Вы находитесь на странице: 1из 7

MENUJU JAMINAN KEAMANAN PANGAN PRODUK PERIKANAN DENGAN

TRACEABILITY*
Mengapa Traceability
Keamanan pangan merupakan isu sangat penting dalam pemasaran produk perikanan di
tingkat internasional. Isu ini kembali mencuat ketika China dengan secara tiba-tiba
melakukan penolakan produk perikanan Indonesia dengan alasan keamanan pangan.
Terlepas dari penyebab sebenarnya yang diduga adalah merupakan retaliasi atau tindakan
balasan, tindakan tersebut telah menyebabkan isu keamanan pangan produk perikanan
Indonesia kembali menjadi sorotan setelah kasus penolakan udang Indonesia oleh Jepang
karena kandungan antibiotika yang melebihi batas agak mereda.
Di dalam negeri insiden keracunan yang disebabkan oleh konsumsi produk perikanan
sering terjadi meskipun tidak ada catatan yang akurat tentang ini, baik jumlah maupun
jenisnya. Yang paling sering kita dengar adalah keracunan yang disebabkan oleh histamin
yang terdapat pada ikan jenis scromboid (tuna, tenggiri, tongkol dll) yang sudah tidak
segar lagi. Catatan medis tentang ini sangat terbatas mengingat gejala keracunannya
dapat hilang setelah sementara waktu atau sesudah meminum antihistamin seperti incidal
atau celestamine, dan sangat jarang dikonsultasikan ke dokter, kecuali kasusnya
mengancam jiwa.
Keamanan pangan berdasarkan peraturan merupakan tanggung jawab pelaku usaha yang
terlibat dalam rantai produksinya. Untuk perikanan, rantai produksi tersebut bisa sangat
panjang dan melibatkan banyak pihak. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal dapat
menimbulkan potensi gangguan keamanan pangan, namun gangguan tersebut terjadi jauh
di hilir ketika ikan tersebut dikonsumsi serta telah mengalami sejumlah penanganan dan
pengolahan sepanjang rantai produksi dan distribusi yang melibatkan banyak pihak.
Karena itu, manakala terjadi kasus keracunan akan dibutuhkan upaya ekstra untuk
melacak penyebabnya. Belum lagi kalau potensi gangguan keamanan pangan tersebut
disebabkan oleh kandungan logam berat pada ikan peruaya jauh (highly migratory fish)
yang disebabkan oleh perairan yang terkontaminasi.
Untuk produk ikan budidaya, potensi gangguan keamanan pangan dapat terjadi selama
budidaya, pada perbenihan (benih dan induk), pakan, obat atau perairan. Meskipun lebih
mudah teridentifikasi lokasinya, namun pelacakan penyebabnya tetap saja membutuhkan
upaya ekstra. Salah satu instrumen yang dapat dipilih untuk memudahkan upaya
pelacakan ini adalah penerapan traceability.
Traceability dalam konsep

Traceability biasa diterjemahkan dengan ketertelusuran. Sejumlah definisi telah dikenal,


namun yang terkait dengan pangan, setidaknya ada dua yang relevan, yaitu dari Codex
Alimentarius, dan dari Uni Eropa. Definisi oleh Codex Alimentarius dibuat cukup
sederhana, yaitu kemampuan untuk mengikuti perjalanan pangan, di setiap tahapan
produksi, proses dan distribusi.
Sedangkan Uni Eropa mendefinisikannya secara lebih komprehensif dan mencakup
semua produk atau bahan yang terkait dengan pangan, yaitu: kemampuan untuk mencari
dan mengikuti jejak/riwayat pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan, atau
substansi yang akan atau mungkin dicampurkan ke dalam pangan dan pakan di setiap
tahapan produksi, pengolahan dan distribusi.
Ketertelusuran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu ketertelusuran internal
dan ketertelusuran eksternal. Secara internal, hal ini mencakup ketertelusuran bahan
baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit
pengolahan, dan hanya melibatkan satu pihak. Sedangkan secara eksternal, ketertelusuran
mencakup perpindahan produk sepanjang rantai nilai (misalnya dari kolam/tambak ke
konsumen), dan dapat melibatkan lebih dari satu pihak.
Traceability dalam praktik

Agar traceability dapat diterapkan, maka semua pihak yang terlibat dalam mata rantai
nilai dan produksi harus melakukan pencatatan tentang hal-hal yang telah ditentukan
terhadap input produksi, atau produk yang dikelolanya. Di sini, pelaku diharuskan
mencatat dan memelihara catatan setidaknya tentang (1) Nama, dan alamat pemasok serta
jenis maupun kondisi bahan atau produk yang diperoleh darinya, (2) Nama, dan alamat
pembeli serta jenis maupun kondisi bahan atau produk yang dipasok kepadanya; dan (3)
tanggal setiap penerimaan atau penghantaran bahan atau produk. Di dalam sistem
traceability hal ini biasa disebut sebagai pendekatan selangkah ke depan selangkah ke
belakang (one step backward one step forward approach).
Catatan ini manakala diperlukan, harus dapat diakses oleh Otoritas Kompeten. Dengan
terlaksananya instrumen ini, maka Otoritas Kompeten akan dengan mudah mengambil
langkah-langkah kebijakan yang diperlukan untuk menjamin kesehatan dan keamanan
produk perikanan. Otoritas Kompeten wajib menjaga kerahasiaan catatan yang
diperolehnya, dan hanya menggunakannya dalam kerangka jaminan keamanan dan
kesehatan produk perikanan. Secara ringkas, prinsip traceability yang harus dianut di
dalam pencatatan ini adalah akurat, terdokumentasi, terpelihara, Interkoneksi dan terbuka
bagi Otoritas Kompeten (ATTIT-OK).

Dari mana mulai dan ke mana?


Melalui Regulasi no 178 tahun 2002, sejak 1 Januari 2005 UE mewajibkan semua pelaku
usaha bidang pangan di setiap negara anggota untuk melakukan pencatatan seperti
disebutkan di atas. Sampai saat ini peraturan itu hanya diberlakukan bagi secara internal,
dan tidak menjangkau negara di luar Uni Eropa. Meskipun demikian, adanya Rapid Alert
System for Food and Feed (RASFF) dan adanya satu otoritas kompeten yang diakui oleh
UE, maka sejatinya setiap negara yang melakukan ekspor ke UE harus menerapkan
sistem ketertelusuran di dalam negeri.
Untuk produk perikanan, instrumen traceability tersebar dalam serpihan-serpihan di
berbagai Peraturan atau Keputusan Menteri. Produk hukum terakhir yang menyinggung
tracebility adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007
tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pasal 3
huruf c peraturan ini menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran bagi para pelaku
usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan.
Agar penerapan sistem traceability lebih integratif serta komprehenseif, saat ini sedang
disusun Peraturan Menteri tentang itu. Peraturan ini bertujuan salah satunya adalah untuk
menjamin keamanan produk perikanan, serta menyediakan langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk itu. Sementara sedang disusun, materi traceability telah mulai
disosialisasikan ke seluruh pelaku usaha perikanan. Saat ini sosialisasi telah berjalan bagi
pelaku usaha perikanan budidaya dari hulu sampai hilir, bekerjasama dengan asosiasi,
antara lain Shrimp Club Indonesia (SCI), Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) dan
Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI).
Shrimp Club Indonesia merupakan salah satu asosiasi yang paling aktif dalam sosialisasi
ini, bahkan telah secara pro-aktif melakukan upaya pendahuluan untuk anggotanya
termasuk pembuatan kartu cek (Chek Card) produksi, dan pelatihan-pelatihan.
Diharapkan semua asosiasi dapat melakukan hal yang sama. Sementara ini sambil
menunggu terbitnya Peraturan Menteri dimaksud, maka semua pelaku usaha hendaknya
mulai melakukan pencatatan terhadap hal-hal di atas secara tertib. Kesemuanya ini hanya
untuk satu tujuan yaitu menjamin keamanan produk perikanan Indonesia sehingga dapat
berjaya kembali di pasar internasional (Achmad Poernomo).

B
Pernahkah kamu makan potongan ikan sarden? Mendatangkan potongan ikan tuna yang
diolah menjadi sarden itu ternyata tak semudah dan selezat menikmatinya. Beberapa
negara, khususnya negara maju, menerapkan aturan yang ketat dalam soal ekspor impor
pangan. Tak hanya uji bakteri, kini, ikan, misalnya, harus diketahui secara benar dari
perairan mana dan dalam kapan ikan tersebut ditangkap. Salah-salah, ikan tersebut tak
lolos dalam uji standar pangan yang mutakhir yang menghendaki traceability atau rekam
jejak mengenai asal muasal ikan tersebut. Mengapa jual beli ikan harus mengatur
keamanan pangan ? Di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang merupakan
regulator perdagangan internasional, terdapat aturan mengenai Sanitory and
Phitosanitaryatau sering disebut SPS. Selain SPS, terdapat juga kesepakatan mengenai
Technical Barrier to Trade(TBT) yang hampir mirip dengan SPS. Jika SPS mengatur
lebih banyak mengenai keselamatan manusia dalam pangan, TBT lebih mengatur semua
hal, termasuk di luar urusan pangan, seperti misalnya tekstil atau pun perkapalan.
Rupanya, regulasi keamanan pangan global ini tak kalah kompleksnya dengan
sekumpulan peraturan dalam rejim perdagangan internasional itu sendiri. Hal ini diakui
oleh FG Winarno, satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden
Codex Alimentarius, badan standarisasi keamanan pangan dunia, yang menyatakan
bahwa peraturan mengenai standar keamanan pangan sangat rumit dan berbeda di tiap
negara. Pengaturan di Codex inilah yang menjadi standar acuan terkait keamanan pangan
di WTO, khususnya mengenai SPS. Padahal, dalam sejarahnya, Codex, sebagai sebuah
badan penyusun standar, juga dipenuhi pertanyaan mengenai netralitas atau independensi
standarnya. Kasus diloloskannya standar penyuntikan hormon Bovine Simatropin (bST),
yang merupakan salah satu penyebab sapi gila, oleh Codex dan juga pengujian bakteri E
sakazakii dalam susu formula ke dalam suhu dingin (yang memungkinkan bakteri
berkembang biak), adalah beberapa kontroversi yang ada di dalam penentuan standar
Codex. Yang jelas, suka tidak suka, standar Codex ini yang menjadi acuan industri
pangan global untuk berbagai instrumen proteksi kesehatan konsumen dan keamanan
pangan hari ini. Traceability dalam industri perikanan adalah salah satu standar SPS yang
secara resmi dinotifikasi ke Codex yang diterapkan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat
sejak 2005. Uni Eropa menambahkan aturan mengenai traceability, di antara aturanaturan keamanan pangan lainnya, melalui peraturan EC Regulation No. 0178/2002
artikel 18, 19,20 mengenai General Principle of Food Law dan juga EC Regulation No.
2065/2001 as regards informing consumers about fisheries and aquaculture products. Di
AS, peraturan yang serupa tertulis dalam PL 107-188, Title III, Sections 305,306,307.

Regulasi ini mempunyai dampak tidak hanya pada keamanan konsumen di Eropa dan AS,
namun juga akses pasar produk perikanan negara berkembang, termasuk Indonesia, ke
Eropa dan AS. Apa makna traceability ? Traceability berarti dapat ditelusuri. Sebuah
produk perikanan dinyatakan baik jika produk tersebut dapat dilacak asal usul-usulnya
sejak mulai penangkapan di laut (atau pemanenan di dalam budidaya) sampai ke tangan
konsumen. Ada beberapa rantai distribusi yang mempunyai konsekuensi dengan
pemberlakuan aturan ini. Pertama, penangkap ikan di laut. Kedua,port landing, atau
penjualan pertama di pelabuhan. Ketiga, pengolah utama. Keempat, distributor. Dan
kelima adalah retailer. Dari mulai penangkapan ikan di laut sampai retailer, ikan harus
dapat dilacak benar berasal dari mana dan apakah awalnya dijual utuh atau sudah
dipotong-potong. Ini berdampak pada sistem pencatatan yang harus rapih di setiap rantai
distribusi. Misalnya, untuk memenuhi peraturan ini, pemilik kapal harus mempunyai
catatan mengenai :
prior notification, pre-landing declaration, pre-transhipment
declaration, transhipment declaration, daftar pengkodean, dan log book. Selanjutnya,
ketika kapal mendarat di pelabuhan Eropa, kapal harus mempunyai dokumenlanding
declaration. Ketika produk perikanan itu dipindahkan dengan jasa transportasi, produk
tersebut harus mempunyai transport document. Ketika terjadi pembelian, harus terdapat
catatan penjualan dan take over declaration. Selanjutnya, ketika hendak diproses
(misalnya dipotong-potong atau diolah), pengolah harus mempunyai processing plant
statement, dan seterusnya. Dengan pemberlakuan sistem ini, diharapkan dapat mencegah
Illegal Unregulated Unreported (IUU) Fishing. Selain itu, peraturan ini akan memastikan
kepentingan konsumen untuk mengkonsumsi ikan yang tidak berbahaya karena diketahui
asal usulnya dan juga dapat terus dikonsumsi pada periode berikutnya karena tidak
diperoleh dengan cara-cara yang ilegal yang menyebabkan overfishing. Di dalam negeri,
peraturan ini berarti pembenahan domestik untuk menyiapkan sistem verifikasi asal usul
sebuah produk ikan. Setiap daerah, komoditas, dan detilnya diatur dengan sistem
verifikasi pengkodean bagi setiap yang dijual ke luar negeri. Akan tetapi, penyiapan
verifikasi ini bukan sesuatu yang sederhana bagi Indonesia ketika kapal-kapal besar
(eksportir) bekerja dengan kapal nelayan yang tidak mempunyai pengetahuan pencatatan
yang baik mengenai dari mana ikan yang ditangkap persisnya berasal dan detil ikan
lainnya. Analis dari University of Tromso, Norwegia, menyebutkan sebenarnya regulasi
ini lebih mudah diikuti oleh negara yang industri perikanannya masih simpel, seperti
Indonesia misalnya. Akan tetapi, untuk negara dengan industri perikanan yang besar,
seperti Norwegia, Kanada, Jepang, atau China, peraturan ini akan menjadi lebih sulit
karena ikan yang ditangkap tak bisa dengan mudah diverifikasi. Salah satu alasannya,
karena industri perikanan ini juga menangkap ikan di laut lepas dalam zonaRegional
Fisheries Management Organizations (RFMOs) yang mereka ikuti. Nah, tentunya lebih
rumit lagi ketika, misalnya, industri tersebut menjual ikan dalam berbagai bentuk : ikan
segar dan yang telah diolah, misalnya : frozen, salted, dried, atau fish fillets. Banyak
pengamat perdagangan menilai regulasi keamanan pangan yang diterapkan oleh,
terutama, Uni Eropa, dan juga diikuti Amerika Serikat terlalu mempersulit eksportir
untuk masuk. Misalnya, untuk pengujian bakteri dalam ikan Uni Eropa menerapkan
standar yang tinggi. Sebanyak 20 persen dari jumlah ikan yang diekspor harus diperiksa
sebagai sampel dan ini diterapkan secara merata per kontainer. Pengecekan ini membuat
biaya ekspor menjadi lebih besar karena adanya biaya uji sampel ke laboratorium dan
penyesuaian volume ekspor akibat uji laboraturium tersebut. Negara yang merasa

dirugikan dengan kebijakan keamanan pangan yang, di satu sisi, membatasi akses pasar
negara lain kemudian memasukkan gugatan ke WTO. Tidak sedikit negara yang
memasukkan gugatan ke panel WTO terkait kebijakan pangan atau perikanan antar
negara ini. Kebijakan perikanan EU sering disorot oleh negara-negara pengekspor ikan
lain, misalnya, Islandia, Norwegia, Chile, dan Thailand, sebagai kebijakan yang
merugikan eksportir. Menurut saya, pengaturan mengenai traceability ini lebih sesuai jika
dikaitkan dengan persoalan keamanan pangan bagi konsumennya. Jika standar ini hendak
ditujukan untuk mengatasi masalah eksploitasi perikanan, menurut saya menjadi kurang
efektif. Dalam pengolahan di tengah rantai distribusi, untuk memaksimalkan hasil ekspor,
ikan yang sudah tidak layak konsumsi dapat diolah menjadi berbagai penganan yang
sifatnya lebih tahan lama. Dengan menggunakan sistem pelacakan ini, dapat diketahui
apakah, misalnya, ikan tuna telah dikalengkan menjadi sarden di tengah jalan sebelum
tiba ke pabrik pengolahan di Eropa atau dikalengkan ketika sudah benar-benar memasuki
industri pengolahan di Eropa. Dari sudut pandang pengamanan perdagangan, traceability
ini dapat mencegah tindakan-tindakan monopoli perusahaan perikanan raksasa yang
mengalengkan ikannya begitu sampai di pelabuhan Eropa atau justru telah
mengalengkannya di dalam kapal menuju Eropa. Kalau memang ikannya ditangkap
masih segar bugar di laut, mengapa begitu sampai Eropa ikannya telah menjadi kaleng
sarden ? Bukankah harusnya pengalengan dilakukan oleh industri pengolahan yang
mempunyai standar higienitas tertentu ? Begitu kira-kira pertanyaan yang bisa diajukan
oleh petugas perikanan setempat untuk menolak masuknya kapal bermuatan ikan
kalengan di teritori Eropa. Argumentasi mengenai traceability dapat mencegah IUU
Fishing menjadi ambigu karena hanya Uni Eropa yang menerapkan sistem ini.
Pertanyaannya, apakah dengan mengetahui sebuah ikan berasal dari perairan Laut
Arafuru yang spesiesnya masih banyak dapat dijamin ikan tersebut juga masih banyak ?
Masalahnya, kapal Indonesia tidak hanya menjual ikan ke Eropa. Ikan di Laut Arafuru
dapat dijual ke Malaysia, Vietnam, atau Jepang, tanpa diketahui secara pasti jumlah
tangkapannya oleh Uni Eropa. Kompleksnya aturan keamanan pangan ini membuat
Indonesia harus bersikap waspada dengan menjaga kompetensi dalam soal ekspor ikan ke
Uni Eropa. Hal ini juga menginspirasi Indonesia dalam membuat aturan yang serupa
namun tak sama dalam rangka melindungi dari serbuan impor (import surge) atau pun
melindungi komoditas ekspor. Dalam gugatan Vietnam ke AS bulan Februari 2012 ini ke
WTO soal hambatan ekspor bagi udang Vietnam, secara cerdas Vietnam menggunakan
isu perlindungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam mendefinisikan
dumping. Pihak AS yang kebanjiran udang dari Vietnam menyetop masuknya udang
Vietnam dengan tuduhan dumping.Sebaliknya, dengan rumusan yang dibuat AS
mengenai antidumping, Vietnam balik menggugat AS di WTO dengan argumentasi AS
melakukan proteksionisme dan kebijakan pricing yang dilakukan Vietnam ke AS
bukanlah kebijakan dumping dengan argumentasi regulasi UMKM dalam negeri.
Vietnam adalah negara yang mempunyai regulasi perlindungan UMKM yang tegas,
termasuk di dalamnya soal subsidi untuk UMKM yang mampu melakukan ekspor. Ketika
terdapat skema pembiayaan dari koperasi, secara otomatis harga untuk komoditas ekspor
bisa sedikit lebih murah. Pembiayaan koperasi juga sulit untuk dikategorikan sebagai
subsidi ekspor yang dilarang WTO, baik dalam kategori Blue Box maupun Amber Box,
karena pembiayaan bukan subsidi yang diberikan secara cuma-cuma, namun UMKM
harus mencicil pinjaman itu. Traceability atau apa pun bentuk perlindungan konsumen,

pada akhirnya seperti pisau bermata dua. Ia dapat menjadi alat yang melindungi
kesejahteraan konsumen akan bahan pangan, namun ia juga dapat menjadi hambatan
perdagangan bagi eksportir negara lain yang hendak masuk ke sebuah negara. Strategi
pemajuan komoditas pangan Indonesia untuk menjadikannya tuan rumah di negeri sendiri
dan juga berjaya di pasar global terletak pada dua instrumen yang harus terus
dikembangkan dengan basis argumentasi yang konsisten dan ilmiah, yakni ekonomipolitik perdagangan internasional dan juga hukum perlindungan konsumen.

Вам также может понравиться