Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam praktek berbahasa ternyata kalimat bukanlah satuan sintaksis terbesar seperti
banyak diduga atau diperhitungkan orang selama ini. Kalimat atau kalimat-kalimat ternyata
hanyalah

unsur

pembentuk

satuan

bahasa

yang

lebih

besar

yang

disebut

wacana( inggris:discourse) bukti bahwa kalimat bukan satuan terbesar dalam sintaksis, banyak
kita jumpai kalimat yang jika kita pisahkan dari kalimat-kalimat yang ada disekitarnya, maka
kalimat itu menjadi satuan yang tidak mandiri. Kalimat-kalimat itu tidak mempunyai makna
dalam kesendiriannya. Mereka baru mempunyai makna bila berada dalam konteks dengan
kalimat-kalimat yang berada disekitarnya.
Kalau kalimat itu adalah unsur pembentuk wacana, maka persoalan kita sekarang apakah
wacana itu, apakah cirri-cirinya, bagaimana ujudnya, atau bagaimana pembentukannya. Berbagai
macam definisi tentang wacana telah dibuat orang. Namun , dari sekian banyak definisi yang
berbeda-beda itu, pada dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap.
Sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca( dalam wacana tulis) atau
pendengar( dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi
persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina
yang disebut kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam
wacana tersebut. Bila wacana itu kohesi, akan terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana yang
apik dan benar.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian wacana itu?
2. Bagaimana memahami jenis wacana?
3. Bagaimana syarat terbentuknya wacana?

C. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini ada pun tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui pengertian wacana,
memahami jenis wacana dan mengetahui persyaratan terben, tuknya wacana. Tujuan penulisan
ini juga untuk memberikan pengetahuan dan wawasan kepada pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam
wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh
pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.
Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang
memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal
dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian
hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Wacana
merupakan satuan bahasa yang paling besar di gunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di
bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata dan bunyi. Secara berurutan,
rangkaian bunyi merupakan bentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase
membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana.
B. Jenis Wacana
Dalam perbagai kepustakaan ada di sebut berbagai jenis wacana sesuai sdengan sudut
pandang dari mana wacana itu di lihat. Begitulah, pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan
wacana tulis berkenaan dengan sarananya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis. Kemudian ada
pembagian wacana prosa dan wacana puisi di lihat dari kegunaan bahasa apakah dalam bentuk
uraian ataukah bentuk puistik.
Selanjutnya, wacana prosa ini di lihat dari penyampaian isinya di bedakan lagi menjadi
wacana narasi, narasi eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi. Wacana narasi
bersifat menceritakan suatu topic atau hal ; wacana eksposisi bersifat memaparkan topic atau
watak; wacana persuasi bersifat mengajak, menganjurkan atau melarang; dan wacana
argumentasi bersifat member argument atau alasan terhadap suatu hal. Masih terbuka adanya
jenis wacana lain mengingat penggunakan bahasa sangat luas, yang mencakup berbagai segi
kehidupan manusia.

C. Syarat Terbentuknya Wacana


Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat di penuhi atau dalam wacana itu sudah
terbina yang di sebut adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana
tersebut. Bila wacana itu kohesif , akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan
benar.
Kekohesifan itu dicapai dengan cara pengacuan dengan menggunakan kata ganti nya mari
kita lihat! Kalimat (1) adalah kalimat bebas, kalimat utama yang berisi pernyataan, bahwa
sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk. Kalimat (2) adalah kalimat 3terikat, yang di
kaitkan dengan kalimat (1) dengan menggunakan kata gantinya-nya pada kata ikannya dan
telurnya yang jelas mencakup pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga di kaitkan dengan
kalimat (1) dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata harga-nya yang juga
jelas mencakup pada kata terbuk pada kalimat (1). Lalu, kalimat (4) merupakan kesimpulan
terhadap pernyataan pada kalimat (1), (2) dan (3), yang di kaitkan dengan bantuan konjungsi
antar kalimat makanya.
Kekohesifan wacana itu di lakukan dengan mengulang kata pembaharu pada kalimat (1)
dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat
(2) perubahan pada kalimat (3). Adanya pengulangan unsure yang sama itu menyebabkan
wacana itu menjadi kekoherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang
tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat terbentuknya
wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif,
antara lain adalah
1.

Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian

kalimat; atau

menghubungkan paragraf dengan paragraph. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu
menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang
tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubunngan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas:
apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan.
Hubungan menjadi jelas, misalnya diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
1. Raja sakit dan pernaisuri meninggal.
2. Raja sakit karena permaisuri meninggal.

3. Raja sakit ketika permaisuri meninggal.


4. Raja sakit sebelum permaisuri meninggal
5. Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
6. Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal.
2.

Menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis. Dengan
menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di
ulang, melainkan dig anti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat
tersebut saling berhubungan.

3. Menggunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang
lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak
menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam
wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga di buat
dengan bantuan berbagai aspek semantik. Caranya, antara lain:
1. Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana.
Misalnya:
a.

Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.

b. Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa bicara.
2. Menggunakan hubungan generik-spesifik; atau sebaliknya spesifik-generik. Misalnya:
a.

Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya


mengurangi mobil-mobil pribadi.

b. Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu beristirahat.
3. Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah
kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.

Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.

b. Lahap benar makanannya. Seperti orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi.
4. Menggunakan hubungan sebab-akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atai isi antara dua buah
kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.

Dia malas, dan sering kali bolos sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.

b. Pada pagi hari bus selalu penuh sesak. Bernafas pun susah di dalam bus itu.
5. Menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Misalnya:

a.

Semua anaknya di sekolahkan. Agar kelak tidak seperti dirinya.

b. Banyak jembatan layang di bangun di Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas teratasi.

6. Menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat
dalam satu wacana. Misalnya:
a.

Becak sudah tidak ada lagi di Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di tuduh memacetkan lalu
lintas.

b. Kebakaran sering melanda Jakarta. Kalau dia datang si jago merah itu tidak kenal waktu, siang
ataupun malam.
D. Ciri-ciri wacana
1.

Dalam wacana perlu ada unsur-unsur susun atur menurut sabab, akibat, tempat, waktu,
keutaamaan dan sebagainya.

2.

Wacana harus mempunyai andaian dan inferensi. Maklumat pertama dalam wacana di gelar
andaian manakala maklumat berikutnya disebut inferensi.

3. Setiap kata dalam wacana harus ada maklumat baru yang ada dalam kata sebelumnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka
dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa
keraguan apapun. Untuk membuat sebuah wacana yang baik itu, harus memenuhi persyaratan
terbentuknya wacana. Terbentuknya wacana dibutuhkan adanya kohesif dan koherens di dalam
hubungan antar kalimat di dalam wacana.
B. Saran
Adapun saran bagi pembaca antara lain:
1. Bagi pembuatan wacana harus memperhatikan kohesif dan koherens di dalam sebuah wacana.
Karena tanpa kohesif dan koherens kita tidak dapat memahami maksud atau tujuan yang ada di
dalam sebuah wacana tersebut.
2. Pembaca harus memperhatikan kaidah penulisan yang ada di dalam sebuah wacana.
3. Dalam pembuatan wacana diharapkan tidak terdapat penyimpangan kata ataupun kalimat.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Вам также может понравиться