Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
: Gunawan Hutagalung
NPM : 208210186
Telah selesai dan disahkan oleh Pembimbing untuk
diajukan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
iv
SURAT PERNYATAAN
Gunawan Hutagalung
Penguji I
Penguji II / Pembimbing
Pimpinan Sidang
vi
ABSTRAK
PENYAKIT TAENIASIS
Nama
: Gunawan Hutagalung
NPM
: 208210186
Judul
: Penyakit Taeniasis
vii
ABSTRACT
TAENIASIS DISEASE
Taeniasis disease or tapeworm disease is human infection by adult
tapeworm who classified into Taenia genus. In traditionally known two species
tapeworm infection that is taeniasis because of Taenia solium infection (pork
tapeworm) and taeniasis because of Taenia saginata infection (cattle or beef
tapeworm). In recent times founded new species who relate well to (sister
species) with Taenia saginata, called as Taenia asiatica, but there is consider as
subspecies Taenia saginata so that called as Taenia saginata asiatica. Into
human, larva form (cysticercus) Taenia solium can make infection as known as
cysticercosis. Taenia asiatica too predicted can not make cysticercosis into
human. When cysticercosis concerning brain tissue then called as
neurocysticercosis (NCC). Diagnose taeniasis disease can make if patient eject
proglottid passive in feces as well as active. Eject active proglottid indicate to
way diagnose of Taenia saginata infection. Diagnose can be make with
founded Taenia egg in feces. Identification can not be make building of egg
morphology. Egg expultion characterised eratic, so that necessary make
investigation repaetedly. A variety of kind medicine can use as taeniasis
therapy. Drug of choice for tapeworm infection for the moment is praziquantel
and niclosamide. Medicines who use before for taeniasis but now rare use is :
atabrin (mepakrin), bitionol (bitin) and dichlorofen.
Keywords : Taeniasis disease, Complication, Diagnose, Treatment.
viii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
mana atas berkat dan rahmatNya, sehingga penulis sampai saat ini diberikan
kekuatan dan anugerah dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Adapun
judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah PENYAKIT TAENIASIS . Dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini, tidak terlepas bantuan dan dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Pantas Simanjuntak, MM, selaku Rektor Universitas Methodist
Indonesia Medan.
2. Dr Wilson Riau, DTM&H, selaku Pj. Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Methodist Indonesia Medan.
3. Dr. Jaminsen Sinaga, SpA, selaku Ketua Program Studi Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan.
4. Dr. Wilson Riau, DTM&H, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberi arahan
kepada penulis selama Penyusunan karya Tulis Ilmiah ini.
5. Seluruh Dosen dan Staf Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Methodist Indonesia Medan.
6. Kepada kedua orang tua penulis Bapak G Hutagalung dan Ibu H br.
Sinaga, yang telah memberi banyak
pengorbanan
materi
yang
begitu
dapat
ix
saling mendukung satu sama yang lain untuk dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini.
9. Kepada teman-teman satu tim tutorial 3.16 penulis, Putry D. Panjaitan,
Julia C. T. Panjaitan, Tona B. M. Sinaga, Febry C. Tarigan, Andreas
Henfri Situngkir, Sarah Caroline, Lenny, Natalia Claudia, Benny Chandra,
Sanjethro Ginting, yang juga telah memberikan dukungan dan masukan
dalam membantu menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis berharap semoga hasil karya tulis imiah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Dan penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penyusunan
karya tulis ilmiah ini. Akhir kata Penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Gunawan Hutagalung
DAFTAR ISI
HALAMAN PENETAPAN JUDUL............................................................ii
HALAMAN SELESAI BIMBINGAN.......................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN KTI..............................................................v
ABSTRAK....................................................................................................vi
KATA PENGANTAR.................................................................................viii
DAFTAR ISI..................................................................................................x
DAFTAR TABEL........................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................3
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................3
1.4. Manfaat Penulisan..............................................................4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi (klasifikasi), sejarah, dan epidemiologi
Penyakit Taeniasis...................................................................5
2.2. Distribusi geografik Penyakit Taeniasis..........................11
2.3. Morfologi dan daur hidup Penyakit Taeniasis...............11
2.4. Masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan
kekebalan Penyakit Taeniasis...............................................11
2.5. Patogenesis Penyakit Taeniasis........................................19
2.6. Gejala klinik Penyakit Taeniasis......................................20
2.7. Diagnosis Penyakit Taeniasis............................................22
2.8. Sistiserkosis............................................................................23
2.9. Neurosistiserkosis..................................................................32
2.10. Penatalaksanaan Penyakit Taeniasis.................................33
xi
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan........................................................................36
3.2. Saran..................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................38
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Gambaran karakteristik Taenia solium, Taenia asiatica dan Taenia
Saginata.........................................................................................12
Tabel 2 : Perbedaan morfologik Taenia saginata dan Taenia solium...........23
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Prevalensi pasien Taeniasis......................................................... 7
Gambar 2 : Cacing Taenia saginata dewasa.................................................11
Gambar 3 : Segmen tubuh Taenia solium.....................................................11
Gambar 4 : Siklus hidup Taenia saginata.....................................................13
Gambar 5 : Proglotid matang Taenia............................................................14
Gambar 6 : Telur Taenia saginata.................................................................15
Gambar 7 : Proglotid gravid Taenia solium..................................................16
Gambar 8 : Siklus hidup Taenia solium........................................................17
Gambar 9 : Taenia saginata di usus buntu....................................................19
Gambar 10 : Daerah-daerah endemik sistiserkosis.......................................24
Gambar 11 : Sistiserkosis pada otak.............................................................32
Gambar 12 : Cara pengendalian cacing pita Taenia......................................35
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia. Secara tradisional dikenal 2
jenis infeksi cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia solium
(cacing pita babi, pork tapeworm) dan taeniasis oleh karena infeksi Taenia
saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef tapeworm). Akhir-akhir ini
ditemukan spesies baru yang berhubungan erat (sister species) dengan Taenia
saginata, disebut sebagai Taenia asiatica, tetapi ada yang menganggap sebagai
subspesies Taenia saginata sehingga disebut sebagai Taenia saginata asiatica.
Pada manusia, bentuk larva (cysticercus) Taenia solium dapat menimbulkan
infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis (cysticercosis). Apabila sistiserkosis
mengenai jaringan otak maka disebut sebagai neurocysticercosis (NCC).
xv
xvi
Berbagai macam obat dapat dipakai sebagai terapi taeniasis. Obat pilihan
untuk infeksi cacing pita saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid. Obat-obat
yang sebelumnya dipakai untuk taeniasis tetapi sekarang jarang digunakan
ialah : atabrin (mepakrin), bitionol (bitin) dan diklorofen. (I Made Bakta,
2009).
penyakit Taeniasis ?
Bagaimana pathogenesis terjadinya penyakit Taeniasis ?
Bagaimana bentuk gejala klinik penyakit Taeniasis ?
Bagaimana diagnosis penyakit Taeniasis ?
Apa yang dimaksud dengan sistiserkosis dan bagaimana penatalaksanaan
nya ?
9. Apa yang dimaksud dengan neurosistiserkosis dan bagaimana
penatalaksanaan nya ?
10. Bagaimana penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan penyakit
Taeniasis ?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Penyakit Taeniasis.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tentang taksonomi (klasifikasi), sejarah dan epidemiologi
penyakit Taeniasis.
b. Mengetahui distribusi geografik penyakit Taeniasis.
c. Mengetahui morfologi dan daur hidup penyakit Taeniasis.
d. Mengetahui masa inkubasi, masa penularan, kerentanan dan kekebalan
e.
f.
g.
h.
penyakit Taeniasis.
Mengetahui pathogenesis terjadinya penyakit Taeniasis.
Mengetahui gejala klinik penyakit Taeniasis.
Mengetahui diagnosis penyakit Taeniasis.
Mengetahui pengertian sistiserkosis dan penatalaksanaan nya.
xvii
xviii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Taksonomi (Klasifikasi), Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Taeniasis
Taksonomi (Klasifikasi)
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Platyhelminthes
: Cestoda
: Cyclophellidea
: Taeniidae
: Taenia
: Taenia saginata
Taenia solium
Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia. Secara tradisional dikenal 2
jenis infeksi cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia solium
(cacing pita babi, pork tapeworm) dan taeniasis oleh karena infeksi Taenia
saginata (cacing pita sapi, cattle atau beef tapeworm). Akhir-akhir ini
ditemukan spesies baru yang berhubungan erat (sister species) dengan Taenia
saginata, disebut sebagai Taenia asiatica, tetapi ada yang menganggap sebagai
xix
xx
Taenia saginata & Taenia solium. Taenia saginata, cacing pita dari sapi,
telah dikenal sejak dahulu; akan tetapi identifikasi cacing tersebut baru menjadi
jelas setelah tahun 1782, karena karya Goeze dan Leuckart. Sejak itu, diketahui
adanya hubungan antara infeksi cacing Taenia saginata dengan larva
sistiserkus bovis, yang ditemukan pada daging sapi. Bila seekor anak sapi
diberi makan proglotid gravid cacing Taenia saginata, maka pada dagingnya
akan ditemukan sistiserkus bovis. Taenia solium, cacing pita dari daging babi,
diketahui sejak Hippocrates, atau mungkin sudah sejak Nabi Musa walaupun
pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan
cacing pita daging babi, sampai pada karya Goeze (1782). Aristophane dan
Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus selulose pada lidah babi
hutan. Gessner (1558) dan Rumler (1588), melaporkan stadium larva pada
manusia. Kuchenmeister (1855) dan Leuckart (1856), adalah sarjana-sarjana
yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan
membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi,
adalah stadium larva cacing Taenia solium. (Inge Sutanto et al, 2009).
xxi
xxii
koreanensis. Keadaan yang sama dijumpai oleh Kosin dkk di Pulau Samosir
(Sumatera Utara). Sebagian besar penduduk memakan daging babi, tetapi
Taenia yang dijumpai hampir semua tidak dapat dibedakan dengan Taenia
saginata. Beberapa ahli kemudian menyebut strain baru ini sebagai Taenia
saginata asianensis. Eom dan Rim dalam penelitian lebih lanjut dapat
membuktikan adanya perbedaan morfologik Taenia saginata asianensis dan
Taenia saginata klasik, yaitu adanya skoleks telanjang pada cacing dewasa,
ranting percabangan lateral uterus lebih banyak dan adanya protuberansi
posterior pada proglotid dewasa. Penelitian DNA menunjukkan adanya
perbedaan struktur DNA Taenia saginata asianensis dan Taenia saginata
klasik, meskipun masih menunjukkan hubungan revolusioner yang dekat baik
dengan Taenia saginata maupun Taenia solium. Oleh karena itu sebagian besar
ahli menganggap cacing ini sebagai spesies ketiga Taenia pada manusia dan
diberi nama Taenia asiatica sp.
Pada percobaan Fan dkk di Pulau Samosir dan Dharmawan dkk di Bali,
dibuktikan bahwa babi dapat merupakan binatang perantara cacing pita jenis
ini. Berbeda dengan Taenia solium di mana sistiserkus terutama dijumpai pada
otot babi, pada Taenia asiatica sistiserkus dijumpai pada alat dalam terutama
pada hati sehingga dikenal sebagai cysticercus viscerotropica. Di duga bahwa
sebagian besar Taenia saginata yang secara morfologik dijumpai di Sumatera
Utara dan Bali dapat digolongkan sebagai Taenia asiatica sp. (I Made Bakta,
2009). Prevalensi taeniasis Taenia asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%20,7%. Kasus Taenia asiatica di provinsi ini umumnya disebabkan oleh
konsumsi daging babi hutan setengah matang. (Wandra et al, 2006).
Epidemiologi. Taenia saginata sering ditemukan di negara yang
penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk memakan
daging tersebut yaitu matang (well done), setengah matang (medium), atau
mentah (rare); dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak yang
dilepas di padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung, daripada
ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.
xxiii
xxiv
Taenia solium
Taenia asiatica
Taenia
saginata
Sistiserkus
Hospes
Babi,
Babi, sapi,
perantara
manusia,
kambing, kera
Sapi
anjing
Lokalisasi
Ukuran (mm)
Otot, otak,
Visera
Otot, visera
kulit, mata,
terutama hati
lidah
(alat dalam)
5-8 x 3-6
2x2
7-10 x 4-6
Rostelum
Rostelum
Tidak ada
dengan
dengan
rostelum
pengait
pengait
dan pengait
xxv
rudimenter
Cacing dewasa
Rostelum
Rostelum
Tanpa
Skoleks
dengan
tanpa pengait
rostelum
pengait
dan
pengait
7 12
16 21
18 32
gravid
Terutama
Tunggal dan
Tunggal
Keluarnya
dalam grup
aktif
dan aktif
Cabang uterus
pada proglotid
proglotid
dan pasif
(I Made Bakta, 2009)
Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan
panjang; terdiri atas kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang
merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Panjang
cacing 4-12 meter atau lebih. Skoleks hanya berukuran 1-2 milimeter,
mempunyai empat batil isap dengan otot-otot yang kuat, tanpa kait-kait.
Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat
struktur tertentu. Strobila terdiri atas rangkaian proglotid yang belum dewasa
(imatur), yang dewasa (matur) dan yang mengandung telur atau disebut gravid.
Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang
jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel
testis yang berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa eferensnya
bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang berakhir di
lubang kelamin (genital pore). Lubang kelamin letaknya selang-seling pada sisi
kanan atau kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat vas
deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip (Gambar 4).
xxvi
Ovarium terdiri atas 2 lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak
ovarium di sepertiga bagian posterior proglotid. Vitelaria letaknya di belakang
ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik.
Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior
proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabang-cabangnya akan
tumbuh, yang berjumlah 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki
xxvii
lubang uterus (porus uterinus). Proglotid yang sudah gravid letaknya terminal
dan sering terlepas dari strobila. Proglotid ini dapat bergerak aktif, keluar
dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur (spontan). Setiap harinya
kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid bentuknya lebih panjang daripada
lebar. Telur dibungkus embriofor, yang bergaris-garis radial, berukuran 30-40 x
20-30 mikron, berisi embrio heksakan atau onkosfer. Telur yang baru keluar
dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah
proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas
dari rangkaiannya dan menjadi koyak; cairan putih susu yang mengandung
banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila
proglotid berkontraksi waktu gerak.
xxviii
Bila cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang dimasak kurang
matang termakan oleh manusia, skoleksnya keluar dari cacing gelembung
dengan cara evaginasi dan melekat pada mukosa usus halus, biasanya
yeyunum. Cacing gelembung tersebut dalam waktu 8-10 minggu menjadi
dewasa. Biasanya di rongga usus hospes terdapat seekor cacing.
Taenia solium, berukuran panjang 2-4 meter dan kadang-kadang sampai 8
meter. Cacing ini seperti Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher dan
strobila, yang terdiri atas 800-1000 ruas proglotid. Skoleks yang bulat
berukuran kira-kira 1 milimeter, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum
yang mempunyai 2 baris kait-kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah.
Strobila terdiri atas rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur), dewasa
(matur) dan mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada proglotid
dewasa sama dengan Taenia saginata, kecuali jumlah folikel testisnya lebih
sedikit, yaitu 150-200 buah. Bentuk proglotid gravid mempunyai ukuran
panjang hampir sama dengan lebarnya. Jumlah cabang uterus pada proglotid
gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian
selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.
xxix
xxx
xxxi
xxxii
cysticercus bovis dan pada babi disebut cysticercus cellulosae. Jika daging
yang mengandung sistiserkus termakan oleh manusia, larva akan keluar dari
kista dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam yeyunum dalam waktu 5-12
minggu. Cacing pita dewasa dapat tahan hidup sampai 20 tahun dalam usus. (I
Made Bakta, 2009). Faktor risiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu
pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan
babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat
dengan manusia. (Eddi et al, 2006).
xxxiii
menimbulkan
penyakit
yang
disebut
cysticercus
cellulosae.
xxxiv
a) Infeksi usus
Kebanyakan infeksi Taenia solium adalah subklinis, tidak menunjukkan
gejala yang berarti. Mungkin ada gangguan pencernaan yang ringan dan
menahun seperti nafsu makan tidak tetap, sakit kepala, sakit perut yang tidak
nyata, diare dan konstipasi bergantian. Penderita merasa cepat lapar.
Peradangan mukosa usus setempat yang ringan terjadi karena iritasi mekanik
oleh strobila dan perlekatan skoleks. Pada anak dan orang lemah gejala-gejala
ini mungkin lebih nyata dan disertai kelelahan. Penyerapan hasil-hasil
metabolisme cacing menyebabkan lekositosis ringan dan kadang-kadang
eosinofil ringan (6-10 persen).
b) Sistiserkosis
Sistiserkosis yang jumlahnya sampai beribu-ribu dapat tumbuh di dalam
tiap jaringan atau alat tubuh manusia. Organ yang disenangi adalah otot
bergaris dan otak selain di jaringan subkutis, mata, jantung, paru-paru dan
peritoneum. Manifestasi berat terjadi pada sistiserkosis otak yang biasanya
disertai dengan sistiserkosis umum yang tidak diketahui. Manifestasi lambat
yang paling menonjol adalah serangan epilepsi tipe Jackson yang berulangulang secara tidak teratur, yang dihubungkan dengan larva dan mengalami
fibrosis dan telah mati atau mengalami perkapuran. Mungkin ada gejala tumor
otak, meningitis, ensefalitis, hidrosefalus dan sclerosis diseminata. Paresis yang
kadang-kadang timbul, penglihatan yang menghilang, sakit kepala yang tibatiba, muntah dan mental yang terganggu mungkin merupakan gejala utama. Di
dalam mata sistiserkosis terletak di bawah retina atau di dalam humor vitreum.
(Kus Irianto, 2009).
xxxv
Taenia saginata
Tanpa pengait
Taenia solium
Dengan pengait
Proglotid
(rostellum)
Percabangan lateral
(rostellum)
Percabangan lateral
gravid
Proglotid
Uterus > 16
Ovarium dengan 2
Uterus < 12
Ovarium dengan 2
matur
lobus saja
xxxvi
2.8 Sistiserkosis
Pendahuluan. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista
stadium
dan dan sistem saraf pusat (SSP) sebagai neurosistiserkosis, atau berupa kista
multipel atau keduanya. Penyakit ini juga dinyatakan sebagai penyakit parasit
yang paling banyak menyerang SSP. Keberadaan siklus hidup parasit ini baru
dikenal pada abad ke-19 dan manifestasi klinisnya baru banyak teridentifikasi
di pertengahan abad ke-20. Sejak dua puluh tahun terakhir ini berbagai konsep
mengenai
prevalensi
infeksi,
morbiditas
dan
mortalitas,
terapi
dan
xxxvii
xxxviii
pengandung kista, namun jumlah inipun diyakini masih jauh dari jumlah yang
sebenarnya. Diperkirakan hanya benua Antartika dan Australia yang bebas dari
sistiserkosis.
Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas, dengan wilayah yang
memiliki prevalensi tinggi, seperti: Meksiko, Amerika tengah dan Selatan,
India, dan Afrika sub Sahara. Di Meksiko, ditemukan bahwa pada orang
dewasa yang menderita kejang, setengahnya menderita neurosistiserkosis.
Keadaan serupa ditemukan juga di Afrika, India dan Cina bahwa sebagian
besar penyakit parasit otak disebabkan neurosistiserkosis.
Indonesia memilki keragaman penduduk, dengan mayoritas penduduk
muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah
seperti Bali dan Papua (dahulu Irian Jaya) yang banyak mengkonsumsi daging
babi. Pertama kali terjadinya kejadian luar biasa kejang adalah di daerah
Paniai, Papua, pada awal 1970-an dan kejang tersebut disebabkan oleh
neurosistiserkosis. Kejadian serupa dilaporkan terulang dekat perbatasan Papua
New Guinea, dan sampai sekarang Papua masih menjadi daerah endemik
taeniasis/sistiserkosis.
Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis. Larva Taenia solium hidup dalam
jaringan sebagai kista yang berisi cairan atau metacestoda. Kista tersebut memiliki
dinding semitransparan yang tipis. Skoleks terletak di satu sisi kista, terinvaginasi
dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm. Ukuran dan bentuk
kista bervariasi sesuai jaringan sekitarnya. Di otak, kista berbentuk bundar dengan
diameter mencapai 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan ketebalan
bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP dan
mata kurang tebal. Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang
terdiri microtriches (dilapisi oleh glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan
muskularis, jaringan penghubung longgar dan jaringan kanalikuli. Nodul mural
terdiri atas skoleks terinvaginasi dan kanal spiral terasosiasi yang juga terdiri atas
membran trilaminar. Sebuah pori ekskretori kecil dekat akhir kanal spiral
terhubung dengan kanal digestif terhadap jaringan sekitar. (Inge Sutanto et al,
xxxix
2009). Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma,
lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk. Manusia
terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang
yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus manusia. Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi
oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan
daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging mentah atau setengah matang
(Gomes et al, 2007). Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau
minuman yang mengandung telur Taenia solium. (Suroso et al, 2006). Sumber
penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen
tubuh (proglotid) cacing pita.
2. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(sistisekus).
3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
(Anonim, 2007).
xl
xli
ekstraparenkimal
yang
memiliki
bentuk
neurosistiserkosis ventrikular.
4. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit
serebrovaskular, sistiserkosis, sakit kepala migren, defek neurokognitif,
sistiserkosis ekstraneural.
Diagnosis Sistiserkosis. Del Brutto et al, mengusulkan kriteria diagnostik
yang dapat dilakukan berdasarkan pencitraan, tes serologi, presentasi klinis,
dan
riwayat
pajanan.
Pencitraan
merupakan
metode
utama
untuk
xlii
spesifik untuk pemeriksaan infeksi Taenia solium. EITB sensitif pada kista
parenkim aktif mutipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun
demikian sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau
kalsifikasi sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi seringkali
negatif. Pemeriksaan EITB lebih baik ketika menggunakan serum dibanding
liquor serebrospinalis. Di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI,
serologi berperan penting untuk diagnosis.
Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis, diperlukan beberapa
penemuan positif. Kriteria mayor pertama adalah penemuan berdasarkan
pemeriksaan pencitraan, dimana ditemukan sistiserkus yang berukuran 0,5-2
cm. Kedua, ditemukannya antibodi spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.
Kriteria minor antara lain: kejang, peningkatan tekanan intrakranial, kalsifikasi
intraserebral pungtata, nodul subkutan, atau hilangnya lesi setelah pengobatan
anti parasit. Kombinasi dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor, ditambah riwayat pajanan, digunakan untuk menegakkan
diagnosis.
Terapi Sistiserkosis. Terapi sistiserkosis berbeda pada setiap individu
berdasarkan patogenesis penyakitnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah
lokasi kista, gejala seperti kejang atau hidrosefalus, viabilitas kista (termasuk
stadium degenerasi kista) dan derajat respons peradangan pejamu. Untuk
mencegah transmisi perlu dilakukan peningkatan sanitasi lingkungan, memasak
daging babi sampai matang, menekan jumlah ekskresi telur taenia, edukasi
terhadap masyarakat termasuk kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan
setelah ke kamar mandi, serta memasak air minum hingga matang. Upaya yang
juga dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan infeksi sistiserkosis di babi
dengan vaksinasi.
Pada infeksi inaktif, pasien dapat diterapi untuk mengatasi gejala seperti
kejang. Apabila terdapat hidrosefalus, maka dapat dibantu dengan prosedur
tambahan, misalnya dengan operasi pembuatan shunt ventrikuloperitoneal.
Pengobatan antiparasit tidak diperlukan karena tidak ada parasit hidup pada
pasien. Penderita neurosistiserkosis aktif, memerlukan berbagai pengobatan
xliii
tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat pengobatannya
sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50-100 mg/kg dalam 3 dosis
terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg dalam 2-3 dosis terbagi) selama
8 hari, kortikosteroid (10-30 mg deksametason per hari, atau 60 mg prednison,
dilanjutkan dengan tappering off saat ingin menghentikan pemberian) dan juga
obat antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital. Pemberian kortikosteroid
adalah untuk mengatasi reaksi peradangan yang terutama terjadi setelah
pengobatan praziquantel. Tujuannya untuk mencegah peradangan yang dapat
mengancam nyawa pada ensefalitis sistiserkal, neurosistiserkosis subarakhnoid,
dan neurosistiserkosis intramedular spinal. Prednison lebih baik dibandingkan
deksametason untuk penggunaan jangka panjang. Selain itu dapat digunakan
manitol
(2
g/kg
per
hari)
untuk
hipertensi
sekunder
akut
akibat
neurosistiserkosis.
Pemakaian praziquantel bersama antikonvulsan dapat menyebabkan induksi
metabolisme. Oleh karena itu diperlukan simetidin (400 mg tiga kali per hari)
untuk menghambat metabolisme praziquantel tersebut. Interaksi obat ini relatif
tidak terjadi pada penggunaan albendazol. Hal lain yang perlu diperhatikan saat
pengobatan adalah reaksi peradangan yang akan menyebabkan demam, mual,
muntah dan sakit kepala, bahkan dapat menjadi edema serebral. Selain itu, bila
sistiserkosis terdapat di otot, maka dapat terjadi miositis akibat pengobatan.
Neurosistiserkosis Parenkim. Pengobatan yang dianjurkan adalah
albendazol (15 mg/kg/hari oral, selama 7 hari atau lebih). Bertujuan untuk
menghancurkan seluruh kista dan meringankan kejang sampai 45%. Diberikan
secara simultan dengan deksametason (0,1 mg/kg/hari) minimal selama minggu
pertama terapi. Pilihan lain adalah praziquantel (25 mg/kg 3 kali sehari), oral,
dengan interval 2 jam atau dosis standar (50-100 mg/kg/hari selama 15 hari).
Efikasi dosis tunggal lebih baik pada penderita dengan kista tunggal atau kista
sedikit, namun kurang bermanfaat bila kistanya banyak.
Neurosistiserkosis Subarakhnoid. Dosis optimal dan durasi terapi anti
parasitik jenis ini belum ada. Penggunaan albendazol pada sistiserki raksasa
(15 mg/kg/ hari selama 4 minggu) menunjukkan hasil yang baik. Meskipun
xliv
2.9 Neurosistiserkosis
Sistiserkosis yang paling berbahaya dan paling sering
ialah
sistiserkosis
pada
susunan
saraf
pusat
menimbulkan gejala
(neurosistiserkosis).
xlv
semakin
banyak
masuk
ke
Amerika
Serikat.
Di
Indonesia,
dipertimbangkan
terapi
pembedahan.
Neurosistiserkosis
tanpa
xlvi
1. Bitionol, obat ini diserap dari usus, cara kerjanya kurang jelas, tetapi
diduga dengan menghalangi fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan
cacing pita. Dosis 40-60 mg/kgBB, dosis tunggal atau terbagi.
2. Niklosamid, tidak diserap dari usus. Bekerja dengan cara menghalangi
fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan cacing pita. Cara pemberian
didahului dengan puasa dan pada pagi berikutnya diberikan sebelum
sarapan, dikunyah dan ditelan 2 gram niklosamid (dosis tunggal) dan
disusul 2 jam kemudian dengan pemberian obat pencahar berupa garam
Inggris. Pada anak, dosis yang digunakan dikonversikan dari dosis dewasa
(dosis tersebut di atas).
3. Quinakrin, obat ini dapat diserap dari usus. Bekerjanya sebagai
neurotoksik. Cara pemberiannya didahului dengan puasa dan pagi
berikutnya sebelum sarapan ditelan 800-1000 mg dengan cara bertahap
disertai natrium bikarbonat disusul dengan pencahar 2 jam sesudahnya.
Cara yang digunakan pada penderita yang dirawat di rumah sakit,
quinakrin ini dilarutkan dulu dengan air dan diberikan melalui nasogastric
tube, hasilnya jauh lebih baik.
4. Praziquantel, ini adalah antihelmintik baru yang mempunyai aktivitas
tinggi terhadap infestasi berbagai Cestoda dan Trematoda. Cara
pemberian, didahului dengan puasa dan pada pagi berikutnya sebelum
sarapan ditelan 15-25 mg/kgBB praziquantel, dosis tunggal, disusul 2 jam
kemudian dengan pencahar, ataupun dapat diberikan tanpa memandang
berat badan ataupun umur dengan cara pemberian 150 mg praziquantel,
dosis tunggal, tanpa perlu puasa sebelumnya dan tanpa pemberian
pencahar sesudah memakan obat. Biasanya cacing akan dikeluarkan pada
pagi hari berikutnya.
5. Albendazol, pada saat ini telah beredar antihelmintik baru yang
berspektrum luas. Obat ini telah beredar di Indonesia, sedang 4 obat
terdahulu sangat sukar didapat di pasaran. Obat ini adalah derivate
Benimidazol, cara kerjanya dengan membendung pengambilan glukosa
sehingga kehabisan cadangan glikogen pada jaringan cacing dan
menyebabkan kekurangan ATP yang akhirnya mengakibatkan kematian
xlvii
cacing. Dengan dosis 400 mg, dosis tunggal dan diberikan selama 3 hari
berturut-turut akan memberikan efek yang sangat memuaskan. (Sumarmo
S. Poorwo Soedarmo et al, 2008).
6. Paromomisin, suatu antibiotika diberikan dengan dosis 75 mg/kg BB
(maksimum 4 gram) dilaporkan memberikan angka kesembuhan di atas
90% pada kasus taeniasis.
Setelah 3 bulan, tinja diperiksa kembali untuk mencari adanya telur cacing
atau adanya pengeluaran proglotid. Jika tidak ditemukan telur atau proglotid
berarti telah terjadi kesembuhan sempurna.
Infeksi Taenia saginata mempunyai prognosis baik, jarang sekali
menimbulkan komplikasi. Infeksi oleh Taenia solium dapat memberi
komplikasi serius terutama sistiserkosis pada susunan syaraf pusat yang dapat
memberi prognosis kurang baik.
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai tindakan : 1). Menghilangkan
sumber infeksi dengan mengobati pasien taeniasis; 2). Pendidikan kesehatan
untuk mengubah kebiasaan penduduk dalam : a). pembuangan kotoran (tinja)
yang sembarangan; b). kebiasaan memakan daging yang tidak dimasak dengan
sempurna; 3). Pengawasan rumah potong yang baik. (I Made Bakta, 2009).
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melalui
peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi,
pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. (Eddi et
al, 2006).
xlviii
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing
pita dewasa yang tergolong dalam genus Taenia.
2. Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan
panjang; terdiri atas kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang
merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah.
Panjang cacing 4-12 meter atau lebih.
3. Taenia solium, berukuran panjang 2-4 meter dan kadang-kadang sampai 8
meter. Cacing ini seperti Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher dan
strobila, yang terdiri atas 800-1000 ruas proglotid.
4. Taenia taiwanensis/Asian taenia. Perbedaan
secara
morfologi
xlix
6. Taenia saginata tidak secara langsung ditularkan dari orang ke orang, akan
tetapi untuk Taenia solium dimungkinkan ditularkan secara langsung.
7. Umumnya setiap orang rentan atau beresiko terhadap infeksi penyakit ini.
Setelah infeksi tidak terbentuk kekebalan terhadap cacing ini, akan tetapi
jarang di laporkan ada orang yang mengandung lebih dari satu jenis cacing
pita dalam tubuhnya.
8. Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal yeyunum. Proglotid gravid
terlepas dari strobila, keluar bersama tinja, kemudian pecah dan
mengeluarkan telur.
9. Taeniasis saginata & taeniasis solium umumnya tanpa gejala berarti,
kadang-kadang mengeluh gangguan usus atau gejala obstruksi intestinal
akut.
10. Diagnosis Taenia saginata ditegakkan dengan ditemukannya proglotid
yang aktif bergerak dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan
ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus.
11. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista stadium
cacing pita Taenia solium.
12. Sistiserkosis yang paling berbahaya dan paling sering
larva
menimbulkan
3.2 Saran
1. Disarankan kepada masyarakat untuk tidak menganggap remeh terhadap
penyakit Taeniasis seperti mengeluh gangguan usus atau gejala obstruksi
intestinal akut karena gejala tersebut bisa berlanjut menjadi penyakit
Taeniasis.
2. Disarankan kepada para medis dan terutama untuk keluarga penderita agar
3.
4.
5.
6.
7.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2007. Petunjuk Pemberantasan Taeniasis/Sistiserkosis di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI.
Anonim., 2012. Taenia (cacing pita). www.wikipedia.co.id. diakses 17 Maret
2012.
Bakta, I.M. 2009. Taeniasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V Jilid
III. Dalam : I Made Bakta, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata K, Siti Setiati, eds. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 2949-54.
Ideham, B. & Suhintam Pusarawati. 2007. Taenia, Taenia Solium, Sistiserkosis
Pada Manusia, Taenia Saginata, Asian Taenia. Helmintologi Kedokteran.
Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 88-99.
Irianto, K. 2009. Taenia Saginata & Taenia Solium. Parasitologi: Berbagai
Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia Untuk Paramedis Dan
Nonmedis. Cetakan Pertama. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. Hal. 113-21.
James Chin. 2006. Taeniasis. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi
XVII, Cetakan II. Jakarta: CV. INFOMEDIKA. Hal. 589-93.
Mandal, B.K., et al. 2008. Cacing pita (cestoda). Lecture Notes Penyakit
Infeksi. Edisi Ke VI. Jakarta: Erlangga. Hal. 287-90.
Natadisastra, D. & Ridad Agoes. 2009. Taeniasis Saginata & Taeniasis Solium.
Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Tubuh Yang Diserang. Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 116-20.
Sumarmo, S.P.S., et al. 2008. Taeniasis Saginata & Taeniasis Solium. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal.
389-96.
Sutanto, I., et al. 2009. Taenia Saginata, Taenia Solium, Sistiserkosis. Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi Ke IV, Cetakan ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal. 79-91.
Simanjuntak, G.M. 2010. Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten
Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. www.wikipedia.co.id. Diakses 13 Maret
2012.
li