Вы находитесь на странице: 1из 8

LAPORAN KASUS

GANGGUAN JWIA NON PSIKOTIK


(Dari Video yang Didapat)

Ainunnisa Zsa Zsa/13711033


Merisa Dinda Putri/13711042
Achmad Bima Aryaputra/13711065
Kelompok Tutorial 12
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
2015/2016

I.

Pengamatan Terhadap Video Yang Didapat


Pasien pada video bernama Jonah Hinds yang berusia 11 tahun.
Jonah memperlihatkan gerakan-gerakan tik pada awal video seperti di
kelopak matanya dan juga ia tampak menggerakkan tangannya secara
tidak terkontrol. Jonah merasa kesulitan dalam mengikuti kegiatan di
sekolahnya. Saat ia berada di dalam kelas, ia sering terbaring di lantai
juga berguling-guling atau berlarian di dalam kelas. Tangannya bergerak
bebas tanpa kontrol. Selain tangannya bergerak bebas, ia juga
mengkontraksikan otot-ototnya dengan kuat. Dengan kondisi seperti itu,
Jonah tidak dapat menulis maupun berpikir untuk mengikuti kelas. Ia juga
menunjukan gerakan tik yang lain yakni gerakan-gerakan aneh seperti
bergoyang sambil menjulurkan lidahnya. Ia menggunakan kursi roda
untuk mempermudah pergerakannya. Respon dari teman-temannya
adalah mereka merasa sulit untuk mengerjakan tugas karena begitu
mudahnya teralihkan kepada Jonah ketika ia sedang kambuh.
Menurut sang ayah, Mike Hinds, Jonah mulai mengalami
keanehan saat ia duduk di bangku kelas 2, saat usianya 8 tahun. Gejala
pertama yang muncul adalah shaking (bergetar) dan ia tidak dapat
menghentikannya. Saat itu orangtuanya menganggap bahwa hal ini
hanya candaan dari Jonah semata hingga akhirnya Jonah mengatakan
bahwa ia tidak bisa menghentikan getaran tersebut hingga menangis.
Tiba-tiba saja jonah terjatuh. Kepalanya bergerak tanpa arah dan ia juga
menggerakkan tangannya tanpa arah. Kelopak matanya berkedip secara
berlebihan. Selain itu juga ia terlihat seperti menari. Selain kemunculan
gejala fisik, terlihat juga gejala gangguan vokalisasi berupa suara teriakan
(echolalia). Sang ibu, Beth Hinds, mengatakan bahwa tiga pakar
neurologis mendiagnosis Jonah tengah mengidap tourette syndrome.

II.
III.

Diagnosis Banding
Pembahasan
1. Manifestasi Klinik
2. Penegakan Diagnosis
Diagnosa pada gangguan tourette harus berdasarkan pada
wawancara klinis dan sejarah yang termasuk pada sejarah dalam
keluarga serta sejarah kolaboratif dari pihak sekolah. Dalam wawancara

bersama dokter, tak jarang pasien gangguan tourette harus ditekan guna
mendapatkan informasi yang bermakna (Pringsheim, 2012).
Dokter mendiagnosis gangguan tourette setelah meverifikasi
bahwa pasien memiliki gangguan tik pada motorik dan vokalisasi
setidaknya selama satu tahun. Adanya kondisi neurologis atau kejiwaan
lain dapat membantu dokter menegakkan diagnosis. Pada anamnesis
biasanya ditanyakan tentang kapan pertama kali gejala-gejala pada
tourette syndrome muncul, apakah ada suatu trauma yang pernah
dapatkan sehingga menyebabkan timbulnya gejala gangguan tourette,
berapa bayak gejala yang timbul dalam sehari, dan pertanyaan lainnya.
Untuk gejala atipikal (gejala yang tidak memiliki ciri khas) biasanya
diperlukan seseorang yang memiliki keahlian spesifik untuk mendiagnosis
hal

tersebut.

Pemeriksaan

penunjang

tidak

diperlukan

untuk

mendiagnosis penyakit ini tetapi pada beberapa kasus neuroimaging


seperti MRI atau CT Scan, EEG, dan pemeriksaan darah diperlukan
untuk

mengesampingkan

gejala

lain

yang

mungkin

dapat

membingungkan ketika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan


gejala atipikal. Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga dilakukan guna
menyingkirkan diagnosis lain yang memilii gejala yang hampir sama
dengan gangguan tourette.
Untuk menegakkan diagnosis TS (Tourette Syndrome) diperlukan
tiga ciri khas yang biasanya sering muncul pada pasien gangguan
tourete, yakni: tik multipel, berkata jorok (coprolalia), dan latak atau suka
membeo (echolalia). Kriteria yang digunakan secara internasional adalah
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition,
Text Revision (DSM-IV-TR).
Menurut DSM-IV-TR, kriteria diagnostik yang harus didapatkan
pada pasien gangguan tourette, yakni:
1) Baik tik motorik multipel dan satu atau lebih tik vokal telah
ditemukan pada suatu saat selama penyakit, walaupun tidak
selalu bersamaan. (Tik adalah gerakan motorik atau vokalisasi
yang tiba-tiba, cepat, rekuren, nonritmik, stereotipik).
2) Tik terjadi banyak kali dalam sehari (biasanya dalam
kumpulan), hampir setiap hari atau secara intermiten selama
periode lebih dari satu tahun, dan selama periode ini tidak

pernah terdapat periode bebas tik selama lebih dari tiga bulan
berturut-turut.
3) Onset sebelum usia 18 tahun.
4) Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, stimulan) atau kondisi medis umum (misalnya,
penyakit Huntington atau ensefalitis pasa infeksi (virus).
3. Rencana Terapi / Penatalaksanaan
Pada kondisi yang masih ringan, pasien dan keluarga hanya
diberikan edukasi dan konseling untuk mengurangi rasa stres pada
pasien. Jika sudah mendekati kronis, terapi perilaku serta terapi obat
sangat

berguna.Pada

penatalaksanaan

terhadap

pasien

dengan

gangguan tourette terbagi menjadi tiga pilihan, antara lain:


a. Psikoedukasi
Psikoedukasi memegang peranan penting dalam menyelesaikan
kesalahpahaman dan stigma masyarakat terhadap tourette syndrome.
Gangguan tourette sendiri sangat berpengaruh terhadap kehidupan
pasien juga seluruh keluarga pasien. Anak-anak dengan gangguan
tourette dilaporkan sulit untuk masuk ke dalam lingkungan sosial karena
merasa malu akibat gangguan tik yang mereka alami. Edukasi mengenai
penyebab, perjalanan penyakit, dan gejala yang dialami pasien gangguan
tourette dapat membantu pihak keluarga menerapkan strategi efektif
untuk

mengelola

perilakunya

selama

di

kelas

sehingga

dapat

memaksimalkan potensi belajar mereka.


b. Psikoterapi
Pada pasien gangguan tourette psikoterapi tidak terlalu efektif
sebagai terapi utama meskipun dapat membantu pasien dalam
menghadapi gejala gangguan dan kesulitan kepribadian serta perilaku
yang biasanya menyertai (Kaplan, ...). Terapi perilaku memiliki kegunaan
lebih dalam menurunkan keadaan stres yang dialami pasien yang
biasanya dapat memperberat gangguan tourette. Adapun beberapa teknik
perilaku yang dipraktekkan kepada pasien gangguan tourette seperti
massed (negative) practice (MP), habit reversal (HR), self-monitoring
(SM), contingency management (CM)/function based intervention (FBI),
relaxation training (RT)/hipnosis, exposure and response prevention (ER),
cognitive behaviour treatment (CBT), dan bio(neuro) feedback (NF).

HR (Habit Reversal) merupakan terapi perilaku paling efektif.


Teknik yang dilakukan pada terapi ini bertujuan untuk membantu pasien
menyadari kejadian gejala tik serta pelatihan tanggap untuk menghambat
tik tersebut muncul. HR terdiri atas pelatihan kesadaran dan pelatihan
merespon terhadap gejala yang timbul.
c. Farmakoterapi
Pada
kebanyakan
kasus,

gangguan

tourette

tidak

mengakibatkan gangguan yang berarti. Ini yang menyebabkan mayoritas


masyarakat tidak membutuhkan obat untuk menekan gejala yang timbul.
Namun adapun terapi farmakologis yang digunakan untuk mengurangi hal
ini. Terapi farmakologis merupakan terapi yang paling efektif pada pasien
gangguan tourette. Obat-obat yang digunakan biasanya diberikan sesuai
indikasi.. Adapun beberapa pilihan obat tourette syndrome, yakni:
a. Golongan neuroleptik seperti haloperidol, pimozid, dan
fluopenazin
b. Golongan antipsikotik atipikal seperti risperidon, clozapin,
dan lainnya.
c. Alternatif lainnya seperti benzamid, tetrabenazin, alfa
adrenergik agonis, dan lainnya.
Neuroleptik
Golongan obat ini memiliki efektifitas paling tinggi dibandingkan
dengan

golongan

obat

lainnya.

Neuroleptik

bertindak

sebagai

antagonis dopamin dengan memblokade reseptor dopamin. Selain


memblokade reseptor dopamin, obat golongan neuroleptik juga
mengubah kolinergik, serotonergik, histaminergik dan transmisi dari
alfa-adrenergik yang mengakibatkan timbul efek samping. Efek
samping yang biasanya muncul setelah mengkonsumsi obat golongan
neuroleptik adalah kenaikan berat badan dan mengantuk. Efek
samping yang muncul bersifat ringan tetapi pada beberapa pasien efek
samping yang muncul lebih berat seperti contoh dapat mengakibatkan
hiperprolaktinemia dan gejala ekstrapiramidal seperti distonia, akatisia,
dan parkisonisme. Hal ini terjadi akibat pemberian dosis awal yang
terlalu besar dari yang seharusnya.
Antipsikotik Atipikal
Golongan obat ini juga memblokade reseptor dopamin, lebih tepatnya
pada reseptor dopamin tipe 2 selektif. Obat ini juga dapat

mempengaruhi serotonin. Obat ini jauh lebih aman dibandingkan


neuroleptik dikarenakan efek samping yang dihasilkan tidak sebanyak
obat golongan neuroleptik tetapi efektifitasnya tidak sebaik neuroleptik.
Obat alternatif lainnya
Obat tambahan lain selain obat golongan neuroleptik dan obat
golongan

antipsikotik

atipikal

juga

memiliki

efektifitas

dalam

mengurangi keparahan dari gejala tourette syndrome. Salah satu obat


alternatif ini adalah obat golongan alfa-adrenergik agonis (klonidin dan
guanfasin). Obat ini biasanya digunakan untuk pasien hipertensi tetapi
juga dapat diperuntukkan bagi pasien tourette syndrome. Dikarenakan
efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit daripada neuroleptik, obat
dari golongan ini digunakan sebagai obat lini pertama sebelum
melanjutkan pada pengobatan dengan obat golongan neuroleptik.

DAFTAR PUSTAKA

Eddy, C.M., Rickards, H.E., Cavanna, A.E. 2011. Treatment Strategies For Tics In
Tourette Syndrome. Therapeutic Advances In Neurological Disorder.
4(1):25-45.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. 1998. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi VII Jilid 2. Alih Bahasa : Dr.
Widjaja Kusuma. Jakarta : Binarupa Aksara.
Verdellen, C., Griendt, J.V.D., Hartmann, A., Murphy, T. 2011. European Clinical
Guidelines For Tourette Syndrome And Other Tic Disorder Part III:

Behaviour And Psychosocial Intervention. European Child And


Adolescent Psychiatry. 20:197-207.

LAMPIRAN

Вам также может понравиться