Вы находитесь на странице: 1из 219

ANALISIS TINGKAT RISIKO ERGONOMI BERDASARKAN ASPEK PEKERJAAN

PADA PEKERJA LAUNDRY SEKTOR USAHA INFORMAL


DI KECAMATAN CIPUTAT TIMUR KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH :
GIRI CARAKAN ROJO ANGKOSO
NIM : 105101003230

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M

ANALISIS TINGKAT RISIKO ERGONOMI BERDASARKAN ASPEK PEKERJAAN


PADA PEKERJA LAUNDRY SEKTOR USAHA INFORMAL
DI KECAMATAN CIPUTAT TIMUR KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2012

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh :
GIRI CARAKAN ROJO ANGKOSO
NIM : 105101003230

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Juni 2012
Giri Carakan Rojo Angkoso, NIM : 105101003230
Analisis Tingkat Risiko Ergonomi Berdasarkan Aspek Pekerjaan Pada Pekerja
Laundry Sektor Usaha Informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012
xvii + 204 halaman, 37 tabel, 43 gambar

ABSTRAK
Gerakan tubuh yang berlebihan (overexertion), gerakan yang berulang ulang
(repetitive motions) dan postur janggal pada pekerjaan laundry memiliki risiko yang
dapat mengakibatkan gangguan muskuloskeletal pada pekerja. Hal ini dapat
mempengaruhi produktifitas, efisiensi dan efektifitas pekerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan alat
penilaian observasi postur Rapid Entire Body Assessment (REBA) untuk mengetahui
tingkat risiko ergonomi melalui penilaian terhadap postur janggal (leher, tulang
punggung, kaki, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan), beban, genggaman
tangan dan aktifitas pada pekerja laundry sektor informal. Penelitian ini dilaksanakan
di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan pada bulan Mei Juni
2012.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
penimbangan, pencucian dan pemerasan serta pengemasan dengan posisi berdiri
dalam kategori risiko menengah. Sedangkan, pada proses pengeringan dan
penyetrikaan dalam kategori risiko tinggi. Pada proses pengemasan dengan posisi
duduk dalam kategori risiko rendah. Saran untuk penelitian ini adalah alat timbangan
diletakkan diatas meja, dimana tinggi meja harus disesuaikan tinggi dan jangkauan
pekerja saat dilakukan penimbangan, mesin pengering pakaian yang digunakan
diberikan dudukan pada kaki mesin, menggunakan wadah pakaian yang memiliki
desain pegangan yang baik, mendesain tempat duduk yang dapat disesuaikan dengan
ketinggian meja setrika dan antropometri pekerja.
Daftar Bacaan : 30 (1989 2010)

ii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES


COMMUNITY HEALTH STUDY
SAFETY AND HEALTH
Thesis, June 2012
Giri Carakan Angkoso Rojo, NIM: 105101003230
Ergonomics Risk Level Analysis Based on Aspect Work In Laundry Workers in
the Informal Sector in Ciputat Timur District, South Tangerang City in 2012
xvii + 204 pages, 37 tables, 43 pictures
ABSTRACT
Excessive body movement (overexertion), repetitive movements and awkward
posture at work laundry has risks that can lead to musculoskeletal disorders in
workers. This can affect the productivity, efficiency and effectiveness of workers in
completing the work.
This research is a qualitative study using observation assessment tool posture
Rapid Entire Body Assessment (REBA) to determine the level of ergonomic risk
assessment through awkward posture (neck, spine, leg, upper arm, forearm, wrist),
weight, hand grip and activities in the informal sector laundry workers. This research
was conducted in Ciputat Timur District, South Tangerang City in May-June 2012.
The results of this study indicate that the level of risk in the process of
weighing, washing and packing in a standing position, in the medium risk category.
Meanwhile, the process of drying and ironing in the high risk category. In the
packaging process in a sitting position in the low risk category. Suggestions for this
study is a tool weight placed on the table where the high table should be adjustable in
height and outreach workers currently weighing is done, clothes dryers were used
given the stand on the feet, use a container that has a design clothes a good grip,
designed seat that can be adjusted the height of the ironing board and anthropometry
workers.
References: 30 (1989 - 2010)

iii

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi
Nama

: Giri Carakan Rojo Angkoso

TTL

: Tangerang, 08 Oktober 1987

Alamat

: Jl. H. Jaung No. 06 RT. 04/01 Kelurahan Jurumudi


Kecamatan Benda Kota Tangerang Banten 15124

Agama

: Islam

Status

: Belum Menikah

Telepon / HP : (021) 5415495 / 085691344921


Email

: r.angkoso@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan
1993 1999

: SD Negeri Pegadungan 01 Pagi

1999 2002

: SMP Negeri 45 Jakarta

2003 2005

: SMA Negeri 84 Jakarta

2005 2012

: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jurusan Kesehatan Masyarakat
Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat, hidayah dan kesempatan kepada saya sehingga saya masih diberikan
amanah untuk dapat menyelesaikan studi ini. Shalawat serta salam, saya haturkan
kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua bisa bertemu dengan
Beliau di JannahNya. Amin.
Saya bersyukur kepada Allah SWT atas semua kemudahan-kemudahan,
pertolongan dan kekuatan sampai hari ini. Saya ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua saya tercinta (Bapak Tukiman dan Ibu Asiyah) atas
doa, semangat, dukungan, kesabaran yang tiada pernah putus kepada saya sehingga
saya akhirnya bisa menyelesaikan studi ini selama 7 tahun. Selanjutnya kepada adik
saya, Fitrah All Burman, SE yang selalu memberikan doa dan semangat kepada saya.
Bidadari kecil saya My Little Mujahidah Anniza Hazzanova Corie yang
memotivasi saya untuk menjadi ayah yang baik.
Selama proses pengerjaan skripsi ini, saya berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu saya karena saya tidak mampu berjuang sendiri tanpa
motivasi dari semua pihak. Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur yang
terdalam, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

vii

1. Ibu Ir. Febrianti M.Si, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
FKIK UINSH Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk bisa menyelesaikan studi ini.
2. Ibu Riastuti Kusumawardani, MKM, selaku Pembimbing Skripsi I, yang telah
memberikan ilmu, kesempatan dan kesabaran untuk membimbing saya
sehingga saya bisa menyelesaikan studi ini.
3. Ibu Minsarnawati, M.Kes, selaku Pembimbing Skripsi II, yang telah banyak
memotivasi, membimbing dan meluangkan waktu, pikiran dan kesabaran serta
doanya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.
4. Ibu Raihana N. Alkaff, M.MA, Ibu Yuli Amran, MKM, dan Ibu Dewi Utami
Iriani, PhD selaku Penguji Sidang Skripsi yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyempurnaan skripsi saya.
5. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat mulai dari tahun 2005
hingga kini, (Pak Baequni, Bu Narila Mutia, Bu Hoirun Nisa, Bu Fajar
Ariyanti, Bu Febrianti, Bu Catur Rosidati, Bu Iting Shofwati, Bu Ella, Pak
Farid Hamzens, Pak Yuli Prapanca Satar), yang telah membantu saya
menggali khazanah ilmu kesehatan masyarakat di FKIK UINSH Jakarta.
Semoga saya dapat mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat.
6. Pak Ahmad Gozali yang banyak membantu saya dalam administrasi kuliah.
7. Seluruh teman-teman yang banyak membantu saya selama studi di FKIK
mulai dari angkatan 2004 hingga 2010 yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, yang telah memotivasi, mendukung dan mendoakan saya untuk
menjadi insan yang lebih baik.
viii

8. Segenap keluarga besar Komda FKIK, KADAFI FKIK, LDK Syahid, BEMJ
Kesmas, BEM FKIK, DPMU, ISMKMI, dll. Terima Kasih atas Idealismenya.
9. Saudaraku yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan dan
kesabaran. Sang Murobbi Ka Hafidz, Salman, Syahru, Indra, Musoffa,
Furqon, Terima kasih atas ukhuwahnya.
10. Sahabat-sahabatku yang senantiasa membantu selama proses skripsi, Nurul,
Hari, Retno, Eka, Endah, Jeje, Jalil, Arif, dll. Terima kasih atas semangatnya.
11. Untuk Sahabatku Ka Umar Al Faruq dan Latifah Hariri (Ka Ipun) dan adikadik mujahidah di Alquran Center Ummu Habibah. Terima kasih atas doa
dan tilawahnya selama saya disana.
12. Serta semua pihak yang mungkin belum saya sebutkan dan tidak dapat saya
sebutkan satu persatu. Terima kasih atas doanya.
13. Semoga Allah SWT mempertemukan kita semua di dalam naungan Ridho dan
JannahNya. Amin.
Saya menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih sangat jauh dari
sempurna. Dengan segala kekurangan yang ada pada skripsi ini, saya dengan senang
hati menanti saran, kritik dan rekomendasi yang membangun dari Bapak, Ibu dan
rekan-rekan serta pembaca untuk memperbaiki dan melengkapi skripsi ini agar
skripsi ini bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan ini.
Jakarta, Januari 2013
Hormat Saya,
Giri Carakan Rojo Angkoso
ix

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ i
ABSTRAK ....................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1.Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3.Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 6
1.4.Tujuan Penelitian ............................................................................. 7
1.4.1.Tujuan Umum........................................................................ 7
1.4.2.Tujuan Khusus ....................................................................... 7
1.5.Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
1.5.1. Bagi Peneliti ......................................................................... 8
1.5.2. Bagi Tempat Penelitian ........................................................ 9
1.5.3. Bagi Institusi......................................................................... 9
1.6.Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11
2.1. Ergonomi ........................................................................................ 11
2.1.1. Definisi Ergonomi ................................................................ 11
2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi .................................................... 14
2.1.3. Tujuan Ergonomi .................................................................. 18
2.1.4. Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi ............................ 19

2.2. Faktor Faktor Risiko Ergonomi ................................................... 22


2.2.1 Berdasarkan Pekerjaan .......................................................... 22
2.2.1.1. Postur ....................................................................... 22
2.2.1.2. Frekuensi .................................................................. 34
2.2.1.3. Durasi ....................................................................... 35
2.2.1.4. Beban ....................................................................... 35
2.2.1.5. Peregangan Otot Yang Berlebihan........................... 36
2.2.2. Faktor Lingkungan ................................................................ 37
2.2.2.1. Getaran ..................................................................... 37
2.2.2.2. Mikroklimat ............................................................. 37
2.2.3. Faktor Perorangan ................................................................. 38
2.2.3.1. Umur ........................................................................ 38
2.2.3.2. Jenis Kelamin ........................................................... 39
2.2.3.3. Kebiasaan Merokok ................................................. 39
2.2.3.4. Kesegaran Jasmani ................................................... 40
2.3. Musculoskeletal Disorders (MSDs) ............................................... 40
2.3.1. Gangguan Kesehatan Pada Muskuloskeletal Tiap
Bagian Tubuh ......................................................................... 41
2.4. Pengendalian Risiko Ergonomi ...................................................... 45
2.5. Metode Penilaian Risiko Ergonomi ............................................... 48
2.5.1. Rapid Upper Limb Assessment (RULA) ............................. 48
2.5.2. The Ovako Working Analysis System (OWAS).................. 50
2.5.3. Ergonomic Assessment Survey (EASY) .............................. 52
2.5.4. Base Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF) ...... 52
2.5.5. Rapid Entire Body Assessment (REBA) .............................. 53
2.5.6 Alasan Pemilihan Metode REBA ......................................... 67
2.6. Kerangka Teori ............................................................................... 69
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........ 71
3.1. Kerangka Konsep ........................................................................... 71
3.2. Definisi Operasional ....................................................................... 73

xi

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN...................................................... 76


4.1. Jenis Penelitian ............................................................................... 76
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 76
4.3. Objek Penelitian ............................................................................. 76
4.4. Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................................... 77
4.4.1. Pengumpulan Data ............................................................... 77
4.4.2. Alat Pengumpulan Data........................................................ 78
4.4.3. Pengolahan Data ................................................................... 78
4.4.4. Analisis Data ........................................................................ 84
BAB V HASIL ................................................................................................. 86
5.1. Karakteristik Lingkungan Kerja ..................................................... 86
5.2. Gambaran Proses Kerja .................................................................. 87
5.2.1.Penimbangan ......................................................................... 87
5.2.2.Pencucian dan Pemerasan ..................................................... 87
5.2.3.Pengeringan ........................................................................... 88
5.2.4.Setrika dan Pelipatan ............................................................ 88
5.2.5.Pengemasan ........................................................................... 89
5.3. Gambaran Postur Tubuh Pekerja Laundry .................................... 89
5.3.1. Penimbangan ........................................................................ 90
5.3.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 92
5.3.3. Pengeringan .......................................................................... 96
5.3.4. Setrika dan Pelipatan ............................................................ 100
5.3.5. Pengemasan .......................................................................... 104
5.4. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja
Laundry ......................................................................................... 106
5.5. Analisis REBA Terhadap Keseluruhan Tubuh Yang Digunakan
Pekerja ........................................................................................... 111
5.5.1. Penimbangan ........................................................................ 111
5.5.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 115
5.5.3. Pengeringan .......................................................................... 122

xii

5.5.4. Setrika dan Pelipatan ............................................................ 130


5.5.5. Pengemasan .......................................................................... 137
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 142
6.1. Keterbatasan Penelitian .................................................................. 142
6.2. Pembahasan Langkah Kerja ........................................................... 142
6.2.1.Penimbangan ........................................................................ 142
6.2.2. Pencucian dan Pemerasan .................................................... 149
6.2.3.Pengeringan ........................................................................... 161
6.2.4.Setrika dan Pelipatan ............................................................. 173
6.2.5.Pengemasan ........................................................................... 185
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 191
7.1. Simpulan ......................................................................................... 191
7.2. Saran ............................................................................................... 192
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 194

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Tabel REBA Kelompok A ................................................................. 63
Tabel 2.2. Tabel REBA Kelompok B ................................................................. 64
Tabel 2.3. Tabel REBA Kelompok C ................................................................. 65
Tabel 4.1. Tabel REBA Kelompok A ................................................................. 80
Tabel 4.2. Tabel REBA Kelompok B ................................................................. 82
Tabel 4.3. Tabel REBA Kelompok C ................................................................. 83
Tabel 5.1. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan .............................................................................. 106
Tabel 5.2. Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 111
Tabel 5.3. Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 113
Tabel 5.4. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam
Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 115
Tabel 5.5. Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin
Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 117
Tabel 5.6. Analisis REBA Pada Proses Membilas di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ........... 119
Tabel 5.7. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam
Wadah Di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 120

xiv

Tabel 5.8. Analisis REBA Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian di


Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan .............................................................................. 123
Tabel 5.9. Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam
Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ............................................. 125
Tabel 5.10. Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin
Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 126
Tabel 5.11. Analisis REBA Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan ................................................................................................ 128
Tabel 5.12. Analisis REBA Pada Proses Setrika Dan Pelipatan Dengan Posisi
Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan ................................................................................................ 130
Tabel 5.13. Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi
Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran
Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 133
Tabel 5.14. Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi
Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran
Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 135
Tabel 5.15. Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri
di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan ..................................................................... 137
Tabel 5.16. Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk
Dilantai di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan .......................................................... 140

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Ruang Lingkup Ergonomi dan Keterkaitan dengan Ilmu Lainnya 15
Gambar 2.2. Konsep Dasar Dalam Ergonomi .................................................... 20
Gambar 2.3. Postur Pinch Grip Pada Jari-jari Tangan ....................................... 25
Gambar 2.4. Postur Janggal Tangan, Finger Press ............................................ 25
Gambar 2.5. Posisi Deviasi Ulnar (a) dan Posisi Deviasi Radial (b)
Pada Pergelangan Tangan.............................................................. 25
Gambar 2.6. Posisi Fleksi (a) dan Posisi Ekstensi (b) Pada Pergelangan
Tangan ........................................................................................... 26
Gambar 2.7. Postur Power Grip ........................................................................ 26
Gambar 2.8. Pergerakan Siku yang Janggal, Posisi Lengan Bawah Rotasi
(a) dan Siku Ekstensi Penuh (b) ................................................... 27
Gambar 2.9

Posisi Janggal Pada Bahu, Bahu Diangkat Sebesar 45 (a)


dan Posisi Bahu ke Arah Belakang (b) .......................................... 28

Gambar 2.10. Posisi Leher Menunduk 20 ....................................................... 28


Gambar 2.11. Posisi Leher Miring ....................................................................... 29
Gambar 2.12. Posisi Leher ke ke Arah Belakang/Mendongak ke Atas ............... 30
Gambar 2.13. Posisi Leher Memutar ke Samping................................................ 30
Gambar 2.14. Gerakan Punggung Membungkuk 20 ke Depan ....................... 31
Gambar 2.15. Punggung Deviasi ke Samping...................................................... 32
Gambar 2.16 Posisi Punggung Deviasi ke Samping ........................................... 32
Gambar 2.17. Postur Kaki Janggal, Posisi Berjongkok (a); Posisi Berdiri
dengan Bertumpu Pada Satu Kaki (b); dan Posisi Berlutut (c) ..... 33

xvi

Gambar 2.18. Postur Leher................................................................................... 58


Gambar 2.19. Postur Punggung ............................................................................ 60
Gambar 2.20. Postur Kaki .................................................................................... 60
Gambar 2.21. Postur Lengan Bagian Atas ........................................................... 61
Gambar 2.22. Postur Lengan Bagian Bawah ....................................................... 62
Gambar 2.23. Postur Pergelangan Tangan ........................................................... 62
Gambar 2.24. Skor REBA .................................................................................... 66
Gambar 2.25. REBA Decision ............................................................................. 66
Gambar 2.26. Kerangka Teori .............................................................................. 70
Gambar 3.1. Kerangka Konsep .......................................................................... 72
Gambar 4.1. Skor REBA ................................................................................... 80
Gambar 5.1. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan
Menggunakan Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 90
Gambar 5.2. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan
Menggunakan Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 91
Gambar 5.3. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 92
Gambar 5.4. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian
Dari Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 93
Gambar 5.5. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pembilasan di Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan ......................................................................... 94
Gambar 5.6. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Wadah di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 95
xvii

Gambar 5.7. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengangkat Wadah


Pakaian Untuk Dibawa ke Mesin Pengering di Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan ......................................................................... 96
Gambar 5.8. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 97
Gambar 5.9. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian
Dari Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ...................... 98
Gambar 5.10. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penjemuran Pakaian di
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan ................................................................ 99
Gambar 5.11. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan
Dengan Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa
Kursi di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan ..................................................... 100
Gambar 5.12. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan
Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi
Dengan Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 102
Gambar 5.13. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan
Dengan Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi
Tanpa Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ....... 103
Gambar 5.14. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan
Posisi Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 104
Gambar 5.15. Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan
Posisi Duduk di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan ......................................... 105

xviii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industrialisasi menuntut dukungan penggunaan teknologi maju dan
canggih, yang di satu pihak akan memberi kemudahan dalam proses produksi
dan meningkatkan produktivitas. Di lain pihak cenderung meningkatkan risiko
kecelakaan dan penyakit yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Selain itu,
di tempat kerja terdapat banyak potensi bahaya, yaitu bahaya fisik, kimia,
biologi, ergonomi dan psikososial yang berdampak pada kesehatan pekerja
(Kurniawati, 2009).
Bahaya tersebut merupakan hasil interaksi antar elemen-elemen yang
terlibat yaitu pekerja, alat/mesin yang digunakan dalam melakukan pekerjaan
maupun lingkungan kerja. Interaksi antara ketiga elemen ini menghasilkan
dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pekerja yang meliputi bahaya
terhadap keselamatan kerja maupun kesehatan kerja. Salah satu masalah
kesehatan kerja yang jarang diperhatikan adalah masalah ergonomi.
Ergonomi adalah studi ilmiah terapan mengenai manusia terhadap desain
objek, sistem, lingkungan untuk aplikasi kerja manusia (Pheasant, 1991). Sistem
kerja yang tidak ergonomi seringkali kurang mendapat perhatian atau dianggap

sepele. Sebagai contoh adalah pada cara, sikap dan posisi kerja yang tidak benar,
fasilitas kerja yang tidak sesuai, dan faktor lingkungan kerja yang kurang
mendukung. Hal ini secara sadar maupun tidak akan berpengaruh terhadap
produktifitas, efisiensi dan efektifitas pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya
(Budiono, 2003).
Penerapan ergonomi yang kurang diperhatikan dapat menyebabkan
timbulnya masalah-masalah yang ergonomi. Salah satu gejala umum yang timbul
akibat kerja adalah gangguan musculoskeletal. Gangguan musculoskeletal adalah
keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai
dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban
statis secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan gangguan
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem musculoskeletal
(Grandjean, 1993; Lemasters, 1996 dalam Tarwaka 2004).
Menurut Tarwaka (2004), studi tentang MSDs pada beberapa jenis industri
telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang
sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu,
lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah.
Berdasarkan laporan the Bureau of Labur Statistics (LBS) tahun 1994,
terdapat sekitar 32 % (705.800 kasus) merupakan penyakit akibat kerja yang

berasal dari pekerjaan berat (overexertion) dan pergerakan kerja yang berulangulang (repetitive motion) dalam pekerjaan manual handling. (NIOSH, 1997).
Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti
belum dapat diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh
NIOSH menunjukkan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah
mencapai 13 milyar US dollar setiap tahun (Tarwaka, 2004).
Salah satu sektor industri yang memiliki potensi menimbulkan gangguan
musculoskeletal pada pekerja yaitu industri laundry. Perkembangan industri ini
meningkat pesat setiap tahunnya, khususnya di wilayah perkotaan. Industri ini
awalnya hanya dikelola oleh hotel, rumah sakit, dll. Namun seiring dengan
tingginya kebutuhan akan jasa laundry ini, maka industri ini mulai dikelola oleh
masyarakat umum khususnya sektor informal.
Menurut laporan data OHSAH (1999) selama tahun 1995 hingga 1999,
terdapat 577 kasus gangguan musculoskeletal pada pekerja di sektor industri jasa
laundry, dimana 491 kasus tersebut disebabkan gerakan tubuh yang berlebihan
(overexertion), gerakan yang berulang ulang (repetitive motions) dan postur
janggal. Selain itu, biaya kompensasi untuk keluhan musculoskeletal tersebut
mencapai 3.666.260 dollar.
Hasil studi Departemen Kesehatan tentang profil masalah kesehatan di
Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5 persen penyakit yang
diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya, gangguan kesehatan yang

dialami pekerja, menurut studi yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12


kabupaten/kota di Indonesia, umumnya berupa penyakit musculoskeletal (16%),
kardiovaskuler (8%), gangguan syaraf (6%), gangguan pernafasan (3%) dan
gangguan THT (1,5%) (Triawan, 2007). Selain itu, hasil Pusat Studi Kesehatan
dan Ergonomi ITB tahun 2006 2007 diperoleh data sebanyak 40%-80% pekerja
melaporkan keluhan pada bagian musculoskeletal sesudah bekerja (Yassierli,
2008).
Menurut Bird (2005), untuk mengatasi masalah gangguan musculoskeletal
(MSDs) dapat dilakukan dengan melakukan intervensi ergonomi secara proaktif
dan reaktif. Intervensi secara proaktif melibatkan penilaian ergonomi terhadap
stasiun kerja atau proses kerja dengan menilai lingkungan dan proses kerja untuk
mengidentifikasi faktor-faktor risiko ergonomi. Selain itu, intervensi secara
reaktif melibatkan penilaian dalam merespon keluhan pekerja (misalnya rasa
sakit dan kelelahan) atau bukti efisiensi kerja yang buruk (misalnya kerusakan
peralatan).
Tahun 1994, NOHSC menghasilkan National Code of Practice for the
Prevention of Occupational Overuse Syndrome untuk memberikan pedoman
praktis dalam mencegah risiko, mengidentifikasi, penilaian (assessment) dan
pengendalian risiko yang berasal dari pekerjaan yang dilakukan dilingkungan
kerja.

Identifikasi risiko ergonomi yang meliputi analisis penyakit akibat kerja


dan dokumen kecelakaan, konsultasi dengan pekerja dan observasi langsung
terhadap pekerja, pekerjaan dan lingkungan kerja. Penilaian risiko ergonomi
meliputi penilaian terhadap lingkungan kerja dan desain kerja, postur kerja,
durasi dan frekuensi aktifitas kerja, tekanan yang diterima, organisasi kerja,
tingkat kemampuan dan pengalaman pekerja serta faktor individu (Lingard dan
Rowlinson, 2005).
Sumber gangguan musculoskeletal di sektor industri jasa laundry, dapat
disebabkan dari desain kerja, desain lingkungan kerja, peralatan kerja, mesin
maupun peralatan lainnya yang seringkali didesain tanpa mempertimbangkan
faktor ergonomi khususnya pada pekerja yang akan mengoperasikannya. Hal ini
dapat menimbulkan masalah seperti masalah ketinggian permukaan yang tidak
sesuai, postur kerja yang janggal. Beberapa problem tersebut dapat menyebabkan
masalah ergonomi

seperti gangguan musculoskeletal. Pekerjaan laundry

umumnya meliputi mendorong, menarik, melipat, mengangkat dan membawa


material (manual handling) dapat menimbulkan efek pada kesehatan, baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang (OHSAH, 1999).
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 5 pekerja laundry
yang terdapat di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, diketahui bahwa seluruh
pekerja laundry mengeluhkan sakit dan pegal-pegal pada bagian tubuh seperti
leher, punggung dan tangan pada saat bekerja maupun setelah bekerja. Oleh
karena itu, perlu adanya upaya penilaian risiko ergonomi terhadap proses

pekerjaan di industri jasa laundry khususnya di sektor usaha informal dengan


melihat aktifitas kerja yang dilakukan para pekerja.
Penilaian dilakukan berdasarkan aspek pekerjaan yang dinilai sebagai
parameter risiko ergonomi berdasarkan postur tubuh, tekanan beban yang
digunakan, jenis pergerakan atau aksi, pengulangan posisi tangan saat
bersentuhan dengan objek. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang analisis tingkat risiko ergonomi berdasarkan
aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor usaha informal di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan tahun 2012.

1.2. Rumusan Masalah


Pekerjaan pada industri laundry memiliki risiko ergonomi yang dapat
berisiko terjadinya gangguan musculoskeletal yang terkait dengan postur tubuh
pekerja pada saat melakukan aktifitas kerjanya. (Laraswati, 2009). Berdasarkan
penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 5 pekerja laundry yang terdapat di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur, diketahui bahwa seluruh pekerja laundry
mengeluhkan sakit dan pegal-pegal pada bagian tubuh seperti leher, punggung
dan tangan pada saat bekerja maupun setelah bekerja. Oleh karena itu, sebagai
langkah pengendalian risiko gangguan musculoskeletal, maka dilakukan
penilaian terhadap risiko ergonomi khususnya pada pekerja laundry sektor
informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan menggunakan
metode REBA (Rapid Entire Body Assesment).

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana gambaran identifikasi proses kerja laundry sektor informal di
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012?
2. Bagaimana skor penilaian postur yang meliputi leher, punggung, kaki lengan
atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan pada pekerja laundry sektor
informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012?
3. Bagaimana skor penilaian berat beban, coupling, dan nilai aktifitas pada
pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012?
4. Bagaimana tingkat risiko ergonomi berdasarkan penilaian Rapid Entire Body
Assement (REBA) pada pekerjaan laundry sektor informal di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Diketahuinya tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek pekerjaan pada
pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran identifikasi proses kerja laundry sektor informal
di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012.

2. Diketahuinya skor penilaian postur yang meliputi leher, punggung, kaki


lengan atas, lengan bawah, dan

pergelangan tangan pada pekerja

laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang


Selatan Tahun 2012.
3. Diketahuinya skor penilaian berat beban, coupling, dan nilai aktifitas
pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012.
4. Diketahuinya tingkat risiko ergonomi berdasarkan penilaian Rapid
Entire Body Assement (REBA) pada pekerjaan laundry sektor informal
di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Bagi Peneliti
1. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, baik

yang telah dipelajari di

perkuliahan dan pengalaman serta kemampuan

khususnya dalam

mengenali faktor risiko ergonomi.


2. Dapat mengidentifikasi dan menganalisa tingkat risiko ergonomi
khususnya pada aspek pekerjaan dengan menggunakan metode Rapid
Entire Body Assessment (REBA) pada pekerja laundry sektor informal
di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan.

1.5.2. Bagi Tempat Penelitian


1. Mengetahui informasi mengenai adanya dan besaran mengenai faktor
risiko ergonomi yang dialami pekerja laundry yang memiliki
kemungkinan adanya masalah risiko ergonomi pada pekerja akibat
pekerjaan.
2. Memberikan gambaran mengenai penilaian risiko khususnya risiko
ergonomi,

sehingga

pemilik

usaha

dapat

melakukan

tindakan

pengendalian dan pencegahan terkait risiko ergonomi dalam rangka


meningkatkan produktifitas kerja, efisiensi serta kenyamanan pekerja.
1.5.3. Bagi Institusi
Menjadi bahan referensi dalam pengembangan keilmuan bagi
program studi kesehatan masyarakat khususnya peminatan keselamatan
dan kesehatan kerja.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat risiko ergonomi
berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Tahun 2012. Penelitian ini dilaksanakan
oleh mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni
2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain

10

studi kasus pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Timur Kota
Tangerang Selatan terkait dengan pekerjaannya dimana peneliti melakukan
pengamatan pada setiap pekerjaan yang dilakukan pekerja untuk melihat besaran
potensi risiko ergonomi dengan penilaian observasi postur menggunakan metode
Rapid Entire Body Assesment (REBA). Metode ini digunakan untuk
mendapatkan tingkat risiko ergonomi terkait postur janggal, beban, genggaman
dan aktifitas yang dibantu dengan kamera digital dan handycam, sehingga
didapatkan hasil tingkat risiko ergonomi dari masing-masing pekerjaan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ergonomi
Istilah ergonomi diperkenalkan oleh W.B. Jastrzebowski tahun 1857,
dimana terminologi dari kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu
Ergon yang artinya kerja dan nomos yang berarti peraturan / hukum. Secara
harfiah, ergonomi diartikan sebagai ilmu tentang kerja (Budiono, 2003). Studi
terhadap aspek pekerjaan dimulai sejak peralihan menuju abad 20 dimana
pengembangan terhadap pengukuran ini dikembangkan oleh Frank dan Lilian
Gilbreth serta Frederick Taylor. Dalam ruang lingkup yang luas, ergonomi
adalah sebuah studi multidisiplin mengenai hukum yang mengatur interaksi
antara manusia, mesin, dan lingkungan. Menurut International Ergonomics
Association (IEA), seorang ahli ergonomi berkontribusi dalam mendesain dan
mengevaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan dan sistem untuk
menciptakan keserasian terhadap kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan
manusia (Rom, 2007).
2.1.1. Definisi Ergonomi
Definisi mengenai ergonomi telah banyak dijabarkan oleh peneliti
maupun lembaga. Oleh karena itu, untuk lebih memahami pengertian

11

12

mengenai ergonomi, maka penulis akan menjelaskan berbagai macam


definisi ergonomi yang berasal dari dari beberapa literatur, antara lain :
a) Ergonomi

adalah

ilmu

yang

penerapannya

berusaha

untuk

menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau yang


setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimaloptimalnya, hal ini meliputi penyerasian pekerjaan terhadap tenaga
kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja
(Sumamur, 1989).
b) Ergonomi adalah studi ilmiah terapan mengenai manusia terhadap
desain objek, sistem, lingkungan untuk aplikasi kerja manusia
(Pheasant, 1991).
c) Ergonomi adalah ilmu pengetahuan untuk menganalisa efek dari
proses kerja, desain kerja, dan lingkungan kerja terhadap kinerja atau
performa dan kesehatan manusia (Bird, 2005).
d) Ergonomi adalah sudut pandang keilmuan, berpikir tentang manusia
dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek di dalam
lingkungan, peralatan dan situasi kerja (Oborne, 1995).
e) Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari mengenai interaksi antara
manusia dan objek yang mereka pergunakan serta lingkungan kerjanya
(Pulat, 1997).
f) Ergonomi

adalah

ilmu

serta

penerapannya

yang

berusahan

menyerasikan pekerja dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya

13

dengan tujuan tercapainya produktifitas dan efisiensi yang setinggitingginya melalui pemanfaatan manusia seoptimal mungkin (Budiono,
2003).
g) Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia
dengan mesin serta faktor faktor yang mempengaruhi interaksi
tersebut (Bridger, 2003).
h) Ergonomi adalah

ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk

menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang


digunakan

baik

dalam

beraktifitas

maupun

istirahat

dengan

kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental


sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik
(Tarwaka, 2004).
i) Ergonomi adalah istilah yang digunakan sebagai dasar studi dan desain
hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan
cidera serta meningkatkan prestasi atau kinerja (ACGIH, 2007).
j) Ergonomi didefinisikan sebagai penerapan ilmu biologi yang sejalan
dengan ilmu rekayasa yang bertujuan agar didapatkan penyesuaian
yang saling menguntungkan antara pekerja dengan pekerjaannya
secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat untuk efisiensi dan
kesejahteraan (ILO, 1998).
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ergonomi adalah suatu konsep keilmuan dimana pusat kajiannya adalah

14

manusia yang didasarkan pada keterbatasan terhadap kemampuan maupun


kapasitas manusia sehingga dibutuhkan penyerasian antara lingkungan
kerja dan pekerjaan, dengan manusia yang berinteraksi dengan elemen
tersebut sebagai upaya untuk mencegah cidera maupun gangguan,
meningkatkan produktifitas dan upaya efisiensi serta efektifitas pada aspek
manusia.
2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi
Ergonomi merupakan bidang antar cabang ilmu pengetahuan yang
melibatkan konsep-konsep yang terkait dengan biomekanik, rekayasa
faktor manusia, kinesiologi, keselamatan dan kedokteran (Bird, 2005).
Ergonomi merupakan perpaduan antara beberapa bidang ilmu, antara lain;
ilmu faal, anatomi dan kedokteran, psikologi faal, ilmu fisika dan teknik.
Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran bentuk tubuh manusia,
kemampuan tubuh/anggota gerak untuk mengangkat atau ketahanan
terhadap suatu gaya yang diterimanya, satuan ukuran besaran panjangnya
suatu anggota tubuh.
Psikologi faal memberikan gambaran terhadap fungsi otak dan
sistem persyarafan dalam kaitannya dengan tingkah laku, sementara
eksperimental mencoba memahami suatu cara bagaimana mengambil
sikap, memahami, mempelajari, mengingat serta mengendalikan proses
motorik. Sedangkan ilmu fisika dan teknik memberikan informasi yang

15

sama untuk disain dan lingkungan dimana pekerja melakukan pekerjaannya


(Oborne, 1995).

Gambar 2.1.
Ruang Lingkup Ergonomi dan Keterkaitan dengan Ilmu Lainnya
Sumber : Budiono (2003)

Menurut International Ergonomist Association (IEA), dalam Rom


(2007), disipin keilmuan ergonomi terdiri dari 3 (tiga) bidang spesialisasi,
antara lain :
1. Physical Ergonomics
Physical ergonomics lebih menekankan pada anatomi manusia,
antropometri, fisiologi, dan karakteristrik biomekanik yang berkaitan
dengan aktifitas fisik. Bahasan yang terkait meliputi postur kerja,
material handling, pergerakan pekerjaan repetitif (berulang), gangguan
muskuloskeletal akibat kerja, layout kerja, keselamatan dan kesehatan
kerja.

16

2. Cognitive ergonomics
Cognitive ergonomics lebih menekankan pada proses-proses mental
seperti

persepsi,

memori,

alasan,

dan

respon motorik

yang

berhubungan dengan manusia lain dan elemen-elemen lain di dalam


sistem. Bahasan yang terkait meliputi beban kerja, pengambilan
keputusan, kinerja kerja, interaksi manusia-komputer,

reliabilitas,

stress kerja, dan training.


3. Organizational ergonomics
Organizational ergonomics lebih menekankan pada optimalisasi
sistem sosioteknikal, termasuk struktur organisasi, kebijakan dan
proses mereka.
Studi mengenai ergonomi fisik (physical ergonomics) disusun dalam
ke dalam tiga area bahasan utama :
1. Antropometri
Antropometri adalah ilmu pengetahuan mengenai pengukuran
dan ilmu terapan yang membentuk geometri fisika, keterangan massa,
dan kemampuan kekuatan dari tubuh manusia. Hal ini merupakan
informasi penting yang tersedia untuk mendesain furnitur, mesin,
peralatan dan pakaian.

17

2. Fisiologi
Fisiologi kerja lebih menekankan pada respons tubuh terhadap
kebutuhan metabolism saat bekerja, Dengan mengukur aktifitas
kardiovaskuler, respirasi dan sistem otot saat bekerja, informasi ini
berguna untuk mencegah kelelahan pada beberapa bagian maupun
seluruh tubuh.
3. Biomekanik
Biomekanik mempertimbangkan penerapan mekanisme normal
dalam menganalisis sistem biologi. Aspek berbeda dari biomekanik
adalah menggunakan beberapa bagian yang berbeda dari penerapan
mekanika. Kebutuhan tersebut digunakan untuk meningkatkan kinerja
pekerja dalam meminimalisir dampak gangguan muskuloskeletal yang
terjadi dalam disiplin ilmu terapan, biomekanika pekerjaan.

Hal

tersebut merupakan penerapan pada bidang prinsip fisika dan konsep


teknikal dalam meneliti interaksi fisik pekerja dengan peralatan, mesin,
dan material. Dengan mengukur faktor tekanan kerja terhadap tubuh,
maka dihasilkan informasi mengenai nilai toleransi dari sistem
muskuloskeletal dan risiko kecelakaan.

18

2.1.3. Tujuan Ergonomi


Menurut Tarwaka (2004), secara umum tujuan dari penerapan
ergonomi adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya
pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban
kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan dan kepuasan
kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas
kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna
dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia
produktif maupun setelah tidak produkif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu
aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem
kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas
hidup yang tinggi.
Selain itu, menurut Bird (2005), tujuan dari ergonomi terapan
adalah untuk mengurangi stressor pada tubuh manusia yang disebabkan
oleh tugas-tugas kerja dan atau lingkungan kerja untuk mencegah
masalah-masalah
produktifitas kerja.

kesehatan

dan

meningkatkan

efisiensi

maupun

19

Tujuan ergonomi menurut Budiono (2003), adalah bagaimana


mengatur kerja agar tenaga kerja dapat melakukan pekerjaannya dengan
rasa aman, selamat, efisien, efektif dan produktif, disamping juga rasa
nyaman serta terhindar dari bahaya yang mungkin timbul ditempat kerja.
2.1.4. Konsep Keseimbangan Dalam Ergonomi
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya
untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat
berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari
sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja
harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performa kerja
yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu
rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload).
Karena keduanya, baik underload maupun overload akan menyebabkan
stress.
Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas
tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar dibawah :

20

Gambar 2.2.
Konsep Dasar Dalam Ergonomi
Sumber : Tarwaka (2004)

1. Kemampuan kerja
Kemampuan kerja seseorang sangat ditentukan oleh :
a) Personal capacity (karakteristik pribadi) : meliputi faktor usia,
jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status
sosial, agama, dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran
tubuh.
b) Physiological capacity (kemampuan fisiologis) : meliputi
kemampuan dan daya tahan kardio-vaskuler, syaraf, otot, panca
indera.

21

c) Psycological capacity (kemampuan psikologis) : berhubungan


dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi,
stabilitas emosi.
d) Biomechanical capacity (kemampuan bio-mekanik) berkaitan
dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian,
tendon, dan jalinan tulang.

2. Tuntutan Tugas
Tuntutan tugas pekerjaan / aktifitas tergantung pada :
a) Task and material characteristic (karakteristik tugas dan
material) : ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin,
tipe, kecepatan dan irama kerja.
b) Organization characteristics ; berhubungan dengan jam kerja
dan jam istirahat, kerja malam, dan bergilir, cuti dan libur,
manajemen.
c) Environmental characteristic ; berkaitan dengan manusia teman
setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran, penerangan,
sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan
pencemar.

22

3. Performa
Performa atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada
rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang
bersangkutan. Dengan demikian, apabila :
a) Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan
seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan
akhir

berupa

ketidaknyamanan,

overstress,

kelelahan,

kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif.


b) Sebaliknya,

bila

tuntutan

tugas

lebih

rendah

daripada

kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan


terjadi penampilan akhir berupa understress, kebosanan,
kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif.
c) Agar

penampilan

menjadi

optimal

maka

perlu

adanya

keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan


yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang
sehat, aman, nyaman dan produktif.
2.2. Faktor - Faktor Risiko Ergonomi
2.2.1. Berdasarkan Pekerjaan
2.2.1.1. Postur
Postur adalah pergerakan aktif dan merupakan hasil dari
banyak pergerakan tubuh , yang sebagian besar memiliki karakter

23

yang saling menguatkan (Bridger, 2003). Postur adalah istilah lain


dari berbagai macam posisi anggota tubuh dalam beberapa aktifitas
(OHSCO, 2007).
Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi
tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam
ergonomi terdiri dari :
1. Posisi netral (Neutral posture), yaitu postur dimana seluruh
anggota tubuh berada pada posisi yang wajar dan kontraksi pada
otot tidak berlebihan sehingga anggota tubuh, jaringan syaraf
lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, pembebanan dan
kontraksi yang berlebihan.
2. Postur Janggal (awkward posture) yaitu postur dimana posisi
tubuh (lutut, sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang
dari posisi netral pada saat melakukan aktifitas yang disebabkan
oleh keterbatasan tubuh manusia dalam menghadapi beban
dalam waktu yang lama. Selain itu, postur janggal membutuhkan
energi yang lebih besar, oleh karena itu, semakin banyak energi
yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi janggal
tersebut, sehingga dampak pada kerusakan otot rangka semakin
besar (Bridger, 1995).

Hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap


postur janggal antara lain :

24

1.

Persendian yang bergerak melebihi posisi netral.

2.

Otot berkontraksi pada level tekanan tinggi.

3.

Banyaknya gerakan postur tersebut.

4.

Lamanya waktu terhadap postur janggal (OHSCO, 2007).

Berikut ini adalah yang termasuk postur berisiko dalam bekerja


berdasarkan BRIEF Survey dari Humantech Inc. (1995) :
1) Postur tangan dan pergelangan tangan
Postur normal atau netral pada tangan dan pergelangan
tangan dalam melakukan proses kerja adalah dengan posisi
sumbu lengan terletak satu garis lurus dengan jari tengah.
Apabila sumbu tangan tidak lurus tetapi mengarah ke berbagai
posisi, maka dapat dikatakan posisi tersebut janggal atau tidak
netral.

Beberapa contoh posisi tangan yang berisiko adalah:


a) Pinch grip, posisi menggenggam menggunakan jari-jari
tangan dengan penekanan yang kuat pada jari-jari tangan
ketika melakukan posisi ini. Posisi ini dilakukan pekerja
seperti menjepit benda-benda seperti jarum, kertas, obeng
dan sebagainya.

25

Gambar 2.3. Postur Pinch Grip Pada Jari-jari Tangan


Sumber: Humantech, 1995
b) Finger press, posisi jari-jari tangan menekan benda/obyek.

Gambar 2.4. Postur Janggal Tangan, Finger Press


Sumber: Humantech, 1995

c) Deviasi ulnar dan radial. deviasi ulnar yaitu posisi tangan


yang miring menjauhi ibu jari dan deviasi radial adalah
posisi tangan yang miring mendekati ibu jari.

(a)

(b)

Gambar 2.5. Posisi Deviasi Ulnar (a) dan Posisi Deviasi


Radial (b) Pada Pergelangan Tangan
Sumber: Humantech, 1995

26

d) Fleksi dan Ekstensi, fleksi yaitu posisi pergelangan tangan


yang menekuk kearah dalam dan membentuk sudut 45.
Sedangkan ekstensi berlawanan dari fleksi yaitu posisi
pergelangan tangan yang menekuk kearah luar/punggung
tangan dengan membentuk sudut 45.

(a)

(b)

Gambar 2.6. Posisi Fleksi (a) dan Posisi Ekstensi (b)


Pada Pergelangan Tangan
Sumber: Humantech, 1995
e) Power grip, posisi tangan menggenggam benda dengan
melingkarkan seluruh jari-jari pada benda yang dipegang.
Posisi ini termasuk janggal apabila benda yang digenggam
memiliki beban 10 lbs (4,5 kg) (Humantech, 1995).

Gambar 2.7. Postur Power Grip


Sumber: Humantech, 1995

27

2) Postur Siku
Posisi janggal pada siku tangan terjadi jika bagian tangan
bawah

(dari

siku

sampai

jari-jari)

melakukan

gerakan

memutar/rotasi. Pergerakan ini dapat ditemukan pada pekerja


yang menggunakan obeng (screwdriver) untuk memutar mur
atau benda lainnya. Gerakan lainnya pada siku adalah gerakan
ekstensi penuh (full extension) dimana siku digerakkan secara
berulang kali ke arah atas dan bawah, contoh dari postur ini
adalah gerakan ketika memalu (hammering) atau mencangkul.

(a)

(b)

Gambar 2.8. Pergerakan Siku yang Janggal, Posisi Lengan


Bawah Rotasi (a) dan Siku Ekstensi Penuh (b)
Sumber: Humantech, 1995

3) Postur bahu
Bahu termasuk posisi berisiko apabila posisi mengangkat
pada bahu memebentuk sudut sebesar 45 dari arah vertikal
sumbu tubuh, baik ke samping tubuh maupun ke arah depan
tubuh. Posisi ini biasanya dilakukan pekerja jika obyek
pekerjaannya berada jauh di depan atau samping dari tubuh
pekerja. Selain itu, postur bahu yang janggal apabila bahu

28

melewati garis vertical sumbu tubuh. Pekerja melakukan posisi


ini apabila obyek berada di belakang tubuhnya seperti menarik
benda yang berada di belakang.

(a)

(b)

Gambar 2.9 Posisi Janggal Pada Bahu, Bahu Diangkat


Sebesar 45 (a)dan Posisi Bahu ke Arah Belakang (b)
Sumber: Humantech, 1995

4) Postur Leher
a) Menunduk, postur janggal pada leher jika leher menunduk
memebentuk sudut 20 dari garis vertikal dengan ruas
tulang leher. Posisi menunduk dilakukan pekerja jika obyek
yang sedang dikerjakannya berada lebih dari 20 di bawah
pandangan mata, sehingga pekerja harus menundukkan
kepala untuk melihat obyek tersebut.

Gambar 2.10. Posisi Leher Menunduk 20


Sumber: Humantech, 1995

29

b) Miring (sideways), setiap gerakan dari leher yang miring,


baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut
yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas
tulang leher. Posisi miring biasanya dilakukan jika
benda/obyek yang dikerjakannya tidak tepat berada di depan
pekerja, melainkan berada di samping kanan atau kiri atau
berada di atas maupun bawah.

Gambar 2.11. Posisi Leher Miring


Sumber: Humantech, 1995

c) Ke arah belakang/mendongak (backwards), posisi leher


deviasi ke arah belakang yang nyata pada postur leher.
Setiap postur dari leher yang tengadah (mendongak) ke atas
tanpa melihat besar sudut yang dibentuk oleh garis vertikal
dengan sumbu dari ruas tulang leher. Postur seperti ini
biasanya ditemukan pada pekerjaan dimana obyek kerjanya
berada di atas pandangan mata pekerja atau di atas kepala.

30

Gambar 2.12. Posisi Leher ke ke Arah


Belakang/Mendongak ke Atas
Sumber: Humantech, 1995

d) Memutar (twisted), postur leher yang berputar, baik ke arah


kanan maupun kiri, tanpa menilai besarnya sudut rotasi yang
dilakukan. Biasanya pekerja melakukan posisi leher
memutar jika obyek jauh berada di samping kanan atau kiri
pekerja atau di belakang tubuh pekerja.

Gambar 2.13. Posisi Leher Memutar ke Samping


Sumber: Humantech, 1995

5) Postur punggung
a) Membungkuk, merupakan gerakan atau posisi tubuh ke arah
depan sehingga antara sumbu badan bagian atas akan
membentuk sudut 20 dengan garis vertikal. Posisi ini
terjadi apabila benda berada jauh di depan tubuh atau dibawah

31

garis horizontal tubuh sehingga pekerja membungkuk untuk


dapat meraih benda tersebut.

Gambar 2.14.
Gerakan Punggung Membungkuk 20 ke Depan
Sumber: Humantech, 1995

b) Miring (sideways), yaitu deviasi bidang median tubuh dari


garis vertikal pada punggung tanpa memperhitungkan
besarnya sudut yang dibentuk. Postur ini terjadi jika obyek
yang sedang dikerjakan berada di samping kanan atau kiri
tubuh pekerja.

Gambar 2.15. Punggung Deviasi ke Samping


Sumber: Humantech, 1995

c) Memutar (twisted), yaitu postur punggung yang berputar


baik ke kanan maupun ke kiri dimana garis vertikal menjadi
sumbu tanpa memperhitungkan besarnya o rotasi yang
dibentuk. Gerakan seperti ini dapat ditemukan pada

32

pekerjaan memindahkan barang dari satu sisi ke sisi lainnya


dari tubuh pekerja.

Gambar 2.16 Posisi Punggung Deviasi ke Samping


Sumber: Humantech, 1995

6) Postur kaki
Postur janggal pada kaki antara lain posisi jongkok.
Pekerja melakukan pekerjaannya sambil berjongkok, biasanya
obyek yang dikerjakannya berada di bawah horizontal tubuh.
Posisi lainnya yaitu berdiri dengan bertumpu pada satu kaki dan
kaki lainnya tidak dibebankan. Pekerja melakukan gerakan ini
untuk meraih obyek yang berada melebihi jangkauan tangannya
misalnya jauh di atas kepalanya.
Contoh dari gerakan ini adalah pekerja yang mengambil
atau meletakkan benda di rak yang letaknya tinggi. Kaki juga
dapat dikatakan janggal apabila posisinya berlutut atau salah satu
atau kedua lutut dijadikan tumpuan ketika sedang bekerja.

33

(a)

(b)

(c)

Gambar 2.17.
Postur Kaki Janggal, Posisi Berjongkok (a); Posisi Berdiri
denganBertumpu Pada Satu Kaki (b); dan Posisi Berlutut (c)
Sumber: Humantech, 1995

Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi


terdiri dari :
1) Postur statis yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh
tidak aktif atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur
statis dalam jangka waktu lama menyebabkan otot berkontraksi
secara terus menerut dan dapat menyebabkan tekanan pada
anggota tubuh. (Bridger, 2003) dan dapat menyebabkan pekerjaan
yang tidak efektif, kesakitan dan gangguan terhadap pekerja di
akhir pekerjaan dan masalah kesehatan dalam jangka panjang.
2) Postur dinamis yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar
anggota tubuh bergerak. Walaupun pergerakan tubuh yang wajar
membantu dalam mencegah masalah yang ditimbulkan postur
statis, pergerakan yang berlebihan khususnya dalam mengangkat

34

beban berat dapat menyebabkan masalah kesehatan dan performa


(Corlett, 1998).

2.2.1.2. Frekuensi
Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang
dilakukan dalam suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan
dilakukan secara berulang, maka dapat disebut sebagai repetitif.
Gerakan repetitif dalam pekerjaan, dapat dikarakteristikan baik sebagai
kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas sebagai gerakan
yang dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi gerakan.
Posisi/postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering
dapat menyebabkan suplai darah berkurang, akumulasi asam laktat,
inflamasi, tekanan pada otot, dan

trauma mekanis. Frekuensi

terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan berapa kali terjadi
pergerakan pengulangan dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan
otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terusmenerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi (Bridger,
1995).
Faktor-faktor risiko

yang berkaitan dengan pengulangan

pergerakan (frekuensi pergerakan) antara lain :


1.

Jumlah dan kecepatan pergerakan.

2.

Otot yang digunakan untuk menangani tekanan pergerakan.

35

3.

Persendian yang bergerak jauh dari posisi netral (OHSCO,


2007).

2.2.1.3. Durasi
Durasi merupakan jumlah waktu dimana pekerja terpajan oleh
faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja /
hari pekerja terpajan risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai
pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan
faktor risikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada
faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya (Kurniawati, 2009).
Menurut Bird (2005), durasi didefinisikan sebagai berikut :
a) Durasi singkat

: < 1 jam / hari.

b) Durasi sedang

: 1-2 jam / hari.

c) Durasi lama

: > 2 jam / hari.

Beberapa penelitian menemukan dugaan adanya hubungan


antara meningkatnya level atau durasi pajanan dan jumlah kasus MSDs
pada bagian leher (NIOSH, 1997).

2.2.1.4. Beban
Beban dapat diartikan sebagai beban muatan (berat) dan
kekuatan pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dalam
newton atau pounds, atau dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari
kapasitas kekuatan individu (NIOSH, 1997). Pembebanan fisik pada

36

pekerjaan

dapat

mempengaruhi

terjadinya

kesakitan

pada

musculoskeletal tubuh. Pembebanan fisik yang dibenarkan adalah


pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja
maksimum yenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan
peraturan jam kerja yang berlaku. Semakin berat beban maka
semakin singkat waktu pekerjaan (Sumamur, 1989).
Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk
diangkat oleh seseorang adalah 23 25 kg. Bentuk dan ukuran objek
juga mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek harus cukup kecil
agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang
besar dapat membebani otot pundak/ bahu adalah lebih dari 300
400 mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari
450 mm (Kurniawati, 2009).

2.2.1.5. Peregangan Otot Yang Berlebihan


Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada
umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktifitas kerjanya
menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti mengangkat,
mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot
yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan
melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot,

37

bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal (Tarwaka,


2004).

2.2.2. Faktor Lingkungan


2.2.2.1. Getaran
Bahaya getaran secara potensial ada jika menggunakan alat-alat
listrik (getaran ekstrimitas) dan ketika berdiri atau duduk diatas
sebuah mesin yang bergetar (getaran tubuh yang menyeluruh).
Getaran meningkatkan gerakan otot, menarik pembuluh darah dan
mengganggu ujung syaraf. Keterpaparan manusia oleh alat-alat atau
peralatan

yang

bergetar

harus

dikurangi

bilamanapun

memungkinkan.
Getaran ekstrimitas dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah dan jaringan pada jari-jari (misalnya sindrom jari putih) dan
dapat mengakibatkan kondisi kondisi seperti Carpal Tunnel
Syndrome. Keterpaparan tubuh secara menyeluruh, khususnya ketika
sedang duduk, dapat mengakselerasikan pemburukan piringan sendi
di tulang belakang (Bird, 2005).

2.2.2.2. Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan

dan kekuatan pekerja sehingga gerakan

pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan

38

menurunnya kekuatan otot (Astrand & Rodhl, 1977; Pulat, 1992;


Wilson & Corlett, 1992 dalam Tarwaka, 2004). Demikian juga
dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan
suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang
ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi
dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan
pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai
energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar,
suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat
menyebabkan rasa nyeri otot (Sumamur, 1982; Grandjean, 1993
dalam Tarwaka, 2004).

2.2.3. Faktor Perorangan


2.2.3.1. Umur
Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada
umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu
25 65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35
tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur (Tarwaka, 2004). Riihimaki (1989) menjelaskan
bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan
otot terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli

39

lainnya yang menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama


terjadinya keluhan otot (Tarwaka 2004).

2.2.3.2. Jenis Kelamin


Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli
tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal,
namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan
bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan
otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita
memang lebih rendah daripada pria. Astrand &Rodahl (1977)
menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga
kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita (Tarwaka, 2004).

2.2.3.3. Kebiasaan Merokok


Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan
merokok terhadap risiko keluhan otot juga masih diperdebatkan
dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat
kaitannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin
lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan otot yang dirasakan (Tarwaka, 2004).

40

2.2.3.4. Kesegaran Jasmani


Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada
seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya mempunyai cukup
waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang kesehariannya
melakukan pekerjaan yang cukup istirahat, hampir dapat dipastikan
akan terjadi keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan
mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya aktifitas fisik (Tarwaka,
2004).

2.3. Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud dengan musculoskeletal disorders
adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari
jaringan halus sistem muskuloskeletal yang mencakup sistem syaraf, tendon, otot
dan struktur penunjang seperti discus intervertebral. MSDs dapat berupa
peradangan dan penyakit degeneratif yang meyebabkan melemahnya fungsi
tubuh. MSDs mempunyai nama lain seperti repetitive strain injury, repetitive
motion injury, cumulative trauma disorders, occupational cervicoskeletal
disorders, overuse syndrome, dan lainnya (Canada OH&S, 2005 dalam
Kurniawati, 2009).
MSDs adalah cidera pada otot, syaraf, tendon, ligamen, sendi,kartilago atau
spinal disc. MSDs muncul tidak secara spontan atau langsung melainkan butuh
waktu yang lama dan bertahap sampai gangguan musculoskeletal mengurangi

41

kemampuan tubuh manusia dengan menimbulkan rasa sakit. MSDs menjadi


suatu masalah disebabkan karena (Bird, 2005) :
a) Waktu kerja yang hilang karena sakit umumnya disebabkan penyakit otot
rangka.
b) MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan masalah
penyakit akibat kerja yang penanganannya membutuhkan biaya yang tinggi
c) MSDs menimbulkan rasa sakit yang amat sangat sehingga membuat pekerja
menderita dan menurunkan produktivitas kerja.
d) Penyakit MSDs bersifat multikausal sehingga sulit untuk menentukan
proporsi yang semata-mata akibat hubungan kerja.

2.3.1. Gangguan Kesehatan Pada Muskuloskeletal Tiap Bagian Tubuh


Macam-macam gejala kesehatan dirasakan pekerja disebabkan
faktor risiko MSDs yang memajan tubuhnya. Tiap bagian tubuh memilki
risiko ergonomi dan gangguan kesehatan yang dapat mengakibatkan
melemahkan fungsi tubuh dan penurunan kinerja pekerja. Bagian-bagian
tubuh seperti tangan, leher, bahu, punggung dan kaki merupakan bagian
tubuh yang sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya.
Berikut ini adalah beberapa jenis cidera yang mungkin dialami pekerja
disebabkan pekerjaannya (NIOSH, 2007):
a) Cidera Pada Tangan
Cidera pada bagian tangan, pergelangan tangan dan siku bisa
disebabkan

dari

pekerjaan

tangan

yang

intensif

sehingga

42

memungkinkan terjadinya postur janggal pada tangan dengan durasi


yang lama, pergerakan yang berulang/repetitif, dan tekanan dari
peralatan/ material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa
pekerjaan repetitif berpengaruh pada cidera pada tangan dan
pergelangan tangan misalnya CTS (Bernard et al, 1997).
1. Tendinitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi pada tendon,
biasanya terjadi pada titik dimana otot melekat pada tulang.
Keadaan tersebut akan semakin berkembang ketika tendon terus
menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak biasa
seperti tekanan yang kuat pada tangan, membengkokkan
pergelangan

tangan

selama

bekerja,

atau

menggerakkan

pergelangan tangan secara berulang. Jika ketegangan otot tangan


ini terus berlangsung, akan menyebabkan tendinitis.
2. Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Penekanan yang terjadi pada
syaraf tengah yang terletak pada pergelangan tangan yang
dikelilingi jaringan dan tulang. Penekanan tersebut disebabkan
oleh pembengkakan dan iritasi dari tendon dan lapisan
penyelubung tendon. CTS biasanya ditandai dengan gejala
seperti rasa sakit pada pergelangan tangan, perasaan tidak
nyaman pada jari-jari, dan mati rasa/kebas. CTS dapat
menyebabkan sulitnya seseorang menggenggam sesuatu pada
tangannya.

43

3. Trigger finger. Tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat


menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk) dimana menekan
tendon

secara

terus

menerus

hingga

ke

jari-jari

dan

mengakibtakan rasa sakit dan tidak nyaman pada bagian jari-jari.


4. Epicondylitis. Merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku.
Rasa sakit ini berhubungan dengan perputaran ekstrim pada
lengan bawah dan pembengkokan pada pergelangan tangan.
Kondisi ini juga biasa disebut tennis elbow atau golfers elbbow.
5. Hand-Arm

Vibration

Syndrome

(HAVS).

Cidera

akibat

penggunaan tangan, pergelangan tangan, dan lengan pada


peralatan kerja yang memiliki getaran.vibrasi. Menggunakan
peralatan yang memilki vibrasi secara terus menerus dapat
mengekibatkan timbulnya gejala-gejala antar lain jari-jari pucat,
perasaan geli, dan mati rasa/kebas.

b) Cidera Pada Bahu dan Leher


Pekerjaan dengan melibatkan bahu memiliki kemungkinan yang
besar dalam menyebabkan cidera pada bagian tubuh tersebut.
Beberapa postur bahu seperti merentang lebih dari 45 atau
mengangkat bahu ke atas melebihi tinggi kepala. Durasi yang lama
dan gerakan yang berulang juga mempengaruhi kesakitan pada bahu.
Terdapat hubungan yang positif antara pekerjaan repetitif dan MSDs
pada bahu dan leher, studi lainnya menyatakan bahwa kejadian cidera

44

bahu juga disebabkan karena eksposur dengan postur janggal dan


beban yang diangkat (Bernard et al, 1997).
1. Bursitis. Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi
pada jaringan ikat yang berada pada sekitar persendian. Penyakit
ini akibat posisi bahu yang janggal seperti mengangkat bahu di
atas kepala dan bekerja dalam waktu yang lama.
2. Tension Neck Syndrome. Gejala ini terjadi pada leher yang
mengalami ketegangan pada otot-ototnya disebabkan postur
leher menengadah ke atas dalam waktu yang lama. Sindroma ini
mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang otot, dan rasa
sakit yang menyebar ke bagian leher.

c) Cidera Pada Punggung dan Lutut


Di beberapa jenis pekerjaan, dibutuhkan pekerjaan lantai atau
mengangkat beban yang menyebabkan postur punggung tidak netral.
Posisi berlutut, membungkuk, atau jongkok bisa menyebabkan sakit
pada punggung bagian bawah atau pada lutut, jika dilakukan dalam
waktu yang lama dan kontinyu mengakibatkan masalah yang serius
pada otot dan sendi (NIOSH, 2007).
1. Low Back Pain. Cidera pada punggung dikarenakan otot-otot
tulang belakang mengalami peregangan jika postur punggung
membungkuk. Diskus (discs) mengalami tekanan yang kuat dan
menekan juga bagian dari tulang belakang termasuk syaraf.

45

Apabila postur membungkuk ini berlangsung terus menerus,


maka diskus akan melemah yang pada akhirnya menyebabkan
putusnya diskus (disc rupture) atau biasa disebut herniation.
2. Penyakit muskuloskeletal yang terdapat di bagian lutut berkaitan
dengan tekanan pada cairan di antara tulang dan tendon. Tekanan
yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan cairan
tersebut (bursa) tertekan, membengkak, kaku, dan meradang atau
biasa disebut bursitis. Tekanan dari luar ini juga menyebabkan
tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan sakit
(tendinitis).

2.4. Pengendalian Risiko Ergonomi


Berdasarkan

rekomendasi

dari

Occupational

Safety

and

Health

Administration (OSHA), tindakan ergonomi untuk mencegah adanya sumber


penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat
kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi kerja) (Grandjean, 1993;
Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson, 1996; Manuaba, 2000; Peter Vi,
2000 dalam Tarwaka, 2004). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk
mengeliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja yang tidak alamiah.
1. Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif sebagai berikut :

46

a) Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal


ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
b) Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru
yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan
prosedur penggunaan peralatan.
c) Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja, sebagai contoh, memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan
ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran.
d) Ventilasi yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko
sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.

2. Rekayasa manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan
sebagai berikut :
a) Pendidikan dan pelatihan
Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih
memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat
melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya
upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja.
b) Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang
Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam
arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik

47

pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan


terhadap sumber bahaya.
c) Pengawasan yang intensif
Melalui pengawasan yang intensif

dapat

dilakukan

pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko


sakit akibat kerja.
Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh tindakan untuk
mencegah / mengatasi terjadinya keluhan otot skeletal pada berbagai
kondisi / aktifitas seperti yang dijabarkan berikut ini :
1. Aktifitas angkat-angkut material secara manual
a. Usahakan meminimalkan aktifitas angkat-angkut secara manual.
b. Upayakan agar lantai kerja tidak licin.
c. Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti
crane, kereta dorong, pengungkit.
d. Gunakan alas apabila harus mengangkat diatas kepala atau bahu.
e. Upayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas angkat
pekerja.
2. Berat bahan dan alat
a. Upayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang ringan.
b. Upayakan menggunakan wadah / alat angkut dengan kapasitas <
50 kg.

48

3. Alat tangan
a. Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar
genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan (pekerjaan berat
atau ringan).
b. Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan.
c. Upayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam
kondisi layak pakai.
d. Berikan

pelatihan

sehinga

pekerja

terampil

dalam

mengoperasikan alat.
4. Melakukan pekerjaan pada ketinggian
a. Gunakan alat bantu kerja yang memadai seperti : tangga kerja
dan lift.
b. Upayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak alamiah
dengan menyediakan alat-alat yang dapat distel/disesuaikan
dengan ukuran tubuh pekerja.

2.5. Metode Penilaian Risiko Ergonomi


2.5.1. Rapid Upper Limb Assesment (RULA)
Rapid Upper Limb Assesment (RULA) adalah suatu cara yang
digunakan untuk menilai postur, besarnya gaya dan pergerakan yang
menghubungkan dengan jenis pekerjaan yang memerlukan perpindahan
pergerakan. Seperti bekerja dengan komputer, manufaktur, atau pekerjaan

49

lainnya dimana pekerja bekerja dalam posisi duduk atau berdiri tanpa
berpindah tempat. RULA memberikan sebuah kemudahan dalam
menghitung rating dari beban kerja otot dalam bekerja dimana orang yang
mempunyai risiko pada bagian leher dan beban kerja pada anggota tubuh
bagian atas.
Tool ini memasukkan skor tunggal sebagai gambaran/foto dari
sebuah pekerjaan yang mana rating dari postur, besarnya gaya/beban dan
pergerakan yang diharuskan. Risiko adalah hasil perhitungan menjadi
suatu nilai /skor 1 (rendah) sampai skor 7 (tinggi). Skor tersebut adalah
dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan/aksi itu memberikan
sebuah indikasi dari kerangka waktu yang mana layak untuk
mengekspektasi pengendalian risiko yang akan diajukan.
Terdapat 4 pokok utama penerapan RULA yaitu untuk ;
1) Mengukur risiko muskuloskeletal/otot, biasanya sebagai bagian dari
investigasi ergonomis secara luas.
2) Membandingkan beban otot dari disain saat ini dan modifikasi disain
tempat kerja.
3) Evaluasi hasil seperti produktifitas atau keserasian peralatan.
4) Pendidikan bagi pekerja tentang risiko muskuloskeletal yang
ditimbulkan oleh perbedaan postur dalam bekerja.

50

RULA menilai postur sebuah pekerjaan dan menghubungkan


tingkat risiko dalam kerangka waktu pendek dan dengan tidak
membutuhkan peralatan yang rumit. RULA tidak didisain untuk
menyediakan informasi postur secara detail, seperti posisi jari, yang mana
memungkinkan relevan untuk melihat semua risiko kepada pekerja. Rula
dapat digunakan untuk menilai secara teliti pekerjaan atau postur untuk
satu orang pekerja maupun kelompok, itu mungkin dibutuhkan untuk
menilai sebuah angka perbedaan postur selama putaran dalam bekerja
untuk menetapkan sebuah profil dari beban otot.
Prosedur dalam penggunaan RULA menjelaskan tiga tahapan yaitu :
a) Postur tubuh untuk dilakukan penilaian telah diseleksi/ ditentukan.
b) Postur tubuh adalah hasil skor dari lembar penilaian, diagram bagian
tubuh dan tabel.
c) Skor tersebut adalah konversi untuk satu dari empat level
gerakan/aksi.

2.5.2. OWAS (The Ovako Working Analysis System)


OWAS adalah suatu metode yang digunakan dalam mengevaluasi
postur tubuh pekerja selama bekerja, dengan menganalisa berdasarkan
klarifikasi sederhana dan sistematik dari postur saat bekerja yang
dikombinasikan dengan observasi dari kegiatan pekerjaan. OWAS

51

mengizinkan pengguna OWAS untuk mengestimasi berdasarkan berat


objek maupun kekuatan yang digunakan saat bekerja. Dalam perhitungan
metode ini juga mengikutsertakan waktu observasi dan kaitannya dengan
pekerjaan yang memungkinkan menghubungkan setiap postur yang
dilakukan dengan kegiatan pekerjaan yang mempengaruhinya.
OWAS dapat diaplikasikan pada beberapa kerja akan akan
melakukan beberapa hari seperti dibawah ini:
a) Mengembangkan sebuah tempat kerja atau metode kerja untuk
mengurangi beban pada musculoskeletal dan membuatnya menjadi
aman dan produktif.
b) Merencanakan tempat kerja yang baru atau metode kerja yang baru.
c) Melakukan survey ergonomi.
d) Melakukan survey kesehatan kerja.
e) Penelitian dan pengembangan.
Penggambaran OWAS berfokus kepada postur dan pergerakan pada
bekerja, frekuensi dan sruktur kegiatan kerja dalam tahapan pekerjaan dan
lingkungan kerja, distribusi pergerakan tubuh, penanganan beban (objek
kerja) dan tenaga yang dikeluarkan saat bekerja. Adapun tujuan dari
penganalisaan postur dengan metode OWAS ini adalah sangat sederhana
dan bermanfaat yaitu untuk mencegah dan melindungi pekerja dari
terjadinya penyakit akibat kerja dan cidera karena pekerjaan.

52

2.5.3. EASY (Ergonomic Assessment Survey)


EASY adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk menilai
besarnya tingkat risiko ergonomi terhadap suatu kegiatan kerja. Metode
ini terdiri dari tiga jenis survey yang masing-masing memiliki skor yang
berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu ; BRIEF Survey 4 skor, Employee
Survey 1 skor dan Medical Survey 2 skor. Hasil akhir dari metode EASY
berupa rating yang diperoleh dari penjumlahan skor yang didapatkan dari
ketiga survey diatas (maksimal 7 skor). Rating tersebut akan menunjukan
prioritas pengendalian yang perlu dilakukan. Semakin besar skornya,
maka tindakan pengendaliannya pun semakin diutamakan.
2.5.4. BRIEF (Base Risk Identification Of Ergonomic Factor)
BRIEF adalah suatu alat yang digunakan untuk skrining awal
(initial

screening)

dengan

menggunakan

sistem

rating

untuk

mengidentifikasi bahaya ergonomik yang diterima oleh pekerja dalam


kegiatannya sehari-hari. Dalam BRIEF Survey, terdapat 4 faktor risiko
ergonomik yang perlu diketahui yaitu :
a) Postur (posture) yaitu sikap anggota tubuh yang janggal sewaktu
menjalankan pekerjaan.
b) Gaya (force) yaitu beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh
pada saat melakukan postur janggal dan melampaui batas
kemampuan tubuh.

53

c) Lama (duration) yaitu lamanya waktu yang digunakan dalam


melakukan gerakan pekerjaan dengan postur janggal.
d) Frekuensi (frequency) yaitu jumlah postur janggal yang berulang
dalam satuan waktu (menit).
Dalam survey ini, setiap faktor yang melanggar kriteria standar
(Humantech, 1995) maka akan mendapatkan skor 1, semakin banyak skor
yang didapatkan dalam suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut semakin
berisiko dan memerlukan penanggulangan segera. Skor maksimal yang
bisa didapatkan survey ini yaitu sebesar 4 skor.

2.5.5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)


REBA (Hignett and Mc Attamney, 2000) dikembangkan untuk
mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan
kesehatan dan industri pelayanan lainnya. Data yang dikumpulkan
termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe pergerakan,
gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Hasil dari skor REBA berupa
nilai yang berfungsi untuk memberi sebuah indikasi pada tingkat risiko
mana dan pada bagian mana

yang harus dilakukan tindakan

penanggulangan. Metode REBA digunakan untuk menilai postur


pekerjaan

berisiko

yang

berhubungan

dengan

Musculoskeletal

Disorders/Work Related Musculoskeletal Disorders (WMSDs).

54

Perkembangan awal disadari oleh range dari posisi anggota badan


menggunakan konsep dari RULA (Rapid Upper Limb Position) (Mc
Attamney dan Corlett 1993) OWAS (Karhu etal 1977) dan NIOSH
(Waters et al. 1993). Garis dasar dari tubuh ini adalah fungsi anatomi
pada posisi netral. Apabila postur bergerak dari posisi netral maka nilai
risiko akan meningkat. Tabel tersedia untuk 144 kombinasi perubahan
postur yang dimasukkan ke dalam skor tunggal yang mewakili tingkat
risiko muskuloskeletal. Skor ini kemudian dimasukkan ke dalam lima
tingkat tindakan seperti apa yang penting untuk dicegah atau dikurangi
untuk mengkaji postur.
1. Pengaplikasian
Menetapkan skor REBA menampilkan tingkat tindakan dengan
mengutamakan yang paling penting untuk control pengendalian.
REBA dapat digunakan ketika mengkaji faktor ergonomik ditempat
kerja, penggunaan REBA dapat dilakukan dalam kondisi :
a. Seluruh tubuh yang sedang digunakan untuk bekerja.
b. Pada postur yang statis, dinamis, kecepatan perubahan, atau
postur yang tidak stabil.
c. Beban atau tekanan secara rutin maupun tidak didapatkan oleh
pekerja.

55

d. Modifikasi pada tempat kerja, peralatan, pelatihan, atau perilaku


pekerja yang berisiko sesudah dan sebelum adanya perubahan.

2. Prosedur
Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi
penilaian ergonomi ditempat kerja yang membutuhkan analisa
postural lebih lanjut ada dalam prosedur penilaian metode REBA ada
6 tahap yaitu :
a. Melakukan Observasi Aktifitas Pekerjaan
Didalam proses observasi dilakukan pengamatan ergonomi
yang meliputi penilaian tempat kerja, dampak dari tempat kerja
serta posisi kerja, penggunaan alat-alat bekerja dan perilaku
pekerja yang berhubungan dengan risiko ergonomi. Jika
memungkinkan di dalam observasi ini setiap data yang ada
dikumpulkan dengan kamera atau video. Bagaimanapun juga,
dengan menggunakan banyak peralatan observasi sangat
dianjurkan untuk mencegah kesalahan.
b. Memilih Postur Yang Akan Dinilai
Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk memilih
postur kerja mana yang sebaiknya dinilai, kriterianya adalah :

56

1. Postur kerja yang paling sering dilakukan dalam jangka


waktu yang lama.
2. Postur kerja yang sering kali diulang.
3. Postur kerja yang membutuhkan aktifitas dan tenaga yang
besar.
4. Postur kerja yang diketahui menimbulkan ketidaknyamanan
bagi pekerja.
5. Postur kerja yang ekstrem, tidak stabil, janggal serta
membutuhkan energi.
6. Postur kerja yang telah diketahui bahwa diperlukan sebuah
intervensi, kontrol dan perubahan pada postur kerja tersebut.
Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih kriteria
diatas. Kriteria dalam memutuskan postur mana yang akan
dianalisa

harus

dilaporkan

dengan

disertai

hasil

atau

rekomendasi.
c. Melakukan Penilaian Postur Kerja
Dalam menggunakan REBA, lembar penilaian telah
tersedia dan teruji validitasnya. Secara garis besar penilaian
dibagi menjadi dua grup besar yaitu grup A untuk penilaian
punggung, leher dan kaki dan grup B untuk penilaian lengan
bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan tangan.

57

Pertimbangan mengenai tugas/ pekerjaan kritis dari


pekerjaan. Untuk masing-masing tugas, menilai faktor postur
untuk menetapkan skor kepada masing-masing bagian tubuh.
Lembar data telah menyediakan sebuah format untuk proses
penilaian ini.
Skor grup A terdiri dari postur (tubuh, leher dan kaki) dan
grup B terdiri dari postur (lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan) untuk bagian kanan dan kiri. Untuk masingmasing bagian mempunyai skala penilaian postur ditambah
dengan catatan tambahan untuk pertimbangan tambahan.
Kemudian

skor

beban/besarnya

gaya

dan

faktor

perangkai/coupling. Hasil akhirnya adalah skor aktifitas.


Melihat skor dari tabel A untuk grup A skor postur dan
dari tabel untuk grup B skor postur. Tabel mengikuti lembar
kumpulan data. Skor A adalah penjumlahan dari skor tabel A dan
skor beban/besarnya gaya. Skor B adalah penjumlahan dari skor
tabel B dan skor perangkai/coupling dari setiap masing-masing
bagian tangan. Skor C adalah dengan melihat tabel C, yaitu
memasukkan skor tersebut dengan skor A dan skor B. Skor
REBA adalah penjumlahan dari skor C dan skor aktifitas.
Tingkat risiko didapat pada tabel keputusan REBA.

58

d. Melakukan Proses Pada Nilai/Skor Yang Didapat


Penilaian postur bagian tubuh, pada saat melakukan
penilaian risiko ergonomi menggunakan REBA telah disediakan
sebuah lembar kerja yang berisi gambar dan penjelasan
mengenai tahapan penilaian atau pemberian skor terhadap setiap
jenis postur tubuh yang dianalisis pada postur leher, punggung,
dan kaki yang dikelompokkan pada kelompok A dan analisis
pada lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan
tangan.
1. Analisis Pada Postur Leher
Didalam analisis postur leher yang akan diukur adalah
besarnya sudut yang dibentuk dari posisi leher sesuai dengan
yang dilakukan pada saat postur bekerja.

Gambar 2.18. Postur Leher


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

Pada penilaian kriteria postur leher ini terdiri dari tiga


kategori posisi leher bergerak menunduk (flexi) sebesar 1020o yang diberi skor +1, posisi leher bergerak menunduk

59

flexi sebesar >20o yang diberi skor +2 dan posisi leher


bergerak kebelakang atau mendongak (ekstensi) yang diberi
skor +2 . jika posisi leher bergerak menunduk atau
mendongak lalu ditambah dengan posisi miring (side
bending) atau memutar (twisting) maka ditambah +1.
2. Analisis Pada Postur Punggung
Pada penilaian kriteria postur punggung ini terdiri dari
lima kategori posisi punggung dalam posisi netral 0o yang
diberii skor +1, posisi punggung bergerak ke belakang atau
mendengak diberi skor +2 dan posisi punggung bergerak
menunduk (fleksi) sebesar >20o yang diberi skor +2, posisi
punggung bergerak menunduk (fleksi) sebesar 20-60o yang
diberi skor +3 dan posisi punggung bergerak menunduk
(fleksi) sebesar > 60o yang diberi skor +4 . jika posisi
punggung bergerak menunduk atau mendongak lalu
ditambah dengan posisi miring (side bending) atau memutar
(twisted) maka ditambahkan +1.

60

Gambar 2.19. Postur Punggung


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

3. Analisis Pada Postur Kaki


Pada penilaian postur kaki ini terdiri dari dua kategori.
Berat badan bertumpu dengan dua tumpuan kaki diberi skor
+1. Berat badan bertumpu dengan 1 tumpuan kaki diberi
skor +2. Bila posisi kaki ditemukan terdapat lutut menekuk
sebesar 30 60o maka ditambahkan +1 dan bila posisi kaki
ditemukan terdapat lutut menekuk sebesar >60o maka
ditambahkan +2.

Gambar 2.20. Postur Kaki


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

61

4. Analisis Pada Postur Lengan Bagian Atas


Pada penilaian kriteria postur lengan bagian atas ini
terdiri dari lima kategori posisi lengan bagian atas dalam
posisi bergerak ke depan (fleksi) 0-20o atau posisi bergerak
ke belakang (ekstensi) 0-20o diberi skor +1, posisi lengan
bagian atas dalam posisi bergerak ke depan (fleksi) 20-45o
atau posisi bergerak ke belakang (ekstensi) >20o diberi skor
+2 dan posisi lengan bagian atas bergerak ke depan (fleksi)
45-90o diberi skor +3 dan posisi lengan bagian atas dalam
posisi bergerak ke depan (fleksi) 90o yang diberi skor +4.
Jika posisi lengan bagian atas bergerak menjauhi tubuh
ditambahkan +1, Jika bahu terangkat ditambah +1. Apabila
terdapat penopang lengan dikurangi -1.

Gambar 2.21. Postur Lengan Bagian Atas


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

5. Analisis Pada Postur Lengan Bagian Bawah


Analisis pada postur lengan bagian bawah ini terdiri
dari dua kategori posisi lengan bagian bawah menekuk

62

(fleksi) dalam posisi bergerak sebesar 50-100o yang diberi


skor +1 dan posisi lengan bagian bawah menekuk (fleksi)
dalam posisi bergerak sebesar 0-60o dan menekuk >100o
yang diberi skor +2.

Gambar 2.22. Postur Lengan Bagian Bawah


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

6. Analisis Pada Postur Pergelangan Tangan


Pada penilaian kriteria postur pergelangan tangan ini
terdiri dari dua kategori posisi pergelangan tangan bergerak
ke bawah (fleksi) ataupun bergerak ke atas (ekstensi) dalam
posisi bergerak sebesar 0-15o maka diberi skor +1. Dan
posisi pergelangan tangan bergerak ke bawah (fleksi)
maupun bergerak ke atas (ekstensi) dalam posisi bergerak
sebesar >15o maka diberi skor +2. Dan ditambahkan +1 jika
posisi pergelangan tangan miring atau berputar (twisted).

Gambar 2.23. Postur Pergelangan Tangan


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

63

Setelah melakukan penilaian atas postur tubuh tersebut,


kemudian postur tubuh dikelompokkan menjadi dua kelompok.
Kelompok A untuk leher , punggung, dan kaki. Kelompok B
untuk lengan bagian atas, lengan bagian bawah, dan pergelangan
tangan. Untuk bagian tubuh yang termasuk ke dalam kelompok
A, nilai yang telah didapatkan pada pergerakan sebelumnya
dimasukkan ke dalam nilai A agar didapatkan nilai postur
kelompok A pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Tabel REBA Kelompok A

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

Setelah didapatkan nilai dari tabel tersebut, penilaian


diberikan tambahan nilai, melalui kategori beban atau energi
yang dikeluarkan. Apabila beban lebih kecil dari 11 lbs maka
nilai yang ditambahkan adalah nol (0) apabila beban 11-22 lbs
maka ditambahkan +1, apabila beban lebih dari 22 lbs, maka
nilai ditambahkan +2 dan apabila kondisi energi tersebut
dikeluarkan secara cepat dan mendadak ditambahkan +1.

64

Selanjutnya skor postur A ditambahkan dengan nilai beban dan


energi sehingga didapatkan nilai kelompok A.
Setelah menilai kelompok A selanjutnya

menilai

kelompok B yaitu terdiri dari nilai postur lengan bagian atas,


lengan bagian bawah, dan pergelangan tangan. Nilai tersebut
dimasukkan ke dalam tabel B untuk mendapatkan nilai postur
kelompok B. berikut tabel yang dimaksud :
Tabel 2.2. Tabel REBA Kelompok B

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000


Setelah didapatkan nilai tabel B, dilakukan penjumlahan
nilai posisi pegangan tangan (coupling) saat aktifitas kerja yaitu
ketika tangan berpegangan dengan baik maka nilai +1, ketika
kondisi pergelangan tangan buruk diberikan nilai +2 ketika
pegangan tidak aman dan membahayakan diberikan nilai +3.
Kemudian hasil nilai postur B dijumlahkan dengan nilai
posisi pegangan tangan (coupling) menghasilkan nilai atau skor

65

B. Setelah didapatkan nilai A dan nilai B, kedua nilai tersebut


digabungkan pada tabel C untuk mendapatkan nilai C.
Tabel 2.3. Tabel REBA Kelompok C

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000


Nilai tabel C kemudian ditambahkan dengan nilai aktifitas
untuk mendapatkan hasil akhir nilai REBA. Pengkategorian nilai
aktifitas adalah apabila satu atau lebih bagian tubuh bekerja lebih
dari 1 menit maka ditambahkan +1, apabila ada pengulangan
lebih dari 4 kali dalam satu menit maka diberikan nilai +1 dan
apabila mengakibatkan perubahan postur secara ekstrem pada
tubuh maka diberikan nilai tambahan +1. Gambaran secara
lengkap perhitungan REBA dapat dilihat dalam gambar :

66

Gambar 2.24. Skor REBA


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

e. Menetapkan Nilai/Skor Akhir REBA


Hasil akhir dari penilaian adalah REBA decision, yaitu
tingkat risiko berupa skoring dengan kriteria :
1. Skor 1 mempunyai tingkat risiko yang masih dapat diterima.
2. Skor 2-3 mempunyai tingkat risiko MSDs rendah.
3. Skor 4-7 mempunyai tingkat risiko MSDs sedang.
4. Skor 8-10 mempunyai tingkat risiko MSDs tinggi.
5. Skor 11-15 mempunyai tingkat risiko MSDs sangat tinggi.

Gambar 2.25. REBA Decision


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

f. Menentukan Tindakan Sesuai Skor Akhir REBA


1. Skor 1 risiko pekerjaan dapat dikesampingkan.

67

2. Skor 2-3 diberikan perubahan postur kerja.


3. Skor 4-7 dibutuhkan investigasi yang lebih jauh dan
perubahan postur kerja secepatnya.
4. Skor

8-10

harus

dilakukan

investigasi

dan

adanya

implementasi berupa perubahan postur kerja dan lingkungan


kerja.
5. Skor

11-15

harus

segera

diganti

dalam

aplikasi

pekerjaannya.
2.5.7. Alasan Pemilihan Metode REBA
Metode REBA dipilih sebagai tools atau metode yang digunakan
dikarenakan metode ini dapat digunakan untuk mengukur seluruh tubuh.
Hal ini sesuai dengan pekerjaan laundry yang menggunakan seluruh
tubuhnya baik dari bagian tubuh atas maupun bawah saat melakukan
aktifitas pekerjaannya. Metode REBA sendiri dapat menilai kegiatan
maupun pekerjaan yang dilakukan dirasa metode REBA cocok untuk
digunakan. Metode REBA merupakan metode yang dikembangkan dari
metode RULA dan OWAS sehingga hal yang terdapat didalam metode
RULA maupun OWAS juga tercakup didalam metode REBA.
Validitas dan realibilitas metode REBA sudah teruji, juga menjadi
pertimbangan sehingga hasil penelitian dapat diterima secara ilmiah.

68

Disamping pengukuran risiko ergonomi dengan menggunakan metode


ini tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah dipahami.
Penggunan metode ini bukan berarti metode ini lebih unggul dari
metode lainnya, tetapi metode ini cocok untuk digunakan dalam
penelitian ini, karena setiap metode memiliki keunggulan dan kelebihan
masing-masing:
Beberapa kelebihan dari metode REBA antara lain :
1. Validitas dan reliabilitas metode REBA yang telah teruji.
2. Penggunaan yang mudah dan cepat.
3. Postur tubuh yang dinilai melingkupi seluruh bagian tubuh.
4. Dapat menilai besarnya berat beban benda yang diangkat.
5. Dapat menilai jenis aktifitas kerja yang dinilai statis, dinamis
maupun repetitif.
6. Dapat menilai jenis pegangan tangan (coupling) saat melakukan
aktifitas kerja.
Beberapa kelemahan metode REBA antara lain :
1. Hanya melakukan perhitungan terhadap postur tubuh yang
terbentuk ketika melakukan aktifitas kerja.
2. Tidak memperhitungkan antropometri dan setiap yang melakukan
aktifitas kerja.

69

3. Tidak melakukan penilaian terhadap lingkungan kerja, antara lain


temperature, getaran otot, ukuran stasiun kerja dan tipe peralatan
kerja.

2.6. Kerangka Teori


Manajemen risiko adalah istilah yang digunakan dalam penilaian risiko
secara logis dan sistematis. Proses ini meliputi metode terhadap penentuan
konteks/kriteria risiko, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko,
pengendalian risiko

serta komunikasi dan pemantauan risiko yang terkait

dengan kegiatan-kegiatan, fungsi atau proses dengan cara yang memungkinkan


organisasi untuk meminimalkan kerugian dan memaksimalkan peluang.
Manajemen risiko mengidentifikasi kesempatan sebagai mitigasi ataiu
menghindari kerugian. (AS/NZS 4360:1999)

70

Menentukan Konteks/

Komunikasi dan Konsultasi

Identifikasi Risiko

Analisis Risiko

Evaluasi Risiko
Penilaian Risiko

Pengendalian Risiko

Gambar 2.26. Kerangka Teori


Sumber : AS/NZS 4360, 1999

Pemantauan dan Tinjau Ulang

Kriteria Risiko

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.2. Kerangka Konsep


Penelitian ini bertujuan menilai dan analisis tingkat risiko ergonomi
berdasarkan aspek pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan, dengan menggunakan metode REBA
(Rapid Entire Body Assesment) (Mc.Attamney). REBA merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk menilai besarnya tingkat Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada suatu pekerjaan berdasarkan aspek pekerjaan. Penelitian
ini hanya menilai faktor pekerjaan tiap aktifitas kerja pada proses pekerjaan
laundry pada sektor informal, tanpa melihat faktor individu atau personal, faktor
lingkungan dan faktor psikososial.
Penilaian ini diawali dengan proses identifikasi proses pekerjaan lalu
dilakukan penilaian postur pekerjaan berupa skor yang meliputi skor postur grup
A (leher, tulang punggung dan kaki), skor postur grup B (lengan atas, lengan
bawah, dan pergelangan tangan), skor beban yang diangkat pekerja, skor
genggaman tangan, dan skor aktifitas dari seluruh pekerjaan yang dilakukan
pekerja. Lalu setelah itu, diperoleh skor akhir REBA yang merupakan indikator
tingkat risiko ergonomi yang terjadi pada setiap langkah kerja yang dilakukan
pekerja. Hal ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut :

71

72

RUANG LINGKUP
Identifikasi proses pekerjaan laundry sektor informal di
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

IDENTIFIKASI RISIKO
Menggunakan Metode REBA (Rapid Entire Body
Assessment) Pada Aktifitas Pekerja Laundry sektor
informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan

ANALISIS RISIKO
Melakukan penilaian terhadap postur kerja dengan
metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) :
1. Postur Grup A saat bekerja pada :
a. Leher (Neck)
b. Tulang Punggung (Trunk)
c. Kaki (Legs)
2. Postur Grup B saat bekerja pada :
a. Lengan Atas (Upper Arms)
b. Lengan Bawah (Lower Arms)
c. Pergelangan Tangan (Wrist)
3. Beban (Force/load)
4. Genggaman Tangan (Coupling)
5. Skor Aktifitas
Menentukan tingkat risiko ergonomi berdasarkan aspek
pekerjaan pada pekerja laundry sektor informal di
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

Keterangan : Dimodifikasi dari AS/NZS 4360 : 1999

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

73

3.4. Definisi Operasional


No
Variabel
1. Identifikasi
Proses
Pekerjaan
2. Penilaian
Skor REBA

Leher

Punggung

Kaki

Definisi
Aktifitas kerja yang
dimulai dari awal hingga
akhir pekerjaan
Pemberian angka untuk
postur tubuh pekerja
berdasarkan kriteria
penilaian REBA
Gerakan menunduk,
menengadah, miring,
rotasi leher yang terjadi
ketika pekerja melakukan
pekerjaan
Gerakan fleksi atau rotasi
punggung yang terjadi
ketika pekerja melakukan
pekerjaan

Cara Ukur
Observasi dan
wawancara

Observasi

Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA

Gerakan tumpuan kaki


yang terjadi ketika pekerja
melakukan pekerjaan

Observasi

Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA

Observasi

Observasi

Alat Ukur
Form Observasi
dan Pedoman
Wawancara
Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA
Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA

Hasil Ukur
Langkah kerja pada pekerja dari awal
pekerjaan dimulai hingga akhir pekerjaan
Postur A (leher, punggung dan kaki)
Postur B (lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan), beban genggaman dan
aktifitas (Hignett, McAtamney, 2000)
1 : 0o-20o ke depan
2 : > 20o ke depan dan ke belakang
+ 1 : jika berputar atau miring ke kanan dan
atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke
bawah(Hignett, McAtamney, 2000)
1 : lurus atau 0o
2 : 0o 20o ke depan dan ke belakang
3 : 20o-60o ke depan dan > 20o ke belakang
4 : > 60o ke depan
+1 : jika punggung berputar atau miring ke
kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau
ke bawah(Hignett, McAtamney, 2000)
1 : tubuh bertumpu pada kedua kaki, berjalan,
duduk
2 : berdiri dengan satu kaki, tidak stabil
+1 : jika lutut ditekuk 30o-60o ke depan
+2 : jika lutut ditekuk >60o ke depan (Hignett,
McAtamney, 2000)

74
No

Variabel
Lengan atas

Definisi
Cara Ukur
Gerakan aduksi, abduksi, Observasi
fleksi, ekstensi bahu
yang terjadi ketika
pekerja melakukan
pekerjaan

Alat Ukur
Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA

Lengan
bawah

Gerakan fleksi, ekstensi


lengan yang terjadi
ketika pekerja
melakukan pekerjaan
Gerakan deviasi radial,
deviasi ulnar, ekstensi,
fleksi, rotasi pergelangan
tangan yang terjadi
ketika pekerja
melakukan pekerjaan
Berat beban yang
ditangani oleh pekerja

Observasi

Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA
Kamera digital,
timbangan,
stopwatch, form
penilaian REBA

Pengukuran
langsung
berat beban

Timbangan

Besarnya faktor risiko


ergonomi dilihat dari
cara pekerja memegang
atau mengangkat beban

Observasi

Kamera digital
dan form
penilaian REBA

Pergelangan
Tangan

Beban

Genggaman
Tangan

Observasi

Hasil Ukur
1 : 0o-20o ke depan dan ke belakang
2 : >20o ke belakang, dan 20o-40o ke depan
3 : antara 45o-90o
4 : >90o ke atas
+1 : jika lengan berputar atau bahu
dinaikkan atau diberi penahan
-1 : jika lengan dibantu oleh alat penopang
atau terdapat orang yang membantu.
(Hignett, McAtamney, 2000)
1 : 60o-100o ke depan
2 : antara 0o-60o ke bawah, dan > 100o ke
atas. (Hignett, McAtamney, 2000)
1 : 0o-15o ke depan dan ke belakang
2 : > 15o ke depan dan ke belakang
+1 : jika terdapat penyimpangan pada
pergelangan tangan. (Hignett, McAtamney,
2000)
0 : < 5 kg
1 : 5-10 kg
2 : > 10 kg
+1 : jika disertai dengan pergerakan yang
cepat. (Hignett, McAtamney, 2000)
0 : memegang beban dengan dibantu oleh
alat bantu
1 : memegang beban dengan mendekatkan
beban ke anggota tubuh yang dapat
menopang
2 : memegang beban hanya dengan tangan
tanpa mendekatkan beban ke anggota tubuh
yang dapat menopang
3 : memegang beban tidak pada tempat

75

No

Variabel
Aktifitas

Definisi
Kegiatan postur tubuh
pekerja pada saat bekerja

Cara Ukur
Observasi

Alat Ukur
Stopwatch

3.

Tingkat
risiko
ergonomi

Besarnya risiko suatu


pekerjaan yang
dilakukan pekerja

Perhitungan
hasil REBA

Form penilaian
REBA

pegangan yang disediakan. (Hignett,


McAtamney, 2000)
Hasil Ukur
+0 : jika tidak terdapat aktifitas dimana satu
atau lebih dari anggota tubuh statis >1
menit, gerakan berulang >4 kali dalam
waktu 1 menit dan perubahan postur dengan
cepat atau tidak stabil
+1 : jika satu atau lebih dari anggota tubuh
statis >1 menit
+1 : jika melakukan gerakan berulang >4
kali dalam waktu 1 menit
+1 : jika perubahan postur dengan cepat atau
tidak stabil
1 : risiko masih dapat diterima dan tidak
perlu diubah
2 dan 3 : tingkat risiko rendah, mungkin
diperlukan perubahan-perubahan
4-7 : tingkat risiko sedang, dibutuhkan
pemeriksaan dan perubahan
8-10 : tingkat risiko tinggi, oleh karena itu
perlu dilakukan pemeriksaan dan perubahan
dengan segera
11-15 : tingkat risiko sangat tinggi,
perubahan dilakukan saat itu juga. (Hignett,
McAtamney, 2000)

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus pada pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Timur Kota Tangerang
Selatan terkait dengan pekerjaannya untuk mengetahui tingkat risiko ergonomi
melalui penilaian terhadap postur janggal (leher, tulang punggung, kaki, lengan
atas, lengan bawah, pergelangan tangan), beban, genggaman tangan dan aktifitas.
Peneliti melakukan pengamatan pada setiap proses pekerjaan yang dilakukan
pekerja laundry sektor informal di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan menggunakan metode Rapid Entire Body Assesment (REBA).
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan
Mei Juni 2012.
4.3. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah seluruh proses kerja yang dilakukan pekerja
laundry sektor informal yang meliputi penyortiran, penimbangan, pencucian dan
pengeringan dengan mesin, penyetrikaan serta pembungkusan. Karakteristik
76

77

pekerja yang diteliti adalah pekerja yang mempunyai keluhan saat bekerja
maupun setelah pekerja dan memiliki tinggi badan 165 cm. Jumlah pekerja yang
diamati berjumlah 12 orang yang berada di 5 lokasi laundry di Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan. Seluruhnya diamati dan dinilai tingkat
risiko ergonominya dari setiap langkah pekerjaan yang dilakukan. Proses
penilaian dititikberatkan pada faktor pekerjaan, bukan pada faktor lingkungan,
perorangan maupun psikososial.
4.4. Pengumpulan dan Pengolahan Data
4.4.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan yaitu dengan cara mengumpulkan data
primer dan data sekunder :
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara :
a. Observasi atau pengamatan langsung saat pekerja melakukan
proses pekerjaan laundry untuk mendapatkan tahapan pekerjaan
tersebut hingga postur janggal saat bekerja (leher, tulang
punggung, kaki, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan
kaki), skor beban, skor genggaman tangan, dan skor aktifitas
dapat diketahui dan selanjutnya dianalisis dengan formulir
REBA.

78

b. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang diangkat oleh


pekerja dilakukan secara langsung menggunakan timbangan.

2. Data sekunder
Pengumpulan data sekunder terdiri dari :
a. Gambaran umum usaha laundry
b. Lembaran instruksi kerja/SOP
4.4.2. Alat Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, alat yang digunakan adalah :
a. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan proses kerja dan
memotret postur kerja.
b. Alat pengukur waktu (stopwatch) digunakan untuk mengetahui
frekuensi gerakan yang dilakukan pekerja dalam 1 menit dan
mengukur lama postur janggal dipertahankan selama bekerja.
c. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang diangkat oleh pekerja
dilakukan dengan mengukur beban secara langsung menggunakan
timbangan.
d. Busur derajat digunakan untuk mengetahui sudut pada postur
kerja/posisi janggal.
e. Formulir penilaian skor Rapid Entire Body Assesment (REBA)
digunakan untuk mengetahui tingkat risiko ergonomi.

79

4.4.3. Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan formulir Rapid
Entire Body Assesment (REBA). Pada tahap awal pengambilan data
terkait dengan merekam kegiatan para pekerja kemudian diambil foto saat
bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan. Kemudian setelah foto diperoleh,
dilakukan pengolahan data yaitu pengukuran dengan busur derajat untuk
mengetahui sudut pada posisi janggal dan melakukan pengisian formulir
REBA. Penulis memperoleh formulir REBA dari Lynn Mc Attamney dan
Sue Hignett dengan langkah pengolahan data :
1. Memberi nilai pada postur grup A yang terdiri atas leher, tulang
punggung, dan kaki. Nilai tersebut dimasukkan ke dalam tabel A.
Kriteria penilaian postur grup A adalah :
a. Kriteria penilaian area leher :
1) skor 1 yaitu posisi leher 0o-20o ke depan.
2) skor 2 yaitu posisi leher >20o kedepan dan kebelakang.
3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika leher
berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri serta keatas
dan atau ke bawah.
b. Kriteria penilaian area punggung :
1) skor 1 yaitu posisi punggung lurus atau 0o.
2) skor 2 yaitu posisi 0o-20o kedepan dan kebelakang.
3) skor 3 yaitu posisi 20o-60o ke depan dan >20 o ke belakang.

80

4) skor 4 yaitu posisi >60o ke depan.


5) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika punggung
berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri serta keatas
dan atau ke bawah.
c. Kriteria penilaian area kaki
1) skor 1 yaitu tubuh bertumpu pada kedua kaki, jalan atau
duduk.
2) skor 2 yaitu berdiri dengan satu kaki, tidak stabil.
3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika lutut
ditekuk 30o-60o ke depan dan skor +2 jika lutut ditekuk >60o
ke depan.
Setelah didapat skor postur leher, punggung, dan kaki diperoleh
skor tabel A.
Tabel 4.1. Tabel REBA Kelompok A

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000


Nilai dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan berat beban
yang diangkat. Pengukuran terhadap indikator berat beban yang

81

diangkat oleh pekerja dilakukan dengan mengukur beban secara


langsung menggunakan timbangan. Kriteria penilaian beban :
1) skor 0 yaitu berat beban <5 kg.
2) skor 1 yaitu berat beban 5-10 kg.
3) skor 2 yaitu berat beban >10 kg.
4) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika disertai
dengan pergerakan yang cepat.

2. Memberi nilai dari grup B yang terdiri dari bagian lengan atas,
lengan bawah, dan pergelangan tangan untuk bagian kanan dan kiri
tubuh. Kriteria penilaian postur grup B adalah :
a. Kriteria penilaian area lengan atas :
1) skor 1 yaitu posisi bahu 0o-20o ke depan dan kebelakang.
2) skor 2 yaitu posisi bahu >20o ke belakang dan 20o-40o ke
depan.
3) skor 3 yaitu posisi bahu antara 45o-90o.
4) skor 4 yaitu posisi bahu >90o keatas.
5) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor ditambah (+) 1
jika lengan berputar atau bahu dinaikkan atau diberi
penahan, dan skor dikurangi (-) 1 jika lengan dibantu oleh
alat penopang atau terdapat orang yang membantu.

b. Kriteria penilaian area lengan bawah :

82

1) skor 1 yaitu posisi lengan 60o-100o ke depan.


2) skor 2 yaitu posisi lengan antara 0o-60o kebawah dan >100o
keatas.

c. Kriteria penilaian area pergelangan tangan :


1) skor 1 yaitu posisi pergelangan tangan 0o-15o ke depan dan
ke belakang.
2) skor 2 yaitu posisi pergelangan tangan >15o ke depan dan
kebelakang.
3) skor pertimbangan (adjustment) yaitu skor +1 jika terdapat
penyimpangan pada pergelangan tangan.
Setelah skor tulang punggung, leher dan kaki didapat maka
dimasukkan ke tabel skor B.
Tabel 4.2. Tabel REBA Kelompok B

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000


Tahap selanjutnya dijumlahkan dengan nilai genggaman tangan.
Kriteria penilaian cara memegang :

83

1) skor 0 yaitu memegang beban dengan dibantu dengan alat atau power
grip.
2) skor 1 yaitu memegang beban dengan mendekatkan beban ke anggota
tubuh yang dapat menopang atau dengan finger grip dan press grip.
3) skor 2 yaitu memegang beban hanya dengan tangan tanpa
mendekatkan beban ke anggota tubuh yang dapat menopang.
4) skor 3 yaitu memegang beban tidak pada tempat pegangan yang
disediakan.
Setelah nilai dari grup A dan grup B di dapat maka dimasukkan ke
tabel C.
Tabel 4.3. Tabel REBA Kelompok C

Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

84

Kemudian diperoleh nilai C dan dijumlahkan dengan nilai aktifitas.


Kriteria nilai aktifitas yaitu :
1) Skor +0 jika tidak terdapat aktifitas dimana satu atau lebih dari anggota
tubuh statis >1 menit, gerakan berulang >4 kali dalam waktu 1 menit dan
perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil

2) Skor +1 jika salah satu atau lebih dari anggota tubuh statis >1 menit.
3) Skor +1 jika melakukan gerakan berulang >4 kali dalam 1 menit.
4) Skor +1 jika perubahan postur dengan cepat atau tidak stabil.
Setelah nilai C dijumlahkan dengan nilai aktifitas, maka diperoleh
nilai REBA atau skor akhir REBA serta level perubahan yang harus
dilakukan.

Gambar 4.1. Skor REBA


Sumber : Hignett S, McAtamney, 2000

4.4.4.

Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data, tahap selanjutnya analisis data.
Dari hasil pengamatan langsung, data yang diperoleh, diolah secara
manual dengan memberikan nilai sebagai penilaian tingkat risiko untuk
masing-masing postur A (leher, punggung, dan kaki), postur B (bahu,
lengan, dan pergelangan tangan), beban, genggaman tangan (coupling)

85

dan nilai aktifitas. Hasil kemudian diinterpretasikan untuk menilai


besarnya tingkat risiko ergonomi yang ada pada tiap-tiap tahapan
kegiatan kerja pada pekerjaan laundry. Dari skoring yang telah
didapatkan (nilai REBA), maka dapat dilakukan penetapan prioritas
penanggulangan risiko. Tahapan kegiatan yang memiliki risiko ergonomi
dilakukan

pembahasan

pengendaliannya.

untuk

mendapatkan

saran

tindakan

BAB V
HASIL

5.1. Karakteristik Lingkungan Kerja


Penulis melakukan penelitian di beberapa lokasi usaha laundry sektor
usaha informal di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Tempat
usaha laundry yang diobservasi berjumlah 5 tempat dan total pekerja tersebut 12
orang. Pada setiap lokasi usaha terdapat paling sedikit 2 orang pekerja dan paling
banyak 3 orang pekerja. Ukuran luas ruangan yang digunakan dalam usaha
laundry tersebut berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan jumlah pekerja dan
kapasitas barang-barang yang berada di ruangan tersebut.
Karakteristik kompetensi pekerja laundry disesuaikan dengan kebutuhan
dimana pekerja tersebut diharuskan dapat melaksanakan seluruh proses di usaha
laundry mulai dari penimbangan hingga pengemasan. Tidak ada pembagian
kerja yang khusus diantara sesama pekerja. Jenis peralatan yang digunakan pada
setiap tempat memiliki persamaan dan perbedaan. Peralatan yang sebagian besar
digunakan meliputi mesin cuci, mesin pengering, setrika, meja setrika dan plastik
pembungkus pakaian. Perbedaan peralatan yang ada hanya perbedaan jenis
timbangan yang digunakan.

86

87

5.2. Gambaran Proses Kerja


Proses kerja pada laundry sektor usaha informal terdiri dari 5 tahapan
kegiatan yaitu :
5.2.1. Penimbangan
Pakaian yang diterima oleh pekerja laundry dari pelanggan dilakukan
penimbangan terlebih dahulu. Setiap jenis pakaian yang dibawa oleh
pelanggan ditimbang kemudian hasilnya dicatat dalam pembukuan harian
laundry tersebut. Selama melakukan proses penimbangan, pakaian yang
diterima pekerja laundry dilakukan pada posisi berdiri yang disesuaikan
dengan jenis timbangan yang digunakan di masing-masing tempat laundry.
5.2.2. Pencucian dan Pemerasan
Setelah

dilakukan

penimbangan,

pakaian

tersebut

dicuci

menggunakan mesin cuci. Dalam proses pencucian, setiap pakaian


diklasifikasikan menurut jenis dan karakteristik bahan pakaian. Proses
selanjutnya, pekerja memasukkan air dan cairan pembersih serta pewangi
kedalam mesin cuci hingga pakaian tersebut terlihat bersih dan wangi.
Pakaian yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam mesin pemeras
otomatis. Selain itu, beberapa laundry membilas kembali pakaian tersebut
dengan cara manual. Dalam proses ini, pekerja melakukan pekerjaannya
dengan postur berdiri dan melakukan aktifitasnya dengan kedua tangan.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses ini berlangsung sekitar 45 menit

88

yang dilanjutkan dengan memindahkan pakaian yang telah diperas ke


dalam wadah pakaian.
5.2.3. Pengeringan
Pada proses ini dilakukan menggunakan mesin pengering yang
terpisah dengan mesin cuci. Pakaian yang telah diperas kemudian
dimasukkan kedalam mesin pengering dengan durasi waktu selama 1 jam.
Postur kerja selama melakukan proses ini dilakukan dengan berdiri,
berjalan serta menggunakan kedua tangan. Setelah kering, pakaian tersebut
dimasukkan ke dalam wadah untuk selanjutnya dilakuan proses setrika dan
pelipatan. Pada beberapa lokasi laundry yang diteliti, terdapat beberapa
perbedaan proses pengeringan. Selain menggunakan mesin pengering, ada
juga yang menggunakan tenaga panas matahari untuk proses pengeringan
pakaian.
5.2.4. Setrika dan Pelipatan
Pakaian yang sudah kering kemudian disetrikan menggunakan alat
setrika listrik. Pada saat proses tersebut, pakaian diberikan pewangi dan
pelembut dengan cara menyemprotkan kearah pakaian. Pakaian tersebut
lalu di lipat agar mudah dikemas. Untuk proses setrika dan pelipatan,
terdapat perbedaan antara posisi kerja dan alat bantu kerja.
a. Posisi berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi

89

b. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran


punggung
c. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran
punggung
5.2.5. Pengemasan
Pakaian yang telah disetrika dan dilipat, kemudian diatur kembali
agar mudah dikemas dalam wadah plastik bening dan diberi label. Untuk
proses pengemasan, terdapat perbedaan posisi kerja.
a. Pengemasan dilakukan dengan posisi berdiri, pakaian yang akan
dikemas diletakkan diatas meja setrika
b. Pengemasan dilakukan dengan posisi duduk, barang yang akan
dikemas diletakkan dilantai

5.3. Gambaran Postur Tubuh Pekerja Laundry


Dalam melakukan setiap tahapan

proses laundry, postur tubuh yang

dilakukan pekerja laundry sektor informal berbeda-beda. Postur kerja yang


dinilai ini merupakan posisi postur aktifitas utama yang dilakukan pekerja. Setiap
postur kerja ini disesuaikan juga dengan
digunakan di masing-masing lokasi.

perbedaan peralatan kerja yang

90

5.3.1. Penimbangan
Proses penimbangan yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor
usaha informal meliputi 2 (dua) cara yaitu penimbangan dengan
timbangan pegas serta penimbangan dengan timbangan biasa.
1. Penimbangan Dengan Timbangan Pegas
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses penimbangan menggunakan timbangan pegas
adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.1
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Tahapan

pertama

proses

laundry

ini

meliputi

proses

penimbangan. Pada proses ini, pekerja melakukan penimbangan


dengan menggunakan timbangan pegas. Posisi yang dilakukan pada
proses ini adalah posisi leher membentuk sudut 20o. postur punggung
pekerja lurus dengan posisi berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki.

91

Posisi lengan kanan atas membentuk sudut fleksi 50o serta terdapat
abduksi dimana lengan atas tersebut dijauhkan dari pusat tubuh.
Sedangkan lengan kanan bawah membentuk fleksi 50o dan
pergelangan tangan kanan membentuk fleksi sebesar 10o.
2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses penimbangan menggunakan timbangan biasa
adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.2
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Selain

menggunakan

timbangan

pegas,

pekerja

juga

menggunakan timbangan biasa. Posisi yang dilakukan pada proses ini


adalah posisi leher membentuk sudut fleksi 25o. Postur punggung
pekerja lurus disertai dengan posisi punggung yang berputar. Posisi
tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas
membentuk sudut fleksi 70o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk

92

fleksi 30o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o.
untuk postur tubuh lengan kanan atas terbentuk sudut fleksi sebesar
75o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 35 o
dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut 20o yang disertai
dengan posisi pergelangan tangan miring ke samping.
5.3.2. Pencucian dan Pemerasan
1. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci adalah
seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.3
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Setelah pakaian tersebut ditimbang, langkah selanjutnya adalah
memasukkan pakaian tersebut kedalam mesin cuci. Pada proses ini,
posisi leher membentuk fleksi 35o dan posisi punggung lurus namun

93

punggung dalam keadaan miring ke samping. Tahapan ini dilakukan


dalam posisi berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan
kiri atas membentuk sudut fleksi 10o serta terdapat abduksi dimana
lengan atas tersebut dijauhkan dari pusat tubuh. Sedangkan lengan kiri
bawah membentuk sudut fleksi 135o dan pergelangan tangan kiri
membentuk fleksi sebesar 10o.
2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci adalah
seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.4
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari
Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Pada tahapan mengeluarkan pakaian dari mesin cuci, posisi leher
pekerja membentuk fleksi sebesar 18o yang disertai dengan posisi leher
miring dan berputar. Posisi punggung lurus namun punggung dalam
keadaan miring ke samping. Tahapan ini dilakukan dalam posisi

94

berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas
membentuk sudut fleksi 25o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk
sudut fleksi sebesar 110o dan pergelangan tangan kiri membentuk
fleksi sebesar 30o yang disertai dengan deviasi ulnar .
3. Pembilasan
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses pembilasan adalah seperti terlihat pada gambar
dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.5
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pembilasan di Laundry Sektor
Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Pada proses pembilasan, posisi leher pekerja membentuk fleksi
sebesar 15o yang disertai dengan posisi leher miring. Posisi punggung
membentuk fleksi 10o yang disertai posisi punggung yang miring dan
berputar. Tahapan ini dilakukan dalam posisi berdiri dengan bertumpu
pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 30o

95

yang disertai abduksi yaitu posisi lengan atas menjauhi pusat tubuh.
Sedangkan lengan kiri bawah membentuk sudut fleksi sebesar 75o dan
pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai
gerakan berputar.
4. Memasukkan Pakaian ke Dalam Wadah
Setelah pakaian tersebut dicuci, proses selanjutnya adalah
memasukkan ke dalam wadah. Postur tubuh yang dilakukan oleh
pekerja laundry sektor usaha

informal saat proses memasukkan

pakaian ke dalam wadah adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel
dibawah ini :

Gambar 5.6
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Wadah di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Pada proses memasukkan pakaian kedalam wadah, posisi leher
membentuk sudut fleksi 20o yang disertai leher berputar. Postur
punggung pekerja membentuk fleksi 40o dan disertai dengan posisi

96

punggung yang berputar. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada


kedua kaki. Posisi lengan kiri atas membentuk sudut fleksi 20o.
Sedangkan lengan kiri bawah membentuk fleksi 20o dan pergelangan
tangan kiri membentuk fleksi sebesar 10o. Postur tubuh lengan kanan
atas membentuk sudut fleksi sebesar 20o sedangkan posisi lengan
bawah kanan membentuk sudut fleksi 20o dan pergelangan tangan
kanan membentuk sudut fleksi10o.
5.3.3. Pengeringan
1. Mengangkat Wadah Pakaian
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses mengangkat wadah pakaian untuk dibawa ke
mesin pengering adalah seperti terlihat

pada gambar dan tabel

dibawah ini :

Gambar 5.7
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian
Untuk Dibawa ke Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

97

Pada proses mengangkat wadah pakaian, posisi leher membentuk


ektensi 10o. Postur punggung pekerja membentuk fleksi 25o. Posisi
tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki. Posisi lengan kiri atas
membentuk sudut fleksi 70o. Sedangkan lengan kiri bawah membentuk
fleksi 5o dan pergelangan tangan kiri membentuk fleksi sebesar 5o.
Postur tubuh lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar 70o
sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi 5o dan
pergelangan tangan kanan membentuk sudut fleksi 5o.
2. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Pengering
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering
adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.8
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Memasukkan Pakaian ke
Dalam Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

98

Dalam proses ini, posisi tubuh pekerja menyesuaikan dengan


jenis dan desain alat bantu pekerjaan yang menyebabkan postur leher
pekerja membentuk sudut ekstensi sebesar 10o yang disertai dengan
leher miring kesamping. Posisi punggung membungkuk membentuk
fleksi 45o dan disertai punggung yang miring. Posisi tubuh bertumpu
pada kedua kaki. Posisi lengan kanan atas membentuk sudut fleksi
sebesar 110o dan lengan kanan bawah fleksi 75o. Pergelangan tangan
kanan membentuk fleksi sebesar 5o.
3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering
adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.9
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari
Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

99

Pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin pengering, posisi


leher membentuk ektensi 15o yang disertai dengan postur leher yang
miring. Postur punggung pekerja membentuk fleksi 50o serta dalam
kondisi miring. Posisi tubuh berdiri dengan bertumpu pada kedua
kaki.. Postur tubuh lengan kanan atas membentuk sudut fleksi sebesar
120o sedangkan posisi lengan bawah kanan membentuk sudut fleksi
85o dan pergelangan tangan kanan membentuk sudut fleksi 10o.
4. Penjemuran Pakaian
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses penjemuran pakaian adalah seperti terlihat pada
gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.10
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Penjemuran Pakaian di
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Pada tahapan ini, postur leher pekerja membentuk ekstensi
sebesar 10o yang disertai leher berputar. Posisi punggung lurus namun

100

dalam kondisi berputar. Postur tubuh pekerja berdiri dalam keadaan


tidak stabil. Posisi lengan kiri atas membentuk fleksi sebesar 45o yang
disertai dengan abduksi. Lengan bawah kiri fleksi 110o serta
pergelangan tangan kiri 0o. Untuk postur lengan atas kanan, pekerja
membentuk fleksi 150o dan lengan bawah kanan membentuk sudut
fleksi 10o. Pergelangan tangan kanan 0o.
5.3.4. Setrika dan Pelipatan
1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri
menggunakan meja setrika tanpa kursi adalah seperti terlihat pada
gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.11
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan
Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan

101

Dalam proses setrika dan pelipatan, pekerja melakukan tahapan


ini dengan beberapa cara. Pada proses ini, pekerja melakukannya
dengan cara berdiri menggunakan alat bantu meja setrika yang
menghasilkan posisi leher fleksi sebesar 40o yang disertai dengan leher
yang berputar. Posisi punggung membentuk sudut fleksi 10o disertai
dengan gerakan punggung miring dan berputar. Pekerja dalam posisi
berdiri pada kedua kaki. Postur lengan kiri atas membentuk fleksi 10o
yang disertai abduksi dan lengan kiri bawah pun juga membentuk
sudut fleksi sebesar 60o. Pergelangan tangan membentuk fleksi 5o.
pada postur lengan kanan atas membentuk sudut fleksi 35o dan
abduksi. Lengan bawah kanan dan pergelangan tangan masing-masing
membentuk fleksi sebesar 15o dan 5o.
2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan
Sandaran Punggung
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung
adalah seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

102

Gambar 5.12
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan
Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan
Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Pada tahapan ini, posisi leher pekerja membentuk fleksi sebesar
5o ditambah dengan posisi leher yang berputar. Postur punggung fleksi
5o yang disertai dengan posisi punggung yang berputar. Pekerja
melakukan tahapan ini dengan duduk yang menghasilkan posisi lengan
atas kanan fleksi 80o dan gerakan abduksi. Sedangkan pada lengan
bawah kanan terbentuk sudut fleksi sebesar 30o dan pada pergelangan
tangan membentuk fleksi 5o.
3. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa
Sandaran Punggung
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung adalah
seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

103

Gambar 5.13
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan
Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa
Sandaran Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

Posisi leher pekerja menunduk membentuk fleksi 10o yang


disertai leher yang berputar. Posisi punggung fleksi sebesar 15o dan
ditambah dengan postur punggung yang berputar. Pekerja melakukan
tahapan ini dengan cara duduk. Pada bagian lengan atas kiri terbentuk
fleksi sebesar 60o dan terjadi abduksi. Lengan bawah kiri menekuk
membentuk sudut fleksi 40o dan pergelangan tangan kiri terbentuk
fleksi 10o. Posisi lengan atas kanan terbentuk sudut 68o yang disertai
abduksi. Posisi lengan bawah dan pergelangan tangan kanan masingmasing membentuk fleksi sebesar 30o dan 10o.

104

5.3.5. Pengemasan
1. Pengemasan Dilakukan Dengan Posisi Berdiri
Pada tahap ini, pakaian yang akan dikemas diletakkan diatas
meja setrika. Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor
usaha informal saat proses pengemasan dengan posisi berdiri adalah
seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.14
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi
Berdiri di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Proses pengemasan yang dilakukan dengan posisi berdiri
menghasilkan postur leher yang menunduk menghasilkan sudut fleksi
10o dan disertai gerakan berputar. Posisi punggung membentuk fleksi
sebesar 10o ditambah dengan punggung yang berputar. Tahapan ini
dilakukan dengan cara berdiri dengan kedua kaki. Pada lengan kiri atas
terbentuk fleksi sebesar 40o dan disertai dengan abduksi. Posisi lengan
bawah kiri membentuk sudut fleksi 30o dan pergelangan tangan kiri

105

menghasilkan sudut fleksi 5o. Posisi lengan kanan atas terbentuk fleksi
40o, sedangkan lengan bawah kanan dan pergelangan tangan kanan
masing-masing membentuk sudut fleksi 45o dan 5o.
2. Pengemasan Dilakukan Dengan Posisi Duduk
Postur tubuh yang dilakukan oleh pekerja laundry sektor usaha
informal saat proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai adalah
seperti terlihat pada gambar dan tabel dibawah ini :

Gambar 5.15
Postur Tubuh Pekerja Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi
Duduk di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Selain pengemasan yang dilakukan dengan posisi berdiri,
pengemasan juga dilakukan dengan posisi duduk di lantai. Pada posisi
ini, leher menekuk membentuk sudut fleksi 5o. Posisi punggung
membungkuk sebesar 30o yang disertai dengan punggung miring.
Pekerjaan ini dilakukan dengan cara kerja duduk. Posisi lengan atas
kiri menekuk membentuk fleksi 50o dan lengan kiri bawah membentuk

106

sudut fleksi 65o. Pada pergelangan tangan kiri, sudut yang terbentuk
adalah fleksi 5o.

5.4. Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry
Gambaran beban kerja, coupling dan nilai aktifitas pada kegiatan di
laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1
Gambaran Beban Kerja, Coupling dan Nilai Aktifitas Pekerja Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Coupling
Berat
Proses Kerja
Nilai Aktifitas
Beban
Kanan
Kiri
1. Penimbangan
a. Penimbangan dengan
<5 kg
Fair
timbangan pegas
b. Penimbangan dengan
5-10 kg Poor
Poor
timbangan biasa
2. Pencucian dan
pemerasan
a.Memasukkan pakaian
<5 kg
Fair
Gerakan berulang
ke dalam mesin cuci
>4x permenit
b.Mengeluarkan pakaian <5 kg
Fair
Gerakan berulang
dari mesin cuci
>4x permenit
c. Pembilasan
<5 kg
Good
Gerakan berulang
>4x permenit
d. Memasukkan pakaian <5 kg
Fair
Fair
Gerakan berulang
ke dalam wadah
>4x permenit
Perubahan postur
secara cepat dan
tidak stabil
3. Pengeringan
a. Mengangkat wadah
>10 kg Poor
Poor
pakaian

107

b. Memasukkan pakaian
ke dalam mesin
pengering
c. Mengeluarkan
pakaian dari mesin
pengering
d. Penjemuran pakaian
4. Setrika dan pelipatan
a. Posisi berdiri
menggunakan meja
setrika tanpa kursi

<5 kg

Fair

Gerakan berulang
>4x permenit

<5 kg

Fair

Gerakan berulang
>4x permenit

5-10 kg

Fair

Fair

<5 kg

Good

Good

b. Posisi duduk
menggunakan meja
setrika dan kursi
dengan sandaran
punggung
c. Posisi duduk
menggunakan meja
setrika dan kursi
tanpa sandaran
punggung
5. Pengemasan
a. Pengemasan
dilakukan dengan
posisi berdiri
b. Pengemasan
dilakukan dengan
posisi duduk

<5 kg

Fair

<5 kg

Good

Good

Salah satu/lebih
bagian tubuh statis
>1 menit
Gerakan berulang
>4x permenit
Salah satu/lebih
bagian tubuh statis
>1 menit
Gerakan berulang
>4x permenit
Salah satu/lebih
bagian tubuh statis
>1 menit
Gerakan berulang
>4x permenit

<5 kg

Good

Good

<5 kg

Good

Proses kerja pertama yang dilakukan dalam proses laundry adalah proses
penimbangan beban. Proses penimbangan ini terdiri dari proses penimbangan
dengan timbangan pegas dan timbangan biasa. Pada proses penimbangan
dengan timbangan pegas, beban yang diterima pekerja masih dibawah 5 kg.
Coupling yang dilakukan saat penimbangan cucian tergolong cukup baik untuk
tangan kanan. Pada tangan kiri tidak terdapat genggaman karena beban hanya

108

diangkat menggunakan tangan kanan. Pada proses penimbangan menggunakan


timbangan biasa, beban yang diangkat oleh pekerja berada pada ukuran 5-10
kg. sedangkan coupling yang dilakukan pada proses ini tergolong kurang baik.
Tahapan selanjutnya adalah proses pencucian dan pemerasan.

Pada

proses ini, memiliki empat tahapan proses. Proses pertama adalah memasukkan
pakaian kedalam mesin cuci. Pada proses ini, beban yang diangkat oleh pekerja
masih dibawah 5kg.

sedangkan penilaian coupling pada proses ini dapat

dikategorikan cukup baik walaupun tidak ideal serta terdapat pula gerakan
berulang lebih dari 4 kali permenit.
Setelah dilakukan proses pencucian, pakaian tersebut dikeluarkan dari
mesin cuci. Beban yang diangkat masih dibawah 5 kg walaupun beban berat
bertambah karena pakaian dalam keadaan basah. Coupling yang dilakukan
pekerja cukup baik serta dilakukan secara berulang lebih dari 4 kali permenit.
Pakaian

yang telah dikeluarkan dari mesin cuci selanjutnya dibilas.

Beban yang diangkat masih dibawah 5 kg dan dilakukan dengan genggaman


(coupling) yang baik. Proses ini dilakukan secara berulang lebih dari 4 kali
permenit.
Kegiatan selanjutnya adalah memasukkan pakaian yang telah dibilas
kedalam wadah. Kegiatan ini dilakukan dengan coupling yang cukup baik dan
beban nya masih dibawah 5 kg. Namun, aktifitas ini dilakukan secara berulang
serta terjadi perubahan postur secara cepat dan tidak stabil.

109

Setelah pakaian dimasukkan ke dalam wadah, maka langkah selanjutnya


adalah proses pengeringan. Proses ini dimulai dengan mengangkat pakaian
untuk dibawa ke mesin pengering. Beban yang diangkat pekerja mencapai 13
kg sehingga masuk dalam kriteria >10 kg. Hal ini disesuaikan dengan kapasitas
keranjang yang digunakan. Berat beban tersebut disebabkan karena pakaian
yang diangkat dalam keadaan basah. Coupling yang dilakukan pekerja kurang
baik. Hal ini dikarenakan tidak adanya bagian pegangan yang terdapat di
keranjang.
Langkah selanjutnya adalah memasukkan pakaian ke dalam mesin
pengering. Berat beban yang diangkat pekerja kurang dari 5 kg dan genggaman
tangan (coupling) yang dilakukan tergolong cukup baik. Kegiatan ini dilakukan
dengan cepat dan terjadi gerakan berulang yang dilakukan lebih dari 4 kali
permenit.
Kegiatan mengeluarkan pakaian dari mesin pengering dilakukan dengan
coupling yang cukup baik dan gerakan ini dilakukan berulang lebih dari 4 kali
permenit. Beban yang diangkat pekerja pada proses ini menyusut menjadi
kurang dari 5 kg karena pakaian yang sebelumnya basah menjadi kering akibat
proses pengeringan.
Dalam proses pengeringan pakaian, terdapat pula proses penjemuran
pakaian dengan cahaya alami menggunakan bantuan cahaya matahari. Proses

110

ini dilakukan dengan dengan coupling yang cukup baik dan beban yang
diangkat berada pada nilai 5-10 kg pada kedua tangan pekerja.
Setelah pakaian tersebut kering, maka langkah selanjutnya adalah proses
penyetrikaan. Pada proses ini terdapat perbedaan dalam cara kerja diantaranya
dengan posisi berdiri, posisi duduk menggunakan kursi dengan sandaran
punggung maupun posisi duduk menggunakan kursi tanpa sandaran punggung.
Seluruh pekerja laundry menggunakan beban berupa alat setrika yang memiliki
berat kurang dari 5 kg dan coupling yang dilakukan pada proses penyetrikaan
dengan posisi berdiri dan posisi duduk tanpa sandaran punggung tergolong
baik. Sedangkan coupling yang dilakukan pada proses penyetrikaan dengan
posisi duduk dengan kursi sandaran punggung tergolong cukup baik. Hal ini
dikarenakan desain setrika yang digunakan memiliki desain pegangan yang
lebih lebar. Dalam semua proses penyetrikaan, aktifitas dilakukan secara
berulang lebih dari 4 kali permenit dan terdapat posisi statis pada bagian kaki,
baik yang dilakukan dengan posisi berdiri maupun dengan posisi duduk.
Proses selanjutnya adalah pengemasan yaitu memasukkan pakaian yang
telah disetrika dimasukkan kedalam wadah bungkus plastik transparan. Pada
proses ini pula terdapat perbedaan dalam posisi pengemasan baik dengan posisi
berdiri dengan alat bantu meja maupun dengan posisi duduk di lantai. Coupling
yang dilakukan pekerja tergolong baik dan beban pada proses ini kurang dari 5
kg.

111

5.5. Analisis REBA Terhadap Keseluruhan Tubuh Yang Digunakan Pekerja


5.5.1. Penimbangan
1. Penimbangan Dengan Timbangan Pegas
Analisis

REBA

pada

proses

penimbangan

menggunakan

timbangan pegas di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat


Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.2
Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Pegas di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 20
1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
2
Punggung
Lurus
1
Total Skor Punggung
1
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
1
Beban
3 kg
+0
Skor Postur A
1
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
Fleksi 50
3
Lengan Atas
Abduksi
+1
Skor Lengan Atas
4
o
Lengan Bawah
Fleksi 50
2
Skor Lengan Bawah
2
o
Fleksi 10
1
Pergelangan
Tangan
Miring
+1
Skor Pergelangan Tangan
2
Skor Tabel B
6
Coupling
Fair
1
Skor Postur B
7
Skor Tabel C
4

112

Aktifitas
k

Tidak terdapat aktivitas yang


berulang atau perubahan postur
S
yang cepat
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

+0
4
Medium
risk

Skor leher untuk proses penimbangan menggunakan timbangan


pegas adalah

1 ditambah dengan penyesuaian yang bernilai 1 dan

totalnya menjadi 2.

Sedangkan skor punggung adalah 1 dan kaki

memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 1. Skor
beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban
menghasilkan skor postur A yaitu 1.
Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan
penyesuaian yaitu 1 dan totalnya menjadi 4, sedangkan skor lengan
bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1dan totalnya menjadi 2. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 6. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini tidak
ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA yaitu 4.
Nilai 4 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan pegas
memiliku tingkat risiko sedang (medium risk).

113

2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa


Analisis

REBA

pada

proses

penimbangan

menggunakan

timbangan biasa di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat


Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.3
Analisis REBA Pada Proses Penimbangan Menggunakan
Timbangan Biasa di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 25
2
Total Skor Leher
2
Punggung
Lurus
1
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
2
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
3
Beban
6 kg
+1
Skor Postur A
4
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Lengan Atas
Fleksi 70o
Fleksi 75o
+3
+3
Skor Lengan Atas
3
3
o
o
Lengan Bawah
Fleksi 30
Fleksi 35
2
2
Skor Lengan Bawah
2
2
o
o
Fleksi 10
Fleksi 20
1
2
Pergelangan
Tangan
Miring
+1
Skor Pergelangan Tangan
1
3
Skor Tabel B
4
5
Coupling
Poor
+2
+2
Skor Postur B
6
7
Skor Tabel C
6
7
Tidak terdapat aktivitas yang berulang atau
Aktifitas
+0
+0
perubahan postur yang cepat
Nilai REBA
6
7
Medium
Nilai Risiko Ergonomi
risk

114

Skor leher untuk proses penimbangan menggunakan timbangan


biasa adalah 2. Skor punggung adalah 1 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 1 totalnya menjadi 2dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor
ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban untuk proses ini adalah 1.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
4.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 3, sedangkan skor lengan
bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 2 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur
tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel
C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini
tidak ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA
yaitu 6. Nilai 6 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan
biasa pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)
Skor lengan atas bagian kanan adalah 3, sedangkan skor lengan
bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 2 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 dan totalnya menjadi 3. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 2 dan total skor Postur B adalah 7. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 7. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas, namun pada proses ini tidak

115

ada penambahan untuk nilai aktifitas sehingga nilai akhir REBA yaitu 7.
Nilai 7 berarti proses penimbangan menggunakan timbangan biasa pada
tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)
5.5.2. Pencucian dan Pemerasan
Dalam proses ini terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu :
1. Memasukkan Pakaian ke Dalam Mesin Cuci
Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian ke dalam
mesin cuci di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.4
Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian ke Dalam
Mesin Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 35
2
Total Skor Leher
2
Punggung
Lurus
1
Punggung miring
+1
Total Skor Punggung
2
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
3
Beban
1kg
+0
Skor Postur A
3
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Fleksi 10o
1
Lengan Atas
Abduksi
+1
Skor Lengan Atas
2
Lengan Bawah
Fleksi 135o
2
Skor Lengan Bawah
2

116

Pergelangan Tangan
Fleksi 10o
1
Skor Pergelangan Tangan
1
Skor Tabel B
2
Coupling
Fair
+1
Skor Postur B
3
Skor Tabel C
3
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
+1
Nilai REBA
4
Nilai Risiko Ergonomi
Medium risk
Skor leher untuk proses memasukkan pakaian kedalam mesin
cuci adalah

2. Skor punggung adalah 1 serta ditambah dengan

penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2, sedangkan kaki memiliki


skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban
untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A

ditambah skor beban

menghasilkan skor postur A yaitu 3.


Skor lengan atas bagian kiri adalah 1 ditambah dengan
penyesuaian yang bernilai 1 dan totalnya menjadi 2. Skor lengan
bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 3. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 3.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1
sehingga nilai akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 berarti proses memasukkan
pakaian kedalam mesin cuci memiliki tingkat risiko sedang (medium
risk).

117

2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci


Analisis REBA pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin
cuci di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.5
Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin
Cuci di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 18
1
Leher miring
+1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
3
Punggung
Lurus
1
Punggung miring
+1
Total Skor Punggung
2
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
4
Beban
3 kg
+0
Skor Postur A
4
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
Lengan Atas
Fleksi 25
2
Skor Lengan Atas
2
o
Lengan Bawah
Fleksi 110
2
Skor Lengan Bawah
2
o
Fleksi 30
2
Pergelangan
Tangan
Deviasi ulnar
+1
Skor Pergelangan Tangan
3
Skor Tabel B
4
Coupling
Fair
+1
Skor Postur B
5
Skor Tabel C
5
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
+1
Nilai REBA
6
Medium
Nilai Risiko Ergonomi
risk

118

Skor leher untuk proses mengeluarkan pakaian dari mesin cuci


adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 2 totalnya menjadi 3.
Skor punggung adalah 1 serta ditambah dengan penyesuaian bernilai 1
totalnya menjadi 2, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor
ini diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah
0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A
yaitu 4.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 dan skor lengan bawah
adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 2 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir
REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses mengeluarkan pakaian dari mesin
cuci memiliki tingkat risiko sedang (medium risk).
3. Pembilasan Pakaian
Analisis REBA pada proses pembilasan pakaian di laundry
sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:

119

Tabel 5.6
Analisis REBA Pada Proses Membilas di Laundry Sektor Usaha
Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 15
1
Leher miring
+1
Total Skor Leher
2
Punggung
Fleksi 10o
2
Punggung miring
+1
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
4
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
5
Beban
0,5 kg
+0
Skor Postur A
5
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
Fleksi 30
2
Lengan Atas
Abduksi
+1
Skor Lengan Atas
3
Lengan Bawah
Fleksi 75o
1
Skor Lengan Bawah
1
o
Fleksi
10
1
Pergelangan
Tangan
Berputar
+1
Skor Pergelangan Tangan
2
Skor Tabel B
4
Coupling
Good
+0
Skor Postur B
4
Skor Tabel C
5
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
+1
Nilai REBA
6
Medium
Nilai Risiko Ergonomi
risk
Skor leher untuk proses pembilasan pakaian adalah 1 ditambah
dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor punggung
adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 2 totalnya menjadi 4,
sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor

120

tabel A yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A
ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 5.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan
penyesuian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 1
dan skor pergelangan tangan adalah 1 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 1 totalnya menjadi 2. Dari ketiga skor tersebut diperoleh skor
tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling yaitu 0 dan
total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A dan skor
postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C kemudian
ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1 sehingga nilai akhir REBA
yaitu 6. Nilai 6 berarti proses pembilasan pakaian memiliki tingkat
risiko sedang (medium risk).
4. Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah
Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian kedalam
wadah di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.7
Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam
Wadah Di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
Leher
Fleksi 20o
1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
2
Punggung
Fleksi 40o
3

121

Punggung berputar
Total Skor Punggung
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
Total Skor Kaki
Skor Tabel A
Beban
2 kg
Skor Postur A
Hasil
Postur B
Kiri
Kanan
o
Lengan Atas
Fleksi 20
Fleksi 20o
Skor Lengan Atas
Lengan Bawah
Fleksi 20o
Fleksi 20o
Skor Lengan Bawah
Pergelangan
Fleksi 10o
Fleksi 10o
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
Skor Tabel B
Coupling
Fair
Skor Postur B
Skor Tabel C
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
Perubahan postur secara cepat dan
tidak stabil
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

+1
4
1
1
5
+0
5
Skor
Kiri
Kanan
1
1
1
1
2
2
2
2
1

1
1
+1
2
4
+1

1
1
+1
2
4
+1

+1

+1

6
Medium
risk

6
Medium
risk

Skor leher untuk proses memasukkan pakaian ke dalam wadah


adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2.
Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1
totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini
diperoleh skor tabel A yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 0.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
5.

122

Skor lengan atas bagian kiri adalah 1, sedangkan skor lengan


bawah adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 1. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2
sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses memasukkan
pakaian ke dalam wadah pada tangan kiri memiliki tingkat risiko
sedang (medium risk)
Skor lengan atas bagian kanan adalah 1, sedangkan skor lengan
bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 1. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2
sehingga nilai akhir REBA yaitu 6. Nilai 6 berarti proses memasukkan
pakaian ke dalam wadah pada tangan kanan memiliki tingkat risiko
sedang (medium risk)
5.5.3. Pengeringan
Dalam proses pengeringan pakaian terdapat beberapa tahapan proses
yang dilakukan yaitu :

123

1. Mengangkat Wadah Pakaian


Analisis REBA pada proses pengeringan saat mengangkat wadah
pakaian untuk dibawa ke dalam mesin pengering di laundry sektor
usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.8
Analisis REBA Pada Proses Mengangkat Wadah Pakaian di
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
Leher
Ekstensi 10o
2
Total Skor Leher
2
o
Punggung
Fleksi 25
3
Total Skor Punggung
3
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
4
Beban
13 kg
+2
Skor Postur A
6
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
o
Lengan Atas
Fleksi 70
Fleksi 70
3
3
Skor Lengan Atas
3
3
o
o
Lengan Bawah
Fleksi 5
Fleksi 5
2
2
Skor Lengan Bawah
2
2
Pergelangan
o
o
Fleksi 5
Fleksi 5
1
1
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
1
1
Skor Tabel B
4
4
Coupling
Poor
+2
+2
Skor Postur B
6
6
Skor Tabel C
8
8
Tidak terdapat aktifitas yang
Aktifitas
+0
+0
berulang
Nilai REBA
8
8
High
High
Nilai Risiko Ergonomi
risk
risk

124

Skor leher untuk proses mengangkat wadah pakaian adalah 2.


Skor punggung adalah 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini
diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 2.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
6.
Skor lengan pada proses ini baik lengan kanan maupun lengan
kiri memiliki nilai skor yang sama hingga skor Tabel B, yaitu lengan
atas memiliki skor 3, lengan bawah memiliki skor 2 dan pergelangan
tangan memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor Tabel B
yaitu 4. Skor tabel B ditambah dengan skor coupling yaitu 2 maka
didapatkan skor postur B yaitu 6. Dari skor Postur A dan skor postur B
didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor tabel C kemudian ditambah
dengan skor aktifitas yaitu 0. Dari penjumlahan antara skor tabel C dan
aktifitas didapatkan nilai REBA

yaitu 8. Nilai 8 berarti proses

mengangkat wadah pakaian memiliki tingkat risiko tinggi (high risk).


2. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering
Analisis REBA pada proses memasukkan pakaian kedalam
mesin pengering di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat
Timur Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:

125

Tabel 5.9
Analisis REBA Pada Proses Memasukkan Pakaian Kedalam
Mesin Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal
Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Ekstensi 10
2
Leher miring
+1
Total Skor Leher
3
o
Punggung
Fleksi 45
3
Punggung miring
+1
Total Skor Punggung
4
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
6
Beban
1 kg
+0
Skor Postur A
6
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Lengan Atas
Fleksi 110o
4
Skor Lengan Atas
4
o
Lengan Bawah
Fleksi 75
1
Skor Lengan Bawah
1
Pergelangan
Fleksi 5o
1
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
1
Skor Tabel B
4
Coupling
Fair
+1
Skor Postur B
5
Skor Tabel C
8
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
+1
Nilai REBA
9
High
Nilai Risiko Ergonomi
risk
Skor leher untuk proses memasukkan pakaian ke dalam mesin
pengering adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 1 totalnya menjadi 4, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari
ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses

126

ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor


postur A yaitu 6.
Skor lengan atas bagian kanan adalah 4. Skor lengan bawah
adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1
sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 9 berarti proses memasukkan
pakaian kedalam mesin pengering memiliki tingkat risiko tinggi (high
risk).
3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering
Analisis REBA pada proses mengeluarkan pakaian dari mesin
pengering di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.10
Analisis REBA Pada Proses Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin
Pengering di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
Leher
Ekstensi 15o
2
Leher miring
+1
Total Skor Leher
3
Punggung
Fleksi 50o
3
Punggung miring
+1
Total Skor Punggung
4

127

Kaki

Bertumpu pada kedua kaki


Total Skor Kaki
Skor Tabel A
Beban
1kg
Skor Postur A
Hasil
Postur B
Kiri
Kanan
Lengan Atas
Fleksi 120o
Skor Lengan Atas
Lengan Bawah
Fleksi 85o
Skor Lengan Bawah
Pergelangan
Fleksi 10o
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
Skor Tabel B
Coupling
Fair
Skor Postur B
Skor Tabel C
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

1
1
6
+0
6
Skor
Kiri
Kanan
4
4
1
1
1
1
4
+1
5
8
+1
9
High
risk

Skor leher untuk proses mengeluarkan pakaian dari mesin


pengering adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 1 totalnya menjadi 4, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari
ketiga skor ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses
ini adalah 0. Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor
postur A yaitu 6.
Skor lengan atas bagian kanan adalah 4. Skor lengan bawah
adalah 1 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor

128

coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 1
sehingga nilai akhir REBA yaitu 9. Nilai 9 berarti proses
mengeluarkan pakaian dari mesin pengering memiliki tingkat risiko
tinggi (high risk).
4. Penjemuran Pakaian
Analisis REBA pada proses penjemuran

pakaian di laundry

sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang


Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.11
Analisis REBA Pada Proses Penjemuran Pakaian di Laundry
Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
Leher
Ekstensi 10o
2
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
3
Punggung
Lurus
+1
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
2
Kaki
Berdiri tidak stabil
2
Total Skor Kaki
2
Skor Tabel A
5
Beban
5 kg
+1
Skor Postur A
6
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
o
Fleksi 45
Fleksi 150
2
4
Lengan Atas
Abduksi
+1
Skor Lengan Atas
3
4
o
o
Lengan Bawah
Fleksi 110
Fleksi 10
2
2

129

Skor Lengan Bawah


Pergelangan
0o
0o
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
Skor Tabel B
Coupling
Fair
Skor Postur B
Skor Tabel C
Aktifitas
Tidak terdapat aktifitas berulang
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

1
4
+1
5
8
+0
8
High
risk

1
5
+1
6
8
+0
8
High
risk

Skor leher untuk proses penjemuran pakaian adalah 2 ditambah


dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor punggung
adalah 1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2
dan kaki memiliki skor 2. Dari ketiga skor ini diperoleh skor tabel A
yaitu 5. Skor beban untuk proses ini adalah 1. Skor Tabel A ditambah
skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 6.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan
penyesuain bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga
nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses penjemuran pakaian
pada tangan kiri memiliki tingkat risiko tinggi (high risk)

130

Skor lengan atas bagian kanan adalah 4, sedangkan skor lengan


bawah adalah 2. Skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor
tersebut diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor
coupling yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor
postur tubuh A dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 8.
Skor Tabel C kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0
sehingga nilai akhir REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses penjemuran
pakaian pada tangan kanan memiliki tingkat risiko tinggi (high risk)
5.5.4. Setrika dan Pelipatan
1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi
Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi
berdiri menggunakan meja setrika tanpa kursi di laundry sektor usaha
informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan adalah
seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.12
Analisis REBA Pada Proses Setrika Dan Pelipatan Dengan Posisi
Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi di Laundry Sektor
Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 40
2
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
3
Punggung
Fleksi 10o
2
Punggung miring
+1
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
4
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
1

131

Total Skor Kaki


Skor Tabel A
Beban
2,5 kg
Skor Postur A
Hasil
Postur B
Kiri
Kanan
Fleksi 10o
Fleksi 35o
Lengan Atas
Abduksi
Abduksi
Skor Lengan Atas
Lengan Bawah
Fleksi 60o
Fleksi 15o
Skor Lengan Bawah
Pergelangan
Fleksi 5o
Fleksi 5o
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
Skor Tabel B
Coupling
Good
Skor Postur B
Skor Tabel C
Salah satu/lebih bagian tubuh
Aktifitas
statis >1 menit
Gerakan berulang >4x permenit
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

1
6
+0
6
Skor
Kiri
Kanan
1
2
+1
+1
2
3
2
2
2
2
1

1
2
+0
2
6

1
4
+0
4
7

+1

+1

+1
9
High
risk

Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan pakaian dengan


posisi berdiri adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3. Skor punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian
bernilai 2 totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor
ini diperoleh skor tabel A yaitu 6. Skor beban untuk proses ini adalah 0.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
6.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 1 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor lengan bawah adalah 2

132

dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut


diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 1 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan
posisi berdiri pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium
risk)
Skor lengan atas bagian kanan adalah 2 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 7. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 9. Nilai 9 berarti proses setrika dan pelipatan dengan
posisi berdiri pada tangan kanan memiliki tingkat risiko tinggi (high
risk)
2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan
Sandaran Punggung

133

Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi


duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung
di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.13
Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi
Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran
Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 5
1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
2
Punggung
Fleksi 5o
2
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
3
Kaki
Duduk
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
4
Beban
2 kg
+0
Skor Postur A
4
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
Fleksi 80
3
Lengan Atas
Abduksi
+1
Skor Lengan Atas
4
o
Lengan Bawah
Fleksi 30
2
Skor Lengan Bawah
2
Pergelangan
Fleksi 5o
1
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
1
Skor Tabel B
5
Coupling
Fair
+1
Skor Postur B
6
Skor Tabel C
6
Aktifitas
Gerakan berulang >4x permenit
+1
Salah satu/lebih dari anggota
+1
tubuh statis >1 menit
Nilai REBA
8

134

Nilai Risiko Ergonomi

High
risk

Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung adalah
1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor
punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3, sedangkan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini
diperoleh skor tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
4.
Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 1 dan total skor Postur B adalah 6. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 6. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yaitu 2 sehingga nilai akhir
REBA yaitu 8. Nilai 8 berarti proses setrika dan pelipatan dengan posisi
duduk menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung
memiliki tingkat risiko tinggi (high risk).

135

3. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa


Sandaran Punggung
Analisis REBA pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi
duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung di
laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.14
Analisis REBA Pada Proses Setrika dan Pelipatan Dengan Posisi
Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran
Punggung di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 10
1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
2
o
Punggung
Fleksi 15
2
Punggung berputar
+1
Total Skor Punggung
3
Kaki
Duduk
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
4
Beban
2,5 kg
+0
Skor Postur A
4
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Fleksi 60o
Fleksi 68o
3
3
Lengan Atas
Abduksi
Abduksi
+1
+1
Skor Lengan Atas
4
4
Lengan Bawah
Fleksi 40o
Fleksi 30o
2
2
Skor Lengan Bawah
2
2
Fleksi 10o
Fleksi 10o
1
1
Pergelangan
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
1
1
Skor Tabel B
5
5
Coupling
Good
+0
+0
Skor Postur B
5
5

136

Aktifitas

Skor Tabel C
Gerakan berulang >4x permenit
Salah satu/lebih dari anggota
tubuh statis >1 menit
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

5
+1

5
+1

+1

+1

7
Medium
risk

7
Medium
risk

Skor leher untuk proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung adalah 1
ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor
punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor
tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A
ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 3 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan
posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran
punggung pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium
risk)

137

Skor lengan atas bagian kanan adalah 3 ditambah dengan


penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 4. Skor lengan bawah adalah 2
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 5. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 5. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 5. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 2 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 7. Nilai 7 berarti proses setrika dan pelipatan dengan
posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran
punggung pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium
risk)
5.5.5. Pengemasan
1. Pengemasan Dengan Posisi Berdiri
Analisis REBA pada proses pengemasan dengan posisi berdiri di
laundry sektor usaha informal kecamatan Ciputat Timur Kota
Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:
Tabel 5.15
Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Berdiri di
Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
Leher
Fleksi 10o
1
Leher berputar
+1
Total Skor Leher
2
Punggung
Fleksi 10o
2

138

Punggung berputar
Total Skor Punggung
Kaki
Bertumpu pada kedua kaki
Total Skor Kaki
Skor Tabel A
Beban
0.5 kg
Skor Postur A
Hasil
Postur B
Kiri
Kanan
o
Fleksi 40
Fleksi 40o
Lengan Atas
Abduksi
Skor Lengan Atas
Lengan Bawah
Fleksi 30o
Fleksi 45o
Skor Lengan Bawah
Pergelangan
Fleksi 5o
Fleksi 5o
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
Skor Tabel B
Coupling
Good
Skor Postur B
Skor Tabel C
Tidak terdapat aktifitas yang
Aktifitas
berulang
Nilai REBA
Nilai Risiko Ergonomi

+1
3
1
1
4
+0
4
Skor
Kiri
Kanan
2
2
+1
3
2
2
2
2
2
1

1
4
+0
4
4

1
2
+0
2
4

+0

+0

4
Medium
risk

4
Medium
risk

Skor leher untuk proses pengemasan dengan posisi berdiri adalah


1 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 2. Skor
punggung adalah 2 ditambah dengan penyesuaian bernilai 1 totalnya
menjadi 3 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor ini diperoleh skor
tabel A yaitu 4. Skor beban untuk proses ini adalah 0. Skor Tabel A
ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu 4.
Skor lengan atas bagian kiri adalah 2 ditambah dengan
penyesuaian bernilai 1 totalnya menjadi 3. Skor lengan bawah adalah 2

139

dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut


diperoleh skor tabel B yaitu 4. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 4. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 proses pengemasan dengan posisi berdiri
pada tangan kiri memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)
Skor lengan atas bagian kanan adalah 2. Skor lengan bawah
adalah 2 dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 2. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 2. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 4. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 4. Nilai 4 berarti pengemasan dengan posisi berdiri
pada tangan kanan memiliki tingkat risiko sedang (medium risk)

2. Pengemasan Dengan Posisi Duduk di Lantai


Analisis REBA pada proses pengemasan dengan posisi duduk
dilantai di laundry sektor usaha informal Kecamatan Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan adalah seperti tabel dibawah ini:

140

Tabel 5.16
Analisis REBA Pada Proses Pengemasan Dengan Posisi Duduk
Dilantai di Laundry Sektor Usaha Informal Kecamatan
Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
Postur A
Hasil
Skor
o
Leher
Fleksi 5
1
Total Skor Leher
1
Punggung
Fleksi 30o
3
Punggung Miring
+1
Total Skor Punggung
4
Kaki
Duduk
1
Total Skor Kaki
1
Skor Tabel A
3
Beban
0.5 kg
+0
Skor Postur A
3
Hasil
Skor
Postur B
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
o
Lengan Atas
Fleksi 50
3
Skor Lengan Atas
3
Lengan Bawah
Fleksi 65o
1
Skor Lengan Bawah
1
Pergelangan
Fleksi 5o
1
Tangan
Skor Pergelangan Tangan
1
Skor Tabel B
3
Coupling
Good
+0
Skor Postur B
3
Skor Tabel C
3
Aktifitas
Tidak ada aktifitas berulang
+0
Nilai REBA
3
Nilai Risiko Ergonomi
Low risk
Skor leher untuk proses pengemasan dengan posisi duduk dilantai
adalah

1. Skor punggung adalah 3 ditambah dengan penyesuaian

bernilai 1 totalnya menjadi 4 dan kaki memiliki skor 1. Dari ketiga skor
ini diperoleh skor tabel A yaitu 3. Skor beban untuk proses ini adalah 0.
Skor Tabel A ditambah skor beban menghasilkan skor postur A yaitu
3.

141

Skor lengan atas bagian kiri adalah 3. Skor lengan bawah adalah 1
dan skor pergelangan tangan adalah 1. Dari ketiga skor tersebut
diperoleh skor tabel B yaitu 3. Skor ini ditambah dengan skor coupling
yaitu 0 dan total skor Postur B adalah 3. Dari nilai skor postur tubuh A
dan skor postur B didapatkan skor tabel C yaitu 3. Skor Tabel C
kemudian ditambah dengan nilai aktifitas yang bernilai 0 sehingga nilai
akhir REBA yaitu 3. Nilai 3 proses pengemasan dengan posisi duduk
dilantai memiliki tingkat risiko rendah (low risk)

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian


Pada penelitian tingkat risiko ergonomi ini memiliki beberapa
keterbatasan-keterbatasan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini hanya menilai faktor pekerjaan tiap aktifitas kerja pada
proses laundry, tanpa melihat faktor individu atau personal, faktor
lingkungan dan faktor psikososial.
2. Penelitian ini tidak mengidentifikasi secara rinci dimensi fisik tempat kerja
serta tidak melakukan pengukuran antropometri pekerja dan human
diversity.
3. Metode yang digunakan dalam penelitian ini tidak bisa mengukur gerakan
pergerakan tangan dan penggunaan otot.

6.2. Pembahasan Langkah Kerja


Setiap langkah kerja di laundry sektor usaha informal memiliki faktor
risiko yang dapat menyebabkan MSDs yaitu :
6.2.1. Penimbangan
1. Penimbangan Menggunakan Timbangan Pegas

142

143

Pada proses penimbangan menggunakan timbangan pegas, faktor


risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal
adalah postur janggal. Salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan
muskuloskeletal adalah postur janggal. Menurut Bernad (1997) bahwa
postur menunjukkan hubungan

yang kuat sebagai faktor yang

berkontribusi terhadap terjadinya masalah muskuloskeletal dan


menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu.
Dalam menjalankan aktifitas penimbangan ini, pekerja dalam
posisi berdiri pada kedua kaki disertai posisi punggung yang lurus.
Menurut Santoso (2004), bahwa bekerja dalam posisi berdiri pada awal
kerja sampai akhir kerja, tubuh semakin condong ke depan akibatnya
tubuh memerlukan tambahan energi.
Posisi leher membentuk sudut fleksi 20o dan disertai leher
berputar. Posisi ini dikarenakan pekerja harus mengangkat bahan
pakaian yang digantung pada ujung timbangan pegas untuk diukur
bebannya. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger
(1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam
keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka
postural stress tidak dapat dihindari. Postural stress ini akhirnya dapat
menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat diperburuk dengan
keadaan posisi leher fleksi dan berotasi.

144

Postur lengan atas pada aktifitas ini memiliki risiko yang cukup
besar dikarenakan pada kegiatan ini postur lengan lengan membentuk
fleksi sebesar 50o dan terdapat gerakan abduksi yaitu gerakan posisi
lengan yang menjauhi tubuh. Risiko ini akan menyebabkan tekanan
pada otot leher dan bahu dimana semakin besar sudut yang dibentuk
oleh lengan, maka hal itu akan memperbesar risiko terhadap gangguan
muskuloskeletal. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu yang
ditinggikan atau posisi lengan yang dijauhkan (abduksi) dapat
menyebabkan gangguan pada leher (neck pain).
Postur lengan bawah yang membentuk fleksi sebesar 50o
memiliki risiko yang cukup tinggi. Postur tersebut terbentuk karena
posisi alat timbangan yang harus diangkat oleh pekerja. Menurut
Bridger (1995), sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan
tekana pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Postur pergelangan tangan memiliki risiko karena membentuk
fleksi 10o yang disertai dengan posisi yang miring ke samping ketika
memegang timbangan. Postur ini dinilai masih dapat diterima. Hal ini
sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar
(2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih
dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan
kegiatan normal sehari-hari.

145

Pada saat melakukan proses penimbangan, postur genggaman


pekerja ketika memegang alat timbangan tergolong cukup baik karena
menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga keadaan ini dapat
dikategorikan fair.

Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena

mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari


terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 2001).
Beban yang diangkat pekerja ketika proses penimbangan masih
dibawah 5 kg. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko.
Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko
apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Nilai akhir REBA pada proses ini pada bagian tubuh sebelah
kanan adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
penimbangan memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam
risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan
perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam
risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari
risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja
dalam jangka panjang.

146

2. Penimbangan Dengan Timbangan Biasa


Pada proses penimbangan yang menggunakan timbangan biasa,
faktor

risiko

ergonomi

yang

dapat

menyebabkan

gangguan

muskuloskeletal adalah postur janggal. Salah satu faktor penyebab


terjadinya gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal. Menurut
Vernon (1924) dalam Bridger (2003), faktor postural dalam setiap
bentuk

akfitas

fisik

menyebabkan

kelelahan

dan

gangguan

muskuloskeletal.
Dalam menjalankan aktifitas penimbangan ini, pekerja dalam
posisi berdiri pada kedua kaki disertai posisi punggung yang lurus dan
gerakan punggung yang memutar. Menurut Bridger (2003) postur
ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar
dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Posisi alat timbangan yang berada diatas meja memudahkan
pekerja dalam proses ini sehingga posisi leher hanya membentuk sudut
fleksi 25o. Menurut Grandjean (1993) jika landasan terlalu tinggi,
maka pekerja akan mengangkat bahu untuk menyesuaikan dengan
ketinggian landasan kerja sehingga menyebabkan sakit pada bahu dan
leher. Sebaliknya bila landasan terlalu rendah maka tulang belakang
akan membungkuk sehingga menyebabkan kenyerian pada bagian
belakang (backache).

147

Postur lengan atas pada proses ini membentuk sudut fleksi


sebesar 70o untuk sebelah kiri, sedangkan bagian kanan terbentuk
fleksi sebesar 75o. Postur ini disebabkan posisi beban yang harus
diletakkan diatas timbangan. Sesuai dengan pendapat Sue Hignett dan
Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan atas lebih dari 20o memiliki
risiko ergonomi walaupun sudut lebih dari 90o lebih tinggi risikonya.
Postur lengan bawah membentuk fleksi sebesar 30o untuk
sebelah kiri dan bagian kanan membentuk fleksi 35o.. Postur ini
dilakukan untuk menahan pergerakan beban Menurut Bridger (1995),
sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot
antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Postur pergelangan tangan membentuk fleksi sebesar 10o pada
bagian kanan serta fleksi sebesar 20o yang disertai dengan posisi yang
miring. Posisi ini disebabkan karena pergelangan tangan harus
memegang beban yang tidak memiliki pegangan untuk kedua tangan
pekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux
(1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi
merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi pergelangan
tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari.
Pada saat melakukan proses penimbangan, postur genggaman
pekerja ketika memegang alat timbangan tergolong kurang baik. Hal

148

ini dikarenakan ketika kemasan pembungkus pakaian yang diberikan


oleh pelanggan kepada pekerja laundry tidak memiliki desain kemasan
pembungkus yang memiliki pegangan yang baik. Menurut Bridger
(2003) desain peralatan yang kurang baik dapat menyebabkan tekanan
pada ujung organ tubuh yang mendorong terjadinya injury. Beban
yang diangkat pekerja ketika proses penimbangan menggunakan
timbangan ini berada pada berat 5-10 kg. Hal ini memiliki risiko
ergonomi. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban
yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Nilai akhir REBA pada proses ini untuk bagian tubuh sebelah
kiri adalah 6 sedangkan pada bagian tubuh sebelah kanan adalah 7. Hal
ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penimbangan
memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc
Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang
memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada
kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi
apabila pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada
perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat
terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka
panjang.

149

6.2.2. Pencucian dan Pemerasan


1. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Cuci
Pada proses memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, faktor
risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal
adalah postur janggl dan gerakan berulang dengan frekuensi >4x
permenit.Menurut DiNardi dalam Laraswati (2009), pekerjaan yang
dilakukan dengan postur janggal, kerja statis dan gerakan repetitive
merupakan faktor risiko terjadinya MSDs.
Posisi leher pada kegiatan ini menunduk sebesar 35o. Posisi ini
terjadi karena pekerja harus melihat pakaian yang dimasukkan ke
dalam mesin cuci. Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh
Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh
dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi
maka postural stress tidak dapat dihindari.
Posisi punggung dalam keadaan lurus, namun dalam keadaan
miring. Posisi ini disebabkan karena perbedaan posisi tangan, dimana
tangan kanan mengambil pakaian dari wadah

pakaian sedangkan

posisi tangan kiri memasukkan pakaian kedalam mesin cuci. Menurut


Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat menyebabkan
peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi
kompresi tulang belakang.

150

Posisi kaki pada proses ini adalah berdiri dengan kedua kaki.
Saat berdiri dengan kedua kaki ditopang seimbang oleh kedua kaki dan
tubuh dalam keadaan stabil. Menurut metode yang dikembangkan Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000), posisi berdiri menggunakan 2 kaki
dengan keadaan stabil memiliki nilai risiko yang lebih kecil
dibandingkan dengan berdiri dengan 1 kaki.
Beban yang diangkat oleh pekerja ketika memasukkan pakaian
kedalam mesin cuci kurang dari 5 kg. Hal ini masih dapat diterima dan
belum memiliki risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995)
bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari
dengan 4,5 kg.
Postur lengan atas pada proses ini membentuk sudut fleksi 10o
yang disertai dengan gerakan lengan yang menjauhi pusat tubuh
(abduksi). Postur ini disebabkan karena pakaian yang akan
dimasukkan ke dalam mesin cuci memiliki desain yang berbeda-beda.
Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan atau lengan
dijauhkan juga menyebabkan neck pain.
Postur lengan bawah membentuk fleksi sebesar 135o . Postur ini
disebabkan karena desain bukaan mesin cuci yang digunakan, dimana
pekerja harus menyesuaikan ketinggian bukaan mesin cuci

ketika

151

akan memasukkan pakaian. Menurut Nurmianto (1998) sudut yang


optimal untuk lengan bawah berada berkisar antara 90o 120o.
Pergelangan tangan membentuk fleksi sebesar 10o. Postur ini
disebabkan pada saat mengambil pakaian, pergelangan tangan sering
dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan
maupun kiri Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar
(2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih
dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas
sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam
mesin cuci cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip)
sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair. Hal tersebut memiliki
risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan
mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari
(Kumar,2001).
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung,
leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan untuk
mengambil cucian kotor dari wadah pakaian yang berada disebelah
mesin cuci. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja
melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode

152

REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000)


kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit
menambah risiko ergonomi.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah
kiri adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
memasukkan pakaian kedalam mesin cuci memiliki risiko sedang
(medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000),
kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi
lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun
risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan
risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang
ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan
MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.
2. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Cuci
Pada proses mengeluarkan cucian dari mesin cuci faktor risiko
ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah
postur janggal dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali
permenit.
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 18o yang disertai
dengan leher miring dan berputar. Postur ini terjadi karena pekerja
harus melihat posisi pakaian yang akan dikeluarkan dari mesin cuci

153

untuk selanjutnya diletakkan pada wadah pakaian. Bernad (1997)


bahwa postur menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan
leher, punggung dan bahu.
Postur punggung pekerja dalam keadaan lurus namun dalam
keadaan miring. Postur ini terjadi karena pekerja harus mengangkat
pakaian yang dikeluarkan dari mesin cuci untuk selanjutnya diletakkan
pada wadah pakaian yang berada dibawah. Proses ini dilakukan
dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur
ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar
dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang harus diangkat masih dalam
keadaan basah. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas kiri membentuk fleksi 25o. Postur ini terjadi karena
posisi lengan pekerja ketika mengeluarkan pakaian dari mesin cuci
sejajar dengan tinggi bukaan mesin cuci. Berdasarkan metode REBA
yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi
ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin

154

besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh
dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko.
Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 110o.
hal ini disebabkan

pakaian yang harus diangkat harus melewati

bukaan yang berada diatas mesin cuci. Menurut Nurmianto (1998)


sudut yang optimal untuk lengan bawah berada berkisar antara 90o
120o.
Pada saat mengambil pakaian, pergelangan tangan sering dalam
posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun
kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja
membentuk fleksi sebesar 30o yang disertai deviasi ulnar atau
pergelangan tangan miring kearah kelingking. Posisi ini berisiko
karena menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut
>15o memiliki risiko terhadap MSDs.
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya gerakan berulang pada bagian punggung, leher , lengan atas
dan bawah serta pergelangan tangan yang dilakukan saat mengambil
pakaian yang telah dicuci dari dalam mesin. Aktifitas ini dilakukan
berulang lebih dari 4 kali permenit maka kegiatan ini dapat
dikategorikan sebagai kegiatan yang berisiko. Berdasarkan metode
REBA menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang

155

menghendaki gerakan berulang lebih dari 4 kali permenit menambah


risiko terhadap gangguan muskuloskeletal.
Nilai akhir REBA untuk sebelah kiri pada proses ini yaitu 6 yang
berarti memiliki risiko sedang. Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney
(2000) risiko sedang berarti kegiatan ini memerlukan investigasi lebih
lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko
ini tergolong sedang, tetapi apabila pekerja terpapar secara terus
menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari
risiko

ini

dapat

terakumulasi

dan

menyebabkan

gangguan

muskuloskeletal pada pekerja dalam jangka panjang.


3. Pembilasan Pakaian
Pada proses pembilasan pakaian, faktor risiko ergonomi yang
dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal
dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit.
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 15o yang disertai
dengan leher miring. Postur ini terjadi karena posisi pekerja dalam
memilih pakaian yang akan diperas di dalam wadah pembilasan.
Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang
menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi
dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress
tidak dapat dihindari.

156

Postur punggung pekerja membentuk fleksi 10o dan disertai


dengan keadaan miring dan berputar. Postur ini terjadi karena selama
proses pembilasan, pekerja harus memasukkan dan mengeluarkan
pakaian yang dibilas di dalam wadah pembilasan. Proses ini dilakukan
dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (1995) risiko LBP
meningkat 15% pada keadaan fleksi pada bagian punggung.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang dibilas dalam keadaan
basah.

Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki risiko.

Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko


apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri membentuk postur fleksi sebesar 30 yang
disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan lengan yang menjauhi
pusat tubuh. Postur ini terjadi karena ketika dalam proses pembilasan,
pekerja membutuhkan tenaga untuk memeras pakaian. Menurut
pendapat Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan
atas lebih dari 20o memiliki risiko ergonomi walaupun sudut lebih dari
90o lebih tinggi risikonya.
Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 110o.
Hal ini disebabkan posisi tangan ketika memeras pakaian harus
mendekati posisi ketinggian air yang ada di dalam wadah pembilasan.

157

Menurut Nurmianto (1998) sudut yang optimal untuk lengan bawah


berada berkisar antara 90o 120o.
Pada saat membilas pakaian, pergelangan tangan sering dalam
posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun
kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri pekerja
membentuk fleksi sebesar 70o yang disertai dengan gerakan berputar
Menurut pendapat Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), sudut lebih
dari 15o memiliki risiko ergonomi ditambah dengan pergerakan deviasi
atau rotasi pada pergelangan tangan yang dapat menyebabkan rasa
tidak nyaman.
Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam
mesin cuci dapat dikatakan baik karena menggunakan telapak tangan
ketika memeras pakaian sehingga keadaan ini dapat dikategorikan
good. Genggaman ini dinilai lebih baik dari pada genggaman yang
menggunakan tenaga jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi
karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal
kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001).
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung,
leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan untuk
memeras pakaian. Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja

158

melakukannya berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode


REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000)
kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit
menambah risiko ergonomi.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah
kiri adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
pembilasan pakaian memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut
Sue Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam
risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan
perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam
risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari
risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja
dalam jangka panjang.
4. Memasukkan Pakaian Kedalam Wadah
Pada proses memasukkan pakaian kedalam wadah, faktor risiko
ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah
postur janggal yang disertai perubahan postur secara cepat dan tidak
stabil dan gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 20o yang disertai
dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena proses pemindahan

159

pakaian dari proses pembilasan ke wadah pakaian. Menurut Grandjean


(1987) dalam Bridger (1995) posisi fleksi pada bagian leher dan kepala
tidak boleh melebihi 15o, karena dapat menyebabkan postural stress.
Postur punggung pekerja membentuk sudut fleksi sebebsar 40o
yang disertai dengan postur punggung miring. Postur ini terjadi karena
posisi wadah pakaian diletakkan di dasar lantai sehingga pekerja harus
membungkuk ketika meletakkan pakaian. Proses ini dilakukan dengan
berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (1995) risiko LBP
meningkat 15% pada keadaan fleksi pada bagian punggung.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang dipindahkan masih dalam
keadaan basah. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk
postur fleksi sebesar 20o. Postur ini terjadi karena posisi lengan yang
disesuaikan dengan jarak wadah pakaian. Berdasarkan metode REBA
yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi
ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas karena semakin
besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan semakin jauh
dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko.

160

Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi sebesar 20o.


Hal ini disebabkan posisi lengan bawah dalam meletakkan pakaian ke
dalam wadah. Begitu pula posisi lengan bawah yang membentuk sudut
<60o menurut Sue Hignett dan Mc Atamney (2000) juga memiliki
risiko.
Pada saat memasukkan pakaian ke dalam wadah, pergelangan
tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan
tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan
tangan kiri pekerja membentuk fleksi sebesar 10o. Menurut Brumfield
dan Champoux (1984) dan Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o
ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi
pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian ke
wadah pakaian cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger
grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.

Hal tersebut

memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya


dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada
jari (Kumar,2001).
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung,
leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan serta

161

perubahan postur secara cepat dan tidak stabil dalam meletakkan


pakaian ke dalam wadah pakaian. Kegiatan ini menimbulkan risiko
karena pekerja melakukannya berulang lebih dari 4x permenit.
Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan
Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang
berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 6. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses meletakkan pakaian ke
dalam wadah memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam
risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan
perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam
risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari
risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja
dalam jangka panjang.
6.2.3. Pengeringan
1. Mengangkat Wadah Pakaian
Pada proses mengangkat wadah pakaian, faktor risiko ergonomi
yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur
janggal dan beban objek yang diangkat melebihi 10 kg.

162

Postur leher pekerja membentuk ekstensi sebesar 10o. Postur ini


terjadi karena pekerja harus melihat kearah wadah agar pakaian yang
sudah dimasukkan kedalam wadah tidak terjatuh. Dalam pandangan
Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa
kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih
dari 15o.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 25o.
Postur ini terjadi karena posisi wadah pakaian berada dibawah /
dilantai

yang

mengharuskan

punggung

pekerja

berpostur

membungkuk. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki.


Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat
menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut
sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Beban yang diangkat pekerja pada proses ini melebihi 10 kg.
Berat beban berasal dari total berat pakaian yang ada di dalam wadah ,
dimana kondisi pakaian yang ada didalam wadah dalam keadaan
basah.

Hal

ini

sangat

berisiko

menimbulkan

gangguan

muskuloskeletal. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa


beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5
kg.

163

Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk


postur fleksi 70o. Postur ini terjadi karena letak wadah yang berada
dibawah dimana posisi beban didekatkan ke tubuh. Berdasarkan
metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Atamney
(2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada lengan atas
karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi tangan akan
semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang berisiko.
Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing masing
membentuk fleksi sebesar 5o. Hal ini disebabkan postur lengan bawah
menyesuaikan dengan desain wadah pakaian. Menurut Bridger (1995)
sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot
antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat mengangkat wadah pakaian, pergelangan tangan sering
dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan
maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kiri
pekerja membentuk fleksi sebesar 5o. Postur ini masih dapat diterima.
Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dan Kumar (2001) posisi
10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat
diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas seharihari.

164

Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam


mesin cuci kurang baik karena menggunakan kekuatan ujung jari. Hal
tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak
boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat
cidera pada jari (Kumar,2001).
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah
kiri dan kanan adalah 8. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko
pada proses mengangkat wadah pakaian memiliki risiko tinggi (high
risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti
kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus
dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada
pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk
terkena gangguan muskuloskeletal.
2. Memasukkan Pakaian Kedalam Mesin Pengering
Pada proses memasukkan pakaian kedalam mesin pengering,
faktor

risiko

ergonomi

yang

dapat

menyebabkan

gangguan

muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan


frekuensi lebih dari 4 kali permenit.
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar ekstensi 10o yang
disertai dengan leher miring. Postur ini terjadi karena desain mesin
pengering yang memiliki bukaan samping.

Dalam pandangan

165

Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa


kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih
dari 15o.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 45o
ditambah dengan postur miring. Postur ini terjadi karena letak wadah
pakaian yang diletakkan di bawah/dilantai

dan ditambah dengan

desain mesin pengering yang mengharuskan untuk membungkuk saat


memasukkan pakaian. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua
kaki. Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat
menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut
sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang masih dalam keadaan basah
dari proses pencucian.

Menurut rekomendasi Humantech (1995)

bahwa beban yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari
dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kanan masing-masing membentuk postur
fleksi 110o. Postur ini terjadi karena anggota tubuh ini digunakan
untuk membantu memasukkan pakaian ke dalam mesin pengering.
Hal itu berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue
Hignett dan Mc Atamney (2000) posisi lengan atas >90 o fleksi

166

merupakan posisi yang paling berisiko karena semakin besar sudut


yang dibentuk maka semakin besar pula risiko MSDs yang dihasilkan.
Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 75o.
Hal ini disebabkan pekerja harus menyesuaikan dengan posisi bukaan
mesin cuci pada saat memasukkan pakaian. Menurut Sue Hignett dan
Mc Attamney (2000) bahwa sudut lengan bawah antara 60-100o
berisiko ergonomi.
Pada saat memasukkan pakaian kedalam mesin pengering,
pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada
pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini,
pergelangan tangan kanan pekerja membentuk fleksi sebesar 5o.
Pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi
10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat
diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan
normal sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika memasukkan pakaian kedalam
mesin pengering cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger
grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.

Hal tersebut

memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya


dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada
jari (Kumar,2001).

167

Tambahan Risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi


karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian
punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan
untuk memasukkan pakaian kedalam mesin pengering. Kegiatan ini
menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari
4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan
yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah
kanan adalah 9. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
memasukkan pakaian kedalam mesin pengering memiliki risiko tinggi
(high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi
berarti kegiatan ini membutuhkan

investigasi mendalam dan

perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko


yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan
pekerja untuk terkena gangguan musculoskeletal.
3. Mengeluarkan Pakaian Dari Mesin Pengering
Pada proses mengeluarkan pakaian kedalam mesin pengering,
faktor

risiko

ergonomi

yang

dapat

menyebabkan

gangguan

muskuloskeletal adalah postur janggal dan gerakan berulang dengan


frekuensi lebih dari 4 kali permenit.

168

Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar ekstensi 15o yang


disertai dengan leher miring. Postur ini terjadi karena pekerja harus
melihat posisi pakaian pada saat mengambil pakaian dari dalam mesin.
Menurut Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang
menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi
dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress
tidak dapat dihindari.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 50o
ditambah dengan postur miring. Postur ini terjadi karena letak wadah
pakaian yang diletakkan di bawah/dilantai

dan ditambah dengan

desain mesin pengering yang mengharuskan untuk membungkuk saat


mengeluarkan pakaian dari mesin pengering. Proses ini dilakukan
dengan berdiri pada kedua kaki. Menurut Bridger (2003) postur
ekstrim pada punggung dapat menyebabkan peregangan pada lumbar
dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berkurang setelah dikeringkan menggunakan mesin
pengering. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban
yang berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari sama dengan 4,5
kg.

169

Lengan atas bagian kanan masing-masing membentuk postur


fleksi 120o. Postur ini terjadi karena anggota tubuh ini digunakan
untuk

mengeluarkan

pakaian

dari

dalam

mesin

pengering.

Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan


Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada
lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi
tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang
berisiko.
Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 85o.
Hal ini disebabkan pekerja harus menyesuaikan dengan posisi bukaan
mesin cuci pada saat mengeluarkan pakaian. Menurut Bridger (1995)
bahwa sudut <60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan
pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering,
pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada
pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini,
pergelangan tangan kanan pekerja membentuk fleksi sebesar 10o. Hal
ini sesuai dengan pendapat Brumfield dan Campoux (1984) dalam
Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang
masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan dalam melakukan
kegiatan normal sehari-hari.

170

Postur genggaman pekerja ketika mengeluarkan pakaian dari


dalam mesin pengering cukup baik karena menggunakan kekuatan jari
(finger grip) sehingga keadaan ini dapat dikategorikan fair.

Hal

tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak


boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat
cidera pada jari (Kumar,2001).
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung,
leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan dalam
mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering. Kegiatan ini
menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari
4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan
yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh sebelah
kanan adalah 9. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses
mengeluarkan pakaian dari dalam mesin pengering memiliki risiko
tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko
tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan investigasi mendalam dan
perubahan harus dilakukan segera, karena semakin tinggi tingkat risiko
yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar pula kemungkinan
pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal.

171

4. Penjemuran Pakaian
Pada proses penjemuran, faktor risiko ergonomi yang dapat
menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal.
Postur leher pekerja membentuk ekstensi sebesar 10o yang
disertai dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja harus
memperhatikan posisi pakaian mulai dari proses awal hingga proses
penggantungan baju yang akan dijemur. Pendapat Grandjean (1987)
dalam Bridger (1995), posisi fleksi pada bagian leher dan kepala tidak
boleh melebihi 15o, karena dapat menyebabkan postural stress.
Postur punggung pekerja dalam keadaan lurus namun punggung
harus berputar karena postur punggung pekerja harus menyesuaikan
dengan posisi pakaian yang akan dijemur. Proses ini dilakukan dengan
berdiri pada kedua kaki namun tidak stabil. Bernad (1997) bahwa
postur menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher,
punggung dan bahu.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada pada ukuran
5 10 kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dijemur masih
dalam keadaan basah. Beban tersebut berisiko, dimana hal ini sesuai

172

dengan rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang berisiko


apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk
postur fleksi sebesar 45o dan fleksi sebesar 150o yang disertai dengan
gerakan abduksi yaitu gerakan lengan menjauhi badan pada tangan
kiri. Postur ini terjadi karena posisi lengan kanan yang bertugas
mengarahkan pakaian yang akan dijemur, sedangkan pada lengan kiri
bertugas untuk memegang pakaian yang akan dijemur. Menurut
Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan
juga menyebabkan neck pain.
Lengan bawah bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk
fleksi sebesar 110o dan fleksi 10o. Hal ini disebabkan karena pekerja
harus menyesuaikan dengan desain tempat penjemuran. Menurut
Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan
tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat penjemuran, pergelangan tangan sering dalam posisi
membentuk sudut baik pada pergelangan tangan kanan maupun kiri.
Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan kanan maupun kiri
dalam keadaan lurus. Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000),
postur pergelangan tangan dalam keadaan lurus memiliki risiko yang
kecil.

173

Postur genggaman pekerja ketika tahapan penjemuran pakaian


cukup baik karena menggunakan kekuatan jari (finger grip) sehingga
keadaan ini dapat dikategorikan fair. Hal tersebut memiliki risiko
ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya dengan
mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari
(Kumar,2001).
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 8. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko pada proses penjemuran pakaian
memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut Hignett dan Mc Atamney
(2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini membutuhkan

investigasi

mendalam dan perubahan harus dilakukan segera, karena semakin


tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan berarti semakin besar
pula kemungkinan pekerja untuk terkena gangguan muskuloskeletal.
6.2.4. Setrika dan Pelipatan
1. Posisi Berdiri Menggunakan Meja Setrika Tanpa Kursi
Menurut Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004), pekerjaan
menyetrika merupakan jenis pekerjaan yang bersifat monoton . Pada
proses setrika dan pelipatan dengan posisi berdiri menggunakan meja
setrika tanpa kursi, faktor risiko ergonomi yang dapat menyebabkan
gangguan muskuloskeletal adalah postur janggal, anggota tubuh statis
serta gerakan berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit.

174

Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 40o yang disertai


dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati
gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada
tangan kanan. Menurut Grandjean (1987) dalam Bridger (1995) yang
menyatakan bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi
dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress
tidak dapat dihindari. Postural stress ini akhirnya dapat menimbulkan
rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat diperburuk dengan keadaan posisi
leher fleksi dan berotasi.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 10o yang
disertai dengan postur punggung yang miring dan berputar. Postur ini
terjadi karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta
ketinggian meja setrika. Proses ini dilakukan dengan duduk. Grandjean
(1993) dalam Tarwaka (2004), berpendapat bahwa bekerja dalam
posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain : pembebanan pada
kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat
dikurangi.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian
yang disetrika. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.

175

Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk


postur fleksi sebesar 10o dan fleksi sebesar 35o yang disertai dengan
gerakan abduksi yaitu gerakan tangan yang menjauhi pusat tubuh.
Postur ini terjadi karena penyesuaian yang dilakukan pekerja untuk
menjangkau pakaian yang disetrika.

Menurut Tarwaka (2004),

pekerjaan menyetrika memerlukan pengerahan tenaga dengan sedikit


penekanan. Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan dengan tangan
dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta jangkauan yang
tidak terlalu luas.
Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing-masing
membentuk fleksi sebesar 60o dan fleksi sebesar 15o. Hal ini dilakukan
untuk menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan yang memegang
setrika dan bagian kiri yang bertugas merapikan pakaian. Menurut
Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan
tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi berdiri,
pergelangan tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada
pergelangan tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini,
pergelangan tangan bagian kanan dan kiri masing-masing membentuk
fleksi sebesar 5o. Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam
Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang

176

masih dapat diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan


aktivitas sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan
dengan posisi berdiri dapat dikatakan baik karena menggunakan
kekuatan genggaman tangan. Postur genggaman ini lebih baik
dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut
memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya
dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada
jari (Kumar,2001).
Selain posisi kaki yang statis saat berdiri, tambahan nilai aktifitas
berasal dari gerakan repetitif saat menyetrika dengan menggunakan
bagian tangan sebelah kanan dan beban tekanan pada alat setrika.
Menurut Bridger (2003), penggunaan beban yang repetitif pada lengan
dapat menyebabkan sendi siku terkena injury. Hal ini dikemukakan
oleh Kumar (2001) bahwa pekerjaan repetitif, tangan dan pergelangan
tangan selama bekerja meningkatkan risiko terkena gangguan
muskuloskeletal. Selain itu menurut Bridger (1995) kegiatan yang
membutuhkan genggaman yang kuat dan dipertahankan dalam waktu
lama akan meningkatkan beban statis pada siku.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk bagian tubuh kiri
adalah 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat risiko pada bagian tubuh

177

kiri saat proses penyetrikaan dengan posisi berdiri memiliki risiko


sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney (2000),
kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan investigasi
lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini. Walaupun
risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan
risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang
ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan
MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 9. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko pada saat proses penyetrikaan
dengan posisi berdiri memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut
Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini
membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan
segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan
berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena
gangguan muskuloskeletal.
2. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Dengan Sandaran
Punggung
Pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi dengan sandaran punggung,
faktor

risiko

ergonomi

yang

dapat

menyebabkan

gangguan

178

muskuloskeletal adalah postur janggal, postur statis

dan gerakan

berulang dengan frekuensi lebih dari 4 kali permenit.


Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 5o yang disertai
dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati
gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada
tangan kanan pada proses penyetrikaan pakaian. Menurut Grandjean
(1993) jika landasan terlalu tinggi, maka pekerja akan mengangkat
bahu untuk menyesuaikan dengan ketinggian landasan kerja sehingga
menyebabkan sakit pada bahu dan leher. Sebaliknya bila landasan
terlalu rendah maka tulang belakang akan membungkuk sehingga
menyebabkan kenyerian pada bagian belakang (backache).
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 15o yang
disertai dengan postur punggung yang berputar. Postur ini terjadi
karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta
ketinggian meja setrika. Proses ini dilakukan dengan duduk
menggunakan kursi yang memiliki sandaran punggung. Namun
sandaran punggung tidak berfungsi karena pekerja melakukan proses
penyetrikaan tidak bersandar pada sandaran, tetapi dengan posisi
punggung

membungkuk.

Menurut

Pheasant

(1991)

posisi

membungkuk dapat juga menyebabkan pembebanan pada bagian


pinggang dan lumbar. Selain itu, Bridger (1995) juga menambahkan

179

bahwa semakin besar sudut yang dibentuk tulang punggung maka


semakin besar pula beban yang terjadi pada tulang punggung.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian
yang disetrika. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kanan membentuk postur fleksi sebesar 80o
yang disertai dengan gerakan abduksi yaitu gerakan tangan yang
menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi karena penyesuaian yang
dilakukan pekerja untuk menjangkau pakaian yang disetrika. Menurut
Tarwaka (2004), pekerjaan menyetrika memerlukan pengerahan tenaga
dengan sedikit penekanan. Pekerjaan tersebut sebagian besar dilakukan
dengan tangan dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta
jangkauan yang tidak terlalu luas.
Lengan bawah pada bagian kanan membentuk fleksi sebesar 30o.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan
yang memegang setrika dan bagian kiri yang bertugas merapikan
pakaian. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan
bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada
lengan bawah.

180

Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi duduk


menggunakan kursi dengan sandaran punggung, pergelangan tangan
sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan
kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan
bagian kanan membentuk fleksi sebesar 5o. Kumar (2001) bahwa
pekerjaan repetitif tangan dan pergelangan tangan selama bekerja
meningkatkan risiko terkena MSDs.
Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan
dengan

menggunakan

kursi

dengan

sandaran

punggung,dapat

dikatakan cukup baik karena menggunakan kekuatan genggaman


tangan walaupun tidak ideal. Postur genggaman ini lebih baik
dibandingkan dengan hanya menggunakan kekuatan jari. Hal tersebut
memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya
dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat cidera pada
jari (Kumar,2001).
Tambahan risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi karena
adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian punggung,
leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Kegiatan ini
menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya berulang lebih dari
4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan
yang berulang >4x permenit menambah risiko ergonomi.

181

Nilai akhir REBA pada kegiatan ini adalah 8. Hal ini


menunjukkan bahwa tingkat risiko pada saat proses penyetrikaan
dengan posisi berdiri memiliki risiko tinggi (high risk). Menurut
Hignett dan Mc Atamney (2000) risiko tinggi berarti kegiatan ini
membutuhkan investigasi mendalam dan perubahan harus dilakukan
segera, karena semakin tinggi tingkat risiko yang ada pada pekerjaan
berarti semakin besar pula kemungkinan pekerja untuk terkena
gangguan muskuloskeletal.
4. Posisi Duduk Menggunakan Meja Setrika dan Kursi Tanpa Sandaran
Punggung
Pada proses setrika dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung, faktor
risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal
adalah postur janggal, postur statis

dan gerakan berulang dengan

frekuensi lebih dari 4 kali permenit.


Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai
dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati
gerakan posisi pergelangan tangan yang memegang setrika pada
tangan kanan pada proses penyetrikaan pakaian. Menurut Grandjean
(1987) dalam Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher
tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika

182

hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari. Postural
stress ini akhirnya dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut
dapat diperburuk dengan keadaan posisi leher fleksi dan berotasi.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 15o yang
disertai dengan postur punggung yang berputar. Postur ini terjadi
karena postur punggung menyesuaikan jangkauan setrika serta
ketinggian meja setrika. Menurut Grandjean (1993) jika landasan
terlalu

tinggi,

menyesuaikan

maka
dengan

pekerja

akan

ketinggian

mengangkat
landasan

bahu

kerja

untuk

sehingga

menyebabkan sakit pada bahu dan leher. Sebaliknya bila landasan


terlalu rendah maka tulang belakang akan membungkuk sehingga
menyebabkan kenyerian pada bagian belakang (backache).
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari berat setrika yang digunakan serta pakaian
yang disetrika.

Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki

risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang


berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk
postur fleksi sebesar 60o dan 68o yang disertai dengan gerakan abduksi
yaitu gerakan tangan yang menjauhi pusat tubuh. Postur ini terjadi
karena penyesuaian yang dilakukan pekerja untuk menjangkau pakaian

183

yang disetrika. Menurut Tarwaka (2004), pekerjaan menyetrika


memerlukan pengerahan tenaga dengan sedikit penekanan. Pekerjaan
tersebut sebagian besar dilakukan dengan tangan dan tidak
memerlukan mobilitas yang tinggi serta jangkauan yang tidak terlalu
luas.
Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan membentuk fleksi
masing masing sebesar 40o dan 30o. Hal ini dilakukan untuk
menyesuaikan gerakan tangan bagian kanan yang memegang setrika
dan bagian kiri yang bertugas merapikan pakaian. Menurut Bridger
(1995) sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan
pada otot antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat penyetrikaan dan pelipatan dengan posisi duduk
menggunakan kursi tanpa sandaran punggung, pergelangan tangan
sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan
kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan
bagian kanan maupun kiri membentuk fleksi sebesar 10o. Menurut
Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o
fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima
pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika saat penyetrikaan dan pelipatan
dengan menggunakan kursi tanpa sandaran punggung,dapat dikatakan

184

baik karena menggunakan kekuatan genggaman tangan. Postur


genggaman ini lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan
kekuatan jari.

Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena

mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari


terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,2001).
Tambahan Risiko nilai aktifitas pada proses ini juga terjadi
karena adanya kegiatan yang bersifat berulang-ulang pada bagian
punggung, leher, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan.
Kegiatan ini menimbulkan risiko karena pekerja melakukannya
berulang lebih dari 4x permenit. Berdasarkan metode REBA yang
dikembangkan oleh Sue Hignett dan Mc Attamney (2000) kegiatan
yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah
risiko ergonomi.
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 7. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko saat penyetrikaan dan pelipatan
dengan menggunakan kursi tanpa sandaran punggung dengamemiliki
risiko sedang (medium risk). Menurut Sue Hignett dan Mc Attamney
(2000), kegiatan yang tergolong dalam risiko sedang memerlukan
investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan perubahan pada kegiatan ini.
Walaupun risiko ini tergolong dalam risiko sedang, tetapi apabila
pekerja terpajan risiko secara terus-menerus tanpa ada perubahan,

185

maka akibat yang ditimbulkan dari risiko ini dapat terakumulasi dan
menyebabkan MSDs pada pekerja dalam jangka panjang.

6.2.5. Pengemasan
1. Pengemasan Dengan Posisi Berdiri
Pada proses pengemasan dengan posisi berdiri, faktor risiko
ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal adalah
postur janggal.
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 10o yang disertai
dengan leher berputar. Postur ini terjadi karena pekerja mengamati
pakaian yang akan dimasukkan kedalam wadah plastik. Menurut
Grandjean (1987) yang disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan
bahwa kepala dan leher tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi
lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat
dihindari.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 10o
ditambah postur punggung yang

miring. Postur ini terjadi karena

pekerja ingin memastikan bahwa pakaian tersebut sudah terbungkus


dengan benar. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki.

186

Menurut Bridger (1995) risiko LBP meningkat 15% pada keadaan


fleksi pada bagian punggung.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dimasukkan kedalam
plastik kemasan. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri dan kanan masing-masing membentuk
postur fleksi sebesar 40o yang disertai dengan abduksi yaitu gerakan
tangan menjauhi pusat tubuh. Hal ini disebabkan karena terdapat
proses pengambilan dan pemasukan pakaian yang disesuaikan dengan
ukuran kemasan pembungkus dan tinggi meja yang digunakan
Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan
Mc Atamney (2000) posisi ini memberikan risiko lebih besar pada
lengan atas karena semakin besar sudut yang dibentuk maka posisi
tangan akan semakin jauh dengan tubuh dan itu merupakan posisi yang
berisiko.
Lengan bawah pada bagian kiri dan kanan masing-masing
membentuk fleksi 30o dan 45o. Hal ini disebabkan karena mengikuti
postur pergelangan tangan dalam membungkus pakaian yang telah
disetrika. Menurut Bridger (1995) sudut < 60o pada bagian lengan

187

bawah menyebabkan tekanan pada otot antagonis yang terdapat pada


lengan bawah.
Pada saat pengemasan dengan posisi berdiri, pergelangan tangan
sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan tangan
kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan tangan
kanan dan kiri masing-masing membentuk fleksi dengan sudut 5o.
Menurut Brumfield dan Champoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi
10o fleksi dan 35o ekstensi merupakan posisi yang masih dapat
diterima pada sendi pergelangan tangan melakukan aktivitas seharihari.
Postur genggaman pekerja ketika melakukan pengemasan
dengan dapat dikatakan baik karena menggunakan genggaman tangan.
Hal ini lebih baik dari pegangan yang hanya menggunakan kekuatan
jari. Hal tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek
tidak boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga
dapat cidera pada jari (Kumar,2001).
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 4. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko saat pengemasan pakaian dengan
postur berdiri memiliki risiko sedang (medium risk). Menurut Sue
Hignett dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang tergolong dalam
risiko sedang memerlukan investigasi lebih lanjut dan dibutuhkan

188

perubahan pada kegiatan ini. Walaupun risiko ini tergolong dalam


risiko sedang, tetapi apabila pekerja terpajan risiko secara terusmenerus tanpa ada perubahan, maka akibat yang ditimbulkan dari
risiko ini dapat terakumulasi dan menyebabkan MSDs pada pekerja
dalam jangka panjang.
2. Pengemasan Dengan Posisi Duduk Dilantai
Pada proses pengemasan dengan posisi duduk di lantai, faktor
risiko ergonomi yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal
adalah postur janggal.
Postur leher pekerja membentuk fleksi sebesar 5o. Postur ini
terjadi karena pekerja mengamati pakaian yang akan dimasukkan
kedalam wadah plastik kemasan Menurut Grandjean (1987) yang
disadur oleh Bridger (1995) yang menyatakan bahwa kepala dan leher
tidak boleh dalam keadaan fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika
hal ini terjadi maka postural stress tidak dapat dihindari.
Postur punggung pekerja dalam keadaan fleksi sebesar 30o
ditambah postur punggung yang

miring. Postur ini terjadi karena

perbedaan ketinggian lengan atas baik pada sebelah kanan maupun


kiri pada saat proses memasukkan pakaian kedalam plastik kemasan.
Pekerja ingin memastikan bahwa pakaian tersebut sudah terbungkus
dengan benar. Proses ini dilakukan dengan berdiri pada kedua kaki.

189

Menurut Bridger (2003) postur ekstrim pada punggung dapat


menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut
sehingga terjadi kompresi tulang belakang.
Beban yang diangkat pada proses ini masih berada di bawah 5
kg. Berat beban berasal dari pakaian yang akan dimasukkan kedalam
plastik kemasan. Hal ini masih dapat diterima dan belum memiliki
risiko. Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang
berisiko apabila beban yang diangkat lebih dari dengan 4,5 kg.
Lengan atas bagian kiri membentuk postur fleksi sebesar 50o.
Hal ini disebabkan karena terdapat proses pengambilan dan pemasukan
pakaian yang disesuaikan dengan ukuran kemasan pembungkus yang
digunakan. Menurut Pheasant (1991) bahwa posisi bahu ditinggikan
atau lengan dijauhkan juga menyebabkan neck pain.
Lengan bawah pada bagian kiri membentuk fleksi 65o. Hal ini
disebabkan karena mengikuti postur pergelangan tangan dalam
membungkus pakaian yang telah disetrika. Menurut Bridger (1995)
sudut < 60o pada bagian lengan bawah menyebabkan tekanan pada otot
antagonis yang terdapat pada lengan bawah.
Pada saat pengemasan dengan posisi duduk dilantai, pergelangan
tangan sering dalam posisi membentuk sudut baik pada pergelangan
tangan kanan maupun kiri. Saat melakukan proses ini, pergelangan

190

tangan kiri membentuk fleksi dengan sudut 5o. Menurut Brumfield dan
Campoux (1984) dalam Kumar (2001) posisi 10o fleksi dan 35o
ekstensi merupakan posisi yang masih dapat diterima pada sendi
pergelangan tangan dalam melakukan kegiatan normal sehari-hari.
Postur genggaman pekerja ketika melakukan pengemasan dapat
dikatakan baik karena menggunakan genggaman tangan. Hal ini lebih
baik dari pegangan yang hanya menggunakan kekuatan jari. Hal
tersebut memiliki risiko ergonomi karena mengangkat objek tidak
boleh hanya dengan mengandal kekuatan jari terbatas sehingga dapat
cidera pada jari (Kumar,2001).
Nilai akhir REBA pada kegiatan ini untuk adalah 2. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat risiko saat pengemasan pakaian dengan
postur duduk memiliki risiko rendah (low risk). Menurut Sue Hignett
dan Mc Attamney (2000), kegiatan yang memiliki risiko rendah berarti
perubahan mungkin dibutuhkan untuk mencegah risiko tersebut
bertambah tinggi.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis risiko ergonomi berdasarkan aspek
pekerjaan pada pekerja laundry sektor usaha informal, maka dapat diambil
kesimpulan yaitu :
1. Gambaran proses kerja pada laundry sektor usaha informal terdiri dari 5
tahapan

kegiatan

yaitu

penimbangan,

pencucian

dan

pemerasan,

pengeringan, setrika dan pelipatan dan pengemasan.


2. Pada proses penimbangan, pencucian dan pemerasan serta pengeringan,
postur tubuh yang paling dominan digunakan dan memiliki tingkat risiko
meliputi postur leher, punggung, lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan. Sedangkan untuk proses setrika dan pelipatan serta
pengemasan, postur tubuh yang paling dominan digunakan dan memilki
tingkat risiko meliputi postur leher, punggung, lengan atas, lengan bawah,
pergelangan tangan serta kaki.
3. Berat objek pada semua proses masih berada dibawah 5kg, kecuali pada
proses pencucian dan pemerasan, dimana berat objek melebihi 10 kg yaitu
saat pekerja membawa wadah pakaian setelah proses pencucian untuk
dibawa ke mesin pengering. Untuk coupling, sebagian besar proses

191

192

dilakukan dengan coupling yang bernilai cukup baik. Namun pada proses
penimbangan dengan timbangan biasa dan pengangkatan wadah pakaian
untuk dimasukkan ke mesin pengering, coupling bernilai kurang baik. Nilai
aktifitas yang berupa gerakan berulang dan terdapat postur statis dilakukan
pada proses setrika dan pelipatan.
4. Tingkat risiko pada proses penimbangan, pencucian dan pemerasan serta
pengemasan dengan posisi berdiri dalam kategori risiko menengah.
Sedangkan, pada proses pengeringan dan penyetrikaan dalam kategori
risiko tinggi. Pada proses pengemasan dengan posisi duduk dalam kategori
risiko rendah.
7.2. Saran
1. Pada proses penimbangan, disarankan agar alat timbangan diletakkan
diatas meja dimana tinggi meja harus disesuaikan tinggi dan jangkauan
pekerja saat dilakukan penimbangan.
2. Pekerja sebaiknya menggunakan mesin pengering pakaian yang diberikan
dudukan pada kaki mesin pengering pakaian agar pekerja tidak terlalu
membungkuk saat menggunakan alat tersebut.
3. Saat mengangkat wadah, seharusnya menggunakan wadah pakaian yang
memiliki desain pegangan yang baik untuk meminimalisir risiko ergonomi.
4. Pada proses setrika dan pelipatan, sebaiknya pekerja menggunakan tempat
duduk yang dapat disesuaikan dengan ketinggian meja setrika dan
antropometri pekerja.

193

5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai risiko ergonomi yang sejenis


namun memperhitungkan faktor antropometri dan human diversity.

DAFTAR PUSTAKA

ACGIH. 2007. Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agents
& Biological Exposure Indices. Cincinnati: Kemper Meadow Drive

Bernad, Bruce P. et al. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical


Review of Epidemiologic Evidence for Work-Related Musculoskeletal
Disorders of the Neck, Upper Extrimity, and Low Back. U.S. Department of
Health and Human Services: NIOSH http://www.cdc.gov/niosh/docs/97141/pdfs/97-141.pdf diakses 20 Oktober 2009

Bird, E, Jr, Frank and L. Germain. 2005. Kepemimpinan Pengendalian, dan Kerugian
Praktis, Edisi ke-3. Terjemahan oleh W. Abdullah. Jakarta: PT. Denvegraha

Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomics.. Singapore: McGraw-Hill Book Co

Bridger, R.S. 2003. Introduction to Ergonomics. Second Edition. London: Taylor &
Francis

Budiono, Sugeng et al. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja :
Hygiene Perusahaan, Ergonomik, Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja
(Edisi Kedua). Semarang : Badan Penerbit Undip.

Humantech. 1995. Applied Ergonomics Training Manual 2nd Edition. Australia:


Barkelery Vale, http://enhs.umn.edu/2004injuryprevent/back/backinjury.html
diakses 20 Oktober 2009

ILO. 1998. Work Organization and Ergonomics. International Labour Office. Geneva

194

195

Kumar, Sharawan. 2001. Biomechanics in Ergonomics. Canada : Taylor and Francis

Kurniawati, 2009. Tinjauan Faktor Risiko Ergonomi dan Keluhan Subjektif Terhadap
Terjadinya Risiko Terjadinya Muskuloskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja
Pabrik Proses Inspeksi Kain, Pembungkusan, dan Pengepakan di Departemen
PPC PT SCTI Ciracas Jakarta Timur Tahun 2009. (Skripsi) Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok

Laraswati, Hervita, 2009, Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada


Pekerja Laundry Tahun 2009 (Studi Kasus Pada 12 Laundry Sektor Usaha
Informal Di Kecamatan Beji Kota Depok (Skripsi) Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia Depok

Lingard, Helen and Steve Rowlinson, 2005, Occupational Health and Safety in
Construction Project Management, Spon Press, Taylor & Francis Group,
London and New York

Hignett, Sue, and McAtamney Lynn. 2000. Applied Ergonomics : Rapid Entire Body
Assessment. USA: CRC Press.

NIOSH. 1997. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical Review


of Epidemiologic Evidence for Work-Related Musculoskeletal Disorders.
NIOSH: Centers for Disease Control and Prevention

NIOSH. 2007. Simple Solution: Ergonomics for Construction Workers. Department


of Health and Human Services: Center for Disease Control and Prevention

Oborne, David J,. 1995. Ergonomics at Work Third Edition: Human Factors in
Design and Development. England: John Wiley and Sons Ltd.

196

OHSAH, 1999, An Ergonomics Guidelines for Hospital Laundries, Occupational


Health and Safety for Healthcare in BC, Vancouver : BC

OHSCO.2007. Resource Manual for the MSD Prevention Guideline for Ontario.
Occupational Health and Safety Council Of Ontario : Musculoskeletal
Disorders Prevention Series

Pheasant, Stephen. 1991. Ergonomics, Work and Health. Maryland: Aspen Publishers
Inc.

Pulat, B.M. 1997. Fundamental of Industrial Ergonomics (Second Edition), USA :


Hall International Englewood Clifts, New Jersey
Rom, William N. 2007. Environmental and Occupational Medicine, 4th edition (CDROM). GGS Book Services

Salomon, Stephen P. 2004. An Ergonomic Assesment of the Airline Baggage


Handler. Departement of Industrial Engineering, New Jersey Institute of
Technology

Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi: Manusia, Perlatan dan Lingkungan. Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher

Stanton, et al. 2005. Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. USA:
CRC Press
Sumamur, P.K. 1989. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: CV. Haji
Masagung

197

Tarwaka, et al. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan dan Produktivitas.


Edisi I, Cetakan I,. Surakarta : UNIBA Press

The Australian Standard/New Zealand Standard 4360:1999. 1999. Risk Management


Guidelines. Sydney. Australia

Triawan, Rudal. 2007. Gambaran Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Pada Aktivitas Kerja Di Bagian Fabrikasi Machine And Gear Shop PT. Bukaka
Teknik Utama Berdasarkan Metode Rapid Entire Body Assesment (REBA)
Tahun 2007 (Skripsi). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Depok

Vi, P., Penyk, R., Brechun, W., Lefebvre, P., 1998. Ergonomic Improvements To A
Baggage Conveyor System At a Large Airline Company, Proceedings of the
30th Annual Conference of the Human Factors Association of Canada, pp. 323327.

Yassierli. 2008. Peningkatan Kinerja K3 dengan Ergonomi, diakses 1 Mei 2009,


http://www .ergoinstitute.com/index.php.

REBA Employee Assessment Worksheet

based on Technical note: Rapid Entire Body Assessment (REBA), Hignett, McAtamney, Applied Ergonomics 31 (2000) 201-205

Step 1: Locate Neck Position

Table A

Neck
2

+2

+1

B. Arm and Wrist Analysis

SCORES

A. Neck, Trunk and Leg Analysis

Step 7: Locate Upper Arm Position:


3
+2

Legs
+2
Neck Score

Step 1a: Adjust


If neck is twisted: +1
If neck is side bending: +1

+2

+1

1
2
3
4
5

Trunk
Posture
Score

Step 2: Locate Trunk Position

1
1
2
2
3
4

2
2
3
4
5
6

3
3
4
5
6
7

1
2
3
4
5
6

+3
Upper
Arm
Score
Trunk Score

1
1
1
3
4
6
7

Adjust:

Leg Score

(score from
table A
+load/force
score)

3
3
5
6
7
8

4
4
6
7
8
9

1
3
4
5
6
7

2
3
5
6
7
8

3
5
6
7
8
9

4
6
7
8
9
9

2
2
2
4
5
7
8

3
2
3
5
5
8
8

1
1
2
4
5
7
8

2
2
3
5
6
8
9

+2
+

+3

Step 7a: Adjust


If shoulder is raised: +1
If upper arm is abducted: +1
If arm is supported or person is leaning: -1

Upper Arm
Score

+2

+1

Lower Arm
Score

Step 9: Locate Wrist Position:

Score B, (table B value +coupling score)

+1

+2

1 2

4 5 6 7 8

9 10 11 12

Step 10: Look-up Posture Score in Table B

Using values from steps 7-9 above, locate score in Table B

Step 4: Look-up Posture Score in Table A

Using values from steps 1-3 above, locate score in


Table A

9 10 10 10 10

9 10 10 11 11 11

9 10 10 10 10 10 11 11 11

10 10 10 11 11 11 12 12 12

+1

+2

Add +1

Step 5: Add Force/Load Score


If load < 11 lbs : +0
If load 11 to 22 lbs : +1
If load > 22 lbs: +2
Adjust: If shock or rapid build up of force: add +1

Add +2

Posture Score A

Force/Load Score

Step 6: Score A, Find Row in Table C


Add values from steps 4 & 5 to obtain Score A.
Find Row in Table C.

10

10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12

11

11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12

12

12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12

Score A

Scoring:
1 = negligible risk
2 or 3 = low risk, change may be needed
4 to 7 = medium risk, further investigation, change soon
8 to 10 = high risk, investigate and implement change
11+ = very high risk, implement change

+4

Step 8: Locate Lower Arm Position:

3
3
4
5
7
8
9

Table C

Score A

Step 3: Legs

2
2
4
5
6
7

1
Wrist

Step 2a: Adjust


If trunk is twisted: +1
If trunk is side bending: +1

1
1
3
4
5
6

Lower Arm

Table
B

+4

+2

4
4
5
6
7
8

+1

Wrist Score

Step 9a: Adjust


If wrist is bent from midline or twisted : Add +1

Posture Score B

Step 11: Add Coupling Score


Well fitting Handle and mid rang power grip, good: +0
Acceptable but not ideal hand hold or coupling
acceptable with another body part,
fair: +1
Hand hold not acceptable but possible,
poor: +2
No handles, awkward, unsafe with any body part,
Unacceptable: +3

Coupling Score

Step 12: Score B, Find Column in Table C


Add values from steps 10 &11 to obtain
Score B. Find column in Table C and match with Score A in
row from step 6 to obtain Table C Score.

Score B

Step 13: Activity Score

Table C Score

Activity Score

+1 1 or more body parts are held for longer than 1 minute (static)
+1 Repeated small range actions (more than 4x per minute)
+1 Action causes rapid large range changes in postures or unstable base

Final REBA Score

Task name: ________________________________ Reviewer:__________________________ Date: _______/_____/_____

provided by Practical Ergonomics

This tool is provided without warranty. The author has provided this tool as a simple means for applying the concepts provided in REBA .

rbarker@ergosmart.com (816) 444-1667

2004 Neese Consulting, Inc.

REBA: Scoring
Trunk

Use Table A

Use Table B

Group
A

Upper arms
L

Neck

+
Load/Force
Coupling

Legs

Score A

Use Table C

Lower arms
L

R
Wrists

Score B

Score C

+
Activity
Score

REBA Score
Source: Hignett, S., McAtamney, L. (2000) Applied Ergonomics, 31, 201-5.
Professor Alan Hedge, Cornell University, September 2001.

Group
B

Вам также может понравиться