Вы находитесь на странице: 1из 7

J. Biol. Trop. Vol 12 No.

2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
PENGARUH KONSENTRASI FORMALIN DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP PREVALENSI
EKTOPARASIT PADA BENIH IKAN KARPER (Cyprinus carpio)
Muhammad Masyarul Rusdani1), Mulat Isnaini2) dan Alis Mukhlis2)
1)

Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Mataram


2)
Jurursan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Jl. Majapahit No. 62 Mataram, Telpon. (0370) 636126, Fax (0376) 636523
ABSTRAK

Budidaya ikan karper (Cyprinus carpio) tidak luput dari serangan ektoparasit, sehingga menjadi salah satu kendala
dalam keberhasilan budidaya. Ektoparasit yang ditemukan menyerang benih ikan karper yang berasal dari Balai Benih
Ikan (BBI) Aik Mel, Lombok Timur adalah Dactylogyrus sp., Gyrodactylus sp., Epistylis sp. dan Trichodina sp.
Ektoparasit yang ditemukan dengan prevalensi dan intensitas rata rata tertinggi adalah Dactylogyrus sp. pada bagian
insang, yaitu sebesar 91,67% dan 2,73 ind/ekor, sedangkan yang terendah adalah Gyrodactylus sp. pada bagian insang
dengan 33,33% dan 1,00 ind/ekor. Dalam penelitian ini dilakukan uji konsentrasi formalin dengan lama perendaman
yang berbeda untuk menghilangkan ektoparasit pada benih ikan karper. Ada enam kombinasi perlakuan ditambah satu
kontrol digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 0 ppm (kontrol); 50 ppm selama 10 menit (A1B1); 50 ppm selama 20
menit (A1B2); 100 ppm selama 10 menit (A2B1); 100 ppm selama 20 menit (A2B2); 150 ppm selama 10 menit
(A3B1); 150 ppm selama 20 menit (A3B2). Dari keempat jenis ektoparasit tersebut, Dactylogyrus sp. dan
Gyrodactylus sp. dapat dihilangkan dengan merendam benih ikan karper ke dalam larutan formalin dengan konsentrasi
100 ppm dan lama perendaman 20 menit, sedangkan Epistylis sp. dan Trichodina sp. dengan 50 ppm dan lama
perendaman 10 menit.
Kata kunci : Ektoparasit, prevalensi, intensitas, konsentrasi formalin, lama perendaman, karper

ABSTRACT
Carp (Cyprinus carpio) culture is inseparable from the ectoparasite attacks, thus becoming one of the obstacles in the
successful cultivation. Ectoparasites were found attacking seeds of carp from Balai Benih Ikan Aik Mel, East Lombok
is Dactylogyrus sp., Gyrodactylus sp., Epistylis sp. and Trichodina sp. Ectoparasites were found with the prevalence
and intensity of the highest average is Dactylogyrus sp. on the gills, which amounted to 91.67% and 2.73 individuals
per fish. While the lowest was Gyrodactylus sp. to the gills with 33.33% and 1.00 individuals per fish. In this study the
concentration of formaline test with different soaking time to remove ectoparasites on carp seed. There are six
combinations of treatments plus one control is used in this study, i.e. 0 ppm (control), 50 ppm for 10 minutes (A1B1),
50 ppm for 20 minutes (A1B2), 100 ppm for 10 minutes (A2B1), 100 ppm for 20 minutes (A2B2), 150 ppm for 10
minutes (A3B1) and 150 ppm for 20 minutes (A3B2). The four type of ectoparasite, Dactylogyrus sp. and
Gyrodactylus sp. can be removed by soaking the seeds of carp into the formaline solution with a concentration of 100
ppm during 20 minutes, while Epistylis sp. and Trichodina sp. with 50 ppm during 10 minutes.
Keywords: Ectoparasites, prevalence, intensity, concentration of formaline, soak, carp.
tangga hingga budidaya secara intensif (Khairuman,
Sudenda dan Gunadi, 2008).
Menurut Pegawai Dinas Perikanan Kabupaten
Lombok Timur, Sabri (komunikasi pribadi, 2011),
permintaan ikan karper sangat tinggi, yang terbukti dari
berapapun jumlah ikan yang dipasok ke pasaran dapat
dipastikan habis terjual. Tingginya permintaan tersebut
disebabkan karena ikan karper memiliki daging yang
lezat dan dapat dijadikan ikan hias. Disamping memiliki
kelebihan, ikan karper juga memiliki beberapa

PENDAHULUAN

kan karper (Cyprinus carpio) merupakan salah satu


jenis ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan
permintaan yang terus meningkat, ikan karper sangat
potensial untuk terus dikembangkan. Teknologi dalam
budidaya ikan karper telah banyak dikuasai, bahkan oleh
petani ikan tradisional di Indonesia. Hal ini merupakan
salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan
budidaya ikan karper baik dalam budidaya skala rumah
72

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
kekurangan, antara lain mudah terserang penyakit dan
mengalami stress oleh perubahan suhu lingkungan yang
drastis terutama pada stadia benih. Hal ini terbukti
dengan tingginya tingkat kematian benih ikan karper di
beberapa Balai Benih Ikan (BBI) yang terdapat di
provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat penurunan
suhu lingkungan secara drastis ketika turun hujan dan
serangan jasad patogen yang menyebabkan kematian
ikan secara masal.
Ikan sakit ditandai dengan penurunan
kemampuan secara gradual dalam mempertahankan
fungsi fisiologis secara normal. Pada keadaan tersebut
ikan dalam kondisi tidak seimbang fisiologisnya serta
tidak mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan. Penyakit yang disebabkan oleh jasad
patogen merupakan penyakit infeksi yang dapat menjadi
masalah utama dalam budidaya, karena wabah penyakit
infeksius bisa bersifat akut dengan tingkat mortalitas
yang tinggi dalam waktu yang singkat. Jasad patogen
dapat berasal dari bakteri, virus, jamur dan parasit.
Bakteri yang biasa ditemukan menyerang ikan air tawar
antara lain, Aeromonas sp., Flexibacter columnaris,
Pseudomonas flouroscens, Myxobacterium sp. dan
Edwardsiella tarda. Dari golongan virus yang sering
ditemukan menginfeksi ikan air tawar antara lain,
Epithelloma papulasum, Herpesvirus, Lympocystis,
Rhapdovirus dan Carpiovirus. Jamur yang biasa
ditemukan menginfeksi ikan air tawar antara lain,
Branchiomyces sp., Saprolegnia sp. dan Achlya sp.
Beberapa parasit yang sering ditemukan menginfeksi
ikan air tawar, yaitu Argulus sp., Ichthyopthirius
multifilis, Myxobolus sp., Trichodina sp., Dactylogyrus
sp., Gyrodactylus sp. dan Lernea sp. (Irianto, 2005).
Parasit adalah organisme yang hidup pada
organisme lain dengan mengambil makanan dari tubuh
organisme tersebut, sehingga organisme tempatnya
makan (inang) mengalami kerugian (Kabata, 1985). Efek
serangan parasit biasanya lebih berakibat fatal terhadap
benih ikan dari pada ikan dewasa, hal ini disebabkan
karena daya tahan tubuh benih ikan lebih rendah dari
pada ikan dewasa. Pengobatan terhadap ikan karper yang
menunjukkan gejala terserang oleh ektoparasit perlu
diketahui, agar kerugian akibat serangan parasit dapat
dihindari. Penanganan sedini mungkin dengan
pengobatan yang tepat terhadap ikan yang terserang
parasit jauh lebih baik dari pada ikan dibiarkan terserang
oleh parasit, karena akan menjadi jalan masuk bagi
infeksi sekunder dari jasad patogen yang dapat berasal
dari jamur, bakteri dan virus. Salah satu metode
pengobatan terhadap serangan ektoparasit adalah dengan
perendaman ikan yang sakit dalam larutan kimia seperti
formalin (Handajani, 2005).
Formalin sangat efektif untuk membasmi
ektoparasit pada kulit dan insang ikan, namun
penggunaannya harus hati hati dan harus dengan

konsentrasi yang tepat, hal ini disebabkan karena


formalin memiliki sifat yang berbahaya bagi makhluk
hidup dan keberadaannya di dalam air dapat mengurangi
jumlah oksigen terlarut yang dapat merugikan ikan
(Kabata, 1985). Formalin adalah zat yang memiliki unsur
aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein,
formalin akan mengikat unsur protein mulai permukaan
hingga terus meresap ke bagian dalam tubuh dari
organisme yang terkena oleh larutan ini. Dampak yang
dihasilkan bagi ektoparasit adalah rusaknya protein
setelah terikat unsur kimia dari formalin sehingga tubuh
ektoparasit akan kaku atau mengeras dan mati (Kardono,
2006; Tang, 2006).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
menguji efektifitas formalin dalam penanggulangan
ektoparasit pada ikan. Pemberian formalin dengan
konsentrasi rendah, yaitu 25 ppm selama 24 jam dan
dengan konsentrasi yang tinggi antara 100 300 ppm
dengan lama perendaman selama 15 menit, efektif untuk
membunuh ektoparasit pada ikan karper (Khairuman
dkk., 2008; Anshary, 2008a). Pendapat lain menyebutkan
bahwa formalin 37 40% dengan konsentrasi 2 ml dalam
10 liter air selama maksimal 30 menit dapat aplikasikan
untuk menanggulangi serangan ektoparasit dengan efektif
pada ikan air tawar (Gusrina, 2008). Lebih lanjut lagi,
Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (2008)
menyatakan bahwa pemberian formalin akan efektif
dengan konsentrasi 250 ppm selama 15 menit untuk
mengendalikan ektoparasit pada ikan karper.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa
belum ada ketetapan terhadap konsentrasi dan lama
perendaman yang baku dalam penggunaan formalin
untuk membunuh ektoparasit dari jenis tertentu pada
benih ikan karper. Sehingga penelitian pengaruh
konsentrasi formalin dan lama perendaman terhadap
prevalensi ektoparasit pada benih ikan karper (Cyprinus
carpio) perlu untuk dilakukan. Disamping itu, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama
perendaman yang terbaik, namun tidak berbahaya bagi
benih ikan dan manusia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari
hingga Maret 2011. Bertempat di Laboratorium Budidaya
Perairan Universitas Mataram yang terletak di Kota
Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Adapun benih
ikan yang dijadikan bahan penelitian berasal dari BBI
Aik Mel, Lombok Timur.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap
penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian
lanjutan. Metode yang digunakan dalam penelitian
pendahuluan adalah metode deskriptif dengan melakukan
identifikasi dan menghitung prevalensi, intensitas dan
73

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
intensitas rata rata ektoparasit pada sampel benih ikan
karper, sebagai gambaran awal sebelum melakukan
penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan menggunakan
metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial, yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor
konsentrasi larutan formalin yang diberikan (A) dan
faktor lama perendaman (B). Faktor (A) terdiri dari
empat perlakuan konsentrasi formalin yaitu : 50 ppm
(A1); 100 ppm (A2); dan 150 ppm (A3), sedangkan
sebagai pembanding atau kontrol benih ikan dimasukkan
ke dalam akuarium tanpa diberikan tambahan formalin
(A0). Faktor (B) terdiri dari dua perlakuan lama
perendaman yaitu : selama 10 menit (B1) dan selama 20
menit (B2). Setiap perlakuan diulangi sebanyak tiga kali,
sehingga diperoleh 24 unit percobaan.

Keterangan :
X0 = Jumlah ikan sampel yang terinfeksi
X1 = Jumlah total ikan sampel yang diperiksa
b) Intensitas ektoparasit
Intensitas ektoparasit dihitung berdasarkan
jumlah ektoparasit tertentu yang ditemukan pada
seekor ikan (Anshary, 2008b).
c) Intensitas rata rata ektoparasit
Perhitungan Intensitas rata rata ektoparasit
(individu per ekor) dilakukan dengan menggunakan
rumus menurut Anshary (2008b) :
0
=
1
Keterangan :
Y0 = Jumlah parasit (x) yang ditemukan
Y1 = Jumlah ikan sampel yang diperiksa dan
terinfeksi parasit tertentu (x)

Penelitian Pendahuluan

Jumlah parasit yang berukuran mikroskopis


dihitung berdasarkan jumlah parasit yang tampak pada
saat pengamatan spesimen di bawah mikroskop,
sedangkan jumlah parasit yang berukuran makroskopis
dihitung berdasarkan jumlah parasit yang ditemukan
menempel pada seluruh permukaan tubuh benih ikan
yang diamati.

Identifikasi parasit dilakukan dengan dua cara


(Handajani, 2005), yaitu :
Pengamatan makroskopis
Pemeriksaan secara makroskopis dilakukan
dengan menggunakan mata telanjang terhadap morfologi
tubuh ikan karper yang dijadikan sampel dan ektoparasit
berukuran makroskopis yang terdapat pada bagian
ekternal tubuh ikan tersebut.

Penelitian Lanjutan

Pengamatan mikroskopis
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan
dengan menggunakan mikroskop. Ada dua metode
pembuatan preparat yang digunakan, yaitu metode
pengerokan (skin scraping) dan jepit (squash). Metode
skin scraping dibuat dengan cara mengerok permukaan
tubuh benih ikan karper masing masing sebanyak lima
kali pada setiap sisinya dan memotong sirip dari benih
ikan tersebut. Metode squash digunakan untuk
pemeriksaan insang dan dilakukan dengan cara
mengambil insang kemudian dijepit atau ditekan di
antara dua buah gelas objek. Sebelum diamati, preparat
yang diperoleh dari metode skin scraping maupun squash
ditetesi air media pemeliharaan.
Pengamatan identifikasi ektoparasit dilakukan
bersamaan dengan perhitungan prevalensi, intensitas dan
intensitas rata rata dari ektoparasit yang ditemukan
pada semua benih ikan yang diamati.

Tingkat kelangsungan hidup (survival rate)


Pengamatan tingkat kelangsungan hidup benih
ikan karper dilakukan mulai pada saat pemberian
perlakuan hingga setelah benih dipindahkan ke akuarium
baru yang berisi 20 liter air tawar bersih dan dipelihara
selama 24 jam. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
ikan yang mati. Nilai survival rate (SR) dihitung
menggunakan rumus berikut :

=
100%

Keterangan :
= Jumlah awal populasi ikan
= Jumlah ikan yang mati selama pengamatan
Pengamatan Prevalensi, Intensitas dan Intensitas rata
rata
Setelah pengamatan tingkat kelangsungan hidup
benih, dilanjutkan dengan pengamatan prevalensi,
intensitas dan intensitas rata rata terhadap benih ikan
karper yang sama. Pengamatan untuk mengetahui
prevalensi ektoparasit setelah pemberian formalin
dilakukan pada semua benih yang terdapat dalam 24 unit
percobaan, sehingga total benih yang diamati adalah
sebanyak 120 ekor. Prosedur yang digunakan sama
seperti penelitian pendahuluan, yaitu pada point
parameter pengamatan.
Pengaruh pemberian konsentrasi formalin dan
lama perendaman terhadap prevalensi, intensitas dan

Prevalensi, intensitas dan intensitas rata rata


ektoparasit
a) Prevalensi ektoparasit
Perhitungan prevalensi ektoparasit dilakukan
dengan menggunakan rumus menurut Anshary
(2008b) :
0
=
100%
1
74

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
intensitas rata rata ektoparasit tertentu pada benih ikan
karper akan dianalisa dengan analisa sidik ragam pada
taraf nyata () 5%. Setelah itu dilakukan uji lanjut Beda
Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata yang sama, untuk
melihat perbandingan antara kombinasi perlakuan yang
diberikan.

jangkar yang lebih besar pada posterior sucker


(Opisthaptor) dibanding dengan Dactylogyrus sp. Hal ini
diduga mendukung Gyrodactylus sp. untuk dapat hidup
di permukaan tubuh maupun di bagian insang inangnya,
sehingga ditemukan menyebar di kedua bagian tubuh
tersebut.
Ektoparasit Gyrodactylus sp. yang ditemukan
pada permukaan tubuh memiliki prevalensi 41,67% dan
intensitas rata rata sebesar 1,6 individu per ekor. Nilai
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi dan
intensitas rata rata Trichodina sp. sebesar 58,33% dan
3,57 individu per ekor. Tingginya prevalensi dan
intensitas rata rata Trichodina sp. pada permukaan
tubuh ikan karper yang diamati diduga karena
perkembangan Trichodina sp. yang lebih cepat
dibandingkan dengan ektoparasit lainnya. Reproduksi
Trichodina sp. berlangsung dengan cara schyzogony,
yaitu dari 1 sel menjadi 2, 4, 8 sel, dan seterusnya. Selain
itu, ektoparasit ini dapat bertahan hidup di luar tubuh
inangnya selama dua hari dan waktu ini lebih lama jika
dibandingkan dengan Gyrodactylus sp. yang hanya
mampu bertahan hidup di luar tubuh inangnya selama 4
10 jam (Handajani, 2005).
Selain Trichodina sp., ektoparasit Epistylis sp.
juga ditemukan dengan prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Gyrodactylus sp., namun intensitas
rata ratanya lebih rendah. Ektoparasit Epistylis sp.
ditemukan dengan prevalensi sebesar 50% dengan
intensitas rata rata 1,33 individu per ekor. Rendahnya
intensitas rata rata Epistylis sp. diduga karena sebagian
besar ektoparasit ini berada pada stadia motil, sedangkan
pengamatan yang dilakukan terhadap ektoparasit ini
hanya pada stadia sesil. Sebagaimana diketahui, dalam
siklus hidupnya Epistylis sp. mengalami dua stadia yaitu
stadia motil dan sesil. Ektoparasit Epistylis sp. juga
pernah ditemukan menyerang ikan gurami di BBI Batu
Kumbung Lombok Barat dengan prevalensi sebesar
67% (Balai Karantina Ikan (BKI) Kelas 1 Selaparang,
2010). Prevalensi yang tinggi dari Epistylis sp. diduga
disebabkan oleh pertumbuhan dan reproduksinya yang
berlangsung sangat cepat, yaitu melalui pembelahan
biner atau pertunasan (Gilbert dan Schrder 2003). Selain
itu juga, Epistylis sp. memiliki toleransi yang tinggi
terhadap suhu, salinitas dan polusi organik, sehingga
mampu bertahan terhadap perubahan kondisi lingkungan
(Anonim, 2010).
Semua jenis ektoparasit yang ditemukan dalam
penelitian ini sangat potensial menimbulkan masalah
pada ikan karper terutama pada stadia benih. Semakin
tinggi nilai prevalensi dan intensitas rata rata suatu
ektoparasit, maka semakin berbahaya bagi populasi ikan
yang diserang. Ektoparasit yang memiliki nilai prevalensi
tinggi namun dengan intensitas rata rata yang rendah
tetap menjadi ancaman. Hal ini disebabkan karena semua
ektoparasit yang ditemukan berpotensi untuk terus

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis ektoparasit yang ditemukan menyerang
benih ikan karper dalam penelitian ini adalah
Dactylogyrus sp., Gyrodactylus sp., Trichodina sp. dan
Epistylis sp. Keempat jenis ektoparasit ini memiliki
bentuk morfologi yang berbeda beda, sehingga dapat
dibedakan antara ektoparasit yang satu dengan yang
lainnya.
Hasil intersepsi laboratorium terhadap jenis,
prevalensi dan intensitas rata rata ektoparasit yang
ditemukan menyerang 12 ekor benih ikan karper dapat
dilihat pada Tabel 1. Infeksi dari suatu jenis ektoparasit
ditandai dengan adanya intensitas dari ektoparasit
tersebut pada tubuh inangnya. Ektoparasit Dactylogyrus
sp. dan Gyrodactylus sp. ditemukan menginfeksi bagian
insang. Adapun pada permukaan tubuh ditemukan
adanya Gyrodactylus sp., Epistylis sp. dan Trichodina sp.
Intensitas setiap jenis ektoparasit dari masing masing
benih ikan yang diamati dijadikan dasar perhitungan
untuk mengetahui prevalensi dan intensitas rata rata
dari setiap serangan ektoparasi yang ditemukan.
Tabel 1. Nilai Prevalensi (%) dan Intensitas Rata
rata (individu per ekor) setiap Jenis
Ektoparasit yang ditemukan pada Bagian
Insang dan Permukaan Tubuh
Prevalensi
Intensitas Rata (%)
rata (ind/ekor)
1.
Dactylogyrus sp.1
91,67
2,73
2.
Gyrodactylus sp.1
33,33
1,00
3.
Epistylis sp.2
50,00
1,33
4.
Gyrodactylus sp.2
41,67
1,60
5.
Trichodina sp.2
58,33
3,57
Keterangan : 1 = ditemukan pada bagian insang; 2 = ditemukan pada
permukaan tubuh
No.

Jenis Ektoparasit

Ektoparasit Dactylogyrus sp. yang ditemukan


pada bagian insang memiliki nilai prevalensi dan
intensitas rata rata yang lebih tinggi, yaitu 91,67% dan
2,73 individu per ekor, dibandingkan Gyrodactylus sp.
dengan 33,33% dan 1 individu per ekor. Tingginya nilai
prevalensi Dactylogyrus sp. dibandingkan dengan
Gyrodactylus sp. diduga disebabkan oleh sifat hidup dari
ektoparasit tersebut, yaitu Dactylogyrus sp. menyukai
insang sebagai organ target infeksi, sedangkan
Gyrodactylus sp. lebih menyukai permukaan tubuh
sebagai organ target infeksi, meskipun sering juga
ditemukan menginfeksi bagian insang (Handajani, 2005).
Jika ditinjau dari morfologi, Gyrodactylus sp. memiliki
75

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
berkembang, terutama dengan kondisi air media
pemeliharaan yang tercemar oleh polusi organik sisa
pakan dan kotoran yang mengendap, oleh sebab itu perlu
mendapat perhatian dan penanganan sedini mungkin.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, ada empat
jenis ektoparasit yang ditemukan menyerang benih ikan
karper pada akuarium penampungan, yaitu Dactylogyrus
sp. pada bagian insang, Gyrodactylus sp. pada bagian
insang dan permukaan tubuh, serta Epistylis sp. dan
Trichodina sp. pada permukaan tubuh. Perlakuan
formalin dengan berbagai konsentrasi dan lama
perendaman berpengaruh terhadap kematian ektoparasit
pada bagian insang dan permukaan tubuh benih ikan
karper. Hal ini terbukti dengan semakin tinggi
konsentrasi formalin dan semakin lama waktu
perendaman yang diberikan, maka semakin rendah
prevalensi dan intensitas rata rata dari setiap ektoparasit
tersebut. Nilai prevalensi dan intensitas rata rata setiap
jenis ektoparasit setelah pemberian perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Berdasarkan Tabel 2 dan 3, pemberian
konsentrasi formalin terendah (50 ppm) dan lama
perendaman 10 menit (A1B1), mampu membunuh
ektoparasit jenis Epistylis sp. dan Trichodina sp. pada
permukaan tubuh benih ikan karper dengan efektif, hal
ini terbukti dengan rendahnya nilai prevalensi dan
intensitas rata rata kedua ektoparasit ini setelah
pemberian perlakuan A1B1, yaitu masing masing
sebesar 1,28% dan 0,71 individu per ekor. Efektifitas
formalin konsentrasi 50 ppm dalam membunuh Epistylis
sp. dan Trichodina sp. pada benih ikan karper didukung
oleh Smith (2009) dan Handajani (2005), bahwa formalin
dengan konsentrasi 25 ppm dapat digunakan untuk
mengatasi serangan Epistylis sp. dan Trichodina sp.,
namun perendaman harus dilakukan secara terus
menerus hingga tidak ditemukan lagi adanya kedua
ektoparasit tersebut menempel pada tubuh ikan. Ada
tidaknya serangan Epistylis sp. dan Trichodina sp. dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan secara
mikroskopis (skin scraping) maupun makroskopis.
Berdasarkan pengamatan, ikan yang terserang Epistylis
sp. dan Trichodina sp. memiliki tingkah laku yang tidak
normal, yaitu sering terlihat menggosok gosokkan
tubuhnya pada benda benda keras yang terdapat di
dalam kolam pemeliharaan dan mengalami perubahan
warna permukaan tubuh menjadi pucat dan mengkilap
(Afrianto, 2008). Adapun serangan ektoparasit
Dactylogyrus sp. pada bagian insang dan Gyrodactylus
sp. pada permukaan tubuh, belum dapat dihilangkan
secara efektif dengan pemberian konsentrasi formalin 50
ppm dan lama perendaman 10 menit (A1B1), karena
terlihat masih memiliki nilai prevalensi dan intensitas
rata rata yang tinggi, yaitu 76,86% dan 1,97 individu
per ekor untuk Dactylogyrus sp., sedangkan

Gyrodactylus sp. sebesar 46,92% dan 1,41 individu per


ekor pada konsentrasi dan lama perendaman tersebut.
Masih tingginya nilai prevalensi dan intensitas rata rata
Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. pada perlakuan
A1B1 diduga karena konsentrasi formalin dan lama
perendaman yang diberikan belum mampu membunuh
semua ektoparasit yang ada dari kedua jenis ini.
Formalin bersifat mudah bereaksi dengan protein
sehingga dapat mengikat unsur protein yang terdapat
pada jaringan organisme, mulai permukaan hingga terus
meresap ke bagian dalam tubuh dari organisme yang
terkena oleh larutan ini. Efek yang dihasilkan dari reaksi
antara formalin dan protein pada jaringan ektoparasit
adalah rusaknya protein setelah terikat unsur kimia dari
formalin, sehingga mengakibatkan tubuh ektoparasit
tersebut akan mengalami dehidrasi dan kaku atau
mengeras. Jaringan yang mengalami dehidrasi
menyebabkan sel sel penyusunnya menjadi kering dan
akhirnya mati. Dengan matinya sel di dalam jaringan
dapat menyebabkan jaringan tersebut mati dan pada
akhirnya akan berakibat kematian bagi organisme yang
terkena oleh larutan formalin (Tang, 2006; Kardono,
2006). Menurut Joko, Soekimin, Lukito, Delyuzar, dan
Kemala (1992), daya penetrasi larutan formalin dengan
konsentrasi 10% akan menembus jaringan hewan dan
manusia sedalam 2 2,5 cm dalam waktu 24 jam. Hal ini
didukung oleh Tennstedt dan Sauter (2010) yang
menyatakan bahwa rata rata waktu penetrasi formalin
ke dalam suatu jaringan adalah 1 mm per jam. Kecepatan
penetrasi formalin ditentukan oleh ukuran dan sifat atau
komposisi jaringan. Jaringan yang lebih lunak, seperti
jaringan yang dimiliki oleh ektoparasit, daya penetrasi
formalin akan lebih cepat dan lebih dalam.
Jaringan setiap organisme memiliki sifat yang
berbeda, begitu juga dengan ektoparasit. Dari
pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa konsentrasi
dan lama perendaman yang diperlukan untuk membunuh
Epistylis sp. dan Trichodina sp. belum mampu untuk
membunuh Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. secara
efektif, sehingga diperkirakan bahwa ektoparasit
Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. memiliki jaringan
yang lebih keras dibandingkan dengan dua ektoparasit
lainnya.
Ektoparasit Dactylogyrus sp. yang ditemukan
menyerang bagian insang dan Gyrodactylus sp. pada
permukaan tubuh, dapat dihilangkan dengan efektif pada
perlakuan dengan pemberian konsentrasi formalin 100
ppm dan lama perendaman 20 menit (A2B2). Hal ini
terbukti dengan rendahnya nilai prevalensi dan intensitas
rata rata Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. pada
perlakuan A2B2, yaitu 1,28% dan 0,71 individu per ekor.

76

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
Tabel 2. Purata Prevalensi (%) semua Jenis Ektoparasit yang ditemukan dan Tingkat Kelangsungan Hidup
Benih Ikan Karper (%) pada setiap Kombinasi Perlakuan Konsentrasi (ppm) dan Lama Perendaman (menit)
Formalin

Dactylogyrus sp.1

Gyrodactylus sp.1

Epistylis sp.2

Gyrodactylus sp.2

Trichodina sp.2

Tingkat
Kelangsungan
Hidup Benih (%)

A0B1

88,72 a

43,08 a

46,92 a

50,77 a

43,86 a

100,00 a

A1B1

76,86 a

22,36 a

1,28 b

46,92 a

1,28 b

100,00 a

A2B1

47,71 b

1,28 b

1,28 b

43,08 a

1,28 b

100,00 a

A3B1

46,92 b

1,28 b

1,28 b

30,79 b

1,28 b

93,33 a

A0B2

88,72 a

43,08 a

46,92 a

50,77 a

43,86 a

100,00 a

A1B2

51,56 b

1,28 b

1,28 b

26,57 b

1,28 b

100,00 a

A2B2

1,28 c

1,28 b

1,28 b

1,28 c

1,28 b

100,00 a

A3B2

1,28 c

1,28 b

1,28 b

1,28 c

1,28 b

93,33 a

BNJ 5%

22,89

21,5

9,43

11,93

11,35

16,33

Kombinasi
Perlakuan

Purata Prevalensi Ektoparasit (%) pada setiap Kombinasi Perlakuan

Keterangan : 1 = ditemukan pada bagian insang; 2 = ditemukan pada permukaan tubuh; Nilai nilai prevalensi pada tabel merupakan nilai hasil
transformasi sudut ( = )

Tabel 3. Intensitas Rata rata (individu per ekor) semua Jenis Ektoparasit yang ditemukan dan Tingkat

Kelangsungan Hidup Benih Ikan Karper (%) pada setiap Kombinasi Perlakuan Konsentrasi (ppm)
dan Lama Perendaman (menit) Formalin
Kombinasi
Perlakuan
A0B1
A1B1
A2B1
A3B1
A0B2
A1B2
A2B2
A3B2
BNJ 5%

Keterangan :

Dactylogyrus sp.1

Gyrodactylus sp.1

Epistylis sp.2

Gyrodactylus sp.2

Trichodina sp.2

Tingkat
Kelangsungan
Hidup Benih (%)

2,39 a
1,97 a
1,81 a
1,56 b
2,39 a
1,68 b
0,71 c
0,71 c
0,63

1,45 a
1,05 b
0,71 c
0,71 c
1,45 a
0,71 c
0,71 c
0,71 c
0,30

1,43 a
0,71 b
0,71 b
0,71 b
1,43 a
0,71 b
0,71 b
0,71 b
0,20

1,55 a
1,41 a
1,34 a
1,22 b
1,55 a
1,22 b
0,71 c
0,71 c
0,28

1,91 a
0,71 b
0,71 b
0,71 b
1,91 a
0,71 b
0,71 b
0,71 b
0,30

100,00 a
100,00 a
100,00 a
93,33 a
100,00 a
100,00 a
100,00 a
93,33 a
16,33

Intensitas Rata rata Ektoparasit (individu per ekor) pada setiap Kombinasi Perlakuan

= ditemukan pada bagian insang; 2 = ditemukan pada permukaan tubuh; Nilai nilai intensitas rata rata pada tabel
merupakan nilai hasil transformasi akar ( = + , )
1

Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian


lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrasi dan
lama perendaman yang digunakan oleh Afrianto (2008)
dan Anshary (2008a) untuk membunuh Dactylogyrus sp.
dan Gyrodactylus sp., yaitu 200 250 ppm formalin
dengan lama perendaman 30 menit. Gyrodactylus sp.
yang ditemukan pada bagian tubuh lainnya (insang) dapat
dibunuh dengan pemberian formalin konsentrasi 50 ppm
dan lama perendaman 20 menit. Perbedaan konsentrasi
yang dibutuhkan untuk menghilangkan Gyrodactylus sp.
yang terdapat pada bagian insang dan permukaan tubuh,
diduga berkaitan dengan perbedaan intensitasnya.
Gyrodactylus sp. sebenarnya merupakan ektoparasit yang
lebih menyukai hidup di permukaan tubuh inang sebagai
organ target infeksi (sisik, sirip dan lendir), sehingga
intensitasnya lebih tinggi pada permukaan tubuh
dibandingkan insang. Semakin tinggi intensitas
Gyrodactylus sp. maka semakin tinggi konsentrasi

formalin yang dibutuhkan untuk menghilangkannya


(Handajani, 2005).
Perlakuan formalin dengan berbagai konsentrasi
dan lama perendaman tidak hanya berpengaruh terhadap
kematian ektoparasit, akan tetapi ikut juga
mempengaruhi tingkat kelangsungan benih ikan karper.
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah benih
ikan yang masih hidup setelah pemberian perlakuan,
ditemukan ada benih ikan karper yang mati pada
konsentrasi 150 ppm, baik dengan lama perendaman 10
dan 20 menit, yaitu masing masing sebesar 6,77%
(Tabel 2 dan 3). Penyebab kematian benih ikan karper
diperkirakan karena rendahnya oksigen terlarut pada
konsentrasi formalin 150 ppm. Semakin tinggi
konsentrasi formalin dalam air maka semakin rendah
kandungan oksigen terlarut yang ada di dalam air
tersebut (Kabata, 1985). Berdasarkan hasil pengamatan
oksigen terlarut dalam penelitian ini, media dengan
77

J. Biol. Trop. Vol 12 No. 2, Juni 2011: 72-78


ISSN 1411-9587
kandungan formalin 150 ppm mengandung oksigen
terlarut sebesar 0,01 mg/L, nilai ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan syarat minimal kandungan oksigen
terlarut dalam air yang dapat menunjang kelangsungan
hidup ikan karper, yaitu 3 mg/L (Khairuman, 2008).
Sehingga diduga ikan yang berada dalam wadah
pemeliharaan dengan kandungan oksigen terlarut yang
rendah mengalami stress oksigen dan menyebabkan
kematian.

Handajani, H., dan S. Samsundari, 2005. Parasit


dan Penyakit Ikan. Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.
Irianto,
A.,
2005.
Patologi
Ikan
Teleostei.
Universitas Terbuka Press. Jakarta.
Joko, Soekimin, S. Lukito, Delyuzar, dan I. T. Kemala,
1992. Pengiriman dan Pengelolaan Jaringan
untuk Diagnosis Penyakit secara Histopatologik.
Laboratorium Patologi Anatomi, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kabata, Z., 1985. Parasities and Diseases of Fish
Cultured in The Tropics. Taylor dan Prancis.
Philadelphia.
Kardono, L. B. (2006) dalam Affandi, F., H.
Gunawan,
V.
Rakphongpairoj,
P.
Setiabudi dan D. B. Utomo, 2006. Formalin
Bukan
Formalitas.
Divisi
Agro
Feed
Business Charoen Pokphand Indonesia. Jakarta.
Khairuman, D. Sudenda, dan B. Gunadi, 2008.
Budidaya Ikan Mas secara
Intensif (Edisi
Revisi). PT. Agromedia Pustaka. Jakarta
Selatan.
Smith, S. dan M. Schwarz., 2009. Commercial Fish
and Shellfish Technology
Fact
Sheet:
Dealing with Trichodina and Trichodina
Like
Species.
Communications
and
Marketing. College of Agriculture and Life
Sciences, Virginia Polytechnic Institute and
State University, pp: 205 600.
Tang, E., 2006. Path to Effective Recovering of DNA
from Formalin Fixed Biological Samples in
Natural History Collections. The National
Academies Press. Washington, D.C.
Tennstedt, P. dan G. Sauter, 2010. Quality Aspects
of TMA Analysis. Tissue Microarrays: Methods
and Protocols. Methods in Molecular Biology,
pp. (2): 17 26.
Wales,
J.,
2006.
Formaldehid.
http://id.wikipedia.org/wiki/formaldehid.html.
Diakses 10 Desember 2010.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang terbatas pada lingkup penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Formalin dengan konsentrasi 50 ppm dan lama
perendaman 10 menit efektif untuk membunuh
ektoparasit Epistylis sp. dan Trichodina sp.
(prevalensi 0%).
2. Formalin dengan konsentrasi 100 ppm dan lama
perendaman 20 menit efektif untuk membunuh
ektoparasit Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus
sp. (prevalensi 0%) dan tidak menyebabkan
kematian bagi benih ikan karper yang
diujicobakan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan E. Liviawaty, 1992. Pengendalian
Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Anonim, 2010. Penyakit dan Parasit Ikan.
http://Artikel.dkp.go.id/penyakit_dan_parasit
ikankliping_dunia_ikan_dan_mancing.htm.
Diakses 28 Desember 2009.
Anshary, H., 2008a. Modul Pembelajaran Berbasis
Student Center Learning SCL) Mata Kuliah
Parasitologi Ikan. Universitas Hasanuddin.
Makasar.
Anshary, H., 2008b. Tingkat Infeksi Parasit Pada
Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio) pada
Beberapa Lokasi Budidaya Ikan Hias di
Makassar dan Gowa (Parasitic Infections of
Koi Carp Cultured in Makassar and Gowa).
J. Sains & Teknologi, pp. (2): 139 147.
Gilbert J.J. and Schroder, 2003. The ciliates epibiont
epistyles pygmaeum selection for zooplankton
host, reproduction and effect on two rotifers.
Freshw Biol 48:878-893.
Gusrina, 2008. Budidaya Ikan (Jilid 3). Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan,
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
78

Вам также может понравиться