Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi
dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak
penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani
akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin
dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen
yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan
yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang
bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak merembes,
profus, sampai syok.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervagianam yang
berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
3.
4.
Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak berlangsung
sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan
manifestasi ruptur uteri.
3. Kegawatdaruratan Maternal
3.1.Perdarahan Postpartum
Perdarahan post partum primer, bila perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Perdarahan post partum sekunder, bila perdarahan terjadi setelah 24 jam pertama hingga 6
minggu setelah persalinan
3.1.2. Epidemiologi
3.1.2.1.Insiden
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.
Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada
kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah
yang hilang setelah persalinan.
3.1.2.2.Peningkatan Angka Kematian di Negara Berkembang
Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini
disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya
layanan operasi.
3.1.3. Etiologi
Kebanyakan penyebab perdarahan postpartum adalah atonia uteri, suatu kondisi dimana
korpus uteri tidak berkontraksi dengan baik, mengakibatkan perdarahan yang terus menerus dari
plasenta.
Faktor resiko dari atonia uteri adalah:
a)
b)
Kelelahan uterus (misalnya pada percepatan atau persalinan yang lama, amnionitis)
c)
Obstruksi uterus (misal pada retensio plasenta atau bagian dari janin, plasenta akreta)
Penyebab terbanyak kedua adalah trauma uterus, servik dan/atau vagina. Faktor resiko
terjadinya trauma adalah.
a)
b)
c)
d)
Episiotomi
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat kala II
atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif.
Trauma selama persalianan dapat mengakibatkan hematom pada perineum atau pelvis.
Hematom ini dapat diraba dan seharusnya diduga bila tanda vital pasien tidak stabil dan sedikit
atau tidak ada perdarahan luar.
Inversi uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan kurang lebih sebanyak 2 L. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan hubungan antara tarikan pada tali pusat dan inverse urteri,
meskipun banyak praktisi klinis mengindikasikan bahwa hubungan tersebut dapat terjadi.
Ruptur uteri dapat dihubungkan dengan perdarahan pervaginam yang sedikt tetapi harus
dipertimbangkan bila terjadi nyeri abdomen yang hebat dan hemodinamik yang tidak stabil.
Faktor resiko lainnya perdarahan postpartum:
a)
Preeklampsia
b)
c)
d)
absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor untuk atonia uteri. Uterus yang terlalu
teregang dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal; atau
gangguan persalinan plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan karena kelelahan akibat persalinan
yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga merupakan hasil
dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS, MgSO 4, betasimpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin bakteri, hipoksia, dan
hipotermia.
b. Trauma
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien memiliki
CPD ( cefalopelvic disproportion) relatif atau absolute dan uterus telah distimulasi dengan
oksitosin atau prostaglandin. Pengontrolan tekanan intrauterin dapat mengurangi risiko
terjadinya trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra uterin.
Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi pada kembar
kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal. Akhirnya, trauma
mengakibatkan usaha untuk mengeluarkan retensi plasenta secara manual atau dengan
menggunakan instrument. Uterus harus selalu berada dalam kendali dengan cara meletakkan
tangan di atas abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi salin/oksitosin intravena umbilical dapat
mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang lebih invasif.
Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps dan
serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan bantuan
(forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi servikal
dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk tidak
mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang eksplorasi manual atau
instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks. Sangat jarang, serviks sengaja
diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala bayi yang terjebak pada
persalinan sungsang (insisi Dhrssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif, tetapi hal
ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan kepala. Laserasi dapat
terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina letak rendah terjadi baik secara
spontan maupun karena episiotomi.
c.
membutuhkan dilatasi dan kuretase dari 3.4 % misoprostol oral dibandingkan dengan 22.4 %
yang menggunakan prostaglandin intra-amnion (Marquette, 2005).
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan yang
terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya akreta sebagian.
Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau masuk lebih dalam
(plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak menyebabkan perdarahan masif secara
langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih agresif untuk melepaskan plasenta.
Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika plasenta terimplantasi pada jaringan parut di
uterus sebelumya, khususnya jika dihubungkan dengan plasenta previa.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko terjadinya perdarahan
post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan histerektomi.
Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi yang efektif.
Akhirnya, darah yang tertinggal dapat mengakibatnya distensi uterus dan menghambat
kontraksi yang efektif.
d.
Trombosis
Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu
mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang
mencegah terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin pada plasenta dan bekuan darah pada
pembuluh darah berperan pada awal masa postpartum, gangguan padahal ini dapat menyebabkan
perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi perdarahan karena sebab lain terutama
paling sering disebabkan trauma.
3.1.4. Patofisiologi
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L menjadi
6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang mengakibatkan
penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume darah digunakan untuk
memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan terhadap hilangnya darah saat
persalinan (Cunningham, 2001).
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-15%
dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki resistensi yang
rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat miometrium. Ketika serat
ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi merupakan
karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal tersebut serat memendek mengikuti
tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses kontraksi ini, dan normalnya perdarahan
akan terhenti. Hal ini merupakan ligasi hidup atau jahitan fisiologis dari uterus
(Baskett,1999).
Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan beretraksi.
Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan biasanya terjadi segera
setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma traktus genitalia (uterus, serviks,
vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan perdarahan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan suplai darah terhadap
jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik persalinan pervaginam
maupun persalinan sesar.
Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau perdarahan
massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.
b)
Tekanan Darah
Derajat Syok
500-1000 mL
(Sistolik)
Normal
Terkompensasi
(10-15%)
1000-1500 mL
Menurun ringan
Lemah, Takikardi,
Ringan
(15-25%)
1500-2000 mL
(80-100 mm Hg)
menurun sedang (70-80
Berkeringat
Sangat lemah, Pucat, oliguria
Sedang
(25-35%)
2000-3000 mL
mm Hg)
Sangat turun
Berat
(35-50%)
(50-70 mm Hg)
Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat
penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus
dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
Kadar fibrinogen diperiksa untuk menilai adanya konsumtif koagulopati. Kadarnya secara
normal meningkat dari 300-600 pda kehamilan, pada kadar yang terlalu rendah atau dibawah
normal mengindikasikan adanya konsumtif koagulopati.
3.1.6.2.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu.
a) USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya hematom.
b) Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh darah.
3.1.6.3.Pemeriksaan Lain
Tes D-dimer (tes monoklonal antibodi) untuk menentukan jika kadar serum produk
degradasi fibrin meningkat. Penemuan ini mengindikasikan gangguan koagulasi.
3.1.7. Manajemen
lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan
apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah ergotamine.
2) Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun
massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli
menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan
eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal.
Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan
untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk
menghentikan perdarahan selama persiapan operas
3) Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi
dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari
perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah
diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir
dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh
darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.Apabila
hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi
untuk menghentikan perdarahan.
Hipotermia dapat terjadi dengan cepat pada bayi yang sangat kecil atau bayi yang
diresusitasi atau dipisahkan dari ibu, dalam kasus-kasus ini suhu dapat cepat turun <35C
( Sarwono, 2006 : 288).
Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 C, yang terbagi atas : hipotermi ringan
(cold stres) yaitu suhu antara 36-36,5 C, hipotermi sedang yaitu antara 32-36C, dan hipotermi
berat yaitu suhu tubuh <32 C. (Yunanto, 2008:40).
4.1.2. Klasifikasi Hipotermi pada Bayi Baru Lahir
Menurut (Yunanto, 2008:42) penurunan suhu tubuh dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Anamnesa
Pemeriksaan
Klasifikasi
a.
Bayi terpapar suhu
a. Suhu tubuh 32 C Hipotermia sedang
lingkungan yang rendah
b.
Waktu
36,4 C
timbulnya
b. Gangguan napas
c.
d. Malas minum
a.
bayi
terpapar
e.
suhu
a.
waktu
letargi
Suhu tubuh < 32 C
Tanda
hipotermia
timbulnya sedang
c.
4.1.3. Diagnosis
Hipotermia berat
bayi baru lahir tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan,
f.
g. distress pernapasan,
h. sepsis
i.
pada bayi prematur atau bayi kecil memiliki cadangan glukosa yang sedikit.
Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin,
basah, atau bayi yang telanjang,cold linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti
mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan
aliran udara dan penguapan.
f)
Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang
lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan
tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.
g) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi
preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan anoksia,
hemoragi intra kranial, hipoksia, dan hipoglikemia.
Hipotermi dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekelilingi bayi rendah dan upaya
mempertahankan suhu tubuh tidak di terapkan secara tepat,terutama pada masa stabilisasi
yaitu:6-12 jam pertama setelah lahir.
Untuk memfungsikan otak memerlukan glukosa dalam jumlah tertentu. Pada BBL jumlah
glukosa akan turun dalam waktu cepat. BBL yang tidak dapat mencerna glukosa dari glikogen
dalam hal ini terjadi bila bayi mempunyai persediaan glikogen cukup yang disimpan dalam hati.
Koreksi penurunan kadar gula darah dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) melalui penggunaan
ASI, (2) melalui penggunaan cadangan glikogen, (3) melalui pembuatan glukosa dari sumber
lain terutama lemak. (Rukiyah dkk, 2010:283).
4.1.5. Mekanisme Hilangnya Panas pada Bayi Baru Lahir
Menurut ( Yunanto, 2008:44 ) BBL dapat mengalami dapat mengalami hipotermi melalui
beberapa
mekanisme,
yang
berkaitan
dengan
kemampuan
tubuh
untuk
menjaga
Perpindahan suhu dari suatu objek yang dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat
dikelilingi lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu
lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin.
4) Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus repiratoris. Sumber
kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah lahir,atau pada waktu dimandikan.
3. Kegagalan Termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam
menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterin/saat
persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat
menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
4.1.6. Akibat yang dapat Ditimbulkan Hipotermi
Akibat yang ditimbulkan antara lain.
a.
Hipoglikemia-sidosis metabolik
Gangguan pembekuan darah sehingga meningkatkan pulmonal yang menyertai hipotermi berat
f.
Shock
g. Apnea
h. Perdarahan Intra Ventrikuler
i.
Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil)
b. Kulit anak terlihat belang-belang, merah campur putih atau timbul bercak-bercak.
c.
Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.
b)
Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup kepala,kaos
tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu untuk mendapatkan
kehangatan dari dekapan ibu.
c) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang rooting refleks
dan bayi mendapat kalori.
d) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.
e) Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.
f)
g) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.
Menurut (Yunanto, 2008:45) kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai
dengan keberhasilan usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh.Untuk itu, BBL
haruslah dirawat dalam lingkungan suhu netral.
Menurut (Rukiyah dkk, 2010:290) bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah
sekali meninggal. Tindakan yang harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam
incubator atau melalui penyinaran lampu. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dilakukan
oleh setiap ibu adalah menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup
di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap
hangat, tubuh ibu dan bayi harus berada di dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna
baru) disebut sebagai metoda kangguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar
berkancing depan. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika
terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu.Lakukanlah berulang kali
sampai tubuh bayi hangat. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia , sehingga bayi
harus diberi ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus
glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kgper hari.
d. Mengurangi stres pada ibu dan bayi. Mengurangi lama menangis pada bayi.
e.
f.
a.
Beri bayi pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.
b. Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan pastikan kepala bayi
sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada
bayi terletak di dada ibu dengan kepala agak sedikit mendongak.
c.
Dapat pula memakai baju dengan ukuran lebih besar dari badan ibu,dan bayi diletakkan di
antara payudara ibu, baju ditangkupkan, kemudian ibu memakai selendang yang dililitkan di
perut ibu agar bayi tidak terjatuh.
d. Bila baju ibu tidak dapat menyokong bayi , dapat digunakan handuk atau kain lebar yang elastik
atau kantong yang dibuat sedemikian untuk menjaga tubuh bayi.
e.
Ibu dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bebas bergerak walau berdiri,duduk, jalan, makan
dan mengobrol. Pada waktu tidur, posisi ibu setengah duduk atau dengan jalan meletakkan
beberapa bantal dibelakang punggung ibu
f.
Bila ibu perlu istirahat, dapat digantikan oleh ayah atau orang lain.
g. Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan persiapan ibu, bayi, posisi bayi,pemantauan bayi, cara
pamberian asi, dan kebersihan ibu dan bayi.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi
dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak
penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen
yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan
yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang
bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Kasus kegawatdaruratan obstetri dan noenatal apabila tidak segera ditangani akan
berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinya. Kasus ini menjadi penyebab
utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir. Secara umum terdapat 4 penyebab utama
kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis;
(3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Terdapat lebih
dari ( tiga perempat) kematian noenatal disebabkan kesulitan bernapas saat lahir ( asfiksia),
infeksi, komplikasi lahir, dan berat badan lahir yang rendah.
B. Saran
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu
besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon
kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan
mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan
keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor
wewenang bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international
edition. 21 st edition. Page 619-663.
Bobak, Lowdermilk, & Jensen. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi
4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wiknjosastro Hanifa, Ilmu Kebidanan. 2009. Jakarta : PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardo.
Murray, Sharon Smith & Emily Slone McKinney. (2007). Foundations of
Maternal-Newborn Nursing 4th Edition. Singapore: Saunders.
Ambarwati, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia.
http://nurramayanti.blogspot.com/2013/04/kegawatdaruratan-maternal-danneonatal.html