Вы находитесь на странице: 1из 31

REFERAT

DIABETES MELITUS

Disusun oleh :
Jodie Suwandi 406148019

Pembimbing :
dr. Iman Firmansyah Sp. PD. FINASIM

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
PERIODE 18 MEI 2015-25 JULI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul Diabetes Melitus
ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof.Dr.Sulianti Saroso serta
agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan serta
bimbingan dari dr.Iman Firmansyah Sp.PD.FINASIM selama menjalani kepaniteraan
penyakit dalam periode 18 Mei 25 Juli 2015 ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat disempurnakan di
masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, 28 Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

ii
iii

BAB I.

PENDAHULUAN

BAB II.

DIABETES MELITUS

II.1

DEFINISI

II.2

EPIDEMIOLOGI

II.3

KLASIFIKASI

II.4

PATOFISIOLOGI

II.5

FAKTOR RESIKO

II.6

TANDA DAN GEJALA

II.7

DIAGNOSIS

II.7.1 DIAGNOSIS DIABETES MELITUS

II.7.2 PEMERIKSAAN PENYARING

10

II.8

PENATALAKSANAAN

11

II.9

PENCEGAHAN

II.10

KOMPLIKASI

24

II.10.1 KOMPLIKASI AKUT

24

II.10.2 KOMPLIKASI KRONIS

25

BAB III.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

28
v
3

BAB I
PENDAHULUAN

Jumlah penduduk dunia yang menderita Diabetes Mellitus cenderung meningkat dari
tahun ketahun. Indonesia sendiri saat ini menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah
Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes. Dari berbagai penelitian
epidemiologi yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa peningkatan prevalensi akan
lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju.
Tahun 2007 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia sebesar 1,2% - 2,3% dari seluruh
penduduk, maka diperkirakan pada tahun 2030 akan ada sebanyak 20,1 juta penderita
diabetes di Indonesia. Peningkatan jumlah penderita diabetes yang besar ini disebabkan
karena faktor demografi, gaya hidup yang kurang sehat, serta kurang patuh dalam
pengelolaan diet dan pengobatan. Data-data diatas menimbulkan keprihatinan dan perlunya
kewaspadaan kita untuk mengenal lebih dalam mengenai Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Secara
epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi
DM dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang serius pada
organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Untuk mencegah komplikasi
yang lebih serius adalah dengan diagnosis dini DM agar dapat diberikan intervensi lebih
awal.

BAB II
PEMBAHASAN
DIABETES MELITUS (DM)
II.1 Definisi
Diabetes Melitus berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan
Melitus yang berarti madu atau gula. Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan
gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena
mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga
Kencing Manis. (ipd, ui)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.(2)
Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.(3)

II.2 Epidemiologi Diabetes Melitus


Laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF, 2006) menyebutkan
bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penderita DM di seluruh dunia. Angka ini terus
bertambah hingga 3 persen atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian,
jumlah penderita DM diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2025, diantaranya
80% penderita terpusat di negara yang penghasilannya kecil dan menengah. Dari angka
tersebut berada di Asia, terutama India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO, 2003) menyatakan kasus diabetes di Asia akan naik sampai 90% dalam 20
tahun ke depan (4)
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417 responden berusia > 15
tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah
puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram). DM lebih banyak ditemukan pada
wanita dibanding dengan pria serta pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang
rendah. Kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan
rendahnya konsumsi sayur dan buah (5)

II.3 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA,2009) : (6)
1. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
A. Melalui Proses Imunologik
B. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2
(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF- (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor (IPF, dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, agonis edrenergic, tiazid, dilantin,

interferon alfa,

lainnya
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : sindrom Stiff-man, antibody anti reseptor insulin lainnya
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,
sindrom Wolframs, Ataksia Friedreichs, Chorea Hutington, sindrom LaurenceMoon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya
4. Diabetes kehamilan/ Gestasional
II.4 Patofisiologi Diabetes Melitus
6

DM Tipe 1
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi
ketiadaan insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin dari luar. Kondisi
ini disebabkan karena adanya lesi pada sel beta pankreas. Pembentukan lesi ini disebabkan karena
mekanisme gangguan autoimun dan infeksi virus yang terlibat dalam kerusakan sel-sel beta.
Adanya antibodi atau autoimun yang menyerang sel beta biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum
timbulnya penyakit. DM tipe 1 dapat berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok:
(1) meningkatnya glukosa darah, (2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan
pembentukan kolesterol oleh hati, dan (3) penipisan protein tubuh (7,8). Bagan patofisiologi dapat dilihat
pada gambar dibawah ini

Gambar 1 Patofisiologis T1 DM
DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai dengan
resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan berakhir
dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan jaringan
target seperti otot dan jaringan adiposa untuk merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh .
Lipotoxicity dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada
tingginya konsentrasi asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan
hormone sensitive lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan
menghambat HSL, namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari
peningkatan lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi insulin dengan
7

mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat mengurangi aktivitas
insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada asam amino tirosin penting untuk
mengaktifkan insulin signalling pathway, jika tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk
translocate, dan penyerapan glukosa ke jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia
(7,8)

.
Pada individu non-diabetik sel beta mampu menangkal resistensi insulin dengan

meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM apabila keadaan resistensi
insulin bertambah berat disertai tingginya glukosa yang terus terjadi, sel beta pankreas dalam
jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk
menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan
penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan
postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat (7,8)

Gambar 2 Patofisiologi DM Tipe 2

Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan resistensi


adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal ini menyebabkan Cterminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang memilik efek metabolik yang
poten terutama pada otot skeletal, mengalami resistensi sehingga kemampuan gAd untuk
meningkatkan translokasi GLUT-4, penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak dan
oksidasi, serta fosforilasi AMP-activated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA
karboksilase (ACC) mengalami penurunan(9)

Menariknya, hiperinsulinemia menyebabkan peningkatan sensitivitas full-length


adiponectin (fAd) melalui peningkatan eskpresi reseptor AdipoR2. Hiperinsulinemia
menginduksi kemampuan fAd untuk meningkatkan penyerapan asam lemak dan
meningkatkan oksidasi asam lemak sebagai respon dari fAd sehingga meningkatkan resiko
komplikasi vaskular pada DM-2 (9)
II.5 Faktor resiko (3)
1. Diabetes Melitus tipe 1/IDDM (Insulin-dependant diabetes melitus)
DM Tipe 1 ini ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pancreas; faktor
genetic;imunologi; dan mungkin pula lingkungan (virus) diperkirakan turut
menimbulkan distruksi sel beta
a) Faktor genetik
Penderita DM tipe 1 mewarisi kecenderungan genetic kearah DM Tipe 1,
kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe HLA (Human
Leucocyt Antigen) tertentu. Resiko meningkat 20x pada individu yang
memiliki tipe HLA DR3 atau DR4
b) Faktor Imunologi
Respon abnormal di mana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi jaringan tersebut sebagai jaringan asing
c) Faktor Lingkungan
Virus/toksin tentu dapat memacu proses yang dapat menimbulkan destruksi sel
beta
2. Diabetes Melitus tipe 2/NIDDM (non-insulin-dependent diabetes melitus)
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor
resiko di bawah ini banyak berperan, antara lain:
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :

Ras dan etnik


Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan

meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.


Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah

menderita DM gestasional (DMG).


Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan
BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan
BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).


9

Kurangnya aktivitas fisik.


Hipertensi (> 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.

II.6 Tanda dan Gejala


Gejala Akut
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin
tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan gejala yang
ditunjukkan meliputi serba banyak (tripoli) yaitu: banyak makan (poliphagia), banyak minum
(polidipsia), banyak kencing (poliuria). Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan
timbul gejala nafsu makan mulai berkurang, berat badan turun dengan cepat (turun 5 10 kg
dalam waktu 2 4 minggu), dan mudah lelah. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual,
bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik (10).
Gejala Kronik
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa
panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, capai, mudah mengantuk,
mata kabur, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan impotensi (11).

II.7 Diagnosis (2)


II.7.1 Diagnosis Diabetes Melitus (2)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaanglukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena.Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan olehWHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

10

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada
gambar 3

Gambar 3. Langkah-langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa


Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada tabel-1
Tabel 1. Kriteria diagnosis DM

*Pemeriksaan HbA1c (6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
criteria diagnostic DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik

11

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan


Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit


Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai


Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
II.7.2 Pemeriksaan Penyaring (2)
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan
pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring
dapat dilihat pada tabel 2.

12

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (MG/dL)

Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun
II.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus (2)
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.

Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa

nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.


Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas da mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan Intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya

13

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria,
insulin dapat segera diberikan
EDUKASI (2)
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
TERAPI NUTRISI MEDIS (2)
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat
Lemak

Protein

Natrium
Serat

: 45-65% total asupan energy


: 20- 25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total
asupan energy, lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori, lemak tidak
jenuh ganda <10% kebutuhan kalori
: 10-20% total asupan energy (pada pasien nefropati perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/ KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan
energy dan 65% hendaknya bernilai biologic tinggi)
: tidak lebih dari 3000mg, atau sama dengan 6-7 gram garam dapur
: kurang lebih 25g/hari

14

Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.


Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5

Dengan resiko 23,0-24,9

BB Normal 18,5-22,9

Obes I

25,0-29,9

BB Lebih 23,0

Obes II

>30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

Jenis Kelamin:
o Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur:
o Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69

tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.


Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

15

o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan


istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas

sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.


Berat Badan
o
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan
o Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.
o Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk
pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3

porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin
perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Pilihan Makanan
Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan
untuk penyandang diabetes

LATIHAN JASMANI (2)


Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
16

Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus
tetap dilakukan . Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
TERAPI FARMAKOLOGIS (2)
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal
dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
17

diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan
pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah
kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang
18

masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide
yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,
mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Tabel 3. Perbandingan Golongan OHO

19

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons

kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal


Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapa pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

Tabel 4. Obat Hiperglikemik Oral

2. Suntikan
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat


Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
20

Ketoasidosis diabetic
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan

perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Tabel 5. Farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja

21

Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.


Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
22

menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO
kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Bagan 1 Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolic

23

Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
24

darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel 6.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan
interaksi obat.
Tabel 6, target pengendalian DM

II.9.Pencegahan(2)
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
25

kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan,
diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit
DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat
menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan
materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal,
mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
II.10 Penyulit/ komplikasi pada Diabetes Melitus (2)
II.10.1 Komplikasi Akut

(2)

1. Ketoasidosis diabetik (KAD)


Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan
plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL) dan terjadi
peningkatan anion gap
2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

26

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan:
kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL


Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada
usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang
fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran
pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih

lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran

menurun sampai koma).


Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien
dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat
atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui
intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah

pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.


Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab menurunnya kesadaran.

27

II.10.2 Komplikasi menahun/ kronis (2)


1. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetic

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan

memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati


Nefropati diabetic
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko

terjadinya nefropati
3. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa

hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa

sakit di malam hari.


Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,

dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.


Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan

menurunkan risiko amputasi.


Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau

gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit
ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.

28

BAB III
KESIMPULAN
DM merupakan salah satu penyakit metabolik yang disebabkan oleh
banyak faktor penyebab, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah secara
kronik yang disertai gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh defek sekresi insulin, aksi dari insulin atau keduanya
Diabetes melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi
kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua
pihak. Sampai saat ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat
menyembuhkannya diabetes secara menyeluruh. Namun harus diingat bahwa diabetes dapat
29

dikendalikan, dengan cara : diet, olahraga dan dengan menggunakan obat antidiabetik. Pada
setiap penanganan penyandang DM, harus selalu ditetapkan target yang akan dicapai sebelum
memulai pengobatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan
dan penyesuaian regimen terapi sesuai kebutuhan. Pengobatan Diabetes ini sangat spesifik
dan individual untuk masing-masing pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk
dilakukan, tidak hanya untuk mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara
umum diharapkan dapat menurunkan prevalensi diabetes melitus baik di Indonesia maupun
di dunia di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, Slamet. 2009. Diabetes Melitus di Indonesia. In: Sudoyo, Aru W., Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2011.
3. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
4. Yulianti, dkk. Diabetes Mellitus. Jakarta : Rineka Cipta. 2010
30

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2007. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2007
6. Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo,
Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Sibernagl,S. Atlas berwarna & teks; Fisiologi. ed 4. Hipokrates: Jakarta. 2000
8.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.

9. Fang ZY, Prins JB, Marwick TH: Diabetic cardiomyopathy: evidence, mechanisms,
and therapeutic implications. Endocr , 2004
10. Fauci et al.. Harrisons : Principles of Internal Medicine. 17th Edition. USA :The
McGraw-Hill Companies. p. 2008
11. Dunning T., 2005, Medication Knowledge And Self Management By People With 2
Diabetes, Department of Endocrinology and Diabetes, The University of Melbourne,
Australia.

31

Вам также может понравиться