Вы находитесь на странице: 1из 49

iii

HALAMAN PENETAPAN SELESAI BIMBINGAN

Karya Tulis Ilmiah dengan judul


PENYAKIT TAENIASIS
Oleh

: Gunawan Hutagalung

NPM : 208210186
Telah selesai dan disahkan oleh Pembimbing untuk
diajukan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Medan, 27 April 2012


Dosen Pembimbing

dr. Wilson Riau, DTM&H


Diketahui dan di daftar
Ketua Prodi Studi
Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia

dr. Jaminsen Sinaga, SpA

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini


Nama : Gunawan Hutagalung
NPM : 208210186
Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan
Judul :
PENYAKIT TAENIASIS

Adalah benar merupakan Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis


sendiri. Saya berjanji bersedia menerima sangsi sesuai ketentuan
yang berlaku bila dikemudian hari ternyata Karya Tulis Ilmiah ini
merupakan hasil karya penulis lain.

Medan, 27 April 2012


Yang membuat pernyataan

Gunawan Hutagalung

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH


PENYAKIT TAENIASIS

Oleh : Gunawan Hutagalung


Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
Program Studi Sarjana Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.
Hari : Jumat

Tanggal : 18 Mei 2012


Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah

Penguji I

Penguji II / Pembimbing

dr. Thomson P. Nadapdap, MS

Pimpinan Sidang

dr. Stefanus Susanto

dr. Wilson Riau, DTM&H

vi

ABSTRAK
PENYAKIT TAENIASIS
Nama

: Gunawan Hutagalung

NPM

: 208210186

Judul

: Penyakit Taeniasis

Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran UMI Medan


Penyakit Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh
cacing pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia. Secara tradisional
dikenal 2 jenis infeksi cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia
solium (cacing pita babi, pork tapeworm) dan taeniasis oleh karena infeksi
Taenia saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef tapeworm). Akhir-akhir ini
ditemukan spesies baru yang berhubungan erat (sister species) dengan Taenia
saginata, disebut sebagai Taenia asiatica. Pada manusia, bentuk larva
(cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan infeksi yang dikenal sebagai
sistiserkosis (cysticercosis). Taenia asiatica juga diperkirakan tidak dapat
menimbulkan sistiserkosis pada manusia. Apabila sistiserkosis mengenai
jaringan otak maka disebut sebagai neurocysticercosis (NCC). Diagnosis
penyakit taeniasis dapat dibuat jika pasien mengeluarkan proglotid baik secara
pasif dalam tinja maupun secara aktif. Proglotid yang keluar secara aktif
menunjukkan indikasi ke arah diagnosis infeksi Taenia saginata. Diagnosis
dapat juga dibuat dengan menemukan telur Taenia dalam tinja. Identifikasi
tidak dapat dibuat berdasarkan morfologi telur. Pengeluaran telur bersifat
eratik, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berulang-ulang. Berbagai macam
obat dapat dipakai sebagai terapi penyakit taeniasis. Obat pilihan untuk infeksi
cacing pita saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid. Obat-obat yang
sebelumnya dipakai untuk taeniasis tetapi sekarang jarang digunakan ialah :
atabrin (mepakrin), bitionol (bitin) dan diklorofen.
Kata kunci : Penyakit Taeniasis, Komplikasi, Diagnosis, Pengobatan.

vii

ABSTRACT
TAENIASIS DISEASE
Taeniasis disease or tapeworm disease is human infection by adult
tapeworm who classified into Taenia genus. In traditionally known two species
tapeworm infection that is taeniasis because of Taenia solium infection (pork
tapeworm) and taeniasis because of Taenia saginata infection (cattle or beef
tapeworm). In recent times founded new species who relate well to (sister
species) with Taenia saginata, called as Taenia asiatica, but there is consider as
subspecies Taenia saginata so that called as Taenia saginata asiatica. Into
human, larva form (cysticercus) Taenia solium can make infection as known as
cysticercosis. Taenia asiatica too predicted can not make cysticercosis into
human. When cysticercosis concerning brain tissue then called as
neurocysticercosis (NCC). Diagnose taeniasis disease can make if patient eject
proglottid passive in feces as well as active. Eject active proglottid indicate to
way diagnose of Taenia saginata infection. Diagnose can be make with
founded Taenia egg in feces. Identification can not be make building of egg
morphology. Egg expultion characterised eratic, so that necessary make
investigation repaetedly. A variety of kind medicine can use as taeniasis
therapy. Drug of choice for tapeworm infection for the moment is praziquantel
and niclosamide. Medicines who use before for taeniasis but now rare use is :
atabrin (mepakrin), bitionol (bitin) and dichlorofen.
Keywords : Taeniasis disease, Complication, Diagnose, Treatment.

viii

KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
mana atas berkat dan rahmatNya, sehingga penulis sampai saat ini diberikan
kekuatan dan anugerah dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Adapun
judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah PENYAKIT TAENIASIS . Dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini, tidak terlepas bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Pantas Simanjuntak, MM, selaku Rektor Universitas Methodist
Indonesia Medan.
2. Dr Wilson Riau, DTM&H, selaku Pj. Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Methodist Indonesia Medan.
3. Dr. Jaminsen Sinaga, SpA, selaku Ketua Program Studi Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan.
4. Dr. Wilson Riau, DTM&H, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberi arahan
kepada penulis selama Penyusunan karya Tulis Ilmiah ini.
5. Seluruh Dosen dan Staf Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Methodist Indonesia Medan.
6. Kepada kedua orang tua penulis Bapak G Hutagalung dan Ibu H br.
Sinaga, yang telah memberi banyak
pengorbanan

materi

yang

begitu

dukungan, doa restu dan

besar sehingga penulis

dapat

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.


7. Kepada abang-kakak penulis, Leo Hutagalung dan Caroline Hutagalung
yang selalu memberikan dukungan beserta doa kepada penulis sehingga
dapat mnyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
8. Kepada teman-teman, Hotman Siringoringo, Tona B. M. Sinaga, Dior
Silaen, Raymond J. M. N Pangaribuan dan teman-teman lain yang penulis
tidak dapat sebutkan namanya satu persatu, yang selalu bersama-sama dan

ix

saling mendukung satu sama yang lain untuk dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini.
9. Kepada teman-teman satu tim tutorial 3.16 penulis, Putry D. Panjaitan,
Julia C. T. Panjaitan, Tona B. M. Sinaga, Febry C. Tarigan, Andreas
Henfri Situngkir, Sarah Caroline, Lenny, Natalia Claudia, Benny Chandra,
Sanjethro Ginting, yang juga telah memberikan dukungan dan masukan
dalam membantu menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis berharap semoga hasil karya tulis imiah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Dan penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penyusunan
karya tulis ilmiah ini. Akhir kata Penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, 27 April 2012


Penulis

Gunawan Hutagalung

DAFTAR ISI
HALAMAN PENETAPAN JUDUL............................................................ii
HALAMAN SELESAI BIMBINGAN.......................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN KTI..............................................................v
ABSTRAK....................................................................................................vi
KATA PENGANTAR.................................................................................viii
DAFTAR ISI..................................................................................................x
DAFTAR TABEL........................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................xiii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................3
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan..............................................................4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi (klasifikasi), sejarah, dan epidemiologi
Penyakit Taeniasis...................................................................5
2.2. Distribusi geografik Penyakit Taeniasis..........................11
2.3. Morfologi dan daur hidup Penyakit Taeniasis...............11
2.4. Masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan
kekebalan Penyakit Taeniasis...............................................11
2.5. Patogenesis Penyakit Taeniasis........................................19
2.6. Gejala klinik Penyakit Taeniasis......................................20
2.7. Diagnosis Penyakit Taeniasis............................................22
2.8. Sistiserkosis............................................................................23
2.9. Neurosistiserkosis..................................................................32
2.10. Penatalaksanaan Penyakit Taeniasis.................................33

xi

BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan........................................................................36
3.2. Saran..................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................38

xii

DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Gambaran karakteristik Taenia solium, Taenia asiatica dan Taenia
Saginata.........................................................................................12
Tabel 2 : Perbedaan morfologik Taenia saginata dan Taenia solium...........23

xiii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Prevalensi pasien Taeniasis......................................................... 7
Gambar 2 : Cacing Taenia saginata dewasa.................................................11
Gambar 3 : Segmen tubuh Taenia solium.....................................................11
Gambar 4 : Siklus hidup Taenia saginata.....................................................13
Gambar 5 : Proglotid matang Taenia............................................................14
Gambar 6 : Telur Taenia saginata.................................................................15
Gambar 7 : Proglotid gravid Taenia solium..................................................16
Gambar 8 : Siklus hidup Taenia solium........................................................17
Gambar 9 : Taenia saginata di usus buntu....................................................19
Gambar 10 : Daerah-daerah endemik sistiserkosis.......................................24
Gambar 11 : Sistiserkosis pada otak.............................................................32
Gambar 12 : Cara pengendalian cacing pita Taenia......................................35

xiv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia. Secara tradisional dikenal 2
jenis infeksi cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia solium
(cacing pita babi, pork tapeworm) dan taeniasis oleh karena infeksi Taenia
saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef tapeworm). Akhir-akhir ini
ditemukan spesies baru yang berhubungan erat (sister species) dengan Taenia
saginata, disebut sebagai Taenia asiatica, tetapi ada yang menganggap sebagai
subspesies Taenia saginata sehingga disebut sebagai Taenia saginata asiatica.
Pada manusia, bentuk larva (cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan
infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis (cysticercosis). Apabila sistiserkosis
mengenai jaringan otak maka disebut sebagai neurocysticercosis (NCC).

Taeniasis merupakan penyakit yang endemik pada beberapa daerah tertentu,


terutama negara-negara yang sedang berkembang. Taeniasis karena Taenia
solium dapat menimbulkan neurosistiserkosis dengan berbagai komplikasi
bahkan sampai kematian. Oleh World Health Assembly 2003 dinyatakan
sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia dan
dianggap sebagai penyakit parasitik yang harus dieradikasi. Wallin & Kutzke
menganggap neurosistiserkosis sebagai infeksi yang semakin meningkat
jumlahnya (emerging infection) di dunia. (I Made Bakta, 2009).

Penyebaran cacing adalah kosmopolit, didapatkan di Eropa, Timur Tengah,


Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia dan juga Indonesia, yaitu
Bali, Jakarta dan lain-lain. (Inge Sutanto et al, 2009).
Taeniasis saginata secara umum didapatkan di Amerika Serikat, Eropa Barat
dan Timur, Amerika Selatan dan Afrika Timur dan Barat. Taeniasis solium

xv

secara umum ditemukan di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan,


Czechosslovakia, Yugoslavia, Cina Utara dan Afrika Timur dan India.

Di Indonesia taeniasis terdapat di beberapa daerah endemik di Sumatera


Utara (P. Samosir), Lampung, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya, di mana
penduduk mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau kurang matang.
(Bariah Ideham & Suhintam Pusarawati, 2007).

Sumber penularan taeniasis adalah hewan terutama babi, sapi yang


mengandung larva cacing pita (cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis
adalah penderita taeniasis solium sendiri yang tinjanya mengandung telur atau
proglotid cacing pita dan mencemari lingkungan. Seseorang dapat terinfeksi
cacing pita (taeniasis) bila makan daging yang mengandung larva yang tidak
dimasak dengan sempurna, baik larva Taenia saginata yang terdapat pada
daging sapi (cysticercus bovis) maupun larva Taenia solium (cysticercus
cellulose) yang terdapat pada daging babi atau larva Taenia asiatica yang
terdapat pada hati babi. Sistiserkosis terjadi apabila telur Taenia solium tertelan
oleh manusia. Telur Taenia saginata dan Taenia asiatica tidak menimbulkan
sistiserkosis pada manusia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang berbahaya
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemis. Hingga saat
ini kasus taeniasis/sistiserkosis telah banyak dilaporkan dan tersebar di
beberapa propinsi di Indonesia, terutama di propinsi Papua, Bali dan Sumatera
Utara. (Anonim, 2007).

Diagnosis taeniasis dapat dibuat jika pasien mengeluarkan proglotid baik


secara pasif dalam tinja maupun secara aktif. Proglotid yang keluar secara aktif
menunjukkan indikasi ke arah diagnosis infeksi Taenia saginata. (I Made
Bakta, 2009).

xvi

Berbagai macam obat dapat dipakai sebagai terapi taeniasis. Obat pilihan
untuk infeksi cacing pita saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid. Obat-obat
yang sebelumnya dipakai untuk taeniasis tetapi sekarang jarang digunakan
ialah : atabrin (mepakrin), bitionol (bitin) dan diklorofen. (I Made Bakta,
2009).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana taksonomi (klasifikasi), sejarah dan epidemiologi penyakit
Taeniasis ?
2. Bagaimana distribusi geografik penyakit Taeniasis ?
3. Bagaimana morfologi dan daur hidup penyakit Taeniasis ?
4. Bagaimana masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan kekebalan
5.
6.
7.
8.

penyakit Taeniasis ?
Bagaimana pathogenesis terjadinya penyakit Taeniasis ?
Bagaimana bentuk gejala klinik penyakit Taeniasis ?
Bagaimana diagnosis penyakit Taeniasis ?
Apa yang dimaksud dengan sistiserkosis dan bagaimana penatalaksanaan

nya ?
9. Apa yang dimaksud dengan neurosistiserkosis dan bagaimana
penatalaksanaan nya ?
10. Bagaimana penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan penyakit
Taeniasis ?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Penyakit Taeniasis.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tentang taksonomi (klasifikasi), sejarah dan epidemiologi
penyakit Taeniasis.
b. Mengetahui distribusi geografik penyakit Taeniasis.
c. Mengetahui morfologi dan daur hidup penyakit Taeniasis.
d. Mengetahui masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan kekebalan
e.
f.
g.
h.

penyakit Taeniasis.
Mengetahui pathogenesis terjadinya penyakit Taeniasis.
Mengetahui gejala klinik penyakit Taeniasis.
Mengetahui diagnosis penyakit Taeniasis.
Mengetahui pengertian sistiserkosis dan penatalaksanaan nya.

xvii

i. Mengetahui pengertian neurosistiserkosis dan penatalaksanaan nya.


j. Mengetahui penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan penyakit
Taeniasis.

1.4. Manfaat Penulisan


Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1)
Fakultas Kedokteran di Universitas Methodist Indonesia.
b. Menambah wawasan mengenai Penyakit Taeniasis.
c. Sebagai bahan perpustakaan Universitas Methodist Indonesia.

xviii

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Taksonomi (Klasifikasi), Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Taeniasis
Taksonomi (Klasifikasi)
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Platyhelminthes
: Cestoda
: Cyclophellidea
: Taeniidae
: Taenia
: Taenia saginata
Taenia solium

Istilah yang digunakan pada Cestoda


a. Leher
b. Proglotid
c. Heksakan
d. Sistiserkus
e. Sistiserkoid
f. Onkosfer
g. Rostelum
h. Skoleks
i. Strobila

: bagian yang menghubungkan skoles dengan strobila, tidak


bersegmen.
: segmen tunggal pada cacing pita.
: stadium larva yang mempunyai 6 buah kait (hooks).
: stadium larva Taenia dalam kantong (bladder) yang berisi
cairan.
: stadium larva pada cacing pita, tidak dalam kantong.
: hexacanth embryo.
: penonjolan pada bagian anterior dari skoleks Cestoda
tertentu.
: organ anterior (kepala) cacing pita yang digunakan untuk
melekat pada hospes.
: seluruh tubuh dari Cestoda.

Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia. Secara tradisional dikenal 2
jenis infeksi cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia solium
(cacing pita babi, pork tapeworm) dan taeniasis oleh karena infeksi Taenia
saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef tapeworm). Akhir-akhir ini
ditemukan spesies baru yang berhubungan erat (sister species) dengan Taenia
saginata, disebut sebagai Taenia asiatica, tetapi ada yang menganggap sebagai

xix

subspesies Taenia saginata sehingga disebut sebagai Taenia saginata asiatica.


Pada manusia, bentuk larva (cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan
infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis (cysticercosis). Apabila sistiserkosis
mengenai jaringan otak maka disebut sebagai neurocysticercosis (NCC).
Taeniasis merupakan penyakit yang endemik pada beberapa daerah tertentu,
terutama negara-negara yang sedang berkembang. Taeniasis karena Taenia
solium dapat menimbulkan neurosistiserkosis dengan berbagai komplikasi
bahkan sampai kematian. Oleh World Health Assembly 2003 dinyatakan
sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia dan
dianggap sebagai penyakit parasitik yang harus dieradikasi. Wallin & Kutzke
menganggap neurosistiserkosis sebagai infeksi yang semakin meningkat
jumlahnya (emerging infection) di dunia. (I Made Bakta, 2009).
Namun, menurut beberapa laporan, cystisercosis juga ditemukan di negara
yang maju seperti di Amerika Serikat. Di negara tersebut jumlah kasus
neurosistiserkosis meningkat dan diperkirakan lebih dari 1000 kasus
terdiagnosis setiap tahun. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah
imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara
tersebut. Rosenfeld dkk. melaporkan selama tahun 1986-1994 ditemukan 47
kasus neurosistiserkosis pada anak di rumah sakit anak Chicago.

xx

Gambar 1. Prevalensi pasien Taeniasis. (anonim, 2012)

Taenia saginata & Taenia solium. Taenia saginata, cacing pita dari sapi,
telah dikenal sejak dahulu; akan tetapi identifikasi cacing tersebut baru menjadi
jelas setelah tahun 1782, karena karya Goeze dan Leuckart. Sejak itu, diketahui
adanya hubungan antara infeksi cacing Taenia saginata dengan larva
sistiserkus bovis, yang ditemukan pada daging sapi. Bila seekor anak sapi
diberi makan proglotid gravid cacing Taenia saginata, maka pada dagingnya
akan ditemukan sistiserkus bovis. Taenia solium, cacing pita dari daging babi,
diketahui sejak Hippocrates, atau mungkin sudah sejak Nabi Musa walaupun
pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan
cacing pita daging babi, sampai pada karya Goeze (1782). Aristophane dan
Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus selulose pada lidah babi
hutan. Gessner (1558) dan Rumler (1588), melaporkan stadium larva pada
manusia. Kuchenmeister (1855) dan Leuckart (1856), adalah sarjana-sarjana
yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan
membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi,
adalah stadium larva cacing Taenia solium. (Inge Sutanto et al, 2009).

Di Indonesia infeksi Taenia saginata pertama kali dilaporkan di Malang


oleh Luchtman pada tahun 1867 dan infeksi Taenia solium ditemukan pertama
kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia, taeniasis
dilaporkan dari daerah Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara
Timur, Irian Jaya, dan lokasi transmigran asal Bali seperti di Sulawesi Tengah
dan Lampung. Bali merupakan suatu daerah endemik dengan prevalensi 0,59,4%. Bakta melaporkan suatu daerah hiperendemik di Bali dengan prevalensi
23%. Di Pulau Samosir prevalensi berkisar sekitar 9,5% juga dijumpai daerah
hiperendemik dengan prevalensi 21%. Prevalensi taeniasis di Irian Jaya
dilaporkan sekitar 8% dan di Timor sekitar 7%.

xxi

Di daerah Bali spesies Taenia saginata dijumpai lebih sering dibandingkan


dengan Taenia solium. Hal yang sama juga dijumpai di Pulau Samosir. Tetapi
mengingat sebagian besar penduduk tidak mengkonsumsi daging sapi, diduga
sebagian besar cacing pita tersebut digolongkan Taenia asiatica. Di Irian Jaya
spesies Taenia solium lebih dominan dibandingkan dengan Taenia saginata. Di
Kabupaten Jayawijaya Papua, ditemukan 66,3% (106 orang dari 160
responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi.
Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan
diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya
adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari
257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita
epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak. (Gindo Mangara Simanjuntak,
2010).
Menurut laporan Abdussalam dari World Health Organization, tampaknya
terdapat peningkatan insidens taeniasis setiap tahun di seluruh dunia. Faktorfaktor epidemiologik yang memudahkan penyebaran penyakit ini ialah: adanya
sumber infeksi yaitu pasien taeniasis, cara pembuangan tinja sembarangan
sehingga terjadi kontaminasi tanah atau tumbuh-tumbuhan oleh telur taenia,
adanya binatang perantara yang dipelihara pada tempat yang terkontaminasi,
pengawasan pemotongan daging yang tidak baik, kebiasaan makan daging
yang tidak dimasak sempurna.
Cacing pita dewasa terdiri dari bagian kepala yang disebut skoleks (scolex),
diikuti oleh bagian leher yang tanpa ruas dan bagian-bagian ruas atau proglotid.
Pada ujung proglotid terdapat proglotid gravid yang penuh dengan telur.
Keseluruhan cacing dari skoleks sampai proglotid gravid disebut sebagai
strobila.
Taenia taiwanensis/Taenia asiatica sp. Sejak awal tahun 1980-an, di
Taiwan dijumpai cacing pita yang secara morfologik tidak dapat dibedakan
dengan Taenia saginata, tetapi mempunyai binatang perantara bukan sapi.
Cacing pita ini diberi nama Taenia saginata taiwanensis. Hal serupa juga
dijumpai di Korea (Pulau Cheju), strain ini dikenal sebagai Taenia saginata

xxii

koreanensis. Keadaan yang sama dijumpai oleh Kosin dkk di Pulau Samosir
(Sumatera Utara). Sebagian besar penduduk memakan daging babi, tetapi
Taenia yang dijumpai hampir semua tidak dapat dibedakan dengan Taenia
saginata. Beberapa ahli kemudian menyebut strain baru ini sebagai Taenia
saginata asianensis. Eom dan Rim dalam penelitian lebih lanjut dapat
membuktikan adanya perbedaan morfologik Taenia saginata asianensis dan
Taenia saginata klasik, yaitu adanya skoleks telanjang pada cacing dewasa,
ranting percabangan lateral uterus lebih banyak dan adanya protuberansi
posterior pada proglotid dewasa. Penelitian DNA menunjukkan adanya
perbedaan struktur DNA Taenia saginata asianensis dan Taenia saginata
klasik, meskipun masih menunjukkan hubungan revolusioner yang dekat baik
dengan Taenia saginata maupun Taenia solium. Oleh karena itu sebagian besar
ahli menganggap cacing ini sebagai spesies ketiga Taenia pada manusia dan
diberi nama Taenia asiatica sp.
Pada percobaan Fan dkk di Pulau Samosir dan Dharmawan dkk di Bali,
dibuktikan bahwa babi dapat merupakan binatang perantara cacing pita jenis
ini. Berbeda dengan Taenia solium di mana sistiserkus terutama dijumpai pada
otot babi, pada Taenia asiatica sistiserkus dijumpai pada alat dalam terutama
pada hati sehingga dikenal sebagai cysticercus viscerotropica. Di duga bahwa
sebagian besar Taenia saginata yang secara morfologik dijumpai di Sumatera
Utara dan Bali dapat digolongkan sebagai Taenia asiatica sp. (I Made Bakta,
2009). Prevalensi taeniasis Taenia asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%20,7%. Kasus Taenia asiatica di provinsi ini umumnya disebabkan oleh
konsumsi daging babi hutan setengah matang. (Wandra et al, 2006).
Epidemiologi. Taenia saginata sering ditemukan di negara yang
penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk memakan
daging tersebut yaitu matang (well done), setengah matang (medium), atau
mentah (rare); dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak yang
dilepas di padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung, daripada
ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.

xxiii

Pencegahan dapat dilakukan dengan antara lain dengan mendinginkan


daging sampai -10C, iradiasi dan memasak daging sampai matang.
Taenia solium, walaupun cacing ini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk
yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan peranan penting.
Biasanya penyakit ini ditemukan pada orang yang bukan beragama Islam.
Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau
mentah dan pengertian akan kebersihan atau higiene, memainkan peranan
penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun sistiserkus selulose.
Pengobatan perorangan maupun pengobatan massal harus dilaksanakan agar
penderita tidak menjadi sumber infeksi bagi diri sendiri maupun babi dan
hewan lain seperti anjing.
Pendidikan mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara ternak babi harus
diperbaiki, agar tidak ada kontak dengan tinja manusia. Sebaiknya untuk ternak
babi harus digunakan kandang yang bersih dan makanan ternak yang sesuai.
Pencegahan dapat dilakukan seperti pada taeniasis saginata. (Inge Sutanto et
al, 2009).

12.2 Distribusi geografik Penyakit Taeniasis


Penyebaran cacing Taenia saginata adalah kosmopolit, didapatkan di Eropa,
Timur Tengah, Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia dan juga
Indonesia, yaitu Bali, Jakarta dan lain-lain.
Taenia solium adalah kosmopolit, akan tetapi jarang ditemukan di negara
Islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara yang mempunyai banyak
peternakan babi dan di tempat daging babi banyak disantap seperti di Eropa,
(Czech, Slowakia, Kroatia, Serbia), Amerika Latin, Cina, India, Amerika Utara
dan juga di beberapa daerah di Indonesia antara lain di Papua, Bali dan
Sumatera Utara. (Inge Sutanto et al, 2009).

xxiv

2.3 Morfologi dan daur hidup Penyakit Taeniasis

Gambar 2. Cacing Taenia saginata dewasa. (anonim, 2012)

Gambar 3. Segmen tubuh Taenia solium. (anonim, 2012)

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Taenia solium, Taenia asiatica dan


Taenia saginata
Karakteristik

Taenia solium

Taenia asiatica

Taenia
saginata

Sistiserkus
Hospes

Babi,

Babi, sapi,

perantara

manusia,

kambing, kera

Sapi

anjing
Lokalisasi

Ukuran (mm)

Otot, otak,

Visera

Otot, visera

kulit, mata,

terutama hati

lidah

(alat dalam)

5-8 x 3-6

2x2

7-10 x 4-6

Rostelum

Rostelum

Tidak ada

dengan

dengan

rostelum

pengait

pengait

dan pengait

xxv

rudimenter

Cacing dewasa

Rostelum

Rostelum

Tanpa

Skoleks

dengan

tanpa pengait

rostelum

pengait

dan
pengait

7 12

16 21

18 32

gravid

Terutama

Tunggal dan

Tunggal

Keluarnya

dalam grup

aktif

dan aktif

Cabang uterus
pada proglotid

proglotid
dan pasif
(I Made Bakta, 2009)
Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan
panjang; terdiri atas kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang
merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Panjang
cacing 4-12 meter atau lebih. Skoleks hanya berukuran 1-2 milimeter,
mempunyai empat batil isap dengan otot-otot yang kuat, tanpa kait-kait.
Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat
struktur tertentu. Strobila terdiri atas rangkaian proglotid yang belum dewasa
(imatur), yang dewasa (matur) dan yang mengandung telur atau disebut gravid.
Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang
jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel
testis yang berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa eferensnya
bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang berakhir di
lubang kelamin (genital pore). Lubang kelamin letaknya selang-seling pada sisi
kanan atau kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat vas
deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip (Gambar 4).

xxvi

Gambar 4. Siklus hidup Taenia saginata. (anonim, 2012)

Gambar 5. Proglotid matang Taenia. (anonim, 2012)

Ovarium terdiri atas 2 lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak
ovarium di sepertiga bagian posterior proglotid. Vitelaria letaknya di belakang
ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik.
Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior
proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabang-cabangnya akan
tumbuh, yang berjumlah 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki

xxvii

lubang uterus (porus uterinus). Proglotid yang sudah gravid letaknya terminal
dan sering terlepas dari strobila. Proglotid ini dapat bergerak aktif, keluar
dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur (spontan). Setiap harinya
kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid bentuknya lebih panjang daripada
lebar. Telur dibungkus embriofor, yang bergaris-garis radial, berukuran 30-40 x
20-30 mikron, berisi embrio heksakan atau onkosfer. Telur yang baru keluar
dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah
proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas
dari rangkaiannya dan menjadi koyak; cairan putih susu yang mengandung
banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila
proglotid berkontraksi waktu gerak.

Gambar 6. Telur Taenia saginata. (anonim, 2012)

Telur melekat di rumput bersama tinja, bila orang berdefekasi di padang


rumput; atau karena tinja yang hanyut dari sungai di waktu banjir. Ternak yang
makan rumput yang terkontaminasi dihinggapi cacing gelembung, oleh karena
telur yang tertelan dicerna dan embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di
saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk ke saluran getah
bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot
untuk tumbuh menjadi cacing gelembung, disebut sistiserkus bovis, yaitu larva
Taenia saginata. Peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu.
Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot
maseter, paha belakang dan punggung. Otot di bagian lain juga dapat
dihinggapi. Setelah 1 tahun cacing gelembung ini biasanya mengalami
degenerasi, walaupun ada yang dapat hidup sampai 3 tahun.

xxviii

Bila cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang dimasak kurang
matang termakan oleh manusia, skoleksnya keluar dari cacing gelembung
dengan cara evaginasi dan melekat pada mukosa usus halus, biasanya
yeyunum. Cacing gelembung tersebut dalam waktu 8-10 minggu menjadi
dewasa. Biasanya di rongga usus hospes terdapat seekor cacing.
Taenia solium, berukuran panjang 2-4 meter dan kadang-kadang sampai 8
meter. Cacing ini seperti Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher dan
strobila, yang terdiri atas 800-1000 ruas proglotid. Skoleks yang bulat
berukuran kira-kira 1 milimeter, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum
yang mempunyai 2 baris kait-kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah.
Strobila terdiri atas rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur), dewasa
(matur) dan mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada proglotid
dewasa sama dengan Taenia saginata, kecuali jumlah folikel testisnya lebih
sedikit, yaitu 150-200 buah. Bentuk proglotid gravid mempunyai ukuran
panjang hampir sama dengan lebarnya. Jumlah cabang uterus pada proglotid
gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian
selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.

Gambar 7. Proglotid gravid Taenia solium. (anonim, 2012)

xxix

Proglotid gravid berisi 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui


celah robekan pada proglotid. Telur tersebut bila termakan oleh hospes
perantara yang sesuai, maka dindingnya dicerna dan embrio heksakan keluar
dari telur, menembus dinding usus dan masuk ke saluran getah bening atau
darah. Embrio heksakan kemudian ikut aliran darah dan menyangkut di
jaringan otot babi. Embrio heksakan cacing gelembung (sistiserkus) babi, dapat
dibedakan dari cacing gelembung sapi, dengan adanya kait-kait di skoleks yang
tunggal. Cacing gelembung yang disebut sistiserkus selulose biasanya
ditemukan pada otot lidah, punggung dan pundak babi. Hospes perantara lain
kecuali babi, adalah monyet, unta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan
manusia. Larva tersebut berukuran 0,6-1,8 cm. Bila daging babi yang
mengandung larva sistiserkus dimakan setengah matang atau mentah oleh
manusia, dinding kista dicerna, skoleks mengalami evaginasi untuk kemudian
melekat pada dinding usus halus seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan cacing
tersebut menjadi dewasa dan melepaskan proglotid dengan telur. (Inge Sutanto
et al, 2009).

xxx

Gambar 8. Siklus hidup Taenia solium. (anonim, 2012)


Taenia taiwanensis/Asian taenia. Perbedaan secara morfologi dibandingkan
dengan Taenia saginata klasik antara lain sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Mempunyai rostelum dan hooklets pada skoleksnya,


Ujung posterior proglotid gravid lebih melebar,
Jumlah ranting (twigs) pada uterus lebih banyak,
Permukaan gelembung larva (bladder) berupa tuberkel sedangkan pada
Taenia saginata berupa kutikula.

Pada kongres internasional penyakit tropis dan dua seminar internasional


tentang penyakit zoonosis di Thailand 1991 dan 1995 direkomendasikan
klasifikasi Asian Taenia sebagai sub spesies dari Taenia saginata dan disebut
dengan Taenia saginata saginata. Sampai saat ini taksonomi Asian Taenia

xxxi

masih kontrofersial dan kompleks. (Bariah Ideham & Suhintam Pusarawati,


2007).

2.4 Masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan kekebalan Penyakit


Taeniasis
Gejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu
sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi. Telur cacing
akan tampak pada kotoran orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa
antara 8-12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi, dan untuk
Taenia saginata telur akan terlihat pada tinja antara 10-14 minggu setelah
seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata dewasa.
Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang, akan
tetapi untuk Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung. Telur
dari kedua spesies cacing ini dapat menyebar ke lingkungan selama cacing
tersebut masih ada di dalam saluran pencernaan, kadang-kadang dapat
berlangsung lebih dari 30 tahun; telur cacing tersebut dapat hidup dan bertahan
di lingkungan selama beberapa bulan.
Umumnya setiap orang rentan atau beresiko terhadap infeksi penyakit ini.
Setelah infeksi tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini, akan tetapi
jarang di laporkan ada orang yang mengandung lebih dari satu jenis cacing pita
dalam tubuhnya. (James Chin, 2006).

2.5 Patogenesis Penyakit Taeniasis


Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal yeyunum. Proglotid gravid
terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, kemudian pecah dan mengeluarkan
telur. Telur dapat tahan beberapa minggu di luar tubuh. Jika termakan oleh sapi
atau babi, akibat pengaruh asam lambung, getah pankreas dan empedu, telur
akan pecah dan mengeluarkan embryo hexacanth yang mampu menembus
dinding usus. Embrio ini melalui peredaran darah menuju jaringan otot dan
subkutan. Dalam waktu 12-15 minggu menjadi kista, yang pada sapi disebut

xxxii

cysticercus bovis dan pada babi disebut cysticercus cellulosae. Jika daging
yang mengandung sistiserkus termakan oleh manusia, larva akan keluar dari
kista dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam yeyunum dalam waktu 5-12
minggu. Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 20 tahun dalam usus. (I
Made Bakta, 2009). Faktor risiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu
pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan
babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat
dengan manusia. (Eddi et al, 2006).

Gambar 9. Taenia saginata di usus buntu. (anonim, 2012)


Cacing dewasa Taenia solium pada usus halus dapat menyebabkan iritasi
pada tempat perlekatan skoleks dan sumbatan (obstruksi) usus jarang terjadi.
Kadang-kadang lesi meluas ke lapisan otot yang dapat menyebabkan
perlekatan usus halus dengan organ lain atau perforasi yang menyebabkan
peritonitis.
Sisa metabolisme cacing yang terabsorpsi dapat menimbulkan gejala
sistemik dan intoksikasi ringan sampai berat.
Kasus taeniasis saginata pada manusia, menyebabkan inflamasi sub-akut
pada mukosa usus. Cacing pita ini mempunyai ukuran besar, sering kali
menyebabkan gangguan fungsi saluran pencernaan dan makanan hospes
diserap oleh cacing.
Kadang-kadang proglotid tersangkut pada appendiks yang dapat
menyebabkan appendisitis atau pada saluran empedu akan menyebabkan
kolesistitis. Absorpsi sisa metabolik cacing menyebabkan intoksikasi sistemik.
(Bariah Ideham & Suhintam Pusarawati, 2007).

xxxiii

2.6 Gejala klinik Penyakit Taeniasis


Taeniasis saginata umumnya tanpa gejala berarti, kadang-kadang mengeluh
gangguan usus atau gejala obstruksi intestinal akut. Proglotid dapat menyumbat
appendix menimbulkan appendisitis, diare, berat badan menurun. Sering kali
penderita datang berobat karena proglotid bergerak sendiri menuju ke anus. Hal
ini biasa terjadi pada siang hari.
Infeksi oleh cacing ini disebut taeniasis solium atau penyakit cacing pita
babi. Cacing dewasa menimbulkan sedikit iritasi mukosa pada tempat
melekatnya ataupun menimbulkan obstruksi usus. Biasanya tanpa gejala klinis,
tapi kadang-kadang menimbulkan gangguan pada perut berupa perasaan tidak
enak perut yang diikuti diare dan sembelit. Dapat pula menimbulkan anoreksi
sehingga penderita akan merasa lemah. Terjadi eosinofili ringan (lebih 13%).
Kadang-kadang terjadi migrasi proglotid pada anus (paling sering oleh Taenia
saginata), hal ini berguna untuk diagnosis.
Cysticercus cellulosae. Jika manusia menelan proglotid atau telur Taenia
solium, larva cysticercus cellulosae dapat tumbuh di dalam tubuh hospes
tersebut,

menimbulkan

penyakit

yang

disebut

cysticercus

cellulosae.

Cysticercus racemosus. Merupakan bentuk proliferasi dari cysticercus.


(Djaenudin Natadisastra & Ridad Agoes, 2009).
Kebanyakan infeksi Taenia saginata tidak menyebabkan gejala yang nyata.
Penderita akan merasa terganggu dan kebingungan apabila proglotid gravid
yang berotot dan bergerak aktif migrasi keluar dari anus.
Apabila pasien menemukan proglotid di pakaian dalam, di tempat telur atau
di tinja yang baru dikeluarkan, maka penderita merasa tidak enak perut,
gelisah, vertigo, nausea, diare, pruritus ani, nafsu makan bertambah atau
berkurang. Hasil metabolisme cacing yang terabsorpsi dapat menyebabkan
lekositosis dan kadang-kadang menimbulkan penambahan eosinofil 6-15
persen.
Manifestasi klinis Taenia solium dapat dilihat dari dua hal berikut.

xxxiv

a) Infeksi usus
Kebanyakan infeksi Taenia solium adalah subklinis, tidak menunjukkan
gejala yang berarti. Mungkin ada gangguan pencernaan yang ringan dan
menahun seperti nafsu makan tidak tetap, sakit kepala, sakit perut yang tidak
nyata, diare dan konstipasi bergantian. Penderita merasa cepat lapar.
Peradangan mukosa usus setempat yang ringan terjadi karena iritasi mekanik
oleh strobila dan perlekatan skoleks. Pada anak dan orang lemah gejala-gejala
ini mungkin lebih nyata dan disertai kelelahan. Penyerapan hasil-hasil
metabolisme cacing menyebabkan lekositosis ringan dan kadang-kadang
eosinofil ringan (6-10 persen).
b) Sistiserkosis
Sistiserkosis yang jumlahnya sampai beribu-ribu dapat tumbuh di dalam
tiap jaringan atau alat tubuh manusia. Organ yang disenangi adalah otot
bergaris dan otak selain di jaringan subkutis, mata, jantung, paru-paru dan
peritoneum. Manifestasi berat terjadi pada sistiserkosis otak yang biasanya
disertai dengan sistiserkosis umum yang tidak diketahui. Manifestasi lambat
yang paling menonjol adalah serangan epilepsi tipe Jackson yang berulangulang secara tidak teratur, yang dihubungkan dengan larva dan mengalami
fibrosis dan telah mati atau mengalami perkapuran. Mungkin ada gejala tumor
otak, meningitis, ensefalitis, hidrosefalus dan sclerosis diseminata. Paresis yang
kadang-kadang timbul, penglihatan yang menghilang, sakit kepala yang tibatiba, muntah dan mental yang terganggu mungkin merupakan gejala utama. Di
dalam mata sistiserkosis terletak di bawah retina atau di dalam humor vitreum.
(Kus Irianto, 2009).

2.7 Diagnosis Penyakit Taeniasis


Diagnosis Taenia saginata ditegakkan dengan ditemukannya proglotid yang
aktif bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan ditemukannya
telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid kemudian diidentifikasi dengan

xxxv

merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan


cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang dapat dihitung.
Diagnosis Taenia solium dilakukan dengan menemukan telur dan proglotid.
Telur sukar dibedakan dengan telur Taenia saginata.
Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara:
1. Ekstirpasi benjolan yang kemudian diperiksa secara histopatologi
2. Radiologis dengan CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
3. Deteksi antibodi dengan teknik ELISA, Western Blot (EIBT), uji
hemaglutinasi, Counter Immuno Electrophoresis (CIE)
4. Deteksi coproantigen pada tinja
5. Deteksi DNA dengan teknik PCR. (Inge Sutanto et al, 2009).
Diagnosis taeniasis dapat dibuat jika pasien mengeluarkan proglotid baik
secara pasif dalam tinja maupun secara aktif. Proglotid yang keluar secara aktif
menunjukkan indikasi ke arah diagnosis infeksi Taenia saginata.
Diagnosis dapat juga dibuat dengan menemukan telur Taenia dalam tinja.
Identifikasi spesies tidak dapat dibuat nerdasarkan morfologi telur. Telur lebih
mudah dijumpai dengan cara hapusan perianal memakai cellophan tape,
terutama pada infeksi Taenia saginata. Pengeluaran telur bersifat eratik,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan berulang-ulang.
Untuk membedakan kedua spesies cacing pita ini dilakukan pemeriksaan
skoleks yang keluar setelah pengobatan, proglotid gravid atau proglotid matur
dengan pengecatan camin atau teknik lactophenol. Perbedaannya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan Morfologik Taenia saginata dan Taenia solium
Skoleks

Taenia saginata
Tanpa pengait

Taenia solium
Dengan pengait

Proglotid

(rostellum)
Percabangan lateral

(rostellum)
Percabangan lateral

gravid
Proglotid

Uterus > 16
Ovarium dengan 2

Uterus < 12
Ovarium dengan 2

matur

lobus saja

lobus dan 1 lobus


tambahan

xxxvi

Sfingter vagina positif


(I Made Bakta, 2009)

Sfingter vagina negatif

2.8 Sistiserkosis
Pendahuluan. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista
stadium

larva cacing pita Taenia solium. Sistiserkosis dapat mengenai otot

dan dan sistem saraf pusat (SSP) sebagai neurosistiserkosis, atau berupa kista
multipel atau keduanya. Penyakit ini juga dinyatakan sebagai penyakit parasit
yang paling banyak menyerang SSP. Keberadaan siklus hidup parasit ini baru
dikenal pada abad ke-19 dan manifestasi klinisnya baru banyak teridentifikasi
di pertengahan abad ke-20. Sejak dua puluh tahun terakhir ini berbagai konsep
mengenai

prevalensi

infeksi,

morbiditas

dan

mortalitas,

terapi

dan

epidemiologi berkembang pesat. Hal tersebut juga termasuk kecurigaan


terhadap Asian Taenia sebagai penyebab sistiserkosis.
Perhatian terhadap sistiserkosis juga meningkat karena peningkatan jumlah
imigran dari negara berkembang, serta berkembangnya teknik diagnostik yang
dapat mendeteksi neurosistiserkosis. Perkembangan teknik diagnostik tersebut
antara lain pencitraan persarafan yang terkomputerisasi (CT dan MRI) yang
lebih sensitif dan non invasif. Semakin banyak variasi manifestasi klinis infeksi
dan teknik serologi yang spesifik dan akurat juga mendukung pendataan
epidemiologi.

xxxvii

Gambar 10. Daerah-daerah endemik sistiserkosis. (anonim,


2012)

Sistiserkosis juga menjadi perhatian karena potensi kerugian ekonomi di


negara berkembang. Sayangnya, sampai sekarang belum ada program eradikasi
yang berhasil total.
Epidemiologi Sistiserkosis. Sebelum tahun 1990-an, data epidemiologi
tentang prevalensi neurosistiserkosis yang memadai masih terbatas. Hal itu
disebabkan masih terbatasnya metode diagnosis termasuk kualitas spesifitas
dan keakuratannya. Tahun 1989, Tsang et al melaporkan penggunaan enzymelinked immunotransfer blot (EITB) yang memanfaatkan glikoprotein parasit.
EITB adalah pemeriksaan spesifik pertama untuk infeksi Taenia solium yang
dapat digunakan untuk penelitian lapangan yang luas.
Berdasarkan pemeriksaan tinja saja, diperkirakan terdapat 4 juta orang di
seluruh dunia yang menderita cacing pita babi dan dari setiap orang yang
ditemukan menderita cacing pita diperkirakan lebih dari 10 orang yang
terinfeksi stadium kista. Saat ini diperkirakan lebih dari 50 juta orang

xxxviii

pengandung kista, namun jumlah inipun diyakini masih jauh dari jumlah yang
sebenarnya. Diperkirakan hanya benua Antartika dan Australia yang bebas dari
sistiserkosis.
Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas, dengan wilayah yang
memiliki prevalensi tinggi, seperti: Meksiko, Amerika tengah dan Selatan,
India, dan Afrika sub Sahara. Di Meksiko, ditemukan bahwa pada orang
dewasa yang menderita kejang, setengahnya menderita neurosistiserkosis.
Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India dan Cina bahwa sebagian
besar penyakit parasit otak disebabkan neurosistiserkosis.
Indonesia memilki keragaman penduduk, dengan mayoritas penduduk
muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah
seperti Bali dan Papua (dahulu Irian Jaya) yang banyak mengkonsumsi daging
babi. Pertama kali terjadinya kejadian luar biasa kejang adalah di daerah
Paniai, Papua, pada awal 1970-an dan kejang tersebut disebabkan oleh
neurosistiserkosis. Kejadian serupa dilaporkan terulang dekat perbatasan Papua
New Guinea, dan sampai sekarang Papua masih menjadi daerah endemik
taeniasis/sistiserkosis.
Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis. Larva Taenia solium hidup dalam
jaringan sebagai kista yang berisi cairan atau metacestoda. Kista tersebut memiliki
dinding semitransparan yang tipis. Skoleks terletak di satu sisi kista, terinvaginasi
dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm. Ukuran dan bentuk
kista bervariasi sesuai jaringan sekitarnya. Di otak, kista berbentuk bundar dengan
diameter mencapai 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan ketebalan
bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP dan
mata kurang tebal. Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang
terdiri microtriches (dilapisi oleh glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan
muskularis, jaringan penghubung longgar dan jaringan kanalikuli. Nodul mural
terdiri atas skoleks terinvaginasi dan kanal spiral terasosiasi yang juga terdiri atas
membran trilaminar. Sebuah pori ekskretori kecil dekat akhir kanal spiral
terhubung dengan kanal digestif terhadap jaringan sekitar. (Inge Sutanto et al,

xxxix

2009). Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma,
lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk. Manusia
terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang
yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus manusia. Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi
oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan
daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging mentah atau setengah matang
(Gomes et al, 2007). Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau
minuman yang mengandung telur Taenia solium. (Suroso et al, 2006). Sumber
penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.
2. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(sistisekus).
3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
(Anonim, 2007).

Sistiserkus hidup menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan


hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk
melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup di dalam otot babi
selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu kista telah
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun pejamu. Hewan
yang telah terinfeksi aktif atau telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium
kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi
dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi
dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih
resisten.
Metacestoda sudah membangun mekanisme untuk menghadang destruksi
yang dimediasi komplemen. Paramiosin dari parasit mengikat C1q dan

xl

menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga mensekresi inhibitor


protease serin yang disebut taeniestatin, menghambat jalur aktivasi klasik atau
alternatif, berinterferasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi
sitokin. Polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi
komplemen menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan
membatasi jumlah sel radang yang ke parasit. Antibodi tidak dapat membunuh
metacestoda matang. Kista hidup sebenarnya juga menstimulasi produksi
sitokin yang dibutuhkan untuk produksi imunoglobulin yang kemudian diambil
oleh kista, diperkirakan sebagai sumber protein.
Sebaliknya respons imun seluler ditekan. Taeniestatin dan molekul parasit
yang lain berinterferasi dengan proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala
neurosistiserkosis berhubungan dengan respons granulomatosa yang terjadi
ketika kista tidak lagi dapat memodulasi respons pejamu.
Manifestasi Klinis Sistiserkosis. Manifestasi klinis sistiserkosis tergantung
lokasi dan jumlah kista, serta respons pejamu. Bila hanya terdapat sedikit lesi
dan terletak di lokasi yang tidak strategis misalnya di otot, atau beberapa
daerah di otak, infeksi tersebut dapat terjadi tanpa gejala, namun tetap bisa
menjadi salah satu alasan diagnosis sitiserkosis. Pada kasus penyakit
neurologis, terdapat periode tanpa gejala sebelum gejala pertama timbul. Masa
inkubasi ini diperkirakan berdasarkan masa hidup kista jaringan. Hal ini
didukung penemuan histopatologi kista yang ditemukan pada manusia yang
tanpa gejala sistiserkosis dan telah meninggal akibat penyebab lain.
Sebaliknya, kebanyakan kista dari pasien dengan gejala, berhubungan dengan
respons peradangan termasuk di dalamnya limfosit, eosinofil, granulosit, dan
sel plasma. Oleh karenanya, gejala sistiserkosis parenkimal timbul akibat
peradangan ketika kista kehilangan kemampuan memodulasi respons pejamu.
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam
stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin
dalam cairan kista dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granularnodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul

xli

fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular,


jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi.
Manifestasi utama neurosistiserkosis adalah kejang (70-90%). Gejala lain
adalah sakit kepala, peningkatan tekanan intrakranial (mual dan muntah), dan
gangguan status mental (termasuk psikosis). Hanya sedikit pasien yang
menunjukkan kelumpuhan saraf kranial maupun gejala fokal lainnya.
Bentuk manifestasi klinis:
1. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya
(kalsifikasi intraperenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang,
psikosis.
2. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkimal aktif dan ensefalitis
sistiserkal.
3. Neurosistiserkosis

ekstraparenkimal

yang

memiliki

bentuk

neurosistiserkosis ventrikular.
4. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit
serebrovaskular, sistiserkosis, sakit kepala migren, defek neurokognitif,
sistiserkosis ekstraneural.
Diagnosis Sistiserkosis. Del Brutto et al, mengusulkan kriteria diagnostik
yang dapat dilakukan berdasarkan pencitraan, tes serologi, presentasi klinis,
dan

riwayat

pajanan.

Pencitraan

merupakan

metode

utama

untuk

neurosistiserkosis. Computerized Tomography CT adalah metode terbaik untuk


mendeteksi kalsifikasi yang menunjukkan infeksi inaktif. CT lebih unggul
daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di
parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi
peradangan.
Tes serologi memiliki penggunaan luas dan juga sangat bervariasi.
Sayangnya kebanyakan tes menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang
menyebabkan positif dan negatif palsu. Hal itu diperkirakan karena aviditas
kista dengan imunoglobulin yang menyebabkan positif palsu, selain itu high
cutoffs menyebabkan negatif palsu. Salah satu yang dikembangkan adalah
dengan pemeriksaan antigen onkosfer. Pemeriksaan EITB telah terbukti

xlii

spesifik untuk pemeriksaan infeksi Taenia solium. EITB sensitif pada kista
parenkim aktif mutipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun
demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau
kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali
negatif. Pemeriksaan EITB lebih baik ketika menggunakan serum dibanding
liquor serebrospinalis. Di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI,
serologi berperan penting untuk diagnosis.
Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis, diperlukan beberapa
penemuan positif. Kriteria mayor pertama adalah penemuan berdasarkan
pemeriksaan pencitraan, dimana ditemukan sistiserkus yang berukuran 0,5-2
cm. Kedua, ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.
Kriteria minor antara lain: kejang, peningkatan tekanan intrakranial, kalsifikasi
intraserebral pungtata, nodul subkutan, atau hilangnya lesi setelah pengobatan
anti parasit. Kombinasi dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor, ditambah riwayat pajanan, digunakan untuk menegakkan
diagnosis.
Terapi Sistiserkosis. Terapi sistiserkosis berbeda pada setiap individu
berdasarkan patogenesis penyakitnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah
lokasi kista, gejala seperti kejang atau hidrosefalus, viabilitas kista (termasuk
stadium degenerasi kista) dan derajat respons peradangan pejamu. Untuk
mencegah transmisi perlu dilakukan peningkatan sanitasi lingkungan, memasak
daging babi sampai matang, menekan jumlah ekskresi telur taenia, edukasi
terhadap masyarakat termasuk kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan
setelah ke kamar mandi, serta memasak air minum hingga matang. Upaya yang
juga dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan infeksi sistiserkosis di babi
dengan vaksinasi.
Pada infeksi inaktif, pasien dapat diterapi untuk mengatasi gejala seperti
kejang. Apabila terdapat hidrosefalus, maka dapat dibantu dengan prosedur
tambahan, misalnya dengan operasi pembuatan shunt ventrikuloperitoneal.
Pengobatan antiparasit tidak diperlukan karena tidak ada parasit hidup pada
pasien. Penderita neurosistiserkosis aktif, memerlukan berbagai pengobatan

xliii

tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat pengobatannya
sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50-100 mg/kg dalam 3 dosis
terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg dalam 2-3 dosis terbagi) selama
8 hari, kortikosteroid (10-30 mg deksametason per hari, atau 60 mg prednison,
dilanjutkan dengan tappering off saat ingin menghentikan pemberian) dan juga
obat antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital. Pemberian kortikosteroid
adalah untuk mengatasi reaksi peradangan yang terutama terjadi setelah
pengobatan praziquantel. Tujuannya untuk mencegah peradangan yang dapat
mengancam nyawa pada ensefalitis sistiserkal, neurosistiserkosis subarakhnoid,
dan neurosistiserkosis intramedular spinal. Prednison lebih baik dibandingkan
deksametason untuk penggunaan jangka panjang. Selain itu dapat digunakan
manitol

(2

g/kg

per

hari)

untuk

hipertensi

sekunder

akut

akibat

neurosistiserkosis.
Pemakaian praziquantel bersama antikonvulsan dapat menyebabkan induksi
metabolisme. Oleh karena itu diperlukan simetidin (400 mg tiga kali per hari)
untuk menghambat metabolisme praziquantel tersebut. Interaksi obat ini relatif
tidak terjadi pada penggunaan albendazol. Hal lain yang perlu diperhatikan saat
pengobatan adalah reaksi peradangan yang akan menyebabkan demam, mual,
muntah dan sakit kepala, bahkan dapat menjadi edema serebral. Selain itu, bila
sistiserkosis terdapat di otot, maka dapat terjadi miositis akibat pengobatan.
Neurosistiserkosis Parenkim. Pengobatan yang dianjurkan adalah
albendazol (15 mg/kg/hari oral, selama 7 hari atau lebih). Bertujuan untuk
menghancurkan seluruh kista dan meringankan kejang sampai 45%. Diberikan
secara simultan dengan deksametason (0,1 mg/kg/hari) minimal selama minggu
pertama terapi. Pilihan lain adalah praziquantel (25 mg/kg 3 kali sehari), oral,
dengan interval 2 jam atau dosis standar (50-100 mg/kg/hari selama 15 hari).
Efikasi dosis tunggal lebih baik pada penderita dengan kista tunggal atau kista
sedikit, namun kurang bermanfaat bila kistanya banyak.
Neurosistiserkosis Subarakhnoid. Dosis optimal dan durasi terapi anti
parasitik jenis ini belum ada. Penggunaan albendazol pada sistiserki raksasa
(15 mg/kg/ hari selama 4 minggu) menunjukkan hasil yang baik. Meskipun

xliv

begitu, diperlukan beberapa kali pengulangan pengobatan (satu siklus tidak


cukup). Dosis anti radang yang digunakan juga belum ditetapkan, dapat
digunakan prednison (60 mg/hari selama 10 hari) dan tappering off 5 mg/hari
setiap 5 hari.
Komplikasi Serebrovaskular. Untuk komplikasi serebrovaskular, belum
ditetapkan standar penatalaksanaan. Saat ini pengobatan diberikan bersama
kortikosteroid untuk mengurangi peradangan (deksametason 16-24 mg/hari
pada kondisi akut, dan prednison oral 1 mg/kg/hari untuk jangka panjang).
Evaluasi dilakukan dengan pemeriksaan doppler transkranial untuk memantau
terapi kortikosteroid. Sementara itu, penggunaan obat neuroprotektif belum
jelas manfaatnya. (Inge Sutanto et al, 2009).

2.9 Neurosistiserkosis
Sistiserkosis yang paling berbahaya dan paling sering
ialah

sistiserkosis

pada

susunan

saraf

pusat

menimbulkan gejala
(neurosistiserkosis).

Neurosistiserkosis paling sering menimbulkan gejala epilepsi baik gran mal,


petit mal, atau fokal. Sering juga timbul peningkatan tekanan intrakranial yang
memberi gejala sakit kepala, muntah-muntah atau penglihatan kabur. Gejala
lain yang dapat timbul dilaporkan berupa gangguan mental (skizofren dan
paranoid), gejala rangsang meningeal ataupun kompresi medula spinalis.

Gambar 11. Sistiserkosis pada otak. (anonim, 2012)

xlv

Neurosistiserkosis merupakan penyakit yang semakin banyak dijumpai di


Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena adanya kontak dengan imigran
yang

semakin

banyak

masuk

ke

Amerika

Serikat.

Di

Indonesia,

neurosistiserkosis banyak dijumpai di Irian Jaya.


Diagnosis neurosistiserkosis sulit karena manifestasi klinis yang tidak
spesifik. Diagnosis pasti dibuat dari biopsi nodul sistiserkosis. Pemeriksaan
penunjang lain ialah adanya bintik kalsifikasi pada foto rontgen. Pemeriksaan
pencitraan saraf bersifat tidak patognomonik. Pemeriksaan CT-scan sangat
membantu diagnosis dengan melihat adanya kista bulat dengan pinggir
mengalami penyangatan, daerah dengan densitas rendah dengan atau tanpa
penyangatan, dan kalsifikasi tanpa enhancement. Yang agak spesifik adalah
apabila pada CT atau MRI dijumpai lesi kistik yang menunjukkan skoleks. Tes
serologis seperti indirect haemagglutination dapat membantu diagnosis tetapi
sensitivitas dan spesifitasnya sangat bervariasi.
Pengobatan untuk neurosistiserkosis terdiri dari obat antiparasit,
pembedahan dan obat-obatan simtomatik. Obat antiparasit yang efektif adalah
prazikuantel dan albendazol. Pengobatan pilihan adalah dengan pemberian
praziquantel 50 mg/kg BB/hari selama 14 hari. Untuk mengurangi akibat reaksi
radang karena kematian larva biasanya diberikan prednison 30 mg/hari, 1-2
hari sebelum pemberian praziquantel sampai 3-4 hari setelah pemberian
praziquantel. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa albendazol cukup efektif untuk
pengobatan neurosistiserkosis dengan dosis 15 mg/kg BB/hari selama 8-15
hari. Albendazol mempunyai daya penetrasi ke otak lebih besar, kadarnya tidak
dipengaruhi oleh steroid dan harganya lebih murah. Pada kasus-kasus tertentu
dapat

dipertimbangkan

terapi

pembedahan.

Neurosistiserkosis

tanpa

pengobatan memberikan angka kematian sekitar 50%. Pengobatan memberi


hasil efektif pada 70-80% kasus dan menurunkan mortalitas menjadi 6-16%. (I
Made Bakta, 2009).

2.10 Penatalaksanaan Penyakit Taeniasis

xlvi

1. Bitionol, obat ini diserap dari usus, cara kerjanya kurang jelas, tetapi
diduga dengan menghalangi fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan
cacing pita. Dosis 40-60 mg/kgBB, dosis tunggal atau terbagi.
2. Niklosamid, tidak diserap dari usus. Bekerja dengan cara menghalangi
fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan cacing pita. Cara pemberian
didahului dengan puasa dan pada pagi berikutnya diberikan sebelum
sarapan, dikunyah dan ditelan 2 gram niklosamid (dosis tunggal) dan
disusul 2 jam kemudian dengan pemberian obat pencahar berupa garam
Inggris. Pada anak, dosis yang digunakan dikonversikan dari dosis dewasa
(dosis tersebut di atas).
3. Quinakrin, obat ini dapat diserap dari usus. Bekerjanya sebagai
neurotoksik. Cara pemberiannya didahului dengan puasa dan pagi
berikutnya sebelum sarapan ditelan 800-1000 mg dengan cara bertahap
disertai natrium bikarbonat disusul dengan pencahar 2 jam sesudahnya.
Cara yang digunakan pada penderita yang dirawat di rumah sakit,
quinakrin ini dilarutkan dulu dengan air dan diberikan melalui nasogastric
tube, hasilnya jauh lebih baik.
4. Praziquantel, ini adalah antihelmintik baru yang mempunyai aktivitas
tinggi terhadap infestasi berbagai Cestoda dan Trematoda. Cara
pemberian, didahului dengan puasa dan pada pagi berikutnya sebelum
sarapan ditelan 15-25 mg/kgBB praziquantel, dosis tunggal, disusul 2 jam
kemudian dengan pencahar, ataupun dapat diberikan tanpa memandang
berat badan ataupun umur dengan cara pemberian 150 mg praziquantel,
dosis tunggal, tanpa perlu puasa sebelumnya dan tanpa pemberian
pencahar sesudah memakan obat. Biasanya cacing akan dikeluarkan pada
pagi hari berikutnya.
5. Albendazol, pada saat ini telah beredar antihelmintik baru yang
berspektrum luas. Obat ini telah beredar di Indonesia, sedang 4 obat
terdahulu sangat sukar didapat di pasaran. Obat ini adalah derivate
Benimidazol, cara kerjanya dengan membendung pengambilan glukosa
sehingga kehabisan cadangan glikogen pada jaringan cacing dan
menyebabkan kekurangan ATP yang akhirnya mengakibatkan kematian

xlvii

cacing. Dengan dosis 400 mg, dosis tunggal dan diberikan selama 3 hari
berturut-turut akan memberikan efek yang sangat memuaskan. (Sumarmo
S. Poorwo Soedarmo et al, 2008).
6. Paromomisin, suatu antibiotika diberikan dengan dosis 75 mg/kg BB
(maksimum 4 gram) dilaporkan memberikan angka kesembuhan di atas
90% pada kasus taeniasis.
Setelah 3 bulan, tinja diperiksa kembali untuk mencari adanya telur cacing
atau adanya pengeluaran proglotid. Jika tidak ditemukan telur atau proglotid
berarti telah terjadi kesembuhan sempurna.
Infeksi Taenia saginata mempunyai prognosis baik, jarang sekali
menimbulkan komplikasi. Infeksi oleh Taenia solium dapat memberi
komplikasi serius terutama sistiserkosis pada susunan syaraf pusat yang dapat
memberi prognosis kurang baik.
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai tindakan : 1). Menghilangkan
sumber infeksi dengan mengobati pasien taeniasis; 2). Pendidikan kesehatan
untuk mengubah kebiasaan penduduk dalam : a). pembuangan kotoran (tinja)
yang sembarangan; b). kebiasaan memakan daging yang tidak dimasak dengan
sempurna; 3). Pengawasan rumah potong yang baik. (I Made Bakta, 2009).
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui
peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi,
pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. (Eddi et
al, 2006).

xlviii

Gambar 12. Cara pengendalian cacing pita Taenia. (anonim, 2012)

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia.
2. Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan
panjang; terdiri atas kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang
merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah.
Panjang cacing 4-12 meter atau lebih.
3. Taenia solium, berukuran panjang 2-4 meter dan kadang-kadang sampai 8
meter. Cacing ini seperti Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher dan
strobila, yang terdiri atas 800-1000 ruas proglotid.
4. Taenia taiwanensis/Asian taenia. Perbedaan

secara

morfologi

dibandingkan dengan Taenia saginata klasik antara lain sebagai berikut:


1. Mempunyai rostelum dan hooklets pada skoleksnya,
2. Ujung posterior proglotid gravid lebih melebar,
3. Jumlah ranting (twigs) pada uterus lebih banyak,
4. Permukaan gelembung larva (bladder) berupa tuberkel sedangkan pada
Taenia saginata berupa kutikula.
5. Gejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu
sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi.

xlix

6. Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang, akan
tetapi untuk Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung.
7. Umumnya setiap orang rentan atau beresiko terhadap infeksi penyakit ini.
Setelah infeksi tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini, akan tetapi
jarang di laporkan ada orang yang mengandung lebih dari satu jenis cacing
pita dalam tubuhnya.
8. Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal yeyunum. Proglotid gravid
terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, kemudian pecah dan
mengeluarkan telur.
9. Taeniasis saginata & taeniasis solium umumnya tanpa gejala berarti,
kadang-kadang mengeluh gangguan usus atau gejala obstruksi intestinal
akut.
10. Diagnosis Taenia saginata ditegakkan dengan ditemukannya proglotid
yang aktif bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan
ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus.
11. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista stadium
cacing pita Taenia solium.
12. Sistiserkosis yang paling berbahaya dan paling sering

larva

menimbulkan

gejala ialah sistiserkosis pada susunan saraf pusat (neurosistiserkosis).


13. Terapi taeniasis adalah bitionol, niklosamid, quinakrin, praziquantel,
albendazol, paromomisin.

3.2 Saran
1. Disarankan kepada masyarakat untuk tidak menganggap remeh terhadap
penyakit Taeniasis seperti mengeluh gangguan usus atau gejala obstruksi
intestinal akut karena gejala tersebut bisa berlanjut menjadi penyakit
Taeniasis.
2. Disarankan kepada para medis dan terutama untuk keluarga penderita agar
3.
4.
5.
6.
7.

memberikan perhatian dan dukungan bagi penderita Taeniasis.


Masak daging sampai benar-benar masak.
Cuci tangan pakai sabun sebelum makan dan minum.
BAB (buang air besar) di jamban.
Periksa ke Puskesmas jika ada gejala sakit perut dan ayan.
Lapor ke petugas yang berwenang bila ada kasus taeniasis/sistiserkosis.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2007. Petunjuk Pemberantasan Taeniasis/Sistiserkosis di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI.
Anonim., 2012. Taenia (cacing pita). www.wikipedia.co.id. diakses 17 Maret
2012.
Bakta, I.M. 2009. Taeniasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V Jilid
III. Dalam : I Made Bakta, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata K, Siti Setiati, eds. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 2949-54.
Ideham, B. & Suhintam Pusarawati. 2007. Taenia, Taenia Solium, Sistiserkosis
Pada Manusia, Taenia Saginata, Asian Taenia. Helmintologi Kedokteran.
Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 88-99.
Irianto, K. 2009. Taenia Saginata & Taenia Solium. Parasitologi: Berbagai
Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia Untuk Paramedis Dan
Nonmedis. Cetakan Pertama. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. Hal. 113-21.
James Chin. 2006. Taeniasis. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi
XVII, Cetakan II. Jakarta: CV. INFOMEDIKA. Hal. 589-93.
Mandal, B.K., et al. 2008. Cacing pita (cestoda). Lecture Notes Penyakit
Infeksi. Edisi Ke VI. Jakarta: Erlangga. Hal. 287-90.
Natadisastra, D. & Ridad Agoes. 2009. Taeniasis Saginata & Taeniasis Solium.
Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Tubuh Yang Diserang. Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 116-20.
Sumarmo, S.P.S., et al. 2008. Taeniasis Saginata & Taeniasis Solium. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal.
389-96.
Sutanto, I., et al. 2009. Taenia Saginata, Taenia Solium, Sistiserkosis. Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi Ke IV, Cetakan ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal. 79-91.
Simanjuntak, G.M. 2010. Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten
Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. www.wikipedia.co.id. Diakses 13 Maret
2012.

li

Gomes., et al. 2007. Comparative Evaluation of Different Immunoassays for


the Detection of Taenia solium Cysticercosis in Swine with Low Parasite
Burden. www.wikipedia.co.id. Diakses 17 Maret 2012.
Suroso, T., et al. 2006. Challenges for Control of Taeniasis/Cysticercosis in
Indonesia. www.wikipedia.co.id. Diakses 18 Maret 2012.
Wandra, T., et al. 2006. Taeniasis and Cysticercosis in Bali and North Sumatra,
Indonesia. www.wikipedia.co.id. Diakses 19 Maret 2012.
Eddi, C., et al. 2006. Veterinary Public Health Activities at FAO: Cysticercosis
and Echinococcosis. www.wikipedia.co.id. Diakses 19 Maret 2012.

Вам также может понравиться