Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. PENDAHULUAN
a. Ringkasan
Infark miokard dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarct =
STEMI) merupakan bentuk infark yang terjadi sesudah rupture plak
aterosklerosis dan thrombosis yang menyebabkan oklusi total pembuluh
darah, terlihat nekrosis diseluruh dinding miokardium. EKG ditandai oleh
gelombang Q dan elevasi segmen ST. ( Sudoyo A.W, 2006)
Adapun Infark Miokard Akut terbagi atas :
1) Infark miokard dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction =
STEMI). (Sudoyo A.W, 2006)
2) Infark miokard tanpa elevasi ST (Non ST elevation myocardial infarction =
NSTEMI). (Sudoyo A.W, 2006)
Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) terus menjadi masalah
kesehatan publik yang signifikan dinegara-negara maju dan sekarang
bertambah menjadi masalah yang signifikan dinegara-negara berkembang.
(Rogers et al, 2000) Meskipun terdapat beberapa perbedaan data dibebarapa
rumah sakit, tercatat terdapat 1 juta 680 jiwa yang menderita ACS pada tahun
2001.(Wiviott et al, 2003)
National Registry of Myocardial Infarction-4 (NRMI-4) memperkirakan
sekitar 30% pasien ACS mengalami Miokard infark dengan elevasi ST
(STEMI), dan di USA jumlah penderita sekitar 500 ribu pasien setiap
tahunnya mengalami Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI).(Topol,2003)
Penyebab dan patomekanisme STEMI biasanya dicetuskan oleh faktorfaktor resiko seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid yang memicu
b. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, gejala dan tanda yang muncul, cara menegakkan diagnosa serta
penatalaksanaan dari infark miokard dengan elevasi ST.
c. Manfaat Penulisan
1) Manfaat Ilmiah
a) Sebagai informasi bahan bacaan tambahan dan menjadi rujukan untuk
pembaca.
2) Manfaat Penggunaan
a) Sebagai bahan untuk promosi kesehatan.
b) Mengetahui faktor resiko agar dapat dihindari, dikurangi atau dihilangkan
faktor resiko tersebut sehingga dapat dicegah. Juga diharapkan dapat
mengenali penyakit miokard infark dengan elevasi ST sehingga bisa
mendapat penanganan lebih awal.
2. DEFINISI
3) Lapisan Jantung
Jantung terdiri dari 3 lapisan : endokardium, miokardium, dan pericardium.
a) Endokardium adalah lapisan terdalam dan berkontak dengan darah dalam
ruang jantung.
b) Miokardium adalah lapis tengah yang tersusun dari miosit, sel kontraktil
tersebut bertanggung jawab untuk pemompaan darah melewati jantung.
c) Perikardium tersusun dari dua lapis pericardium fibrosa di sebelah luar dan
pericardium serosa di sebelah dalam. Pericardium menutupi jantung dan
bagian proksimal pembuluh besar.
i. Perikardium fibrosa merupakan
jaringan
penyambung
liat
yang
4) Arteri koronaria
a) Cabang Utama
Arteri koronaria berasal dari bagian proksimal aorta (cabang pertama
aorta) sebagai Arteri koronaria kanan dan Arteri koronaria kiri . Pembuluh ini
terletak tepat di
Lapisan
ini
juga
membantu
mengikat
jantung
di
dalam
2) Miokardium
Miokardium merupakan lapisan medial dinding jantung yang peling tebal
dan dibentuk oleh serabut otot jantung atau miosit jantung. Miokardium
bertanggung jawab atas kerja jantung untuk memompa darah. Lapisan otot
ini membentuk massa terbesar jantung. Dimana bagian ventrikel lebih tebal
dibandingkan bagian atrium. Tiga serabut otot jantung yang terdapat didalam
mikardium : (Gray,dkk, 2013)
10
11
12
13
4) Skeletal jantung
a) Annulus fibrosus
b)
c)
d)
5) Valvula jantung
a)
Valvula trikuspidalis
b)
c)
Valvula semilunaris
6) Pembuluh darah
a) Kapiler
i.
ii.
iii.
iv.
14
15
a. Tunika intima
a) Sel endotel
b) Sub endothelial
c) Membrana elastica interna
b. Tunika Media
a) Otot polos tebal
b) Serat elastis tipis
c) Membrana elastica externa
c. Tunika Adventisia
a) Serat kolagen
b) Serat elastis
c) Sel fibrosit
d) Vasa vasorum
16
3.
1.
Tipis
2.
17
e) Vena
i. Pembuluh darah yang di dalamnya mengalir darah dari kapiler jantung
ii.
iii.
iv.
v.
Mikroskopis :
Batas ketiga lapisan ini tidak jelas, otot polos dan anyaman
penyambung elastis kurang banyak. Lapisan ini terdiri atas :
a. Tunika intima
b. Tunika media
c. Tunika adventisia
18
f) Vena kecil
i. Mikroskopik :
a.
Tunika Intima
: sel endotel
b.
Tunika Media
c.
19
a.
i. Mikroskopik :
Tunika Intima :
a) Sel endotel (poligonal)
b) Serat elastis tipis
b. Tunika Media :
a)
b) Sel fibroblas
c) Serat kolagen
d) Serat elastis
h) Vena besar
i. Mikroskopik :
a. Tunika Intima :
a) Sama dengan vena sedang
b) Pada Lapisan Subendotelial jaringan Ikat lebih tebal
b. Tunika Media :
a) Kurang otot polos, kadang tidak ada
c. Tunika Adventisia :
a)
b)
Sel fibroblas
c)
Serat kolagen
d)
Serat elastis
e)
Otot polos
20
21
b) Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi ini juga disebut sirkulasi minor (kecil). Darah dipompa dari
ventrikel kanan ke dalam paru-paru lewat arteri pulmonalis. Pertukaran gas
terjadi anatar darah dan alveoli paru melalui membrane kapiler pulmonalis.
Darah bersih yang kaya oksigen akan kembali ke atrium kiri lewat vena
pulmonalis. (Sembulingam K, 2013)
Jadi, sisi kiri jantung mengandung darah bersih yang kaya oksigen atau
darah arterial dan sisi kanan jantung berisi darah venous atau darah yang
miskin oksigen. (Sembulingam K, 2013)
4. KLASSIFIKASI
Klassifikasi Infark Miokard Akut :
a. Infark miokard akut dengan elevasi ST ditandai dengan adanya gambaran
elevasi ST >2 mm minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan pada EKG. (Sudoyo dkk, 2006)
b. Infark miokard akut tanpa elevasi ST ditandai dengan deviasi segmen ST
pada EKG. (Sudoyo dkk, 2006)
5. EPIDEMIOLOGI
22
6. ETIOLOGI
Etiologi STEMI biasanya dicetuskan oleh faktor-faktor resiko seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid yang memicu adanya plak
aterosklerotik yang menyebabkan terjadinya oklusi trombus secara cepat
sehingga terjadi penurunan aliran darah koroner yang mendadak yang diikuti
dengan berkurangnya suplai 02 ke miokard. (Dennis dkk, 2005)
7. PATOMEKANISME
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat
yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid. (Sudoyo dkk, 2006)
23
IIb/IIIa.
Setelah
mengalami
konversi
fungsinya,
reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi
yang larut (integrin) seperti factor von willebrand (vWF) dan fibrinogen,
dimana keduannya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi. (Sudoyo dkk, 2006)
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. (Sudoyo dkk, 2006)
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. (Sudoyo dkk,
2006)
24
8. FAKTOR RESIKO
a. Merokok
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko
utama Infark miokard disamping hipertensi dan hiperkolesterolemia. orang
yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat
efek dua faktor utama resiko lainnya. Efek rokok adalah Menyebabkan beban
miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya
komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan perkataan lain dapat
menyebabkan
Takikardi,
vasokonstrisi
pembuluh
darah,
merubah
25
berhenti
merokok
10
tahun.
Dan
penelitian
Monica
1994
(dimasyarakat) pada kelompok umur 45-54 tahun perilaku merokok pada lakilaki adalah sebanyak 56,9% dan wanita 6,2%. (Fabiyo, 2009)
b. Hipertensi
Penelitian diberbagai tempat di indonesia menyebutkan prevalensi
hipertensi berkisar 6-15%, sedang di negara maju misalnya Amerika serikat
15-20%, lebih kurang 60% penderita hipertensi tidak terdeteksi, 20% dapat
diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik. (Fabiyo, 2009)
Penyebab kematian akibat hipertensi di Amerika serikat adalah kegagalan
jantung 45%, miokard infark 35%, cerebrovaskular accident 15% dan gagal
jantung 5%. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi essensial biasanya
akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada
kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertrofi dari tunika
media diikuti dengan hianilisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika
intima dan akhirnya akan terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang
paling berbahaya adalah bila mengenai miokardium, arteri dan arterial
sistemik, arteri kororner dan serebral serta pembuluh darah ginjal. Komplikasi
26
terhadap hipertensi yang paling sering adalah kegagalan ventrikel kiri, PJK
seperti angina pektoris dan miokard infark. (Fabiyo, 2009)
Dari penelitian 50% penderita miokard infark menderita hipertensi
khususnya pada jantung disebabkan karena :
1) Meningkatnya tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri
(faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi..
(Fabiyo, 2009)
2) Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi kororner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal. (Fabiyo,
2009)
Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Kejadian PJK pada hipertensi sering dan secara langsung berhubungan
dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian framingham selama 18
tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi
sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard
infark. Juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang
mengalami miokard infark mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita
yang normotensi dengan miokard infark. (Fabiyo, 2009)
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan
tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada
kelompok tekanan darah diastolik 90-104 mmHg dibandingkan tekanan darah
27
hipertensi
merupakan
usaha yang
jauh
lebih
baik untuk
menurunkan resiko Infark miokard dengan elevasi ST. Tekanan darah yang
normal merupakan penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan,
kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta pemasukan Na dan K yang
seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola kehidupan
seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan tekanan darah
sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang
dengan kesegaran jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung
rendah. (Fabiyo, 2009)
c.
Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena
28
9. MANIFESTASI KLINIK
a. Symptoms
1) Nyeri dada
2) Rasa terbakar pada dada (nyeri seperti rasa terbakar pada dada yang
menjalar pada sebelah lengan, rahang bagian bawah, leher, dan belakang)
3) Kerkeringat berlebihan
4) Kelemahan
5) Mual
6) Muntah
7) jantung berdebar
8) nafas pendek
9) kehilangan kesadaran
b. Sign
Pasien akan mengeluh adanya nyeri dada seperti diremuk yang lama
(>30-45 menit) akibat aktivitas fisik berat, stress, emosi, penyakit medis atau
bedah dan serupa dengan nyeri angina tetapi tidak mereda dengan
pemberian nitrogliserin.(McLaren)
29
30
12. DIAGNOSIS
Diagnosis Infark Miokard dengan ST elevasi ditegakkan berdasarkan
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >
2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm
pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis. (Sudoyo A.W, 2006)
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar
jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan
apakah nyerinya berasal dari kororner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko
antara lain hipertensi, sakit jantung koroner pada keluarga. (Sudoyo A.W,
2006)
Pada hamper setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau
bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi
sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.(Sudoyo A.W, 2006)
1) Nyeri Dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat
dan tepa apakah pasien menderita infark miokard akut atau tidak. Diagnosis
yang terlambat atau yang salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat.(Sudoyo A.W, 2006)
31
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tampilan Umum : (Sudoyo A.W, 2006)
a) Pucat pada ekstremitas, berkeringat dingin, cemas, tidak bisa beristirahat
(gelisah), mual dan muntah akibat hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi
dan atau hipotensi).
b) Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat.
2) Tanda Vital (Sudoyo A.W, 2006)
a) Biasanya sinus takikardi (100-120/menit).
b) Denyut nadi bisa melambat kecuali bila terdapat syok kardiogenik yang
mengancam.
c) Bradikardi dan atau hipotensi akibat Hiperaktivitas saraf parasimpatis.
32
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium sistem CV
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bahan dalam
tatalaksana pasien STEMI. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine
kinase(CK)MB dan cardiac troponin (cTn)T atau cTnI dan dilakukan secara
serial. cTn harus dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala infark miokard terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. (Sudoyo A.W,
2006)
Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard) :
33
a) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
(Sudoyo A.W, 2006)
b) cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10
hari. (Sudoyo A.W, 2006)
Pada pemeriksaan enzim jantung yang lain didapatkan :
a) Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
b) Creatinine kinase (CK) meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4
hari.
c) Lactate dehydrogenase (LDH) meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
Miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi
nonspesifik
terhadap
injuri
miokard
adalah
leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.
(Sudoyo A.W, 2006)
2) Elektrokardiogram (ECG)
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
34
13. Penatalaksanaan
Tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST saat ini
mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian
35
randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para
ahli sesuai pedoman (guideline). (Sudoyo A.W, 2006)
Tujuan utama tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) adalah diagnosis
cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi Infark
Miokard Akut (IMA). Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST yaitu ACC/AHA
tahun 2009 dan ESC tahun 2008. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan
kondisi
sarana/fasilitas
ditempat
masing-masing
senter
dan
a. Tatalaksana Awal
1) Tatalaksana Pre Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). (Sudoyo A.W, 2006)
Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pre hospital paa pasien yang
dicurigai STEMI antara lain :
a) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi. (AHA, 2004)
c) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih. (AHA, 2004)
36
STEMI
dan
kendali
komando
medis
online
yang
37
c. Tatalaksana Umum
1) Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama. (AHA, 2004)
2) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada. NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh kororner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG
intravena. NTG intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru. (AHA, 2004)
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark
inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga
38
efektif
pada
spektrum
sindrom
koroner
akut.
Inhibisi
cepat
39
3) Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval
PR<0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setalah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metorolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
(AHA, 2004)
4) Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. (AHA, 2004)
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau
medical contact to needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door to ballon (atau medical contact to ballon ) time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. (AHA, 2004)
40
2) Resiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam
menilai resiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan
fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik. (Steg, 2012)
3) Resiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan resiko perdarahan pada pasien.
Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis semakin
tinggi resiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis semakin kuat keputusan
41
untuk memilih PCI. Jika PCI tak tersedia manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan resiko. (Steg, 2012)
42
Transport jauh
(door to balloon)-(door to needle) time lebih dari 1 jam
Medical contact to ballon atau door to ballon time lebih dari 90 menit.
43
obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan
fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya saran, hanya
dibeberapa rumah sakit. (Steg, 2012)
g. Reperfusi Farmakologis
a) Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30
menit sejak masuk (door to needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis
adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain : tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu : golongan spesifik fibrin seperti tPA
dan non spesifik fibrin seperti streptokinase. (Steg, 2012)
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system :
terkena infark.
Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
normal.
Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
Target reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada
arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
44
jam
antara
waktu
trombolisis
dapat
dimulai
f. Obat Fibrinolitik
Indikasi Terapi Fibrinolitik
1. Klas 1
1) jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. (AHA, 2004)
45
2) jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
(AHA, 2004)
2. Klas II a
1) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12
sandapan konsisten dengan infark miokard posterior. (AHA, 2004)
2) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24
jam yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST
0,1
mV
pada
sekurang-kurangnya
sandapan
prekordial
yang
46
nyeri
sering
mengakibatkan
konstipasi.
Dianjurkan
penggunaan kursi komod disamping tempat tidur, deit tinggi serat dan
penggunaan penvahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium
sulfosuksinat (200mg/hari). (AHA, 2004)
47
4. Sedasi
Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivasi dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30
mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali sehari biasanya efektif.
(AHA, 2004)
h. Terapi Farmakologis
a) Antitrombotik
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran
penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi
trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat
antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada antiplatelets
trialistscollaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard
yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan
penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari 14,2% pada kelompok
kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. Pada
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskular sebesar
23% dan infark nonfatal sebesar 49%.(AHA, 2004)
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI
yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI dianjurkan dosing
loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300 mg
dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg/hari. (AHA, 2004)
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.
48
patensi
arteri
yang
terkait
infrak.
Dosis
yang
12U/kg
perjam
(maksimum
1000U/jam).
Activated
partial
(LMWH).
Pada
penelitian
ASSENT-3
enoksaparin
dengan
49
Pada pasca STEMI dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi
reperfusi, atau pasien STEMI dengan onset >12 jam aspirin, klopidogrel dan
obat anti trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) harus diberikan
sesegera mungkin. (AHA, 2004)
b) Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark dan menurunkan resiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. (AHA,
2004)
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien
dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik
ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat
asma). (AHA, 2004)
c) Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE dan TRACE menunjukkan manfaat
inhibitor ACE
yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau
fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat
jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistonik >100
50
menunjukkan
bahwa
(ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun
atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadap inhibitor ACE. (AHA,
2004)
14. KOMPLIKASI
a. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk,
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark.
Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitunganbulan atau tahun
pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara
akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark misalnya slippage serat otot,
disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark,
51
dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan
vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi <40% tanpa melihat ada
tidaknya gagal jantung inhibitor ACE harus diberikan.( Sudoyo A.W, 2006)
b. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitasnya, baik paa awal
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan roentgen sering
dijumpai kongesti paru. ( Sudoyo A.W, 2006)
c. Syok Kardiogenik
hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk,
sedangkan 90%
52
f. Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi premature ventrikel sporadic yang tidak sering, dapat terjadi
pada hamper semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat
oenyekat beta efektif dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien
STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali
terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan hipomagnesimia merupakan faktor
resiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayakan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2,0 mmol/liter.
(Sudoyo A.W,2006)
53
15. REHABILITASI
a. Edukasi kepada pasien
a) Sebelum
rumah
sakit
melaksanakan
tindakan
selanjutnya
pasca
54
b. Manajemen Lipid
a) Terapi diet Makanan yang dikonsumsi haruslah diperhatikan yakni
makanan yang rendah lemak(saturated fat) dan kolesterol (kurang dari 7%
dari total kalori dan kurang lebih 200 mg/d kolesterol) yang dimulai setelah
seseorang
mengalami
STEMI.
Dilanjutkan
dengan
meningkatkan
55
d. Menghentikan merokok
a) memberikan konseling kepada pasien dan keluarga pasien dengan STEMI
agar berhenti merokok. (Circulation, 2004)
e. Terapi Antiplatelet
a) Dosis Aspirin 75 162 mg/hr/oral diberikan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas pada pasien dengan STEMI. (Circulation, 2004)
b) Jika pasien tersebut alergi dengan aspirin, obat bisa diganti dengan
klopidogrel 75 mg/hari/oral atau pengobatan alternatif ticlopidine 250
mg/oral 2x1. (Circulation, 2004)
c) Jika pasien alergi dengan aspirin terapi warfarin dengan target INR 2,5
3,5 atau sebagai alternatif gunakan klopidogrel pada pasien yang berumur
kurang dari 75 tahun. (Circulation, 2004)
56
g. Beta-Blockers
a) Semua pasien setelah STEMI mendapatkan terapi pengobatan betablockers kecuali mereka yang beresiko rendah (normal atau mendekati
normal fungsi ventrikel, reperfusi yang baik, dan tidak adanya aritmia
ventrikel yang signifikan) dan yang dikontraindikasikan. (circulation, 2004)
b) Pasien dengan gagal jantung ventrikel kiri sedang atau berat harus
menerima terapi beta-blockers dengan skema titrasi bertahap. (circulation,
2004)
57
b) Modifikasi gaya hidup (kontrol berat badan, ubah pola makan, aktivitas
fisik, dan kurangi sodium) pada pasien dengan tekanan darah lebih dari
120/80 mmHg. (circulation, 2004)
i. Manajemen DIabetes
a) Terapi Hipoglikemia harus dimulai untuk mencapai HBS1c <7%
b) Thiazolidinediones tidak boleh digunakan pada pasien pulih dari STEMI
Kelas III atau IV dan gagal jantung. (circulation, 2004)
j. Terapi Hormon
a) Terapi hormon dengan estrogen plus progestin tidak boleh diberikan pada
wanita pascamenopause setelah STEMI. (circulation, 2004)
k. Terapi Warfarin
a) Warfarin harus diberikan kepada pasien pasca STEMI yang mengalami
alergi dengan aspirin. (circulation, 2004)
l. Aktivitas fisik
a) Atas dasar penilaian faktor resiko, semua pasien STEMI harus melakukan
olahraga minimla 30 menit setiap hari atau 3-4 kali setiap minggu.
(circulation, 2004)
16. PROGNOSIS
Terdapat beberapa system untuk menentukan prognosis pasca Infark
miokard Akut :
58
I
II
III
IV
c. TIMI
risk
Score
adalah
< 18
> 18
< 18
> 18
sistem
prognostik
3
9
23
51
paling
akhir
yang
59
17. PENCEGAHAN
a. Jangan merokok atau hentikan merokok
b. olahraga 30 menit setiap hari atau setiap minggu
c. konsumsi makanan sehat yang baik untuk jantung
d. mempertahankan berat badan ideal
e. tidur yang cukup
f. lakukan skrening kesehatan
a) kontol tekanan darah
b) kadar kolesterol
c) skrening diabetes
s 30 hari (%)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4.4)
4 (7.3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Sembulingam, K., Sembulingamm prema. 2013. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Ed 5. Jilid II. Jakarta: BINARUPA AKSARA Publisher.
2. Gray HH , Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Kardiologi Ed 4.
Jakarta: Erlangga Medical Series.
3. M. Steven H., Walker, Tracy. 2006. Cardiology in Family Practice. New
Jersey : HUMANA PRESS.
4. L, Tao., K, Kendall. 2013. Sinopsis Organ Sistem Kardiovaskuler. Jakarta:
KARISMA Publishing Group.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. 2006. Ilmu
Penyakit Dalam. Ed V. Vol II. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi. Ed 6. Jakarta: EGC. Vol 1.
7. Kasper, D.L., Braundwald, E., Fauci, A.S., 2005. Harrisons Manual of
Medicine.
Division.
61
8. Mclaren
northern
michigan.
at:
http://www.mclaren.org/northernmichigan/STEMIHeartAttacksnm.aspx.
diakses 29 Agustus 2014.
9. Executive council of the heart failure society of america. 2004. Implication
of recent clinical trials for heart failure performance measures. J card fail.
10. Antman, E. et al. 2004. Management of patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction. American College of cardiology foundation.
American Heart Association.
11. Circulation.
2004.
Available
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.
at:
diakses
27
agustus
2014.
12. Daga, L.C., Kaul, Upendra., Mansoor, Aijaz. 2011. Approach to STEMI
and NSTEMI. Supplement to JAPI. 59:19-24.
13. Kosowsky, Joshua., Yiadom, maame., hermann, luke. 2009. The
Diagnosis and treatment of STEMI in the Emergency Department.
Emergency Medicine Practice. 11:1-10
14. Steg, gabriel., james, S.K., et al. 2012. ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with
ST-segment elevation. European Heart Journal. 33:2569-2619
15. National Institute for health and care excellence. 2013. Myocardial
infarction
with
ST-segment
elevation.
Available
at:
and
conditions
heart
disease.
Available
at:
62
18. Centers for disease control and prevention. Heart disease. Available at:
www.cdc.gov/heartdisease/what_you_can_do.htm. Diakses 01 september
2014.
19. Steg, gabriel., James, stefan. K. 2012. Essential Messages from ESC
Guidelines.European society of cardiology. France : European society of
cardiology.
20. Kasper, D.L., Braunwald, E. et al. 2005. Harrisons Manual of Medicine.
16th Edition. New york : McGraw-Hill Companies.