Вы находитесь на странице: 1из 14

Kasus IV / Tahun II

Nama
: dr. Linda Carolina
Pembimbing : dr. Reggy Panggabean, SpS (K)

Laki-laki 20 tahun dirawat di Kemuning V selama 8 hari dengan diagnosis awal


Vulnus morsum serpentis Grade 3 dengan komplikasi neurotoksik, nekrotoksik.
Pasien pulang perbaikan dengan diagnosis akhir Vulnus morsum serpentis Gr 3
I. ANAMNESA
a/r brachii dextra dgn komplikasi neurotoksik, necrotoksik dan Cellulitis a/r brachii
dextra ec vulnus morsum
Keluhan Utama

: digigit ular

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 1 jam SMRS pasien pada saat membersihkan kebun digigit ular kobra di
lengan atas kanan. Ular kobra warna hitam panjangnya sekitar 1 meter. Setelah itu
pasien muntah-muntah hebat dan mengeluh pandangan menjadi kabur. Lengan
kanan bengkak di bekas gigitan, berwarna hitam. Pasien masih tetap sadar, kejang
(-), nyeri kepala (+) di seluruh kepala. Keluhan bicara rero dan mulut mencong (-).
Keluhan baal-baal ada di lengan kanan, keluhan kelemahan sesisi disangkal.
Keluhan penglihatan ganda (+), telinga berdenging (-), baal seputar mulut (-).
Pasien juga mengeluh menelan jadi sulit serta jadi sesak napas.
RPD

: - Riwayat kelainan darah (-)


- Riwayat panas badan sebelumnya tidak ada.

II.

PEMERIKSAN FISIK

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi =Heart Rate :90x /menit, regular

Respirasi

Suhu

: 24x/menit

: 36,5C

Status Interna
Kepala
Leher
Thorax

: konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik


: JVP tak meninggi, KGB tak membesar
: bentuk dan gerak simetris

Cor/ batas kiri LMCS, BJ murni reguler


Paru / VBS ki=ka, ronkhi -/- , wheezing -/Abdoment

: keras seperti papan, H/L sdn, Bising Usus (+) Normal

Extremitas

: edema -/- , sianosis -/-, clubbing finger -/-

Status lokalis
a/r brachii dextra: necrosis kehitaman 2 cm, hiperemis 7 cm, fang marks (+), tumor
(+), calor (+), dolor (+)

Status Neurologis
Rangsang Meningen
Brudzinski I/II/III (-)
Saraf Otak
Funduscopy
eksudat
Gerak Bola Mata

: Kaku Kuduk (-), Lasegue/Kernig tidak terbatas ,


: Pupil bulat isokor, ODS 3mm, Reflek Cahaya +/: ODS papil batas tegas, a/v 2/3 perdarahan -,
: Nervus III paralisis musculus Levator Palpebra ODS
musculus Rectus
medialis OD, musculus Rectus inferior

ODS,
Nervus IV paralisis ODS
Nervus IX-X uvula di tengah, refleks muntah menurun
bilateral
disfonia (+)
: sdn 5
5
5
Sensorik /Vegetatif/Fungsi luhur : baik/ kateter/baik
Refleks fisiologis
: BTR / KPR / APR +/+
Refleks patologis
: -/Motorik

III. PEMERIKSAAN

PENUNJANG
Laboratorium
Hemoglobin = 12,7 Hematokrit = 43 Lekosit= 22.000Trombosit= 237.000 Ureum
=21 Kreatinin = 0,87 Gula Darah Sewaktu= 104 Natrium = 141 Kalium = 3,4 SGOT
42 SGPT 21
Analisa Gas Darah : pH 7,451 pCO2 24,2 pO2 185,5 HCO3 17,0 TCO2 17,7 BE
-7,2 Saturasi O2 99,2
PT=15,3 INR=1,22 aPTT=23,7 Fibrinogen 202,9 D-dimer 0,2 Laktat 0,8
EKG : QTc: 0,45, sinus ritme
Rontgen Thorax PA : tidak tampak TB paru aktif

IV. DIAGNOSA KERJA


Vulnus morsum serpentis Grade 3 dengan komplikasi neurotoksik, nekrotoksik

V. TERAPI
Oksigen 3-4 liter /menit
IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
Injeksi SABU 4 vial dalam D5% 500 cc habis dalam 6 jam, diberikan selama 4 hari
Injeksi Prostigmin 6 amp + Sulfas Atropin 4 amp dalam infus 2A 500 cc diulang
2x/hari

VI. FOLLOW UP DAN TINDAK LANJUT


Tgl
Hari
Pemeriksaan Laboraturium Diagnosis
31/8/1 R=1 Kes:CM
2
TD : 120/80-110/70mmHg
N=HR :
100x/menit,reguler
R : 24x/menit
S
: 39,3
C
Status Neurologis
RM
: KK (-), L/Ktt , Brud I/II/III (-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3mm, RC
+/+
FC
: ODS papil batas tegas, a/v 2/3
p(-),e(-)
GBM
: N III paralisis m. Levator
palpebra ODS, m.
Rectus medialis OD, m.
Rectus inferior ODS,
N IV : paralisis ODS
N IX-X : uvula di tengah, refleks muntah
menurun bilateral, disfonia (+)
Motorik
:sdn 5
5 5
Sens/Veg/Fl : dbn
R3
Rf
: BTR / KPR / APR +/+
2/9/12
Rp
: -/FU IPD
Tidak ada kelainan di bidang IPD
Konsul bedah plastik

Tindakan
O2-3l/mnt
Diit TKTP 2000
kkal
IVFD 2A20 tpm
SABU 4 vial
habis dalam 2-4
jam NaCl 0,9%
selama 4 hari
Prostigmin 10
amp + SA 5
amp + 100 cc
NaCl 0,9%/24
jam

R4
3/9/12

R5
4/9/12

Cellulitis a/r brachialis dextra ec vulnus morsum


Saran : Ceftriaxon inj 1 x 2 gr IV, Metronidazol 3
x 500 mg IV, Ketorolac 2 x 1 amp IV, Ranitidin 2
x 1 amp IV
Rencana debridement pada jam kerja, Balut
kassa lembab NaCl
Kes:CM
TD : 120/80-110/70mmHg
N=HR :
100x/menit reguler
R : 24x/menit
S
:
36,7-37C
Status Neurologis
RM
: KK(-), L/K tt , Brud I/II/III (-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3mm, RC
+/+
FC
: ODS papil batas tegas, a/v 2/3
p(-),e(-)
GBM
: parese N VI OS slight, parese
m. Rectus
superior OD slight, ptosis (-)
N IX-X
: uvula di tengah, gag reflex +/
+, disfoni
MO
: sdn 5
5 5
Sens/Veg/FL : baik
Rf
: BTR / KPR / APR +/+
Rp
: -/Laboratorium
Hb 10 Ht 32 L 11.300 Tc 205.000

5/9/12
R8
7/9/12

Kes :CM
TD : 120/80-110/70mmHg
N=HR :
100x/menit reguler
R : 24x/menit
S
:
36,7-37C
Status Neurologis
RM
: KK(-), L/Ktt , Brud I/II/III (-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3mm, RC
+/+
FC
: ODS papil batas tegas, a/v 2/3
p(-),e(-)
GBM
: baik
N IX-X
: baik
MO
: sdn 5
5 5
Sens/Veg/Fl : baik
RF
: BTR / KPR / APR +/+
RP
: -/-

Lapor DPJP
Prostigmin 6
amp + SA 3
amp
PCT 4 x 500 mg

Lapor DPJP
Dosis
prostigmin 3
amp + SA 2
amp, bila besok
baik stop, acc
alih rawat ke RS
Majalaya
FU Bedah
plastik

Visite Tim : DK/ dan Th/ setuju


Pasien minta alih rawat ke RS Majalaya
St. Lokalis
Ulkus 8 x 10 x 1 cm, pus +, nyeri +
Lapor DPJP
Rencana Necrotomy Debridement 10/9/12,
pasien akan alih rawat Bedah Plastik
Advis :
Acc Alih rawat Bedah Plastik

VII. DIAGNOSA AKHIR:


Vulnus morsum serpentis Gr 3 a/r brachii dextra dgn komplikasi neurologis berupa
ptosis dan opthalmoplegi eksternal
Cellulitis a/r brachii dextra ec vulnus morsum
VIII. TERAPI ALIH RAWAT
Metronidazol 3 x 500 mg IV
Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
Ketorolac 2 x 30 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
IX.PROGNOSA
- Quo ad vitam
: ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
X. ANJURAN
- TT, ATS
- Kontrol Poli Saraf

PERMASALAHAN
Apa peran neurologi dalam penanganan bisa ular?

PEMBAHASAN
Di awal tahun 2009 , WHO telah menetapkan bahwa gigitan ular termasuk
salah 1 dari penyakit tropis yang perlu mendapat perhatian khusus. Gigitan ular ini
menyebabkan 10.000 kematian setiap tahunnya dan telah menyebabkan berbagai
kecacatan. Dari penelitian didapatkan bahwa presentasi laki-laki 2,5 kali lebih sering
terkena gigitan ular dibandingkan wanita. 2,4,5,6
Terdapat 3 famili ular berbisa yang ada di Asia Tenggara. 1,3,6
1. Elapidae
Famili ular ini mempunyai taring depan yang relatif pendek (proteroglif).
Yang termasuk dalam famili ini adalah kobra, raja kobra, krait, ular coral, ular
Australia, dan ular laut. Elapidae adalah ular yang relatif panjang, pipih,
berwarna uniform dengan lempeng kepala atas yang simetris, datar, besar,
dan halus.
2. Hydrophilidae (ular laut)
Mempunyai ukuran taring yang sangat pendek, ukuran kepala kecil dan ekor
gepeng
3. Viperidae
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera
russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).
Kebanyakan dari jenis ular berbisa famili elaptidae memiliki sifat neurotoksis,
walaupun ada beberapa yang bersifat cardiotoksin dan sitotoksin. Ular berbisa kuat
yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae,
atau Viperidae. Di Indonesia spesies yang paling sering menggigit adalah
Cryptelytrops (Trimeresurus) albolabris, Bungarus candidus, spitting Cobra (Naja
sumatrana dan N. sputatrix), Calloselasma rhodostoma (Jawa), Daboia siamensis
(Jawa, Komodo, Flores, dan Lomblen) dan Accanthophis spp. (Papua Barat).

Antivenom nasional yang diproduksi oleh Biofarma mengandung antivenom trivalen


terhadap Naja sputatrix, Bungarus fasciatus, dan Calloselasma rhodostoma. 1,3
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa
spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa.

Ular Berbisa
Ular tak berbisa

kepala berbentuk segitiga,

Kepala oval/membulat

pupil berbentuk elips

Pupil bulat

memiliki sepasang cekungan


Tidak memiliki pit
untuk mendeteksi panas pada
setiap sisi dari kepala (pit )

Memiliki taring yang keluar


Memiliki deretan gigi
dari maksila
taring

Warnanya
belang
dengan
Warna tidak khas
komponen cincin merah, kuning,
hitam, dengan cincin merah
bersebelahan
dengan
cincin
kuning ular coral

tanpa

Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi
sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring
(fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat
gigitan ular dari famili Viperidae).

Pada pasien ini diagnosis vulnus morsum serpentis ditegakkan dari anamnesis
pasien mengaku digigit ular kobra ketika sedang di kebun. Terdapat nyeri dan
bengkak di sekitar tempat gigitan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda
taring,nekrosis kehitaman, hiperemis.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari gigitan ular yaitu: 1,3
1. Kardiovaskular
Bisa ular ini merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan
otot jantung Peningkatan CPK menunjukkan efek kardiotoksik. Peningkatan
kalium akibat kerusakan otot skelet dapat menimbulkan kematian akibat
hiperkalemia yang menyebabkan henti jantung. Komplikasi kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia jantung, ekstremitas dingin, nadi kecil. Gambaran ini biasanya
ditemukan akibat bisa ular viperidae.
2. Hematotoksik
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang
dan merusak /menghancurkan sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine ( dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur
dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
3. Neurotoksik
Komplikasi neurotoksik merupakan gambaran klinik akibat bisa ular golongan
elapidae, ular Australia dan ular laut, serta beberapa sepsies viper. Gejala awal
berupa muntah-muntah, penglihatan kabur, parestesi terutama sekitar mulut,
nyeri kepala, hiperakusis, dan gejala perangsangan saraf otonom (hipersalivasi,
kongesti konjungtiva).
Paralisis yang pertama dapat terdeteksi adalah ptosis dan ophtalmoplegi
eksterna karena otot levator superior dan ekstraokuler paling sensitif terhadap
blokade neuromuskular, dan pada beberapa pasien gambaran klinis hanya
berupa ptosis dan oftalmoplegi. Selanjutnya adalah paralisis palataum, rahang,
lidah, pita suara, otot leher, dan otot menelan, sehingga pasien tidak bisa bicara,
batuk, menelan, mengeluarkan lidah, dan menggerakkan rahang bawah. Pada
stadium ini henti nafas mungkin ditimbulkan oleh obstruksi saluran nafas bagian
atas akibat paralisis lidah atau aspirasi muntahan.
Otot interkostal terkena sebelum diafragma, tungkai dan otot superfisial.
Paralisis otot interkostal terlihat dari dangkalnya pergerakan tulang rusuk dan
tidak adanya peningkatan tegangan interkostal yang pada keadaan normal dapat
diraba selama inspirasi.
Berbagai derajat kelemahan pada tungkai biasanya mengenai otot-otot
proksimal lebih dari bagian distal, sehingga pada pasien dengan kelemahan
flaksid yang menyeluruh, pergerakan ringan pada jari masih mungkin. Kelemahan
pada leher menimbulkan gejala broken neck syndrome.
Koma dan kejang dapat timbul akibat hipoksemia yang disebabkan oleh
paralisis pernafasan dan kegagalan sirkulasi. Neurotoksisitas bersifat reversibel
secara lengkap, yaitu terjadi secara cepat sebagai respon terhadap anti bisa ular
spesifik atau antikolinesterase atau menghilang spontan secara lambat. Tanpa
anti bisa ular spesifik, pada pasien yang dibantu dengan ventilasi mekanik,

pergerakan diafragma kembali membaik dalam 1-4 hari, otot okuler membaik
dalam 2-4 hari dan perbaikan penuh dalam 3-7 hari.
4.Komplikasi lain berupa myotoksin dimana dapat mengakibatkan rhabdomiolisis
yang sering berhubungan dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
Komplikasi lain gagal ginjal, kolik abdomen, diare. Jika ular menyemburkan bisa
ke mata maka timbul nyeri lokal hebat, leukorea, blefarospasme, dan edema
palpebra.
Pada pasien ini didapatkan komplikasi neurotoksis berupa ptosis, ofthalmoplegia
eksterna, disfoni dan nekrotoksis
Grading vulnus morsum serpentis ditentukan berdasarkan tabel berikut : 3
Grade
Tanda dan Gejala
Grade 0

Tidak ada venerasi, tanda gigitan (+),


nyeri minimal, edema dan eritema < 1
inci dalam 12 jam, tidak terdapat gejala
sistemik

Tidak ada bisa


Grade I

Venerasi minimal, tanda gigitan (+),


nyeri hebat, edema dan eritema 1-5 inci
dalam 12 jam, tidak terdapat gejala
sistemik

Bisa yang masuk minimal


Grade II

Venerasi sedang, tanda gigitan (+), nyeri


hebat, edema dan eritema 6-12 inci
dalam 12 jam, kadang terdapat gejala
sistemik seperti neurotoksisitas, nausea,
syok

Bisa yang masuk moderate

Grade III
Bisa yang masuk
efeknya berat
Grade IV
Efek bisa sangat berat

banyak

sehingga

Venerasi berat, tanda gigitan (+), nyeri


hebat, edema dan eritema > 12 inci
dalam 12 jam pertama, terdapat gejala
sistemik
Efek sistemik (+): gagal ginjal, koma,
kematian,
edema
meluas
sampai
keseluruhan ekstremitas ipsilateral

Pasien ini masuk ke dalam kategori grade 3 jika dilihat dari terdapatnya
tanda gigitan disertai nyeri dan bengkak. Hiperemis luas lebih dari 12
inchii dan didapatkan gejala neurotoksik dan nekrotoksis

Pemeriksaan penunjang untuk screening komplikasi terhadap gigitan ular

Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu


perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
EKG
Foto dada
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frozen
(dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen
darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau


anggota badan

Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

Gangguan neurologik: beri Neostigmin


(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein,


hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan

Terapi profilaksis

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak


yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp,
Clostridium sp, B.fragilis

Beri toksoid tetanus

Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

15

Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular


Langkah-langkah
adalah:3,9,10,11,14

yang

harus

diikuti

pada

penatalaksanaan

gigitan

ular

1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular


sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah
untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit

serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban
ke tempat perawatan medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas;
imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai
pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras
sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam),
pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian
antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

Gambar 2. Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban.


b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan
gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi
ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan
torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan
torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan


jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa
hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi
yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia
akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid
maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat
mati/panik.
f. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap
beberapa bisa ular. Pedoman pemberian SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes,
2001):
1. Derajat 0 dan 1 tidak perlu SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam. Jika
derajat meningkat maka diberikan SABU.
2. Derajat II : 3-4 vial SABU
3. Derajat III : 5-15 vial SABU
4. Derajat IV : diberikan penambahan 6-8 vial SABU
Cara pemberian : 2-4 vial SABU (@ 5 ml sebagai larutan 2%) dilarutkan dalam 500
cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%, diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80
tetes per menit, kemudian diulang setelah 6 jam. Injeksi lokal pada luka gigitan
tidak dianjurkan. Sebelum pemberian SABU harus dilakukan skin tes terlebih
dahulu. Dosis maksimal 100 ml.11
a. Observasi respon pemberian SABU
b. Penatalaksanaan khusus efek neurotoksin :
Inhibitor asetilkolin-esterase seperti edrophonium dan neostigmin mungkin
dapat meningkatkan perbaikan defisit neurologis pada korban gigitan ular
yang bisanya bersifat neurotoksin post-sinaptik. Korban gigitan ular yang
pada pemeriksaan neurologisnya ditemukan defisit neurologist harus
mendapat percobaan pemberian inhibitor asetilkolin-esterase. Jika berespons
baik, dosis tambahan dari neostigmin yang long-acting dapat diteruskan
sesuai kebutuhan13
Treatment step
Tensilon test

Long-acting anticholinesterase
inhibitors

Procedure
atropine sulphate i.v.: 0.6 mg
(adults),
50 g/kg BW (children) followed by
Tensilon i.v.: 10 mg (adults),
0.25 mg/kg BW (children); caution is
required in children below 12 years
neostigmine methylsulphate
continuous i.v. infusion (Perfusor)
25(50100) g/kg BW/h combined
with
atropine sulphate s.c. 15 g/kg BW

Comment
Indication: all patients with
neurological signs of envenoming
following a bite from a snake whose
venom contains neurotoxins

Indication: improvement of
neurological signs of envenoming
under the Tensilon test
Dose adjustment: titration

4-hourly

according to the effect

----------

Adverse reactions: among other


reactions, acetylcholinesterase
inhibitors may cause cramping
abdominal pain, which can be
controlled with atropine

neostigmine oral
initially 15 mg, 4 daily or
pyridostigmine oral
initially 60 mg, 4 daily
combined with
atropine oral
0.6 mg, 2 daily or
propantheline hydrochloride oral
15 mg, 2 daily

An overdose of acetylcholinesterase
inhibitors can lead to a cholinergic
crisis with progressive muscle
weakness and respiratory paralysis

Pasien ini masuk dalam grade 3 seharusanya mendapatkan sabu 5-15 vial/ hari dan
telah mendapatkan injeksi prostigmin dan sulfas atropin untuk komplikasi
neurotoksisnya

DAFTAR PUSTAKA
1. Warrel D.A. 2010. Guidelines For The management of Snake Bites. WHO, p.9162
2. Chippaux J.P. 2012. Epidemiology of Snakebites in Europe : A Systematic
review of The Literature. Toxicon Journal 59 (2012). Elsevier. p. 86-99
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Penatalaksanaan Gigitan
Ular Berbisa dalam Pedoman Pelaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Hal.
44-46
4. Syed M.A, et al. 2008. Emergency treatment of a snake bite. Journal
Emergencies trauma and Shock. Jul-Dec 2008; 1(2) : 97-1905
5. Kasturiratne A., et al. 2008. The Global Burden on Regional Estimates of
Envenoming and Deaths. Plos Medicine vol 5, Issue 11
6. White J. 2006. Snakebite and Spider bite, Management Guidelines South
Australia, Department of health, Adelaide. p. 19-57
7. Harris J.B. 1996. Bites and Stings, Poisoning by Venomous Animal in Tropical
Neurology. London : W.B. Saunders Co, p. 375-9.
8. Auerbach P.S, Norris R.L. 2008. Disorders Caused by Reptile Bites and Marine
Animal Exposure. Harrisons Principles of Internal Medicine 17 th Ed. New York :
McGraw Hill. P.577-9.

9. Juckett G., Hancox J.C. 2002. Venomous Snake bites in The United States :
Management review and Update. American Family Physician. 65 (7))
10.Yanuartono. 2008. Efek Samping Pemberian Serum Anti Bisa Ular Pada Kasus
Gigitan Ular dalam Review Artikel, yogyakarta. J.Sain Vet. Vol 26 no 1.
11.Biofarma. 2012. www.biofarma.co.id
12.Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical
Care,
University
of
Tennessee
School
of
Medicine.
www.eMedicine.com.
13.Longo D, Fauci A, Kasper D, et al. 2011. Disorders Caused by Venomous
Snakebite and Marine Animal Exposure in : Harrisons Principles of Internal
Medicine. 18th ed. Mc Graw-Hill Proffesional. P.2912
14.Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol.
28,Number 3, March, 2001
15.Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.

Вам также может понравиться