Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Meningitis

adalah

peradangan

pada

selaput

otak

(meningens) yang disebabkan infeksi patogen. Ditandai adanya


patogen

penyebab, bisa berupa bakteri maupun virus, dan

peningkatan sel-sel

polimorfonuklear pada analisis cairan

serebrospinal (CSS). Meningitis bakterialis penyebabnya adalah


bakteri, meningitis ini merupakan salah satu infeksi yang
berbahaya pada anak karena tingginya kejadian komplikasi akut
dan kecacatan neurologis permanen di kemudian hari.
2.2. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun
infeksi tuberkulosis. Virus yang paling sering menyebabkan
meningitis adalah enterovirus. Meningitis virus atau meningitis
aseptik umumnya bersifat self-limited dan tidak berbahaya.
Sedangkan untuk meningitis tuberkulosis terjadi pada satu dari
setiap 300 infeksi tuberculosis pada anak yang tidak diobati atau
sekitar 0,3%.
Etiologi meningitis bakterialis pada tiap kelompok umur
berbeda karena tergantung pada lingkungan dan daya tahan
tubuh.

Jenis

patogen

yang

menyebabkan meningitis

pada

neonatus biasanya berasal dari flora normal ibu , seperti


Streptococcus dan E. coli. Sementara Neisseria meningitides dan
S. pneumonia adalah patogen utama pada bayi yang lebih besar.
Pada keadaan seperti imunodefisiensi, pasien dapat terinfeksi
oleh

patogen

aeruginosa,

yang

lebih

jarang,

Staphylococcus

seperti

aureus,

Pseudomonas

Salmonella,

atau

Staphylococcus koagulase negatif.


Tabel 1. Bakteri Penyebab Meningitis Bakterial Tersering Menurut Usia.

Bakteri patogen

<3

3bln-<18

18-

bln
+

thn

50thn

Sreptococcus grup
B
E. coli

Listeria

>50 thn

monocytogenes
Neisseria

meningitides
Streptococcus

pneumoniae
Hemophilus

influenzae

2.3. Epidemiologi
Meningitis bakterial merupakan kegawatan neurologis yang
mengancam nyawa. Kejadian tahunan diperkirakan mencapai 25% per 100.000 orang di dunia Barat dan angka itu 10 kali lebih
tinggi

dibandingkan

dengan

negara

kurang

berkembang.

Meningitis bakterial merupakan salah satu dari 10 penyebab


infeksi terkait kematian di seluruh dunia dan 30-50% dari pasien
yang

selamat

memiliki

gejala

sisa

neurologis

Organisme penyebab meningitis bakterial


dari usia pasien, faktor

permanen.

dapat diperkirakan

predisposisi yang mendasari penyakit

dan proses imunologi. Streptococcus pneumoniae dan Neisseria


meningitidis adalah dua agen etiologi yang paling umum.
2.4. Patofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran
penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus atau
bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak,
misalnya

pada

penyakit

Faringitis,

Tonsilitis,

Pneumonia,

Bronkopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus


dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau

26

jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak,


Otitis

Media,

Mastoiditis,

Trombosis

sinus

dan

Sinusitis.

Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala


dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi
kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi
radang pada piamater dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal)
dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal mengalami dilatasi,
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit

polimorfonuklear

ke

dalam

ruang

subarakhnoid,

kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi


pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
terbentuk sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua
lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan
fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada venavena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak,
edema otak dan degenerasi neuron. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
2.5. Manifestasi klinis
Meningitis Bakterialis
Gejala klinis umumnya didahului demam beberapa hari
disertai infeksi saluran napas atas atau saluran cerna, diikuti
tanda infeksi SSP yang tidak spesifik seperti letargi dan
iritabilitas. Anak juga tampak anoreksia dan tidak mau makan,
myalgia, atralgia, takikardi, dan hipotensi. Gejala lebih berat
yaitu syok yang cepat dan progresif disertai purpura, koagulasi

27

intravaskular diseminata, penurunan kesadaran, dan kematian


dalam 24 jam.
Walaupun demikian, manifestasi klinis sangat bergantung
pada usia, respon imun terhadap infeksi, dan lama sakit sebelum
dibawa ke pelayanan kesehatan.
Neonatus hingga 3 bulan
Gambaran klinis sering tidak khas. Bayi tampak letargi, malas
minum, dan muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan demam
atau hipotermi, ubun-ubun besar (UUB) membonjol, kejang
hingga apnea. Setiap neonatus dengan demam tinggi,
pneumonia

atau

sepsis

disertai

kejang

harus

dicurigai

meningitis bakterialis. Risiko tinggi terdapat pada neonatus


yang lahir premature, memiliki riwayat infeksi intrapartum,
dan ketuban pecah dini.

Usia 3 bulan hingga 2 tahun


Meningitis bakterialis harus dipikirkan pada setiap anak usia 3
bulan sampai 2 tahun yang mengalami kejang demam
kompleks. Secara klinis bayi mengalami demam, muntah,
tampak gelisah/iritabel. Kejang, UUB membonjol, namun
tanda rangsang meningeal sulit dievaluasi (tanda Kernig dan
Brudzinki sering negatif). Salah satu tanda khas adalah high
pitched cry (tangis dengan lengkingan yang tinggi).
Usia > 2 tahun
Gambaran klinis menunjukkan tanda infeksi meningen. Anak
demam, menggigil, terdapat tanda peningkatan TIK yaitu
sakit kepala, muntah, UUB membonjol, paresis N. III dan N. VI,
hipertensi dengan bradikardi, apnea atau hiperventilasi,
postus dekortikasi atau deserebrasi, pupil anisokor, stupor,

28

koma, atau perubahan tingkah laku. Pada pemeriksaan fisik


didapatkan tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, kernig,
dan brudzinski), defisit neurologis fokal, kejang fokal atau
umum, dan neuropati kranial. Tanda lain yaitu fotofobia dan
tache cerebrale yaitu munculnya garis merah menimbul 3060 detik setelah kulit dipukul dengan benda tumpul.

Meningitis Tuberkulosis
Stadium prodromal
Berlangsung 1-3 minggu dengan gejala tidak khas dan belum
ditemukan gejala neurologis. Gejala berupa demam, lemas,
anoreksia, nyeri perut, sakit kepala, perubahan siklus tidur, mual,
muntah,

konstipasi,iritabel

hingga

apatis,

tapi

tidak

ada

penurunan kesadaran. Dapat timbul kejang intermiten yang


bersifat umum.

Stadium transisional
Pada stadium ini tanda rangsang meningeal positif, yaitu kaku
kuduk, kernig, dan brudzinski. Terjadi penurunan kesadaran
namun tidak sampai koma atau delirium, hidrosefalus, papil
edema ringan, kelumpuhan saraf kranial. Sakit kepala hebat dan
muntah.

Stadium terminal

29

Stadium ini berlangsung cepat, selama 2-3 minggu. Terjadi


infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat. Kesadaran menurun hingga stupor atau koma,
defisit neurologis fokal makin berat (hemiplegi hingga paraplegi),
hiperpireksia, papilledema, hiperglikemia.

2.6. Diagnosis
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


Pungsi lumbal
Untuk menentukan bakteri penyebab di dalam CSS melalui
pewarnaan gram, kultur, dan analisis CSS.
-

Kultur CSS
Merupakan gold standard, sensitivitas 85% bila belum
mendapat

terapi

antimicrobial

sebelumnya

tetapi

membutuhkan waktu setidaknya 48 am sampai diperoleh


hasil.
-

Pewarnaan gram
Dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan relative
murah untuk identifikasi bakteri penyebab. Sensitivitas 6090% dan spesifisitas 97%.

Latex agglutination

30

Pemeriksaan ini lebih cepat dan sederhana. Cara ini


disarankan sebagai alternative bagi pasien yang sudah
mendapatkan antibiotic sebelumnya.
-

PCR
Dapat mendeteksi DNA dari pathogen meningen seperti N.
meningitides, S. pneumonia, H influenza, dan lain lain.

Analisis CSS
Selain mengisolasi bakteri pathogen penyebab, diagnosis
juga dapat ditegakkan berdasarkan karakteristik cairan
serebrospinal.

Pemeriksaan CSS pada pasien dengan meningitis bakteri


akut menunjukkan gambaran pleiositosis neutrophilic (biasanya
ratusan hingga beberapa ribu, dengan> 80% PMN sel). Dalam
beberapa

kasus

meningitis

-monocytogenes

(25-30%),

dominasi lymphocytic mungkin terjadi. CSF jumlah WBC yang


rendah (<20 sel / uL) menandakan adanya jumlah bakteri yang
tinggi dan prognosis yang buruk. Adapun gambaran CSF pada
kasus meningitis bakterial adalah sebagai berikut : Opening
pressure 200-300, dengan WBC count 100-5000/uL (>80% terdiri
dari sel-sel PMN), kadar glukosa <40mg/dL, kadar protein
>100mg/dL, ditemukan patogen spesifik 60% pada pewarnaan
Gram dan 80% dari hasil kultur. Opening pressure (kisaran antara
80-200 mm H2O) mungkin meningkat, menunjukkan beberapa
bentuk peningkatan ICP dari edema serebral.

31

2.7.
-

Pencitraan

CT scan kepala
Pada permulaan penyakit, CT scan tampak normal.Adanya
eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil, disertai
edema otak, atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi
cairan serebrospinalis. Bila penyakit berlanjut, dapat terlihat
adanya daerah infark akibat vasculitis. Indikasi CT scan sebelum
LP : adanya defisit neurologis fokal, kejang pertama kali, edema
papil, penurunan kesadaran dan penekanan status imun

MRI kepala
Lebih baik dibandingkan CT scan dalam menunjukkan daerah
edema dan iskemik di otak. Penambahan kontras gadolinium
menunjukkan diffuse meningeal enhancement.

2.8. Diagnosis Banding


Meningoensefalitis, encephalitis
2.9. Penatalaksanaan
2.9.1. Penatalaksanaan Kejang dengan Demam
Biasanya kejang dengan demam berlangsung singkat.
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat
yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah

32

adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B).


Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam
rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau
dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum
berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis
0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan
fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali
dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
2.9.2. Pemberian Obat Saat Demam
1) Antipiretik
Tidak

ditemukan

bukti

bahwa

penggunaan

antipiretik

mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di


Indonesia sepakat bahwa antipiretiktetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan
4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 510mg/kg/kali

,3-4

kali

sehari.

Meskipun

jarang,

asam

asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada

33

anak

kurang

dari

18

bulan,

sehingga

penggunaan

asam

asetilsalisilat tidak dianjurkan .

2) Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada
saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg
setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C. Dosis tersebut cukup tinggi
dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat
pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam
.
3) Pemberian obat rumat
3.1. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2.Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

Kejang demam >4 kali per tahun


3.2. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

34

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari


efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek (rekomendasi D).Pemakaian fenobarbital
setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.Pada sebagian
kecilkasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
3.3. Lama Pengobatan Rumat
Pengobatan

diberikan

selama

tahun

bebas

kejang,

kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.


2.9.3. Edukasi Kepada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua.Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat
adanya efek samping obat.

35

2.9.4. Beberapa Hal yang Perlu Dilakukan Saat Kejang


Datang Kembali
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala
miring.

Bersihkan

hidung.Walaupun

muntahan

atau

kemungkinan

lendir

lidah

di

mulut

tergigit,

atau

jangan

memasukkan sesuatu kedalam mulut.


4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang
telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih
2.9.5. Tatalaksana Meningitis
Setelah kejang teratasi maka meningitis juga perlu ditatalaksana
sesuai penyebabnya.

Meningitis Bakterialis
1) Terapi kausal

Ceftriaxone: 100 mg/kgBB/hari dosis tunggal (max 4


gram/hari) IV, selama 30-60 menit setiap 12 jam atau
Sefotaksim: 300 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis

Vancomycin 15 mg/KgBB tiap 6 jam (max 500 mg tiap 6


jam) lama pemberian 7-14 hari atau Ampisilin 300-400
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis IV

Perubahan antibiotik selanjutnya sesua hasil tes resistensi

36

Setelah 48-72 jam pemberian antibiotik adekuat belum ada


perbaikan klinis yaitu berupa keadaan umum memburuk,
panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang
sukar

diatasi,

maka

harus

dipikirkan

adanya

komplikasi/pemberian antibiotic yang tidak teratur atau


tidak sensitive dan harus dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi, funduskopi, transluminasi, USG kepala jika UUB
belum menutup

Untuk

mengatasi

edema

otak

diberi

kortikosteroid

dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari


selama 4-5 hari (untuk mencegah reaksi imunologis,
dexametason diberikan sebelum pemberian antibiotik)
2) Suportif

Cairan sesuai kebutuhan maintenance

Nutrisi adekuat

Bila terjadi peningkatan tekanan intrakranial dengan tanda:


1. Kesadaran menurun progresif
2. Tonus otot meningkat
3. Kejang yang tidak teratasi
4. Fontanela menonjol
5. Bradipnoe
6. Tekanan darah meningkat

Meningitis Tuberkulosis
1) Terapi Kausal
Obat anti tuberkulosis

INH 10-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg, selama 9-12 bulan

37

Rifampisin 10-15 mg/kgBB/hari, max 600 mg/hari, single


dose 1 jam sebelum makan selama 9-12 bulan

Pirazinamid 20-35 mg/kgBB/hari, max 2 gram/hari selama 2


bulan

Etambutol 10-15 mg/kgBB/hari, selama 9 bulan atau


Streptomisin 20-50 mg/kgBB/hari, max 750 mg/hari selama
1 bulan

Kortikosteroid prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis


secara oral selama 1-3 bulan, kemudian diturunkan 1 mg
setiap 1-2 minggu selama 1 bulan

2) Suportif

Pemberian cairan 2:1 ( Dextrose 5% + NaCl 15 % ). Jumlah


cairan hari pertama 70% dari kebutuhan maintenance

Nutrisi adekuat

Pemberian O2 dan pembebasan jalan napas

Bila edema otak diterapi sesuai dengan tatalaksana edema


otak

2.10. Komplikasi
Meningitis Bakterialis

Komplikasi yang timbul segera


-

Peningkatan tekanan intracranial

Nekrosis atau infark jaringan otak

Ventrikulitis

Gangguan nervus kranialis

SIADH

Subdural empyema

Abses serebri

Komplikasi lebih lanjut


-

Gangguan mental, pendengaran, penglihatan


38

Hidrosefalus komunikan

Gangguan tingkah laku

Gangguan vestibular

Hemiparesis atau kuadriparesis

Epilepsi

Meningitis Tuberkulosis
Mata: atrofi optic dan kebutaan
THT: gangguan pendengaran dan keseimbangan
Sequele neurologis minor: kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan pada koordinasi dan spastisitas
Kelainan

pituitari

dan

hipotalamus:

prekoks

seksual,

hiperprolaktinemia, defisiensi DH, hormon pertumbuhan,


kortikotropin dan gonadotropin

39

Вам также может понравиться