Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
spongioblas di kanalis sentralis pada tahap embricnal; atau karena terjadi perdarahan pada tahap
embrional. Pada mulanya lubang itu tentu kecil dan meluas ke tepi secara berangsur-angsur.
Seluruh substansia grisea sentralis dapat musna h, berikut dengan masa putih yang dikenai
sebagai komisura alba ventralis. Funikulus dorsalis yang membatasi substansia grisea sentralis
dari dorsal tidak pernah terdesak oleh lubang patologik itu. Tergantung pada luas lubang dalam
orientasi rostrokaudal, maka kornu anterius dan kornu laterale berikut serabut-serabut
spinotalamik (yang membentuk komisura alba ventralis) dapat terusak sepanjang satu atau dua
segmen. Dalam hal itu terjadi kelumpuhan LMN (akibat runtuhnya motoneuron), adanya
disosiasi sensibilitas (akibat hancurnya serabtft-serabut spinotalamik di komisura alba ventralis)
dan hiiangnya reaksi neurovege- o tatif (akibat musnahnya neuron-neuron di kornu laterale) pada
bagian tubuh yang merupakan kawasan sensorik dan motorik segmen-segmen yang diduduki
siringomielia. Oleh kar ena la se ring berlokasi di intume- sensia servikalis, maka daerah tubuh
yang terkena ialah kedua lengan. Dalam hal itu diternukan kelumpuhan LMN yang melanda otototot tenar, hipotenar dan interosea. Kulit yang menutupi otot-otot tersebut menunjukkan disosiasi
sensibilitas dan gangguan neurovegetatif. Sebagai tanda perluasan lubang patologik itu dapat
diternukan fasikulasi di otot-otot bahu, lengan bawah dan lengan atas. Gambaran penyakit itu
dikenai sebagai sindrom siringomielia. Suatu fumor yang berkembang di substansia grisea
sentralis dan lambat laun merusak kornu anterius, kornu laterale dan komisura alba ventralis
memperlihatkan gambaran penyakit yang menyerupai sindrom siringomielia. Tumor tersebut
biasa- nya berasal dari ependim, sehingga dinamakan ependimoma.
Biasanya siringomielia itu kempis, sehingga pada segmen yang terkena, medula spinalis
memperlihatkan atrofia. Tetapi lubang patologik itu dapat mengandung cairan serebrospinalis
bagaikan kista. Penim- bunan cairan itu dapat berlangsung secara progresif, sehingga tekanan
terhadap substansia alba di sekelilingnya mengganggu fungsi funikulus posterolateralis (yang
mengandung serabut-serabut kortikospinal) dan funikulus anterolateralis (yang mengandung
serabut-serabut spinotalamik). Siringomielia yang merupakan kista penuh dengan cairan dan
menekan kepada sekelilingnya dinamakan hidromielia, yang pada hala- man 37 telah disinggung
sehubung dengan sindrom kompresi medula spinalis.
2.
bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai dan sering pula dilengkapi
dengan gangguan miksi dan defekasi.
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan menyeluruh dapat terjadi.
Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi imunopatologik. Walaupun segenap radiks
(ventralis/dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis
paling berat mengaiami kerusakan. Keadaan patologik itu dikenai sebagai poliradikulopatia atau
polineuritis post infeksiosa. Di dalam klinik ia dikenai sebagai sindrom Guillair.-Barre (Strohl),
dan manifestasi klinis- nya ialah sebagai berikut. Sebelum kelumpuhan timbul, terdapat anamnese yang khas, yaitu infeksi traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa tersebut dan
mulatimbulnya kelumpuhan, terdapat masa bebas gejala penyakit, yang berkisar antara beberapa
hari sampai beberapa (3 - 4) minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak dan pada
umumnya bermula di bagian distal tungkai dan kemudian melanda otot-otot tungkai proksimal.
Lagi pula kelumpuhan meluas ke bagian tubuh atas, terutama ke otot-otot kedua lengan, bahkan
leher dan wajah serta otot-otot penelan dan bulbar lainnya. Maka dari itu sindrom ini dikenai
juga sebagai paralisis asendens. Keterlibatan radik dorsalis dapat diketahui oleh adanya
parestesia di daerah'yang dilanda kelumpuhan asendens itu. Mula terasanya dan perluasan ke
atasnya berjalan seiring dengan perjalanan kelumpuhan asendens. Pada tahap permulaan, gangguan miksi dan defekasi dapat juga menjadi ciri penyakit tersebut.
Kelainan yang diternukan dalam likuor menunjang sekali anggapan, bahwa proses
imunopatologik mendasari sindrom ini. Adapun kelainan itu ialah meningkatnya kadar protein,
yang tidak bergandengan dengan peningkatan jumlah sel. Kelainan ini menyimpang dari
ungkapan likuor yang mengarah kepada proses infeksi, pada mana peningkatan protein
bergandengan dengan kenaikan jumlah sel. Oleh karena itu, maka kelainan tersebut dinamakan
'disosiasi sito-albuminik': Lagi pula jenis- jenis immunoglobulin di dalam serum ternyata
meninggi.
3. Kelumpuhan akibat kerusakan pada pleksus brakialis
Radiks ventralis dan radiks dorsalis bergabung di foramen intervertebral, sehingga menjadi
satu berkas, yang dikenai sebagai saraf spinal. Sesuai dengan foramen intervertebrale yang
anak- anak, biasanya akibat jatuh pada bahu dengan kepala terlampau mene- kuk ke samping,
sehingga pleksus brakialis mengalami penarikan yang hebat, terutama pada bagian atasnya.
Kelumpuhan melanda m.supraspi- natus, m.infraspinatus, m.subskapularis, m.teres mayor,
m.biseps brakialis, m.brakialis dan m.brakioradialis. Oleh karena itu, maka lengan bergantung
lemas dalam sikap endorotasi pada sendi bahu dengan siku lurus dan lengan bawah dalam sikap
pronasi. Pada umumnya gerakan tangan di sendi pergelangan tangan masih utuh dan gerakan
jari-jari tangan tidak terganggu.
Kelumpuhan Klumpke juga dapat dijumpai pada neonatus atau anak-anak dan orang
dewasa. Jika bayi yang terkena, maka faktor etiologinya trauma lahir. Karena kepala bayi sukar
dikeluarkan, maka penarikan pada bahu dilakukan. Akibatnya ialah serabut-serabut radiks T.l
dan C.8 mengalami kerusakan. Lesi seperti itu dapat terjadi pula karena jatuh dari tempat yang
tinggi, lalu untuk menyelematkan diri si korban kecelakaan menangkap cabang batang pohon,
sehigga dengan demikian bahunya tertarik secara berlebihan. Karena itu semua ekstensor dari
jari-jari tangan lumpuh dan tangan juga tidak dapat ditekukkan di sendi pergelangan tangan.
Defisit sensorik dapat ditemu- kan pada daerah sempit pada kulit yang memanjang pada
sampinglilnar dari pergelangan tangan sampai pertengahan lengan bawah.
4. Kelumpuhan akibat lesi di pleksus lumbosakralis
Anyaman pleksus lumbosakralis (gambar 25) lebih sederharia dari pada anyaman pleksus
brakialis, oleh karena semua saraf perifer bagi tungkai merupakan lanjutan langsungnva.
Kelumpuhan akibat lesi se- tempat di pleksus-lumbosakralis sukar dibedakan dari kelumpuhan
akibat lesi di bagian proksimal n.femoralis, n.obturatorius, dan n.iskiadi- kus, sihingga
pembahasannya dirujukkan pada fasal yang bersangkutan.
Oleh karena manifestasi sensorik akibat lesi di pleksus lurribosakra- lis lebih menonjoi
ketimbang maniferstasi motoriknya, maka gambaran penyakitnya akan dibahas dalam fasal
mengenai gangguan sensorik akibat lesi di pleksus lumbosakralis.
5. Kelumpuhan akibat lesi di fasikulus
Berbeda dengan penataan pleksus lumbosakralis adalah pleksus brakialis, yang tidak
langsung bercabang-cabang untuk membentuk ber- bagai saraf perifer, melainkan menyusun 3
berkas dulu sebelum menge- luarkan semua saraf perifer yang mengurusi motorik dan sensorik
lengan berikut jari-jari tangan. Ketiga berkas itu dikenal sebagai fasikulus lateralis, posterior
dan medialis sesuai dengan topografinya terhadap a.aksilaris (gambar 24). Fasikulus posterior
merupakan induk n.radialis dan fasikulus medialis menjadi pangkal n. ulnaris, sedangkan
n.media- nus disusun oleh serabut-serabut yang berasal dari fasikulus lateralis.
Lesi di fasikulus lateralis dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus ke lateral dan
menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot biseps brakial, korakobrakial dan lain-lain otot
yang disarafi oleh n.medianus, kecuali otot-otot intrinsik tangan.
Kerusakan pada fasikulus posterior jarang terjadi. Jika karena sebab yang tidak dapat
dipastikan lesi itu toh terjadi, maka kelumpuhan LMN dan defisit sensorik dapat dijumpai pada
kawasan n.radialis.
Lesi pada fasikulus medialis disebabkan oleh dislokasi humerus ke arah subkorakoid,
sehingga menimbulkan kelumpuhan LMN dan defisit sensorik di kawasan motorik dan sensorik
n.ulnaris. Paralisis LMN akibat lesi di pleksus dan fasikulus tidak banyak berbeda dengan
kelumpuhan yang terjadi akibat lesi di n.radialis, n.ulnaris atau n.medianus. Selain data
anamnestik dan hasil pemeriksaan sensorik, masih ada satu gejala penting, yang dapat
mengungkapk'an lokalisasi lesi di pleksus atau di fasikulus, yaitu sindrom Horner. Sindrom ini
terdiri atas miosis, endoftalmus, ptosis dan anhidrosis hemifasialis, yang jarang timbul secara
lengkap. Yang hampir selamanya dijumpai ialah ptosis, miosis dan anhidrosis hemifasialis.
Sindrom Horner berkorelasi dengan lesi di pleksus brakialis, merigingat sindrom Horner itu
dihasilkan oleh terputusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikale superius yang
terletak di daerah pleksus brakialis. ,
Proses neoplasmatik yang berada di kutub paru-paru dapat menimbulkan kelumpuhan pada
otot-otot bahu dan lengan yang disertai sindrom Horner pada sisi ipsilateral.