Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Nama
: dr. Linda Carolina
Pembimbing : dr. Reggy Panggabean, SpS (K)
: digigit ular
II.
PEMERIKSAN FISIK
Kesadaran
: Compos Mentis
Respirasi
Suhu
: 24x/menit
: 36,5C
Status Interna
Kepala
Leher
Thorax
Extremitas
Status lokalis
a/r brachii dextra: necrosis kehitaman 2 cm, hiperemis 7 cm, fang marks (+), tumor
(+), calor (+), dolor (+)
Status Neurologis
Rangsang Meningen
Brudzinski I/II/III (-)
Saraf Otak
Funduscopy
eksudat
Gerak Bola Mata
ODS,
Nervus IV paralisis ODS
Nervus IX-X uvula di tengah, refleks muntah menurun
bilateral
disfonia (+)
: sdn 5
5
5
Sensorik /Vegetatif/Fungsi luhur : baik/ kateter/baik
Refleks fisiologis
: BTR / KPR / APR +/+
Refleks patologis
: -/Motorik
III. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Laboratorium
Hemoglobin = 12,7 Hematokrit = 43 Lekosit= 22.000Trombosit= 237.000 Ureum
=21 Kreatinin = 0,87 Gula Darah Sewaktu= 104 Natrium = 141 Kalium = 3,4 SGOT
42 SGPT 21
Analisa Gas Darah : pH 7,451 pCO2 24,2 pO2 185,5 HCO3 17,0 TCO2 17,7 BE
-7,2 Saturasi O2 99,2
PT=15,3 INR=1,22 aPTT=23,7 Fibrinogen 202,9 D-dimer 0,2 Laktat 0,8
EKG : QTc: 0,45, sinus ritme
Rontgen Thorax PA : tidak tampak TB paru aktif
V. TERAPI
Oksigen 3-4 liter /menit
IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
Injeksi SABU 4 vial dalam D5% 500 cc habis dalam 6 jam, diberikan selama 4 hari
Injeksi Prostigmin 6 amp + Sulfas Atropin 4 amp dalam infus 2A 500 cc diulang
2x/hari
Tindakan
O2-3l/mnt
Diit TKTP 2000
kkal
IVFD 2A20 tpm
SABU 4 vial
habis dalam 2-4
jam NaCl 0,9%
selama 4 hari
Prostigmin 10
amp + SA 5
amp + 100 cc
NaCl 0,9%/24
jam
R4
3/9/12
R5
4/9/12
5/9/12
R8
7/9/12
Kes :CM
TD : 120/80-110/70mmHg
N=HR :
100x/menit reguler
R : 24x/menit
S
:
36,7-37C
Status Neurologis
RM
: KK(-), L/Ktt , Brud I/II/III (-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3mm, RC
+/+
FC
: ODS papil batas tegas, a/v 2/3
p(-),e(-)
GBM
: baik
N IX-X
: baik
MO
: sdn 5
5 5
Sens/Veg/Fl : baik
RF
: BTR / KPR / APR +/+
RP
: -/-
Lapor DPJP
Prostigmin 6
amp + SA 3
amp
PCT 4 x 500 mg
Lapor DPJP
Dosis
prostigmin 3
amp + SA 2
amp, bila besok
baik stop, acc
alih rawat ke RS
Majalaya
FU Bedah
plastik
PERMASALAHAN
Apa peran neurologi dalam penanganan bisa ular?
PEMBAHASAN
Di awal tahun 2009 , WHO telah menetapkan bahwa gigitan ular termasuk
salah 1 dari penyakit tropis yang perlu mendapat perhatian khusus. Gigitan ular ini
menyebabkan 10.000 kematian setiap tahunnya dan telah menyebabkan berbagai
kecacatan. Dari penelitian didapatkan bahwa presentasi laki-laki 2,5 kali lebih sering
terkena gigitan ular dibandingkan wanita. 2,4,5,6
Terdapat 3 famili ular berbisa yang ada di Asia Tenggara. 1,3,6
1. Elapidae
Famili ular ini mempunyai taring depan yang relatif pendek (proteroglif).
Yang termasuk dalam famili ini adalah kobra, raja kobra, krait, ular coral, ular
Australia, dan ular laut. Elapidae adalah ular yang relatif panjang, pipih,
berwarna uniform dengan lempeng kepala atas yang simetris, datar, besar,
dan halus.
2. Hydrophilidae (ular laut)
Mempunyai ukuran taring yang sangat pendek, ukuran kepala kecil dan ekor
gepeng
3. Viperidae
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera
russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).
Kebanyakan dari jenis ular berbisa famili elaptidae memiliki sifat neurotoksis,
walaupun ada beberapa yang bersifat cardiotoksin dan sitotoksin. Ular berbisa kuat
yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae,
atau Viperidae. Di Indonesia spesies yang paling sering menggigit adalah
Cryptelytrops (Trimeresurus) albolabris, Bungarus candidus, spitting Cobra (Naja
sumatrana dan N. sputatrix), Calloselasma rhodostoma (Jawa), Daboia siamensis
(Jawa, Komodo, Flores, dan Lomblen) dan Accanthophis spp. (Papua Barat).
Ular Berbisa
Ular tak berbisa
Kepala oval/membulat
Pupil bulat
Warnanya
belang
dengan
Warna tidak khas
komponen cincin merah, kuning,
hitam, dengan cincin merah
bersebelahan
dengan
cincin
kuning ular coral
tanpa
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi
sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring
(fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat
gigitan ular dari famili Viperidae).
Pada pasien ini diagnosis vulnus morsum serpentis ditegakkan dari anamnesis
pasien mengaku digigit ular kobra ketika sedang di kebun. Terdapat nyeri dan
bengkak di sekitar tempat gigitan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda
taring,nekrosis kehitaman, hiperemis.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari gigitan ular yaitu: 1,3
1. Kardiovaskular
Bisa ular ini merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan
otot jantung Peningkatan CPK menunjukkan efek kardiotoksik. Peningkatan
kalium akibat kerusakan otot skelet dapat menimbulkan kematian akibat
hiperkalemia yang menyebabkan henti jantung. Komplikasi kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia jantung, ekstremitas dingin, nadi kecil. Gambaran ini biasanya
ditemukan akibat bisa ular viperidae.
2. Hematotoksik
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang
dan merusak /menghancurkan sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine ( dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur
dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
3. Neurotoksik
Komplikasi neurotoksik merupakan gambaran klinik akibat bisa ular golongan
elapidae, ular Australia dan ular laut, serta beberapa sepsies viper. Gejala awal
berupa muntah-muntah, penglihatan kabur, parestesi terutama sekitar mulut,
nyeri kepala, hiperakusis, dan gejala perangsangan saraf otonom (hipersalivasi,
kongesti konjungtiva).
Paralisis yang pertama dapat terdeteksi adalah ptosis dan ophtalmoplegi
eksterna karena otot levator superior dan ekstraokuler paling sensitif terhadap
blokade neuromuskular, dan pada beberapa pasien gambaran klinis hanya
berupa ptosis dan oftalmoplegi. Selanjutnya adalah paralisis palataum, rahang,
lidah, pita suara, otot leher, dan otot menelan, sehingga pasien tidak bisa bicara,
batuk, menelan, mengeluarkan lidah, dan menggerakkan rahang bawah. Pada
stadium ini henti nafas mungkin ditimbulkan oleh obstruksi saluran nafas bagian
atas akibat paralisis lidah atau aspirasi muntahan.
Otot interkostal terkena sebelum diafragma, tungkai dan otot superfisial.
Paralisis otot interkostal terlihat dari dangkalnya pergerakan tulang rusuk dan
tidak adanya peningkatan tegangan interkostal yang pada keadaan normal dapat
diraba selama inspirasi.
Berbagai derajat kelemahan pada tungkai biasanya mengenai otot-otot
proksimal lebih dari bagian distal, sehingga pada pasien dengan kelemahan
flaksid yang menyeluruh, pergerakan ringan pada jari masih mungkin. Kelemahan
pada leher menimbulkan gejala broken neck syndrome.
Koma dan kejang dapat timbul akibat hipoksemia yang disebabkan oleh
paralisis pernafasan dan kegagalan sirkulasi. Neurotoksisitas bersifat reversibel
secara lengkap, yaitu terjadi secara cepat sebagai respon terhadap anti bisa ular
spesifik atau antikolinesterase atau menghilang spontan secara lambat. Tanpa
anti bisa ular spesifik, pada pasien yang dibantu dengan ventilasi mekanik,
pergerakan diafragma kembali membaik dalam 1-4 hari, otot okuler membaik
dalam 2-4 hari dan perbaikan penuh dalam 3-7 hari.
4.Komplikasi lain berupa myotoksin dimana dapat mengakibatkan rhabdomiolisis
yang sering berhubungan dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
Komplikasi lain gagal ginjal, kolik abdomen, diare. Jika ular menyemburkan bisa
ke mata maka timbul nyeri lokal hebat, leukorea, blefarospasme, dan edema
palpebra.
Pada pasien ini didapatkan komplikasi neurotoksis berupa ptosis, ofthalmoplegia
eksterna, disfoni dan nekrotoksis
Grading vulnus morsum serpentis ditentukan berdasarkan tabel berikut : 3
Grade
Tanda dan Gejala
Grade 0
Grade III
Bisa yang masuk
efeknya berat
Grade IV
Efek bisa sangat berat
banyak
sehingga
Pasien ini masuk ke dalam kategori grade 3 jika dilihat dari terdapatnya
tanda gigitan disertai nyeri dan bengkak. Hiperemis luas lebih dari 12
inchii dan didapatkan gejala neurotoksik dan nekrotoksis
Terapi profilaksis
15
yang
harus
diikuti
pada
penatalaksanaan
gigitan
ular
serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban
ke tempat perawatan medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas;
imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai
pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras
sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam),
pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian
antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
Long-acting anticholinesterase
inhibitors
Procedure
atropine sulphate i.v.: 0.6 mg
(adults),
50 g/kg BW (children) followed by
Tensilon i.v.: 10 mg (adults),
0.25 mg/kg BW (children); caution is
required in children below 12 years
neostigmine methylsulphate
continuous i.v. infusion (Perfusor)
25(50100) g/kg BW/h combined
with
atropine sulphate s.c. 15 g/kg BW
Comment
Indication: all patients with
neurological signs of envenoming
following a bite from a snake whose
venom contains neurotoxins
Indication: improvement of
neurological signs of envenoming
under the Tensilon test
Dose adjustment: titration
4-hourly
----------
neostigmine oral
initially 15 mg, 4 daily or
pyridostigmine oral
initially 60 mg, 4 daily
combined with
atropine oral
0.6 mg, 2 daily or
propantheline hydrochloride oral
15 mg, 2 daily
An overdose of acetylcholinesterase
inhibitors can lead to a cholinergic
crisis with progressive muscle
weakness and respiratory paralysis
Pasien ini masuk dalam grade 3 seharusanya mendapatkan sabu 5-15 vial/ hari dan
telah mendapatkan injeksi prostigmin dan sulfas atropin untuk komplikasi
neurotoksisnya
DAFTAR PUSTAKA
1. Warrel D.A. 2010. Guidelines For The management of Snake Bites. WHO, p.9162
2. Chippaux J.P. 2012. Epidemiology of Snakebites in Europe : A Systematic
review of The Literature. Toxicon Journal 59 (2012). Elsevier. p. 86-99
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Penatalaksanaan Gigitan
Ular Berbisa dalam Pedoman Pelaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit. Hal.
44-46
4. Syed M.A, et al. 2008. Emergency treatment of a snake bite. Journal
Emergencies trauma and Shock. Jul-Dec 2008; 1(2) : 97-1905
5. Kasturiratne A., et al. 2008. The Global Burden on Regional Estimates of
Envenoming and Deaths. Plos Medicine vol 5, Issue 11
6. White J. 2006. Snakebite and Spider bite, Management Guidelines South
Australia, Department of health, Adelaide. p. 19-57
7. Harris J.B. 1996. Bites and Stings, Poisoning by Venomous Animal in Tropical
Neurology. London : W.B. Saunders Co, p. 375-9.
8. Auerbach P.S, Norris R.L. 2008. Disorders Caused by Reptile Bites and Marine
Animal Exposure. Harrisons Principles of Internal Medicine 17 th Ed. New York :
McGraw Hill. P.577-9.
9. Juckett G., Hancox J.C. 2002. Venomous Snake bites in The United States :
Management review and Update. American Family Physician. 65 (7))
10.Yanuartono. 2008. Efek Samping Pemberian Serum Anti Bisa Ular Pada Kasus
Gigitan Ular dalam Review Artikel, yogyakarta. J.Sain Vet. Vol 26 no 1.
11.Biofarma. 2012. www.biofarma.co.id
12.Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical
Care,
University
of
Tennessee
School
of
Medicine.
www.eMedicine.com.
13.Longo D, Fauci A, Kasper D, et al. 2011. Disorders Caused by Venomous
Snakebite and Marine Animal Exposure in : Harrisons Principles of Internal
Medicine. 18th ed. Mc Graw-Hill Proffesional. P.2912
14.Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol.
28,Number 3, March, 2001
15.Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.