Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DIABETES MELITUS
Disusun oleh :
Jodie Suwandi 406148019
Pembimbing :
dr. Iman Firmansyah Sp. PD. FINASIM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul Diabetes Melitus
ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.Dr.Sulianti Saroso serta
agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan serta
bimbingan dari dr.Iman Firmansyah Sp.PD.FINASIM selama menjalani kepaniteraan
penyakit dalam periode 18 Mei 25 Juli 2015 ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat disempurnakan di
masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I.
PENDAHULUAN
BAB II.
DIABETES MELITUS
II.1
DEFINISI
II.2
EPIDEMIOLOGI
II.3
KLASIFIKASI
II.4
PATOFISIOLOGI
II.5
FAKTOR RESIKO
II.6
II.7
DIAGNOSIS
10
II.8
PENATALAKSANAAN
11
II.9
PENCEGAHAN
II.10
KOMPLIKASI
24
24
25
BAB III.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
28
v
3
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk dunia yang menderita Diabetes Mellitus cenderung meningkat dari
tahun ketahun. Indonesia sendiri saat ini menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah
Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes. Dari berbagai penelitian
epidemiologi yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa peningkatan prevalensi akan
lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.
Tahun 2007 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia sebesar 1,2% - 2,3% dari seluruh
penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 akan ada sebanyak 20,1 juta penderita
diabetes di Indonesia. Peningkatan jumlah penderita diabetes yang besar ini disebabkan
karena faktor demografi, gaya hidup yang kurang sehat, serta kurang patuh dalam
pengelolaan diet dan pengobatan. Data-data diatas menimbulkan keprihatinan dan perlunya
kewaspadaan kita untuk mengenal lebih dalam mengenai Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Secara
epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi
DM dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang serius pada
organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Untuk mencegah komplikasi
yang lebih serius adalah dengan diagnosis dini DM agar dapat diberikan intervensi lebih
awal.
BAB II
PEMBAHASAN
DIABETES MELITUS (DM)
II.1 Definisi
Diabetes Melitus berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan
Melitus yang berarti madu atau gula. Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan
gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena
mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga
Kencing Manis. (ipd, ui)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.(2)
Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.(3)
interferon alfa,
lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : sindrom Stiff-man, antibody anti reseptor insulin lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolframs, Ataksia Friedreichs, Chorea Hutington, sindrom LaurenceMoon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
4. Diabetes kehamilan/ Gestasional
II.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
6
DM Tipe 1
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi
ketiadaan insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin dari luar. Kondisi
ini disebabkan karena adanya lesi pada sel beta pankreas. Pembentukan lesi ini disebabkan karena
mekanisme gangguan autoimun dan infeksi virus yang terlibat dalam kerusakan sel-sel beta.
Adanya antibodi atau autoimun yang menyerang sel beta biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum
timbulnya penyakit. DM tipe 1 dapat berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok:
(1) meningkatnya glukosa darah, (2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan
pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3) penipisan protein tubuh (7,8). Bagan patofisiologi dapat dilihat
pada gambar dibawah ini
Gambar 1 Patofisiologis T1 DM
DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai dengan
resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan berakhir
dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan jaringan
target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh .
Lipotoxicity dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada
tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan
hormone sensitive lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan
menghambat HSL, namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari
peningkatan lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan
7
mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat mengurangi aktivitas
insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada asam amino tirosin penting untuk
mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk
translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia
(7,8)
.
Pada individu non-diabetik sel beta mampu menangkal resistensi insulin dengan
meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM apabila keadaan resistensi
insulin bertambah berat disertai tingginya glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam
jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan
postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat (7,8)
10
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada
gambar 3
*Pemeriksaan HbA1c (6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
criteria diagnostic DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik
11
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
12
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (MG/dL)
Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun
II.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus (2)
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan Intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
13
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan
EDUKASI (2)
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
TERAPI NUTRISI MEDIS (2)
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Lemak
Protein
Natrium
Serat
14
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
Obes I
25,0-29,9
BB Lebih 23,0
Obes II
>30
Jenis Kelamin:
o Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur:
o Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
15
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin
perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan
untuk penyandang diabetes
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus
tetap dilakukan . Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
TERAPI FARMAKOLOGIS (2)
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
17
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
18
masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,
mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Tabel 3. Perbandingan Golongan OHO
19
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons
2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
21
Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
22
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO
kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Bagan 1 Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolic
23
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
24
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel 6.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan
interaksi obat.
Tabel 6, target pengendalian DM
II.9.Pencegahan(2)
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
25
kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan,
diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit
DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan
materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal,
mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
II.10 Penyulit/ komplikasi pada Diabetes Melitus (2)
II.10.1 Komplikasi Akut
(2)
26
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan:
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
27
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit
ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.
28
BAB III
KESIMPULAN
DM merupakan salah satu penyakit metabolik yang disebabkan oleh
banyak faktor penyebab, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah secara
kronik yang disertai gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh defek sekresi insulin, aksi dari insulin atau keduanya
Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi
kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua
pihak. Sampai saat ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat
menyembuhkannya diabetes secara menyeluruh. Namun harus diingat bahwa diabetes dapat
29
dikendalikan, dengan cara : diet, olahraga dan dengan menggunakan obat antidiabetik. Pada
setiap penanganan penyandang DM, harus selalu ditetapkan target yang akan dicapai sebelum
memulai pengobatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan
dan penyesuaian regimen terapi sesuai kebutuhan. Pengobatan Diabetes ini sangat spesifik
dan individual untuk masing-masing pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk
dilakukan, tidak hanya untuk mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara
umum diharapkan dapat menurunkan prevalensi diabetes melitus baik di Indonesia maupun
di dunia di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2011.
3. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
4. Yulianti, dkk. Diabetes Mellitus. Jakarta : Rineka Cipta. 2010
30
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
9. Fang ZY, Prins JB, Marwick TH: Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanisms,
and therapeutic implications. Endocr , 2004
10. Fauci et al.. Harrisons : Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA :The
McGraw-Hill Companies. p. 2008
11. Dunning T., 2005, Medication Knowledge And Self Management By People With 2
Diabetes, Department of Endocrinology and Diabetes, The University of Melbourne,
Australia.
31