Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Novemb
and Social
er
Management 2015
Accounting
Disusun Oleh:
Tri Aprilian Jani
041414253001
Refivia Audie C.
041414253013
INTRODUCTION
Environmental Management Accounting (EMA, lihat Table 1) telah menerima
perhatian yang dipertimbangkan dalam beberapa tahun ke belakang (Ansari et al., 1997, pp.
4-5; Bennett dan James, 1998b; Schaltegger dan Burritt, 2000; Gray dan Bebington, 2001).
Dampak dan insiden lingkungan perusahaan sedang menuju pada konsekuensi moneter yang
lebih besar bagi organisasi yang perlu untuk dimanaj (Shaltegger dan Burritt, 2000, p.31);
promosi oleh badan dan pemerintahan internasional (contohnya Tellus Institute, the United
Nations Division for Sustainable Development international experts group on Environmental
Management Accounting (UNDSD EMA) dan the United Nations Environment Programme
(UNEP)) serta penerimaan sukarela oleh manajemen dari kebutuhan untuk membahas isu
lingkungan perusahaan dalam rangka untuk memaintain legitimasi perusahaan (Deegan,
2002). Bidang tools EMA sekarang tersedia untuk para manajer (Burritt et al., 2002a, METI,
2002) dan diskusi reguler perkembangan EMA pada konferensi dan workshops sekarang
sudah menjadi suatu norma.
Kritik dasar environmental dari akuntansi manajemen konvensional adalah bahwa
hal tersebut sebagian besar mengabaikan identifikasi yang terpisah, klasifikasi, pengukuran
dan pelaporan informasi lingkungan, khususnya biaya lingkungan. Dengan pertimbangan
kecenderungan sebelumnya dari perusahaan-perusahaan tidak untuk menyoroti biaya
lingkungan mereka, beberapa studi telah mencoba untuk mengembangkan:
Biaya lingkungan mana yang secara potensial penting (Bennett dan James, 1997)? Dan
diklasifikan dalam beberapa cara yang berbeda. Lima klasifikasi yang sepertinya harus
menerima perhatan khusus, berdasarkan:
i. Akuntansi biaya konvensional (Horngren et al., 2003; Schaltegger dan Burritt, 2000)
job dan proses; langsung dan tidak langsung; historis dan standar; fixed dan variabel;
ordinary dan extraordinary;
ii. Dapat diukur (USEPA, 1995a, p. 14) konvensional, indirect hidden, lebih sedikit
tangible, contingent; dan sosial (eksternalitas); hal yang dapat diukur telah menjadi fokus
beberapa studi kasus dalam akuntansi manajemen lingkungan;
iii. Kualitas (Ansari et al., 1997, p. 5) pencegahan, penilaian (appraisal), pengendalian
(kegagalan internal) dan kegagalan eksternal;
iv. Life cycle dan aktivitas (Kreuze dan Newell, 1994) life cycle, research and
development, desain, produksi, dan lain sebagainya; activity based, unit, batch,
keberlangsungan produk dan biaya tingkat fasilitas; dan
v. Target audience (Schaltegger dan Burritt, 2000; Burritt et al., 2002a, p. 32) internal
(manajer dan karyawan); eksternal (shareholders, agen pajak, agensi lingkungan,
supplier, kreditor, masyarakat umum, komunitas lokal, organisasi non profit, dan lain
sebagainya).
Relevansi biaya lingkungan tergantung pada pertimbangan bidang. Hal ini termasuk i)
fungsi manajemen (misalnya pengambilan keputusan memerlukan biaya lingkungan masa
depan dari alternative yang berbeda, pengendalian memerlukan sebuah perbandingan antara
biaya lingkungan yang diharapkan dan aktual; akuntanbilitas internal didasarkan pada
visibilitas biaya lingkungan); ii) keputusan spesifik yang dibuat (misalnya modal investasi,
kapasitas lokasi atau closure, desain produk atau proses desain); iii) peran manajer dalam
value chain (missal desain atau produksi); iv) tingkat tanggung jawab manajer (missal top
manager atau manajer pembelian) dan v) sistem penialaian (reward individu yang didasarkan
pada penggunaan dari biaya lingkungan yang dicapai sebagai ukuran kinerja individu).
Pada paper ini, pertama, untuk hal yang telah tekonsentrasi dengan perkembangan
atau promosi EMA dan cara-caranya telah disusun. Sejumlah batasan atau rintangan
dipertimbangkan. Tabel 2 menggarisbesarkan sejumlah kunci kritik lingkungan dari
akuntansi manajemen konvensional. Kritik tersebut antara lain sebagai berikut:
Teknik penilaian kinerja terlalu sempit dan jangkanya pendek dalam fokus mereka;
Performance appraisal techniques are too narrow and short term in their focus
Respon akademisi: BSC termasuk pengukuran fisik jangka panjang dan moneter
lingkungan. Respon praktisi: perhatian yang tidak cukup terhadap penggunaan dalam
penilaian kinerja data akuntansi manajemen lingkungan (Burrtitt et al., 2002b).
Implementasi praktik dari arus material biaya akuntansi mengilustrasikan cara cost
centre material costs mana yang dimanipulasi (misal penamaan kembali nilai material yang
tinggi dan kesalahan posting, penggunaan volume yang muncul untuk menurunkan cost
centre, sehingga menurunkan biaya) (Eco-effizienz, 2002, p. 2).
kebanyakan mengabaikan nilai opsi (Graff et al., 1998, p. 12) NPV terendah dari 24 kasus
dikurangi US$1,4mn, tertinggi US$11.6mn, NPV khusus US$10.000 100.000.
Motivational effects
Respon akademisi: kurangnya motivasi selama perencanaan, implementasi, dan
pengendalian (Otley, 2001). Respon praktisi: belum secara luas dieksplor dalam manajemen
akuntansi lingkungan.
Absence of accounting for externalities and social cost issues (tier 4 social costs)
Respon akademisi: campuran aturan dari perluasan instrument kebijakan untuk
memasukkan self-regulation, kolaborasi dan inisiatif sukarela, dengan pergeseran skala dari
penyelenggaraan pelanggaran dan pembalikan kebijakan jika bisnis tidak mendemontrasikan
komitmen sukarela (Li, 2001). Memperkenalkan suatu full cost accounting sistem akuntansi
manajemen lingkungan sebagai suatu cara mengurangi pengawasan pengatur dan
pelanggaran yang terkumpul.
Respon praktisi: kebanyakan studi kasus mengabaikan eksternalitas dan fokus pada
aktual daripada biaya lingkungan private yang diharapkan dari bisnis. Di mana eksternalitas
dihitung (misalnya ex post values travel cost, hedonic pricing, averting behavior, ex ante
values contingent valueation, dan sebagainya) kualitas dari informasi kurang tetapi lebih
baik daripada estimasi nol (Graff et al., 1998, p. 12).
Memberikan pertumbuhan akademisi dan ketertarikan praktisi dalam manajemen
akuntansi lingkungan, ketersediaan tools EMA dan promosi aktivitas dari berbahai institusi,
pertimbangan kebutuhan diberikan pada tantangan tersebut. Sepuluh hal tersebut diuji secara
singkat pada bagian selanjutnya.
Bouma dan van der Veen (2002, p. 279) mengobservasi bahwa kebanyakan penelitian
di akuntansi manajemen lingkungan adalah preskriptif, mendukung pengembangan tools
selanjutnya, dan sering didasarkan pada jumlah studi kasus yang terbatas. Penelitian empiris
dalam akuntansi manajemen lingkungan (misalnya Bouma dan Walters, 1998) adalah langka
dan lebih difokuskan pada penjelasan pernyataan implementasi saat ini daripada menganalisis
atau evaluasi secara kritis ekfektivitas dari tools baru. Mereka merekomendasikan untuk
meningkatkan pemahaman yang mendalam dalam menyebarkan praktik EMA dan untuk
mengaplikasikan teori EMA ke adopsi dan efektivitas praktik EMA (Bouma dan Walters,
1998, p. 279). Sebagai starting point-nya, Bouma dan Walters melakukan ini dalam konteks
biaya lingkungan menggunakan teori kontijensi dan teori institusional dalam operasional,
model, koalisi, dan tingkat nilai. Analisis dapat diperluas untuk tiap tools akuntansi
manajemen lingkungan yang tercakup dalam sistem yang komprehensif (Burritt et al.,
2002a).
Small and medium sized enterprises (SMES) and enterprises in developing countries
Studi kasus cenderung berfokus pada self selecting organization (namun perhatikan
pengecualian, e.g Ditz et al., 1995) biasanya organisasi yang besar atau dengan lingkungan
sensitif, atau multi national melihat untuk meningkatkan legitimasi dengan para pemangku
kepentingan. Dalam perusahaan yang lebih besar stuktur organisasi divisional dapat
digunakan untuk mengedukasi dan melatih manajer dalam environmental awareness.
Memiliki awareness internal ini, mereka dapat dibekali untuk menjalankan total bisnis.
Studi kasus yang ada dalam akuntansi manajemen lingkungan berguna sebagai
pemahaman biaya lingkungan, material flows, dan potensi untuk akuntansi manajemen
lingkungan. Tetapi, jika mayoritas luas bisnis (small dan medium sized dan di negara
berkembang) tidak terikat dalam proses pendekatan holistic untuk membahas isu lingkungan
perusahaan, tidak akan memberikan hasil.
Beyond win-win
Perkembangan teoritis diperlukan untuk membantu mengarahkan praktik dan pembuat
kebijakan di luar win-win outcomes. Pandangan konvensional bahwa dampak lingkungan dari
bisnis mengarah pada biaya bersih bisnis, dan tidak akan mengarah pada win-win outcomes,
hanya secara implisit mempertimbangkan pilihan situasi ketika terdapat biaya bersih untuk
bisnis. Studi kasus di mana terdapat trade-off antara lingkungan dan ekonomi, atau
lingkungan dan sosial, outcomes tidak akan ternilai, karena mereka akan membantu
menghasilkan mind set baru unruk para manajer dimana hal tersebut dibiarkan bagi
lingkungan untuk dilihar sebagai pilar kunci keberlangsungan dalam beberapa peristiwa.
Software systems
Pengembangan sistem software yang murah namun reliabel dan kualitas tinggi akan
menjadi satu penolong untuk penanganan akuntansi maajemen lingkungan oleh bisnis yang
lebih kecil. Dalam survei yang berguna, pertanyaan-pertanyaan berikut ini dibahas (USEPA,
1995b).
Tools dan sistem software apa yang mendukung dan memperbolehkan pemenuhan
komprehensif dari biaya lingkungan?
Tools dan sistem software apa yang mendukung life-cycle costing (LCC)?
Arah apa yang memungkinkan software dan tools developers mengeksplore untuk
mengevaluasi secara kritis dan memodifikasi produk mereka untuk memecahkan
informasi dan kebutuhan baru?
Arah penelitian apa yang tepat berdasarkan current state dan batasan dari ketersediaan
tools dan software?
Performance management
Pengukuran kinerja dan sistem penilaian dijelaskan oleh Gray dan Bebbington (2001,
p. 59) sebagai poin-poin di mana, jika organisasi serius akan dampak lingkungan,
mempertimbangkan flow lingkungan ke dalam seluruh prosedur dan kebijakan bisnis:
Secara kritis kebanyakan isu lingkungan harus menjadi sebuah faktor inti
dalam rancangan dan operasi sistem keuangan dan sistem penilaian kinerja,
insentif, dan reward.
Gray dan Bebbington (2001, p. 59) mengobservasi bahwa terdapat banyak retorika
kosong dalam area ini.
Penilaian kinerja yang tidak termasuk dalam dampak yang berhubungan dengan
lingkungan dari individual dan unit organisasi (profit centres atau cost object) tidak mungkin
untuk memproduksi perilaku yang diinginkan oleh seorang komite top manajemen. Area ini
secara jelas menginginkan penelitian kerja lebih lanjut. Penggunaan indikator lingkungan
dalam sistem penilaian kinerja tetap berada pada tahapan pengembangan paling awal.
Costing
Para akademisi memiliki pertimbangan yang panjang mengenai masalah alokasi
biaya. Thomas (1974) mengatakan alokasi tertentu tidak dapat diperbaiki; hal tersebut dapat
dikatakan, tidak ada justifikasi teoritis dapat diberikan untuk membagi common cost dari
single input menjadi dua output (misalnya menghubungkan biaya listrik untuk menggerakan
pabrik produksi dengan individual unit dari output hanya dapat didasarkan pada aturan
arbitrer yang praktis). Zimmerman (1979) mensugestikan bahwa alokasi biaya dapat dipakai
sebagai proxy untuk opportunity cost yang sulit diobservasi untuk memotivasi manajer.
Burritt (1997) berargumen bahwa identifikasi akurat dari biaya lingkungan tidak langsung
dan dapat ditelusuri adalah palsu dan dapat mennyesatkan jika tujuan manajemen adalah
deliberate dan transparan.
The US General Accounting Office (1992) menyadari masalah bahwa sistem
akuntansi manajemen konvensional tidak menelusuri biaya lingkungan ke proses produksi
khusus, malah memasukkannya sebagai bagian dari general overhead untuk diserap oleh
seluruh produksi.
Recognizing the political, legal, technical, economic and social setting of information use
Secara umum, akuntansi manajemen lingkungan muncul untuk menjadi bagian dari
penemuan kembali akuntansi manajemen. Tetapi informasi akuntansi merupakan bagian dari
perencanaan politis dan proses pengendalian. Pengaturan anggaran dan standar merupakan
proses political bargaining, sehingga pertimbangan perilaku menjadi penting ketika melihat
pad acara informasi akuntansi manajemen lingkungan digunakan.
Sistem pengendalian harus memotivasi perundingan perencanaan melalui pengaturan
anggaran realistis, memotivasi komitmen untuk menyimpan rencana ke dalam tindakan dan
memotivasi sikap positif terhadap pengukuran kinerja yang digunakan oleh top management
untuk meningkatkan dan memaintain pengendalian yang efektif. Akuntansi manajemen
lingkungan mungkin memiliki tools yang tepat tetapi tidak memproduksi hasil yang
diinginkan karena masalah perilaku studi lebih lanjut dibutuhkan dalam area ini.
Misalnya, dapatkah beberapa masalah ini dihindari melalui: komitmen top
management kepada tujuan lingkungan dan mendukung untuk implementasi suatu tanggung
jawab lingkungan sistem akuntansi di mana area yang jelas dari tanggung jawab dampak
lingkungan didefinisikan; manajer terlibat dalam memformulasikan target untuk yang mana
mereka akan melaksanakan tanggung jawab; dan pengenalan dari sistem insentif positif untuk
penerimaan target reward, daripada informasi konvensional yang negatif diproduksi oleh
sistem pengendalian anggaran konvensional? Atau apakah kasus ini merupakan kasus yang
perubahannya radikal dalaml struktur kepemimpinan dan pengendalian diperlukan untuk
memindahkan ke arah respon perilaku oleh manajer yang melaksanakan konservasi dari
lingkungan dan peningkatan kinerja lingkungan?
CONCLUDING COMMENT
Debat mungkin berlanjut mengenai isu-isu ini, khususnya: biaya lingkungan mana
yang relevan terhadap bisnis dan mana yang harus dkakui dan diukur; proses eksternalitas
yang mana yang mungkin dilibatkan atau dimasukkan dalam sistem akuntansi manajemen
lingkungan; dan ketidaksamaan menyempurnakan EMA sampai selesai.
Beberapa isu lain untuk studi kasus terkait biaya, penilaian investasi dan evaluasi
kinerja meliputi sebagai berikut:
Penelusuran
biaya,
seperti
material
flows,
mungkin
membantu
Berpindah kearah integrase indikator lingkungan kinerja individu, kelompok, dan subunit dan seluruh aspek dari value chain perusahaan misalnya, integrase ecological
footprints.
Abstract
Artikel ini membahas perilaku manajer dalam fenomena manajemen laba oleh akrual
diskresioner. Lebih khusus, artikel ini menganalisa dampak praktek masalah keagenan yang
berfokus pada pengaruh corporate social responsibility dalam mengurangi atau
meningkatkan manajemen laba. Menurut teori keagenan, kami menyarankan bahwa direksi
bertindak dalam kepentingan mereka sendiri ketika ada masalah keagenan, pemesanan
akumulasi pengeluaran diskresioner untuk memaksimalkan bonus mereka. Selain itu, kami
mengharapkan komitmen yang tinggi oleh perusahaan dalam kegiatan tanggung jawab sosial
yang dapat meringankan masalah agensi. Namun, hasil empiris tidak konsisten dengan
kerangka penelitian teoritis kami. Kami menemukan bahwa di satu sisi kegiatan CSR tidak
mendorong manipulasi akuntansi, dan di sisi lain akrual diskresioner tidak berhubungan
positif dengan CSR.
Keywords: Earnings Management, Corporate Social Disclosure, Stakeholders, Agency
Theory
1.
Introduction
Laba akuntansi adalah salah satu informasi dalam evaluasi kinerja perusahaan yang
menarik perhatian sebagian besar pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.
Informasi akuntansi memfasilitasi tidak hanya untuk membedakan antara perusahaan yang
mampu berkinerja baik atau buruk, akan tetapi juga untuk membantu distribusi sumber daya
yang efisien dalam pengambilan keputusan (Healy dan Wahlen, 1999). Dalam konteks ini,
akuntansi laba adalah ketika dimana manajer memajukan kepentingan mereka sendiri dengan
mengorbankan perusahaan dan pemegang saham, dengan demikian perilaku ini dianggap
sebagai masalah keagenan. Sebagai konsekuensi dari informasi keuangan eksak yang
diungkapkan oleh manajer, pemegang saham dapat membuat keputusan keuangan dan
operasional yang tidak optimal, yang dapat mewakili biaya agensi dalam memproduksi atau
menciptakan manipulasi laba. Selanjutnya, pada bagian kedua, perhatian difokuskan pada
konsekuensi dari pengungkapan social. Bagian ketiga membahas kontribusi dari
pengungkapan sosial kepada investor. Dengan demikian, studi empiris ditetapkan pada
bagian keempat. Bagian kelima membahas mengenai pendekatan dan hasil empiris. Pada
bagian terakhir kami menyajikan kesimpulan.
2.
Review of Literature
2.1
untuk memahami tujuan dan nilai-nilai masyarakat terhadap kebijakan, pilihan keputusan dan
mengikuti arahan tindakan. Carroll (1979) menjelaskan CSR sebagai tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat yang mencangkup bidang ekonomi, hukum, moral dan
kebutuhan diskresioner lainnya. Dalam konteks ini, untuk menyoroti pentingnya tanggung
jawab sosial perusahaan kita mempertimbangkan legitimasi bisnis. Legitimasi didefinisikan
sebagai sumber daya yang sangat penting bagi kelangsungan organisasi. Karya-karya
penelitian yang menjelaskan insentif perusahaan dalam praktek CSR biasanya mengandalkan
teori legitimasi. Menurut Ullmann (1985) inovatif terkait dengan teori legitimasi kepada para
pemangku kepentingan yang dominan. Dalam program kegiatan CSR, perusahaan mencapai
lisensi untuk beroperasi (Porter dan Kramer, 2006). Baik pemerintah maupun masyarakat
memberikan otorisasi implisit atau eksplisit kepada perusahaan untuk melakukan bisnis.
Praktek dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan meningkatkan reputasi
dengan pemangku kepentingan (Orlitzky et al., 2003). Citra positif ini pada gilirannya akan
membantu perusahaan dengan hubungan masyarakat dalam menemukan dan membangun
modal reputasi, oleh karena itu pentingnya mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari
kelompok pemangku kepentingan. Melalui peningkatan interaksi dengan para pemegang
saham, pemasok, kreditur dan kelompok lain, perusahaan memperoleh kinerja (Cohen, 2009),
menikmati manfaat ekonomi melalui pendapatan dan mencapai hubungan positif antara
tanggung jawab sosial dan kompetitif keuangan (Salama, 2005; Callan dan Thomas, 2009).
Stakeholders adalah kelompok yang memiliki saham di sebuah perusahaan, mereka dapat
dianggap luar organisasi (internal). Memang, penyimpangan konsentrasi pada pemegang
saham untuk fokus pada kelompok stakeholder perusahaan adalah salah satu faktor yang
memotivasi praktik kegiatan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, pengungkapan
informasi lingkungan dan sosial memainkan peran penting dalam strategi pengungkapan nonkeuangan perusahaan. Dengan demikian, praktik akuntansi sosial ini merupakan suatu cara
untuk mengembangkan hubungan antara etika dengan perusahaan.
2.2
informasi lingkungan dan sosial dianggap berkontribusi dalam organisasi. Namun, karena
audit sosial yang tidak sempurna di dunia bisnis, pemimpin didorong untuk mengambil
tindakan diskresioner pada laba akuntansi untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Pada
penelitian sebelumnya, penelitian difokuskan pada hubungan antara tanggung jawab sosial
perusahaan dan kinerja keuangan. Memang, studi ini menyatakan bahwa kinerja keuangan
perusahaan secara positif berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (McGuire et al,
1988;. Salama, 2005).
Dalam konteks ini, tampaknya manajer yang terlibat dalam praktek manajemen laba
termotivasi untuk berperilaku dengan cara yang proaktif, berusaha untuk memuaskan para
pemegang saham, dan berbagai kelompok pemangku kepentingan untuk memastikan kinerja
secara keseluruhan. Memang, pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan seperti
informasi sosial dipandang perlu untuk melaporkan tanggung jawab perusahaan dan
kesadaran tentang isu-isu lingkungan dan sosial dari para pemangku kepentingan. Manajer
memiliki strategi pertahanan. Salah satu strategi tersebut adalah untuk mencari dukungan dari
para pemangku kepentingan dengan cara memfokuskan upaya mereka. Keuntungan dari
strategi ini menurunkan tekanan dari para pemangku kepentingan. Namun, untuk mencapai
objek mereka, para manajer dapat terlibat dalam praktek-praktek sosial untuk menciptakan
dan mengelola hubungan dengan para pemangku kepentingan di perusahaan untuk
meningkatkan kinerja sosial perusahaan.
Dengan demikian, kinerja sosial melibatkan komitmen perusahaan dalam kegiatan
tanggung jawab sosial seperti penerapan praktek manajemen sumber daya manusia, yang
mencapai tingkat yang baik dari kinerja lingkungan melalui daur ulang, mengurangi polusi,
dan partisipasi dalam pencapaian masyarakat (Williams et al. 2006). Prior et al. (2008)
menunjukkan bahwa manajer memilih penggunaan tindakan manajemen laba diskresioner
untuk mengirimkan informasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan ke pasar
modal pada prospek masa depan perusahaan. Namun, manipulasi laba dapat menunjukkan
kepada investor kemungkinan meningkatkan hasil dan arus kas masa depan. Karena asimetri
informasi, perusahaan menggunakan informasi keuangan untuk sinyal kepada investor bahwa
mereka menyimpan informasi yang menguntungkan. Dengan demikian, manajer didorong
secara sukarela untuk mengungkapkan informasi akuntansi tambahan sebagai sinyal untuk
menarik investor, dan untuk meningkatkan reputasi perusahaan terutama ketika mereka
mencoba untuk terlibat dalam manajemen laba. Selain itu, karyawan adalah kelompok
pemangku kepentingan yang terlibat dalam praktek manajemen laba.
Direksi
memantau
proses
pengambilan
keputusan
di
perusahaan;
mereka
menggunakan kekuatan mereka untuk kepentingan sendiri, yang menyebabkan kerugian yang
signifikan bagi para pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, stakeholder cenderung
merumuskan langkah strategis untuk mencegah manajemen laba. Sebagai respon dari
manajemen laba, para pemangku kepentingan menghukum perilaku oportunistik manajer
(Rowley dan Berman, 2000). Dalam konteks ini, langkah-langkah pelengkap yang dapat
mengurangi diskresi manajerial adalah: aktivisme serikat pekerja pada karyawan, hilangnya
kepercayaan pelanggan, tindakan hukum oleh regulator, dan risiko kerugian mitra dagang
(Castelo dan Lima, 2006). Dengan demikian, media memperkuat pengaruh dari tindakan ini
yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan manajemen laba.
Akibatnya, peningkatan liputan media memperkuat visibilitas politik dari perusahaan,
yang menyebabkan perhatian publik dan kontrol yang ketat. Ancaman media publikasi
memiliki dua pengaruh pada praktik manajemen laba. Dengan demikian, iklan menghasilkan
tekanan yang menyakitkan bagi perusahaan untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan,
yang mengancam degradasi citra perusahaan. Namun, dengan iklan tersebut dapat mendorong
para pemangku kepentingan untuk memberikan tekanan pada manajer untuk mengubah
praktek oportunistik mereka. Selain itu, beberapa perusahaan mulai mengembangkan
program in-house yang memungkinkan karyawan untuk mengungkapkan kekhawatiran
mereka terhadap masalah akuntansi sosial dan operasional (Murdock, 2003).
3.
3.1
Development of hypotheses
Hipotesis yang meneliti dampak pengungkapan lingkungan pada manajemen laba
didasarkan pada teori stakeholder yang mengasumsikan bahwa kinerja sosial perusahaan
secara positif mempengaruhi kinerja keuangan ketika kebutuhan dan harapan stakeholder
meningkat. Beberapa mekanisme membuktikan hubungan ini telah diusulkan seperti
meningkatkan reputasi perusahaan, pengurangan risiko bisnis, dukungan yang tinggi dari
regulator, investasi di pasar keuangan. Jadi, menurut hipotesis ini, perusahaan dengan tingkat
kinerja sosial yang tinggi ditandai dengan peningkatan kinerja keuangan.
Sebaliknya, kinerja sosial yang buruk dapat membahayakan reputasi perusahaan
dengan meningkatkan biaya modal dan mempengaruhi kinerja keuangan. Situasi terakhir
mendorong manajer untuk mengelola laba akuntansi mereka ke atas untuk menyembunyikan
kinerja keuangan yang buruk. Penelitian yang menganalisis hubungan antara CSR dan
manajemen laba (Richardson dan Welker, 2001; Margolis dan Walsh, 2003; Messner, 2009;
Blomgren, 2011), mereka menemukan bahwa tingkat tinggi CSR secara positif terkait dengan
kualitas pengungkapan informasi akuntansi (Laux dan Leuz 2009, Carnegie dan Napier,
2010).
Menurut Liu dan Lu (2007) dan Huang et al. (2008) meningkatnya akuntansi dan
sosial dan lingkungan pengungkapan dapat mengurangi biaya agensi. Menurut pemangku
kepentingan teori berperan untuk mengurangi biaya agensi dengan mendorong inisiatif sosial
yang mempengaruhi hubungan dengan para pemangku kepentingan (Jones, 1995). Alasan
yang mendasari adalah tanggung jawab sosial perusahaan akan menyembunyikan informasi
hasil akuntansi yang buruk dan karena itu dapat membuat manipulasi akuntansi (Chih et al.,
2008). Manajemen laba dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak
sesuai dengan kinerja CSR dan pengungkapan informasi lingkungan. Kesimpulannya, kita
menganggap bahwa CSR meningkatkan transparansi dan mempromosikan keterlibatan
pemangku kepentingan. Sebagai hasilnya, kami mengembangkan hipotesis berikut:
Hipotesis 1: Praktek corporate social responsibility (CSR) mengurangi besarnya
earnings management.
Selain itu, kami memeriksa hubungan antara praktek CSR dan kinerja manajemen;
sebagai hasilnya, perusahaan yang terlibat dalam manajemen laba mungkin lebih aktif dalam
praktik sosial dan pengungkapan lingkungan. Pandangan ini dapat ditafsirkan dalam dua cara.
Di satu sisi, perusahaan dapat menggunakan tindakan yang bertanggung jawab secara sosial
sebagai strategi untuk mengelola untuk hasil. Studi Petrovits (2006) menegaskan bahwa
perusahaan membayar kontribusi ke yayasan kemanusiaan untuk mencapai suatu pendapatan
terbaik. Dengan demikian, manajer mungkin dapat mencapai hasil akuntansi yang lebih
tinggi dan mereka terlibat dalam kegiatan CSR yang mempunyai hubungan positif antara
kinerja keuangan dan kinerja sosial (deMaCarty, 2009). Chih et al. (2008) menemukan bahwa
sebagian besar perusahaan yang bergerak dalam kegiatan CSR dikarakteristikan oleh
agresivitas dan perubahan keuntungan dari tahun ke tahun.
Bagi manajer yang tertarik dengan kinerja jangka pendek perusahaan, pengungkapan
sosial perusahaan adalah teknis untuk menciptakan reputasi baik perusahaan dan
meningkatkan hubungan dengan para pemangku kepentingan (McGuire et al., 1998). Oleh
karena itu, peningkatan laba di pasar keuangan diharapkan (Salama, 2005). Namun, dalam
rangka untuk menarik investor dan pemegang saham, perusahaan meningkatkan transparansi
informasi keuangan dan sosial. Di sisi lain, manajer yang terlibat dalam tindakan manajemen
laba, mengungkapkan informasi sosial untuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Sebagai
pemangku kepentingan yang tertarik dengan kegiatan CSR, tindakan manajemen yang
disengaja pada manajemen laba akan tersembunyi. Dengan demikian, hipotesis berikut diuji:
Hipotesis 2: Luasnya earnings management meningkatkan lingkup corporate social
responsibility
(CSR);
CSR
digunakan
untuk
menyembunyikan
manajemen hasil.
3.2
Data description
Situs EDGARSCAN dan SEC Securities and Exchange Commission adalah
sumber dasar pengumpulan data. Kami memilih masa studi 1997-2008 dan telah memilih
kelompok perusahaan yang mengungkapkan informasi sosial secara wajib. Data
pengungkapan sosial secara manual diekstrak dari laporan tahunan dan laporan lainnya
(laporan lingkungan, laporan keberlanjutan yang diterbitkan oleh perusahaan). Laporan ini
secara manual member informasi tentang pengungkapan sosial dan lingkungan, data
keuangan yang berasal dari neraca dan laporan laba rugi. Dari daftar itu, kita menghilangkan
semua perusahaan yang tidak memiliki pengungkapan keuangan dan sosial selama satu tahun
periode penelitian kami. Dengan demikian, sampel akhir terdiri dari 682 perusahaan AS
dengan data yang lengkap pada periode penelitian.
3.3
Measurement of variables
Dukungan sampel studi empiris kami dalam analisis pengungkapan sosial dan
- Nilai-3 diberikan jika perusahaan mengungkapkan informasi sosial dalam tiga laporan
(informasi sosial dan lingkungan dalam catatan atas laporan keuangan pada laporan
tahunan, laporan lingkungan terlepas dari informasi yang wajib terkandung dalam
catatan atas laporan keuangan dan laporan pembangunan berkelanjutan): ini adalah
kelompok 3.
- Nilai-2 diberikan jika perusahaan mengungkapkan hanya dua laporan: ini adalah
kelompok 2.
- Nilai-1 diberikan jika perusahaan mengungkapkan informasi sosial dalam catatan atas
laporan keuangan, hanya dalam laporan manajemen tahunan: ini adalah kelompok 1.
Earnings Manajement: EM
Seperti mayoritas penelitian sebelumnya, kita menggunakan akrual diskresioner sebagai
ukuran manajemen laba (Bartov et al, 2000;.. Frankel et al, 2002; Klein dan Reynolds,
2002; dan Francis, 2000). Model yang kami gunakan adalah dengan Dechow et al.
(2003), yaitu versi perbaikan dari Dechow et al. (1995).
Model Dechow et al. (2003) adalah:
Total akrual dapat ditentukan dengan dua metode. Yang pertama adalah metode langsung
dimana keadaan arus kas merupakan akrual dengan selisih antara laba bersih sebelum
pos luar biasa dan arus kas operasi. Yang kedua adalah metode tidak langsung dimana
akrual didefinisikan oleh perubahan aktiva lancar dikurangi perubahan dalam bentuk
tunai, perubahan kewajiban lancar dan depresiasi dan ketentuan.
Namun, akrual yang normal tergantung pada:
*IMMCORP: tingkat aktiva tetap bruto dengan depresiasi
*
perbedaan antara perubahan total pendapatan (CA) dan bagian non-discretionary total
penjualan kredit (CR). Bagian ini ditangkap oleh koefisien "k" yang merupakan
perubahan yang diharapkan dalam piutang untuk perubahan yang diberikan dalam
penjualan. "K" ditentukan dengan regresi berikut:
*GCAi,t: pertumbuhan penjualan di masa depan sebagai perusahaan yang tumbuh dan
mengantisipasi penjualan di masa mendatang, cenderung meningkat sahamnya. Akrual
yang mendorong penjualan di masa depan tidak diskresioner karena mereka memberikan
informasi tentang prospek masa depan perusahaan.
Perlu dicatat bahwa semua variabel standar dengan aset tertunda (actift-1) dan semua
model diperkirakan tahunan.
Residual dari regresi ini adalah akrual diskresioner (ACCDISC: DA), yang merupakan
ukuran manajemen laba.
Perlu ditekankan bahwa kita menggunakan metode untuk estimasi model Dechow et al.
(2003) adalah ordinary least square.
Control variable
Mengingat bahwa pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan tidak satu-satunya
faktor
yang
mempengaruhi
manajemen
laba
dalam
pencarian
kami,
kami
Method
Hipotesis kami memeriksa perusahaan yang bergerak pada manajemen yang memiliki
hasil lebih insentif untuk melakukan inisiatif social responsibility (CSR): seperti social
and environmental disclosure (CSD) perusahaan. Untuk menjelaskan (CSD) dan
mempelajari hubungan positif yang diharapkan, kita menggunakan regresi ordinary least
square (OLS) dengan kesalahan standar yang kuat pada analisis cross-sectional.
Kami menguji dua hipotesis kami; kami mengandalkan dua model untuk menjelaskan
manajemen laba dan CSR. Dengan demikian, dalam rangka untuk menguji hipotesis 1
dan menjelaskan pengaruh CSR pada manajemen kinerja, kita mendasarkan regresi ini:
Model 1:
Hipotesis 1 mengkonfirmasi jika uji 1 negatif dan signifikan.
Model kedua dirancang untuk menguji hipotesis 2 dan mempelajari pengaruh manajemen
laba pada CSR. Variabel kontrol yang sama digunakan untuk menguji hipotesis ini.
Dengan demikian, persamaan regresi adalah:
Model 2:
Dimana,
EM (DA): kinerja mutlak disesuaikan DA
Size (SIZE):Ln total aset
Leverage (LEV): rasio debt to equity
Profitability (ROA): return on total asset
eit: error. Indeks i dan t sesuai dengan perusahaan dan periode penelitian.
4.
Results
4.1
Descriptive statistics
Statistik deskriptif menguji hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan,
manipulasi akuntansi. Kami juga mencatat bahwa rasio rata-rata return on equity yang
mengukur kinerja, bagian dari peluang bisnis dan pertumbuhan adalah 6,1%.
Kami mencatat bahwa mayoritas perusahaan dalam sampel kami ditandai dengan
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan yang baik. Dengan demikian, kita
menemukan bahwa perusahaan yang dianalisis mengungkapkan rata-rata dua laporan yaitu
informasi sosial dan lingkungan (2,012). Di sisi lain, proksi akrual diskresioner untuk earning
management (EM) memiliki nilai rata-rata sekitar 0,086, yang sebanding dengan hasil
penelitian sebelumnya.
4.2
Correlation Analysis
Kita perlu mempelajari korelasi antara variabel independen. Hal ini untuk memastikan
bahwa variabel penjelas saling independen satu sama lain. Dengan demikian, kita harus
memastikan bahwa variabel penjelas tidak berkorelasi kuat. Korelasi matriks antara variabel
diberikan dalam Tabel 2.
Tabel
analisis
korelasi
antar
variabel.
Dengan
demikian,
kita
mendekati
laba
yang
4.3
longitudinal dengan standard error yang kuat bergerak untuk menguji hipotesis penelitian
yang dikembangkan. Penelitian multivariat seperti seharusnya menganalisis hubungan antara
Pada Tabel 3, kami meneliti dampak praktik kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap manajemen laba dengan tujuan untuk mengetahui apakah CSR
membantu mengontrol manipulasi laba (Hipotesis 1). Dengan demikian, dalam perkiraan
regresi, EM dianggap sebagai variabel dependen, sedangkan CSR dan variabel kontrol
lainnya diperlakukan sebagai variabel independen.
Kami mencatat dari hasil regresi, CSR tidak berhubungan dengan manipulasi laba
yang diukur dengan akrual diskresioner dan nilai probabilitas adalah 0,341. Hasil ini tidak
mengkonfirmasi hipotesis kami yang menganggap bahwa CSR akan memiliki efek negatif
terhadap EM. Namun, variabel kontrol mengukur pengembalian aset, ukuran, dan hutang
secara signifikan berkorelasi dengan manajemen laba. Oleh karena itu, variabel-variabel ini
mengurangi tingkat EM.
Perlu dicatat bahwa ROA, dengan koefisien -0,54, merupakan variabel yang memiliki
pengaruh terbesar pada manajemen laba. Dalam konteks ini, jika perusahaan memiliki kinerja
keuangan yang baik, tidak terlibat dalam tindakan manipulasi akuntansi. Kedua, ukuran
perusahaan memiliki dampak negatif yang signifikan berdampak pada tingkat EM (-0,13). Ini
menyiratkan bahwa perusahaan-perusahaan mengungkapkan informasi mereka lebih sering,
dengan demikian mereka cenderung untuk memanipulasi hasil.
Selain itu, tingkat koefisien hutang manajemen laba negatif dan negatif signifikan
dijelaskan oleh fakta bahwa perusahaan lebih leveraged terlibat dalam kegiatan manajemen
laba, mungkin karena pemantauan ketat dengan kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen laba tidak berdampak pada praktek
kegiatan social responsibility (p = 0,613), yang tidak mengkonfirmasi hipotesis kedua.
Dengan kata lain, manajemen laba oleh perusahaan dalam sampel kami tidak mengarah pada
peningkatan aktivitas CSR sebagai perangkat manajemen untuk mengurangi tekanan dari
stakeholder dan mengalihkan perhatian terhadap praktisi sosial.
Analisis Tabel 4 menunjukkan bahwa pengukuran pengembalian aset mengurangi
praktek manajemen laba, temuan ini dibenarkan oleh hubungan yang positif dan signifikan
dengan corporate social responsibility (p=0,000). Dengan demikian, kami mengkonfirmasi
hipotesis bahwa kinerja keuangan yang baik memperkuat dan mendukung praktek kegiatan
social responsibility.
Kedua, ukuran perusahaan secara positif berkaitan dengan corporate social
responsibility, kesimpulan ini adalah koheren dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar berusaha untuk menghilangkan tekanan dari
kelompok eksternal terhadap tanggung jawab sosial dan pembangunan berkelanjutan. Selain
itu, hutang ditandai dengan tanda negatif (-0,512) yang menunjukkan dampak yang signifikan
terhadap pengungkapan informasi sosial, bahwa ketika perusahaan dihadapkan dengan
hutang yang tinggi maka mereka akan kurang memberikan kegiatan tanggung jawab sosial.
Kesimpulannya, hipotesis 2 ditolak.
5.
Conclutions
Kami meneliti hubungan antara pengungkapan dan praktik manajemen hasil sosial.
Dengan demikian, kita menjunjung pernyataan bahwa manajer memanipulasi laba untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik ini, mereka merusak kepentingan
stakeholders. Namun, sebagai stakeholder yang memberikan tekanan pada keputusan bisnis,
para manajer mengurangi dampak negatif dari tindakan mereka melalui kompensasi dari
kelompok-kelompok ini melalui pengungkapan sosial perusahaan. Akibatnya, manajer bisa
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Proyeksi gambar perhatian untuk kegiatan
tanggung jawab sosial memungkinkan perusahaan untuk mengekang praktek pengelolaan
hasil menurut manajer. Oleh karena itu, kita mengasumsikan hubungan positif antara praktek
manajemen dan pengungkapan sosial. Oleh karena itu, saya mengusulkan dua hipotesis untuk
mengekspresikan interaksi antara dua faktor.
Namun, hasil empiris tidak konsisten dengan kerangka penelitian teoritis kami. Kami
menemukan di satu sisi bahwa kegiatan CSR tidak mendorong manipulasi akuntansi, dan di
sisi lain, akrual diskresioner tidak berhubungan positif dengan CSR. Akhirnya, dua asumsi
penelitian kami tidak dikonfirmasi.
Pengungkapan sosial perusahaan adalah komponen dari kegiatan perusahaan di
bidang tanggung jawab sosial, dan tanggung jawab ini adalah bagian dari nilai-nilai dan
budaya organisasi. Dengan demikian, analisis ini memotivasi kita untuk mengidentifikasi
hubungan antara nilai-nilai budaya dan pengungkapan sosial perusahaan. Dimensi-dimensi
budaya mempengaruhi praktek manajerial dalam tata kelola perusahaan. Oleh karena itu,
kami memeriksa adanya pertanyaan berikutnya: Apakah