Вы находитесь на странице: 1из 3

Sekilas Sejarah Freemasonry di Bandung

Najan kaasup ludengan, ari asup ka Gedong Setan mah teu wani. Tong boro asup
ketang, dalah ngalanto ka buruanana ge geus muringkak bulu punduk, (walaupun
termasuk pemberani, kalau masuk ke gedung setan mah tidak berani, jangankan
masuk, mendatangi halamannya pun bulu kuduk sudah merinding),
Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan (Kiblat, 2011) mengisahkan
pengalamannya seputar keberadaan Gedung Setan di Bandung. Menurutnya
dahulu di Bandung terdapat beberapa tempat angker, salah satunya sebuah gedung
di seberang balaikota. Kakara beh dieu nyaho yen eta gedong (loji) the baheulana
tempat kaom teosofi karumpul. Ngaran gedongna the Saint Jan. Nu karumpul di
dinya iwal ti neuleuman perkara agama teh, cenah, sok ngahaja ngayakeun
upacara narik arwah (Baru sekarang tahu kalau bangunan itu dulunya adalah
tempat kaum teosofi berkumpul. Nama gedungnya Saint Jan. Yang kumpul di sana
selain membahas masalah agama, katanya, suka mengadakan upacara menarik
arwah), tambah abah Us Tiarsa.
Us Tiarsa memang kurang tepat saat menyebutkan kalau gedung Sint Jan sebagai
tempat berkumpulnya kaum Teosofi. Seharusnya yang berkumpul di gedung itu
adalah kelompok Freemasonry. Pada zaman kolonial kedua kelompok ini, baik
Freemasonry maupun Teosofi memang pernah berkiprah secara bebas di Bandung.
Mereka menjalankan apa yang disebut sebagai ajaran okultisme, suatu ajaran yang
berusaha mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Okultisme sendiri berasal dari
bahasa latin occultus yang artinya tersembunyi atau rahasia.
Tidak banyak yang tahu kalau gerakan Freemasonry atau Vrijmetselarij pernah
berkiprah dan meninggalkan jejaknya di Bandung. TH Stevens dalam buku Tarekat
Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Sinar
Harapan, 2004) bahkan menyebutkan kalau jejak gerakan Freemasonry memiliki
pengaruh yang cukup luas dalam sejarah Indonesia. Tapi mari kita membicarakan
peninggalan Freemasonry di kota Parijs van Java terlebih dahulu.
Secara tidak langsung, bolehlah dikatakan apabila kota Bandung adalah karya dari
seorang anggota Freemason. Mengapa ? Tidak lain karena Herman Willem
Daendels, Gubernur Jenderal yang memindahkan Negorij Bandoeng dari Krapyak
ke lokasi Bandung yang sekarang, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Ia
dilantik di loji Le Profond Silence Kampen, Belanda ketika masih menjadi seorang
perwira muda. Semasa berkuasa, Daendels turut membawa pengaruh Freemasonry
ke Hindia Belanda dan Bandung khususnya.
Pengaruh tersebut terpancar dari langgam arsitektur Empire Stij yang dibawa
Daendels ke Nusantara. Ia mewajibkan seluruh bangunan publik agar dibangun

berdasarkan gaya arsitektur tersebut dan gaya ini dipertahankan selama berpuluhpuluh tahun oleh penguasa Hindia Belanda selanjutnya.
Gaya bangunan Empire dicirikan oleh struktur bangunan yang serba simetris,
seperti disebutkan Jan De Boer dalam buku Inleidieng Tot De Kennis van
Symbolische Vormen En Van De Myztiek Der Bouwkunst (Van Mantgem & De Does
Amsterdam, 1948) mengadopsi konsep Piramida, Fibonaci, Tanduk Horus, dan Kuilkuil Pagan Romawi. Seluruhnya merupakan konsep dalam ajaran Freemasonry.
Selain itu Handinoto (2012) menyebutkan kalau ciri lain gaya arsitektur Empire
adalah barisan kolom Yunani (Doric, Ionic, dan sebagainya), berfungsi sebagai
pendukung atap yang menjulang ke atas. Ini lagi-lagi sesuai dengan arsitektur
Freemasonry dicirikan oleh penggunaan pilar-pilar bergaya Doric, Ionic, dan
Korinthian.
Di Bandung, penerapan arsitektur Empire Stij dilakukan pada gedung-gedung
kolonial tertua seperti Kweekschool (sekolah guru), MOSVIA (sekolah menak), dan
kantor Residen Priangan (Gedung Pakuan) yang dibangun di pertengahan abad-19.
Seluruh bangunan-bangunan ini menunjukan kemiripan arsitektur dengan bentuk
kuil-kuil Yunani atau Tempat Ibadah Freemasonry umumnya. Dengan demikian,
selain menunjukan jejak kekuasaan Daendels di Bandung, bangunan-bangunan ini
secara tidak langsung merupakan artefak Freemasonry yang sangat berharga yang
masih eksis di Bandung. Penggunaan gaya arsitektur Empire di Bandung berakhir
seiring masuknya arsitek-arsitek swasta ke Bandung di awal abad-20.
Peninggalan Freemasonry lainnya, yang cukup penting namun kini sudah tidak
berbekas lagi, adalah Gedung Setan seperti yang dikisahkah Us Tiarsa di awal
cerita. Entah benar atau tidak, sebutan Gedung Setan merupakan pelafalan
masyarakat atas Loji Sint Jan, nama resmi markas kelompok Freemasonry di
Bandung. Hal ini cukup meragukan karena beberapa markas Freemasonry di kota
lainnya mendapatkan julukan yang sama.
Sejarah loji ini dimulai ketika pada tanggal 23 November 1880 sebagian anggota
Loji De Ster in het Oosten di Batavia antara lain : E.A. Halewijn, F. Schenk, W.
Tinge, J. Verschuil. R.P.O.D. Wijnmalen, C.L. Heisje , A.D.J. Groenemeijer, J.F.J.
Mispelblom, Beijer, C.H. Coenraad, W. Voorthuizen dan A.R. Twijsel bermaksud untuk
mendirikan loji Freemasonry bernama Sint Jan di Bandung. Karena belum memiliki
gedung permanen, atas izin Residen Priangan tanggal 21 Mei tahun 1881 No
6245/26 E, mereka diperbolehkan untuk menggunakan sebagian dari bangunan
Kweekschool Bandung sebagai tempat pengadaan seminari atau pertemuan
bulanan. Mereka menggunakan gedung Kweekschool hingga tahun 1884. Setelah
sempat vakum selama beberapa tahun,
Pada Agustus 1897, seorang anggota, tuan Simon berinsiatif membeli sebidang
lahan atas nama perkumpulan St. Jan untuk didirikan bangunan Loji di atasnya.
Lokasinya berada di barat Gedung Papak, atau di atas lokasi Masjid Al Ukhuwah

sekarang. Setelah mengumpulkan cukup dana untuk pendirian gedung itu, barulah
pada bulan Januari 1901 pembangunan gedung Loji St. Jan dimulai dan rampung
pada tanggal 20 Juli 1901. Proyek tersebut dipimpin oleh saudara van Haastert.
Berkat keberadaan loji di sana. Jalan yang menghubungkan antara jalan Pelajar
Pejuang dengan Jalan Aceh dulunya dinamakan dengan Logeweg. Setelah
mengalami kemajuan, pada tahun 1920 anggota Freemasonry Bandung berhasil
mengumpulkan dana untuk merenovasi dan memperbaiki gedung St. Jan sehingga
menjadi lebih mewah.
Selain melakukan kegiatan-kegiatan Freemasonry pada umumnya, anggota Loji Sint
Jan di Bandung termasuk cukup aktif di bidang sosial. Buku Gedenkboek Van De
Vrijmetselarij in Nederlandsch Oost-Indie 1767 1917
(Van Dorp, 1917)
menyebutkan kalau Loji Sint Jan pernah tercatat memiliki perpustakaan umum
terbesar di Bandung. Mereka juga mengadakan frobelschool (sekolah taman kanakkanak), pro juventute (pendidikan remaja bermasalah), asrama yatim piatu, dan
dukungan terhadap Bandoengsche Blinden Instituut (Yayasan Tuna Netra di
Bandung)
Kiprah Freemasonry di Bandung terhenti semenjak datangnya penjajahan Jepang di
Nusantara. Rezim militer Jepang menganggap anggota Freemasonry sebagai
penjahan nomor satu, mengakibatkan punahnya sebagian besar anggota
Freemasonry. Akhirnya setelah kemerdekaan, tidak banyak lagi anggota
Freemasonry dari ras Eropa. Beberapa anggota dari kalangan pribumi kemudian
berusaha mengumpulkan kekuatan dan mengubah loji Sint Jan di Bandung menjadi
Loji Dharma. Loji ini merupakan satu dari empat loji yang dihidupkan kembali di
Indonesia. Tiga lainnya adalah Purwa Daksina di Jakarta, Pamitrian (Persahabatan)
di Surabaya, dan Bhakti (Pelayanan) di Semarang. Keempat loji itu kemudian
membentuk Loji Timur Agung di Indonesia sekaligus mengangkat seorang Mason
yang pernah dilantik di Loji Sint Jan Bandung, Sumitro Kolopaking, sebagai Suhu
Agung Timur Agung Indonesia pada tahun 1955.
Kegiatan Freemasonry begitu terbuka, sehingga pada tahun 50an kita masih bisa
menemukan pada buku-buku petunjuk daerah Bandung, keterangan yang
menyebutkan gedung di jalan Wastukantjana 27 sebagai Loge St. Jan, Tempat
Ibadah Kaum Kebatinan Free Masonry.
Kiprah Freemasonry terhenti setelah pada tahun 1962 Soekarno melarang
beroperasinya segala organisasi yang memiliki hubungan dengan luar negeri.
Setahun sebelumnya, entah atas dasar apa Soekarno juga memerintahkan
pembongkaran bangunan Loji St. Jan. Pada tahun 1998 di atas lahan loji didirikan
Masjid Al-Ukhuwwah. Sekilas nama Masjid ini mirip dengan nama loji de
Vriendschap
atau
Pamitrian
di
Surabaya
yang
sama-sama
berarti
Persahabatan.

Вам также может понравиться