Вы находитесь на странице: 1из 62

1

INFARK MIOKARD DENGAN ELVASI ST


(ST elevation myocardial infarct = STEMI)

1. PENDAHULUAN
a. Ringkasan
Infark miokard dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarct =
STEMI) merupakan bentuk infark yang terjadi sesudah rupture plak
aterosklerosis dan thrombosis yang menyebabkan oklusi total pembuluh
darah, terlihat nekrosis diseluruh dinding miokardium. EKG ditandai oleh
gelombang Q dan elevasi segmen ST. ( Sudoyo A.W, 2006)
Adapun Infark Miokard Akut terbagi atas :
1) Infark miokard dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction =
STEMI). (Sudoyo A.W, 2006)
2) Infark miokard tanpa elevasi ST (Non ST elevation myocardial infarction =
NSTEMI). (Sudoyo A.W, 2006)
Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) terus menjadi masalah
kesehatan publik yang signifikan dinegara-negara maju dan sekarang
bertambah menjadi masalah yang signifikan dinegara-negara berkembang.
(Rogers et al, 2000) Meskipun terdapat beberapa perbedaan data dibebarapa
rumah sakit, tercatat terdapat 1 juta 680 jiwa yang menderita ACS pada tahun
2001.(Wiviott et al, 2003)
National Registry of Myocardial Infarction-4 (NRMI-4) memperkirakan
sekitar 30% pasien ACS mengalami Miokard infark dengan elevasi ST
(STEMI), dan di USA jumlah penderita sekitar 500 ribu pasien setiap
tahunnya mengalami Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI).(Topol,2003)
Penyebab dan patomekanisme STEMI biasanya dicetuskan oleh faktorfaktor resiko seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid yang memicu

adanya plak aterosklerotik yang menyebabkan terjadinya oklusi trombus


secara cepat sehingga terjadi penurunan aliran darah koroner yang
mendadak yang diikuti dengan berkurangnya suplai 0 2 ke miokard. (Dennis
dkk, 2005)
Di Indonesia sejak 10 tahun terakhir penyakit miokard infark lebih sering
ditemukan dengan resiko mortalitas yang sangat tinggi, sehingga penderita
dengan miokard infark dengan elevasi ST perlu segera mendapat
pertolongan terutama dalam jam-jam pertama terjadinya serangan untuk
menghindari resiko kematian yang terjadi.

b. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, gejala dan tanda yang muncul, cara menegakkan diagnosa serta
penatalaksanaan dari infark miokard dengan elevasi ST.

c. Manfaat Penulisan
1) Manfaat Ilmiah
a) Sebagai informasi bahan bacaan tambahan dan menjadi rujukan untuk
pembaca.
2) Manfaat Penggunaan
a) Sebagai bahan untuk promosi kesehatan.
b) Mengetahui faktor resiko agar dapat dihindari, dikurangi atau dihilangkan
faktor resiko tersebut sehingga dapat dicegah. Juga diharapkan dapat
mengenali penyakit miokard infark dengan elevasi ST sehingga bisa
mendapat penanganan lebih awal.
2. DEFINISI

Infark miokard dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarct =


STEMI) merupakan bentuk infark yang terjadi sesudah rupture plak
aterosklerosis dan thrombosis yang menyebabkan oklusi total pembuluh
darah, terlihat nekrosis diseluruh dinding miokardium. EKG ditandai oleh
gelombang Q dan elevasi segmen ST. ( Sudoyo A.W, 2006)

3. ANATOMI, HISTOLOGI & FISIOLOGI


a. Anatomi Sistem Kardiovaskuler
1) Permukaan dan Batas-Batas jantung
a) Fasies anterior (sternalis) dibentuk oleh Ventrikel kanan
b) Fasies posterior dibentuk oleh atrium kiri dan berada sangat dekat dengan
esofagus.
c) Batas kanan dibentuk oleh atrium kanan
d) Batas kiri dibentuk oleh atrium kiri dan ventrikel kiri
e) Apeks dibentuk oleh ventrikel kiri.

2) Hubungan Jantung dan Pembuluh Besar


a) Tepi Kanan terletak antara iga ketiga dan keenam, sepertiga tepi kanan
sternum.
b) Tepi kiri terletak antara iga ketiga dan keenam, antara linea midklavikularis
dan tepi kiri sternum.
c) Apeks terletak pada sela iga kelima, linea midklavikularis. Normal titik
implus maksimal (PMI) teraba di sini.
d) Arkus Aorta terletak setinggi insisura sterni, sesuai dengan setinggi
vertebra T2.
e) Vena cava superior (SVC) memasuki atrium kanan setinggi iga ketiga.

3) Lapisan Jantung
Jantung terdiri dari 3 lapisan : endokardium, miokardium, dan pericardium.
a) Endokardium adalah lapisan terdalam dan berkontak dengan darah dalam
ruang jantung.
b) Miokardium adalah lapis tengah yang tersusun dari miosit, sel kontraktil
tersebut bertanggung jawab untuk pemompaan darah melewati jantung.
c) Perikardium tersusun dari dua lapis pericardium fibrosa di sebelah luar dan
pericardium serosa di sebelah dalam. Pericardium menutupi jantung dan
bagian proksimal pembuluh besar.
i. Perikardium fibrosa merupakan

jaringan

penyambung

liat

yang

menambatkan jantung pada tempatnya lewat hubungannya dengan


sternum di sebelah anterior dan sentrum tendineum diafragma di sebelah
bawah. (Gray.dkk, 2013)
ii. Perikardium serosa tersusun dari dua lapis : lapis parietalis dan lapis
viseralis. Lapis parietalis berkesinambungan dengan aspek internal
pericardium fibrosa sedangkan lapis viseralis juga dikenal sebagai
epikardium, merupakan lapis tipis terdalam pericardium. Lapis ini berisi
cabang utama arteri koronaria. (Gray.dkk, 2013)

4) Arteri koronaria
a) Cabang Utama
Arteri koronaria berasal dari bagian proksimal aorta (cabang pertama
aorta) sebagai Arteri koronaria kanan dan Arteri koronaria kiri . Pembuluh ini
terletak tepat di

sebelah dalam terhadap epikardium pada permukaan

jantung. Jantung menerima dua pendarahan : Epikardium dan miokardium

diperdarahi oleh arteri koronaria dan cabang-cabangnya, sedangkan


endokardium menerima O2 dan nutrient dari kontak langsung dengan darah
di dalam ruang jantung. (Gray,dkk, 2013)
Bilamana aliran lewat arteri koronaria terganggu, jaringan subendokrium
paling rentan menjadi cedera iskemik, sebab jaringan ini terletak pada daerah
terjauh dari salah salah satu suplai darahnya. (Gray,dkk, 2013)
Aliran yang melewati arteri koronaria terutama terjadi saat diastole.
Kontraksi miokardium saat sistole meningkatkan tekanan eksterna pada
pembuluh dan menghambat darah mengalir melewati pembuluh tersebut.
(Gray,dkk, 2013)
Cabang utama arteri koronaria adalah arteri desenden anterior sinistra
(LAD/left anterior descending artery) dan arteri sirkumfleksa sinistra. Cabang
utama RCA adalah arteri marginalis dan arteri desenden posterior. (Gray,dkk,
2013)

b. Histologi Sistem Kardiovaskuler


1) Perikardium/epikardium
Perikardium merupakan selubung jantung yang berada di sebelah luar.
Struktur ini dibentuk oleh dua lembar lapisan yang dipisahkan oleh sebuah
ruangan yang disebut rongga pericardium (kavum perikardi). Rongga
perikardium

merupakan satu-satunya ruang potensial. Pada kondisi yang

sehat, kedua lapisan perikardium terletak rapat dengan dipisahkan oleh


selapis tipis cairan. Kedua lapisan perikardium adalah : (Gray,dkk, 2013)

Gambar 1. Lapisan Jantung

a) Perikardium parietale yang berada disebelah luar


Perikardium parietal membentuk sebuah kantung protektif yang kuat bagi
jantung.

Lapisan

ini

juga

membantu

mengikat

jantung

di

dalam

mediastiunum. (Gray,dkk, 2013)

i. Lapisan fibrosa disebelah luar


Lapisan fibrosa perikardium dibentuk oleh jaringan ikat fibrosa yang tebal.
Lapisan ini melekat pada diafragma dan berlanjut menjadi tunika adventisia
(dinding luar) pembuluh darah besar yang memasuki dan meninggalkan
jantung. Lapisan fibrosa perikardium parietal juga terikat dengan diafragma

disebelah bawah. Karena sifat fibrosanya, lapisan ini melindungi jantung


terhadap peregangan yang berlebihan. (Gray,dkk, 2013)
ii. Lapisan serosa disebelah dalam
Lapisan serosa dibentuk oleh mesotelium bersama dengan sedikit jaringan
ikat. Mesotelium mengandung sel-sel epitel skuamosa yang mensekresi
sejumlah kecil cairan yang melapisi rongga perikardium. Cairan ini mencegah
gesekan dan memungkinkan pergerakan jantung secara bebas di dalam
perikardium ketika jantung melakukan gerakan kontraksi dan relaksasi.
Volume total cairan ini hanya sekitar 25-35 ml. (Gray,dkk, 2013)

b) Perikardium viserale yang berada disebelah dalam


Perikardium viserale interna melekat rapat pada permukaan miokardium.
Lapisan ini tersusun dari sel-sel epitel yang rata dan juga dikenal sebagai
epikardium.
Pada perikardium/ epikardium terdapat :
i. Pembuluh darah
ii. Potongan saraf
iii. Pembuluh limfe
iv. Jaringan lemak

Gambar 2. Struktur Lapisan Epikardium/perikardium

2) Miokardium
Miokardium merupakan lapisan medial dinding jantung yang peling tebal
dan dibentuk oleh serabut otot jantung atau miosit jantung. Miokardium
bertanggung jawab atas kerja jantung untuk memompa darah. Lapisan otot
ini membentuk massa terbesar jantung. Dimana bagian ventrikel lebih tebal
dibandingkan bagian atrium. Tiga serabut otot jantung yang terdapat didalam
mikardium : (Gray,dkk, 2013)

a) Serabut otot yang membentuk satuan kontraksi jantung


Serabut otot jantung yang membentuk satuan kontraksi memiliki pola
striata (lurik) dan strukturnya lebih kurang sama dengan struktur otot skeletal.
Akan tetapi, berbeda dengan serabut otot skeletal, serabut otot jantung
bersifat involunter. (Gray,dkk, 2013)
Serabut otot jantung diikat oleh sarkolema. Serabut otot jantung memiliki
sebuah nucleus yang terletak pada pusat sel. Miofibril tersebut terbenam di
dalam sarkoplasma. Sarkomer otot jantung mempunyai struktur yang serupa
dengan struktur dalam serabut otot skeletal. Sarkomer ini memiliki semua
protein otot yaitu aktin, myosin, troponin, dan tropomiosin. Otot jantung juga
mempunyai sistem sarkotubular yang menyerupai system sarkotubular otot
skeletal. (Gray,dkk, 2013)
Otot skeletal dan otot jantung memiliki perbedaan yang penting yaitu
serabut otot jantung bercabang sedangka otot skeletak tidak bercabang.
i. Diskus Interkalatus
Diskus interkalatus merupakan struktur membranosa rangkap yang kuat
dan berada pada sambungan antar percabangan serabut otot jantung yang

bersebelahan. Diskus ini dibentuk oleh penyatuan membrane percabangan


otot jantung. (Gray,dkk, 2013)

Gambar 3. Miokardium dan Diskus Interkalatus


Diskus Interkalatus membentuk sambungan adheren yang memainkan
peranan penting dalam gerakan kontraksi otot satu sama lain. (Gray,dkk,
2013)
ii. Sinsitium
Kata sinsitium mengacu kepada jaringan terdapatnya kontinuitas atar sel
yang bersebelahan. Akan tetapi, otot jantung bekerja hanya seperti sisnsitium
fisiologis karena tidak adanya kontinuitas sitoplasma, dan serabut ototnya
dipisahkan satu sama lainoleh membrane sel. pada bagian samping,
membrane sel otot yang bersebelahan akan menyatu untuk membentuk
sambungan sela atau gap Junctions. Sambungan sela ini bersifat permeable
terhadap ion. Sambungan sela memfasilitasi hantaran aktivitas elektris yang
cepat dari serabut yang satu ke serabut lainnya. Jadi, karena adanya
sambungan sela, semua serabut otot bekerja seperti satu unit yang tunggal
yang dinamakan sinsitium. (Gray,dkk, 2013)

10

Sinsitium dalam jantung manusia memiliki dua bagian yaitu sinsitium


atrium dan sinsitium ventrikel. Kedua bagian sinsitium terhubung oleh cincin
fibrosa nonkonduksi yang tebal dan dinamakan cincin atrioventrikular.
(Gray,dkk, 2013)

Gambar 4. Struktur sinsitium

b) Serabut otot yang membentuk pacemaker


Sejumlah serabut otot jantung bermodifikasi menjadi struktur dengan
spesialisasi khusus yang dinamakan pacemaker. Serabut otot yang
membentuk pacemaker memiliki striasi yang lebih sedikit. (Gray,dkk, 2013)
i. Pacemaker
Pacemaker merupakan struktur dalam jaringan yang menghasilkan implus
untuk denyutan jantung. Implus ini dibentuk oleh sel-sel pacemaker yang
dinamakan sel-sel P. Nodus Sinoatrial (SA) membentuk pacemaker dalam
jantung manusia. (Gray,dkk, 2013)

11

c) Serabut otot yang membentuk system konduksi (atau sistem hantaran).


Sistem konduksi jantung dibentuk oleh serabut otot jantung yang
mengalami modifikasi. Impuls dari nodus SA dihantarkan langsung ke dalam
atrium. Akan tetapi, impuls tersebut dihantarkan ke ventrikel melalui berbagai
komponen pada sistem konduksi yaitu serabut intermodal, nodus AV, berkas
His, percabangan berkas His dan serabut purkinye. (Gray,dkk, 2013)
3) Endokardium
Endokardium merupakan lapisan paling dalam dinding jantung. Lapisan ini
merupakan membran tipis yang licin dan mengkilap. Endokardium dibentuk
oleh lapisan tunggal sel-sel endotel yang melapisi permukaan jantung
sebelah dalam. Endokardium berlanjut sebagai endothelium pembuluh darah.
(Gray,dkk, 2013)

Gambar 1.5. Sistem konduksi jantung

12

Pada lapisan endokardium bagian atrium lebih tebal dibandingkan bagian


ventrikel. Dari dalam keluar lapisan ini terdiri atas :
a) Lapisan Endotel berhubungan dengan endotel pembuluh darah yang
mesuk keluar jantung, sel endotel ini adalah sel squamosa berbentuk agak
bulat, dapat juga polygonal. (Gray,dkk, 2013)
b) Lapisan Subendotel merupakan lapisan tipis anyaman penyambung jarang
yang mengandung serat kolagen, elastis dan fibroblast. (Gray,dkk, 2013)
c) Lapisan Elastikomuskuler terdiri dari anyaman penyambung elastis yang
lebih padat dan otot polos. (Gray,dkk, 2013)

Gambar 1.6. Endokardium

d) Lapisan Subendokardial berhubungan dengan miokardium yang terdiri dari


anyaman penyambung jarang yang mengandung vena, saraf dan sel
purkinye yang merupakan bagian dari sistem impuls konduksi jantung.
Pada lapisan subendokardial di ventrikel, terdapat serat purkinye yang

13

merupakan modifikasi dari serat otot jantung, memiliki diskus interkalaris,


diameternya lebih besar dari otot jantung, memiliki sedikit miofibril yg
letaknya di perifer,sitoplasma memiliki butir glikogen. (Gray,dkk, 2013)

4) Skeletal jantung
a) Annulus fibrosus
b)

Trigonum fibrosa kanan

c)

Trigonum fibrosa kiri

d)

Pars membranasea septum interventrikulare

5) Valvula jantung
a)

Valvula trikuspidalis

b)

Valvula bikuspidalis (Mitralis)

c)

Valvula semilunaris

6) Pembuluh darah
a) Kapiler
i.
ii.
iii.
iv.

Merupakan pembuluh darah paling kecil


Ukurannya sekitar 4,5-12 (6-7)
Sel Rouget
Dinding : Selapis endotel Kitt Substance & Lamina basalis

14

Gambar 1.7 Kapiler Kontinu

b) Arteri kecil (Arteriole)


i.
ii.
iii.
iv.
v.

Otot polos kontinu pada dindingnya


Lebih proximal dari kapiler
Ukurannya < 0,5 mm
Lumen sempit
Antara kapiler & arteriole terdapat PRECAPILLARY

Gambar 1.8 Struktur Arteriola


c) Arteri sedang (Arteri tipe muskuler)
i. Makroskopis
a. Tunika media banyak otot polos warna merah tipe muskuler
ii. Mikroskopis :

15

a. Tunika intima
a) Sel endotel
b) Sub endothelial
c) Membrana elastica interna
b. Tunika Media
a) Otot polos tebal
b) Serat elastis tipis
c) Membrana elastica externa
c. Tunika Adventisia
a) Serat kolagen
b) Serat elastis
c) Sel fibrosit
d) Vasa vasorum

Gambar 1.9 Arteri sedang


d) Arteri besar (arteri tipe elastic)
i. Lokalisasi dekat dengan jantung
a. MIKROSKOPIS :
1. Tunika Intima
1. Selapis sel endotel
2. Subendotelial
3. Tdk ada membrana elastika interna
2. Tunika Media

16

1. Banyak serat elastis fenestrated membrane dg OsO4 coklat


2.

Membrana elastika esterna

3.

Otot polos (gepeng,inti lonjong)


4. Antara fenestrated membrane dengan serat otot polos terdapat
ruang, berisi zat interselluler (kondroitin sulfat)
3. Tunika Adventisia

1.

Tipis

2.

Ada vasa vasorum, sel saraf, sel lemak


b. Perubahan arteri tipe elastis menjadi tipe muskular daerah transisi
arteri tipe campuran
c. Arteri tipe elastis tiba-tiba menjadi tipe muskular arteri tipe hybrid :
mempunyai 2 lapisan pada tunika media yaitu :
a) Serat elastis (dalam)
b) Membran elastika (luar)

Gambar 2.0 Arteri Besar

17

e) Vena
i. Pembuluh darah yang di dalamnya mengalir darah dari kapiler jantung
ii.

Makin dekat jantung dinding semakin tebal

iii.

Lapisan dinding vena beda dinding arteri

iv.

Vasa vasorum pada vena lebih banyak dibandingkan arteri

v.

Mikroskopis :
Batas ketiga lapisan ini tidak jelas, otot polos dan anyaman
penyambung elastis kurang banyak. Lapisan ini terdiri atas :

a. Tunika intima
b. Tunika media
c. Tunika adventisia

18

Gambar 2.1. Vena

f) Vena kecil
i. Mikroskopik :
a.
Tunika Intima

: sel endotel

b.

Tunika Media

: otot polos sirkuler

c.

Tunika Adventisia : sel fibroblas, serat kolagen dan elastis tipis

Gambar 2.2 Vena Kecil


g) Vena sedang

19

a.

i. Mikroskopik :
Tunika Intima :
a) Sel endotel (poligonal)
b) Serat elastis tipis
b. Tunika Media :

a)

Otot polos sirkuler


b) Serat kolagen
c) Kurang fibroblas
c. Tunika Adventisia :
a)

lebih tebal dari lapisan tunika media

b) Sel fibroblas
c) Serat kolagen
d) Serat elastis
h) Vena besar
i. Mikroskopik :
a. Tunika Intima :
a) Sama dengan vena sedang
b) Pada Lapisan Subendotelial jaringan Ikat lebih tebal
b. Tunika Media :
a) Kurang otot polos, kadang tidak ada
c. Tunika Adventisia :
a)

Lebih tebal dari tunika intima dan tunika media

b)

Sel fibroblas

c)

Serat kolagen

d)

Serat elastis

e)

Otot polos

20

Gambar 2.3 Vena Besar

c. Fisiologi Sistem Kardiovaskuler


1) Pembagian Sirkulasi
a) Sirkulasi sistemik
Sirkulasi sistemik juga dikenal sebagai sirkulasi mayor (besar). Darah
yang dipompa dari ventrikel kiri akan mengalir lewat serangkaian pembuluh
darah pada percabangan arterial atau sistem arterial dan mencapai jaringan.
Pembuluh darah pada sistem arterial terdiri dari aorta, pembuluh darah yang
besar, arteri yang lebih kecil, dan arteriola. Arteriola akan bercabang lagi
menjadi kapiler. Kapiler bertanggung jawab atas proses pertukaran berbagai
substansi antara darah dan jaringan. Hal in terjadi karena dinding kapiler
bersifat permeable terhadap berbagai substansi. (Sembulingam K, 2013)
Sesudah terjadi pertukaran material pada kapiler, darah kemudian masuk
ke dalam sistem venous dan kembali ke atrium kanan jantung. Pembuluh
darah pada percabangan venous atau sistem venous berupa venula, vena
yang berukuran kecil, vena yang berukuran lebih besar dan vena kaya. Dari

21

atrium kanan, darah mengalir masuk ke ventrikel kanan. Jadi, melalui


sirkulasi sistemik darah bersih (yang kaya akan oksigen) atau darah arterial
dipompa dari jantung ke jaringan, sementara darah kotor (yang miskin akan
oksigen) atau darah venous kembali ke jantung dari jaringan. (Sembulingam
K, 2013)

b) Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi ini juga disebut sirkulasi minor (kecil). Darah dipompa dari
ventrikel kanan ke dalam paru-paru lewat arteri pulmonalis. Pertukaran gas
terjadi anatar darah dan alveoli paru melalui membrane kapiler pulmonalis.
Darah bersih yang kaya oksigen akan kembali ke atrium kiri lewat vena
pulmonalis. (Sembulingam K, 2013)
Jadi, sisi kiri jantung mengandung darah bersih yang kaya oksigen atau
darah arterial dan sisi kanan jantung berisi darah venous atau darah yang
miskin oksigen. (Sembulingam K, 2013)

4. KLASSIFIKASI
Klassifikasi Infark Miokard Akut :
a. Infark miokard akut dengan elevasi ST ditandai dengan adanya gambaran
elevasi ST >2 mm minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan pada EKG. (Sudoyo dkk, 2006)
b. Infark miokard akut tanpa elevasi ST ditandai dengan deviasi segmen ST
pada EKG. (Sudoyo dkk, 2006)

5. EPIDEMIOLOGI

22

Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) terus menjadi masalah


kesehatan publik yang signifikan dinegara-negara maju dan sekarang
bertambah menjadi masalah yang signifikan dinegara-negara berkembang.
(Rogers et al, 2000) Meskipun terdapat beberapa perbedaan data dibebarapa
rumah sakit, tercatat terdapat 1 juta 680 jiwa yang menderita ACS pada tahun
2001.(Wiviott et al, 2003)
National Registry of Myocardial Infarction-4 (NRMI-4) memperkirakan
sekitar 30% pasien ACS mengalami Miokard infark dengan elevasi ST
(STEMI), dan di USA jumlah penderita sekitar 500 ribu pasien setiap
tahunnya mengalami Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI).(Topol,2003)

6. ETIOLOGI
Etiologi STEMI biasanya dicetuskan oleh faktor-faktor resiko seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid yang memicu adanya plak
aterosklerotik yang menyebabkan terjadinya oklusi trombus secara cepat
sehingga terjadi penurunan aliran darah koroner yang mendadak yang diikuti
dengan berkurangnya suplai 02 ke miokard. (Dennis dkk, 2005)

7. PATOMEKANISME
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat
yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid. (Sudoyo dkk, 2006)

23

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis


mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi rupture
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang
tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasara
sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi trombolitik. (Sudoyo
dkk, 2006)
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivitasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang
poten). Selain itu aktivitas trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein

IIb/IIIa.

Setelah

mengalami

konversi

fungsinya,

reseptor

mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut (integrin) seperti factor von willebrand (vWF) dan fibrinogen,
dimana keduannya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi. (Sudoyo dkk, 2006)
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. (Sudoyo dkk, 2006)
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. (Sudoyo dkk,
2006)

24

Gambar 2.4 nekrosis miokardium setelah oklusi arteri koroner

8. FAKTOR RESIKO
a. Merokok
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko
utama Infark miokard disamping hipertensi dan hiperkolesterolemia. orang
yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat
efek dua faktor utama resiko lainnya. Efek rokok adalah Menyebabkan beban
miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya
komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan perkataan lain dapat
menyebabkan

Takikardi,

vasokonstrisi

pembuluh

darah,

merubah

25

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi


carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi
mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar
HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar
HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki laki perokok. Merokok juga
dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan
hipertensi, sehingga orang yan g merokok cenderung lebih mudah terjadi
proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok. Apabila berhenti
merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun
pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok
setelah

berhenti

merokok

10

tahun.

Dan

penelitian

Monica

1994

(dimasyarakat) pada kelompok umur 45-54 tahun perilaku merokok pada lakilaki adalah sebanyak 56,9% dan wanita 6,2%. (Fabiyo, 2009)

b. Hipertensi
Penelitian diberbagai tempat di indonesia menyebutkan prevalensi
hipertensi berkisar 6-15%, sedang di negara maju misalnya Amerika serikat
15-20%, lebih kurang 60% penderita hipertensi tidak terdeteksi, 20% dapat
diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik. (Fabiyo, 2009)
Penyebab kematian akibat hipertensi di Amerika serikat adalah kegagalan
jantung 45%, miokard infark 35%, cerebrovaskular accident 15% dan gagal
jantung 5%. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi essensial biasanya
akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada
kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertrofi dari tunika
media diikuti dengan hianilisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika
intima dan akhirnya akan terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang
paling berbahaya adalah bila mengenai miokardium, arteri dan arterial
sistemik, arteri kororner dan serebral serta pembuluh darah ginjal. Komplikasi

26

terhadap hipertensi yang paling sering adalah kegagalan ventrikel kiri, PJK
seperti angina pektoris dan miokard infark. (Fabiyo, 2009)
Dari penelitian 50% penderita miokard infark menderita hipertensi
khususnya pada jantung disebabkan karena :
1) Meningkatnya tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri
(faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi..
(Fabiyo, 2009)
2) Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi kororner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal. (Fabiyo,
2009)
Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Kejadian PJK pada hipertensi sering dan secara langsung berhubungan
dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian framingham selama 18
tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi
sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard
infark. Juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang
mengalami miokard infark mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita
yang normotensi dengan miokard infark. (Fabiyo, 2009)
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan
tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada
kelompok tekanan darah diastolik 90-104 mmHg dibandingkan tekanan darah

27

diastolik 85 mmHg, sedangkan pada tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x


lebih besar. Penelitian Stewart 1979 & 1982 juga memperkuat hubungan
antara kenaikan tekanan darah diastolik dengan resiko mendapat miokard
infark. Apabila hipertensi sistolik dari diastolik terjadi bersamaan maka akan
menunjukkan resiko yang paling besar dibandingkan penderita yang tekanan
darahnya normal atau hipertensi sistolik saja. Lichenster juga melaporkan
bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan tekanan darah sistolik diastolik
dibandingkan tekanan darah diastolik saja. (Fabiyo, 2009)
Pemberian obat yang tepat pada hipertensi dapat mencegah terjadinya
miokard infark dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga diperhatikan efek
samping dari obat-obatan dalam jangka panjang. Oleh sebab itu pencegahan
terhadap

hipertensi

merupakan

usaha yang

jauh

lebih

baik untuk

menurunkan resiko Infark miokard dengan elevasi ST. Tekanan darah yang
normal merupakan penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan,
kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta pemasukan Na dan K yang
seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola kehidupan
seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan tekanan darah
sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang
dengan kesegaran jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung
rendah. (Fabiyo, 2009)

c.

Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena

termasuk faktor resiko utama di samping Hipertensi dan merokok. Kadar


Kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan makanan sehari-hari yang masuk
dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol
darah disamping diet adalah Keturunan, umur, dan jenis kelamin, obesitas,
stress, alkohol, exercise. (Fabiyo, 2009)

28

9. MANIFESTASI KLINIK
a. Symptoms
1) Nyeri dada
2) Rasa terbakar pada dada (nyeri seperti rasa terbakar pada dada yang
menjalar pada sebelah lengan, rahang bagian bawah, leher, dan belakang)
3) Kerkeringat berlebihan
4) Kelemahan
5) Mual
6) Muntah
7) jantung berdebar
8) nafas pendek
9) kehilangan kesadaran
b. Sign
Pasien akan mengeluh adanya nyeri dada seperti diremuk yang lama
(>30-45 menit) akibat aktivitas fisik berat, stress, emosi, penyakit medis atau
bedah dan serupa dengan nyeri angina tetapi tidak mereda dengan
pemberian nitrogliserin.(McLaren)

10. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS


STEMI sebelumnya disebut juga trasmural atau Q wave infark. Terlihat
infark yang penuh pada dinding ventrikel dipengaruhi akibat oklusi lengkap
dari arteri koroner (100% stenosis tanpa aliran darah) selama lebih dari 2-4
jam. 2-4 jam adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk semua miosit
diseluruh dinding miokard untuk infark. (Walter, 2008)

29

Gambar 2.5 arteri koronaria yang mengalami aterosklerosis dengan trombus


akut. Pasien ini memiliki aterosklerosis dari arteri koroner ringan. Tepi tipis
yang berwarna kuning adalah plak yang menyebabkan tidak lebih dari 10%
stenosis lumen pembuluh darah. Walaupun ukurannya kecil, plak yang pecah
dan trombus oklusif yang terbentuk. Namun, pasien ini kemungkinan besar
akan mengalami infark miokard dengan ST elevasi (STEMI) yang melibatkan
area dinding miokard yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.

11. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


a. Perikarditis
b. Miokarditis
c. acut aortic dissection
d. emboli paru
e. esphageal disorder
f. cholesistitis akut

30

12. DIAGNOSIS
Diagnosis Infark Miokard dengan ST elevasi ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >
2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm
pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis. (Sudoyo A.W, 2006)

a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar
jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari kororner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko
antara lain hipertensi, sakit jantung koroner pada keluarga. (Sudoyo A.W,
2006)
Pada hamper setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau
bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi
sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.(Sudoyo A.W, 2006)
1) Nyeri Dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat
dan tepa apakah pasien menderita infark miokard akut atau tidak. Diagnosis
yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.(Sudoyo A.W, 2006)

31

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien Infark


Miokard Akut. Seorang dokter harus mmapu mengenal nyeri dada angina dan
mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini
merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien infark miokard akut.
(Sudoyo A.W, 2006)
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
a) Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
b) Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c) Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
d) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah
makan.
f) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
cemas dan lemas.

b. Pemeriksaan Fisik
1) Tampilan Umum : (Sudoyo A.W, 2006)
a) Pucat pada ekstremitas, berkeringat dingin, cemas, tidak bisa beristirahat
(gelisah), mual dan muntah akibat hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi
dan atau hipotensi).
b) Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat.
2) Tanda Vital (Sudoyo A.W, 2006)
a) Biasanya sinus takikardi (100-120/menit).
b) Denyut nadi bisa melambat kecuali bila terdapat syok kardiogenik yang
mengancam.
c) Bradikardi dan atau hipotensi akibat Hiperaktivitas saraf parasimpatis.

32

d) Takikardi merupakan tanda infark anterior yang disebabkan karena


hipertensi simpatis.
e) Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh pelepasan katekolamin.
f) Hipotensi akibat aktivitas berlebih vagus, dehidrasi, infark ventrikel kanan,
tanda syok kardiogenik.
g) Tekanan darah menurun beberapa jam/hari dan kembali ke keadaan
normal dalam 2/3 minggu, tetapi dapat menurun sapa terjadi hipotensi
berat atau renjatan kardiogenik. Dapat pula hipertensi transien karena
sakit dada yang hebat.
h) Penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split parodoksikal bunyi
jantung kedua.
i) Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction
rub.

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium sistem CV
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bahan dalam
tatalaksana pasien STEMI. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine
kinase(CK)MB dan cardiac troponin (cTn)T atau cTnI dan dilakukan secara
serial. cTn harus dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala infark miokard terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. (Sudoyo A.W,
2006)
Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard) :

33

a) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
(Sudoyo A.W, 2006)
b) cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10
hari. (Sudoyo A.W, 2006)
Pada pemeriksaan enzim jantung yang lain didapatkan :
a) Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
b) Creatinine kinase (CK) meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4
hari.
c) Lactate dehydrogenase (LDH) meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
Miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi

nonspesifik

terhadap

injuri

miokard

adalah

leukositosis

polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
(Sudoyo A.W, 2006)

2) Elektrokardiogram (ECG)
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan

34

keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen


ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi
reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 5 -10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. (Sudoyo
A.W, 2006)
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina
pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST
berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG hanya
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard
non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen
ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran
patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminology
IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
(Sudoyo A.W, 2006)

13. Penatalaksanaan
Tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST saat ini
mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian

35

randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para
ahli sesuai pedoman (guideline). (Sudoyo A.W, 2006)
Tujuan utama tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) adalah diagnosis
cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi Infark
Miokard Akut (IMA). Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST yaitu ACC/AHA
tahun 2009 dan ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan

kondisi

sarana/fasilitas

ditempat

masing-masing

senter

dan

kemampuan ahli yang ada (khususnya dibidang kardiologi intervensi).


(Sudoyo A.W, 2006)

a. Tatalaksana Awal
1) Tatalaksana Pre Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). (Sudoyo A.W, 2006)
Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pre hospital paa pasien yang
dicurigai STEMI antara lain :
a) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi. (AHA, 2004)
c) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. (AHA, 2004)

36

d) Melakukan terapi reperfusi. (AHA, 2004)


Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai
onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal
ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga
profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. (Sudoyo A.W,
2006)
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan
tatalaksana

STEMI

dan

kendali

komando

medis

online

yang

bertanggungjawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian


trombolitik pre hospital ini belum dapat dilakukan. (Sudoyo A.W, 2006)
Panel A : pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 911, reperfusi pada
pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan iskemia total 120 menit.
Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi
sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan :
1) Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pre rumah sakit dapat dimulai dalam 30
menit sejak EMS tiba.
2) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital
door to needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai
indikasi fibrinolitik. (AHA, 2004)
3) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital door to
needle time harus dalam 90 menit. (AHA, 2004)

37

b. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien resiko rendah ke
ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI. (AHA, 2004)

c. Tatalaksana Umum
1) Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama. (AHA, 2004)

2) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada. NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh kororner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG
intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru. (AHA, 2004)
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga

38

harus dihindari pada pasien yang menggunakan Phosphodiesterase-5


inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat. (AHA, 2004)

c. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada


Mengurangi.menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban jantung. (AHA, 2004)
1) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total
20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah
konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi
pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu
diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. (AHA, 2004)
2) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan

efektif

pada

spektrum

sindrom

koroner

akut.

Inhibisi

cepat

siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2


dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg diruang

39

emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.


(AHA, 2004)

3) Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval
PR<0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setalah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metorolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
(AHA, 2004)

4) Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. (AHA, 2004)
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau
medical contact to needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door to ballon (atau medical contact to ballon ) time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. (AHA, 2004)

e. Seleksi Strategi Reperfusi


Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain :
1) Waktu Onset

40

Waktu Onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predikator penting


luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan trombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis
yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan
angka kematian. (Steg, 2012)
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark
menjadi patem, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang
menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh
keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala. (Steg, 2012)
The task force on the management of acute myocardial infarction of the
european society of cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target
medical contact to ballon atau door to ballon time dalam waktu 90 menit.
(AHA, 2004)

2) Resiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam
menilai resiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan
fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik. (Steg, 2012)

3) Resiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan resiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis semakin
tinggi resiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis semakin kuat keputusan

41

untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan resiko. (Steg, 2012)

4) Waktu yang dibutuhkan untuk transport ke laboratorium PCI


Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah
PCI dapat dikerjakan, untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite
end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal
berulang. (Steg, 2012)
Langkah-langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien
STEMI :
a) Langkah 1 : nilai waktu dan resiko
i. Waktu sejak onset dan gejala
ii. Resiko STEMI
iii. Resiko fibrinolisis
iv. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang
mampu.
b) Langkah 2 : tentukan apakah fibrinolisis atau strategi invasif lebih disukai
jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk
strategi invasif, tidak ada preferensi untuk strategi lain.
Fibrinolisis umumnya lebih disukai jika :
a) Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan
ke strategi invasif.
b) Strategi invasif bukan merupakan pilihan
c) Laboratorium kateterisasi belum tersedia

42

d) Kesulitan akses vaskular


e) Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu
f ) Terlambat untuk straregi invasif :

Transport jauh
(door to balloon)-(door to needle) time lebih dari 1 jam
Medical contact to ballon atau door to ballon time lebih dari 90 menit.

Strategi invasif umumnya lebih disukai jika :


a) Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan back up surgical Medical
contact to ballon atau door to ballon time <90 menit.
(door to balloon)-(door to needle) time <1 jam
b) Resiko tinggi STEMI
Syok Kardiogenik
Klas Killip lebih atau sama dengan 3
c) Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya resiko perdarah dan
pengarahan intrakranial.
d) Presentasi terlambat :
Onset gejala >3 jamyang lalu
e) Diagnosis STEMI tidak yakin.
f. Percutaneous coronary intervention (PCI)
Intervensi kororner perkutan , biasanya angioplasti dan atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark
miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri
koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek
dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer
lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun),
resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2
atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan

43

obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan
fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya saran, hanya
dibeberapa rumah sakit. (Steg, 2012)
g. Reperfusi Farmakologis
a) Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30
menit sejak masuk (door to needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis
adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain : tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu : golongan spesifik fibrin seperti tPA
dan non spesifik fibrin seperti streptokinase. (Steg, 2012)
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system :

Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang

terkena infark.
Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik

obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.


Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri

normal.
Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
Target reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada

arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam

44

membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan


menurunkan laju mortalitas jagka pendek dan jangka panjang. (Steg, 2012)
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan resiko relatif kematian dirumah sakit
sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI dan
manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan
pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset gejala akan mendapat
manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika dibandingkan
terapi dalam 1-3 jam, terapi masih tetap banyak bermanfaat pada pasien 3-6
jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat tampaknya masih ada
sampai 12 jam, terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih
tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum menunjukkan gelombang Q
yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer),
fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai
pada pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan
sekurang-kurangnya

jam

antara

waktu

trombolisis

dapat

dimulai

dibandingkan implementasi PCI. (Steg, 2012)


Tissue plasminogen activator (tPA) dan aktivator plasminogen spesifik
fibrin lain seperti tPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki
survival sedikit lebih baik. (Steg, 2012)

f. Obat Fibrinolitik
Indikasi Terapi Fibrinolitik
1. Klas 1
1) jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. (AHA, 2004)

45

2) jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
(AHA, 2004)
2. Klas II a
1) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12
sandapan konsisten dengan infark miokard posterior. (AHA, 2004)
2) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24
jam yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST
0,1

mV

pada

sekurang-kurangnya

sandapan

prekordial

yang

berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas.


Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik.
Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga jika pasien
pasca CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
percutaneous coronary intervention (PCI). (AHA, 2004)
a) Streptokinase
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakupi
harganya yang murah dan insiden perdarahan intrakranial yang rendah.
(AHA, 2004)
b) Tissueplasminogen activator (tPA, alteplase)
global use pf streptokinase to open coronary arteries-1 (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang
mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal

46

daripada SK dan resiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. (AHA,


2004)
c) Reteplase (Retavase)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan
sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah
karena waktu paruh yang lebih panjang. (AHA, 2004)
d) Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi
tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari
TIMI 10 B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA. (AHA, 2004)

g. Tatalaksana di Rumah Sakit


a) ICCU
1. Aktivitas
Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2. Diet
Karena resiko muntah dan aspirasi segera setalah infark miokard, pasien
harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam
pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol
<300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat,
kalium, magnesium, dan rendah nitrat. (AHA, 2004)
3. Bowels
Istirahat ditempat tidur dan penggunaan obat anti nyeri narkotik untuk
menghilangkan

nyeri

sering

mengakibatkan

konstipasi.

Dianjurkan

penggunaan kursi komod disamping tempat tidur, deit tinggi serat dan
penggunaan penvahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200mg/hari). (AHA, 2004)

47

4. Sedasi
Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivasi dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30
mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali sehari biasanya efektif.
(AHA, 2004)

h. Terapi Farmakologis
a) Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran
penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat
antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada antiplatelets
trialistscollaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard
yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan
penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok
kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. Pada
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar
23% dan infark nonfatal sebesar 49%.(AHA, 2004)
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI
yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing
loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300 mg
dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari. (AHA, 2004)
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.

48

Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi


segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. (AHA,
2004)
unfractionated heparin obat antitrombin standar yang digunakan dalam
praktek klinis adalah unfractioned heparin. Pemberian UFH IV segera
sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin
relatif (tPA. rPA atau TNK), membantu trombolisis dan memantapkan dan
mempertahankan

patensi

arteri

yang

terkait

infrak.

Dosis

yang

direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)dilanjutkan infus


inisial

12U/kg

perjam

(maksimum

1000U/jam).

Activated

partial

thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.


(AHA, 2004)
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molekular-weight
Heparin

(LMWH).

Pada

penelitian

ASSENT-3

enoksaparin

dengan

tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit


dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. (AHA, 2004)
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sismetik. Pada
keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH
atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya
3 bulan. (AHA, 2004)
Pada penelitian OASIS-6, faondaparinux dosis rendah, suatu obat anti-Xa
tak langsung, lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau heparin
dalam mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang mendapat
terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani PCI, fondaparinux
dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang dalam 30 hari lebih
tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan dengan terjadinya
trombosis kateter. (AHA, 2004)

49

Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi
reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset >12 jam aspirin, klopidogrel dan
obat anti trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus diberikan
sesegera mungkin. (AHA, 2004)

b) Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan resiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. (AHA,
2004)
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik
ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat
asma). (AHA, 2004)
c) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat

inhibitor ACE

yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau
fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat
jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistonik >100

50

mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca


infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga
lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca
infark. (AHA, 2004)
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien
dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis
dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis
pada pasien STEMI

menunjukkan

bahwa

angiotensi receptor blockers

(ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun
atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE. (AHA,
2004)
14. KOMPLIKASI
a. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitunganbulan atau tahun
pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara
akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark misalnya slippage serat otot,
disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,

51

dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan
vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40% tanpa melihat ada
tidaknya gagal jantung inhibitor ACE harus diberikan.( Sudoyo A.W, 2006)

b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitasnya, baik paa awal
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan roentgen sering
dijumpai kongesti paru. ( Sudoyo A.W, 2006)
c. Syok Kardiogenik
hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk,
sedangkan 90%

terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang

berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner


multivesel. ( Sudoyo A.W, 2006)

d. Infark Ventrikel Kanan


Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposteriro menunjukkan
sekurang-kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien
dengan infark terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan
secara klinis menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi
vena jugularis, tanda kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa

52

hipotensi. Elevasi segmen ST pada sandapan EKG sisi kanan, terutama


sandapan V4R, sering dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel
kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan
dengan reduksi pulmonary capillary wedge (PCW) dan tekanan arteri
pulmonalis. ( Sudoyo A.W, 2006)

e. Aritmia Pasca STEMI


Insidensi aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset
gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan perlambatan konduksi di
zona iskemia miokard. ( Sudoyo A.W, 2006)

f. Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi premature ventrikel sporadic yang tidak sering, dapat terjadi
pada hamper semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat
oenyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien
STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali
terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesimia merupakan faktor
resiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayakan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,0 mmol/liter.
(Sudoyo A.W,2006)

g. Takikardia dan Fibrilasi Ventrikel

53

Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventrikular dapat


terjadi tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya. ( Sudoyo A.W, 2006)
1. Takikardia Ventrikel (Ventricular tachycardia = VT)
a) Takikardia vetrikel (VT) polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau
menyebabkan kolaps hemodinamik.
b) Takikardi ventrikel (VT) monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina,
edema paru atau hipotensi (tekanan darah < 90 mmHg).
c) Takikardi Ventrikel (VT) monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru
atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg).
2. Fibrilasi Ventrikel
3. Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrial sustained dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan
hemodinamik atau ongoing iskemia.
4. Aritmia Supraventikular
5. Asistol Ventrikel
6. Bradiaritmia dan Blok
7. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, dan rupture dinding
ventrikel.
8. Perikarditis

15. REHABILITASI
a. Edukasi kepada pasien
a) Sebelum

rumah

sakit

melaksanakan

tindakan

selanjutnya

pasca

perawatan, pasien perlu diinformasikan tentang rencana pemberian terapi


obat dan perubahan gaya hidup yang sangat penting untuk dilakukan
sebagai pencegahan kedua kekambuhan STEMI. (Circulation, 2004)

54

b) Pasien pasca STEMI dan keluarga pasien diberikan penjelasan tentang


cara mengenali gejala serangan jantung dan apa yang harus dilakukan
ketika serangan jantung terjadi. (Circulation, 2004)
c) keluarga pasien harus diberi penjelasan dan diajarkan tentang CPR dan
AEDs. (Circulation, 2004)

b. Manajemen Lipid
a) Terapi diet Makanan yang dikonsumsi haruslah diperhatikan yakni
makanan yang rendah lemak(saturated fat) dan kolesterol (kurang dari 7%
dari total kalori dan kurang lebih 200 mg/d kolesterol) yang dimulai setelah
seseorang

mengalami

STEMI.

Dilanjutkan

dengan

meningkatkan

konsumsi omega-3 asam lemak, buah-buahan, sayuran, serat larut


(soluble fiber) dan tepung beras. Kalori yang masuk diseimbangkan
dengan pengeluaran energi dan berat badan yang ideal.(Circulation, 2004)
b) Memantau profil lemak dari hasil pemeriksaan. Namun, jika tidak ada
wajib dilakukan pemeriksaan untuk semua pasien STEMI. (Circulation,
2004)
c) Menurunkan kadar LDL-C < 100 mg/dl :
1. Pasien dengan LDL-C 100 mg/dl wajib ditentukan terapi pengobatan
dengan pilihsn pemberian obat statin. (Circulation, 2004)
2. Pasien dengan LDL-C ,100 mg/dl atau tidak diketahui kadar LDL-C
wajib ditentukan pemberian terapi statin. (Circulation, 2004)
d) Pasien kadar HDL-C <130 mg/dL. Jika HDL < 40 mg/dl berikan terapi
nonfarmakologi (seperti : olahraga, penurunan berat badan, dan
berhentikan merokok). (Circulation, 2004)

c. Pengaturan Berat Badan

55

a) Ukuran lingkar pinggang dan kalkulasi index massa tubuh yang


direkomendasikan. Index massa tubuh yang dianjurkan rata-rata 18,5-24,9
kg/m2 dan ukuran lingkar pinggang yang disarankan 40 inci laki-laki dan 35
inci perempuan. (Circulation, 2004)
b) pasien diedukasikan untuk perencanaan strategi yang tepat pengaturan
berat badan dan aktivitas fisik. (Circulation, 2004)
c) memantau respon terapi terhadap index massa tubuh dan lingkar
pinggang. (Circulation, 2004)

d. Menghentikan merokok
a) memberikan konseling kepada pasien dan keluarga pasien dengan STEMI
agar berhenti merokok. (Circulation, 2004)

e. Terapi Antiplatelet
a) Dosis Aspirin 75 162 mg/hr/oral diberikan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas pada pasien dengan STEMI. (Circulation, 2004)
b) Jika pasien tersebut alergi dengan aspirin, obat bisa diganti dengan
klopidogrel 75 mg/hari/oral atau pengobatan alternatif ticlopidine 250
mg/oral 2x1. (Circulation, 2004)
c) Jika pasien alergi dengan aspirin terapi warfarin dengan target INR 2,5
3,5 atau sebagai alternatif gunakan klopidogrel pada pasien yang berumur
kurang dari 75 tahun. (Circulation, 2004)

f. Menghambat sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone


a) ACE Inhibitor diresepkan untuk semua pasien setelah STEMI tanpa
kontraindikasi. (Circulation, 2004)

56

b) Pamakaian jangka panjang aldosteron blockade harus diresepkan untuk


pasien pasca STEMI tanpa kelainan ginjal yang dignifikan (pada pria
kreatinin harus kurang dari atau sama dengan 2,5 mg/dl dan pada wanita
harus kurang dari atau sama dengan 2,0 mg/dl) atau hiperkalemia (kalium
harus kurang dari atau sama dengan 5,0 mEq/L) yang sudah menerima
dosis terapi inhibitor ACE, memiliki LVEF kurang dari atau sama dengan
0,40 dan memiliki gejala yang baik. (circulation, 2004)
c) ARB harus diresepkan pada pasien STEMI yang tidak toleran terhadap
penggunaan inhibitor ACE dan memiliki tanda-tanda klinis atau radiologi
gagal jantung dan LVEF kurang dari 0,40. (circulation, 2004)

g. Beta-Blockers
a) Semua pasien setelah STEMI mendapatkan terapi pengobatan betablockers kecuali mereka yang beresiko rendah (normal atau mendekati
normal fungsi ventrikel, reperfusi yang baik, dan tidak adanya aritmia
ventrikel yang signifikan) dan yang dikontraindikasikan. (circulation, 2004)
b) Pasien dengan gagal jantung ventrikel kiri sedang atau berat harus
menerima terapi beta-blockers dengan skema titrasi bertahap. (circulation,
2004)

h. Kontrol tekanan darah


a) Tekanan darah harus dikontrol terus dengan pemberian terapi obat sampai
tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan kurang dari 130/80 mmHg
untuk pasien dengan komplikasi diabetes dan penyakit ginjal kronis.
(circulation, 2004)

57

b) Modifikasi gaya hidup (kontrol berat badan, ubah pola makan, aktivitas
fisik, dan kurangi sodium) pada pasien dengan tekanan darah lebih dari
120/80 mmHg. (circulation, 2004)

i. Manajemen DIabetes
a) Terapi Hipoglikemia harus dimulai untuk mencapai HBS1c <7%
b) Thiazolidinediones tidak boleh digunakan pada pasien pulih dari STEMI
Kelas III atau IV dan gagal jantung. (circulation, 2004)

j. Terapi Hormon
a) Terapi hormon dengan estrogen plus progestin tidak boleh diberikan pada
wanita pascamenopause setelah STEMI. (circulation, 2004)

k. Terapi Warfarin
a) Warfarin harus diberikan kepada pasien pasca STEMI yang mengalami
alergi dengan aspirin. (circulation, 2004)
l. Aktivitas fisik
a) Atas dasar penilaian faktor resiko, semua pasien STEMI harus melakukan
olahraga minimla 30 menit setiap hari atau 3-4 kali setiap minggu.
(circulation, 2004)

16. PROGNOSIS
Terdapat beberapa system untuk menentukan prognosis pasca Infark
miokard Akut :

58

a. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3


gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.
Tabel 1.1 Klasifikasi killip pada infark miokard akut
Klass
I
II
III
IV

Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Definisi
Mortalitas (%)
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
6
+ S3 dan/atau ronki basah
17
Edema paru
30-40
Syok Kardiogenik
60-80

b. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung


dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 1.2 Klasifikasi forrester untuk infark miokard akut
Klass

Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut


Indeks Kardiak
PCWP (mmHg)
Mortalitas (%)
(L/min/m2)
> 2,2
>2,2
< 2,2
< 2,2

I
II
III
IV

c. TIMI

risk

Score

adalah

< 18
> 18
< 18
> 18

sistem

prognostik

3
9
23
51

paling

akhir

yang

menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai


pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
Tabel 1.3 Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor resiko (bobot)
Skor
resiko/mortalita

59

Usia 65-74 tahun (2 poin)


Usia > 75 tahun (3 poin)
Diabetes Mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 Kg ( 1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor resiko = totalpoin (0-14)

17. PENCEGAHAN
a. Jangan merokok atau hentikan merokok
b. olahraga 30 menit setiap hari atau setiap minggu
c. konsumsi makanan sehat yang baik untuk jantung
d. mempertahankan berat badan ideal
e. tidur yang cukup
f. lakukan skrening kesehatan
a) kontol tekanan darah
b) kadar kolesterol
c) skrening diabetes

s 30 hari (%)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4.4)
4 (7.3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)

60

DAFTAR PUSTAKA
1. Sembulingam, K., Sembulingamm prema. 2013. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Ed 5. Jilid II. Jakarta: BINARUPA AKSARA Publisher.
2. Gray HH , Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Kardiologi Ed 4.
Jakarta: Erlangga Medical Series.
3. M. Steven H., Walker, Tracy. 2006. Cardiology in Family Practice. New
Jersey : HUMANA PRESS.
4. L, Tao., K, Kendall. 2013. Sinopsis Organ Sistem Kardiovaskuler. Jakarta:
KARISMA Publishing Group.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. 2006. Ilmu
Penyakit Dalam. Ed V. Vol II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta: EGC. Vol 1.
7. Kasper, D.L., Braundwald, E., Fauci, A.S., 2005. Harrisons Manual of
Medicine.
Division.

16th edition. New York : McGraw-Hill Medical Publishing

61

8. Mclaren

northern

michigan.

STEMI Heart Attacks. Available

at:

http://www.mclaren.org/northernmichigan/STEMIHeartAttacksnm.aspx.
diakses 29 Agustus 2014.
9. Executive council of the heart failure society of america. 2004. Implication
of recent clinical trials for heart failure performance measures. J card fail.
10. Antman, E. et al. 2004. Management of patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction. American College of cardiology foundation.
American Heart Association.
11. Circulation.

2004.

Available

http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.

at:

diakses

27

agustus

2014.
12. Daga, L.C., Kaul, Upendra., Mansoor, Aijaz. 2011. Approach to STEMI
and NSTEMI. Supplement to JAPI. 59:19-24.
13. Kosowsky, Joshua., Yiadom, maame., hermann, luke. 2009. The
Diagnosis and treatment of STEMI in the Emergency Department.
Emergency Medicine Practice. 11:1-10
14. Steg, gabriel., james, S.K., et al. 2012. ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. European Heart Journal. 33:2569-2619
15. National Institute for health and care excellence. 2013. Myocardial
infarction

with

ST-segment

elevation.

Available

at:

www.nice.org.uk/accreditation. Diakses 29 agustus 2014


16. Griffin, B.P., Menon, T.D., dunn, W.M. 2009. Manual Cardiovascular
Medicine. 4th Edition. Philadelphia : Wolters Kluwer.
17. Mayoclinic.Disease

and

conditions

heart

disease.

Available

www.mayoclinic.org/diseases-conditions/heart-disease/in-depth/heartdisease-prevention/art-20046502?pg=1. Diakses 01 september 2014

at:

62

18. Centers for disease control and prevention. Heart disease. Available at:
www.cdc.gov/heartdisease/what_you_can_do.htm. Diakses 01 september
2014.
19. Steg, gabriel., James, stefan. K. 2012. Essential Messages from ESC
Guidelines.European society of cardiology. France : European society of
cardiology.
20. Kasper, D.L., Braunwald, E. et al. 2005. Harrisons Manual of Medicine.
16th Edition. New york : McGraw-Hill Companies.

Вам также может понравиться