b. Fasilitasi kelompok-kelompok seni yang melakukan pengenalan seni pertunjukan
di sekolah-sekolah umum (PAUD-SMA); misalnya diundang sebagai pengajar,
menampilkan karya di sekolah, ataupun mengadakan kegiatan bersama dengan
siswa-siswi sekolah.

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

131

2. Strategi 2: Mengembangkan jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai


pengetahuan pasar (Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensipotensi yang layak tampil. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang
perlu dilakukan adalah fasilitasi manajer seni pertunjukan (produser, presenter) Indonesia
untuk mengikuti/menghadiri performing art mart internasional (misalnya di Asia, Eropa,
Amerika dan Australia). Fasilitasi dapat berupa pemberian dana perjalanan (travel grant).
3. Strategi 3: Mengoptimalkan fungsi Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri
sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia (tradisi dan kontemporer). Untuk
melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan
pusat informasi seni pertunjukan Indonesia baik tradisi dan kontemporer melalui pusat
budaya di Kedutaan Besar Republik Indonesia, dengan menyiapkan materi-materi promosi
seni pertunjukan yang dibutuhkan di pusat budaya tersebut.
4. Strategi 4: Mengembangkan portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan)
terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni
pertunjukan Indonesia. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah pengembangan portal informasi seni pertunjukan online yang memuat:
perkembangan seni pertunjukan dalam negeri dan mancanegara, informasi suplai dan
permintaan terhadap karya seni pertunjukan di dalam dan luar negeri.

4.5.9 Peningkatan Ketersediaan Sarana Dan Prasarana Tempat Pertunjukan


Profesional Dan Tempat Latihan
Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat
latihan dicapai melalui strategi meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana
(seperti tata lampu, tata suara, flooring, dan lain sebagainya) gedung-gedung pertunjukan publik
utama yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan
sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka
rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan
publik utama serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruanganruangan tempat latihan serta pemutakhiran infrastruktur teknis (seperti tata lampu, tata suara,
flooring) yang ada didalamnya. Fokus peningkatan sarana dan prasarana adalah di kota-kota
strategis seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Lampung, Padang, Riau, Makassar,
Palu, Medan, Pontianak dan Jayapura.

4.5.10 Pengembangan Regulasi Yang Mendukung Penciptaan Iklim Yang


Kondusif Bagi Pengembangan Seni Pertunjukan
Pengembangan regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan
seni pertunjukan memiliki 4 strategi dan 4 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) korporasi untuk
bidang seni dan budaya. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang
perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi dana CSR korporasi (Corporate
Social Responsibility). Harmonisasi dilakukan agar perundang-undangan CSR memiliki
keberpihakan bagi kegiatan seni dan budaya di Indonesia.
2. Harmonisasi-regulasi retribusi gedung pertunjukan publik utama agar dapat mudah
diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus produksi dan distribusi karya seni
pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi sewa dan retribusi gedung pertunjukan publik utama,
di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Makassar.
132

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

3. Harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi untuk dapat lebih termotivasi membantu


program-program kesenian. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang
perlu dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi. Harmonisasi
dilakukan untuk melihat kemungkinan memasukkan kesenian sebagai bidang penerima
sumbangan atau meningkatkan persentase nilai tax deduction.
4. Harmonisasi-regulasi pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan program kesenian/
festival oleh pemerintah. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu
dilakukan adalah fasilitasi harmonisasi-regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah untuk
penyelenggaraan program kesenian/festival. Harmonisasi dilakukan untuk mendapatkan
model pembiayaan yang paling baik dan masuk akal dalam penyelenggaraan acara-acara
kesenian, serta bersinergi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang
kesenian terkait.

4.5.11 Peningkatan Partisipasi Aktif Pemangku Kepentingan Dalam


Pengembangan Seni Pertunjukan Secara Berkualitas Dan Berkelanjutan
Peningkatan partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan
secara berkualitas dan berkelanjutan memiliki 3 strategi dan 3 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan
berupa forum. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah fasilitasi resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan berupa
forum. Fasilitasi dapat berupa pemberian hibah untuk organisasi-organisasi yang melakukan
resource sharing dan kerja kolektif antar pemangku kepentingan, serta penyelenggaraan
konferensi tahunan organisasi-organisasi penerima hibah (sebagai progress report) dengan
mengikutsertakan pemerintah.
2. Strategi 2: Memfasilitasi pembentukan organisasi gabungan dari pemerintah, pelaku
seni, dan pengusaha, yang berkualitas sebagai rekan pemerintah dalam yang menciptakan
sebanyak mungkin peluang bagi praktisi seni pertunjukan Indonesia untuk berkarya dan
berjejaring di tingkat nasional maupun internasional. Untuk melaksanakan strategi ini,
maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi terbentuknya organisasi pengelola
dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta. Pembentukan organisasi tersebut
dilakukan melalui proses studi bentuk kelembagaan dan sumber pendanaan organisasi.
3. Strategi 3: Meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni
pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah fasilitasi pelatihan/seminar untuk meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam
mengembangkan seni pertunjukan. Aparatur negara mencakup aparatur negara yang
berada di kementerian-kementerian dan dinas-dinas terkait seni dan budaya di tingkat
pusat, provinsi, maupun kota.

4.5.12 Peningkatan Ketersediaan Ruang-Ruang Publik Untuk


Penyelenggaraan Kegiatan Seni Pertunjukan
Peningkatan ketersediaan ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan
memiliki strategi memfasilitasi pengembangan dan aktivasi taman kota, plaza-plaza terbuka,
sebagai ajang menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi
ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi aktivasi taman kota dan plaza-plaza
terbuka. Peningkatan ketersediaan ruang-ruang publik dilakukan melalui penyusunan kebijakan
penggunaan ruang publik.

BAB 4: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Indonesia

133

4.5.13 Peningkatan Posisi, Kontribusi, Kemandirian, Serta Kepemimpinan


Indonesia Dalam Fora Internasional Melalui Seni Pertunjukan
Peningkatan posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional
melalui seni pertunjukan memiliki 2 strategi dan 2 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Menjalin kemitraan strategis dengan negara Jepang, Korea, Jerman, Perancis,
Australia, dan Amerika, dan lain sebagainya, dalam peningkatan kapasitas produksi karya
seni pertunjukan. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah fasilitasi kemitraan strategis untuk peningkatan kapasitas produksi karya seni
pertunjukan dengan negara-negara tersebut. Kunjungan diplomasi ke lembaga-lembaga
atau organisasi-organisasi pemerintahan yang menaungi seni dan budaya di negara-negara
terkait, dilakukan dengan melibatkan praktisi seni pertunjukan.
2. Strategi 2: Memfasilitasi keikutsertaan/penampilan seniman-seniman Indonesia di
forum-forum International Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika),
PAMS (Korea Selatan), TPAM (Jepang) dan IETM (Asia Satellite Meeting di kota yang
berganti-ganti) dan lain sebagainya; dan festival-festival seni pertunjukan internasional
yang prestisius. Untuk melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan
adalah fasilitasi keikutsertaan/penampilan seniman-seniman Indonesia di forum-forum
tersebut. Fasilitasi dapat berupa hibah dana perjalanan (travel grant) dan keikutsertaan,
serta persiapan materi pemasaran yang berstandar internasional.

4.5.14 Peningkatan Apresiasi Kepada Orang Dan Karya Kreatif Seni


Pertunjukan
Peningkatan apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan memiliki 2 rencana
strategis dan 2 rencana aksi, sebagai berikut:
1. Strategi 1: Memfasilitasi terlembaganya anugerah/penghargaan seni pertunjukan agar
dilakukan secara berkelanjutan dan prestisius. Untuk melaksanakan strategi ini, maka
rencana aksi yang perlu dilakukan adalah fasilitasi terlembaganya anugerah/penghargaan
seni pertunjukan (untuk seniman, praktisi, dan venue) yang diberikan oleh lembaga
pemerintah, di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
2. Strategi 2: Mengembangkan kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan
seni sejak dini, yaitu sejak PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas. Untuk
melaksanakan strategi ini, maka rencana aksi yang perlu dilakukan adalah pengembangan
kurikulum pendidikan umum yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak PAUD
sampai dengan pendidikan menengah atas.

134

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

136

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

BAB 5
Penutup

BAB 5: Penutup

137

5.1 Kesimpulan
Dalam penyusunan rencana pengembangan seni pertunjukan nasional 2015-2019, seni pertunjukan
didefinisikan sebagai: Cabang kesenian yang melibatkan perancang, pekerja teknis dan penampil
(performers), yang mengolah, mewujudkan dan menyampaikan suatu gagasan kepada penonton
(audiences); baik dalam bentuk lisan, musik, tata rupa, ekspresi dan gerakan tubuh, atau tarian;
yang terjadi secara langsung (live) di dalam ruang dan waktu yang sama, di sini dan kini (hic
et nunc). Definisi tersebut merupakan hasil elaborasi dari proses analisis yang meliputi: kajian
pustaka, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion, yang melibatkan para narasumber
yang mewakili pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, praktisi seni pertunjukan,
komunitas, dan kalangan intelektual.
Dalam konteks pendekatan penulisan buku ini, yaitu seni pertunjukan sebagai salah satu potensi
sektor ekonomi kreatif, seni pertunjukan pun dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu tari,
teater dan musik; dengan pemahaman bahwa ketiganya bergerak dalam ruang-ruang tradisional,
komersial dan eksperimentasi artistik (yang secara variatif dan leluasa dikategorikan ke dalam
istilah atau genre modern dan kontemporer). Tiga kategori besar ini tentu cenderung terbatas
dan membatasi ruang lingkup seni Indonesia yang kaya ekspresi. Selain ketiga kategori utama
(tari, teater dan musik), terdapat pula bentuk ungkap yang lintas disiplin (crossover) seperti
sastra lisan, wayang (baik wayang orang maupun wayang kulit), sirkus, opera, drama-musikal,
pantomim, sulap dan musikalisasi puisi.
Untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara setiap peran di dalam proses
penciptaan nilai kreatif dengan lingkungan sekitar, dikembangkan peta ekosistem seni pertunjukan
yang terdiri atas empat komponen utama, yaitu: rantai nilai kreatif, lingkungan pengembangan,
pasar, dan pengarsipan. Rantai nilai kreatif seni pertunjukan meliputi proses kreasi, produksi,
distribusi, dan presentasi. Lingkungan pengembangan seni pertunjukan meliputi pendidikan
dan apresiasi. Konsep pasar dalam seni pertunjukan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu
penonton dan presenter, yang bisa berupa festival, maupun venue yang mempunyai program.
Sedangkan pengarsipan yang dimaksud dalam seni pertunjukan meliputi pemeliharaan arsip
juga pelestarian praktik seni dan budaya.
Dampak ekonomi dari pengembangan seni pertunjukan dapat dilihat dari peta industri yang
menggambarkan hubungan antar pelaku dan entitas usaha yang membentuk industri utama seni
pertunjukan, mulai dari proses kreasi hingga presentasi, serta pelaku dan entitas pendukung yang
memberikan suplai pada pelaku dan entitas usaha di industri utama (backward linkage) dan entitas
pendukung yang memberikan permintaan (demand) kepada pelaku dan entitas usaha industri
utama (forward linkage). Para pelaku dan entitas usaha yang termasuk backward linkage ditemukan
terutama dalam proses produksi karya seni pertunjukan. Pada proses ini, seniman sebagai pelaku
di industri utama membutuhkan pelaku-pelaku pendukung, seperti para perancang, untuk
merealisasikan dan mengembangkan gagasan penciptaan mereka ke dalam ruang dan lokasi (set
dan dekorasi), suasana serta mood peristiwa (cahaya dan atau musik ilustrasi), kostum, dan lain
sebagainya. Perancang utama yang diperlukan dalam produksi di antaranya perancang panggung
(set designer atau skenografer), perancang tata cahaya (lighting designer), perancang tata suara
(sound designer atau sound engineer), dan perancang kostum dan properti. Sedangkan pelaku dan
entitas usaha yang termasuk forward linkage dapat terlihat terutama dalam proses kreasi. Dalam
proses ini, banyak sutradara yang menuliskan gagasan dan proses kreatifnya untuk diterbitkan
sebagai buku, sehingga bisa menjadi panduan belajar bagi mahasiswa maupun sutradara-sutradara

138

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

muda. Lain halnya dengan seorang aktor seni pertunjukan, kemampuan aktingnya yang matang
kerap kali diperlukan untuk mendukung industri film ataupun televisi, baik sebagai pemain film
maupun sebagai pelatih akting (acting coach).
Sifat seni pertunjukan yang serba multidisiplin dan kerap multimedia membuat proses produksi
karya seni pertunjukan selalu melibatkan banyak orang (baik seniman perancang, penampil
maupun teknisi). Sementara itu, karena watak seni pertunjukan yang langsung (live), di sini dan
kini, maka proses konsumsi atau resepsinya pun mesti melibatkan sejumlah pelaku yang sama
banyaknya dengan proses produksinya. Konsekuensi ekonomis dari watak seni pertunjukan yang
seperti itu membuat biaya produksi dan distribusi karya seni pertunjukan menjadi relatif besar.
Dibandingkan dengan film, misalnya, proses produksi film juga melibatkan banyak pelaku, tetapi
karena watak karya film sebagai (berada di dalam) medium terekam maka proses distribusinya
setelah proses penciptaan (perekaman dan pengeditan) selesaimenjadi lebih ringan dan lebih
mudah ketimbang seni pertunjukan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, subsektor seni pertunjukan memberikan
kontribusi sebesar 0,4% terhadap total PDB Industri Kreatif. Nilai ini berada di urutan kedua
terbawah dari 15 subsektor ekonomi kreatif. Berdasarkan nilai rata-rata pertumbuhan NTB 20102013, maka pertumbuhan pada subsektor seni pertunjukan sebesar 4,20%, berada di bawah laju
rata-rata pertumbuhan ekonomi kreatif 5,08% dan pertumbuhan nasional 6,15%. Walaupun
demikian, seni pertunjukan mengalami peningkatan pertumbuhan yang sangat drastis dari
2,98% pada 2012 dan 6,89% pada 2013.
Berdasarkan kondisi seni pertunjukan di Indonesia saat ini, tantangan yang mungkin dihadapi,
serta dengan memperhitungkan daya saing serta potensi yang dimiliki dan juga arahan strategis
pembangunan nasional serta pengembangan ekonomi kreatif periode 20152019, maka visi
pengembangan seni pertunjukan selama periode 20152019 adalah Seni pertunjukan Indonesia
yang mampu secara berkelanjutan memberdayakan seluruh potensi dan pengetahuannya untuk
membangun kemampuan ekonomi dan berperan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat
Indonesia.

BAB 4: Penutup

139

5.2 Saran
Pengembangan seni pertunjukan dalam lima tahun kedepan akan difokuskan pada:
1. Fasilitasi pengembangan bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan
di 7 (tujuh) perguruan tinggi seni di Indonesia, termasuk pembaharuan kurikulum dan
metode pengajarannya; fasilitasi SDM seni pertunjukan untuk mengikuti pendidikan
formal, workshop dan residensi baik di dalam maupun luar negeri.
2. Fasilitasi pengembangan sistem pengarsipan seni pertunjukan (Join Katalog Online).
3. Fasilitasi program pendampingan, magang, dan mentoring dalam penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan (skala lokal, nasional, dan internasional) secara
berkesinambungan serta fasilitasi ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan
di tingkat nasional dan internasional.
4. Fasilitasi penelitian seniman, ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni
pertunjukan di tingkat nasional dan internasional.
5. Fasilitasi pengembangan skema hibah bagi program dan kegiatan seni oleh lembaga-lembaga
pemerintah (Kementerian dan BUMN) yang transparan, akuntabel dan mudah diakses.
6. Fasilitasi peningkatan jumlah gedung pertunjukan publik utama serta ruang-ruang kreatif
publik yang dapat digunakan sebagai studio atau ruangan-ruangan tempat latihan serta
pemutakhiran infrastruktur teknis yang ada didalamnya.
7. Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate Social Responsibility) dan insentif
pajak korporasi dan untuk bidang seni dan budaya; regulasi retribusi gedung pertunjukan
publik utama agar dapat mudah diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya siklus
produksi dan distribusi karya seni pertunjukan, serta regulasi pengadaan barang dan jasa
penyelenggaraan program kesenian/festival oleh pemerintah.
Untuk penyempurnaan studi dan penulisan buku rencana aksi periode selanjutnya, perlu dilakukan
beberapa hal seperti: meningkatkan intensitas kolaborasi antar pemangku kepentingan di bidang
seni pertunjukan, meningkatkan intensitas komunikasi lintas kementerian, dan memutakhirkan
data kontribusi ekonomi dengan perbaikan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) Kreatif.

140

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

142

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

LAMPIRAN

LAMPIRAN

143

144

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

ARAH KEBIJAKAN

STRATEGI

Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber


daya manusia (SDM) seni pertunjukan

Meningkatnya kuantitas dan kualitas


pendidikan yang mendukung penciptaan
karya seni pertunjukan

Menciptakan SDM seni


pertunjukan yang dinamis dan
profesional di tingkat nasional dan
global

Meningkatkan kuantitas dan


kualitas lembaga pendidikan
formal seni vokasional dan
nonformal, serta mengembangkan
bidang studi manajemen seni
dan teknologi panggung bagi seni
pertunjukan

Memfasilitasi pemberdayaan SDM seni pertunjukan (manajer,


pengelola venue & festival, kurator, kritikus, teknisi, seniman)
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

Mengakreditasi lembaga pendidikan nonformal musik (kursus


musik) dan tari (sekolah tari)

Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengajar, pembaharuan


kurikulum, metode pengajaran, pemisahan antara pendidikan
konservatori (vokasional) dan kajian

Mengembangkan profil profesi seni pertunjukan yang dapat


diakses oleh publik secara cepat, mudah dan akurat.

Mengembangkan bidang studi manajemen seni dan teknologi


panggung seni pertunjukan di lembaga pendidikan seni
pertunjukan yang sudah ada

Memfasilitasi penguatan dan pengembangan lembaga


pendidikan formal di luar Jawa

2.1

Terciptanya pusat dan infrastruktur


pengetahuan budaya seni pertunjukan yang
dapat diakses oleh publik

Mengembangkan sistem informasi


pengetahuan budaya seni
pertunjukan yang akurat dan
terpercaya yang dikelola secara
profesional

Mengembangkan sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan


data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan Indonesia yang akurat
dan terpercaya, serta dikelola secara profesional
Memfasilitasi penelitian untuk mengembangkan keilmuan dan
wawasan seni pertunjukan Indonesia

2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan

1.2

1.1

1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)

MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan

MISI/TUJUAN/SASARAN

MATRIKS TUJUAN, SASARAN, ARAH KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN

LAMPIRAN

145

MISI/TUJUAN/SASARAN

ARAH KEBIJAKAN

Meningkatnya kuantitas dan kualitas


wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal

Meningkatnya usaha kreatif seni


pertunjukan lokal yang mandiri,
berjejaring, dan berkualitas.

Meningkatnya mutu karya seni


pertunjukan

3.1

3.2

3.3

Memfasilitasi pengembangan wacana dan


eksplorasi bentuk-bentuk baru dalam penciptaan
karya seni pertunjukan yang memanfaatkan
sumber daya budaya lokal secara berkelanjutan
Mengembangkan sistem penilaian mutu karya seni
pertunjukan yang sesuai dengan kuratorial seni
pertunjukan nasional maupun global.

Memfasilitasi kolaborasi dan keterkaitan antar


usaha dalam industri seni pertunjukan maupun
antara industri seni pertunjukan dengan industri
lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global

Memperkuat kemampuan kelompok seni


pertunjukan lokal menjadi usaha kreatif seni
pertunjukan yang mandiri secara finansial dan
efektif dalam berproduksi

Memfasilitasi kolaborasi dan penciptaan jejaring


kreatif antar wirausaha kreatif seni pertunjukan
Indonesia di tingkat nasional dan internasional

Memfasilitasi penciptaan dan peningkatan


profesionalisme (skill-knowledge-attitude)
wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal yang
dapat mengembangkan program yang sesuai
dengan konteks lokal-nasional-global

3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan

MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas

Memfasilitasi ko-kreasi (kolaborasi) dan studi


banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat
nasional dan internasional
Memfasilitasi pengembangan kapasitas pengelola
gedung-gedung/tempat-tempat pertunjukan
publik utama

Memfasilitasi penelitian seniman untuk


mendapatkan pengalaman artistik, seperti studi
literatur dan kajian psikososial untuk mendukung
gagasan penciptaan karya seni pertunjukan

Mengembangkan jejaring praktisi seni


pertunjukan (seniman, produser, manajer,
presenter) di tingkat lokal, nasional, maupun
global

Memfasilitasi pendampingan kepada kelompok


seni pertunjukan secara berkelanjutan untuk
meningkatkan kemampuan manajemen dan
tatakelola organisasi/usaha kreatif seni
pertunjukan

Memfasilitasi ko-produksi antar produser/


presenter seni pertunjukan

Memfasilitasi program pendampingan, magang,


dan mentoring dalam penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan (skala
lokal, nasional, dan internasional) secara
berkesinambungan untuk meningkatkan
profesionalisme produser, manajer, promotor,
presenter, dan pelaku teknis seni pertunjukan
Indonesia

STRATEGI

146

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

ARAH KEBIJAKAN

STRATEGI

Meningkatnya ketersediaan
pembiayaan bagi pengembangan
dan produksi seni pertunjukan yang
transparan, akuntabel dan mudah
diakses

Menciptakan dan mengembangkan lembaga dan


alternatif pembiayaan bagi organisasi, program
dan kegiatan seni yang mudah diakses.

Meluasnya pasar seni pertunjukan di


dalam dan luar negeri

Mengembangkan penonton karya seni pertunjukan


di dalam dan luar negeri

Mengembangkan sistem informasi pasar karya


kreatif yang dapat diakses dengan mudah dan
informasinya didistribusikan dengan baik

6.1

Meningkatnya ketersediaan sarana


dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan

Menjamin ketersediaan,kesesuaian,jangkauan
harga/biaya, sebaran/penetrasi, dan performansi
sarana dan prasarana tempat pertunjukan
profesional dan tempat latihan

6. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan

5.1

5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan

4.1

Meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana


dan prasarana (seperti tata lampu, tata suara,
flooring, dan lain sebagainya) gedung-gedung
pertunjukan publik utama yang tersebar di
beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif
publik yang dapat digunakan sebagai studio atau
ruangan-ruangan tempat latihan

Mengembangkan portal yang memuat informasi


pasar (suplai dan permintaan) terhadap karya
seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta
perkembangan seni pertunjukan Indonesia

Mengoptimalkan fungsi kedutaan besar RI di luar


negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan
Indonesia (tradisi dan kontemporer)

Mengembangkan jalur/kanal distribusi (promotor,


agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar
(Market Knowledge) tingkat global untuk
mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan
yang layak tampil

Memfasilitasi pengembangan kapasitas venue


(gedung pertunjukan) dan lembaga pendidikan
umum untuk dapat melakukan program
pembinaan penonton secara berkelanjutan

Memfasilitasi pengembangan skema hibah yang


adil, transparan, akuntabel, mudah diakses dan
berkelanjutan bagi organisasi, program dan
kegiatan seni oleh lembaga-lembaga pemerintah
(Kementerian dan BUMN)

4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses

MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan

MISI/TUJUAN/SASARAN

LAMPIRAN

147

MISI/TUJUAN/SASARAN

ARAH KEBIJAKAN

Terciptanya regulasi yang mendukung


penciptaan iklim yang kondusif bagi
pengembangan seni pertunjukan

Meningkatnya partisipasi aktif


pemangku kepentingan dalam
pengembangan seni pertunjukan
secara berkualitas dan berkelanjutan

Terbukanya ruang-ruang publik


untuk penyelenggaran kegiatan seni
pertunjukan

7.1

7.2

7.3

Meningkatkan ketersediaan dan aktivasi ruang


publik yang dapat memfasilitasi pementasan seni
pertunjukan

Mengembangkan, memfasilitasi pembentukan


dan peningkatan kualitas organisasi yang dapat
mempercepat pengembangan seni pertunjukan

Meningkatkan sinergi, koordinasi, dan kolaborasi


antar pemangku kepentingan seni pertunjukan
(pemerintah pusat dan daerah, lintas kementerian,
dan pelaku seni pertunjukan

Harmonisasi-regulasi penciptaan rantai nilai


kreatif (creative value chain)

Harmonisasi-regulasi insentif pajak korporasi


untuk dapat lebih termotivasi membantu programprogram kesenian
Harmonisasi-regulasi pengadaan barang dan jasa
penyelenggaraan program kesenian/festival oleh
pemerintah

Memfasilitasi pengembangan dan aktivasi


taman kota, plaza-plaza terbuka, sebagai
ajang menampilkan kreativitas seniman seni
pertunjukan

Meningkatkan kapasitas aparatur negara dalam


mengembangkan seni pertunjukan

3
1

Memfasilitasi pembentukan organisasi gabungan


dari pemerintah, pelaku seni, dan pengusaha,
yang berkualitas sebagai rekan pemerintah dalam
yang menciptakan sebanyak mungkin peluang
bagi praktisi seni pertunjukan Indonesia untuk
berkarya dan berjejaring di tingkat nasional
maupun internasional

Memfasilitasi resource sharing dan kerja kolektif


antar pemangku kepentingan berupa forum

Harmonisasi-regulasi retribusi gedung


pertunjukan publik utama agar dapat mudah
diakses oleh seniman dan mendukung terjadinya
siklus produksi dan distribusi karya seni
pertunjukan

Harmonisasi-regulasi alokasi dana CSR (Corporate


Social Responsibility) korporasi untuk bidang seni
dan budaya

STRATEGI

7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan

148

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

7.5

7.4

MISI/TUJUAN/SASARAN

Meningkatnya apresiasi kepada orang


dan karya kreatif seni pertunjukan

Meningkatnya posisi, kontribusi,


kemandirian, serta kepemimpinan
Indonesia dalam fora internasional
melalui seni pertunjukan

Memfasilitasi dan memberikan penghargaan bagi


seniman, karya, dan profesional seni pertunjukan di
tingkat nasional
Meningkatkan literasi masyarakat terhadap seni
pertunjukan

Meningkatkan partisipasi Indonesia dalam


forum-forum/ festival-festival seni pertunjukan
tingkat internasional yang dapat mengangkat citra
Indonesia sebagai bangsa yang kreatif

ARAH KEBIJAKAN
Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian serta
kepemimpinan Indonesia dalam forum diplomasi
bilateral, regional dan multilateral

STRATEGI

Mengembangkan kurikulum pendidikan umum


yang terintegrasi dengan seni sejak dini, yaitu sejak
PAUD sampai dengan pendidikan menengah atas

Memfasilitasi terlembaganya anugerah/


penghargaan seni pertunjukan agar dilakukan
secara berkelanjutan dan prestisius

Memfasilitasi keikutsertaan/penampilan senimanseniman Indonesia di forum-forum International


Performing Art Market, misalnya di: APAP (Amerika),
PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM (Australia),
dll; dan festival-festival seni pertunjukan
internasional yang prestisius

Menjalin kemitraan strategis dengan negara


Jepang, Korea, Jerman, Perancis, Australia, dan
Amerika, dll, dalam peningkatan kapasitas produksi
karya seni pertunjukan

LAMPIRAN

149

INDIKASI STRATEGIS

Meningkatnya kuantitas dan kualitas


sumber daya manusia seni pertunjukan

1.2

Meningkatnya kuantitas dan kualitas perguruan tinggi seni di luar Jawa


Terdapat bidang studi manajemen dan teknologi panggung seni pertunjukan di 6 perguruan tinggi seni di
Indonesia
Meningkatnya kuantitas dan kualitas pengajar; rutin dilakukannya pembaharuan kurikulum dan metode
pengajaran; serta dilakukannya pemisahan antara pendidikan konservatori (vokasional) dan kajian di 6
perguruan tinggi seni di Indonesia
Terakreditasinya lembaga pendidikan nonformal musik (kursus musik) dan tari (sekolah tari) di kota-kota
besar di Indonesia
Tersedianya data profil profesi dan pelaku seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik secara cepat,
mudah, dan akurat.
Meningkatnya kuantitas dan kualitas SDM seni pertunjukan, yaitu: manajer, produser; desainer tata
cahaya dan desainer tata suara, seniman, manajer, produser, desainer, teknisi, kurator, dan kritikus

a
b
c

d
a
b

Terciptanya pusat dan infrastruktur


pengetahuan budaya seni pertunjukan
yang dapat diakses oleh publik

Terciptanya sistem pengarsipan dan pusat penyimpanan data (fisik dan nonfisik) seni pertunjukan
Indonesia yang akurat dan terpercaya, serta dikelola secara profesional
Terciptanya distribusi keilmuan dan wawasan seni pertunjukan Indonesia baik di kalangan praktisi seni
pertunjukan maupun masyarakat umum

a
b

3.1

Meningkatnya kuantitas dan kualitas


wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal

Meningkatnya kuantitas dan kualitas (profesionalisme) produser produser, manajer, promotor, presenter,
dan pelaku teknis seni pertunjukan Indonesia
Meningkatnya jumlah ko-produksi antar produser/presenter seni pertunjukan di tingkat lokal, nasional
dan global

a
b

3. Peningkatan pertumbuhan dan kualitas industri seni pertunjukan

MISI 2: Mengembangkan seni pertunjukan menjadi sebuah industri kreatif yang tumbuh dan berkualitas

2.1

2. Peningkatan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya bagi seni pertunjukan secara berkelanjutan

Meningkatnya kuantitas dan kualitas


pendidikan yang mendukung penciptaan
karya seni pertunjukan

1.1

1. Peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan yang berdaya (empowered)

MISI 1: Mengoptimalkan pemanfaatan dan mengembangkan sumber daya lokal yang berdaya saing, dinamis, dan berkelanjutan

MISI/TUJUAN/SASARAN

MATRIKS INDIKASI STRATEGIS PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN

150

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan

3.3

Meningkatnya pengetahuan dan pengalaman (artistik, psiko-sosial) seniman dalam penciptaan karya seni
pertunjukan
Meningkatnya jumlah ko-kreasi (kolaborasi) dan studi banding antar seniman seni pertunjukan di tingkat
nasional dan internasional
Meningkatnya kapasitas pengelola gedung-gedung /tempat-tempat pertunjukan publik utama

b
c

Meningkatnya jejaring praktisi seni pertunjukan (seniman, produser, manajer, presenter) tingkat lokal,
nasional, maupun global

b
a

Meningkatnya jumlah usaha seni pertunjukan yang memiliki kemampuan manajemen dan tatakelola
organisasi/usaha

INDIKASI STRATEGIS

Meningkatnya ketersediaan pembiayaan


bagi pengembangan dan produksi seni
pertunjukan yang transparan, akuntabel
dan mudah diakses

Meningkatnya jumlah skema hibah untuk organisasi, program, dan kegiatan seni yang adil, transparan,
akuntabel, mudah diakses dan berkelanjutan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pemerintah
(Kementerian dan BUMN)

Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam


dan luar negeri

Meningkatnya kapasitas dan fungsi venue (gedung pertunjukan) dalam melakukan program pembinaan
penonton secara berkelanjutan
Meningkatnya jumlah jalur/kanal distribusi (promotor, agensi) yang mempunyai pengetahuan pasar
(Market Knowledge) tingkat global untuk mengorbitkan potensi-potensi seni pertunjukan yang layak tampil
Meningkatnya fungsi kedutaan besar RI di luar negeri sebagai pusat informasi seni pertunjukan Indonesia
(tradisi dan kontemporer)
Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan
luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan Indonesia

a
b
c
d

6.1

Meningkatnya ketersediaan sarana dan


prasarana tempat pertunjukan profesional
dan tempat latihan

Meningkatnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana gedung-gedung pertunjukan publik utama
yang tersebar di beberapa provinsi serta ruang-ruang kreatif publik yang dapat digunakan sebagai studio
atau ruangan-ruangan tempat latihan

6. Tersedianya portal yang memuat informasi pasar (suplai dan permintaan) seni pertunjukan di dalam dan luar negeri, serta perkembangan seni pertunjukan
Indonesia

5.1

5. Perluasan pasar di dalam dan luar negeri yang berkualitas dan berkelanjutan

4.1

4. Peningkatan ketersediaan dan akses pembiayaan bagi proses kreasi dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses.

MISI 3: Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk pemberdayaan potensi dan pengetahuan seni pertunjukan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan

Meningkatnya usaha kreatif seni


pertunjukan lokal yang mandiri,
berjejaring, dan berkualitas

3.2

MISI/TUJUAN/SASARAN

LAMPIRAN

151

MISI/TUJUAN/SASARAN

INDIKASI STRATEGIS

Terciptanya regulasi yang mendukung


penciptaan iklim yang kondusif bagi
pengembangan seni pertunjuka

Meningkatnya partisipasi aktif pemangku


kepentingan dalam pengembangan seni
pertunjukan secara berkualitas dan
berkelanjutan

Terbukanya ruang-ruang publik


untuk penyelenggaraan kegiatan seni
pertunjukan

Meningkatnya posisi, kontribusi,


kemandirian, serta kepemimpinan
Indonesia dalam fora internasional
melalui seni pertunjukan

Meningkatnya apresiasi kepada orang dan


karya kreatif seni pertunjukan

7.1

7.2

7.3

7.4

7.5

Terciptanya regulasi insentif pajak yang memasukkan kesenian sebagai bidang penerima sumbangan
Tersusunnya kriteria khusus penyelenggaraan program kesenian/festival sebagai pendukung regulasi
pengadaan barang dan jasa pemerinta
Meningkatnya koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang seni pertunjukan
Terbentuknya organisasi pengelola dana abadi yang didukung oleh pemerintah dan swasta
Meningkatnya kapasitas aparatur negara dalam mengembangkan seni pertunjukan

c
d
a
b
c

Meningkatnya jumlah anugerah/penghargaan seni pertunjukan yang dilakukan secara berkelanjutan dan
prestisius
Terciptanya kurikulum pendidikan umum yang mengintegrasikan seni di sekolah-sekolah (dari PAUDSMA)

Meningkatnya tingkat partisipasi seniman-seniman Indonesia di forum-forum International Performing


Art Market, misalnya di: APAP (Amerika), PAMS (Korea), TPAM (Jepang) dan IETM (Australia), dll; dan
festival-festival seni pertunjukan internasional yang prestisius

Meningkatnya jumlah negara-negara yang menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan kapasitas produksi karya seni pertunjukan

Teraktivasinya taman-taman kota, plaza-plaza terbuka yang dapat digunakan publik sebagai ajang
menampilkan kreativitas seniman seni pertunjukan

Terciptanya regulasi pemerintah daerah yang melakukan pembebasan biaya retribusi dan pengurangan
biaya sewa untuk kegiatan-kegiatan kesenian

Terciptanya regulasi alokasi dana CSR korporasi yang memiliki keberpihakan bagi kegiatan seni dan
budaya di Indonesia

7. Peningkatan kualitas kelembagaan yang menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan

152

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH
PENANGGUNG
JAWAB

Fasilitasi pengembangan
bidang studi manajemen
dan teknologi panggung seni
pertunjukan di perguruan
tinggi seni

Fasilitasi penguatan dan


pengembangan perguruan
tinggi seni di luar Jawa

Menyediakan infrastruktur
pendidikan
Menyiapkan tenaga pendidik yang
diperlukan
Monitoring dan evaluasi yang
dilakukan oleh orang-orang yang
kompeten dalam bidang seni

e
f
g

Mengevaluasi kurikulum bidang studi


seni pertunjukan yang ada

Mengembangkan kurikulum yang


sesuai dengan perkembangan seni
pertunjukan baik dalam kontekstual
tradisi maupun kekinian

Membentuk tim penyusun kurikulum


dan program pengajaran yang
melibatkan praktisi seni pertunjukan

Membentuk tim penyusun kurikulum


untuk melakukan studi dan
penyusunan kurikulum bidang studi
manajemen dan teknologi panggung
seni pertunjukan

Menyiapkan dana pengembangan

Memilih lembaga pendidikan tinggi


seni sebagai proyek percontohan

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

Aceh,
Kalimantan
Timur,
Sulawesi
Selatan, Papua

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

SASARAN 1: Meningkatnya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendukung penciptaan karya seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

MATRIKS RENCANA AKSI PENGEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN 2015-2019

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

153

Fasilitasi pengembangan
pemisahan pendidikan
konservatori (vokasional) dan
kajian seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

Mengevaluasi kurikulum bidang studi


seni pertunjukan yang ada

Menyiapkan tenaga pendidik yang


diperlukan untuk bidang studi
manajemen dan teknologi panggung
seni pertunjukan

Menyusun kurikulum bidang studi


manajemen dan teknologi panggung
seni pertunjukan

Membentuk tim penyusun kurikulum


untuk melakukan studi dan
penyusunan kurikulum jurusan
vokasional dengan kajian seni
pertunjukan

Melakukan diskusi dengan pihakpihak luar yang terkait atau menyerap


tenaga kerja dengan kompetensi
yang dihasilkan oleh bidang studi
manajemen dan teknologi panggung
seni pertunjukan seperti praktisi
seni pertunjukan, seniman, swasta/
industri, pemerintah, dsb.

Melakukan studi pengembangan


kurikulum bidang studi manajemen
dan teknologi panggung seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

154

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi pemutakhiran
kurikulum pendidikan seni
pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

Mengevaluasi kurikulum bidang studi


seni pertunjukan
Melakukan studi pengembangan
kurikulum jurusan vokasional dengan
kajian seni pertunjukan
Melakukan diskusi dengan pihak-pihak
lain seperti praktisi seni, seniman,
swasta/industri, pemerintah, dsb.
Menyusun kurikulum baru berdasarkan
evaluasi dan studi yang dilakukan

Menyiapkan tenaga pendidik yang


diperlukan untuk jurusan vokasional
dengan kajian seni pertunjukan

Menyusun kurikulum jurusan


vokasional dengan kajian seni
pertunjukan berdasarkan evaluasi dan
studi yang dilakukan

Pembentukan tim penyusun kurikulum

Melakukan diskusi dengan pihakpihak luar yang terkait atau menyerap


tenaga kerja dengan kompetensi yang
dihasilkan oleh jurusan vokasional
dengan kajian seni pertunjukan seperti
praktisi seni, seniman, swasta/
industri, pemerintah, dsb.

Melakukan studi pengembangan


kurikulum jurusan vokasional dengan
kajian seni pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

155

Fasilitasi akademisi (pengajar)


seni pertunjukan (formal dan
nonformal) seni pertunjukan
untuk mengikuti seminar yang
mempertemukan mereka
dengan peneliti dan seniman
yang aktif dan bereputasi
di tingkat lokal maupun
internasional

Fasilitasi persiapan
kemampuan bahasa asing
(mis. Inggris) para akademisi
(pengajar) seni pertunjukan
(formal dan nonformal)
seni pertunjukan sebelum
menempuh sekolah di luar
negeri

Pengembangan akreditasi
lembaga pendidikan
nonformal musik (kursus
musik) dan tari (sekolah tari)
Terciptanya pembiayaan yang
sesuai, mudah diakses, dan
kompetitif

SASARAN/RENCANA AKSI

Melakukan studi pengembangan


kurikulum jurusan vokasional dengan
kajian seni pertunjukan

Menyusun pedoman akreditasi


sekolah-sekolah musik dan tari
nonformal
Pemetaan (pengembangan instrumen,
pelatihan surveyor/assesor, survei,
verifikasi data, pembersihan data)
kursus musik dan sekolah tari di kotakota besar

Monitoring dan evaluasi program


pemberian hibah seminar

Fasilitasi pemberian hibah seminar

Fasilitasi pemberian pelatihan bahasa


asing

Sosialisasi dan distribusi informasi


pemberian hibah seminar

Mengembangkan sistem informasi


program hibah seminar

Pembentukan tim penyusun kurikulum

Pembentukan panel seleksi bagi


pengajar seni pertunjukan yang ingin
mengikuti seminar di dalam dan luar
negeri

Menyusun pedoman fasilitasi


pemberian hibah mengikuti seminar di
dalam dan luar negeri

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Denpasar

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

ISI Padang
Panjang, ISI
Yogyakarta,
ISI Surakarta,
STKW
Surabaya, ISI
Denpasar, STSI
Bandung, IKJ
(Jakarta)

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

156

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Pembentukan tim assessor yang terdiri


dari tenaga ahli seni pertunjukan di
bidang musik dan tari
Penyelenggaraan penilaian
(assesment) oleh tim assessor
Pemberian akreditasi

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

Fasilitasi pengembangan
profil profesi seni pertunjukan
dan pemetaan SDM seni
pertunjukan berdasarkan
profil profesi yang telah
diidentifikasi

Fasilitasi SDM seni


pertunjukan non seniman
untuk mengikuti pendidikan
formal, yaitu: manajer dan
produser setaraf S2 nonkajian; dan desainer tata
cahaya dan desainer tata
suara setara S2

2
Membentuk panel seleksi bagi aplikasi
beasiswa
Mengembangkan sistem informasi
program beasiswa seni pertunjukan

Mengembangkan database online


(pengembangan sistem data base,
input data, pembuatan sistem
pelaporan) SDM seni pertunjukan

Menyusun pedoman fasilitasi beasiswa


seni pertunjukan

Melakukan pemetaan (pengembangan


instrumen, pelatihan surveyor/
assesor, survei, verifikasi data,
pembersihan data) SDM seni
pertunjukan

Melakukan studi mengenai profil


profesi seni pertunjukan yang
melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

SASARAN 2: Meningkatnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

157

Fasilitasi SDM seni


pertunjukan (seniman,
manajer, produser, desainer,
teknisi, kurator, dan
kritikus) untuk mengikuti
program workshop yang
diselenggarakan secara
mandiri

Fasilitasi SDM seni


pertunjukan (termasuk
seniman, manajer, produser,
desainer, teknisi, kurator,
dan kritikus) untuk mengikuti
program residensi dan
workshop (yang sudah ada)
di tingkat lokal maupun
internasional

SASARAN/RENCANA AKSI

Membentuk panel seleksi bagi aplikasi


hibah program residensi dan workshop
Mengembangkan sistem informasi
program hibah residensi dan workshop
seni pertunjukan

Melakukan monitoring dan evaluasi


penyelenggaraan workshop seni
pertunjukan

Menyusun pedoman fasilitasi hibah


mengikuti program residensi dan
workshop

Menyelenggarakan workshop seni


pertunjukan

Mengembangkan sistem informasi


program fasilitasi workshop

Melakukan monitoring dan evaluasi


program pemberian beasiswa

Membuat ikatan dinas untuk alumni


mengajar sekembalinya dari sekolah di
luar negeri.

Mengembangkan konsep dan konten


(kurikulum dan bahan ajar) workshop
yang melibatkan tenaga ahli di bidang
seni pertunjukan

Memfasilitasi pemberian beasiswa

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi pemberian beasiswa

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

158

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi penulisan kritik seni


pertunjukan tahunan

SASARAN/RENCANA AKSI

Membentuk panel dewan juri


sayembara
Menyelenggarakan sayembara
penulisan kritik seni
Mengembangkan sistem informasi
program sayembara penulisan kritik
seni
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan sayembara
Memberikan penghargaan kepada
pemenang sayembara
Menerbitkan (penyusunan, editorial,
desain, cetak) buku (fisik atau digital)
kumpulan kritik seni pertunjukan.
Melakukan sosialisasi dan distribusi
buku kumpulan kritik seni pertunjukan

Membuat ikatan dinas untuk alumni


mengajar sekembalinya dari sekolah di
luar negeri. Melakukan monitoring dan
evaluasi program pemberian beasiswa

Mengembangkan konsep dan panduan


program sayembara penulisan kritik
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Memfasilitasi pemberian hibah

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi pemberian hibah

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

159

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

Fasilitasi pengembangan
sistem pengarsipan seni
pertunjukan (Join Katalog
Online)

Fasilitasi pengembangan
kapasitas pengelola
pengarsipan dan pusat
penyimpanan data seni
pertunjukan

Menyelenggarakan pelatihan
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pelatihan

Melakukan aktivasi dan distribusi


pengetahuan arsip seni pertunjukan

Mengembangkan sistem informasi


program pelatihan pengelola
pengarsipan dan pusat penyimpanan
data seni pertunjukan

Mengembangkan sistem database


online (pengembangan aplikasi data
base, input data, pembuatan sistem
pelaporan) SDM seni pertunjukan

Melakukan pemetaan (pengembangan


instrumen, pelatihan surveyor/
assesor, survei, verifikasi data,
pembersihan data)

Mengembangkan konsep dan materi


pelatihan yang melibatkan tenaga
ahli di bidang pengarsipan seni
pertunjukan

Mengembangkan kerjasama
pengelolaan sistem pengarsipan
seni pertunjukan antar lembaga
pemerintah terkait

Mengembangkan konsep sistem


pengarsipan seni pertunjukan

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

Arsip Nasional
Republik
Indonesia
(ANRI),
Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif, serta
Arsip Nasional
Republik
Indonesia (ANRI)

2015

SASARAN 3: Terciptanya pusat dan infrastruktur pengetahuan budaya seni pertunjukan yang dapat diakses oleh publik

SASARAN/RENCANA AKSI

2016

2017

TAHUN

2018

2019

160

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi penerbitan hasil


penelitian keilmuan dan
wawasan seni pertunjukan
Indonesia

Fasilitasi hibah penelitian


seni pertunjukan untuk
mengembangkan keilmuan
dan wawasan seni
pertunjukan

Memfasilitasi penerbitan hasil


penelitian meliputi: penyusunan,
editorial, desain, cetak buku dalam
bentuk fisik maupun digital
Melakukan distribusi buku yang telah
diterbitkan

Melakukan sosialisasi hasil penelitian

Menyelenggarakan hibah penelitian

Mengembangkan sistem informasi


program hibah penelitian

c
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan hibah
penelitian

Membentuk panel seleksi bagi


pemberian hibah penelitian

Menyusun pedoman program


hibah penelitian seni pertunjukan
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Fasilitasi pendampingan dan


pelatihan penyelenggaraan
pementasan/festival seni
pertunjukan

Mengembangkan konsep
pendampingan dan materi pelatihan
yang melibatkan tenaga ahli di
bidang penyelenggaraan festival seni
pertunjukan skala lokal, nasional dan
internasional

Seluruh
Indonesia

SASARAN 4: Meningkatnya kuantitas dan kualitas wirausaha kreatif seni pertunjukan lokal

SASARAN/RENCANA AKSI

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif, serta
Arsip Nasional
Republik
Indonesia (ANRI)

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

161

SASARAN/RENCANA AKSI
Melakukan pemetaan (pengembangan
instrumen, pelatihan surveyor/
assessor, survei/assesment, verifikasi
data, pembersihan data) tenaga ahli
bidang festival seni pertunjukan lokal
dengan kemampuan penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan
Melakukan pemetaan festival-festival
(pengembangan instrumen, pelatihan
surveyor/assessor, survei/assesment,
verifikasi data, pembersihan data)
yang diselenggarakan oleh pemerintah
di Indonesia (skala lokal, nasional,
internasional)
Mengembangkan sistem
database tenaga ahli lokal bidang
penyelenggaraan pementasan /festival
seni pertunjukan dan pementasan/
festival seni pertunjukan di Indonesia
Menyelenggarakan pendampingan
dan pelatihan oleh para tenaga ahli
lokal dalam bidang penyelenggaraan
pementasan/festival seni pertunjukan
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pendampingan dan
pelatihan pementasan/festival seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN
2018

2019

162

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi program
magang/bekerja untuk
manajer, produser,
promotor, dan pekerja
teknis seni pertunjukan
dalam penyelenggaraan
pementasan/festival seni
pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI
Mengembangkan konsep magang dan
mekanisme seleksi pemagang yang
melibatkan tenaga ahli di bidang seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi pemagang
Melakukan pemetaan (pengembangan
instrumen, pelatihan surveyor/assesor,
survei, verifikasi data, pembersihan
data) organisasi/festival tuan rumah
tempat magang di seluruh Indonesia
Mengembangkan sistem database
organisasi/festival tuan rumah tempat
magang
Mengembangkan sistem informasi
program magang
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan magang
Menyelenggarakan program magang
Monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan magang

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015
X

2016
X

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

163

Fasilitasi program mentoring


untuk para manajer,
produser dan presenter seni
pertunjukan

Fasilitasi ko-produksi
antar produser/presenter
seni pertunjukan di tingkat
nasional dan internasional

SASARAN/RENCANA AKSI

Mengembangkan sistem informasi


program hibah (matching grant) koproduksi

Melakukan monitoring dan evaluasi


penyelenggaraan pendampingan

Membentuk panel seleksi bagi


pemberian hibah (matching grant) koproduksi

Menyelenggarakan program
pendampingan oleh para produser dan
presenter kelas internasional kepada
produser/presenter dalam negeri

Mengembangkan sistem database


produser dan presenter seni
pertunjukan kelas internasional

Menyusun pedoman fasilitasi


hibah (matching grant) ko-produksi
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Melakukan pemetaan (pengembangan


instrumen, pelatihan surveyor/assesor,
survei, verifikasi data, pembersihan
data) produser dan presenter seni
pertunjukan kelas internasional yang
dapat diundang sebagai mentor

Mengembangkan konsep, mekanisme


dan materi mentoring yang melibatkan
tenaga ahli di bidang seni pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

164

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi penyelenggaraan program
hibah (matching grant) ko-produksi
Menyelenggarakan program
pemberian hibah (matching grant)
untuk para produser/presenter yang
telah mempunyai kontrak produksi
dengan produser/presenter nasional
dan internasional

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

Fasilitasi pendampingan
manajemen dan tata kelola
kelompok seni pertunjukan
secara berkelanjutan

Mengembangkan konsep
pendampingan yang melibatkan
tenaga ahli di bidang manajemen seni
pertunjukan
Melakukan pemetaan kelompokkelompok seni pertunjukan yang dapat
mengikuti pendampingan manajemen
dan tata kelola
Mengembangkan sistem database
kelompok-kelompok seni pertunjukan
yang mengikuti pendampingan
manajemen dan tata kelola
Menyelenggarakan pendampingan
manajemen dan tata kelola untuk
kelompok-kelompok seni pertunjukan
Melakukan monitoring dan evaluasi
program dan kelompok-kelompok hasil
pendampingan manajemen dan tata
kelola seni pertunjukan

Seluruh
Indonesia

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

SASARAN 5: Meningkatnya usaha kreatif seni pertunjukan lokal yang mandiri, berjejaring, dan berkualitas

SASARAN/RENCANA AKSI

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

165

Fasilitasi pelatihan
manajemen dan tata kelola
kelompok seni pertunjukan

Fasilitasi pertemuan/
konferensi rutin nasional
praktisi seni pertunjukan di
seluruh Indonesia

SASARAN/RENCANA AKSI

Menyelenggarakan pertemuan
nasional praktisi seni pertunjukan
Indonesia secara rutin setiap tahun
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pertemuan/
konferensi nasional praktisi seni
pertunjukan Indonesia

Melakukan monitoring dan evaluasi


program pelatihan manajemen dan
tata kelola seni pertunjukan

Mengembangkan sistem informasi


pertemuan/konferensi nasional seni
pertunjukan Indonesia

Menyelenggarakan pelatihan
manajemen dan tata kelola seni
pertunjukan

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi penyelenggaraan pelatihan

Mengembangkan konsep pertemuan/


konferensi nasional praktisi seni
pertunjukan Indonesia (seniman,
produser, manajer, presenter)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Mengembangkan sistem informasi


program pelatihan

Mengembangkan konsep dan materi


pelatihan yang melibatkan tenaga ahli
di bidang manajemen seni pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

166

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi praktisi seni


pertunjukan (seniman,
produser, manajer, presenter)
Indonesia untuk mengikuti
pertemuan/konferensi
asosiasi seni pertunjukan
internasional

SASARAN/RENCANA AKSI
Menyusun pedoman fasilitasi
dana perjalanan (travel grant)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi
pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Mengembangkan sistem informasi
program pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Menyelenggarakan program
pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Melakukan pengarsipan laporan
pertemuan/konferensi dan publikasi
laporan secara online
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program pemberian
dana perjalanan (travel grant)

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015
X

2016
X

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

167

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Fasilitasi penelitian seniman


dalam rangka produksi karya

Mengembangkan panduan program


hibah penelitian seniman yang
melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi
pemberian hibah penelitian seniman
Mengembangkan sistem informasi
program hibah penelitian seniman
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan hibah
penelitian seniman
Menyelenggarakan program hibah
penelitian seniman
Melakukan sosialisasi hasil penelitian
seniman

SASARAN 6: Meningkatnya mutu karya seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan,
dan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

168

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi seniman untuk


menonton festival di tingkat
lokal dan internasional

Fasilitasi pengalaman
keberagaman di Indonesia
melalui kerja kolaborasi
antar pelaku seni pertunjukan
daerah di seluruh Indonesia

SASARAN/RENCANA AKSI

Menyusun pedoman fasilitasi


dana perjalanan (travel grant)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi
pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Mengembangkan sistem informasi
program pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Menyelenggarakan program
pemberian dana perjalanan (travel
grant)

Menyelenggarakan program hibah


kolaborasi

Mengembangkan sistem informasi


program hibah kolaborasi

c
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan program
hibah kolaborasi

Membentuk panel seleksi bagi


pemberian hibah kolaborasi

Mengembangkan panduan program


pemberian hibah kolaborasi
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

169

Fasilitasi pelatihan dan studi


banding untuk pengelola
gedung-gedung pertunjukan
publik utama untuk
meningkatkan kapasitas
kurasi dan pengembangan
program

SASARAN/RENCANA AKSI

Mengembangkan konsep dan materi


pelatihan yang melibatkan tenaga ahli
di bidang seni pertunjukan
Melakukan pemetaan (pengembangan
instrumen, pelatihan surveyor/assesor,
survei, verifikasi data, pembersihan
data) gedung-gedung pertunjukan
publik utama
Mengembangkan sistem database
gedung-gedung pertunjukan publik
utama
Menyelenggarakan program pelatihan
untuk pengelola gedung-gedung
pertunjukan publik utama.
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pelatihan

Melakukan monitoring dan evaluasi


penyelenggaraan program pemberian
dana perjalanan (travel grant)

Melakukan pengarsipan laporan


festival yang dikunjungi dan publikasi
laporan secara online

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan,
serta seluruh
Pemerintah
Daerah

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN
2018

2019

170

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN
2018

Pengembangan portal yang


menjadi hub skema hibah
atau pembiayaan yang
tersedia bagi kegiatan seni
dan budaya

Fasilitasi pengembangan
skema hibah bagi program
dan kegiatan seni oleh
lembaga-lembaga
pemerintah (Kementerian dan
BUMN)

Mengembangkan sistem database dan


portal skema hibah
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi portal

Melakukan monitoring dan evaluasi


program hibah seni

Menyelenggarakan hibah seni

Melakukan pemetaan (pengembangan


instrumen, pelatihan surveyor/
assesor, survei, verifikasi data,
pembersihan data) skema-skema
hibah yang tersedia untuk kegiatan
seni dan budaya di seluruh Indonesia

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi penyelenggaraan hibah seni

Mengembangkan sistem informasi


program hibah seni

Mengembangkan konsep portal yang


melibatkan tenaga ahli di bidang seni
pertunjukan

Membentuk panel seleksi bagi


pendaftar hibah seni

Menyusun pedoman program skema


hibah seni yang melibatkan tenaga ahli
seni pertunjukan

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
ekonomi kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

SASARAN 7: Meningkatnya ketersediaan pembiayaan bagi pengembangan dan produksi seni pertunjukan yang transparan, akuntabel dan mudah diakses

SASARAN/RENCANA AKSI

2019

LAMPIRAN

171

Merawat portal
Meningkatkan kapasitas pengelola
portal
Melakukan monitoring dan evaluasi
performa portal

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Fasilitasi pendampingan dan


pelatihan untuk venue-venue
(gedung-gedung pertunjukan)
dalam melakukan pembinaan
penonton

Mengembangkan konsep
pendampingan dan materi pelatihan
yang melibatkan tenaga ahli di
bidang pembianaan penonton seni
pertunjukan
Mengembangkan sistem database
penonton (pengembangan instrumen,
pelatihan surveyor/assessor,
survei/assesment, verifikasi data,
pembersihan data) yang dapat
digunakan oleh venue-venue
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi penyelenggaraan
pendampingan dan pelatihan venuevenue
Menyelenggarakan pendampingan dan
pelatihan oleh para tenaga ahli seni
pertunjukan
Memfasilitasi kerjasama antara venuevenue dengan sekolah-sekolah umum
Melakukan monitoring dan evaluasi
hasil pendampingan dan pelatihan
pembinaan penonton

SASARAN 8: Meluasnya pasar seni pertunjukan di dalam dan luar negeri

SASARAN/RENCANA AKSI

Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

172

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi manajer seni


pertunjukan (produser,
presenter) Indonesia untuk
mengikuti/menghadiri
performing art mart
internasional (Asia, Eropa,
Amerika dan Australia)

Fasilitasi kelompok-kelompok
seni yang melakukan
pengenalan seni pertunjukan
di sekolah-sekolah

SASARAN/RENCANA AKSI

Membentuk panel seleksi bagi


pemberian dana perjalanan (travel
grant)
Mengembangkan sistem informasi
program pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi pemberian dana perjalanan
(travel grant)
Menyelenggarakan program
pemberian dana perjalanan (travel
grant)

Melaksanakan fasilitasi pengenalan


seni pertunjukan oleh kelompokkelompok seni ke sekolah-sekolah

Menyusun pedoman fasilitasi


dana perjalanan (travel grant)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Membuat MoU antara kementeriankementerian terkait bidang seni


dengan sekolah-sekolah

Menyusun pedoman fasilitasi


pengenalan seni pertunjukan oleh
kelompok-kelompok seni ke sekolahsekolah

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan dan
kebudayan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

173

Pengembangan pusat
informasi seni pertunjukan
Indonesia baik tradisi dan
kontemporer melalui pusat
budaya di kedutaan besar RI

SASARAN/RENCANA AKSI

Mengembangkan kelembagaan
kemitraan pengembangan pusat
informasi seni pertunjukan indonesia
Mempersiapkan materi yang
dibutuhkan untuk mempromosikan
seni pertunjukan melalui kedutaan
besar RI
Mempersiapkan materi yang
dibutuhkan untuk mempromosikan
seni pertunjukan melalui kedutaan
besar RI

Melakukan monitoring dan evaluasi


penyelenggaraan program pemberian
dana perjalanan (travel grant)

Melakukan pengarsipan laporan


pertemuan/konferensi dan publikasi
laporan secara online

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
hubungan
luar negeri,
ekonomi kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN
2018

2019

174

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Pengembangan portal
informasi seni pertunjukan
online yang memuat:
perkembangan seni
pertunjukan dalam negeri
dan mancanegara, informasi
suplai dan permintaan
terhadap karya seni
pertunjukan di dalam dan luar
negeri

Mengembangkan konsep portal


yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Mengumpulkan data dan pembuatan
katalog profil dan karya seniman
pertunjukan Indonesia, serta informasi
pasar seni pertunjukan dalam dan luar
negeri
Mengembangkan database online
(pengembangan sistem data base,
input data, pembuatan sistem
pelaporan) informasi pasar dan
perkembangan seni pertunjukan
Indonesia
Merawat portal
Meningkatkan kapasitas pengelola
portal
Melakukan monitoring dan evaluasi
performa portal

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan,
kebudayaan, dan
hubungan luar
negeri

PENANGGUNG
JAWAB

Fasilitasi peningkatan jumlah


gedung pertunjukan publik
utama serta ruang-ruang
kreatif publik yang dapat
digunakan sebagai studio
atau ruangan-ruangan tempat
latihan serta pemutakhiran
infrastruktur teknis (seperti
tata lampu, tata suara,
flooring) yang ada didalamnya

Peningkatan kuantitas dan kualitas


infrastruktur teknis di gedung
pertunjukan publik utama (termasuk
Taman Budaya) dan ruang-ruang
kreatif publik tempat latihan
Pengembangan kapasitas SDM
pengelola gedung-gedung pertunjukan
publik

Jakarta,
Yogyakarta,
Bandung,
Surabaya,
Lampung,
Padang, Riau,
Makassar,
Palu, Medan,
Pontianak dan
Jayapura

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan,
serta seluruh
Pemerintah
Daerah

SASARAN 9: Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana tempat pertunjukan profesional dan tempat latihan

SASARAN/RENCANA AKSI

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

175

Pembiayaan dana perawatan


infrastruktur gedung-gedung
pertunjukan publik
Peningkatan akses publik terhadap
penggunaan ruang-ruang kreatif
(tempat latihan & studio)

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

2015

Harmonisasi-regulasi dana
CSR korporasi (Corporate
Social Responsibility)

Membentuk panitia lintas sektor untuk


melakukan pembahasan terhadap
substansi perundang-undangan yang
mengatur tentang CSR korporasi
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan CSR
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun perbaikan bersama
perundang-undangan CSR
Melakukan diskusi publik rancangan
perbaikan perundang-undangan CSR
(terutama PP No. 47/2012) dengan para
pemangku kepentingan (pemerintah,
swasta, praktisi seni)
Melakukan proses pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi
terhadap perundang-undangan CSR
bagi kegiatan seni dan budaya sehingga
memiliki keberpihakan bagi kegiatan
seni dan budaya di Indonesia
Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan CSR kepada
publik

Seluruh
Indonesia

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
hukum, dan
ekonomi kreatif

SASARAN 10: Terciptanya regulasi yang mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

2016

2017

TAHUN
2018

2019

176

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Harmonisasi-regulasi
sewa dan retribusi gedung
pertunjukan publik

SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor
(pemerintah pusat dan daerah) untuk
melakukan pembahasan terhadap
substansi perundang-undangan yang
mengatur tentang retribusi gedung
pertunjukan publik utama di kota-kota
besar
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan retribusi
gedung pertunjukan publik utama
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun perbaikan bersama
perundang-undangan retribusi gedung
pertunjukan publik utama
Melakukan diskusi publik rancangan
perbaikan perundang-undangan
retribusi gedung pertunjukan publik
utama dengan para pemangku
kepentingan (pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan praktisi
seni) untuk melihat kemungkinan
pembebasan biaya retribusi dan
pengurangan biaya sewa untuk
kegiatan-kegiatan kesenian
Melakukan proses
pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi terhadap
perundang-undangan retribusi
gedung pertunjukan publik utama
Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan retribusi gedung
pertunjukan publik utama kepada
publik

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Jakarta,
Surabaya,
Bandung,
Yogyakarta,
Medan,
Makassar

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan,
hukum, ekonomi
kreatif, dan
Pemerintah
Daerah terkait

PENANGGUNG
JAWAB

2015
X

2016
X

2017

TAHUN
2018

2019

LAMPIRAN

177

Harmonisasi-regulasi insentif
pajak korporasi

SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor untuk
melakukan pembahasan terhadap
substansi perundang-undangan
insentif pajak korporasi
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan insentif pajak
korporasi
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun perbaikan bersama
perundang-undangan insentif pajak
korporasi untuk untuk melihat
kemungkinan memasukkan kesenian
sebagai bidang penerima sumbangan
atau meningkatkan persentase nilai tax
deduction untuk kesenian pada PP No
93/2010
Melakukan diskusi publik rancangan
perbaikan perundang-undangan
insentif pajak korporasi
Melakukan proses pengharmonisasian,
pembulatan
dan pemantapan konsepsi terhadap
perundang-undangan insentif pajak
korporasi
Melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan insentif pajak
korporasi

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
keuangan, pajak,
dan hukum

PENANGGUNG
JAWAB

2015
X

2016
X

2017

TAHUN
2018

2019

178

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Harmonisasi-regulasi
pengadaan barang/
jasa pemerintah untuk
penyelenggaraan program
kesenian/festival

SASARAN/RENCANA AKSI
Membentuk panitia lintas sektor
untuk melakukan pembahasan
terhadap substansi perundangundangan pengadaan barang dan
jasa pemerintah (PERPRES Nomor
54/2010 )
Melakukan kajian terhadap substansi
perundang-undangan pengadaan
barang dan jasa pemerintah
Melakukan koordinasi lintas sektor
untuk menyusun kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival dalam kerangka PERPRES No
54/2010
Melakukan diskusi publik rancangan
kriteria khusus penyelenggaraan
program kesenian/festival oleh
pemerintah
Melakukan proses pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan
konsepsi terhadap kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival
Melakukan sosialisasi kriteria khusus
penyelenggaraan program kesenian/
festival oleh pemerintah

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pengadaan
barang/jasa,
keuangan,
hukum, dan
ekonomi kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015
X

2016
X

2017

TAHUN
2018

2019

LAMPIRAN

179

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

Fasilitasi resource sharing dan


kerja kolektif antar pemangku
kepentingan berupa forum

Fasilitasi terbentuknya
organisasi pengelola dana
abadi yang didukung oleh
pemerintah dan swasta

Penyusunan rencana kerja organisasi


pengelola
Pelaksanaan kegiatan organisasi
pengelola

Menyelenggarakan konferensi tahunan


organisasi-organisasi penerima hibah
(sebagai progress report) dengan
mengikutsertakan pemerintah, yang
perencanaannya melibatkan tenaga
ahli seni pertunjukan

Menyelenggarakan program hibah


organisasi

Pembentukan organisasi pengelola

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi penyelenggaraan hibah
organisasi

Mengembangkan sistem informasi


program hibah organisasi

Studi bentuk kelembagaan dan sumber


pendanaan organisasi pengelola

Membentuk panel seleksi bagi


pemberian hibah organisasi

Mengembangkan panduan program


hibah untuk organisasi-organisasi yang
melakukan resource sharing dan kerja
kolektif antar pemangku kepentingan
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan

Seluruh
Indonesia

Seluruh
Indonesia

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

SASARAN 11: Meningkatnya partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam pengembangan seni pertunjukan secara berkualitas dan berkelanjutan

SASARAN/RENCANA AKSI
2018

2019

180

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi pelatihan/seminar
untuk meningkatkan
kapasitas aparatur negara
dalam mengembangkan seni
pertunjukan

Mengembangkan konsep dan materi


pelatihan/seminar peningkatan
kapasitas aparatur negara di semua
elemen pemerintahan terkait
(termasuk lintas kementerian,
pengelola pusat kebudayaan, dsb)
yang melibatkan tenaga ahli di bidang
pengarsipan seni pertunjukan
Mengembangkan sistem informasi
program pelatihan peningkatan
kapasitas aparatur negara
Menyelenggarakan pelatihan
peningkatan kapasitas aparatur negara
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan pelatihan kapasitas
aparatur negara

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia
Pemerintah
pusat
(Kementerian),
Dinas provinsi
dan kota

FOKUS
WILAYAH

Fasilitasi aktivasi taman kota


dan plaza-plaza terbuka

Memfasilitasi terbentuknya forum


komunikasi dan koordinasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah untuk perancangan kebijakan
penggunaan taman-taman kota/plazaplaza untuk penyelenggaraan kegiatan
seni pertunjukan
Membuat MoU antara pemerintah
pusat dan daerah mengenai
penggunaan taman-taman kota/plazaplaza untuk penyelenggaraan kegiatan
seni pertunjukan

Seluruh
Indonesia

SASARAN 12: Terbukanya ruang-ruang publik untuk penyelenggaraan kegiatan seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI
X

2015

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif, serta
seluruh
Pemerintah
Daerah

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

181

Menyusun kebijakan penggunaan


taman-taman kota/plaza-plaza untuk
penyelenggaraan kegiatan seni
pertunjukan
Sosialisasi kebijakan penggunaan
taman-taman kota/plaza-plaza untuk
penyelenggaraan kegiatan seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

FOKUS
WILAYAH

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

Fasilitasi kemitraan strategis


untuk peningkatan kapasitas
produksi karya seni
pertunjukan dengan negara
Jepang, Korea, Jerman,
Perancis, Australia, Amerika,
dll

Kunjungan diplomasi dengan lembagalembaga/organisasi-organisasi


pemerintahan yang menaungi seni dan
budaya di negara-negara terkait, yang
melibatkan praktisi seni pertunjukan
Perumusan dan penandatanganan
kerjasama strategis
Perumusan dan pelaksanaan program
kerjasama
Monitoring dan evaluasi

Seluruh
Indonesia

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan,
kebudayaan, dan
hubungan luar
negeri

SASARAN 13: Meningkatnya posisi, kontribusi, kemandirian, serta kepemimpinan Indonesia dalam fora internasional melalui seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI
2018

2019

182

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Fasilitasi keikutsertaan/
penampilan seniman-seniman
Indonesia di forum-forum
International Performing Art
Market, misalnya di: APAP
(Amerika), PAMS (Korea),
TPAM (Jepang) dan IETM
(Australia), dll; dan festivalfestival seni pertunjukan
internasional yang prestisius

Mengembangkan panduan program


hibah untuk keikutsertaan (travel grant)
dan materi pemasaran (berstandar
internasional) kelompok seni (seniman)
yang melibatkan tenaga ahli seni
pertunjukan
Membentuk panel seleksi bagi
pendaftar hibah
Mengembangkan sistem informasi
program pemberian hibah
Melakukan sosialisasi dan distribusi
informasi program pemberian hibah
Menyelenggarakan program
pemberian hibah
Melakukan pengarsipan laporan
keikutsertaan dan publikasi laporan
secara online
Melakukan monitoring dan evaluasi
penyelenggaraan program pemberian
hibah

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Fasilitasi terlembaganya
anugerah/penghargaan seni
pertunjukan (untuk seniman,
praktisi, dan venue-venue)
yang diberikan oleh lembaga
pemerintah

Menyusun pedoman penyelenggaraan


anugerah/penghargaan seni
pertunjukan
Membentuk panel dewan juri bagi
seleksi penerima penghargaan seni
pertunjukan

Seluruh
Indonesia
di tingkat
Provinsi, Kota,
dan Kabupaten)

SASARAN 14: Meningkatnya apresiasi kepada orang dan karya kreatif seni pertunjukan

SASARAN/RENCANA AKSI

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan ekonomi
kreatif,
pendidikan, dan
kebudayaan

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

LAMPIRAN

183

Pengembangan kurikulum
pendidikan umum yang
terintegrasi dengan seni sejak
dini, yaitu sejak PAUD sampai
dengan pendidikan menengah
atas

SASARAN/RENCANA AKSI

Membentuk tim penyusun kurikulum


yang melibatkan akademisi dan tenaga
ahli seni pertunjukan
Menyusun kurikulum yang
mengintegrasikan seni ke dalam
pendidikan umum

Penyelenggaraan acara penghargaan


seni pertunjukan

Pelaksanaan seleksi penerima


penghargaan seni pertunjukan

Mengevaluasi efektivitas mata


pelajaran/ekstrakurikuler seni
kurikulum pendidikan umum di tingkat
PAUD-SMA

Melakukan sosialisasi dan distribusi


informasi penyelenggaraan
penghargaan seni pertunjukan

Mengembangkan sistem informasi


penyelenggaraan penghargaan seni
pertunjukan

DESKRIPSI RENCANA AKSI

Seluruh
Indonesia

FOKUS
WILAYAH

Kementerian/
Lembaga yang
membidangi
urusan
pendidikan,
kebudayaan, dan
ekonomi kreatif

PENANGGUNG
JAWAB

2015

2016

2017

TAHUN

2018

2019

IklanParekraf.pdf

9/22/14

3:27 PM

CM

MY

CY

CMY

348

Ekonomi Kreatif: Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019

186

Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Seni Pertunjukan Nasional 2015-2019

Вам также может понравиться