Вы находитесь на странице: 1из 36

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Cedera Kepala Sedang


2.1.1 Definisi Cedera Kepala Sedang
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling sering dan
penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
(Brunner & Suddarth, 2002).
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Asikin, Z, 2009).
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan
kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai
berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera.

2.1.2

Anatomi Fisiologi Otak


7

1. Anatomi Otak

Gambar 2.1 Anatomi otak

2. Fisiologi Otak
Otak terbagi atas :
a. Otak besar (serebrum)
1) Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian
depan atas rongga tengkorak, pada serebrum ditemukan
beberapa lobus yaitu : lobus frontalis, lobus parietalis,
lobus temporalis dan lobus oksipitalis.
2) Fungsi serebrum adalah :
a) Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu.
b) Pusat persyarafan yang menangani aktivitas mental, akal,
intelegensi, keinginan dan memori.
c) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil.

b. Otak kecil (serebelum)

Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan


belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh ponsvaroli dan di atas medulla
oblongata. Serebelum merupakan pusat koordinasi dan
integritasi, bentuk oval bagian yang mengecil pada sentral
disebut vermis dan bagian yang melebar pada laferal disebut
hemisfer.
1) Fungsi serebelum adalah :
a) Arkhio

serebelum

(vestibula

serebelum)

untuk

keseimbangan dan ransangan pendengaran otak.


b) Plea serebelum (spino serebelum) sebagai pusat
penerima impuls.
c) Neo serebelum (ponto serebelum) menerima informasi
tentang gerakan yang sedang dilakukan dan yang akan
dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu
jaringan fibrosa, padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang
memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit
dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane
dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek
pembuluh ini sukar mengadakan vasokontraksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan
laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang

10

subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.


Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala
sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan
betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang
seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras
yang

tidak

memungkinkan

perluasan

intracranial.

Tulang

sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang di pisahkan


oleh tulang berongga. Dinding luar di sebut tabula eksterna dan
dinding bagian dalam di sebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar,
dengan bobot yang lebih ringan . tabula interna mengandung aluralur yang berisiskan arteria meningea anterior, media dan
posterior. Apabila

fraktur

terkoyaknya

satu dari

salah

tulang

tengkorak

arteri-arteri

ini,

menyebabkan
maka

akan

mengakibatkan perdarahan arterial yang tertimbun dalam ruang


epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali

bila di

temukan dan diobati dengan segera.


Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga
lapisan meninges adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater
1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri
atas dua lapisan:

11

a)

Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh


periosteum yang membungkus dalam calvaria.

b)

Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput


fibrosa yang kuat yang berlanjut terus di foramen mgnum
dengan dura mater spinalis yang membungkus medulla
spinalis

2.

Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai


sarang laba-laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung


banyak pembuluh darah.
2.1.3. Etiologi
Menurut Arief Mansjoer (2000:4) penyebab cedera kepala
adalah karena adanya trauma/bentur langsung atau tidak langsung
pada otak, sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.
Tipe trauma kepala :
a. Trauma kepala terbuka
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang
tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam.
b. Trauma kepala tertutup
Cedera tanpa menyebabkan laserasi tetapi menyebabkan
geger ringan yang disertai edema serebral.
1)

Klasifikasi Cedera Kepala

12

Klasifikasi cedera kepala menurut (Arief Mansjoer, 2000) adalah :


1. Berdasarkan mekanisme cedera
a.
Trauma

tumpul

kecepatan

tinggi

(tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).


Trauma tembus : luka tembus peluru dan

b.

cedera tembus lainnya)


2. Berdasarkan Keparahan Cedera
a. Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15, kehilangan kesararan
< 15 menit
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12, kehilangan kesadaran
>15 menit sampai 24 jam
c. Cedera Kepala Berat (CKS) : GCS 3-8, kehilangan kesadaran >
24 jam
3. Berdasarkan Morfologi
a. Fraktur tengkorak
b. Kranium: linear/stelatum:depresi/non depresi; terbuka/tertutup
c. Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis)
Sedangkan

menurut

Brunner&Suddarth

(2002),

pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik pada otak


kepala dibagi :

1. Komosio
Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya
fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio
umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu
yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak sedikit saja

13

hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau


dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
2. Kontusio
Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana
otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah
hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala
akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan,
denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat
diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak sadar.
3. Hematome intracranial
a. Hematom Epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang
epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini
sering

diakibatkan

dari

fraktur

tulang

tengkorak

yang

menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak, dimana


arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik
terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi
benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa
menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural
membentuk suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai
talk and die.

14

b. Hematom Subdural
Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara
dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi
oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga
terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma.
Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan
akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani
ruang subdural
c. Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga
darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya
pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah.
Cedera ini menunjukkan gejala dalam 2448 jam setelah trauma.
Diagnosis

dibuat

dengan

arteriogram

karotis

dan

echoensefalogram/ CT Scan. Pengobatan terutama tindakan


bedah.
d. Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan
intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda tanda neurologik

15

dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan


bekuan darah.
e.

Hematoma subdural Kronik


Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini
massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum
meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang
-kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada
klien dengan hematoma kecil tanpa tandatanda neurologik,
maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan
pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik
yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang
terbaik adalah pembedahan.

f.

Hemoragi intraserebral
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam
substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada cedera kepala
dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil.
Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh
hipertensi sistemik, yang menyebabkan degenerasi dan ruptur
pembuluh darah; rupture kantung aneurisma; anomali vaskuler;
tumor intracranial; penyebab sistemik, termasuk gangguan
perdarahan seperti leukemia, hemofilia, anemia aplastik, dan
trombositopenia. (Brunner & Suddarth, 2002)

2)

Patofisiologi

16

Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala


bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan,
makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu
pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam
berkecepatan rendah yang dapat merusak fungsi neurologik pada
tempat tertentu karena benda atau fragmen tulang menembus dura.
Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi
waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.
Karena

neurofisiologis

pernafasan

sangant

kompleks,

kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pada beberapa


tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control
volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada
sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Serebrum juga
mempunyai

beberapa

kontrol

terhadap

frekuensi

dan

irama

pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak
mengatur otomatisasi pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga
jawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen sekitar
darah dan jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK
dan hipoksia serta oleh trauma langsung. Trauma serebral yang
mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi
alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya menimbulkan gagal
nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien dengan cedera

17

kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila


terdapat disfungsi intracranial.
Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan
tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari
kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai
control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan
perawatan diri dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan
postur, spastisitas, atau kontraktur.
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral
akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada
sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan
gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak
mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali. Pasien
dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan komunikasi
bukan terjadi secara tersendiri. Disfungsi ini paling sering
menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami cedera
kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer
serebral dominan. (Pearce, Evelyn,C, 2002 ).

WOC

Trauma kepala

Ekstra kranial

Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan
vaskuler

Tulang kranial

Terputusnya kontinuitas
jaringan tulang

Intra kranial

Jaringan otak rusak (kontusio,


laserasi)

18

Gangguan suplai darah


-

Resiko
infeksi

Perdarahan
hematoma

Nyeri

Perubahan autoregulasi
Oedema serebral

Iskemia
Hipoksia

Perubahan sirkulasi CSS

Gangg. Fungsi otak

Perubahan
jaringan

perfusi

kejang

Gangg. Neurologis fokal-

Peningkatan TIK

Mual-muntah
Papilodema

Pandangan kabur
Girus medialis lobus
temporalis tergeser

Penurunan fungsi
pendengaran

Bersihan
jln nafas
Obstruksi
jln. Nafas
Dispnea
Henti
nafas
Perubaha
n. Pola nafas

Defisit neurologis

Nyeri kepala
Resiko kurangnya
volume cairan

Herniasi unkus

Tonsil cerebrum tergeser


Messenfalon tertekan

Gangg.
Perfusi
jaringan
serebral

Resiko injuri
immobilitasi
cemas

Gangg. Persepsi sensori

Resiko tidak
efektif jln. Nafas

Kompresi medula oblongata


Resiko gangg. Integritas
kulilt
Kurangnya
perawatan diri

3) 2.1Tanda
Dan Gejala
Bagan
Pathway
Cedera Kepala Sedang, modifikasi teori Pearce,
1. Pola pernafasan
Evelyn,C, 2002
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan
hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola
pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.

19

2. Kerusakan mobilitas fisik


Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area
motorik otak.
3. Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau
hipotalamus dan peningkatan TIK
4. Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau
menurun sampai hilang sama sekali
5. Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer
serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk
menggunakan bahasa. ( Maryadi, H, 2008)
4)

Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
1. CT-Scan untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler dan perubahan jaringan otak. tidak
tampak fraktur pada calvaria (neurocranium intact)
2. MRI digunakan sama dengan CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
3. Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
akibat oedema.

20

4. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya


gelombang patologis.
5. Sinar X untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
fraktur.
6. BAER menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7. PET untuk menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada
otak.
8. Fungsi lumbal dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarakhnoid.
9. GDA untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
10. Kadar elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
11. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi pengaruh obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat terapi, yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
5)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala sedang menurut
Maryadi, H, 2008 terdiri dari:
a.
Air dan Breathing
1. Perhatikan adanya apnoe
2. Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal.
Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai

21

diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat


terhadap FiO2.
3. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi
asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita
dengan

pupil

yang

telah

berdilatasi.

PCO2

harus

dipertahankan antara 25-35 mmhg.


b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab
utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan
petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun
tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang
dilakukan

adalah

menormalkan

tekanan

darah.

Lakukan

pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang


sementara penyebab hipotensi dicari.
c.

Disability (pemeriksaan neurologis)


Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang
tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata
menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal

2.2

Konsep Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

22

kesehatan klien. Pengkajian pada klien dengan gangguan system


persyarafan pada kasus cedera kepala sedang merupakan salah satu
aspek penting dalam proses keperawatan. Hal ini penting untuk
merencanakan tindakan selanjutnya. Perawat mengumpulkan data
dasar tentang informasi status terkini dari klien melalui pengkajian
sistem persyarafan sebagai prioritas pengkajian ( Nursalam, 2003)
Adapun data yang dikumpulkan pada klien cedera kepala
sedang adalah :
1.
Biodata klien dan Penanggung jawab
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan ,tanggal atau jam
masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua,
alamat, umur, pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama
dan suku bangsa.
a. Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan paling berat oleh pasien sehingga
dibawa ke rumah sakit. Pada klien CKS keluhan utamanya
adalah trauma kepala dengan penurunan kesadaran
b. Riwayat penyakit sekarang
Kapan mulai ada keluhan, sudah berapa lama, bagaimana
kejadiannya dan apa saja upaya untuk mengatasi penyakitnya.
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bingung, muntah,
dispnea/ takipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah,
paralise, luka di kepala, wajah tidak simetris, akumulasi
sputum pada saluran nafas.
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kesadaran lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran,

23

wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise,


akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya likuor dari
hidung dan telinga serta kejang. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi latergi, tidak responsiv dan koma.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obatan
anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif dan
konsumsi alcohol yang berlebihan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada

yang

menderita

gangguan jantung,

hipertensi, diabetes melitus, keluarga meninggal tiba-tiba tanpa


diketahui sebabnya.
e. Riwayat kesehatan lingkungan
Bagaimana kedaan lingkungan tempat tinggal klien,
kebersihan lingkungan tidak ada hubungannya dengan kejadian
kasus cedera kepala sedang.
b.2. Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual
Dalam pengkajian kebiasaan sehari-hari/kebutuhan dasar,
penulis menggunakan konsep dasar menurut Dongoes yaitu ;
a. Kebutuhan respirasi
Pengumpulan data tentang pernafasan klien, apakah mengalami
gangguan pernafasan atau tidak.

24

Pada klien CKS ditemukan adanya perubahan pola napas,


berbunyi, stridor, tersedak ronchi, weezing.
b. Kebutuhan nutrisi
Pada pola nutrisi yang ditanyakan adalah bagaimana nafsu
makan klien, jumlah makan atau minum serta cairan yang
masuk,ada tidaknya mual dan muntah dan kerusakan pada saat
menelan.
Pada klien CKS ditemukan ada mual, muntah dan mengalami
perubahan selera.
c. Kebutuhan eliminasi
Pada pola eliminasi yang perlu ditanyakan adalah jumlah
kebiaasan defekasi perhari, ada atau tidaknya konstipasi, diare,
kebiasaan berkemih, ada tidaknya disuria, hematuri, retensi dan
inkontenensia.
Pada klien CKS ditemukan adanya gangguan fungsi eliminasi
d. Kebutuhan aktivitas dan istirahat tidur
Pada pola ini yang perlu ditanyakan adalah jumlah jam tidur
pada malam hari, pagi dan siang hari. Apakah klien merasa
tenang sebelum tidur, masalah selama tidur, adanya insomnia
atau mimpi buruk.
Pada klien CKS ditemukan adanya klien merasa lemah, kaku,
hilang ingatan, adanya trauma ortopedi, kehilangan tonus otot
dan otot spastic.
e. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Biasanya ditanyakan baimana kenyamanan klien, pengkajian
nyeri menggunakan PQRST. Dimana, p (provokatif) yaitu
penyebab nyeri yang biasanya disebabkan oleh meningkatnya
tekanan intra luminal sehingga suplai darah terganggu dan
mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan.Q (kualitas) yaitu

25

apakah kualitas nyeri ringan, sedang, berat, apakah rasa nyeri


seperti ditusuk-tusuk benda tajam atau trauma tumpul. R
(region) yaitu daerah terjadinya/ perjalanan nyeri. S (skala)
bagaimana skala nyerinya bisa dengan menggunakan skala
nyeri (0-10) atau (0-5). T ( time) waktu klien merasakan nyeri,
apakah terus menerus atau klien merasakan nyeri pada waktu
pagi hari, siang, sore atau malam.
Pada klien CKS ditemukan kasus klien mengeluh sakit kepala
dengan lokasi dan intensitas yang berbeda.
f. Sirkulasi
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia, disritmia).
g. Integritas ego
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi, dan infulsif.
h. Pengaturan suhu tubuh
Harus mengetahui fisiologis panas dan bisa mendorong kearah
tercapainya keadaan panas maupun dingin dengan mengubah
temperature, kelembaban atau pergerakan udara atau dengan
memotivasi kilen untuk meningkatkan atau mengurangi
aktivitasnya.
i. Neurosensori

26

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar


kejadian,

vertigo,

pendengaran,

sinkope/pusing,

perubahan

dalam

tinitus,

kehilangan

penglihatan,

seperti

ketajamnnya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang


fetogia. Gangguan pengecapan dan juga penciuman
j. Kebutuhan personal hygiene
Pada pengumpulan data ini yang perlu ditanyakan adalah
berapa kali klien mandi, menyikat gigi,keramas dan memotong
kuku, perlu juga ditanyakan penggunaan sabun mandi, pasta
gigi, dan sampo. Namun hal tersebut tergantung keadaan klien
dan gaya hidup klien, tetapi pada umumnya kebutuhan personal
hygiene dapat terpenuhi meskipun hanya dengan bantuan
keluarga.
k. Kebutuhan spiritual
Bagaimana keyakinan klien pada agama yang dianut, apakah
kebutuhan spiritualnya terpenuhi. Pada klien CKS kebutuhan
spiritual terganggu karna klien dalam keadaan lemah sehingga
tidak mampu untuk melakukan ibadah seperti biasa.
l. Kebutuhan berkomunikasi dengan orang lain
Pada pengumpulan data ini yang perlu ditanyakan adalah
bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan orang lain dan
bagaimana cara klien berkomunikasi dan bersosialisasi dengan
orang lain.
Pada klien CKS didapatkan klien bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang.
c. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan rambut

27

1) Inspeksi : Untuk mengetahui warna, tekstur dan distribusi


rambut, apakah bentuk kepala simetris atau tidak, apakah
ada ketombean, kutu atau tidak, apakah rambut mudah
rontok atau tidak. Pada klien dengan CKS ditemukan
adanya laserasi pada kepala.
2) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak pembengkakan
pada kepala , ada atau tidak ada nyeri tekan. Pada klien
dengan CKS ditemukan adanya nyeri kepala karena
terputusnya kontinuitas jaringan.
b. Wajah
1) Inspeksi : Untuk mengetahui bentuk wajah klien simetris
atau tidak, gerakan otot wajah dan ekspresi wajah klien
pada saat melakukan pengkajian.
2) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak odema pada
wajah
c. Mata
Inspeksi : Untuk mengetahui apakah ada sianosis atau tidak,
terdapat konjungtivitis atau tidak, kelopak mata bersih atau
tidak
d. Hidung
Inspeksi : Untuk mengetahui bentuk hidung apakah simetris
atau tidak, apakah terdapat skret atau polipnasi atau tidak dan
untuk mengetahui sejauh mana ketajaman penciuman klien.
e. Telinga
Inspeksi ; untuk mengetahui bentuk telinga simetris atau
tidak,

apakah

terdapat

serumen

atau

pendengaran kedua telinga baik atau tidak.


f. Mulut

tidak,

apakah

28

Inspeksi : Untuk mengetahui apakah ada kelainan pada mulut


dan gigi klien, bibir kering atau lembab, ada tidaknya caries
gigi.
g. Leher
1) Inspeksi ; Untuk mengetahui bentuk leher, apakah ada atau
tidak pembesaran kelenjar tiroid maupun vena jugularis
2) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak pembesaran
kelenjar tiroid maupun vena jugularis.
h. Dada
1) Inspeksi ; Untuk mengetahui bentuk dada simetris atau
tidak, apakah menggunakan oto bantu pernafasan atau
tidak.
2) Palpasi : Untuk mengetahui apakah ada atau tidak
pembengkakan di daerah dada, kelengkapan tulang iga,
apakah ada atau tidak nyeri tekan pada dinding dada,
apakah ada tarikan dinding dada.
3) Auskultasi ; Untuk mengetahui suara jantung dan nafas
klien( suara nafas tambahan) apakah ada kelainan atau
tidak.
4) Perkusi ; untuk mengetahui bunyi ketuk pada daerah dada
klien, apakah ada bunyi atau tidak.
i. Abdomen
1) Inspeksi ; Untuk melihat apakah turgor kulit klien baik atau
tidak
2) Auskultasi ; Untuk mendengar apakah ada bising usus atau
tidak, apakah ada kelainan pada daerah abdomen, apakah
ada nyeri tekan.
3) Perkusi ; Untuk mengetahui apakah ada bunyi timpani pada
abdomen.

29

4) Palpasi ; Untuk mengetahui apakah terdapat nyeri tekan


abdomen atau kelainan lainnya pada saat dilakukan palpasi.
j. Ekstremitas bawah dan atas
1) Inspeksi; untuk melihat apakah ada odema atau tidak,
kekuatan otot dan capillary refill time dan apakah terdapat
infuse atau tidak.
2) Perkusi ; Untuk mengetahui bagaimana refleks patella.
k. Integument
1) Inspeksi; untuk mengetahui apakah kulit bersih atau tidak,
apakah ada luka ataupun penyakit kulit lainnya.
2) Palpasi : untuk mengetahui turgor kulit klien baik atau
tidak.
4. Pemeriksaan Penujang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi
luasnya

lesi,

perdarahan,

determinan

ventrikuler,

dan

perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya


infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis

30

e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),


perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
i. ABGs:

Mendeteksi

keberadaan

ventilasi

atau

masalah

pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan


intracranial
j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
2.2.2

Diagnosa keperawatan
1. Analisa Data
Analisa data adalah pengumpulan data selama pengkajian
didapat dari berbagai sumber di validasi dan diurut ke dalam
kelompok yang membentuk pola ( Widyati, 2006 ).

31

Tabel 2.1 Analisa Data


No
1

Symptom
Data subyektif:
a. Klien mengatakan
sesak dan susah
bernafas
b. Klien
nampak
pucat
Data obyektif:
a. Tampak
tarikan
dinding dada
b. Klien lemah dan
berkeringat
c. Respirasi 20x/ mnt
D/S :

Klien mengatakan
badannya
terasa
lemah dan tidak ada
tenaga
- Klien mengatakan
haus
- Klien mual dan
muntah
DO:
- Tugor kulit jelek
- Kehilangan
berat
badan
- Penurunan
urine
output
- Hb : 10 gr/ dl
- Tanda-Tanda vital:
TD:
90/70 mmHg
N :
82x/ mnt
S :
32,50c
RR: 18x/ mnt
DS :
- Klien mengatakan
terdapat luka pada
bagian tubuhnya

Etiologi
Perubahan
autoregulasi
Kejang

Problem
Bersihan
jalan nafas
tidak
epektif

Onstruksi jalan nafas

Perubahan sirkulasi
Peningkatan TIK
Mual muntah

Trauma kepala
Esktra kranial

Resiko
kurangnya
volume
cairan

Resiko
infeksi

32

DO :
- Luka tampak basah
- Suhu
tubuh
meningkat
- Perubahan
status
mental
- Tampak kemerahan
disekitar luka
DS :
- Klien mengatakan
merasakan kurang
nyaman
dengan
adanya nyeri
DO :
- Klien
nampak
gelisah
- Perubahan
nafsu
makan
- Perilaku
distraksi
(misalnya
modarmandir,
aktivitas
berulang).
- Gangguan tidur
DS :
- Klien mengatakan
lemah dan tidak
mampu melakukan
aktivitas sendiri
DO :
- Klien nampak lemah
- Klien
hanya
berbaring ditempat
tidur
- Aktivitas
dibantu
oleh keluarga

Terputusnya
kontinuitas jaringan
kulit, otot dan
vaskuler

Trauma kepala

Nyeri akut

tulang kranial
Terputusnya
kontinuitas jaringan
tulang
Nyeri

Trauma kepala
girus medialis
lobus tertekan

Gangguan
mobilitas
fisik

messenflon tertekan
immobilisasi

2. Rumusan diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual
atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan asuhan keperawatan (Nursalam, 2008)

33

Diagnosa yang muncul pada klien dengan diagnosa medis


cedera kepala sedang adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas s/d penurunan kesadaran.
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubngan dengan
penurunan anti diuretic hormone (ADH) akibat terfeksasinya
hipotalamus
3. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan masuknya melalui
jaringan atau kontinuitas yang rusak, kekurangan nutrisi
4. Gangguan rasa nyaman nyeri pada pasien yang tingkat kesadran
sudah pulih, GCS = 15) nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan
karena kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan
tekanan intracranial.(Tuti Pahria, 2006)
5. Gangguan mobilisasi fisik sehubungan dengan imobilisasi, aturan
terapi tirah baring, menurunya kemampuan kekuatan motorik
2.2.3

Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan adalah desain spesifik intervensi unuk
membantu klien dalam mencapai kriteria hasil (Nursalam, 2001).
Dalam penulisan rencana harus memenuhi kriteria SMART.
S

: Spesifik

: Measurable ( dapat diukur )

: Achievable ( dapat dicapai )

: Reality ( Nyata )

: Time ( waktu ).

36

No
1

Tgl/jam

Tabel 2.2Rencana Tindakan Keperawatan


Dx. Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil
Pola nafas tidak Setelah
dilakukan
epektif
tindakan keperawatan
selama
3x24
jam
diharapkan pernapasan
efektif dengan kriteria
hasil :
a.
Pola nafas, dalam batas
normal
dengan
frekuensi
14-20x/
mnt untuk dewasa
dan iramanya teratur
b.
Bunyi nafas normal,
tidak ada stridor,
ronchi, dullness dan
wheezing
c.
Tidak ada pernafasan
cuping hidung
d.
Pergerakan
dada
simetris/ tidak ada
retraksi

Intervensi

Rasionalisasi
1.
1. Perubahan yang terjadi dan hasil
Kaji kecepatan, kedalaman,
pengkajian
berguna
dalam
frekuensi, irama dan
menunjukkan adanya komplikasi
bunyi nafas
pulmonal dan luasnyas bagian
otak yang terkena
2. Dengan menempatkan pasien
2.
pada posisi semi fowler maka
Atur posisi pasien dengan
akan mengurangi penekanan isi
posisi semi fowler
rongga
perut
terhadap
diaprahgma, sehingga ekspansi
paru tidak terganggu. Kepala
diitnggikan dengan tempat tidur
(tanpa bantal) untuk mencegah
hiperekstensi/ fleksi
3. Dengan dilakukan penghisapan
3.
lender maka jalan napas akan
Lakukan
penghisapan
bersih dan akumulasi dari secret
lender dengan hati-hati
bisa dicegah sehingga pernapasan
selama 10-15 detik.
akan tetap lancer dan efektif.
Catat sifat, warna dan
Penghisapan dilakukan hati-hati
bau secret. Lakukan bila
untuk
mencegah
terjadinya
tidak ada retak pada
infeksi saluran napas dan reflex
tulang
basal
dan
vagal
robekan dural

37

No
2

Tgl/jam

Dx. keperawatan Tujuan dan kriteria hasil


Resiko kurangnya Setelah
dilakukan
volume cairan
tindakan keperawatan
selama
3x24
jam
diharapkan
Cairan
elektroli
tubuh
seimbang
dengan
kriteria hasil :
a.
Asupan
haluaran seimbang
yaitu asupan cairan
selama 24 jam 1-2
cc/ kg BB/ jam,
b.
Turgor
kulit baik
c.
Nilai
leketrolit
tubuh
normal, natrium 135145 mEq/l, kalsium
9-11 mg%, kalium
3,5-4,5 mEq/l, Fospat
3-4 mg% dan klorida
46-107 mEq/l

d.

e.

f.

g.
h.

Intervensi
Rasionalisasi
Monitor
2.2.3.1.1
Monitor asupan
asupan haluaran setiap 8
haluaran
untuk
mendeteksi
jam sekali dan timbang
timbulnya tanda-tanda berlebihan
BB setiap hari bila dapat
atau kekurangan cairan yang
dilakukan
dapat dibuktikan pula dengan
penimbangan berat badan (BB)
Berikan
2.2.3.1.2
Berguna untuk
cairan setiap hari tidak
menghindari peningkatan cairan
boleh lebih dari 2000 cc
di ruang ekstraseluler yang dapat
menambah oedema otak.
Pasang
2.2.3.1.3
Dapat
dower
kateter
dan
membantu
kelancaran
urin
monitor warna urin,
sehingga tidak terjadi urin statis.
baud an air keluaran
Monitor kualitas dan kuantitas
urin
urin untuk mencegah komplikasi.
Kolaborasi 2.2.3.1.4
Lusix
dapat
dengan tim medis dalam
membantu meningkatkan eksresi
pemberian lasix
urin
Kolaborasi
dengan tim medis analis 2.2.3.1.5
Pada
trauma
untuk
pemeriksaan
kepala dengan pemakaian monitol
kadar elektrolit tubuh
dan obat-obat diuretic dapat
mengalami
keseimbangan
elektrolit,
hiponatremia
atau

38

hipokalmia. Untuk itu perlu


pemeriksaan elektrolit setiap hari.
No
3

Tgl/jam

Dx. keperawatan
Resiko infeksi

Tujuan dan kriteria hasil


Setelah
dilakukan
tindakan keperawatan
selama
3x24
jam
diharapkan tidak terjadi
Tidak terjadi infeksi
baru dengan kriteria
hasil:
a. Tidak
terdapatnya
tanda-tanda infeksi
rubor, dolor, kolor,
tumor
dan
fungsionea,
b. Tidak ada pus dan
pada daerah kulit
yang rusak
c. Tidak ada infeksi
dari kateter dan
infuse set, tidak
terjadi abses otak/
meningitis

1.

2.
3.
4.

Intervensi
Lakukan cuci tangan
sebelum dan sesudah
melakukan
perawatan
secara
aseptic
dan
antiseptic
Monitor suhu tubuh dan
penurunan kesadaran
Kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian
obat-obatan anti biotic
Kolaborasi dengan tim
analisis
untuk
pemeriksaan,
kadar
leukosit, liquor dari
hidung, telinga dan urin
serta kultur resistensi

5. Bila ada perdarahan


melalui hidung dan
telinga atau liquor yan
keluar dari hidung dan
telinga, maka tutup

Rasionalisasi
1.
Untuk
mencegah
infeksi nosokomial

2.

Untuk
mendeteksi
tanda-tanda sepsis
3.
Antibiotik
berguna
untuk
membunuh
atau
memberantas
penyakit
yang
masuk ke dalam tubuh sehingga
infeksi dapat dicegah
4.
Kadar leukosit darah
dan urin adalah indicator dalam
menentukan
adanya
infeksi.
Luquor dari mulut dan hidung
diperiksa untuk menentukan asal
cairan dan kultur resistensi untuk
menentukan jenis kuman dan
terapi yang akan digunakan.
5.
Bila ada kuman yang
masuk melalui hidung dan telinga
akan menyebar sampai cairan

39

dengan
kasa
steril,
jangan
memasukkan
alat-alat tidak steril
No
4

Tgl/jam

Dx. keperawatan
Nyeri akut

Tujuan dan kriteria hasil


Setelah
dilakukan
tindakan keperawatan
selama
3x24
jam
diharapkan Kebutuhan
rasa nyaman terpenuhi
dengan kriteria hasil:
a. Pasin tenang, tidak
gelisah,
b. Nyeri kepala, pusing
dan vertigo hilang
c. Pasien dapat istirahat
dengan tenang.

serebrospinal
menyebabkan
meningitis

sehingga
abses

dapat
dan

Intervensi
Rasionalisasi
1.
Kaji
1.
Untuk memudahkan
mengenai
lokasi,
membuat intervensi
intensitas, penyebaran,
tingkat kegawtan dan 2.
Latihan napas dalam
keluhan-keluhan pasien
dan relaksasi otot-otot dapat
2.
Ajarkan
mengurangi ketegangan saraf
latihan teknik relaksasi
sehingga pasien merasa lebih
seperti latihan napas
rileks dan dapat mengurangi rasa
dalam dan relaksasi ototnyeri kepala, pusing dan vertigo.
otot.
Latihan napas dalam dapat
membantu pemasukan oksigen
lebih banyak, terutama untuk
oksigenasi otak
3.
Posisi kepala lebih
atas
dari
kaki
kanan,
3.
Buat posisi
meningkatkan dan melancarkan
kepala lebih tinggi
aliran balik pembuluh darah vena
dari kepala sehingga dapat
mengurangi oedema dan TIK
4.
Respon yang tidak
menyenangkan
menambah
4.
Kurangi
ketegangan saraf dan message

40

stimulus yang tidak


menyenangkan dari luar
dan berikan tindakan
yang
menyenangkan
pasien seperti message
daerah punggung, kaku,
dll.
No
5

Tgl/jam

Dx. keperawatan
Immobilitas fisik

daerah punggung, kaki, dll akan


mengalihkan
rangsangan
terhadap nyeri, pusing dan
vertigo

Tujuan dan kriteria hasil


Intervensi
Rasionalisasi
Setelah
dilakukan 1. Bantu
pasien 1. Mempertahankan fungsi sendi
tindakan keperawatan
melakukan
gerakandan mencegah penurunan tonus
selama
3x24
jam
gerakan sendi secara
dan kekuatan otot dan mencegah
diharapkan klien dapat
positif bila kesadaran
kontraktus.
melakukan
aktivitas
menurun dan secara
sendiri dengan criteria
aktip
bila
pasien
hasil:
kooperatif.
a. Klien
dapat 2. Observasi kemampuan 2. Untuk melihat penurunan atau
melakukan aktifitas
gerak
motorik,
peningkatan
fungsi
sensori
sendiri
keseimbangan
motoris (fungsi neurologis)
b. Dalam
melakukan
koordinasi gerak dan
aktivitas klien tidak
tonus otot
dibantu
keluarga/ 3. Lakukan
massage, 3. Meningkatkan
sirkulasi,
perawat
perawatan kulit, dan
elastisitas kulit, dan integritas
mempertahankan alatkulit.
alat tenun bersih dan
kering

41

41

2.2.4

Pelaksanaan
Pelaksanaan

merupakan

tahap

keempat

dari

proses

keperawatan dimana rencana keperawatan yang telah ditentukan


dilaksanakan, membagi implementasi menjadi tiga fase yaitu fase
persiapan, fase implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fase
terminasi. Pada setiap implementasi yang dilakukan perawat harus
memantau dan mencatat penyedia perawatan kesehatan lainnya.
Implementasi keperawatan pada klien dengan gangguan pada
system persyarafan secara teoritis dilaksanakan sesuai dengan
rencana keperawatan yang telah ditetapkan untuk masing-masing
2.2.5

diagnose keperawatan yang mungkin muncul. (Dongoes, ME, 2000)


Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, dimana
proses evaluasi ini dilakukan terus menerus, diperlukan untuk
menentukan seberapa baik rencana keperawatan bekerja. Evaluasi
merupakan proses yang interaktif dan kontinyu, karena setiap
tindakan keperawatanyang dilakukan, respon klien dicatat dan di
evaluasidalam

hubungannya

dengan

hasil

yang

diharapkan.

Kemudian, berdasarkan pada respon klien tersebut dilakukan revisi


intervensi keperawatan dan atau refisi hasil, mungkin diperlukan.
Dalam mengevaluasi, perawat harus memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk memahami respon terhadap intervensi
keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang
tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Tahap evaluasi ini terdiri
dari dua kegiatan evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses

42
40

dilakukan selama proses keperawatan berlangsung atau menilai


respon pasien, sedangkan evaluasi hasil dilakukan atas target tujuan
yang diharapkan ( Hidayat, A.A, 2006). Evaluasi di klasifikasikan
sebagai berikut
1. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang diberikan pada saat
intervensi dengan respons segera
2. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulassi dari hasil observasi
dan analisis status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan
yang direncanakan pada tahap perencanaan.
Evaluasi terdiri dari:
S (Subyektif)

Respon subyektif klien terhadap tindakan


keperawatan yang telah dilakukan.

O (Obyektif)

Respon obyektif klien terhadap terhadap


tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

A (analisa)

Analisa ulang atas data subyektif dan


obyektif dan obyektif untuk menyimpulkan
43

apakah masalah masih tetap atau muncul


masalah baru atau ada data.
P (Plan of care)

Rencana tindakan keperawatan untuk


mengatasi diagnosa masalah kesehatan

2.2.6

Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah bukti pencatatan dan
pelaporan yang dimiliki perawat dalam melakukan catatan perawatan

41

yang berguna untuk kepentingan klien, perawat, dan tim kesehatan


dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan dasar komunikasi
yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung jawab
perawat. (Hidayat, A.A, 2002).

Вам также может понравиться