Вы находитесь на странице: 1из 74

MAKALAH

KASUS LOG BOOK PENDIDIKAN KLINIK


ILMU PENYAKIT GIGI & MULUT

Disusun Oleh:
Afrizal Tri Heryadi
G99142074
Periode: 12 Oktober - 25 Oktober 2015
Pembimbing:
drg. Christianie Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
DAFTAR ISI

I. KELAINAN GENETIK DAN KONGENITAL


1. Anodontia..........................................................................................3
2. Impacted Teeth..................................................................................5
3. Malocclussion....................................................................................11
4. Micrognatia dan Macrognatia...........................................................14
5. Labial dan Palate Cleft......................................................................16
II. FOKUS INFEKSI
6. Debris................................................................................................21
7. Calculus.............................................................................................23
8. Plaque................................................................................................26
9. Dental Decay.....................................................................................33
10. Pulpitis...............................................................................................38
11. Periodontitis......................................................................................41
12. Gingivitis...........................................................................................45
13. Candidiasis oral.................................................................................47
14. Mouth Ulcer......................................................................................52
15. Glossitis.............................................................................................57
16. Parotitis..............................................................................................60
III.
KEGANASAN
17. Noncancerous Growth ...................................................................... 66
18. Leukoplakia....................................................................................... 67
19. Oral Squamous Cell Carcinoma ....................................................... 70
IV.
SISTEM KEKEBALAN RONGGA MULUT
20. Angina Ludwig..................................................................................75

KELAINAN GENETIK DAN KONGENITAL


1. ANODONTIA
a. Definisi
Anodontia adalah suatu keadaan di mana semua benih gigi tidak
terbentuk sama sekali, dan merupakan suatu kelainan yang sangat jarang
terjadi. Anodontia dapat terjadi hanya pada periode gigi tetap/permanen,
walaupun semua gigi sulung terbentuk dalam jumlah yang lengkap.
Anodontia atau anodontia vera (complete anodontia) merupakan
kelainan yang secara umum digambarkan dengan keadaan tidak
tumbuhnya semua gigi, dan sangat jarang terjadi dalam bentuk kelainan
tunggal tanpa abnormalitas lain. Kelainan lain yang jarang terjadi namun
lebih umum daripada anodontia vera adalah anodontia parsial yang terdiri
dari hipodontia dan oligodontia. (IDCR, 2011).
b. Gambar

Gambar 2. A: Hipodontia, B: Oligodontia, C: Anodontia,


D: Radiografik panoramic oligodontia.
c. Etiologi
Penyebab anodontia, baik complete maupun partial anodontia,
secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan
genetik. Kegagalan proliferasi sel basal gigi dari lamina dental dapat
disebabkan oleh infeksi (misal: rubella, osteomielitis), trauma, obatobatan (misal: thalidomide), kemoterapi atau radioterapi. Mutasi beberapa
gen, seperti Msx1 atau Pax9 diketahui menyebabkan tidak tumbuhnya
gigi permanen. Anodontia sering terlihat sebagai bagian gejala dari
sebuah sindroma, terutama yang melibatkan anomali ektodermal (seperti
sindroma ectodermal dysplasia). Agenesis gigi kemungkinan disebabkan
oleh defek beberapa gen, yang secara sendiri-sendiri atau bersamaan
menyebabkan munculnya gejala (Wu, 2007).
d. Klasifikasi
1. Hipodontia adalah keadaan dimana pada rahang tidak tumbuh 1-6
gigi.
2. Oligodontia adalah keadaan dimana lebih dari 6 gigi tidak tumbuh.
3. Anodontia adalah keadaan dimana semua gigi tidak tumbuh, dan lebih
sering mengenai gigi-gigi tetap dibandingkan gigi-gigi sulung.
Anodontia diklasifikasikan lagi menjadi :
a. Anodontia total adalah keadaan dimana pada rahang tidak ada
lagi gigi susu maupun gigi tetap.
b. Anodontia parsial adalah keadaan dimana pada rahang terdapat
satu atau lebih gigi yang tidak tumbuh dan lebih sering terjadi
pada gigi permanen daripada gigi susu. (Ramil, 2010).
e. Diagnosis
Diagnosis anodontia dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
radiografik panoramik untuk memastikan semua benih gigi memang
benar-benar tidak terbentuk. (Ramil, 2010).
f. Terapi

Terapi yang diberikan oleh dokter gigi adalah pembuatan dan


pemasangan gigi prostetik (Ramil, 2010).
2. IMPACTED TEETH
a. Definisi
Gigi impaksi atau gigi terpendam (impacted teeth) adalah gigi yang
tidak dapat erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang,
jaringan lunak atau kedua-duanya (Irfan, 2011).
b. Gambar

Gambar 3. Impacted teeth


c. Etiologi
Gigi impaksi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Berger,
penyebab gigi terpendam antara lain sebagai berikut:
1) Kausa Lokal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi
adalah:
a) Posisi gigi yang abnormal
b) Tekanan dari gigi tetangga pada gigi tersebut
c) Penebalan tulang yang mengelilingi gigi tersebut
d) Kekurangan tempat untuk gigi tersebut bererupsi
e) Persistensi gigi desidui (tidak mau tanggal)
f) Pencabutan prematur pada gigi
g) Inflamasi kronis penyebab penebalan mukosa di sekitar gigi
h) Penyakit yang menimbulkan nekrosis tulang karena inflamasi
atau abses
i) Perubahan-perubahan pada tulang karena penyakit eksantem
pada anak-anak.

2) Kausa Sistemik
Faktor umur dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi walaupun
tidak ada kausa lokal antara lain:
a) Kausa Prenatal, yaitu keturunan dan miscegenation.
b) Kausa Postnatal, yaitu ricketsia, anemi, syphilis congenital,
TBC, gangguan kelenjar endokrin, dan malnutrisi.
c) Kelainan
Pertumbuhan,
yaitu
Cleidocranialdysostosis,
oxycephali, progeria, achondroplasia, celah langit-langit.
(Paul, 2009)
d. Klasifikasi
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup
sederhana. Gigi impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar
ketiga terhadap gigi molar kedua. Posisi-posisi tersebut meliputi :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Vertical
Horizontal
Inverted
Mesioangular (miring ke mesial)
Distoangular (miring ke distal)
Bukoangular (miring ke bukal)
Linguoangular (miring ke lingual)
Posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusualposition

e. Diagnosis
Pemeriksaan Ekstra Oral
Pada pemeriksaan ekstra oral yang menjadi perhatian adalah:
1
2
3

Adanya pembengkakan.
Adanya pembesaran limfonodi (KGB).
Adanya parastesi.

Pemeriksaan Intra Oral


Pada pemeriksaan intra oral yang menjadi perhatian adalah:
1
2
3
4
5
6

Keadaan gigi, erupsi atau tidak.


Adanya karies, perikoronitis.
Adanya parastesi.
Warna mukosa bukal, labial dan gingival.
Adanya abses gingival.
Posisi gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga.
6

Ruang antara gigi dengan ramus (pada molar tiga mandibular) (Kidd,
1992).
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan

radiologis panoramik.
f. Terapi
Secara umum sebaiknya gigi impaksi dicabut baik itu untuk gigi
molar tiga, caninus, premolar, incisivus. Pencabutan gigi yang impaksi
dengan pembedahan disebut odontektomi. Indikasi pencabutan gigi
impaksi antara lain untuk mencegah terjadinya infeksi, mencegah
perluasan kerusakan oleh gigi impaksi, adanya penyimpangan panjang
lengkung rahang dan membantu mempertahankan stabilisasi hasil
perawatan ortodonsi, dan untuk kepentingan prostetik dan restoratif (Elih
dan Salim, 2008).
Kontraindikasi pencabutan gigi impaksi pasien dengan usia
sangat ekstrim, misalnya telalu muda atau lansia; compromised medical
status; kerusakan yang luas dan berdekatan dengan struktur yang lain;
pasien tidak menghendaki giginya dicabut; apabila tulang yang menutupi
gigi yang impaksi sangat termineralisasi dan padat; apabila kemampuan
pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu oleh kondisi
fisik atau mental tertentu (Elih dan Salim, 2008).
3. MALOCCLUSSION
a. Definisi
Malocclussion

(maloklusi)

adalah

bentuk

oklusi

yang

menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal.


Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling
bertemu ketika menggigit atau mengunyah. (Susanto, 2009).
b. Gambar

Gambar 4. Oklusi normal

Gambar 5. Maloklusi
c. Etiologi
Etiologi maloklusi dibagi atas dua golongan yaitu faktor luar atau
faktor umum dan faktor dalam atau faktor lokal. Hal yang termasuk
faktor luar yaitu herediter, kelainan kongenital, perkembangan atau
pertumbuhan yang salah pada masa prenatal dan posnatal, malnutrisi,
kebiasaan jelek, sikap tubuh, trauma, dan penyakit-penyakit dan keadaan
metabolik yang menyebabkan adanya predisposisi ke arah maloklusi
seperti ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolis,
penyakit-penyakit infeksi (Susanto, 2009).
Hal yang termasuk faktor dalam adalah anomali jumlah gigi
seperti adanya gigi berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya
gigi (anodontis), anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum
labii yang abnormal, kehilangan dini gigi desidui, persistensi gigi
desidui, jalan erupsi abnormal, ankylosis dan karies gigi (Susanto, 2009).
d. Klasifikasi
Menurut Angle, maloklusi digolongkan dalam 3 jenis, yaitu:
1) Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan
rahang bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya
mengalami penyimpangan.
2) Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan
rahang bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada
gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang.
3) Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot,
sehingga timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah.

Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam 3 kelas, antara


lain:
1) Kelas I Angle
a) Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1
bawah
b) Neutroklusi
2) Kelas II Angle
a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi
kelas 1
b) Telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke distal: Distoklusi
d) Dibagi dalam 2 divisi, yaitu :

Tabel 1. Pembagian Divisi Kelas II Angle


3) Kelas III Angle
a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi
klas 1
b) Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke mesial: Mesioklusi

Gambar 6. Klasifikasi Maloklusi menurut Angel


(Gallois, 2006)
e. Diagnosis
Tanda yang dapat ditemukan pada pasien maloklusi yaitu:
kelengkungan gigi yang abnormal, kesulitan atau merasa tidak nyaman
ketika menggigit dan mengunyah makanan, susah berbicara/ pengucapan
yang ganjil, dan bernafas lewat mulut karena bibir yang sulit menutup
(Gallois, 2006).
Biasanya kelainan oklusi ditemukan saat pemeriksaan rutin gigi.
Dokter gigi akan mengecek seberapa keadaan oklusi dari gigi atas dan
bawah. Bila ditemukan kelainan, akan dirujuk kepada ahli orthodonti
untuk mendiagnosis dan menatalaksana. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan adalah radiografik gigi, kepala, dan wajah (Gallois, 2006).
f. Terapi
Alat cekat gigi, lazim disebut kawat gigi, dapat digunakan untuk
mengoreksi posisi gigi. Jangka waktu penggunaan alat cekat bervariasi,
dari 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada keparahan kasus.
Pembedahan dilakukan pada kasus yang jarang, terutama untuk
memperbaiki posisi rahang, proses ini disebut bedah orthognatik (Ruslin,
2011).
Penting untuk menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut setiap
hari serta kontrol rutin ke dokter gigi. Plaque dapat terakumulasi pada
alat cekat sehingga meninggalkan tanda permanen di gigi dan pada
akhirnya menyebabkan kerusakan gigi bila tidak ditangani. Setelah posisi

10

gigi terkoreksi, alat cekat digantikan retainer untuk mempertahankan


posisi gigi yang baru (Ruslin, 2011).
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat cekat adalah
kerusakan gigi, ketidaknyamanan saat perawatan, iritasi mulut dan gusi
karena alat cekat, dan susah menelan atau berbicara selama penggunaan
alat cekat (Ruslin, 2011).
4. MICROGNATIA DAN MACROGNATIA
a. Definisi
Micrognatia merupakan istilah untuk menyebut rahang yang lebih
kecil dari ukuran normal. Dalam kasus ini baik maksila maupun
mandibula dapat terkena. Biasanya ditemukan bersamaan dengan
microglossi (lidah kecil). Jika micrognathia, microglossi dan celah pada
pallatum molle terjadi bersamaan disebut Sindroma Pierre Robin. Secara
garis besar, micrognathia dibagi menjadi: (1) Apparent micrognathia; (2)
True micrognathia (Patel, 2009).
Istilah macrognatia mengarah pada kondisi di mana ukuran
rahang lebih dari normal. Macrognathia juga disebut dengan megagnitia.
Macrognathia mengalami gambaran klinis yaitu dagu berkembang lebih
besar. Sebagian besar macrognatia tidak menyebabkan terjadinya
maloklusi (Patel, 2009).

b. Gambar

B
Gambar 7. A: Micrognatia, B: Macrognatia

11

c. Etiologi
Penyebab micronagtia dapat terjadi secara kongenital dan
acquired.

Micronagtia

kongenital

berhubungan

dengan

kelainan

kromosom, obat teratogenik dan genetic syndrome antara lain Pierre


Robin syndrome, Hallerman-Streiff syndrome, trisomy 13, trisomy 18,
progeria, Teacher-Collins syndrome, Turner syndrome, Smith-LemliOpitz syndrome, Russel-Silver syndrome, Seckel syndrome, Cri du cat
syndrome, dan Marfan syndrome. Micrognatia acquired disebabkan
trauma atau infeksi yang menimbulkan gangguan pada sendi rahang,
dijumpai pada penderita ankilosis yang terjadi pada anak-anak
(Morokumo, 2010).
Etiologi

macronagtia

berhubungan

dengan

perkembangan

protuberentia yang berlebih yang dapat bersifat kongenital dan dapat pula
bersifat dapatan melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan
dengan macronagtia adalah Gigantisme pituitary, pagets disease, dan
akromegali (Morokumo, 2010).
d. Klasifikasi
Micronagthia dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Micronagthia sejati (true micrognathia), adalah keadaan di mana
rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia rahang.
2. Micronagthia palsu (apparent micrognathia), adalah keadaan jika
terlihat salah satu posisi rahang terletak lebih ke posterior atau
hubungan abnormal maksila dan mandibula.
(Patel, 2009)
e. Diagnosis
Biasanya penderita micronagtia dan macronagtia mengalami
masalah estetika, oklusi, pernapasan, dan pemberian makan pada bayi
(Santoso, 2009).
f. Terapi
Terapi yang direkomendasikan yakni operasi orthognathic untuk
memperluas atau mengecilkan maksila dan mandibula. (Santoso, 2009).

12

5. LABIAL DAN PALATE CLEFT


a. Definisi
Bibir sumbing (labial cleft) adalah kelainan berupa celah pada
bibir atas yang didapatkan seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada
bagian langit-langit rongga mulut (palate), maka kelainan ini disebut
cleft palate. Pada cleft palate, celah akan menghubungkan langit-langit
rongga mulut dengan rongga hidung. Sekitar 98,8% dari facial cleft
didominasi oleh labial cleft dengan atau tanpa palatecleft, bilateral
maupun unilateral. Sekitar 50-70% kasus labial dan palatal cleft berdiri
sendiri tanpa ada sindrom penyerta (Naidich, 2003).

Gambar 10. Labial dan palatal cleft dibandingkan dengan kondisi


normal.
b. Etiologi
Secara garis besar, penyebab labial dan palatal cleft dibagi
menjadi dua, genetik dan lingkungan. Resiko seorang anak terkena labial
dan palatal cleft sekitar 4% jika salah satu orang tua atau salah satu
saudara juga menderita labial dan palatal cleft. Namun resiko ini
meningkat menjadi 17% apabila keduanya (salah satu orang tua dan salah
satu saudara) terkena. Peningkatan risiko tersebut mengindikasikan
adanya faktor genetik sebagai salah satu komponen etiologi (CCA,
2009).
13

Faktor lingkungan di dalam kandungan juga berperan penting


pada kejadian labial dan palatal cleft. Defisiensi suplemen gizi maupun
paparan zat teratogenik dapat meningkatkan kejadian labial dan palatal
cleft. Suplementasi gizi dengan vitamin B6 dan asam folat selama
trimester pertama kehamilan terbukti menurunkan resiko terjadinya
rekurensi pada wanita yang sebelumnya melahirkan anak dengan labial
dan palatal cleft. Teratogen yang dihubungkan dengan kejadian ini
termasuk kortison, antikonvulsan seperti fenitoin, salisilat, aminopterin,
organik solvents, alkohol, merokok, diabetes melitus maternal, rubela,
dan usia dari orang tua. Merokok selama kehamilan merupakan faktor
resiko yang paling jelas pada kejadian labial dan palatal cleft. Merokok
dapat menyebabkan polimorfisme gen TGF-alfa yang kemudian dapat
meningkatkan resiko kejadian palatal cleft. Secara statistik, ditemukan
peningkatan signifikan dari laktat dehidrogenase dan kreatin fosfokinase
pada cairan amnion fetus dengan labial/palatal cleft (CCA, 2009).
c. Diagnosis
Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau
langit-langit rongga mulut. Bayi dengan cleftlip dapat mengalami
kesulitan saat menghisap ASI karena sulitnya melakukan gerakan
menghisap. Kesulitan ini dapat diatasi dengan penggunaan botol khusus
yang direkomendasikan oleh dokter gigi spesialis gigi anak dan dokter
spesialis anak, tentunya disesuaikan dengan tingkat keparahan kasus cleft
palate juga dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Besarnya cleft
bukan indikator seberapa serius gangguan dalam berbicara, bahkan cleft
yang kecil pun dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Anak
dapat memperbaiki kesulitannya dalam berbicara setelah menjalani terapi
bicara, walaupun kadang tindakan operasi tetap diperlukan untuk
memperbaiki fungsi langit-langit rongga mulut (Naidich, 2003).
Anak

dengan

cleft

kadang

memiliki

gangguan

dalam

pendengaran. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang


mengenai tuba Eustachia (saluran yang menghubungkan telinga dengan

14

rongga mulut). Semua telinga anak normal memproduksi cairan telinga


yang kental dan lengket. Cairan ini dapat menumpuk di belakang
gendang telinga. Adanya cleft dapat meningkatkan kemungkinan
terbentuknya cairan telinga ini, sehingga menyebabkan gangguan atau
bahkan kehilangan pendengaran sementara. Biasanya cleftpalate dapat
mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang
dari gigi-geliginya. Susunannya dapat menjadi berjejal karena kurang
berkembangnya rahang (Naidich, 2003)
d. Gambar

Gambar 11. Labioschisis

Palatoschisis

Labiopalatoschisis

e. Terapi
Tindakan bedah plastik dilakukan pada bayi kondisi baik.
Pembedahan biasanya dilakukan ketika anak berumur sekitar 3 bulan.
Tujuan operasi plastik ini adalah:
1) Memulihkan struktur anatomi.
2) Mengoreksi cacat.
3) Menormalkan fungsi menelan, napas, bicara.
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh tim labiopalatoschizis yang terdiri dari spesialistik bedah maksilofasial, terapis
bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikolog, dan perawat spesialis.
Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah
melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk
keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai,
fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf
tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak

15

bermanfaat. Adapun operasi yang

bisa dilakukan untuk kasus

labiopalatoschizis adalah:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Chieloraphy/ labioplasti
Palatoraphy
Speech Theraphy
Pharyngoplasty
Perawatan Orthodontis
Alveolar Bone Graft
Le Fort I Osteotomy

: 3 bulan
: 10-12 bulan
: 4 tahun
: 5-6 tahun
: 8-9 tahun
: 9-10 tahun
:17-18 tahun

Operasi palatoraphy dilakukan pada usia 10 18 bulan agar


speech therapy bisa dikerjakan seawal mungkin. Bila speech teraphy
dikerjakan sejak awal maka hasilnya akan lebih baik oleh karena bila
pengucapan salah bisa dibetulkan sejak awal.
Problem utama yang dihadapi pasien dengan palatoschizis adalah
suara sengau akibat tidak berfungsinya otot di palatum mole. Tujuan
utama operasi palatoraphy adalah mengembalikan fungsi otot-otot
tersebut agar dapat mengatur rongga mulut dalam mekanisme pengaturan
suara. Oleh karena penyembuhan luka operasi memerlukan waktu sekitar
9-12 bulan, maka idealnya speech therapy dimulai 1 tahun pasca operasi
langit-langit.
Apabila sampai usia 5 tahun suara anak tersebut belum baik, maka
perlu dilakukan pemeriksaan fungsi otot-otot palatum dan pharynx.
Pemeriksaan ini dilakukan memakai alat endoscopy, dan disebut
nasendoscopy. Penderita diperiksa dalam keadaan sadar posisi duduk.
Alat endoscopy dimasukkan melalui hidung yang telah dianestesi
memakai salep cocain sampai diatas pharynx. Kemudian pasien diminta
mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan huruf-huruf : s, sh, p,
t, b, th, d, g, k, r. Bila terdapat bubble berarti terdapat kebocoran udara
yang mengakibatkan suara yang keluar tidak sempurna. Kondisi ini
disebut dengan Velopharingeal Incompetence (VPI).
Pasien dengan kondisi VPI dapat diatasi dengan cara operasi ulang
palatoraphy

(re-palatoraphy)

atau

dengan

pharyngoplasty,

yaitu

16

mempersempit pharyng agar pada waktu pasien bicara tidak terjadi


kebocoran udara sehingga suara yang dihasilkan menjadi sempurna.

FOKUS INFEKSI
6. DEBRIS
a. Definisi
Oral debris adalah lapisan lunak yang terdapat di atas permukaan
gigi yang terdiri atas mucin, bakteri dan sisa makanan yang putih kehijauhijauan dan jingga. Namun, debris lebih banyak mengandung sisa
makanan (Findya, 2010). Debris dibedakan menjadi food retention (sisa
makanan yang mudah dibersihkan dengan air liur, pergerakan otot-otot
mulut, berkumur, atau dengan menyikat gigi) dan food impaction
(makanan yang terselip dan tertekan di antara gigi dan gusi, biasanya
hanya dapat dibersihkan dengan dental floss/benang gigi atau tusuk gigi)
(Toothclub, 2011).
b. Gambar

Gambar 12. Oral Debris


c. Kriteria Perhitungan Debris Index (DI)
Debris Index (DI) adalah skor dari endapan lunak yang terjadi karena
adanya sisa makanan yang melekat pada gigi penentu. Gigi penentu
tersebut adalah:
Rahang atas : Gigi 6 kanan kiri permukaan bukal
Gigi 1 kanan permukaan lingual
Rahang bawah : Gigi 6 kanan kiri permukaan lingual
Gigi 1 kiri permukaan labial
(Nurhayani, 2004)

17

Kriteria
Nilai
Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris 0
lunak dan tidak ada pewarnaan ekstrinsik
a. Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris 1
lunak yang menutupi permukaan gigi
seluas < 1/3 permukaan
b. Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada
debris lunak, akan tetapi ada pewarnaan
ektsrinsik yang menutupi permukaan gigi
sebagian atau seluruhnya
Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak 2
yang menutupi permukaan tersebut, seluas
> 1/3 gigi tetapi < 2/3 permukaan gigi
Pada pemukaan gigi yang terlihat, ada debris yang 3
menutupi permukaan tersebut seluas > 2/3
permukaan atau seluruh permukaan gigi
Tabel 2. Kriteria pemeriksaan Debris Index (DI) menurut Depkes RI 1999

Gambar 13. Debris Index


Menghitung debris Indeks (DI)
Jumlah nilai debris
DI = jumlah gigi yang diperiksa

Kriteria DI adalah sebagai berikut :


1) 0,0-0,6
= Baik
2) 0,7-1,8
= Sedang
3) 1,9-3,0
= Buruk
d.
Terapi dan Pencegahan
Penatalaksaan dan pencegahan debris yakni menjaga kebersihan
gigi. Ada berbagai alat untuk membersihkan gigi. Alat yang utama yaitu
18

sikat gigi. Alat bantu pembersih gigi selain sikat gigi adalah benang gigi
(dental floss). Dental floss merupakan benang yang terbuat dari silk atau
nilon dan dipergunakan untuk membersihkan bagian gigi yang terletak di
bawah kontak dua gigi (Nurhayani, 2004).
7. CALCULUS
a. Definisi
Calculus adalah material keras dari garam inorganik yang terdiri dari
kalsium

karbonat

dan

fosfat

yang

bercampur

dengan

debris,

mikroorganisme, dan sel epitel yang telah terdeskuamasi (Lelyati, 1996).


b. Gambar
Gambar 14. Calculus

c. Etiologi dan Patogenesis


Bakteri aktif penyebab karang gigi yaitu Streptococcus dan
anaerob yang mengubah glukosa dan karbohidrat pada makanan menjadi
asam. Kombinasi bakteri, asam, sisa makanan dan air liur dalam mulut
membentuk suatu subtansi berwarna kekuningan yang melekat pada
permukaan gigi yang disebut plaque. Karang gigi (calculus) adalah
plaque yang telah mengalami pengerasan, kalsifikasi atau remineralisasi8.
Penurunan aliran air liur adalah salah satu hal yang mempercepat
pembentukan karang gigi, terutama jika penyikatan gigi tidak optimal.
Air liur sangat berperan untuk self-cleaning, dengan adanya air liur, sisa
makanan dan plaque yang terdapat di permukaan gigi akan terbilas
secara mekanis namun hanya efektif pada daerah 2/3 mahkota gigi dan
tidak pada daerah leher gigi. Oleh karena itu karang gigi paling banyak
terbentuk di daerah leher gigi yaitu daerah mahkota gigi yang berbatasan
dengan gusi, yang terlihat sebagai garis kekuningan atau kecoklatan
(Mozartha, 2013).
19

Karang gigi sendiri tidak berbahaya, tetapi memiliki permukaan


yang sangat kasar di mana bakteri dapat dengan mudah melekat di
permukaannya. Permukaan kasar ini menjadi tempat koloni bakteri yang
menyebabkan

berbagai

masalah,

seperti

radang

gusi

(gingivitis/periodontitis), kerusakan gigi (caries) dan bau mulut


(halitosis). Karang gigi juga merupakan masalah kosmetik karena
membuat gigi berwarna kuning atau coklat. Karang gigi lebih berporipori daripada enamel sehingga mudah berubah warna (MK, 2010).
d. Pemeriksaan
Kriteria perhitungan Calculus Index (CI) sebagai berikut:
1) Nilai 0, jika tidak terdapat calculus
2) Nilai 1, jika terdapat calculus supraginggiva pada sepertiga
permukaan gigi.
3) Nilai 2, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari sepertiga
tetapi tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat titik
calculus subginggiva pada cervical gigi.
4) Nilai 3, jika terdapat kalkulus supraginggiva lebih dari dua pertiga
permukaan gigi atau terdapat calculus subginggiva disepanjang
cervical gigi.

Gambar 15. Calculus Index


Menghitung CalculusIndeks (CI)
Jumlah nilai calculus
CI = jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria CI adalah sebagai berikut:
1) 0,0-0,6
= Baik
2) 0,7-1,8
= Sedang
3) 1,9-3,0
= Buruk

20

Skor

indeks

oral

higiene

individu

diperoleh

dengan

menjumlahkan nilai indeks debris (DI-S) dan indeks kalkulus (CI-S),


dengan interval OHI-S:
1)
2)
3)
4)

Sangat baik
= 0;
Baik
= 0,1-1,2;
Sedang
= 1,3-3,0;
Buruk
= 3,1-6,0.
(Findya, 2010)
e. Terapi
Untuk menghilangkan dental plaque dan calculus perlu dilakukan
scaling

atau

rootplaning,

yang

merupakan

terapi

periodontal

konvensional atau non-surgikal. Terapi ini selain mencegah inflamasi


juga membantu periodontium bebas dari penyakit. Prosedur scaling
menghilangkan plaque, calculus, dan noda dari permukaan gigi maupun
akarnya. Prosedur lain adalah rootplaning, terapi khusus yang
menghilangkan cementum dan permukaan dentin yang ditumbuhi
calculus, mikroorganisme, serta racun-racunnya. Scalling dan root
planning digolongkan sebagai deep cleaning, dan dilakukan dengan
peralatan khusus seperti alat ultrasonik, periodontal scaler dan kuret
(Findya, 2010).

8. PLAQUE
a. Definisi
Plaque adalah lendir yang melekat pada permukaan gigi
(Machfoedz, 2006). Plaque gigi adalah suatu lapisan yang terdiri atas
kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan (Pintauli, 2008).
Plaque gigi adalah lapisan lunak atau keras yang terdiri dari
kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak diatas suatu matriks
yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak
dibersihkan dan sukar dilihat. Ada tiga komposisi plaque dental yaitu:
1) Mikroorganisme
2) Matriks interseluler yang terdiri dari komponen organik dan
anorganik
3) Protein
21

(Rifki, 2010).
b. Gambar

Gambar 16. Plaque


c. Etiologi
Plaque merupakan

kumpulan

dari

koloni

bakteri

dan

mikroorganisme lainnya yang bercampur dengan produk-produknya, selsel mati dan sisa makanan. Metabolisme anaerob menghasilkan asam
yang menyebabkan:
1) Demineralisasi permukaan gigi
2) Iritasi gusi di sekitar gigi menyebabkan ginggivitis (merah, bengkak,
gusi berdarah)
3) Plaque gigi dapat termineralisasi dan membentuk calculus.
d. Komposisi Plaque
Komposisi

utama

plaque

dental

adalah

mikroorganisme.

Diperkirakan lebih dari 325 spesies bakteri dijumpai di dalam plaque.


Mikroorganisme non-bakteri yang dijumpai dalam plaque adalah spesies
Mycoplasma, ragi, protozoa dan virus. Mikroorganisme tersebut terdapat
di antara matriks interseluler yang juga mengandung sedikit sel jaringan
seperti sel-sel epitel, makrofag, dan leukosit (Walton dan Torabinejad,
1998).
Matriks interseluler plaque mengandung 20% 30% massa
plaque, terdiri dari bahan organik dan anorganik yang berasal dari saliva,
cairan sulkular, dan produk bakteri. Bahan organiknya mencakup
polisakarida, protein, glikoprotein, dan lemak. Glikoprotein saliva adalah
komponen penting dari pelikel yang pertama-tama membalut permukaan
gigi yang tadinya bersih, di samping terlibat dalam pembentukan biofilm
plaque. Polisakarida yang diproduksi oleh bakteri terdiri dari dekstran
(paling dominan) dan albumin (diduga berasal dari cairan sulkular).

22

Bahan lemaknya terdiri dari debris membran bakteri yang hancur dan selsel pejamu, serta kemungkinan pula debris makanan (Walton dan
Torabinejad, 1998).
Komponen anorganik plaque yang paling utama adalah kalsium
dan fosfor, sejumlah kecil mineral lain seperti natrium, kalium, dan fluor.
Sumber bahan anorganik plaque supragingival adalah saliva. Sebaliknya
komponen anorganik plaque subgingival berasal dari cairan sulkular
yang merupakan transudat (Walton dan Torabinejad, 1998).
Matriks interseluler membentuk gel terhidrasi di mana bakteri
berada dan berproliferasi. Matriks yang seperti gel tersebut merupakan
ciri utama dari biofilm. Matriks akan memberikan sifat yang khas bagi
bakteri yang berada dalam biofilm, yang berada dengan bakteri yang
terapung bebas (tidak melekat). Di samping itu, matriks diduga
melindungi bakteri penghuni tetap (resident bacteria) dari substansi yang
dapat

merusaknya

seperti

bahan

antimikroba,

dengan

jalan

menghalanginya berdifusi untuk mencapai sel-sel bakteri (Dalimunthe,


2008).
e. Mekanisme Pembentukan Plaque
Penumpukan plaque sudah dapat terlihat dalam 1-2 hari setelah
seseorang tidak melakukan prosedur hygiene oral. Plaque tampak
sebagai massa globular berwarna putih, keabu-abuan atau kuning.
Gesekan jaringan dan bahan makanan terhadap permukaan gigi akan
membersihkan permukaan gigi, namun pembersihan yang demikian
hanya efektif pada dua pertiga koronal permukaan gigi. Dengan demikian
plaque umumnya dijumpai pada sepertiga gingival permukaan gigi,
karena pada daerah tersebut tidak terganggu oleh gesekan makanan
maupun jaringan. Penumpukan plaque lebih sering terjadi pada retakan,
pit dan fissure pada permukaan gigi dan sekitar gigi yang erupsinya tidak
teratur (Widyanti 2005).
Lokasi dan laju pembentukan plaque adalah bervariasi diantara
individu. Faktor yang mempengaruhi laju pembentukan plaque adalah

23

hygiene oral, serta faktor-faktor pejamu seperti diet dan komposisi serta
laju aliran saliva. Proses pembentukan plaque dapat dibagi atas:
1) Pembentukan Pelikel Dental
Pembentukan

pelikel

dental

pada

permukaan

gigi

merupakan fase awal dari pembentukan plaque. Pada tahap awal ini
permukaan gigi atau restorasi (cekat maupun lepasan) akan dibalut
oleh pelikel glikoprotein. Pelikel tersebut berasal dari saliva dan
cairan sulkular, begitu juga dari produk sel bakteri, pejamu dan
debris.
2) Kolonisasi Awal Pada Permukaan Gigi
Dalam waktu beberapa jam bakteri akan dijumpai pada
pelikel dental. Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan
gigi yang dibalut pelikel adalah didominasi oleh mikroorganisme
mikroorganisme fakultatif gram positif, seperti Actinomyces
Viscosus dan Streptokokus Sanguis. Pengkoloni awal tersebut
melekat ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu molekul spesifik
yang berada pada permukaan bakteri. Adhesin akan berinteraksi
dengan reseptor pada pelikel dental.
Massa plaque kemudian mengalami pematangan bersamaan
dengan pertumbuhan bakteri yang telah melekat, maupun kolonisasi
dan pertumbuhan spesies lainnya. Dalam perkembangannya terjadi
perubahan ekologis pada biofilm, yaitu peralihan dari lingkungan
awal yang aerob dengan spesies bakteri fakultatif gram positif
menjadi lingkungan yang sangat miskin oksigen. Dimana yang
dominan adalah mikroorganisme anaerob gram negatif.
3) Kolonisasi Sekunder dan Pematangan Plaque
Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak
turut sebagai pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih,
diantaranya Prevotella intermedia, Prevotella Loescheii, Spesies
Capnocytophaga, Fusobacterium Nucleatum, dan Porphyromonas
Gingivalis.

24

Mikroorganisme tersebut melekat ke sel bakteri yang telah


berada dalam massa plaque. Proses perlekatannya adalah berupa
interaksi stereokhemikal yang sangat spesifik dari molekul-molekul
protein dan karbohidrat yang berada pada permukaan sel bakteri, dan
interaksi yang kurang spesifik yang berasal dari tekanan hidrofobik,
tekanan elektrostatik, dan tekanan van der waals. Interaksi yang
menimbulkan perlekatan bakteri pengkoloni sekunder ke bakteri
pengkoloni awal dinamakan koagregasi. Koagregasi pengkoloni
sekunder ke pengkoloni awal terjadi antara Fusobacterium
Nucleatum dengan Streptokokus Sanguis, Provotella Loescheii
dengan Actinomyces Viscosus, dan Capnocytophaga Ochracea
dengan Actinomyces Viscosus. Pada stadium akhir pembentukan
plaque, yang dominan adalah koagregasi di antara spesies gram
negatif, misalnya koagregasi Fusobacterium Nucleatum dengan
Porphyromonas (Widyanti, 2005).
f. Indeks Plaque
Index plaque adalah metode pengukuran luasnya keberadaan
plaque. Indeks plaque dikeluarkan oleh Loe dan Silness pada tahun 1964.
Indeks ini diindikasikan untuk mengukur skor plaque berdasarkan lokasi
dan kuantitas plaque yang berada dekat margin gingiva.
Menurut Debnath, indeks ini dapat dikeluarkan

dengan

menggunakan larutan pewarna yang dioleskan ke seluruh permukaan gigi


dan kemudian diperiksa. Setiap gigi diperiksa empat permukaan yaitu
permukaan yaitu permukaan mesial, distal, lingual dan palatinal.
Kemudian skornya dihitung. Cara pemberian skor untuk indeks plaque:
0 = tidak ada plaque pada gingival
1 = dijumpai lapisan tipis plaque yang melekat pada margin gingiva di
daerah yang berbatasan dengan gigi tetangga
2 = dijumpai tumpukan sedang plaque pada saku gingiva dan pada
margin gingiva dan atau pada permukaan gigi tetangga yang dapat dilihat
langsung
3 = terdapat deposit lunak yang banyak pada saku gingiva dan atau pada
margin dan permukaan gigi tetangga.
25

Gambar 17. Indeks plaque


Cara penghitungan skor:
jumlah seluruh skor dari empat permukaan
Untuk satu gigi = 4
jumlah skor indeks plaque
Untuk keseluruhan gigi = jumlah gigi yang ada
Penilaian secara umum tentang indeks plaque24:
1) Berkisar 0 1 dikategorikan baik
2) Berkisar 1,1 2 dikategorikan sedang
3) Berkisar 2,1 3 dikategorikan buruk
g. Diagnosis
Plaque gigi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan pada gigi.
Perwarna yang digunakan juga khusus dikenal dengan nama disclosing
agent. Bahan pewarna (disclosing material) yang biasa digunakan adalah
iodine, mercurochrome, bahan pewarna makanan seperti gincu kue
berwarna merah dan bismarck brown. Ada juga larutan fuschin dan
eritrosin,

tapi

tidak

dianjurkan

lagi

karena

terbukti

bersifat

karsinogenik31. Bahan pewarna ada yang berbentuk cairan dan tablet.


Untuk bahan pewarna cairan, cairan pewarna diteteskan beberapa tetes ke
kapas yang dibulatkan, lalu dioleskan pada seluruh permukaan gigi,
kemudian kumur dengan air atau cairan pewarna dibiarkan di dalam
mulut selama 15-30 detik baru dibuang. Sedangkan penggunaan bahan
pewarna tablet, tablet dikunyah dan kemudian biarkan bercampur dengan
saliva dan biarkan saliva di dalam mulut sekitar 30 detik baru dibuang
(Anggraeni, 2007)

26

Debris
Merupakan

Plaque
dari Merupakan kumpulan dari koloni

kumpulan

materi

lunak

yang

terdiri

dari

sisa

mikroorganisme lainnya

(food

yang bercampur dengan

makanan
retension)

dan

makanan
terselip

bakteri

dan

produk-produknya,

sel-

yang

sel

sisa

(food

makanan

mati

dan

impaction)
Terdiri dari biofilm, materi alba, Terdiri dari biofilm bakteri, sel
dan sisa makanan

epitel,

leukosit,

makrofag,

matriks

ekstraseluler
Terdapat debris

serta

komponen anorganik
pada sonde Terasa tahanan pada penggesekan

(debris

terangkat

dengan sonde tapi plaque

dengan penggesekan

tidak terangkat dengan

sonde)
sonde
Tabel 3. Perbedaan Antara Debris dan Plaque
h. Terapi
Cara terbaik untuk menghilangkan plaque adalah dengan
menyikat gigi (terutama di malam hari dan pagi hari), dengan
pembersihan interdental oleh benang gigi, tusuk gigi atau sikat antar gigi.
Lebih ideal jika menggunakan bantuan disclosing agent untuk melihat
apakah penyikatan gigi yang dilakukan sudah benar-benar sempurna.
Gigi yang terbebas dari plaque ditandai dengan tidak adanya pewarnaan
oleh disclosing

pada gigi.

Selain

itu

perabaan

dengan lidah

mengidentifikasikan dalam bentuk gigi terasa kesat, bukan licin. Jika


masih terasa licin maka masih terdapat plaque (Anggraeni, 2007).

27

9. DENTAL DECAY
a. Definisi
Dental decay atau karies berasal dari bahasa Latin yaitu caries
yang artinya kebusukan. Karies gigi adalah suatu proses kronis regresif
yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya
keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh
pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi
komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas (Minata,
2011).
b. Gambar

Gambar 18. Dental decay

c. Etiologi
Karies gigi disebabkan oleh 4 faktor/komponen yang saling
berinteraksi yaitu:
1) Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi: komposisi
gigi, morfologi gigi, posisi gigi, pH saliva, kuantitas saliva,
kekentalan saliva.
2) Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu
menghasilkan

asam

melalui

peragian

yaitu:

Streptococcus,

Lactobasillus. Bakteri tersebut meyebabkan terjadinya karies karena


mempunyai kemampuan untuk :
a. Membentuk asam dari substrat (asidogenik).
b. Menghasilkan kondisi dengan pH rendah (<5).
c. Bertahan hidup dan memproduksi asam terus menerus pada
kondisi dengan pH yang rendah (asidurik).

28

d. Melekat pada permukaan licin gigi.


e. Menghasilkan polisakarida tak larut dalam saliva dan cairan dari
makanan guna membentuk plak
3) Komponen makanan, yang sangat berperan adalah makanan yang
mengandung karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat
diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam.
4) Komponen waktu: kemampuan saliva untuk meremineralisasi
selama proses karies, menandakan bahwa roses tersebut terdiri atas
periode perusakan dan perbaikan yang silih berganti, sehingga bila
saliva berada dalam lingkungan gigi, maka karies tidak akan
menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan
dalam hitungan bulan.
(Kidd, 1992)

d. Patogenesis
Enamel adalah jaringan keras yang kaya akan mineral. Karies
dapat terjadi pada enamel melalui proses kimiawi yaitu lingkungan asam
yang diproduksi oleh bakteri. Gula akan dicerna oleh bakteri dan energy
yang dihasilkan akan dipakai bakteri untuk memproduksi asam laktat.
Asam laktat akan menyebabkan demineralisasi kristal hidroksiapatit
pembentuk enamel. Karies enamel yang tidak ditangani dapat
berkembang menjadi karies dentin (Tarigan, 2010).
Dentin terdiri dari saluran-saluran mikroskopis (tubula dentin)
yang menghubungkan pulpadengan enamel. Bentukan tubula dentin
inilah yang menyebabkan karies dentin berkembang lebih cepat. Ketika

29

ada infeksi bakteri, dentin menghasilkan immunoglobulin sebagai


mekanisme pertahanan. Sementara itu juga terjadi peningkatan
mineralisasi di dentin.Kedua keadaan ini menyebabkan konstriksi tubula
dentin sehingga penyebaran bakteri terhalang. Bila demineralisasi terus
berlangsung, karies dapat berkembang ke profunda dan mencapai rongga
pulpa (Tarigan, 2010).
e. Klasifikasi
Karies gigi bisa diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan kedalamannya.
1) Karies berdasarkan lokasi permukaan kunyah dapat dibagi :
a) Karies oklusal
b) Karies labial
c) Karies bukal
d) Karies palatal/lingual
e) Karies proksimal
f) Karies kombinasi (mengenai semua permukaan)
2) Pembagian lain dari karies berdasarkan lokasi:
a) Karies yang ditemukan di permukaan halus
Ada tiga macam karies permukaan halus:
i)

Karies proksimal adalah tipe yang paling sulit dideteksi;


tidak dapat dideteksi secara visual atau manual dengan
sebuah explorer gigi; memerlukan pemeriksaan radiografi.

Gambar 20. Titik hitam pada batas gigi menunjukkan sebuah karies
proksimal
ii)

Karies akar adalah tipe karies yang sering terjadi;


terbentuk ketika permukaan akar telah terbuka karena
resesi gusi. Bila gusi sehat, karies ini tidak akan
berkembang karena tidak dapat terpapar oleh plaque
bakteri. Permukaan akar lebih rentan terkena proses
demineralisasi daripada enamel atau email karena

30

sementumnya demineralisasi pada pH 6.7, di mana lebih


tinggi dari enamel. Gigi geraham atas adalah lokasi
tersering dari karies akar.
iii)
Karies celah atau fisura.
b) Karies berdasarkan kedalamannya
i)
Karies superficial, karies yang hanya mengenai email.
ii)
Karies media, mengenai email dan telah mencapai
iii)

setengah dentin
Karies profunda, mengenai lebih dari setengah dentin dan

bahkan menembus pulpa.


f. Diagnosis
1) Karies dini/karies email tanpa cavitas yaitu karies yang pertama
terlihat secara klinis, berupa bercak putih setempat pada email.
Anamnesis

: terdapat bintik putih pada gigi

Pemeriksaan Objektif : ekstra oral tidak ada kelainan


Intra oral

: kavitas (-) , lesi putih (+)

Terapi

: pembersihan gigi, diulas dengan flour,


edukasi pasien/ Dental Health Education

2) Karies dini/karies email dengan kavitas yaitu karies yang terjadi


pada email sebagai lanjutan dari karies dini.
Anamnesa

: gigi terasa ngilu

Pemeriksaan objektif

: ekstra oral tidak ada kelainan

Intra oral

: kavitas (+) baru mengenai email

Terapi

: dengan penambalan

3) Karies dengan dentin terbuka/dentin hipersensitif yaitu peningkatan


sensitivitas akibat terbukanya dentin.
Anamnesa

: - kadang-kadang terasa ngilu saat makan,


minum air dingin
- rasa ngilu hilang setelah rangsangan
dihilangkan
- tidak ada rasa sakit spontan

Pemeriksaan objektif

: ekstra oral tidak ada kelainan

Intra oral

: kavitas mengenai dentin

31

Terapi

: dengan penambalan.

(Tarigan, 2010).
g. Terapi
Penataksanaan karies gigi ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi:
1) Penambalan (filling) dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih
lanjut. Penambalan biasa yang dilakukan pada karies yang
ditemukan pada saat iritasi atau hiperemia pulpa.
2) Perawatan saluran akar (PSA) atau root canal treatment dilakukan
bila sudah terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa. Setelah
dilakukan PSA, dibuat restorasi.
3) Ektraksi gigi merupakan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan
karies gigi, ekstraksi yang telah diekstraksi perlu diganti dengan
pemasangan gigi palsu (denture), implant atau jembatan (brigde).
Pencegahan karies gigi:
1) Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) dengan baik dengan
menggosok gigi dengan benar dan teratur, flossing, obat kumur
(mouthwash), memeriksakan gigi 2 kali setahun.
2) Diet rendah karbohidrat
3) Fluoride melalui pasta gigi, mouthwash, suplemen, air minum, gel
fluoride.
4) Penggunaan pit and fissure sealant (dental sealant).
10. PULPITIS
a. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang pada umumnya
merupakan kelanjutan dari proses karies dan menimbulkan rasa nyeri.
Pulpa terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf, sehingga
peradangan pulpa akan menimbulkan hiperemia/peningkatan aliran darah
ke gigi.
b. Gambar

32

Gambar 21. Pulpitis


c. Etiologi
Penyebab pulpitis dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pembusukan gigi, trauma gigi, pengeboran gigi selama proses
perawatan gigi.
2) Paparan cairan yang mendemineralisasi gigi, pemutih gigi, asam
pada makanan dan minuman.
3) Infeksi, baik yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang
berasal dari abses gigi.
d. Klasifikasi
1) Pulpitis reversible adalah radang pulpa ringan sampai sedang akibat
rangsang, dapat sembuh bila penyebab pulpitis telah dihapus dan
gigi diperbaiki. Obat-obatan tertentu dapat digunakan selama
prosedur restorative dalam upaya untuk mempertahankan gigi tetap
vital (hidup).
2) Pulpitis irreversibel dicirikan oleh kepekaan yang berkepanjangan
terhadap dingin atau panas. Radang pulpa yang ringan atau telah
berlangsung lama ditandai nyeri spontan/dirasakan terus menerus.
Terjadi kerusakan saraf sehingga membutuhkan perawatan saluran
akar.
e. Diagnosis dan Terapi
1) Pulpitis reversibel/hiperemi pulpitis/pulpitis awal yaitu peradangan
pulpa awal sampai sedang akibat rangsangan.
a) Anamnesis:
i) Biasanya nyeri bila minum panas, dingin, asam dan asin
ii) Nyeri tajam singkat tidak spontan, tidak terus menerus
iii) Rasa nyeri lama hilangnya setelah rangsangan dihilangkan
b) Pemeriksaan Objektif:
i)
Ekstra oral: tidak ada pembengkakan.

33

ii)

Intra oral: perkusi tidak sakit, karies mengenai


dentin/karies profunda, pulpa belum terbuka, sondase (+),

chlor etil (+)


c) Terapi: dengan penambalan/pulp cafing dengan penambalan
Ca(OH) 1 minggu untuk membentuk dentin sekunder.
2) Pulpitis irreversibel yaitu radang pulpa ringan yang baru dapat juga
yang sudah berlangsung lama. Pulpitis irreversibel terbagi :
a) Pulpitis irreversibel akut yaitu peradangan pulpa lama atau baru
i)

ditandai dengan rasa nyeri akut yang hebat.


Anamnesis: nyeri tajam spontan yang berlangsung terusmenerus menjalar kebelakang telinga dan penderita tidak

ii)

dapat menunjukkan gigi yang sakit.


Pemeriksaan Objektif
- Ekstra oral: tidak ada kelainan
- Intra oral: kavitas terlihat dalam dan tertutup sisa
makanan, pulpa terbuka bisa juga tidak, sondase (+),

iii)

Chlor ethil (+), perkusi bisa (+) bisa (-).


Terapi: menghilangkan rasa sakit dan dengan Perawatan

Saluran Akar (PSA).


b) Pulpitis irreversibel kronis yaitu peradangan pulpa yang
i)

berlangsung lama.
Anamnesis: gigi sebelumnya pernah sakit, rasa sakit dapat
hilang timbul secara spontan, nyeri tajam menyengat (bila
ada rangsangan seperti panas, dingin, asam, manis),

ii)

penderita masih bisa menunjukkan gigi yang sakit.


Pemeriksaan Objektif
- Ekstra oral: tidak ada pembengkakan
- Intra oral: karies profunda (bisa mencapai pulpa bisa

tidak), sondase (+), perkusi (-)


c) Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau
i)

seluruhnya, tergantung pada seluruh atau sebagian yang terlibat.


Anamnesis: nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri
tapi pernah nyeri spontan, bau mulut, gigi berubah warna,
lesi radiolusen yang berukuran kecil hingga besar disekitar
apeks dari salah satu atau beberapa gigi, tergantung pada
kelompok gigi.

34

ii)

iii)

Pemeriksaan Objektif:
- Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitamhitaman
- Sondase (-), Perkusi (-), dan Palpasi (-)
- Terdapat lubang gigi yang dalam
Terapi : perawatan saluran akar dan restorasi. Bila apeks
gigi lebar/ terbuka dilakukan perawatan apeksifikasi.
Setelah preparasi selesai, saluran akar diisi dengan
Ca(OH)2 sampai 1-2 mm dari ujung akar dan ditumpat
tetap. Evaluasi secara berkala 3-6 bulan sampai terjadi
penutupan apeks (dengan menggunakan pemeriksaan
radiografik).

11. PERIODONTITIS
a. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan
penyangga gigi yaitu yang melibatkan gingival, ligament periodontal,
sementum, dan tulang alveolar. Biasanya berasal dari inflamasi pada
ginggiva (ginggivitis) yang tidak dirawat (Orstavik, 2007).
b. Gambar

Gambar 22. Periodontitis


c. Etiologi
Periodontitis umumnya disebabkan oleh plaque. Lapisan ini
melekat pada permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan.
Plaque yang menyebabkan gingivitis dan periodontitis adalah plaque
yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat

35

menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan


terjadilah periodontitis.

Gambar 23. Perbedaan Gigi Sehat dan Periodontitis


Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Gingivitis yang tidak
dirawat akan menyebabkan kerusakan tulang pendukung gigi atau
disebut periodontitis. Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plaque gigi
akan menyebar dan berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri
akan mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan pendukungnya.
Gingiva menjadi tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku
(pocket periodontal) yang akan bertambah dalam sehingga makin banyak
tulang dan jaringan pendukung yang rusak (Orstavik, 2007).
Pocket periodontal digolongkan dalam 2 tipe, didasarkan pada
hubungan antara epitelium junction dengan tulang alveolar menjadi:
1) Pocket periodontal suprabony yaitu dasar poket merupakan bagian
koronal dari puncak tulang alveolar.
2) Poket periodontal infrabony yaitu dasar poket merupakan bagian
apikal dari puncak tulang alveolar
Bila periodontitis berlanjut terus dan tidak segera dirawat maka
lama kelamaan gigi akan longgar dan lepas dengan sendirinya (Orstavik,
2007).
d. Diagnosis
Pasien bisa saja datang tidak dengan keluhan sakit gigi atau gejala
lainnya, namun melalui anamnesis dan pemeriksaan gigi, tanda-tanda
periodontitis yang perlu diperhatikan adalah:

36

1)
2)
3)
4)
5)

Gusi berdarah saat menggosok gigi,


Gusi berwarna merah, bengkak dan lunak,
Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi,
Terdapat nanah diantara gigi dan gusi,
Gigi goyang.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu

teknik yang digunakan untuk mengukur kedalaman pocket periodontal


(kantong yang terbentuk di antara gusi dan gigi). Kedalaman pocket ini
dapat menjadi salah satu petunjuk seberapa jauh kerusakan yang terjadi.
Sebagai tambahan, pemeriksaan radiografik (x-rays) juga perlu dilakukan
untuk melihat tingkat keparahan kerusakan tulang (Orstavik, 2007).
e. Terapi
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1) Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara
menghilangkan beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa
melakukan tindakan bedah periodontal atau melakukan perawatan
restoratif dan prostetik.
2) Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas
anatomikal seperti pocket periodontal, kehilangan gigi dan
disharmoni oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari
penyakit sebelumnya dan menjadi faktor predisposisi atau rekurensi
dari penyakit periodontal.
3) Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah
beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini:
a) Riwayat medis dan riwayat gigi pasien.

37

b) Re-evalusi kesehatan periodontal


setiap 6 bulan dengan mencatat skor
plaque,
gingiva,

ada

tidaknya

kedalaman

inflamasi

poket

dan

mobilitas gigi.
c) Melakukan

radiografi

mengetahui

untuk

perkembangan

periodontal dan tulang alveolar tiap


3 atau 4 tahun sekali.
d) Scalling dan polishing tiap 6 bulan
sekali, tergantung dari efektivitas
kontrol plaque pasien dan pada
kecenderungan

pembentukan

calculus.
e) Aplikasi

tablet

fluoride

secara

topikal untuk mencegah karies.


(MK, 2010)
Pembagian penatalaksanaan yang lain adalah:
1) Root planing dan kuretase, yaitu pengangkatan plaque dan jaringan
yang rusak dan mengalami peradangan di dalam poket dengan
menggunakan kuret.
2) Bila dengan kuretase tidak berhasil, maka perlu dilakukan
gingivectomy.
3) Operasi dengan teknik flap, yaitu prosedur pembukaan jaringan
gusi, menghilangkan kotoran dan jaringan yang meradang di
bawahnya.
4) Antibiotik untuk menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan di
bawahnya.
(Orstavik, 2007).
12. GINGIVITIS

38

a. Definisi
Gingivitis adalah inflamasi dari gusi yang disebabkan oleh
akumulasi plaque dan bakteri. Gingivitis adalah suatu kelainan berupa
peradangan pada gusi. Gingivitis adalah suatu bentuk dari penyakit
periodontal. Penyakit periodontal terjadi ketika inflamasi dan infeksi
menghancurkan jaringan yang menyokong gigi, termasuk gusi, ligamen
periodontal, soket gigi (tulang alveolar). Gingivitis disebabkan efek
jangka panjang dari penumpukan plaque (RSMK, 2011).
Karakteristik ginggiva yang sehat adalah warnanya merah muda,
bagian tepi ginggiva tipis dan tidak bengkak, permukaan ginggiva tidak
rata tapi stippled, sulkus ginggiva tidak dalam (< 2 mm, jika lebih disebut
poket), tidak ada eksudat, tidak mudah berdarah, konsistensi kenyal.
Sedangkan pada ginggivitis warnanya merah keunguan, bagian tepinya
bengkak, ada eksudat, mudah berdarah, konsistensinya lunak (Salmiah,
2009).
b. Gambar

Gambar 24. Gingivitis


c. Etiologi dan Patogenesis
Gingivitis dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya kebersihan
mulut yang buruk dan penumpukan karang gigi (kalkulus).Sisa-sisa
makanan yang tidak dibersihkan secara seksama menjadi tempat
pertumbuhan bakteri. Dengan meningkatnya kandungan mineral dari air
liur, plaque akan mengeras menjadi karang gigi (kalkulus). Karang gigi
dapat terletak di leher gigi dan terlihat oleh mata sebagai garis
kekuningan atau kecoklatan yang keras dan tidak dapat dihilangkan
39

hanya dengan menyikat gigi. Kalkulus juga dapat terbentuk di bagian


dalam gusi (saku gusi/poket). Kalkulus adalah tempat pertumbuhan yang
baik bagi bakteri, dan dapat menyebabkan radang gusi sehingga gusi
mudah berdarah (Salmiah, 2009).
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan peradangan pada
ginggiva, antara lain kehamilan, diabetes mellitus, penggunaan obat
seperti kortikosteroid dan siklosporin, leukemia dan merokok (Salmiah,
2009).
Pembesaran dan peradangan gusi pada ibu hamil disebabkan oleh
aktivitas hormonal estrogen dan progesterone yang meningkat.
Peningkatan konsentrasi hormon progesteron dan estrogen menyebabkan
pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah, termasuk
aliran darah di gusi. Gusi menjadi lebih merah, bengkak, dan mudah
berdarah. Pembesaran gusi ibu hamil dimulai pada trisemester pertama
sampai ketiga masa kehamilan dan akan mengalami penurunan pada
kehamilan bulan ke-9 dan beberapa hari setelah melahirkan.
Pada penderita leukemia, gingivitis dapat menjadi tanda awal dari
leukemia pada sekitar 25% penderita anak-anak. Penyusupan (infiltrasi)
sel-sel

leukemia

ke

dalam

gusi

menyebabkan

gingivitis

dan

berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi akan semakin


memperburuk keadaan ini. Gusi tampak merah dan mudah berdarah.
Perdarahan seringkali berlanjut sampai beberapa menit atau lebih karena
pada penderita leukemia, darah tidak membeku secara normal.
Penggunaan kortikosteroid dan siklosporin menyebabkan supresi
sistem imun sehingga infeksi dan peradangan pada gusi lebih mudah
terjadi.Para perokok umumnya memiliki jumlah karang gigi yang lebih
banyak dibanding bukan perokok.Karang gigi yang tidak dibersihkan
serta gangguan sirkulasi darah ke gusi merupakan penyebab mudahnya
terjadi infeksi dan peradangan pada gusi (gingivitis).
d. Gejala
1) Mulut kering
2) Pembengkakan pada gusi
3) Warna merah menyala atau merah ungu pada gusi
4) Gusi terlihat mengkilat

40

5) Perdarahan pada gusi


6) Gusi lunak pada saat disentuh tapi tanpa rasa sakit
(RSMK, 2010)
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Gusi yang meradang tampak merah, membengkak dan mudah
berdarah.
f. Terapi
Kondisi yang menyebabkan dan memperburuk gingivitis harus
diatasi. Plaque dibersihkan dan kebersihan mulut diperbaiki. Pasien
diedukasi untuk melakukan sikat gigi minimal dua kali sehari, pada pagi
hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, flossing
dilakukan sekali dalam sehari untuk membersihkan plaque dan sisa
makanan di celah gigi. Bila terdapat kalkulus, dapat dilakukan
pembersihan/skeling. Antibiotik diberikan bila ada indikasi. Penyakit
sistemik yang mendasari gingivitis juga harus diatasi.

Penanganan

gingivitis yang sama berlaku pada ibu hamil. Pada pasien leukemia,
perdarahan gusi dapat dikurangi dengan menggunakan bantalan busa
sebagai ganti sikat gigi (RSMK, 2010).
13. CANDIDIASIS ORAL
a. Definisi
Candidiasis oral merupakan infeksi pada rongga mulut yang
disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan dari jamur Candida terutama
Candida albicans. Candida merupakan organisme komensal normal yang
banyak ditemukan dalam rongga mulut dan membran mukosa vagina.
Dalam rongga mulut, Candida albicans dapat melekat pada mukosa
labial, mukosa bukal, dorsum lidah, dan daerah palatum. Candidiasis oral
dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan pada penderita
defisiensi imun seperti AIDS. Pada pasien HIV/AIDS, Candida albicans
ditemukan paling banyak yaitu sebesar 95% (Setiani dan Sufiawati,
2005).
b. Gambar

41

Gambar 25. Gambaran klinis bentuk primer candidiasis oral: candidiasis


pseudomembranous akut (kiri atas), candidiasis eritematous kronik
(kanan atas), candidiasis eritematous akut (kiri bawah) dan candidiasis
hiperplastik kronik (kanan bawah).
c. Etiologi
1) Faktor Lokal
a) Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi,
hiperplasi atau displasia
b) Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal
pada pasien dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi),
perubahan pH saliva.
c) Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada
pasien dengan AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik
d) Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan
patogenik terhadap host.
2) Faktor Sistemik
a) Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma
b) Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi
vitamin
3) Faktor Iatrogenik
a) Terapi antibiotik
b) Terapi kortikosteroid
c) Radioterapi dan kemoterapi
42

d) Merokok
(Scully, 2003)
d. Klasifikasi
1) Bentuk Primer Candidiasis Oral
a) Candidiasis Pseudomembranous akut
Candidiasis pseudomembranous akut tampak sebagai lesi
putih pada mukosa oral yang dapat dihilangkan dengan kerokan
halus dan meninggalkan permukaan mukosa yang eritematous.
Pada pemeriksaan histologis tampak sel ragi dan hifa di antara
epitel desquamasi. Infeksi jenis ini sering terjadi pada bayi baru
lahir yang sistem imunnya masih belum matang.Pada individu
yang lebih dewasa, candidosis pseudomembranous akut sering
terjadi pada individu dengan gizi kurang, supresi lokal sistem
imun (misal pada pemberian steroid inhaler pada pasien asma),
atau penyakit dasar lain seperti infeksi HIV dan AIDS.
b) Candidiasis Eritematous akut
Bentuk candidiasis eritematous akut ini sering terjadi
pada pemberian antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan
penurunan populasi bakteri dalam mulut sehingga terjadi
pertumbuhan berlebihan spesies Candida.Jenis infeksi ini dapat
terjadi pada mukosa buccal, namun paling sering timbul sebagai
lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga palatum. Candidiasis
eritematous akut adalah satu-satunya bentuk candidiasis oral
yang menimbulkan nyeri terus-menerus. Resolusi spontan dapat
terjadi dengan menghentikan pemberian antibiotik spektrum
luas.
c) Candidiasis Eritematous kronik
Candidiasis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi
termasuk lesi atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis
angular dan denture stomatitis. Candidiasis eritematous kronik
sering terjadi pada individu dengan HIV positif dan pasien
AIDS.
d) Candidiasis Hiperplastik kronik

43

Candidiasis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai


candidal leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan
mukosa mulut baik sebagai lesi homogen atau lesi putih noduler.
Tidak seperti lesi candidosis pseudomembranous, lesi candidosis
hiperplastik kronik tidak dapat dihilangkan dengan kerokan
halus. Lesi paling sering muncul bilateral pada regio komisura
mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada laki-laki
setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari
bentuk infeksi ini adalah hubungannya dengan perubahan ke
arah keganasan. Secara in vitro, sel ragi terbukti dapat
menghasilkan

nitrosamin

karsinogenik,

N-

nitrosobenzylmethylamine dari molekul prekursor.


2) Bentuk Sekunder
a) Keilitis Angular
Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada
sudut mulut dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan
adanya C.albicans, sering bersama dengan bakteri S.aureus.
Peranan Candida pada bentuk ini masih belum jelas, namun
penting diperhatikan bahwa keilitis angular sering terjadi pada
pasien dengan candidosis oral di mana jumlah spesies Candida
meningkat.
b) Median Rhomboid Glossitis
Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik
yang muncul sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline
dorsum lidah. Didapatkan jumlah spesies Candida yang tinggi
dari lesi tersebut. Kondisi ini sering dikaitkan dengan individu
yang sering menggunakan steroid inhaler atau individu yang
merokok.
(Williams, 2011).
e. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesa dapat diperoleh informasi mengenai
keadaan rongga mulut yang dialami pasien. Keluhan yang bisa terjadi

44

pada candidiasis oral seperti adanya rasa tidak nyaman, rasa terbakar,
rasa sakit, dan pedih pada rongga mulut. Pemeriksaan klinis dilakukan
dengan melihat gambaran klinis lesi yang terdapat pada rongga mulut.
Gambaran klinis candidiasis oral yang terlihat bisa berbeda-beda sesuai
dengan tipe candidiasis yang terjadi pada rongga mulut pasien. Di
samping itu, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi
eksfoliatif, kultur swab, uji saliva, dan biopsi sangat diperlukan dalam
mendukung diagnosa candidiasis oral (Setiani dan Sufiawati, 2005)
f. Terapi
Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam
tiga kelas agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins.
Antifungal

Polyenes

mencakup

Amphotericin

dan

Nystatin.

Amphotericin B dihasilkan oleh Streptomyces nodosus dan memiliki


aktivitas antijamur yang luas. Di samping keuntungannya, antifungal ini
dapat menimbulkan efek nefrotoksik. Obat antifungal lain yang sekarang
banyak digunakan adalah Nystatin. Azoles dibagi dalam dua kelompok
yaitu imidazoles dan triazoles. Azoles akan menghambat ergosterol yang
merupakan unsur utama sel membran jamur sedangkan Caspofungin
termasuk golongan antifungal echinocandins yang digunakan untuk
pengobatan terhadap infeksi jamur Kandida dan spesies aspergillus
(Andryani, 2010).
Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik,
dengan syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang
akan dirawat. Obat - obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal
berupa: clotrimazolelozenge, nystatinpastiles, dan nystatin suspensi oral,
sedangkan obat anti jamur yang dapat diberikan secara sistemik yaitu:
ketoconazole tablet, itraconazole tablet, fluconazole tablet. Hal yang
sangat penting dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga
mulut, sehingga kandida albikans yang merupakan mikroorganisme
komensal dan flora normal di rongga mulut tidak berubah menjadi agen
infeksius opportunistik penyebab kandidiasis oral. Pasien juga harus

45

menghindari faktor-faktor

predisposisi yang dapat menimbulkan

kandidiasis (Andryani, 2010).


14. MOUTH ULCER
a. Definisi
Mouth ulcer adalah menghilangnya atau adanya erosi pada bagian
membran mukosa rongga mulut (pipi atau bibir sebelah dalam, lidah dan
bawah lidah, gusi, langit-langit). Gambaran sariawan itu sendiri berupa
suatu luka yang terdapat pada selaput lendir atau mukosa rongga mulut
(pipi atau bibir sebelah dalam, lidah dan bawah lidah, gusi, langit-langit)
yang terkadang dapat dilapisi dengan suatu lapisan putih (Scully, 2003).
Terdapat 2 tipe dari mouth ulcer yaitu : aphthous ulcers (canker
sores) dan cold sores (yang disebabkan oleh herpes simplek virus)
(Scully, 2003).
Terdapat 3 jenis mouth ulcer: minor, mayor, dan herpetiform. Tipe
minor itu adalah yang sering kita jumpai sehari-hari, bisa satu atau
multipel berukuran kurang dari 1 cm dan luka tidak terlalu dalam. Tipe
mayor luka lebih besar dan lebih dalam (biasanya pada keganasan, kasus
gizi

buruk).

Bentuk

herpetiform

berupa

gelembung-gelembung

bergerombol seperti buah anggur (biasanya pada infeksi herpes simplek


virus) (Scully, 2003).
b. Gambar
A

Gambar 26. A = Minor ulcer, B = Major ulcer, C = Herpetiform ulcer.


c. Etiologi
Penyebab dari mouth ulcer sendiri sebetulnya belum diketahui
secara pasti. Namun diduga ada beberapa proses yang menyebabkan
terjadinya mouth ulcer. Pada beberapa kasus, mouth ulcer dapat timbul
pada saat seseorang mengalami stress. Perubahan hormonal yang terjadi
46

pada saat menstruasi diduga merupakan penyebab terjadinya mouth


ulcer. Berikut beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya mouth
ulcer:
1) Trauma
a) Minor physical injuries
Trauma yang terjadi pada mulut merupakan penyebab yang
umum terjadinya mouth ulcer. Cedera - seperti bergesekan
dengan gigi palsu atau kawat gigi, tergores dari sikat gigi yang
keras, bergesekan dengan gigi yang tajam, dan lain-lain.
b) Chemical injuries
Bahan-bahan

kimia

seperti

aspirin

dan

alkohol

dapat

menyebabkan mukosa oral menjadi nekrosis yang akan


menyebabkan terjadinya ulcer. Selain itu, sodium lauryl sulfate
(SLS), bahan utama yang terdapat pada kebanyakan pasta gigi,
juga meningkatkan insiden terjadinya mouth ulcer.
2) Infeksi
a) Viral
Yang paling umum adalah Herpes simplex virus yang
menyebabkan herpetiform ulcerations yang berulang.
b) Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya mouth ulcer antara
lain adalah Mycobacterium tuberculosis (TBC) dan Treponema
pallidum (sifilis).
c) Jamur
Coccidioides

immitis

neoformans

(kriptokokosis),

("Amerika

Utara

(demam

lembah),
Blastomyces

Blastomycosis")

diduga

Cryptococcus
dermatitidis
menyebabkan

terjadinya mouth ulcer.


d) Protozoa
Entamoeba histolytica, suatu parasit protozoa ini terkadang
menyebabkan mouth ulcer.

47

3) Sistem Imun
Peneliti menemukan bahwa mouth ulcer merupakan produk akhir
dari suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun.
a) Imunodeficiency
Adanya mouth ulcer yang terjadi secara berulang merupakan
indikasi adanya immunodeficiency. Kemoterapi, HIV, dan
mononukleosis adalah semua penyebab immunodeficiency pada
mouth ulcer yang menjadi manifestasi umum.
b) Autoimun
Autoimmunity

juga

merupakan

penyebab

mouth

ulcer.

Pemphigoid membran mukosa, reaksi autoimun epitel membran


basal, menyebabkan deskuamasi/ulserasi dari mukosa oral.
c) Alergi
4) Diet
Defisiensi dari vitamin B12, zat besi dan asam folat diduga
merupakan penyebab terjadinya mouth ulcer.
5) Kanker pada mulut.
(Scully, 2003).
d. Gejala
Mouth ulcer biasanya didahului oleh adanya sensasi terbakar.
Kemudian setelah beberapa hari membentuk sebuah titik merah atau
benjolan, diikuti oleh luka terbuka. Mouth ulcer muncul dengan
lingkaran atau oval yang berwarna putih atau kuning dengan tepi merah
meradang. Ulkus yang terbentuk sering sekali sangat perih terutama pada
saat berkumur atau menyikat gigi, atau juga ketika ulkus teriritasi dengan
makanan asin, asam, atau pedas. Selain itu juga bisa ditemukan adanya
pembesaran

dari

kelenjar

getah

bening

pada

submandibula.

Berkurangnya nafsu makan biasa ditemukan pada mouth ulcer (Scully,


2003).
e. Diagnosis
Penting untuk menetapkan penyebab ulkus mulut.

Beberapa

penyelidikan meliputi:

48

1) Pemeriksaan fisik - tergantung pada berat ringannya penyakit


tersebut. Sebagai contoh, jika luka besar dan kuning, itu
kemungkinan besar disebabkan oleh trauma. Cold sores di dalam
mulut cenderung sangat banyak dan tersebar di sekitar gusi, lidah,
tenggorokan dan bagian dalam pipi. Demam menandakan luka dapat
disebabkan oleh infeksi herpes simpleks.
2) Darah rutin - untuk memeriksa tanda-tanda infeksi.
3) Biopsi - jaringan dari ulkus diambil dan diperiksa di laboratorium.
(Scully, 2003)
f. Terapi
Pada kebanyakn kasus, mouth ulcer dapat sembuh dengan
sendirinya pada beberapa hari. Namun ada beberapa cara yang sederhana
untuk mengurangi rasa sakit dan kesulitan makan:
1) Hindari makanan pedas, asam, keras, atau terlalu panas
2) Hindari minuman soda atau air jeruk
3) Pakai sedotan waktu minum
4) Berkumur dengan air garam
5) Ada yang menganggap bahwa madu dapat mengurangi rasa sakit
6) Mengganti pasta gigi dengan pasta gigi yang tidak mengandung
natrium lauryl sulfat (SLS).
Obat kumur chlorhexidine dapat mengurangi rasa sakit dan juga
membantu luka untuk sembuh lebih cepat. Hal ini juga membantu untuk
mencegah luka menjadi terinfeksi. Obat kumur chlorhexidine biasanya
digunakan dua kali sehari (Scully, 2003).
g. Pencegahan
Cara untuk mengurangi kemungkinan mouth ulcer meliputi:
1) Menyikat gigi setidaknya dua kali setiap hari.
2) Floss secara teratur.
3) Mengunjungi dokter gigi secara teratur.
4) Sikat gigi dengan lembut
5) Makan makanan yang bergizi yang sehat dan seimbang

49

6) Pastikan bahwa kondisi-kondisi yang mendasari, seperti diabetes


melitus dan penyakit inflamasi usus, dikelola dengan tepat (Scully,
2003).

It isn't possible to speed the recovery of ulcers, but the symptoms

can be managed and the risk of complications reduced.


h. Komplikasi
Jika mouth ulcer tidak diobati atau dibiarkan maka akan dapat
menyebabkan beberapa komplikasi yaitu :
1) Infeksi bakteri
2) Inflamasi pada mulut
3) Tooth absess

15. GLOSSITIS
a. Definisi
Glossitis adalah peradangan atau infeksi pada lidah. Hal ini
menyebabkan lidah membengkak dan berubah warna. Seperti proyeksi
Finger di permukaan lidah (papila) mungkin hilang, menyebabkan lidah
tampak halus. Glossitis biasanya berespon baik terhadap pengobatan jika
penyebab peradangan dihilangkan. Gangguan tersebut mungkin tidak
nyeri, atau dapat menyebabkan ketidaknyamanan lidah dan mulut. Dalam
beberapa kasus, glossitis dapat mengakibatkan pembengkakan lidah
parah yang menghalangi jalan napas, sebuah darurat medis yang
membutuhkan perhatian segera (Zieve dan Juhn, 2009).
b. Gambar

Gambar 27. Glossitis


c. Etiologi

50

Glossitis secara umum dapat disebabkan beberapa faktor antara lain:


1) Infeksi
Infeksi bakteri

dan

virus adalah

penyebab

umum

penularan

glossitis. Hal ini sering dikaitkan dengan temuan lain seperti luka
mulut (lepuh,

borok),

nyeri

dan

kadang-kadang

demam. Infeksi jamur lidah kurang umum dan lebih sering terlihat
pada pasien immunocompromised (HIV, diabetes mellitus tidak
terkontrol). Meskipun berbagai gejala lidah dapat dilihat pada infeksi
jamur lidah, glossitis tidak hadir dalam setiap kasus infeksi sekunder,
terutama bakteri, sering terjadi trauma pada lidah terutama dengan
tindikan yang menjadi tren lebih umum.
2) Trauma
Trauma adalah penyebab umum glossitis dan biasanya akut dengan
etiologi jelas. Faktor mekanis atau kimia yang mengiritasi/melukai
lidah:
a) Burns
b) Makanan, minuman dan suplemen - rempah-rempah, asam,
pewarna buatan terkonsentrasi dan flavorants, vitamin kunyah
c) Produk perawatan gigi (kebersihan oral) - formulasi
terkonsentrasi atau beracun
d) Merokok - tembakau, obat-obatan narkotika
e) Tembakau dan daun sirih / mengunyah pinang
f) Alkohol - menyebabkan trauma kimia dan menyebabkan
kekurangan vitamin (glossitis atrofi)
g) Gigi bergerigi dan peralatan gigi kurang pas/ prostetik seperti
jembatan, implan, gigi palsu dan pengikut - cenderung
menyebabkan borok pada sisi lidah (aspek lateral)
h) Tindik lidah, terutama bila terinfeksi
3) Alergi
Banyak faktor yang sama bertanggung jawab atas trauma lidah juga
dapat menyebabkan alergi glossitis. Ini lebih cenderung terjadi pada
individu hipersensitif.

51

4) Kekurangan Vitamin dan Mineral


Merupakan penyebab umum dari glossitis atrofi. Vitamin dan
mineral tersebut meliputi:
a) Vitamin B12 - anemia pernisiosa
b) Riboflavin (vitamin B2)
c) Niacin (vitamin B3) - pellagra
d) Pyridoxine (vitamin B6)
e) Asam folat (vitamin B9)
f) Besi - anemia kekurangan zat besi
g) Kekurangan vitamin C.
5) Penyakit kulit
Banyak dari penyakit kulit juga melibatkan selaput lendir mulut,
termasuk lapisan mukosa lidah.
(Zieve dan Juhn, 2009).
d. Diagnosis
Pemeriksaan oleh dokter gigi atau penyedia layanan kesehatan
menunjukkan lidah bengkak (atau patch pembengkakan). Para nodul
pada permukaan lidah (papila) mungkin tidak ada. Tes darah bisa
mengkonfirmasi penyebab sistemik gangguan tersebut (Zieve dan Juhn,
2009).
e. Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan.
Perawatan biasanya tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak
sangat parah. Kebersihan mulut perlu diperhatikan, termasuk menyikat
gigi menyeluruh setidaknya dua kali sehari, dan flossing sedikitnya satu
kali sehari.
Kortikosteroid

seperti

prednison

dapat

diberikan

untuk

mengurangi peradangan glossitis. Untuk kasus ringan, aplikasi topikal


(seperti berkumur prednison yang tidak ditelan) bisa disarankan untuk
menghindari efek samping dari kortikosteroid telan atau suntik.
Antibiotik, obat antijamur, atau antimikroba lainnya bisa
diresepkan jika penyebab glossitis adalah infeksi. Hindari iritasi (seperti

52

makanan panas atau pedas, alkohol, dan tembakau) untuk meminimalkan


ketidaknyamanan (Zieve dan Juhn, 2009).
16. PAROTITIS
a. Definisi
Penyakit gondongan (mumps atau parotitis) adalah suatu penyakit
menular di mana sesorang terinfeksi oleh virus (Paramyxovirus) yang
menyerang kelenjar ludah (kelenjar parotis) di antara telinga dan rahang
sehingga menyebabkan pembengkakan pada leher bagian atas atau pipi
bagian bawah. Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat
timbul secara endemik atau epidemik. Gangguan ini cenderung
menyerang anak-anak

di bawah usia 15 tahun (sekitar 85%

kasus). Parotitis ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang


kelenjar ludah terutama kelenjar parotis (sekitar 60% kasus). Gejala khas
yaitu pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Pada saluran
kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel,
pelebaran dan penyumbatan saluran. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa
menyerang testis (buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat,
payudara dan organ lainnya. Adapun mereka yang berisiko besar untuk
menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang menggunakan
atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar
tiroid dan mereka yang kekurangan zat iodium dalam tubuh (Stuart,
2013). Penyakit gondong (mumps, parotitis) dapat ditularkan melalui: (1)
kontak langsung, (2) percikan ludah (droplet), (3) muntahan, dan bisa
pula melalui (4) air kencing. Tidak semua orang yang terinfeksi
mengalami

keluhan,

bahkan

sekitar

30-40%

penderita

tidak

menunjukkan tanda-tanda sakit (subclinical). Mereka dapat menjadi


sumber penularan seperti halnya penderita parotitis yang nampak sakit.
Masa tunas (masa inkubasi) parotitis sekitar 14-24 hari dengan rata-rata
17-18 hari.
b. Etiologi

53

Agen penyebab parotitis epidemika adalah anggota dari kelompok


paramyxovirus, yang juga termasuk di dalamnya virus parainfluenza,
measles, dan virus newcastle disease. Virus dapat diisolasi dari ludah,
cairan serebrospinal, darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi lain. Virus
Mumps

merupakan

virus

RNA

rantai

tunggal

genus

Rubulavirus subfamily Paramyxovirinae dan family Paramyxoviridae.


Virus mumps mempunyai 2 glikoprotein yaitu hamaglutinin-neuramidase
dan perpaduan protein. Virus ini juga memiliki dua komponen yang
sanggup memfiksasi, yaitu: antigen S atau yang dapat larut (soluble)
yang berasal dari nukleokapsid dan antigen V yang berasal dari
hemaglutinin permukaan.
Virus ini aktif dalam lingkungan yang kering tapi virus ini hanya
dapat bertahan selama 4 hari pada suhu ruangan. Paramyxovirus dapat
hancur pada suhu <4 C, oleh formalin, eter, serta pemaparan cahaya
ultraviolet selama 30 detik. Virus masuk dalam tubuh melalui hidung
atau mulut. Virus bereplikasi pada mukosa saluran napas atas kemudian
menyebar ke kelenjar limfe lokal dan diikuti viremia umum setelah 12-25
hari (masa inkubasi) yang berlangsung selama 3-5 hari. Selanjutnya
lokasi yang dituju virus adalah kalenjar parotis, ovarium, pankreas, tiroid,
ginjal, jantung atau otak. Virus masuk ke sistem saraf pusat melalui
pleksus choroideus lewat infeksi pada sel mononuklear. Masa penyebaran
virus ini adalah 2-3 minggu melalui dari ludah, cairan serebrospinal,
darah, urin, otak dan jaringan terinfeksi lain. Virus dapat diisolasi dari
saliva 6-7 hari sebelum onset penyakit dan 9 hari sesudah munculnya
pembengkakan pada kalenjar ludah. Penularan terjadi 24 jam sebelum
pembengkakan kelenjar ludah dan 3 hari setelah pembengkakan
menghilang.
c. Klasifikasi
1) Parotitis Kambuhan

54

Anak-anak mudah terkena parotitis kambuhan yang timbul pada usia


antara 1 bulan hingga akhir masa kanak-kanak. Kambuhan berarti
sebelumnya anak telah terinfeksi virus kemudian kambuh lagi.
2) Parotitis Akut
Parotitis akut ditandai dengan rasa sakit yang mendadak, kemerahan
dan pembengkakan pada daerah parotis. Dapat timbul sebagai akibat
pasca-bedah yang dilakukan pada penderita keterbelakangan mental
dan penderita usia lanjut, khususnya apabila penggunaan anestesi
umum lama dan adanya gangguan dehidrasi.
d. Manifestasi Klinis
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus
mengalami keluhan, bahkan sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan
tanda-tanda sakit (subclinical). Namun demikian mereka sama dengan
penderita lainnya yang mengalami keluhan, yaitu dapat menjadi sumber
penularan penyakit tersebut. Masa tunas (masa inkubasi) penyakit
gondong sekitar 12-24 hari dengan rata-rata 17-18 hari. Adapun tanda
dan gejala yang timbul setelah terinfeksi dan berkembangnya masa tunas
dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Pada tahap awal (1-2 hari) penderita gondong mengalami gejala:
demam (suhu badan 38,5 40C), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan
nafsu makan, nyeri rahang bagian belakang saat mengunyah dan
adakalanya disertai kaku rahang (sulit membuka mulut).
2) Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis)
yang diawali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian
kedua kelenjar mengalami pembengkakan.
3) Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3 hari kemudian
berangsur mengempis.
4) Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar di bawah rahang
(submandibula) dan kelenjar di bawah lidah (sublingual). Pada pria
dewasa adalanya terjadi pembengkakan buah zakar (testis) karena
penyebaran melalui aliran darah.
e. Patofisiologi

55

Pada umumnya penyebaran paramyxovirus sebagai agen penyebab


parotitis (terinfeksinya kelenjar parotis) antara lain akibat percikan ludah,
kontak langsung dengan penderita parotitis lain, muntahan, dan urin.
Virus tersebut masuk tubuh bisa melalui hidung atau mulut.
Biasanya kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis. Infeksi akut oleh
virus mumps pada kelenjar parotis dibuktikan dengan adanya kenaikan
titer IgM dan IgG secara bermakna dari serum akut dan serum
konvalesens. Semakin banyak penumpukan virus di dalam tubuh
sehingga terjadi proliferasi di parotis/epitel traktus respiratorius
kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran darah) dan
selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar/saraf yang kemudian akan
menginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.
Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan
terjadi demam, anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot. Kemudian dalam 3
hari terjadilah pembengkakan kelenjar parotis yang mula-mula unilateral
kemudian bilateral, disertai nyeri rahang spontan dan sulit menelan. Pada
manusia selama fase akut, virus mumps dapat diisolasi dari saliva, darah,
air seni dan liquor cerebrospinal. Pada pankreas kadang-kadang terdapat
degenerasi dan nekrosis jaringan.
f. Penatalaksanaan
Parotitis merupakan

penyakit

yang

bersifat

self-limited

(sembuh/hilang sendiri) yang berlangsung kurang lebih satu minggu.


Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi virus mumps oleh karena itu
pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.
Berikut tata laksana yang sesuai dengan kasus yang diderita:
1) Penderita rawat jalan
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi
(keadaan umum cukup baik).
a) Istirahat yang cukup, diberikan kompres.
b) Pemberian diet lunak dan cairan yang cukup
c) Kompres panas dingin bergantian
d) Medikamentosa
i.
Analgetik-antipiretik bila perlu

56

ii.

Metampiron : anak > 6 bulan 250 500 mg/hari maksimum 2

iii.
iv.

g/hari
Parasetamol : 7,5 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
Hindari pemberian aspirin pada anak karena pemberian
aspirin berisiko menimbulkan Sindrom Reye yaitu sebuah
penyakit langka namun mematikan. Obat-obatan anak yang

terdapat di apotek belum tentu bebas dari aspirin.


2) Penderita rawat inap
Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala
hebat, gejala saraf perlu rawat inap di ruang isolasi
i.
Diet lunak, cair dan TKTP
ii. Analgetik-antipiretik
iii.
Berikan kortikosteroid untuk mencegah komplikasi
3) Tatalaksana untuk komplikasi yang terjadi
a) Encephalitis
Simptomatik untuk encephalitisnya. Lumbal pungsi berguna
untuk mengurangi sakit kepala.
b) Orkhitis
i. Istirahat yang cukup
ii. Pemberian analgetik
iii. Sistemik kortikosteroid (hidrokortison, 10mg/kgBB/24
jam, peroral, selama 2-4 hari)
c) Pankreatitis dan oophoritis
Simptomatik saja.
(Stuart, 2013).
g. Pencegahan
Pencegahan terhadap parotitis epidemika dapat dilakukan secara
imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
1) Pasif
Gamma globulin parotitis tidak efektif dalam mencegah parotitis
atau mengurangi komplikasi.
2) Aktif
Dilakukan dengan memberikan vaksinasi dengan virus parotitis
epidemika yang hidup tapi telah dirubah sifatnya (Mumpsvax-merck,
sharp and dohme) atau diberikan subkutan pada anak berumur 15
bulan. Vaksin ini tidak menyebabkan panas atau reaksi lain, tidak
menyebabkan ekskresi virus dan tidak menular. Menyebabkan
imunitas yang lama dan dapat diberikan bersama vaksin campak dan
57

rubella (MMR yakni vaksin mumps, morbili, rubella). Pemberian


vaksinasi dengan virus mumps, sangat efektif dalam menimbulkan
peningkatan bermakna dalam antibodi mumps pada individu yang
seronegatif sebelum vaksinasi dan telah memberikan proteksi 1595%.
Kontraindikasi: Bayi dibawah usia 1 tahun karena efek antibodi
maternal; Individu dengan riwayat hipersensitivitas terhadap
komponen vaksin; demam akut; selama kehamilan; leukimia dan
keganasan; limfoma; sedang diberi obat-obat imunosupresif, alkilasi
dan anti metabolit; sedang mendapat radiasi.

KEGANASAN
17. NONCANCEROUS GROWTH
a. Definisi
Ada banyak tipe pertumbuhan non-kanker pada rongga mulut, dan
dapat terjadi pada semua orang di semua umur. Pertumbuhan massa dapat
berasal dari kista yang berisi cairan, pertumbuhan tulang yang berlebihan,
atau jaringan yang fibrosis. Semua itu dapat disebabkan oleh faktor
etiologi yang berbeda-beda seperti iritasi, pertumbuhan tulang berlebih,
atau infeksi. Beberapa pertumbuhan non-kanker tidak menimbulkan
masalah, namun demikian massa rongga mulut di lokasi tertentu dan
dengan ukuran yang cukup besar dapat menyebabkan nyeri atau gangguan
makan (De Pietro, 2010).
b. Macam-macam Noncancerous growth
Massa rongga mulut yang biasa terjadi termasuk di dalamnya
adalah sariawan. Tipe lain dari massa pada rongga mulut termasuk

58

papiloma, lipoma, dan fibroma. Mukokel, torus palatinus dan kandidiasis


yang juga disebut sebagai oral trush, juga merupakan tipe lain dari massa
non kanker di rongga mulut (De Pietro, 2010).
c. Etiologi
Noncancerous growth di rongga mulut dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Misalnya peningkatan pertumbuhan C.albicans yang
menyebabkan candidiasis oral, menyebabkan suatu pertumbuhan yang
disebut trush. Sariawan sering disebabkan oleh trauma di area mulut.
Fibroma dan mukokel sering disebabkan bibir atau bukal yang tidak
sengaja tergigit. Jenis lain seperti torus palatinus tidak diketahui
penyebabnya (De Pietro, 2010).

d. Gambar

Papiloma Torus palatinus

Epulis fibromatosa
Gambar 28. Macam-macam Noncancerous growth
18. LEUKOPLAKIA
a. Definisi
Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak
pada mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara
usapan atau kikisan (Rangkuti, 2007).
b. Gambar

59

Gambar 29. Leukoplakia


c. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dari leukoplakia digolongkan menjadi 2, yaitu faktor
lokal dan faktor sistemik:
1) Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan
kimia, reaksi elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok
merupakan faktor risiko utama penyebab leukoplakia, karena unsur
resin dan tar di dalamnya mudah mengiritasi mukosa.
2) Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B
kompleks, sifilis tersier dan anemia sideropenik. Keadaan ini disertai
dengan glossitis atrofik sehingga pasien-pasien ini mudah sekali
terkena leukoplakia dan karsinoma mulut.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri
dari dua tahap, yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada
tahap praleukoplakia mulai terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening,
translusen, permukaannya halus dengan konsistensi lunak dan datar.
Tahap leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi ke arah lateral dan
membentuk keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih,
berfisura dan permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan
mukosa sekitarnya (Patterson, 2004).
d. Klasifikasi
Berdasarkan bentuk klinisnya leukoplakia digolongkan dalam 3
jenis:
1) Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan
suatu pola yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak
dengan pola garis-garis halus, keriput atau papilomatous.
2) Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik
yang kecil tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplaqueik) dari

60

mukosa. Dua pertiga dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia


epitel atau karsinoma pada pemeriksaan histopatologik.
3) Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak
tonjolan seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan
suatu lesi pada dorsum lidah.
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap,
pemeriksaan klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna,
predileksi tempat dan perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan
dengan jaringan sekitar) dan yang terakhir dengan pemeriksaan biopsi:
1) Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum,
kebiasaan

sehari-hari

misalnya

merokok,

minum

alkohol,

mengunyah sirih dan menyuntil tembakau. Dahulu, penderita


leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat penurunan daya tahan
tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda akibat
konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah
seimbang karena sudah banyak wanita yang merokok.
2) Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan
putih keruh. Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang
berkembang tidak teratur. Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi
menjadi

tebal,

berwarna

putih,

menunjukkan

pengerasan,

membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah pembentukan ulser.


Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang didasar
mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun
nodular, speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya
jika mempunyai displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang
kemudian berubah menjadi ganas adalah bentuk verukosa dan
bentuk nodular.
3) Pemeriksaan histopatologi

61

Pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskop


dengan pewarnaan rutin Hematoksilin-Eosin (HE).
4) Pemeriksaan sitologik eksfoliatif
Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan
sitologik eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi
keadaan keganasan sedini mungkin dan merupakan kontrol pada
false negatif biopsi serta menghindari biopsi yang tidak perlu. Faktor
yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan adalah lokasi dan jenis
lesi, ketebalan lapisan keratin atau keadaan hiperkeratotik akan
menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit untuk ikut
teridentifikasi karena tersembunyi.
(Amin, 2010).
f. Terapi
Perawatan dan pencegahan yang paling sesuai adalah mengurangi
atau menjauhi faktor-faktor penyebabnya, seperti berhenti merokok atau
konsumsi alkohol. Ketika cara itu sudah ditempuh dan tidak efektif atau
menunjukkan

tanda-tanda

awal

kanker,

kemungkinan

untuk

menyembuhkannya dengan operasi atau laser untuk menghancurkan selsel kanker (Amin, 2010).
19. ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA
a. Definisi
Oral squamous cell carcinoma atau karsinoma sel skuamosa
merupakan kanker ganas pada rongga mulut yang paling sering terjadi,
yakni sekitar 97%, disusul dengan adenokarsinoma (2-3%) dan melanoma
maligna (1%) (Syafriza, 2000).
Karsinoma sel skuamosa pada pria didapat kira-kira 4% dan 2%
pada wanita. Namun dewasa ini terdapat pergeseran bermakna dari rasio
tersebut di mana angka kejadian karsinoma sel skuamosa pada pria dan
wanita menjadi 3:1 oleh karena kemungkinan peningkatan pria yang
merokok. Data insidensi keseluruhan meliputi kira-kira 2% dari kanker
yang menyebabkan kematian pada pria dan 1% pada wanita, dengan
jumlah kematian tiap tahun mencapai 9500 orang (Syafriza, 2000).
b. Etiologi

62

Faktor etiologi yang dapat memicu berkembangnya kanker mulut


antara lain sebagai berikut:
1) Tembakau
Dari semua faktor etiologi penyebab kanker rongga mulut,
tembakau merupakan faktor yang paling erat kaitannya dengan
kejadian kanker ini, baik untuk merokok atau dikunyah. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa resiko terkena kanker rongga mulut
untuk seorang yang merokok satu bungkus sehari kira-kira 4 kali dari
yang tidak merokok.
Tembakau mengandung zat-zat karsinogenik seperti nikotin,
yang salah satunya merupakan zat adiktif paling kuat di samping
polisiklik aromatik hidrokarbon, nitrosodietanolamin, nitrosoprolin
dan polonium.
2) Alkohol
Identifikasi alkohol saja sebagai faktor karsinogenik tunggal
sangat sulit dibuktikan karena kebiasaan merokok dan minum
minuman beralkohol keduanya ada pada sebagian besar penderita
kanker rongga mulut. Alkohol dan tembakau memberikan efek sinergis
yang menyebabkan perubahan displastik pada mukosa. Orang yang
merokok dan minum alkohol dalam jumlah yang berlebihan
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena kanker mulut daripada
orang yang meminum alkohol saja atau yang mengkonsumsi tembakau
saja.
Daerah mukosa yang paling sering terkena oleh alkohol
mempunyai resiko paling tinggi untuk berkembangnya kanker. Alkohol
dapat mempengaruhi keutuhan sistem kekebalan pasien yang
memungkinkan kanker tumbuh dan berkembang.
3) Faktor pendukung lain
Faktor pendukung lain yang dimaksudkan di sini antara lain
adalah faktor penyakit kronis, faktor gigi dan mulut, defisiensi nutrisi,
jamur, virus, dan faktor lingkungan.
a) Penyakit kronis
Penyakit kronis dapat menjadi faktor predisposisi bagi
timbulnya keganasan. Penyakit tersebut antara lain sifilis dan liken

63

planus. Ditemukan bukti bahwa 20-30% dari semua pasien lakilaki dengan kanker mulut di Amerika Serikat adalah penderita
sifilis kronis. Liken planus dapat dianggap sebagai penyebab
terjadinya kanker rongga mulut, walaupun penyebab langsung dan
hubungan yang jelas belum diketahui. Banyak kasus yang
menunjukkan bahwa penderita kanker rongga mulut mempunyai
riwayat liken planus.
b) Faktor gigi dan mulut
Tingkat oral higiene yang rendah, restorasi yang tidak tepat,
tepi gigi geligi yang tajam, gesekan gigi tiruan yang longgar,
bersama faktor-faktor lain diperkirakan sebagai salah satu faktor
penyebab berkembangnya keganasan dalam rongga mulut. Jika
etiologi kanker dimulai oleh sebab lain, faktor-faktor ini dapat
memperhebat proses yang sudah terjadi.
c) Defisiensi nutrisi
Beberapa defisiensi zat makanan

seperti

defisiensi

riboflavin dan anemia defisiensi besi telah dihubungkan dengan


kejadian

karsinoma

rongga

mulut.

Defisiensi

riboflavin

menyebabkan perubahan displastik mukosa oral. Sebagian


dijelaskan hubungannya dengan alkohol yang menyebabkan
defisiensi riboflavin dan kanker rongga mulut. Anemia defisiensi
besi dengan sindroma Plummer-Vinson, yang paling sering diamati
pada wanita, juga dapat menyebabkan displasia mukosa oral dan
faring. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan insidensi
kanker mulut dan orofaring pada kelompok ini meningkat.
d) Jamur
Organisme oportunistik ini dalam rongga

mulut

mempengaruhi patogenesis dari kanker mulut. Penelitian telah


membuktikan bahwa terdapat metaplasia sel skuamosa dan
kecenderungan proliferatif epitel dari embrio anak ayam yang
terinfeksi oleh C.albicans.
e) Virus
Virus dipercaya dapat

menginduksi

kanker

dengan

mengubah struktur DNA dan kromosom yang diinfeksi. Virus


64

Herpes simplex tipe 1 (HSV-1) dan Human Immunodeficiency


Virus (HIV) memegang peranan dalam patogenesis karsinoma sel
skuamosa.
f) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan

seperti

sengatan

sinar

matahari,

karsinogen alami, ataupun polusi pabrik mempengaruhi insiden


kanker mulut dan menyebabkan adanya variasi dalam distribusi
kanker di dalam rongga mulut.
(Syafriza, 2000)

c. Gambar

Gambar 30. Oral squamous cell carcinoma


d. Diagnosis
Pemeriksaan:
65

1) Pemeriksaan klinis
a) Anamnesis
b) Pemeriksaan fisik
i) Status general
ii) Status lokalis
Dengan cara : inspeksi dan palpasi bimanual
Kelainan dalam rongga mulut diperiksa dengan cara
inspeksi dan palpasi dengan bantuan spatel lidah dan
penerangan dengan menggunakan lampu senter atau lampu
kepala. Seluruh rongga mulut dilihat mulai dari bibir sampai
orofaring posterior. Perabaan lesi rongga mulut dilakukan
dengan memasukkan 1-2 jari ke dalam rongga mulut. Untuk
menentukan dalamnya lesi dilakukan dengan perabaan
bimanual. Satu- dua jari tangan kanan atau kiri dimasukkan ke
dalam rongga mulut dan jari-jari tangan lainnya meraba lesi
dari luar mulut.
Untuk dapat melakukan inspeksi lidah dan orofaring
maka ujung lidah yang telah diberi kassa 2x2 inchi dipegang
dengan tangan kiri pemeriksa dan ditarik keluar rongga mulut
dan diarahkan ke kanan dan ke kiri untuk melihat permukaan
dorsal, ventral, dan lateral lidah, dasar mulut, dan orofaring.
Inspeksi bisa lebih baik lagi jika menggunakan cermin
pemeriksa.

Tentukan

lokasi

tumor

primer,

bagaimana

bentuknya, berapa besar dalam sentimeter, berapa luas


infiltrasinya, bagaimana operabilitasnya.
iii) Status regional
Palpasi apakah terdapat pembesaran kelenjar getah
bening leher ipsilateral atau kontralateral. Bila ada pembesaran
tentukan lokasinya, jumlahnya, ukurannya, dan mobilitassnya
2) Pemeriksaan radiografi
X-foto polos
3) Pemeriksaan laboratorium

66

Pemeriksaan

laboratorium

rutin

seperti:

darah,

urin,

SGOT/SGPT, alkali fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin,


serum elektrolit, faal hemostasis, untuk menilai keadaan umum dan
persiapan operasi.
4) Pemeriksaan patologi
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga sebagai
kanker rongga mulut harus diperiksa patologis dengan teliti.
e. Terapi
Penanganan kanker rongga mulut sebaiknya dilakukan secara
multidisiplin yang melibatkan beberapa bidang spesialis, yaitu:
1) Oncologic surgeon
2) Plastic and reconstructive surgeon
3) Radiation oncologist
4) Medical oncologist
5) Dentist
6) Rehabilitation specialists
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan kanker
rongga mulut ialah dengan eradikasi dari tumor, pengembalian fungsi dari
rongga mulut serta aspek kosmetik/penampilan penderita.
(Syafriza, 2000).

67

SISTEM KEKEBALAN RONGGA MULUT

20. LUDWIG ANGINA


a. Definisi
Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
atau flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan
seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada
limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula. Ruang
suprahyoid berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada os.hyoid
dan m.mylohyoideus. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang
berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan ke
belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
secara potensial.
b. Epidemiologi
Faktor predisposisi

berupa

diabetes

mellitus,

neutropenia,

alkoholik, anemia aplastik, glomerulonefritis, dermatomyositis, dan


sistemik lupus eritematosus. Penderita terbanyak berkisar antara umur
20-60 tahun.
c. Etiologi

68

Angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari


molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak
pada tingkat otot myohyoid, dan abses di sini akan menyebar ke ruang
submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara
lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka,
infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena
melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal,
laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan
trauma pada dasar atau lantai mulut. Organisme yang paling banyak
ditemukan

pada

penderita

angina

Ludwig

melalui

isolasi

adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.


1) Infeksi odontogen dari M2/M3 bawah yg menyebar ke rongga
submandibula, sublingual, dan submental kiri-kanan
2) Akar gigi terletak pada level m.mylohyoid
3) Merupakan radang akut yg tumbuh cepat, difus dalam jaringan
beranyaman longgar, tidak ada kecenderungan pembatasan dan
pembentukan pus.
d. Gejala :
1) Melibatkan bilateral space
2) Gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada melibatkan
jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula
penyebaran melalui fascia lebih sering daripada melalui sistem
3)
4)
5)
6)

limfatik
Adanya pembengkakan besar
Tenderness (+)
Konsistensi keras seperti papan (woody)
Kulit mengkilap, merah, panas/ hangat

jika lokasinya di dasar mulut:


1)
2)
3)
4)
5)
6)

Lidah terangkat
Trismus
Limfonodi regional membengkak dan sakit
Mulut/ bibir terbuka
Air ludah sering mengalir keluar
Kepala cenderung tertarik ke belakang

69

e. Patogenesis
Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam
yang merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal.
Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan
menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini
tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak.
Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan
tubuh. Odontogen

dapat

menyebar

melalui

jaringan

ikat

(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh


limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada
rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial.
Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses
sublingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan
angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang
bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang
terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga
terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang
submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringeal. Abses pada akar
gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan menyebabkan sedikit
ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi jika terjadi ketegangan antara
tulang.
f. Penatalaksanaan
1) Antibiotik dosis tinggi (biasanya kombinasi penisilin G dengan
2)
3)
4)
5)
6)

klindamisin)
Peresepan AINS, analgetik, antipiretik
Roburansia
Bed rest
Insisi
Tracheostomi

70

DAFTAR PUSTAKA
Amin H (2010). Leukoplakia. http://sehat-enak.blogspot.com/Diakses
tanggal 10 Juni 2013.
Andryani S (2010). Skripsi: Kandidiasis oral pada pasien tuberkulosis pada
akibat pemakaian antibiotik dan steroid. Medan: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatra Utara.
Anggraeni (2007). Plaque gigi sumber penyakit gigi dan
mulut.http://www.answers.com/topic/dental-plaque-1/Diakses tanggal
10 Juni 2013.
Childrens Craniofacial Association (CCA) ( 2009). A guide to understanding
cleft
lip
and
palate.
http://www.ccakids.com/
Syndrome/CleftLipPalate.pdf9Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Dalimunthe (2008). Periodonsia. Medan: USU Press.
De

Pietro, M.A. (2010). A Non-Cancerous Growth in the


Mouth.www.livestrong.com/article/273295-a-non-cancerous-growth-inthe-mouth Diakses tanggal 9 Juni 2013

Debnath T (2002). Public health and preventive dentistry 2nd Ed. India:
AITBS Publisher and Distributors(Regdt).
Elih dan Salim (2008). Perawatan gigi impaksi 21 dengan alat cekat standar
edgewise.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/
2010/06/perawatan_gigi_impaksi.pdfDiakses tanggal 10 Juni 2013.
Findya A (2010). Pemeliharaan oral hygiene dan penanggulangan
komplikasi perawatan ortodonti. Sumatera Utara: USU.
Gallois R (2006). Classification of malocclusion.http://www.columbia.edu/
itc/hs/dental/D5300/Classification%20of%20Malocclusion
%20GALLOIS%2006%20final_BW.pdf. Diakses tanggal 11 Juni
2013.
Harty FJ (1995). Kamus kedokteran Ggigi, terj. alih bahasa drg. Narlan
Sumawinata. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Institute of Dental and Craniofacial Research (2011). Anodontia.
http://children.webmd.com/anodontiaDiakses tanggal 6 Juni 2013.

71

Irfan

(2011).
Definisi
impaksi
gigi.
http://www.kesehatangigidanmulut.info/17.html Diakses tanggal 10
Juni 2013.

Kidd AM (1992). Dasar-dasar karies. Jakarta: EGC.


Lelyati S (1996). Kalkulus hubungannya dengan penyakit periodontal dan
penanganannya.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08KalkulusHubungannyadenganP
enyakitPeriodontal113.pdf/08KalkulusHubungannyadenganPenyakitPer
iodontal113.html. Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Lukisari C (2010). Xerostomia: salah satu manifestasi oral diabetik.
http://canelukisari.blogspot.com/2010/04/xerostomia-salah-satumanifestasi-oral.html Diakses tanggal 11 Juni 2013.
Machfoedz I (2006). Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anak dan ibu
hamil. Yogyakarta: Fitramaya.
Majalah Kesehatan (2010). Periodontitis, bukan pendarahan gusi
biasa.http://majalahkesehatan.com/periodontitis-bukan-peradangangusi-biasa/Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Medicastore
(2012).
Pulpitis
(radang
gigi).http://medicastore.com/Diakses tanggal 10 Juni 2013.

pulpa

Minata
H
(2011).
Penyebab
utama
karies
gigi.http://www.kompasiana.comDiakses tanggal 11 Juni 2013.
Morokumo (2010). Abnormal fetal movement, micrognatia and pulmonary
hypoplasia:
a
case
report. Abnormal
fetal
movement.
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC2931455/pdf/1741-239310-46.pdfDiakses tanggal 1 Juni 2013.
Mozartha
M
(2010).
Plaque
dan
karang
gigi.http://etalaseilmu.wordpress.com/2010/04/29/plaque-dan-karanggigi/Diakses tanggal 11 Juni 2013.
Naidich T (2003). Section I: sinonasal cavities. Mosby Anatomy Book.
Mosby Inc.
Nurhayani (2004). Perbedaan jumlah debris yang terdorong keluar apeks
gigi pada preparasi saluran akar teknik step back dan crown down.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Obiechina AE (2001). Third Molar Impaction: evaluation of the symptoms
and pattern of impaction of mandibular third molar teeth in nigerians.
Odonto Stomatologie Tropicale Vol. 93.
Orstavik D (2007). Apical periodontitis: microbial infection and host
responses.
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_sto

72

re/Sample_chapter/9781405149761/9781405149761_4_001.pdf.
Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Patel

A (2009).
The developmental disturbences
of
http://www.scribd.com/doc/44674594/The-DevelopmentalDisturbences-of-Jaws Diakses tanggal 9 Juni 2013.

jaws.

Patterson
(2004).
Leukoplakia.
http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf. Diakses tanggal
10 Juni 2013.
Paul

T
(2009).
Managementofimpactedteeth.
http://faculty.ksu.edu.sa/Falamri/Presentations/Impactedteeth.pdfDiakses tanggal 1 Juni 2013.

Philip C (2008). Xerostomia: recognition and management. American Dental


Hygienist: pp 1-7.
Pintauli S (2008). Fairway to oral health in general practice. Medan: USU
Press.
Ramil
R
(2010).
Penatalaksanaan
pada
anodontia.http://www.ilmukesehatan.com/Diakses tanggal 10 Juni
2013.
Rangkuti NH (2007). Pebedaan leukoplakia dan hairy leukoplakia di rongga
mulut. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Rifki A (2010). Perbedaan efektifitas menyikat gigi dengan metode roll dan
horizontal pada anak usia 8 dan 10 tahun di medan. Medan,
Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Ronald LE (1996). Review: Xerostomia: A symptom which acts like a
disease. Age and Ageing Vol. 26: pp 409-412.
RSMK
(2011).
Gingivitis
(peradangan
gusi).http://www.mitrakeluarga.com/bekasitimur/category/gigi/Diakse
s tanggal 11 Juni 2013.
Ruslin M (2011). Malocclusion.http://medicastore.com/Diakses tanggal 10
Juni 2013.
Salmiah S (2009). Ginggivitis pada anak. Sumatera Utara: USU.
Santoso TB (2009). Micrognathia.http://health.detik.com/Diakses tanggal 8
Juni 2013.
Scully C (2003). The diagnosis and management of recurrent aphthous
stomatitis: a consensus approach. J Am Dent Assoc vol. 134: pp 200207.

73

Setiani dan Sufiawati (2005). Efektifitas heksetidin sebagai obat kumur


terhadap frekuensi kehadiran jamur candida albicans pada penderita
kelainan
lidah.http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/
publikasi_dosen/EFEKTIVITAS%20HEKSETIDIN%20SBG
%20OBAT%20KUMUR.pdfDiakses tanggal 10 Juni 2013.
Stuart A. 2013. Parotitis. http://medicine.med.nyu.edu/conditions-wetreat/conditions/parotitis [diakses pada 28 Oktober 2014]
Susanto AJ (2009). Penyakit periodontal (periodontal disease).
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ae42e86e5d487ac19eb4c25
8acfc6ef7f0e6f9ca.pdf. Diakses tanggal 1 Juni 2013.
Syafriza, D. (2000). Skripsi: Diagnosis dini karsinoma sel skuamosa di
rongga mulut. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Medan
Tarigan R (2010). Karies gigi.http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/20092/4/Chapter%20II.pdfDiakses tanggal 1 Juni 2013.
Thoothclub (2011). Dental diagnosis poor oral hygiene overview.
http://www.toothiq.com/dental-diagnoses/dental-diagnosis-poor-oralhygiene-overview.html/ Diakses tanggal 10 Juni 2013.
Walton dan Torabinejad (1998). Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Widyanti N (2005). Pengantar ilmu kedokteran gigi pencegahan. Yogyakarta:
Medika Fakultas Kedokteran UGM.
Williams D (2011). Pathogenesis and treatment of oral candidosis. Journal of
Oral Microbiology 2011, vol 3: 5771.
Wu CC (2007). A review of hypodontia: the possible etiologies and
orthodontic, surgical and restorative treatment optionsconventional
and futuristic. Hong Kong Dent J. Vol. 4 No. 2.
Zieve

D
dan
Juhn
G
(2009).
Glossitis.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001053.htm.
Diakses tanggal 11 Juni 2013.

74

Вам также может понравиться