Вы находитесь на странице: 1из 54

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK PEREMUPUAN USIA 8 TAHUN DENGAN


MENINGITIS BAKTERIALIS

Oleh :
Afrizal Tri Heryadi

(G99142074)

Irvan Raharjo

(G99142075)

Pembimbing:
Ganung Harsono, dr., Sp.A(K)

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RUMAH SAKIT DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An.A S

Umur

: 8 tahun

Berat badan

: 15 kg

Jenis Kelamin

: Perempuan

Nama Ayah

: Bp. Mardopo

Pekerjaan

: Pedagang

Alamat

: Karanganyar

Tanggal masuk

: 15 Juli 2015

Tanggal pemeriksaan

: 15 Juli 2015

No. RM

: 01307487

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Kejang (pasien merupakan rujukan dari RS PKU Muhammadiyah
Karanganyar dengan febris hari ke-4 dengan penurunan kesadaran).
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami demam 4 hari, tidak ada batuk, tidak ada pilek,
kemudian muncul ruam-ruam merah di dada, kaki, leher, wajah, dan
belakang telinga. Adik pasien juga terkena penyakit serupa.
Kurang lebih 2 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang di
rumah. Kejang terjadi pada seluruh tubuh dengan mata melirik ke atas
terjadi kurang lebih 10 menit, kesadaran selanjutnya, setelah kejang dapat
beraktivitas seperti biasa. Kemudian pasien langsung dibawa ke rumah sakit
swasta oleh orangtua pasien. Kejang berhenti setelah diberi obat injeksi
yaitu Stesolid 3,5 mg. Setelah kejang pasien mengantuk. Kemudian pasien
kejang lagi terjadi pada seluruh tubuh selama kurang lebih 5 menit dan
berhenti setelah diberi Injeksi phenitoin 250 mg IV dan Injeksi
1

Dexamethason 1 mg. Setelah kejang pasien mengantuk, kemudian pasien


dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Moewardi.
Hasil pemeriksaan Laboratorium di RS PKU Muhammadiyah
Karanganyar pada tanggal 15 Juli 2015 menunjukkan Hb: 12,6g/dL, AL:
12.600/mm3, AT: 219.000/mm3, AE: 4.940.000/ mm3, Hct: 38,9%, GDS:
250 mg/dL.
Saat di IGD RSUD dr Moewardi, pasien dalam kondisi tidak sadar oleh
karena pengaruh obat. Ditemukan adanya demam pada pasien, tidak ada
batuk, tidak ada pilek, buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat kejang disangkal.
- Riwayat alergi (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Riwayat kejang (+) oleh karena adik pasien juga timbul ruam-ruam merah.
E. Riwayat Kebiasaan & Sosial Ekonomi
Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal bersama
keluarganya. Anggota keluarganya terdiri dari ayah, ibu, 2 orang kakak
perempuan dan pasien sendiri. Ayah pasien bekerja sebagai pedagang.
F. Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien merupakan
anak yang diinginkan. Selama kehamilan ibu pasien teratur periksa
kehamilan di bidan, pertama kali periksa ke bidan pada umur kehamilan 1
bulan. Pada trimester pertama dan kedua 1 kali sebulan. Pada trimester
ketiga, periksa ke bidan setiap 2 minggu sekali. Tidak pernah mengeluh sakit
selama kehamilan. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan atau jamu
dan hanya mengkonsumsi vitamin dari bidan.
G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara spontan di bidan, lahir langsung menangis kuat, dan
tidak biru. Berat badan saat lahir 2500 gram, panjang badan saat lahir 50 cm.
Usia ibu saat melahirkan 32 tahun.
H.

Riwayat Post Natal


2

Setelah lahir, pasien rutin dibawa ke posyandu setiap bulan oleh ibunya
I.

untuk menimbang badan dan mendapat imunisasi lengkap di puskesmas.


Riwayat Imunisasi
Pasien sudah mendapat imunisasi :
BCG
:1
bulan
Polio

: 0, 2, 3, 4

bulan

DPT

: 2, 3, 4

bulan

Hep-B

: 0, 2, 3, 4

bulan

Campak

:9

bulan

BIAS (Td)

:7

tahun

Kesan

: Imunisasi lengkap menurut Depkes.

J. Riwayat Tumbuh Kembang


Saat ini pasien dapat bermain dengan teman sebayanya tanpa ada
masalah. Pasien juga bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
K. Riwayat Nutrisi
1. Usia 0-6 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi menangis
atau minta minum, sehari biasanya lebih dari 8 kali dan lama menyusui
10 menit, bergantian kiri kanan.
2. Usia 6-8 bulan : bubur susu 2-3 kali sehari satu mangkok kecil, dengan
diselingi dengan ASI jika bayi lapar. Buah pisang/pepaya sekali sehari
satu potong 2 x 2 cm2 siang hari.
3. Usia 8-12 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/wortel, lauk ikan asin/tempe, dengan diselingi dengan ASI
jika bayi masih lapar. Buah pepaya/pisang sehari 2 potong.
4. Usia 1-2 tahun : diperkenalkan dengan makanan dewasa dengan sayur
bervariasi dan lauk ikan asin/tempe, porsi menyesuaikan, 3 kali sehari.
ASI masih tapi hanya kadang-kadang. Buah pepaya/pisang/jeruk jumlah
menyesuaikan.
5. Sejak usia 2 tahun : ASI disapih, makan makanan orang dewasa tapi porsi
menyesuaikan, lauk pauk ikan asin/tahu tempe kadang telur. Buah sudah
bervariasi jumlah menyesuaikan.
Kesan: kualitas dan kuantitas asupan nutrisi cukup.
3

L. Keluarga Berencana
Ibu mengikuti program keluarga berencana suntik.
M. Pohon Keluarga

I
I
tah
un
thn

II
I

An.A S, 8 th
tahun

N. PEMERIKSAAN FISIK
a) Keadaan Umum
-

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Derajat kesadaran : Somnolen oleh karena pengaruh sedasi

Derajat gizi

Secara Klinis: Gizi kesan kurang


Secara Antropometri :
BB = 15 kg, TB = 116cm, Usia = 8 tahun
BB/U = 15/27 x 100% = 55,5% (BB/U < p3)
TB/U = 116/130 x 100% = 89,23% (TB/U < p3)
BB/TB = 15/20 x 100% = 75% (BB/TB < p3)
Kesan : Status Gizi kurang secara antropometris.

b) Tanda vital
-

Laju Nadi

: 102x/menit, regular, isi tegangan cukup

Laju Pernafasan

: 22x/ menit, kedalaman cukup, reguler, tipe

torakoabdominal.
-

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Suhu

: 37,80C peraksila

c) Kulit
Kulit sawo matang, kelembaban baik, turgor kembali cepat, ujud kelainan
kulit (-)
d) Kepala
Bentuk mesosefal, lingkar kepala: 47 cm, rambut warna hitam, sukar
dicabut, moon face (-), oedem palpebra (-)
e) Mata
Odema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), air mata (+/+), pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/
+).
f) Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), hiperemis (+/+),
sianosis (-/-).
g) Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-/-), mastoid pain(-/-), tragus
pain (-/-).
i) Mulut
Mukosa basah (+) , sianosis (-), gusi berdarah (-), hiperemis (+).
j) Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T2 T2.
k) Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, JVP tidak meningkat, kaku kuduk (+).
l) Lymphonodi
Retroaurikuler : tidak membesar
5

Submandibuler : tidak membesar


m) Toraks
Bentuk :
Cor

normochest, retraksi (-), bintik-bintik merah (+).

:
Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

batas kiri atas

: SIC II LPSS

batas kiri bawah

: SIC IV LMCS

batas kanan atas

: SIC II LPSD

batas kanan bawah

: SIC IV LPSD

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Pulmo :
Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: sonor /sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+)


suara tambahan (-/-)

n) Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dengan dinding dada

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani, undulasi (-), pekak beralih (-),

Palpasi

: supel, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba


membesar, nyeri tekan (-), undulasi (-), pekak alih (-)

o) Ekstremitas
Akral dingin
-

Oedem
-

Sianosis

---Capillary refill time <2 detik


Arteri dorsalis pedis teraba kuat
p) Pemeriksaan Neurologis
6

petechie (ruam)
+

Refleks Fisiologis
Biceps (+/+)

Refleks Patologis
Babinsky (+/+)

Meningeal Sign
Kaku kuduk (+)

Triceps (+/+)
Achilles(+/+)
Patella (+/+)

Chaddock (-/-)
Gordon (-/-)
Schaeffer (-/-)
Oppenheim (-/-)

Brudzinsky I (+)
Brudzinsky II (+)
Kernig (+)

O. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah tanggal 15 Juli 2015 jam 12.18 (Saat di
Laboratorium RS PKU Muhammadiyah KRA)
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

Hemoglobin

12.6

g/dl

11.5-15.5

Hct

38.9

35-45

AL

12.6

Ribu/uL

4.5-13.5

AT

219

Ribu/mm3

150-440

AE

4.94

Juta/uL

4.19-5.96

MPV

8.8

fL

7.2-11.1

PCT

0.1

MCV

79.0

fL

77-95

MCH

25.4

Pg

25-33

MCHC

32.3

31-37

Eosinofil

1-6

Basofil

0.00-1.00

Netrofil
Limfosit
Monosit

20.2
13.6

%
%
%

3-5
30-45
2-8

Gran %

66

Index

Differential

Jumlah total sel


7

Total monosit

1.70

Ribu/uL

Total Lymphosit

2.50

Ribu/uL

Gran

Ribu/uL

GDS/GDN/G2JPP 250

mg/dL

2. Laboratorium darah tanggal 15 Juli 2015 jam 14.55 (Laboratorium


RSUD dr Moewardi)
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

Hemoglobin

11.5

g/dl

11.5-15.5

Hct

35

35-45

AL

25.9

Ribu/uL

4.5-14.5

AT

242

Ribu/uL

150-450

AE

4.35

Juta/uL

4.00-5.20

MCV

79.8

/um

80.0-96.0

MCH

26.4

Pg

28.0-33.0

MCHC

33.1

g/dl

33.0-36.0

RDW

12.2

11.6-14.6

MPV

8.8

Fl

7.2-11.1

PDW

16

25-65

Eosinofil

0.10

0.00-4.00

Basofil

0.40

0.00-1.00

Netrofil
Limfosit
Monosit

90.30
4.60
4.60

%
%
%

29.00-72.00
30.00-48.00
0.00-5.00

GDS

234

mg/dL

60-100

SGOT

34

u/l

<31

Index Eritrosit

Hitung Jenis

Kimia Klinik

SGPT

u/l

<34

Albumin

4.1

g/dL

3.8-5.4

Creatinine

0.6

mg/dL

0.3-0.7

Ureum

47

mg/dL

<48

Natrium darah

130

mmol/L

132-145

Kalium darah

4.7

mmol/L

3.1-5.1

Calsium ion

1.10

mmol/L

1.17-1.29

Elektrolit

Virologi Hepatitis
HBsAg

Nonreactive

Nonreactive

3. Konsultasi gambaran darah tepi tanggal 15 Juli 2015 jam 14.55


Hasil:
-

Eritrosit : normokrom, normosit, ovalosit, eritroblast (-)


Leukosit : jumlah meningkat, netrofilia, netrofil batang,
hipergranulasi dan vakuolisasi netrofil, limfosit atipik, monosit

atipik, sel blast (-)


Trombosit : jumlah dalam batas normal, makrotrombosit, clumping

(+), penyebaran tidak merata


Simpulan: gambaran darah tepi dengan netrofilia absolut menyokong

proses infeksi
Saran : CRP dan kultur darah

4. Pemeriksaan urin tanggal 16 Juli 2015 jam 09.56


Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

Makroskopis
Warna

Yellow

Kejernihan

Clear

Kimia urin
Berat jenis

1.018

1.015-1.025
9

pH

6.0

4.5-8.0

Leukosit

Negatif

Nitrit

Negatif

Protein

Negatif

mg/dl

Negatif

Glukosa

Normal

mg/dl

Normal

Keton

mg/dl

Negatif

Urobilinogen

Normal

mg/dl

Normal

Bilirubin

Negatif

mg/dl

Negatif

Eritrosit

Negatif

/l

Negatif

Eritrosit

2.2

/ul

0-8.7

Leukosit

0.6

/LBP

0-12

Epitel Squamous

/LPB

Negatif

Epitel Transisional

/LPB

Negatif

Epitel bulat

/LPB

Negatif

Hyline

/LPK

03

Granulated

/LPK

Negatif

Leukosit

/LPK

Negatif

Yeast Like Cell

0.0

/uL

0.0-0.0

Mukus

0.00

/uL

0.00-0.00

Sperma

0.0

/uL

0.0-0.0

Konduktivitas

10.9
m5/cm
3.0-32.0
Eritrosit: 0-1/LPB. Leukosit: 0-1/LPB.
Kristal amorf (+). Bakteri (+)

/l

Negatif
Negatif

Mikroskopis

Epitel

Silinder

Pemeriksaan

Lain-lain

5. Konsultasi ke bagian mata tanggal 16 Juli 2015

mata merah
pandangan kabur

(-/-)

pandangan double

(-/-)

(-/-)

10

nrocos

(-/-)

sekret

(-/-)

silau

(-/-)

gatal

(-/-)

Nyeri

(-/-)

cekot-cekot

(-/-)

pusing

(-/-)

tidak ditemukan papil edema


6. Pemeriksaan Mikrobiologi Kinik dengan specimen Throat swab tanggal
16 Juli 2015
Hasil: Tidak ditemukan bakteri yang berpotensi patogen.
7. Pemeriksaan cairan otak tanggal 16 Juli 2015 jam 10.41
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Analisa cairan otak makroskopis
Warna
Tidak
Kejernihan
Bekuan
Tes Pandy
Tes Nonne
Protein Total
Glukosa
Jumlah sel
Hitung jenis sel PMN
Hitung jenis MN

berwarna
Jernih
Negatif
Positif
Positif
75
86
40
53
17

mg/dL
mg/dL
/uL
%
%

11

Rujukan

Negatif
Negatif
10-43
32-82
<32
-

P. RESUME
2 hari SMRS pasien kejang selama 5-10 menit. Kejang mereda
setelah diberi obat antikonvulsi. Setelah kejang pasien mengalami
penurunan kesadaran. Pasien kejang untuk kedua kalinya selama 5 menit
dan

mengalai

penurunan

kesadaran

lalu

dirujuk

ke

RSUD

dr

Moewardi.Ditemukan demam selama 4 hari SMRS, batuk (-), pilek (-),


BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum tampak sakit
sedang, somnolen oleh karena pengaruh obat sedasi, gizi kesan kurang.
Tanda vital saat datang: S = 37,8oC, TD = 90/60 mmHg, RR = 22 x/menit,
HR = 102 x/menit. Terdapat petechie (+) di wajah, leher, belakang telinga,
thoraks, dan ekstremitas bawah.
Q. DAFTAR MASALAH
1. Demam 4 hari
2. Kejang 2x pada seluruh tubuh tanpa gangguan neurologi fokal yang
berlangsung selama 10 menit.
3. Penurunan kesadaran setelah kejang
4. Petechie (+) di wajah, leher, belakang telinga, dada, dan kaki
5. Meningeal sign (+)
R. DIAGNOSIS BANDING
1. Tersangka/Suspek Meningitis DD Encephalitis
S. DIAGNOSIS KERJA
1. Tersangka Meningitis
2. Gizi Kurang
T. PENATALAKSANAAN
1. Rawat bangsal neurologi anak
2. O2 nasal 2 lpm
3. IVFD D S 12 tpm makro
12

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Diet sonde 1200 kkal/hari


Injeksi Ceftriaxon 750 mg/12 jam I.V (100 mg/kgBB/hari)
Injeksi Dexamethasone 2,5 mg/6 jam I.V (0,6 mg/kgBB/hari)
Injeksi Paracetamol 150 mg/8 jam I.V(10mg/kgBB/x)
Injeksi Phenitoin 40 mg/12 jam (5mg/kgBB/hari) sebagai maintenance
Injeksi Diazepam 0,3 mg/kgBB bila kejang

Monitoring
1. KUVSper 8 jam
2. Balance cairan per 8 jam
3. Diuresis per 8 jam
4. Awasi kejang berulang
Planning
1. Cek GDT
2. Lumbal Pungsi
3. Edukasi
4. Motivasi keluarga tentang penatalaksanaan penyakitnya
U. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

V. PROGRESS REPORT
DPH
I

Tanggal
16/7/15

Keluhan/KU/VS
Demam (-)
Kejang (-)
Sesak(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (-)
BAK (+)

Pemeriksaan / Diagnosis

Px Neurologi :

Terapi

O2 nasal 2

lpm
Refleks Fisiologis: Biceps (+/ IVFD D S 12 tpm
+), Triceps (+/+), Patella (+/
makro
+), Achilles (+/+).

Diet sonde
1200 kkal/hari
Refleks Patologis : Babinsky

Injeksi
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
KU : sakit sedang,
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Ceftriaxon
CM, gizi kesan
kurang.
750mg/12jam
Meningeal Sign : Kaku kuduk
VS :
(50mg/kgBB/12jam)
(+), Brudzinsky I/II (-/+),
TD:110/70mmHg

13

HR=88x/1
RR=20x/1
S=36,1-37,30C

Kernig (+).

Hasil konsultasi ke bagian


Mata: mata merah (-/-),
pandangan
kabur
(-/-),
pandangan double (-/-), nrocos
(-/-), secret (-/-), silau (-/-),
gatal (-/-), nyeri (-/-), cekot-
cekot (-/-), pusing (-/-).
Lab LCS:

Warna : tidak berwarna


Kejernihan : jernih
Bekuan : (-)
Pandy : (+)
Nonne : (+)
Protein total : 75 mg/dL
Glukosa : 86 mg/dL
Jumlah sel : 40/uL
Sel PMN : 83%
Sel MN : 17%

Injeksi
Dexamethasone
2,5mg/6jam
(0,6mg/kgBB/hari)
Injeksi
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Injeksi
Phenitoin
40mg/12jam
(5mg/kgBB/hari)
Injeksi
Diazepam
0,3
mg/kgBB bila kejang

Planning:

Lumbal
Pungsi

Swab
Tenggorok

Cek Lab Urin


Monitoring:
KUVS/8 Jam
Kesan : menyokong ke arah
BCD/8 Jam
infeksi meningitis bakterialis.
Hasil urinalisa :

Warna : yellow
Kejernihan : clear
BJ : 1,018
pH : 6,0
leukosit : (-)
nitrit : (-)
protein : (-)
glukosa : normal
keton : 5 mg/dL
urobilinogen : normal
bilirubin : (-)
eritrosit : (-)

Mikroskopis :

eritrosit : 2,2/uL
leukosit : 0,6/LPB
bakteri : (+)
eritrosit : 0-1/LPB
14

leukosit : 0-1/LPB

Kesan : ketonuria, bekteriuria


Usul : ulangi urinalisa
Ass :
1. Meningitis dd Encephalitis
2. Gizi kurang
3. Tonsilitis
Px Neurologi :
Refleks Fisiologis: Biceps (+/
+), Triceps (+/+), Patella (+/
+), Achilles (+/+).
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
II

17/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Sesak(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)

Meningeal Sign : Kaku kuduk


(+), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Gizi kurang
KU : sakit sedang, 3. Tonsilitis akut
CM, gizi kesan
kurang.
VS :
HR=89x/1
RR=20x/1
S=36,10C
BC =281,8 cc/jam
D=4,85 cc/kg/jam

Px Neurologi :
Refleks Fisiologis: Biceps
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
(+2/+2).
Refleks Patologis : Babinsky
15

O2 nasal 2
lpm
IVFD D S 12 tpm
makro
Diet sonde
1200 kkal/hari
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Injeksi
Dexamethasone
2,5mg/6jam
(0,6mg/kgBB/hari)
Injeksi
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Injeksi
Phenitoin

III

18/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Sesak(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)

(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).

Ass :
KU : sakit sedang, 1. Meningitis bakterialis
2. Gizi kurang
CM, gizi kesan
kurang.
3. Tonsilitis akut
VS :
HR=89x/1
RR=20x/1
S=36-36,80C
BC =158 cc/jam
D=2,31 cc/kg/jam

IV

19/7/15

40mg/12jam
(5mg/kgBB/hari)
Injeksi
Diazepam
0,3
mg/kgBB bila kejang

Planning:

Aff NGT

Ganti diet
nasi lauk 1500
kkal/hari
Monitoring

KUVS/8 Jam

BCD/8 Jam

O2 nasal 2

lpm
IVFD D S 12 tpm
makro

Diet sonde
1200 kkal/hari

Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
Px Neurologi :
(50mg/kgBB/12jam)
Refleks Fisiologis: Biceps
Injeksi
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Dexamethasone
Patella
(+2/+2), Achilles
2,5mg/6jam
(+2/+2).
(0,6mg/kgBB/hari)

Injeksi
Refleks Patologis : Babinsky
Paracetamol
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Demam (-)
150mg/8jam
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Kejang (-)
(10mg/kgBB/x)
Sesak(-)
Meningeal Sign : Kaku kuduk
Injeksi
makan(+)
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
minum (+)
Phenitoin
Kernig (-).
BAB (-)
40mg/12jam
BAK (+)
(5mg/kgBB/hari)
Ass :

Injeksi
KU : sakit sedang,
1. Meningitis bakterialis
CM, gizi kesan
Diazepam
0,3
2. Gizi kurang
kurang.
mg/kgBB
bila
kejang
3. Tonsilitis akut
VS :
HR=72x/1
Planning:
RR=22x/1

Tunggu hasil
S=35,6-36,50C
kultur LCS tanggal
BC =753,4 cc/jam
16 Juli 2015
D=1,96 cc/kg/jam
16

Monitoring :

KUVS/8 Jam

BCD/8 Jam
Px Neurologi :

20/7/15

O2 nasal 2

Refleks Fisiologis: Biceps


lpm
(+2/+2), Triceps (+2/+2), IVFD D S 12 tpm
Patella
(+2/+2), Achilles
makro
(+2/+2).

Diet sonde
1200 kkal/hari
Refleks Patologis : Babinsky

Injeksi
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Demam (-)
Ceftriaxon
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Kejang (-)
750mg/12jam
Muntah(-)
Meningeal Sign : Kaku kuduk
makan(+)
(50mg/kgBB/12jam)
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
minum (+)
Injeksi
BAB (-)
Kernig (-).
Dexamethasone
BAK (+)
Nervus
Cranialis
:
2,5mg/6jam
KU : sakit sedang,
CM, gizi kesan
(0,6mg/kgBB/hari)
N.I : (dbn)
kurang.

Injeksi
N.II : (dbn)
VS :
Paracetamol
HR=80x/1
N.III, IV, VI: (dbn)
150mg/8jam
RR=20x/1
N.V, VII, VIII : (dbn)
0
(10mg/kgBB/x)
S=36,7 C
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Injeksi
Phenitoin
Ass :
40mg/12jam
1. Meningitis bakterialis
(5mg/kgBB/hari)
2. Gizi kurang

Injeksi
3. Tonsilitis akut
Diazepam
0,3
mg/kgBB bila kejang
Px Neurologi :

Monitoring:
KUVS/8 Jam
Refleks Fisiologis: Biceps
BCD/8 Jam
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
(+2/+2).
IVFD D S 12 tpm

VI

21/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
Batuk (+) kadang
BAB (-)

Refleks Patologis : Babinsky


(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).
Nervus Cranialis :

N.I : (dbn)
17

makro
Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam

BAK (+)

N.II : (dbn)
KU : sakit sedang, N.III, IV, VI : (dbn)
CM, gizi kesan
N.V, VII, VIII : (dbn)
kurang.
N.IX, X, XI, XII : (dbn)
VS :
Ass :
HR=90x/1
RR=24x/1
1. Meningitis bakterialis
S=36,20C
2. Gizi kurang
BC =600 cc/jam
3. Tonsilitis akut (perbaikan)
D=3,16 cc/kg/jam

(10mg/kgBB/x)
Injeksi
Phenitoin
40mg/12jam
(5mg/kgBB/hari)

Planning:

Tunggu hasil
kultur LCS tanggal
Px Neurologi :
16 Juli 2015
Refleks Fisiologis: Biceps Monitoring:
KUVS/8 Jam
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
BCD/8 Jam
(+2/+2).
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).

VII

22/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (-)
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM, gizi kesan
kurang.
VS :
HR=90x/1
RR=24x/1
S=36,20C
BC =600 cc/jam
D=3,16 cc/kg/jam

Meningeal Sign : Kaku kuduk


(-), Brudzinsky I/II (-/-),

Kernig (-).
Nervus Cranialis :

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

IVFD D S 12 tpm
makro
Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Lactulac syr
3x1 cth

Hasil kultur LCS :Tidak


ditemukan
bakteri
yang
berpotensi
patogen
(no

growth).
Perbaikan
pada
pasien
Ass :
Planning:
1. Meningitis bakterialis

Tunggu hasil
2. Gizi kurang
kultur LCS tanggal
3. Tonsilitis akut (perbaikan)
16 Juli 2015

Konfirmasi
ke PK
Px Neurologi :
Monitoring:
KUVS/8 Jam
Refleks Fisiologis: Biceps
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
BCD/8 Jam
Patella
(+2/+2), Achilles
GDS ulang
(+2/+2).
18

Refleks Patologis : Babinsky


(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
VIII

23/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
Batuk (+) kadang
BAB (+)
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM, gizi kesan
kurang.
VS :
HR=90x/1
RR=24x/1
S=36,20C

Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)

Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)

Lactulac syr
3x1 cth
Monitoring:

KUVS/8 Jam

Meningeal Sign : Kaku kuduk


(-), Brudzinsky I/II (-/-),

Kernig (-).
Nervus Cranialis :

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Gizi kurang
3. Tonsilitis akut (perbaikan)
Px Neurologi :
Refleks Fisiologis: Biceps
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
(+2/+2).
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).

IX

24/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
Batuk (+) :
berkurang
BAB (+) 2x
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM, gizi kesan
kurang.
VS :
HR=102-104x/1
RR=24-26x/1
S=36,5-36,70C

Meningeal Sign : Kaku kuduk


(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).
Nervus Cranialis :

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Tonsilitis akut (perbaikan)
Px Neurologi :
19

Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam

(10mg/kgBB/x)
Refleks Fisiologis: Biceps

Lactulac syr
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
3x1 cth
Patella
(+2/+2), Achilles
Monitoring:
(+2/+2).

KUVS/8 Jam
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).
X

25/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Sesak (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM.
VS :
HR=92-106x/1
RR=22-26x/1
S=36,4-36,90C

Nervus Cranialis :

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Motorik
5 5
5 5

Sensorik
- - -

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Tonsilitis akut (perbaikan)
3. Gizi baik
Px Neurologi :
Refleks Fisiologis: Biceps
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
(+2/+2).
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
20

Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari

Extra
susu
4x300 cc

Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)

Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)

Lactulac syr
3x1 cth
Monitoring:

KUVS/8 Jam

Kernig (-).
Nervus Cranialis :
XI

26/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM.
VS :
HR=92x/1
RR=22-26x/1
S=36,90C

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Motorik
5 5
5 5

Sensorik
+ +
+ +

Diet
nasi
lunak 1500 kkal/hari
Extra
susu
4x300 cc
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Lactulac syr
3x1 cth

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Gizi baik

Planning:
Tunggu pemberian
antibiotik sampai
dengan hari ke XIV
Px Neurologi :
Monitoring:
Refleks Fisiologis: Biceps

KUVS/8 Jam
(+2/+2), Triceps (+2/+2),
Patella
(+2/+2), Achilles
(+2/+2).
Refleks Patologis : Babinsky
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).
Nervus Cranialis :

XII

27/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
Sesak (-)
Batuk : (+)
berkurang
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Motorik
5 5

21

Diet

nasi

KU : sakit sedang,
CM.
VS :
HR=88x/1
RR=20x/1
S=36,20C

5 5

Sensorik
+ +

+ +

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Gizi baik

Px Neurologi :

lunak 1500 kkal/hari


Extra
susu
4x300 cc
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Lactulac syr
3x1 cth

Refleks Fisiologis: Biceps Planning:


(+2/+2), Triceps (+2/+2), Tunggu pemberian
antibiotik sampai
Patella
(+2/+2), Achilles
dengan hari ke XIV
(+2/+2).
Monitoring:
Refleks Patologis : Babinsky

KUVS/8 Jam
(-/-),Chaddok(-/-),Gordon(-/-),
Scheffer (-/-),Oppenheim (-/-).
Meningeal Sign : Kaku kuduk
(-), Brudzinsky I/II (-/-),
Kernig (-).
Nervus Cranialis :
XIII

28/7/15

Demam (-)
Kejang (-)
Muntah(-)
makan(+)
minum (+)
BAB (+)
BAK (+)
KU : sakit sedang,
CM.
VS :
HR=86x/1
RR=24x/1
S=360C

N.I : (dbn)
N.II : (dbn)
N.III, IV, VI : (dbn)
N.V, VII, VIII : (dbn)
N.IX, X, XI, XII : (dbn)

Motorik
5 5
5 5

Sensorik
+ +
+ +

Ass :
1. Meningitis bakterialis
2. Gizi baik

22

Diet
nasi
lauk 1500 kkal/hari
Extra
susu
4x300 cc
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)

Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)
Stop
Lactulac syr
3x1 cth Stop

Planning:
Besok boleh pulang
Monitoring:

KUVS/8 Jam

Diet
nasi
lauk 1500 kkal/hari
Extra
susu
4x300 cc
Injeksi
Ceftriaxon
750mg/12jam
(50mg/kgBB/12jam)
Paracetamol
150mg/8jam
(10mg/kgBB/x)

Planning:
Injeksi selesai
boleh pulang sore
23

Monitoring:

KUVS/8 Jam

24

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi sistem
saraf pusat yang biasanya dikenal dengan meninges (radang pada arachnoid
dan piamater). Meningitis dapat berkembang sebagai respon dari berbagai
kasus, seperti agen infeksi, trauma, kanker atau penyalahgunaan obat. Agen
infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, protozoa, dan jamur (Aminoff
et al, 2005).
Tabel 1 Penemuan-penemuan Cairan Serebrospinal pada Berbagai Infeksi
Sistem Saraf Sentral
Infeksi

Tekanan

Leukosit

% PMN

Protein

Glukosa

(mmH2O)
Tidak ada infeksi 50-80

Total (m3)
<5
<25%

(mg/dL)
20-45

(mg/dL)
>50

(normal)
Meningoensefalitis 100-150

10-1000

<25%*

50-200

>50

virus
Meningitis bakteri

100-

>75%

100-500

<40

100-300

10000
Abses otak
100-300
10-200
<25%
75-500
*Mungkin PMN dominan pada beberapa jam pertama infeksi

<50

(Branner et al, 2000)


B. Epidemiologi
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta
lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh
belum terbentuk sempurna. Puncak insidensi kasus meningitis karena
Haemophilus influenzae di negara berkembang adalah pada anak usia kurang
dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan
(Aminoff et al, 2005).

18

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosioekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara
dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada
negara yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju. Kejadian
meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus-kasus infeksi
saluran pernafasan juga meningkat (Aminoff et al, 2005).
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering
menyerang bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan
yang berkulit putih. Meningitis Tuberkulosa dapat terjadi pada setiap
kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun dan jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila angka
kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi. Meningitis serosa dengan penyebab
virus terutama menyerang anak-anak dan dewasa muda (12-18 tahun).
Meningitis virus dapat terjadi waktu orang menderita campak, Gondongan
(Mumps) atau penyakit infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering
terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang lakilaki daripada perempuan (Aminoff et al, 2005).
C. Etiologi
Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme,
seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke
cairan otak. Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
1. Bakteri
Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Eschericia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
2. Virus
Enterovirus
3. Jamur
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
19

(Ropper et al, 2005)

D. Patofisiologi / patogenesis
Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarachnoid

Respon inflamasi di piamater, arachnoid, cairan serebrospinal, dan


ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologist
Selain dari adanya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa,
point of entry masuknya kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur
operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab lainnya adalah adanya
rhinorhea, otorhea pada fraktur basis cranii yang memungkinkan kontaknya
cairan serebrospinal dengan lingkungan luar (Ropper et al, 2005).
E. Manifestasi Klinik
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Temgkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus,
yaitu tengkuk kaku dalam sikap tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernigs dan Brudzinsky positif
(Aminoff et al, 2005).
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita
serta virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah
demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu
biasanya si penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku,
20

gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas (Aminoff et al,


2005).
Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat
rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan lebih keras dan nadanya tinggi,
demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti
tangannya membuat gerakan tidak beraturan.
Gejala meningitis meliputi :

Gejala infeksi akut


Panas
Nafsu makan tidak ada
Anak lesu
Gejala kenaikan tekanan intrakranial
Kesadaran menurun
Kejang-kejang
Ubun-ubun besar menonjol
Gejala rangsangan meningeal
Kaku kuduk
Kernig
Brudzinsky I dan II positif
(Aminoff et al, 2005)
F. Pendekatan Diagnostik
Diagnosis kerja ke arah meningitis dapat dipikirkan apabila
menemukan gejala dan tanda dari infeksi akut, peningkatan tekanan
intrakranial

dan

rangsang

meningeal

perlu

diperhatikan.

Untuk

mengonfirmasi diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium berupa tes


darah dan cairan sumsum tulang belakang (Ellenby et al, 2006).
Cairan sumsum tulang belakang diambil dengan proses yang disebut
pungsi lumbal (lumbal puncture atau spinal tap). Sebuah jarum ditusukkan
pada pertengahan tulang belakang, pas di atas pinggul. Jarum menyerap
contoh cairan sumsum tulang belakang. Tekanan cairan sumsum tulang
belakang juga dapat diukur. Bila tekanan terlalu tinggi, sebagiam cairan
tersebut dapat disedot. Tes ini aman dan biasanya tidak terlalu menyakitkan.
Namun setelah pungsi lumbal beberapa orang mengalami sakit kepala yang
dapat berlangsung beberapa hari (Ellenby et al, 2006).
21

G. Diagnosis Banding

Encephalitis
Meningismus
Abses otak
Tumor otak

(Harsono, 2003)
MENINGITIS BAKTERIALIS
Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak
dan medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan
tersebut

mengenai

arakhnoid,

piamater, dan

cairan

serebrospinalis.

Peradangan ini dapat meluas melalui ruang subarakhnoid sekitar otak,


medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% di antara pasien meningitis
mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.
Meningitis harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis
meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis karena bila tidak terdeteksi dan
tidak diobati, dapat mengakibatkan kematian (Mann et al, 2008).
Meningitis bakteri merupakan salah satu penyakit infeksi yang
menyerang

susunan

saraf

pusat,

mempunyai

risiko

tinggi

dalam

menimbulkan kematian dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat


merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri. Penyebab meningitis
purulenta yang tersering adalah Haemophilus influenza, Diplococcus
pneumonia,

Neisseria

meningitides,

Streptococcus

haemolitikus,

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella sp (Japardi, 2002).


Epidemiologi
Faktor risiko utama untuk meningitis adalah respon imunologi
terhadap pathogen spesifik yang lemah yang terkait dengan umur muda.
Risiko terbesar pada bayi antara umur 1 dan 12 bulan; 95% kasus terjadi
antara umur 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap
umur. Risiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri pathogen,
kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasive (rumah, pusat
22

perawatan harian, sekolah, asrama tentara), penuh sesak, kemiskinan, ras


kulit hitam, jenis kelain laki-laki dan kemungkinan tidak ada ASI untuk bayi
umur 2-5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang
melalui sekresi atau tetesan saluran pernapasan. Risiko meningitis bertambah
pada penderita dengan dugaan bakteremia tersembunyi, rasio odd lebih besar
pada meningokokus (85 kali) daripada pada H.influenzae tipe b (12 kali)
relatif terhadap meningitis karena pneumokokus. Infeksi sistemik lain juga
dapat disertai dengan kenaikan risiko meningitis, seperti ditunjukkan oleh
hubungan meningitis dengan selulitis fasial karena H.influenzae tipe b pada
anak di bawah umur 4 tahun. Cacat pertahanan hospes spesifik karena
produksi immunoglobulin yang berubah dalam responsnya terhadap pathogen
berkapsul dapat menyebabkan penambahan risiko meningitis bakteri yang
ditemukan di penduduk Amerika dan Eskimo Asli, sedang cacat sistem
komplemen (C5-C8) disertai dengan infeksi meningokokus berulang dan
cacat sistem properdin disertai dengan risiko penyakit meningokokus
mematikan yang berarti. Disfungsi limpa (anemia sel sabit) atau asplenia
(karena trauma, cacat kongenital, pentahapan penyakit Hodgkin) disertai
dengan kenaikan risiko pneumokokus, H.influenzae tipe b (sampai seberapa
jauh), dan jarang, sepsis dan meningitis meningokokus. Cacat limfosit T
(kongenital atau didapat karena kemoterapi, sindrom imunodefisiensi didapat
[AIDS],

atau

keganasan)

disertai

dengan

kenaikan

risiko

infeksi

L.monocytogenes SSS. Komunikasi CSS kongenital atau didapat melalui


penghalang mukokutan, seperti cacat kranial atau garis tengah muka
(lempengan kribiformis) dan telingan tengah (plat kaki stapedium) atau
fistula telingan dalam (jendela ovale, kanal auditorius interna, aqueduktus
kokhlear), atau kebocoran CSS melalui robekan meninges karena fraktur
dasar tengkorak ke dalam plat kribiformis atau sinus paranasal, disertai
dengan kenaikan risiko meningitis penumokokus. Sinus dermal dan
meningomielokel lumbosacral diserti dengan meningitis bakteri stafilokokus
dan enteric. Trauma tembus kranium dan infeksi shunt CSS menaikkan risiko

23

meningitis karena stafilokokus (terutama spesies koagulase-negatif) dan


bakteri kulit lain (Branner, 2000).
Haemophilus influenza Tipe B
Strain H.influenzae tipe b tidak berkapsul dapat ditemukan dalam
tenggorok atau nasofaring sampai 80% anak dan orang dewasa; 2-5%
mengidap H.influenzae tipe b. pengidap H.influenzae tipe b terjadi terutama
pada anak usia 1 bulan sampai 4 tahun; angka kolonisasi terbesar pascakontak erat dengan anak lain yang mengidap atau menderita penyakit
H.influenzae tipe b serius. Pada anak yang tidak divaksinasi infeksi
H.influenzae tipe b invasive paling lazim pada bayi umur 2 bulan sampai 2
tahun; insiden puncak terjadi pada bayi usia 6-9 bulan, dan 50% kasus terjadi
pada tahun pertama. Frekuensi infeksi paling tinggi pada orang Eskimo
Alaska dan Indian Navajo. Risiko pada anak juga sangat bertambah pada
kontak keluarga atau pusat perawatan harian penderita dengan H.influenzae
tipe b. otitis media karena infeksi H.influenzae tipe b, virus imunodefisiensi
manusia, karena kebocoran CSS, dan bakteremia tersembunyi juga
menaikkan risiko meningitis H.influenzae tipe b. penggunaan vaksin terhadap
H.influenzae tipe b yang luas mulai pada usia 2 bulan, disertai dengan
penurunan dalam frekuensi infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini (Branner,
2000).
Streptococcus pneumonia
Risiko sepsis dan meningitis karena S.pneumoniae, setidak-tidaknya
sebagian tergantung pad serotip penginfeksi. Tenggorok atau nasofaring
pengidap S.pneumoniae didapat dari kontak keluarga sesudah lahir, adalah
sementara (2-4 bulan), sering disertai dengan produksi antibody homotip dan
jika baru (<1 bulan), merupakan faktor risiko untuk infeksi serius. Insiden
dapat terjadi selama hidup. Bulan-bulan pertengahan musim dingin adalah
musim puncak. Risiko meningitis adalah 5 sampai 36 kali lebih besar pada
anak kulit hitam daripada kulit putih. Pada anak kulit hitam dengan anemia
sel sabit, insiden bertambah sampai lebih daripada 300 kali insiden anak kulit
putih. Sekitar 4% anak dengan anemia sel sabit akan mengembangkan
24

meningitis pneumokokus sebelum usia 5 tahun jika mereka tidak diberi


antibiotic profilaksis. Faktor risiko tambahan untuk menderita meningitis
pneumokokus adalah bersaa otitis media, sinusitis, pneumonia, otorrhea atau
rhinorrhea CSS, splenektomi, dan penyakit cangkok-lawan-hospes kronis
pasca-transplantai sumsum tulang (Branner, 2000).
Meningitis Neisseria
Meningitis meningokokus dapat sporadis atau kasus dapat terjadi
pada epidemi. Bila tidak ada epidemi, kebanyakan infeksi karena grup B.
epidemi biasanya disebabkan oleh grup A dan C. kasus terjadi di seluruh
tahun tersebut tetapi mungkin lebih lazim pada musim dingin dan musim
semi pengidap N.meningitidis nasofsring terjadi pada 1-15% orang dewasa.
Kolonisasi dapat berakhir beberapa minggu sampai beberapa bulan;
kolonisasi baru yang menempati anak lebih muda nonimun berisiko terbesar
untuk meningitis. Insiden penyakit secara bersama terjadi dalam hubungan
dengan indeks kasus pada keluarga adalah 1%, suatu angka yang adalah 1000
kali risiko pada populasi umum. Risiko kasus sekunder yang terjadi pada
kontak di pusat-pusat perawatan harian adalah sekitar 1 dalam 1000.
Kebanyakan infeksi anak didapat dari kontak pada fasilitas perawatan harian,
dari anggota keluarga dewasa yang dikolonisasi, atau dari semua penderita
sakit dengan penyakit meningokokus (Branner, 2000).
Etiologi

Usia 0-2 bulan: Streptococcus group B, Escherichia coli


Usia 2 bulan sampai 5 tahun: Streptococcus pneumonia, Neisseria

meningitidis, Haemophilus influenza


Usia di atas 5 tahun: Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis

(Chavez et al, 2005)


Patologi
Eksudat meningeal yang kekentalannya bervariasi dapat disebarkan
sekitar vena serebral, sinus venosus, lengkungan otak, dan serebelum serta
dalam sulkus, fisura sylvian, sisterna basalis dan medulla spinalis.
Ventrikulitis dengan bakteria dan sel radang dalam cairan ventrikel mungkin
25

ada, seperti mungkin efusi subdural dan kadang-kadang, empyema. Infiltrate


radang privaskuler dapat juga ada, dan membrane ependimal dapat
terganggu. Perubahan vaskuler dan parenkim serebaral ditandai dengan
infiltrate polimorfonuklear yang meluas sampai daerah subintima arteri-arteri
dan vena-vena kecil, vasospasme, vaskulitis, thrombosis vena korteks kecil,
penyumbatan sinus venosus besar, arteritis nekrotikans menyebabkan
perdarahan subarachnoid, dan jarang nekrosis korteks serebri bila tidak ada
thrombosis yang dapat dikenali yang telah diuraikan pada autopsi. Infeksi
serebral merupakan sekuele penyumbatan vaskuler yang lazim karena radang,
vasospasme dan thrombosis. Ukuran infark berkisar dari mikroskopik sampai
keterlibatan seluruh hemisfer (Branner, 2000).
Radang saraf dan radiks spinal menimbulkan tanda-tanda meningeal,
dan radang saraf kranial menghasilkan neuropati saraf kranial, optikus,
okulomotorius, fasialis dan auditorius. Kenaikan tekanan intrakranial juga
menghasilkan kelumpuhan saraf okulomotor karena adanya kompresi lobus
temporalis saraf saat herniasi tentorial. Kelumpuhan saraf abdusens dapat
merupakan tanda kenaikan tekanan intrakranial bukan setempat (Branner,
2000).
Kenaikan tekanan intracranial adalah karena kematian sel (edema otak
sitotoksik), kenaikan permeabilitas kapiler vaskuler akibat-sitokin (edema
serebral vasogenik), dan mungkin kenaikan tekanan hidrostatik (edema otak
interstisial) pasca penyerapan kembali CSS yang tersumbat pada vilus
arakhnoideus atau obstruksi aliran cairan ke dalam atau keluar dari ventrikel.
Tekanan intrakranial sering melebihi 300 mmH2O; perfusi otak dapat
selanjutnya terganggu jika tekanan perfusi otak kurang daripada 50 cm H 2O
(rata-rata tekanan arterial dikurangi tekanan intrakranial) karena aliran darah
otak mengurang. Sekresi hormone anti diuretik yang tidak tepat dapat
menghasilkan retensi air berebihan, sehingga menambah risiko kenaikan
tekanan intrakranial. Hipotonisitas sela ekstraseluler otak dapat menyebabkan
edema sitotoksik menyertai pembengkakan sel dan lisis. Sindrom herniasi
terjadi pada 5% bayi dan anak dengan meningitis, dan akan memberi kesan
26

kenaikan tekanan intrakranial yang mencolok, abses otak, ataupun empiema


subdural. Herniasi tentorial, falks atau srebeler biasanya tidak terjadi karena
kenaikan tekanan intrakranial dijalarkan ke seluruh sela subarakhnoid dan
ada sedikit perpindahan struktural. Lagipula, jika fontanela masih terbuka,
kenaikan tekanan intrakranial mudah dihilangkan (Branner, 2000).
Hidrosefalus adalah komplikasi meningitis akut yang tidak lazim yang
terjadi pada masa neonatus. Paling sering hidrosefalus ini mempengaruhi
bentuk komunikasi hidrosefalus karena penebalan melekat vili arakhnoid
sekeliling sisterna pada dasar otak. Dengan demikian mengganggu resorpsi
CSS normal. Kurang lazim, hidrosefalus obstruktif terjadi pasca-fibrosis dan
gliosis aqueduktus Sylvii atau fenomena Magendie dan Luschka (Branner,
2000).
Kenaikan kadar protein CSS sebagian karena kenaikan permeabillitas
vaskuler sawar darah otak dan kehilangan cairan yang kaya-albumin dari
kapiler dan vena yang melewati sela subdural, ditemukan pada fase lanjut
meningitis bakteri akut. Hipoglikorrakhia (kadar glukosa CSS berkurang)
adalah karena penurunan pengangkutan glukosa oleh jaringan otak. Yang
terakhir ini dapat menyebabkan asidosis laktat lokal (Branner, 2000).
Cedera pada korteks serebri dapat karena pengaruh penyumbatan
vaskuler setempat atau difus (infark, nekrosis), hipoksia, invasi bakteri
(serebritis),

ensefalopati

toksik

intrakranial,

ventrikulitis

dan

(asidosis
transudasi

laktat),
(efusi

kenaikan
subdural).

tekanan
Hasilnya

manifestasi gangguan kesadaran, kejang-kejang, hidrosefalus, defisit saraf


kranial, defisit motoric dan sensoris, dan kemudian retardasi psikomotor yang
dapat dijelaskan oleh satu faktor patologi atau lebih yang dibahas sebelumnya
(Branner, 2000).
Patogenesis
Bakteri mencapai selaput otak dan ruang subarachnoid melalui :
o
o
o
o

Trauma terbuka kepala


Operasi
Fraktur basis kranium
Langsung dari infeksi telinga, sinus paranasalis, tulang
27

o Hematogen : sepsis, radang paru, infeksi jantung, infeksi kulit, infeksi


gigi dan mulut
Patogenesis dari meningitis dapat terjadi melalui beberapa fase :
1.
2.
3.
4.
5.

Penyebaran kuman ke tuan rumah


Pembentukan kolonisasi pada nasofaring
Invasi ke dalam traktus respiratorius
Penyebaran hematogen
Invasi ke susunan saraf pusat
Bila bakteri mencapai ruang subarachnoid akan terjadi proses

inflamasi. Neutrofil masuk ke dalam ruang subarachnoid menghasilkan


eksudat yang purulen. Dalam penilaian secara dasar tampak eksudat
berwarna kuning keabu-abuan atau kuning kehijauan. Eksudat paling banyak
terdapat dalam sistema pada daerah basal otak dan seluruh permukaan dari
hemisfer dalam sulkus Sylvii dan Rolandi (Harsono, 2003).
Eksudat purulen terkumpul dalam sistema ini dan meluas ke dalam
sistema basal dan di atas permukaan posterior dari medulla spinalis. Eksudat
juga dapat meluas ke dalam selubung arachnoid dari saraf cranial dan ruang
perivaskuler dari korteks. Dalam jumlah kecil eksudat dapat ditemukan
dalam cairan ventrikel dan melekat pada dinding ventrikel dan pleksus
choroideus, sehingga cairan ventrikel tampak berawan dan hal ini terjadi pada
akhir minggu pertama (Harsono, 2003).
Gejala Klinis

TRIAS MENINGITIS :
Demam
Sakit kepala
Tanda rangsang meningeal (+)
Muntah, photophobia
Kejang, defisit fokal neurologik (hemiparesis, paresis saraf cranial)
Letargi, iritabilitas, gangguan intelektual, penurunan kesadaran
Gambaran klinis yang khas :
RASH (PETECHIA, PURPURA)
: Meningococcus
Eksantema
:Pneumococcus,
Haemophilus influenza
28

Artritis, artralgia

:Meningococcus,

Haemophilus influenza
(Aminoff et al, 2005)
Diagnosis
Anamnesis

Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna

seperti demam, batuk, pilek, diare, dan muntah.


Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala, meningismus dengan
atau tanpa penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang, dan muntah
merupakan hal yang sangat sugestif meningitis tetapi tidak ada satu
gejala pun yang khas.
Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak

kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala
hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitchedcry.
Pemeriksaan fisis

Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas.


Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang membonjol, kaku kuduk,
atau tanda rangsang meningeal lain (Brudzinski dan Kernig), kejang, dan
defisit neurologis fokal. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak
ditemukan pada anak berusia kurang dari 1 tahun.
Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia)

Pemeriksaan penunjang

Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan

elektrolit jika ada indikasi.


Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi:
- Didapatkan cairan keruh atau opalescence dengan Nonne (-)/(+) dan
-

Pandy (+)/(++).
Jumlah sel 100-10000/mm3 dengan

hitung

jenis

predominan

polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl,


29

pewarnaan gram, biakan dan uji resistensi. Pada stadium dini jumlah

sel dapat normal dengan predominan limfosit.


Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat
tidak spesifik.
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap dimulai
pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai
diagnostic kecuali untuk identifikasi kuman, itu pun jika antibiotiknya

sensitif)
Jika memang kuat dugaan ke arah meningitis, meskipun terdapat tandatanda peningkatan intrakranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan
asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan

komplikasi terjadinya herniasi.


Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan

gejala peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi desak ruang.


Pemeriksaan computed tomography (CT scan) dengan kontras atau
magnetic resonance imaging (MRI) kepala (pada kasus berat atau curiga

ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus, dan abses otak)


Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan
umum.

(Saez et al, 2003)


Diagnosis Banding
Di samping H.influenzae tipe b, S.pneumoniae, dan N.meningitidis,
sejumlah mikroorganisme lain dapat menyebabkan infeksi SSS menyeluruh
dengan manifestasi klinis yang serupa. Organisme ini adalah bakteri yang
kurang khas, seperti tuberculosis, Nocardia, sifilis, dan penyakit Lyme; jamur,
seperti organisme yang endemik pada daerah geografi khusus (Coccidioides,
Histoplasma, dan Blastomyces) dan organisme yang menyebabkan infeksi
pada hospes yang terganggu (Candida, Cryptococcus dan Aspergillus); parasit
seperti Toxoplasma gondii dan Cysticercus; dan paling sering, virus. Penyakit
noninfeksi dapat juga menimbulkan radang SSS menyeluruh. Gangguan ini
relative tidak lazim disbanding dengan infeksi dan meliputi: keganasan,
sindrom vaskuler kolagen, dan pemajanan pada toksin (Branner, 2000).
30

Infeksi SSS setempat juga dapat dirancukan dengan meningitis. Contoh


infeksi ini adalah abses otak dan infeksi parameningeal, seperti empiema
subdural. Menentukan etiologi spesifik dipermudah dengan pemeriksaan CSS
yang

dengan

pewarnaan

khusus

(Kinoyoun

karbol

fukhsin

untuk

mikobakteria, tinta Cina untuk jamur), sitologi, deteksi antigen (pengobatan


bakteri sebagian, Cryptococcus), serologi (sifilis) dan biakan virus
(enterovirus, HIV). Uji diagnostik laian yang kemungkinan bermanfaat adalah
CT atau gambaran resonansi magnetik (magnetic resonance imaging= MRI)
otak, biakan darah, uji serologis dan mungkin biopsi otak. Meningoensefalitis
virus akut adalah infeksi yang paling mungkin dirancukan dengan meningitis
bakteri. Walaupun pada umumnya anak dengan meningoensefalitis virus
tampak kurang sakit daripada mereka yang dengan meningitis bakteri, kedua
jenis infeksi mempunyai suatu spectrum keparahan. Beberapa anak dengan
meningitis bakteri dapat menampakkan tanda-tanda dan gejala-gejala relatif
ringan, sedang beberapa yang dengan meningoensefalitis virus dapat sakit
berat. Profil CSS akibat infeksi bakteri versus virus cenderung berbeda, seperti
diringkaskan pada tabel 1, tetapi seperti pada manifestasi klinis, mungkin ada
banyak tumpang tindih pada angka neutrofil dan hitung jenis serta kadar
glukosa dan protein (Branner, 2000).
Teka-teki diagnostik lain dalam evaluasi anak dengan kecurigaan
meningitis bakteri adalah analisis CSS yang diambil dari anak yang sudah
mendapat terapi antibiotik ketika CSSnya diambil. Hal ini merupakan masalah
penting karena 25-50% anak yang sedang dievaluasi untuk meningitis bakteri
sedang mendapat antibiotik oral ketika CSS nya diambil. Penting sekali
mengenali bahwa pengobatan parsial penderita meningitis bakteri tersebut
biasanya tidak kaan mengubah secara sempurna profil CSS bakteri yang khas.
Meningitis yang diobati secara parsial dapat mengurangi insiden pewarnaan
Gram CSS positif sampai kurang dari 60% dan kemampuan tumbuh bakteri,
terutama meningokokus. Secara konsisten tidak mengubah profil glukosa,
protein atau neutrofil CSS, atau ia tidak mengganggu deteksi antigen bakteri
dalam CSS (Branner, 2000).
31

Tata Laksana
Medikamentosa
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuaikan dengan hasil biakan dan
uji resistensi (Mace, 2008).
Terapi empirik antibiotik

Usia 1-3 bulan :


Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +sefotaksim

200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau


Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
-

kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.


Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil
kultur dan resistensi (Prasad, 2007).
Deksametason
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari.
Injeksi deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat
pemberian antibiotik (Van de Beek et al, 2008).
Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari (Prasad, 2007).
Meningitis H.influenzae tipe b tidak terkomplikasi harus diobati selama
total 7-10 hari. Sesudah penentuan bahwa organisme sensitif pada ampisilin
dan tidak menghasilkan -laktamase, terapi antimikroba awal dapat diubah ke
ampisilin (Branner, 2000).
Jika S.pneumoniae dibiakkan dari CSS, isolate harus diuji untuk resistensi
penisilin. Resistensi relatif terhadap penisilin (MIC 0,1-1,0 ug/mL) ada pada
5-25% isolate S.pneumoniae, dan organisme yang sangat resisten (MIC >2,0
ug/mL) ditemukan pada sejumlah kecil penderita. Meningitis yang
disebabkan oleh isolate S.pneumoniae yang relatif resisten dapat diobati
dengan sefotaksim atau seftriakson, sedang kloramfenikol adalah obat pilihan
32

untuk organisme yang sangat resisten jika organisme sensitif terhadap


antibiotik. Jika ada juga yang resisten terhadap kloramfenikol, vankomisin
adalah obat pilihan. Terapi untuk meningitis pneumokokus sensitif-penisilin
tidak terkomplikasi harus diselesaikan dengan penisilin intravena 300.000
U/kg/24jam, diberikan setiap 4-6 jam selama 10-14 hari (Branner, 2000).
Penisilin intravena 300.000 U/kg/24jam selama 5-7 hari merupakan
pengibatan pilihan untuk meningitis N.meningitidis tidak terkomplikasi.
Tetapi berhasil dengan satu atau dua dosis antibiotik telah diperagakan di
Negara yang belum maju, tetapi pendekatan ini tidak dianjurkan di negara
maju. Jarang isolate meningokokus manunjukkan resistensi terhadap penisilin
relatif (0,25-0,5 ug/mL) dan absolut (>250 ug/mL) dan organisme ini
mungkin memerlukan terapi selingan (Branner, 2000).
Penderita yang mendapat antibiotik intravena atau oral sebelum PL dan
tidak mempunyai patogen yang dapat dikenali (pada pewarnaan Gram,
biakan, atau deteksi antigen) tetapi mempunyai bukti infeksi bakteri akut atas
dasar profil CSSnya harus terus mendapat terapi dengan seftriakson atau
sefalotaksim selama 7-10 hari. Jika tanda-tanda setempat ada atau anak tidak
berespons terhadap pengobatan, focus parameningeal mungkin ada dan sken
CT harus dilakukan (Branner, 2000).
PL ulangan rutin tidak terindikasi pada penderita meningitis terkomplikasi
karena H.influenzae tipe b, N.meningitidis atau S.pneumoniae. pemeriksaan
CSS ulangan terindikasi pada beberapa neonatus, pada meningitis basil gramnegatif, dan pada mereka yang tidak berespons terhadap terapi antimikroba
biasa dalam 48-72 jam. Perbaikan pada profil CSS ditunjukkan oleh kenaikan
kadar glukosa CSS dan penampakan sel limfosit-monosit; walaupun
pewarnaan Gram dapat tetap positif pada saat ini, CSS seharusnya steril
(Branner, 2000).
Meningitis karena E.coli atau P.aeruginosa memerlukan terapi dengan
sefalosporin generasi ketiga yang aktif melawan isolate in vitro. Kebanyakan
isolate E.coli akan sensitif terhadap sefotaksim atau seftriakson, sedangkan
kebanyakan isolate P.aeruginosa akan sensitif terhadap seftazidin. Meningitis
33

basil gram-negatif harus diobati selama tiga minggu atau selama sekurangkurangnya 2 minggu sesudah sterilisai CSS, yang dapat terjadi sesudah 2-10
hari pengobatan (Branner, 2000).
Efek samping terapi antibiotik meningitis adalah flebitis, demam obat,
ruam, muntah, kandidiasis oral, dan diare. Seftriakson dapat menyebabkan
pseudolithiasis kandung empedu reversibel, dapat dideteksi dengan
ultrasonografi abdomen. Pseudolithiasis ini biasanya tidak bergejala tetapi
dapat menimbulkan muntah dan nyeri kuadran kanan atas (Branner, 2000).
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi
seperti empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus (Mace, 2008).
Suportif

Periode kritis pengobatan meningitis bakterialis adalah hari ke-3 dan ke4. Tanda vital dan evaluasi neurologis harus dilakukan secara teratur.
Guna mencegah muntah dan aspirasi sebaiknya pasien dipuasakan lebih

dahulu pada awal sakit.


Lingkar kepala harus dimonitor setiap hari pada anak dengan ubun-ubun

besar yang masih terbuka.


Peningkatan tekanan intrakranial, Syndrome Inapropriate Antidiuretic
Hormone (SIADH), kejang dan demam harus dikontrol dengan baik.
Restriksi cairan atau posisi kepala lebih tinggi tidak selalu dikerjakan

pada setiap anak dengan meningitis bacterial.


Perlu dipantau adanya komplikasi SIADH.

Diagnosis

SIADH

ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang <135 mEq/L (135
mmol/L), osmolaritas serum <270 mOsm/kg, osmolaritas urin >2
kaliosmolaritas serum, natrium urin >30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa
adanya

tanda-tanda

dehidrasi atau hipovolemia.

Beberapa ahli

merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan


isotoni, terutama jika natrium serum <130 mEq/L (130 mmol/L). jumlah
cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar rumatan natrium
serum kembali normal.
34

(Mann et al, 2008)


Perawatan Pendukung
Penilaian berulang medic dan neurologic penderita dengan meningitis
bakteri sangat penting untuk mengenali tanda-tanda awal komplikasi
kardiovaskuler, SSS, dan metabolik. Frekuensi nadi, tekanan darah, dan
frekuensi pernapasan harus sering dipantau. Penilaian neurologis, termasuk
refleks pupil, tingkat kesadaran, kekuatan motorik, tanda-tanda saraf kranial,
dan evaluasi kejang, harus sering dibuat selama 72 jam pertama, bila risiko
komplikasi neurologis terbesar. Sesudahnya penialaian harus dilakukan sekali
sehari. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah penilaian BUN, kadar
natrium, klorida, kalium, dan bikarbonat serum, keluaran urin dan berat
jenisnya, hitung darah dan trombosit total, serta faktor-faktor koagulasi
(fibrinogen, protomboin, dan waktu tromboplastin parsial) bila ada petekie,
purpura atau perdarahan abnormal (Branner, 2000).
Pada mulanya, penderita tidak mendapat apa-apa melalui mulut. Jika
penderita dinilai menjadi normovolemik, dengan tekanan darah normal,
pemberian cairan intravena harus dibatasi pada setengah sampai dua pertiga
rumatan, atau 800-1000 mL/m2/4jam, sampai dapat ditegakkan bahwa
kenaikan tekanan intrakranial atau SIADH tidak ada. Pemberian cairan dapat
dikembalikan pada normal (1500-1700 mL/m2/24jam) bila kadar natrium
serum normal. Pembatasan cairan tidak tepat bila ada hipotensi sistemik,
karena penurunan tekanan darah dapat berakibat tekanan perfusi otak <50cm
H2O dengan akibat iskemia SSS. Karenanya, syok, yang terjadi pada pola
meningitis meningokokuss yang dengan cepat menjelek, harus diobati secara
agresif untuk mencegah disfungsi otak dan organ lain (nekrosis tubuler akut,
sindrom distress pernapasan orang dewasa). Penderita dengan syok, tekanan
intrakranial yang sangat naik, koma, dan kejang-kejang refrakter memerlukan
pemantauan ntensif dengan jalan masuk arteria dan vena sentral, dan tandatanda vital yang cepat, perlu dimasukkan ke unit perawatan intensif pediatri.
Penderita dengan syok septik memerlukan resusitasi cairan dan terapi dengan
agen vasoaktif dan dopamine, epinefrin, dan natrium nitroprusid. Tujuan
35

terapi demikian pada penderita meningitis adalah menghindari kenaikan


tekanan

intrakranial

berlebihan

tanpa

gangguan

aliran

darah

dan

penyampaian oksigen pada organ vital (otak, jantung, paru, ginjal) (Branner,
2000).
Komplikasi neurologis adalah kenaikan tekanan intrakranial dengan
akibat herniasi, kejang-kejang dan pembesaran lingkaran kepala karena efusi
subdural atau hidrosefalus. Tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial, selain
penjembungan fontanella atau koma murni, harus diobati segera dengan
intubasi endotrakea dan hiperventilasi (PCO2 sekitar 25mmHg). Lagipula,
furosemid intravena (Lasix; 1mg/kg) dan osmoterapi mannitol (0,5-1 g/kg)
dapat mengurangi tekanan intrakranial. Furosemid dapat mengurangi
pembengkakan otak dengan venodilatasi dan diuresis tanpa penambahan
volume intrakranial, sedang mannitol menghasilkan perbedaan tekanan
osmolar antara otak dan plasma, dengan demikian pergeseran cairan dari
SSS ke plasma dengan selanjutnya ekskresi saat diuresis osmotik (Branner,
2000).
Kejang-kejang adalah lazim selama perjalanan meningitis bakteri. Terapi
cepat untuk kejang adalah diazepam intravena (0,1-0,2 mg/kg/dosis) atau
lorazepam (0,05 mg/kg/dosis), memberi perhatian yang teliti pada risiko
supresi pernapasan. Glukosa serum, kalsium, dan kadar natrium harus
dipantau untuk menentukan apakah hipoglikemia, hipokalsemia atau
hiponatremia mempercepat kejang. Sesudah penanganan kejang segera,
penderita harus mendapat fenitoin (dosis pembebanan 15-20 mg/kg, rumatan
5 mg/kg/24jam) untuk mengurangi kemungkinan berulang. Fenitoin lebih
disukai daripada fenobarbital karena ia menyebabkan kurang depresi SSS dan
memungkinkan penilaian tingkat kesadaran penderita. Kadar fenitoin serum
harus dipantau untuk mempertahankannya pada kisaran terapeutis (10-20
ug/mL) (Branner, 2000).
Pembunuhan bakteri cepat pada CSS secara efektif mensterilkan infeksi
meningen tetapi melepaskan produk sel toksik pasca-lisis sel (endotoksin
dinding sel), yang mempercepat respons radang yang diperantarai-sitokin.
36

Hasilnya pembentukan edema dan infiltrasi neutrofil yang dapat menimbulkan


jejas neurologik tambahan dengan penjelekan tanda-tanda dan gejala-gejala
SSS. Karenanya, agen yang membatasi produksi mediator radang dapat
bermanfaat pada penderita dengan meningitis bakteri. Data baru mendukung
penggunaan deksametason intravena (0,15 mg/kg/dosis, diberikan setiap 6
jam selama 4 hari) pada manajemen anak dengan meningitis bakteri akut.
Resipien steroid menderita kurang demam, kadar protein dan laktat CSS lebih
rendah, dan pengurangan cedera saraf pendengaran permanen, seperti tampak
pada kehilangan pendengaran sensorineural, daripada resipien placebo.
Kebanyakan pengalaman dengan pengobatan deksametason telah diperoleh
manfaat pada infeksi H.influenzae tipe b, dan ramalan pada patogen bakteri
lain harus dilakukan dengan hati-hati, menyeimbangkan kemungkinan
manfaat terhadap risikonya. Tampak bahwa sterois mempunyai manfaat
maksimum jika diberikan segera sebelum masuk antibiotik. Komplikasi terapi
ini adalah perdarahan gastrointestinal, hipertensi, hipergikemia, leukositosis,
dan demam rebound sesudah dosis terakhir (Branner, 2000).
Pemantauan
Terapi
Untuk memantau efek samping penggunaan antibiotik dosis tinggi, dilakukan
pemeriksaan darah perifer secara serial, uji fungsi hati, dan uji fungsi ginjal
bila ada indikasi (Prasad, 2007).
Tumbuh kembang
Gangguan pendengaran sebagai gejala sisa meningitis bakterialis terjadi pada
30% pasien, karena itu uji fungsi pendengaran harus segera dikerjakan setelah
pulang. Gejala sisa lain seperti retardasi mental, epilepsi, kebutaan, spastisitas,
dan hidrosefalus. Pemeriksaan penunjang dan kunsultasi ke departemen terkait
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat follow-up (Saez, 2003).
Komplikasi
Komplikasi akut meningitis adalah kejang, pembentukan abses,
hidrosefalus, sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai dan syok septik.

37

Manifestasi berat syok septik dengan koagulasi intravaskuler


diseminata

dan

perdarahan

adrenal

adalah

komplikasi

meningitis

meningokokal (sindrom Waterhouse Friderichsen). Komplikasi penyakit


meningokokal lainnya adalah artriti baik artritis septik atau diperantarai
kompleks imun (Japardi, 2002).
Selama pengobatan, komplikasi meningitis karena pengaruh infeksi
CSS atau sistemik adalah lazim. Komplikasi neurologis termasuk kejangkejang, kenaikan tekanan intrakranial, kelumpuhan saraf kranial, stroke,
trombosis sinus venosus dura, dan efusi subdural (Branner, 2000).
Kumpulan cairan dalam sela subdural terjadi pada 10-30% penderita
meningitis dan tidak bergejala pada 85-90% penderita. Efusi subdural
terutama lazim pada bayi. Efusi subdural bergejala dapat menyebabkan
pencembungan fontanela, pelebaran sutura, pembesaran lingkaran kepala,
muntah, kejang-kejang, demam dan hasil transiluminasi kranial abnormal.
Namun banyak dari manifestasi ini juga ada pada penderita meningitis tanpa
efusi subdural. Skenning tomografi terkomputasi (CT) akan memperkuat
diagnosis efusi subdural. Bila ada kenaikan intrakranial atau penurunan
tingkat kesadaran, efusi subdural bergejala harus diobati dengan aspirasi
melalui pembukaan fontanella. Demam saja tidak merupakan indikasi untuk
aspirasi (Branner, 2000).
Sindrom sekresi hormone antidiuretik yang tidak tepat (syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone [SIADH]) terjadi pada
kebanyakan penderita meningitis, menimbulkan hiponatremia dan penurunan
osmolalitas serum pada 30-50%. Ini dapat memperjelek edema serebral atau
secara tidak tergantung menimbulkan kejang-kejang hiponatremia. Kemudian
dalam perjalanan terapi, diabetes insipidus sentral dapat terjadi sebagai akibat
dari disfungsi hipotalamus atau pituitaria (Branner, 2000).
Demam biasanya sembuh lebih awal pada penderita dengan penyakit
meningokokus atau pneumokokus daripada pada penderita meningitis
H.influenzae. pada hari ke-6 terapi lebih dari 90% penderita meningitis
meningokokus atau pneumokokus tidak demam disbanding dengan 70%
38

penderita dengan H.influenzae. Demam yang lama (>10 hari) ditemukan pada
15% penderita meningitis H.influenzae, 9% dari mereka dengan meningitis
pneumokokus dan 6% dari mereka dengan meningitis meningokokus.
Demam yang lama biasanya karena ditumpangi oleh infeksi virus, infeksi
bakteri nosokomial atau sekunder, tromboflebitis, atau reaksi obat yang
menumpangi. Pericarditis atau artritis dapat terjadi pada penderita yang
sedang diobati untuk meningitis. Keterlibatan tempat-tempat ini dapat akibat
dari penyebaran bakteri atau dari pengendapan kompleks imun. Pada
umumnya, pericarditis atau artritis infeksiosa terjadi lebih awal dalam
perjalanan pengobatan daripada penyakit yang diperantarai imun. Demam
sekunder merujuk pada pemunculan kembali kenaikan suhu sessudah interval
tidak demam. Infeksi nosokomial terutama penting untuk dipikirkan pada
evaluasi penderita ini (Branner, 2000).
Trombositosis, eosinophilia dan anemia dapat timbul selama terapi
untuk meningitis. Anemia dapat karena hemolisis dan paling sering
ditemukan pada penyakit H.influenzae. pilihan lain, anemia dapat karena
supresi sumsum tulang. Koagulasi intravaskuler tersebar (DIC) paling sering
disertai dengan pola penyajian progresif cepat dan purpura (purpura
fulminant). Kombinasi endotoksemia dan hipotensi yang sedang berjalan
dapat menimbulkan gangrene perifer simetris (Branner, 2000).
Kejadian meningitis berulang jarang tetapi mempunyai tiga pola yang
berbeda. Rekrudesens adalah pemunculan kembali infeksi selama terapi
dengan antibiotik yang tepat. Biakan CSS menunjukkan pertumbuhan bakteri
yang telah menjadi resisten terhadap antibiotik. Kumat (relaps) terjadi antara
3 hari dan 3 minggu sesudah terapi dan menggambarkan infeksi bakteri
menetap pada SSS (empyema subdural, ventrikulitis, abses otak) atau tempat
lain (mastoid, osteomyelitis kranial, infeksi orbita). Kumat sering akibat dari
pilihan, dosis, atau lama terapi antibiotik yang tidak sesuai. Berulang
(recurrence) adalah kejadian meningitis baru karena reinfeksi dengan spesies
bakteri yang sama atau patogen piogenik lain. Meningitis berulang memberi
kesan adanya komunikasi anatomic didapat atau kongenital antara CSS dan
39

tempat mukokutan. Cacat pada pertahanan hospes imun juga memberi


kecenderungan pada meningitis berulang (Branner, 2000).
Perbandingan Gambaran (Lcs Antara Meningitis Purulenta Tb, Viral,
Dan Jamur
PURULENTA TUBERKULOSA
Tekanan > 180 Bila didiamkan

VIRUS
Pemeriksaan

JAMUR
Kultur

mm H20

mikroskopik
Biakan

bakteri

cairan otak
Pemeriksaan

terbentuk

pelikula
Mikroskopis :
kuman TBC

negatif

serologik
serum

dan

cairan otak
atau Jernih

Warna

Keruh sampai Jernih

Sel

purulen
Leukosit

xantokrom
Meningkat,

meningkat

<500/mm3,

95% PMN

dominan

Meningkat
MN antara
1000/mm3

Jernih
10-500

10- sel/mm3den
gan
dominasi

Meningkat

limfosit
Normal / sedikit Meningkat

Menurun

meningkat
Normal

Protein

Meningkat,

Klorida

>75 mg%
Menurun,

Glukosa

<700 mg%
Menurun, <40 Menurun

Normal

Menurun,

mg% atau <40

sekitar 15-

% gula darah

35 mg

(Harsono, 2003)
PENCEGAHAN
Vaksinasi dan profilaksis antibiotik kontak yang rentan dan berisiko
menggambarkan dua cara pengurangan kemungkinan meningitis bakteri yang

40

tersedia. Ketersediaannya dan pemakaian setiap pendekatan ini berbeda untuk


setiap tiga penyebab utama meningitis bakteri pada anak (Branner, 2000).
Haemophilus influenzae Tipe b
Profilaksis rifampin harus diberikan pada semua kontak rumah tangga,
termasuk orang dewasa, jika salah satu anggota keluarga berumur kurang dari 4
tahun belum diimunisasi sepenuhnya. Kontak rumah tangga adalah seseorang
yang hidup pada tempat kasus indeks atau yang bersama minimum 4 jam dengan
kasus indeks selama sekurang-kurangnya 5 atau 7 hari sebelum rawat inap
penderita di rumah sakit. Anggota keluarga harus mendapat profilaksis rifampin
secepatnya sesudah diagnosis diperkuat pada kasus indeks karena lebih dari 50%
kasus keluarga sekunder terjadi pada minggu pertama sesudah penderita indeks
dirawat inap di rumah sakit (Branner, 2000).
Risiko kasus sekunder infeksi H.influenzae tipe b pada kontak pusat
perawatan harian kurang daripada kasus kontak rumah tangga dan mungkin lebih
besar daripada kasus sekunder pada populasi umum. Risikonya sangat rendah
pada pusat perawatan harian anak yang kontaknya bukan ruang kelas dan mereka
yang di atas umur 2 tahun. Kemanjuran kemoprofilaksis pada pusat perawatan
harian tidak pasti, dan nada kesukaran dalam meyakinkan bahwa semua
pengunjung pusat perawatan harian yang menyerupai keluarga (missal, kontak
erat >25 jam/minggu) harus diberikan pada semua orang dewasa dan anak-anak
jika dua kasus infeksi H.influenzae tipe b atau lebih terjadi dalam 60 hari dan
beberapa anak berusia <2 tahun dan tidak diimunisasi sepenuhnya. Dosis
rifampisin adalah 20 mg/kg/24 jam (maksimum 600 mg) diberikan sekali setiap
hari selama empat hari. Rifampin mewarnai kencing dan keringat orange merah,
mewarnai lensa kontak, dan mengurangi kadar serum beberapa obat, termasuk
kontraseptif oral. Rifampin terkontraindikasi selama kehamilan. Di samping
profilaksis, pekerja pusat kesehatan harian dan orang tua harus dididik mengenai
tanda-tanda infeksi H.influenzae berat dan kepentingannya mencari perhatian
medis segera untuk demam atau kemungkinan manifestasi penyakit H.influenzae
lain (Branner, 2000).

41

Perkembangan yang paling menggembirakan pada pencegahan meningitis


bakteri masa anak adalah perkembangan dan pemberian izin vaksin terhadap
H.influenzae tipe b. vaksin gabungan yang telah dilisensi baru-baru ini telah
ternukti aman dan imunogenik pada bayi selama umur bulan-bulan pertama.
Sekarang empat vaksin gabungan dan vaksin kombinasi yang menggabung salah
satu dari gabungan dengan toksoid difteri, pertussis dan toksoid tetanus ini (DPT)
telah diberi lisensi di Amerika Serikat. Walaupun setiap vaksin ini mendatangkan
berbagai profil respons antibodi pada bayi yang diimunisasi pada usia 2-6 bulan,
semua menimbulkan kadar protektif antibodi sesudah dua sampai empat dosis.
Penelitian sebelum pemberian lisensi memperagakan bahwa setiap vaksin
gabungan efektif, dengan angka kemanjuran berkisar dari 70-100%. Kemanjuran
tidak sekonsisten kemanjuran pada populasi Amerika Asli, suatu kelompok yang
dikenali sebagai mempunyai insiden penyakit yang sangat tinggi. Pengamatan
pasca pemberian lisensi pada kasus meningitis yang disebabkan oleh H.influenzae
tipe b juga mendukung tingkat proteksi yang tinggi yang dihasilkan oleh
vaksinasi. Sebagai akibatnya, Komite Penyakit Infeksi American Academy of
Pediatrics menganjurkan bahwa semua anak harus diimunisasi dengan vaksin
gabungan H.influenzae tipe b yang mulai pada sekitar 2 bulan atau sesegera
sesudahnya (Branner, 2000).
Kolonisasi nasofaring H.influenzae tipe b tidak dapat diberantas walaupun
dengan pemberian terapi antibiotic parental yang tepat. Sebelum pulang dari
rumah sakit, penderita harus mendapat rifampin (20 mg/kg/dosis setiap hari
selama 4 hari) untuk mencegah pemasukan atau pemasukan kembali organism eke
dalam rumah tangga atau pusat perawatan harian (Branner, 2000).
Neisseria meningitidis
Kemoprofilaksis dianjurkan pada semua kontak dekat penderita dengan
meningitis meningokokus tanpa memandang umur atau status imunisasi. Kontak
dekat harus diobai dengan rifampin 10 mg/kg/dosis setiap 12 jam selama 2 hari
(dosis maksimum 600 mg) sesegera mungkin sesudah identifikasi kasus
meningitis meningokokus atau sepsis. Kontak dekat meliputi kontak rumah
42

tangga, pusat perawatan harian, dan kontak sekolah perawatan, dan pekerja
perawatan kesehatan yang mempunyai pajanan langsung terhadap sekresi (misal,
resusitasi dari mulut ke mulut, pengisapan, intubasi). Kontak pajanan harus
diobati segera pada kecurigaan infeksi pada penderita indeks; konfirmasi infeksi
bakteriologi harus ditunggu. Lagipula, semua kontak harus dididik mengenai
tanda-tanda awal penyakit meningokokus dan perlunya mencari perhatian medik
segera jika timbul tanda-tanda ini (Branner, 2000).
Vaksin quadrivalen meningokokus terhadap serogroup A,C, Y dan W135
dianjurkan pada anak risiko tinggi umur di atas 2 tahun. Penderita risiko tinggi
termasuk mereka yang menderita asplenia, disfungsi limpa fungsional, atau
defisiensi protein komplemen terminal. Vaksin juga dapat digunakan sebagai
tambahan pada kemoprofilaksis untuk kontak terpajan dan selama epidemik
penyakit meningokokus. Sayangnya, kebanyakan kasus meningitis meningokokus
endemik adalah karena grup B, yang padanya sekarang tidak ada vaksin yang
efektif (Branner, 2000).
Streptococcus pneumoniae
Tidak diperlukan kemoprofilaksis atau vaksinasi untuk hospes normal yang
mungkin merupakan kontak penderita dengan meningitis pneumokokus, sebagai
kasus sekunder yang jarang terjadi. Penderita risiko tinggi harus mendapat vaksin
pneumokookus 23-valen, dan penderita dengan anemia sel sabit harus juga
mendapat kemoprofilaksis dengan penisilin, amoksisilin, atau trimetoprimsulfametoksazol oral (Branner, 2000).
PROGNOSIS
Pengenala yang tepat, terapi antibiotik segera, dan perawatan pendukung
telah menurunkan mortalitas meningitis bakteri sesudah masa neonatus sampai 18%. Angka mortalitas tertinggi yang diamati adalah pada meningitis
pneumokokus. Sekuele perkembangan saraf berat dapat terjadi pada 10-20%
penderita yang sembuh dari meningitis bakteri, dan sebanyak 50% mempunyai
beberapa morbiditas neurobehaviour meskipun tidak kentara. Prognosis adalah
jelek pada bayi sebelum umur 6 bulan dan mereka yang pada CSSnya
mengandung lebih dari 106 CFU bakteri/mL. mereka yang dengan kejang-kejang
43

yang terjadi lebih dari 4 hari dalam terapi, atau penderita dengan koma atau tanda
neurologis pada saat datang, juga cenderung mempunyai sekuele yang lebih lama.
Yang menarik adalah tidak ada korelasi yang baik antara lamanya gejala sebelum
diagnosis meningitis dan hasil akhir (Branner, 2000).
Sekuele neurologis yang paling sering adalah kehilangan pendengaran,
retardasi mental, kejang-kejang, penundaan dalam penerimaan bahasa, gangguan
penglihatan, dan masalah perilaku (Branner, 2000).
Kehilangan pendengaran sensorial merupakan sekuele meningitis yang paling
lazim. Kehilangan pendengaran ini adalah karena labirintis pasca-infeksi kokhlear
dan

terjadi

pada

sebanyak

30%

penderita

meningitis

pneumokokus,

10%meningitis meningokokus, dan 5-20% dari mereka yang menderita


H.influenzae tipe b. kehilangan pendengaran dapat juga karena radang langsung
saraf pendengaran. Terapi tambahan dengan deksametason dapat mengurangi
insiden kehilangan pendengaran berat. Tanpa memandang agen bakteri, tipe terapi
antibiotik, atau penggunaan deksametason, semua penderita meningitis harus
dilakukan penilaian audiologi yang teliti sebelum atau segera sesudah keluar dari
rumah sakit. Penilaian ulang yang sering pada penderita rawat jalan terindikasi
untuk semua penderita yang menderita defisit pendengaran (Branner, 2000).

44

DAFTAR PUSTAKA
Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition,
McGraw-Hill.
Chavez-Bueno S, Mc Cracken GH. Bacterial meningitis in children. Pediatr Clin
N Am. 2005; 52:795-810.
Ellenby, M., Tegtmeyer, K, Lai, S., and Branner, D. 2006. Lumbar Puncture. The
New

England

Journal

of

Medicine.

12

355.

URL

URL

http://content.nejm.org/cgi/reprint355/13/e12.pdf
Harsono.

2003.

Meningitis.

Kapita

Selekta

Neurologi

2.

http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
Japardi I. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library. URL :
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf
Mace SE. Acute bacterial meningitis. Emerg Med Clin N Am. 2008; 38: 281-317.
Mann K, Jackson MA. Meningitis. Pediatr Rev. 2008; 29: 417-30.
Prasad K, Kumar A, Singhal T, Gupta PK. Third generation cephalosporin versus
conventional antibiotics for treating acute bacterial meningitis (Review).
Cochrane database of Systematic Review. Issue 4. 2007.
Quagliarello, VJ., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New
England

Journal

of

Medicine.

336

708-16.

URL

http://content.nejmorg/cgi/reprint/336/10/708.pdf
Ropper, AH, Brown, Robert H. 2005. Adams & Victors Principles of Neurology,
Eight Edition, McGraw-Hill.
Saez-Lorens X, Mc Cracken GH. Bacterial meningitis in children. Lancet. 2003;
361: 39-48.

45

Van de Beek D, de Gans J, Intyre P, Prasad K. Corticosteroids for acute bacterial


meningitis (Review). Issue 4. 2008.

46

Вам также может понравиться