Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Nasional (Bagian 1)
Darussalam, SE, Ak, CA, MSi, LLM Int.Tax
Managing Partner, DANNY DARUSSALAM Tax Center
Indonesia memiliki berbagai permasalahan perpajakan yang umumnya juga ditemui di negara
lain, misalnya rendahnya kepatuhan pajak, rendahnya penerimaan pajak, hingga rendahnya
kapasitas lembaga administrasi perpajakan.[2]Di banyak negara, persoalan-persoalan tersebut
diatasi dengan berbagai skema kebijakan, salah satunya dengan melaksanakan tax amnesty.
[3]Bahkan, dalam kurun waktu 1989-2009, hampir 40 negara bagian di Amerika Serikat telah
memberikan tax amnesty dalam berbagai bentuk.[4]
Program tax amnesty telah dilakukan di banyak negara di dunia ini, baik oleh negara maju
maupun negara berkembang dengan berbagai cerita sukses maupun kegagalan. India (1997),
Irlandia (1988), dan Italia (1982, 1984, dan 2001/2002) adalah contoh negara yang sukses
menyelenggarakan program pengampunan pajak. Sedangkan Argentina (1987) dan Prancis (1982
dan 1986) adalah contoh negara yang gagal dalam program pengampunan pajak.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tax amnesty merupakan sebuah isu yang
kontroversial dalam dunia perpajakan. Asumsi kontroversial yang mendasari tax amnesty adalah
dihapuskannya pokokpajak, sanksi administrasi dan/atau pidanapajak atas ketidakpatuhan yang
telah dilakukan oleh wajib pajak di masa lalu demi peningkatan kepatuhan di masa yang akan
datang. Di satu sisi, tax amnesty dipandang sebagai jalan keluar untuk meningkatkan penerimaan
di masa yang akan datang karena tax amnesty memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk
masuk atau kembali ke dalam sistem administrasi perpajakan yang berdampak pada peningkatan
penerimaan di masa yang akan datang. Namun, di sisi lain, tax amnesty dapat mengurangi tingkat
kepatuhan di masa yang akan datang jika wajib pajak tetap mempertahankan ketidakpatuhannya
setelah program tax amnesty berakhir sembari berharap akan adanya program tax amnesty di
masa yang akan datang.
Tulisan ini akan membahas gambaran umum yang terkait dengan tax amnesty dan perilaku wajib
pajak sebelum dan setelah adanya tax amnesty serta mengkaitkannya dengan kondisi di
Indonesia.
Konsep dan Justifikasi Tax Amnesty
Baer dan LeBorgne, sebagaimana dikutip oleh Mikesell dan Ross, mendefinisikan tax
amnesty sebagai:
a limited-time offer by the government to a specified group of taxpayers to pay a defined
amount, in exchange for forgiveness of a tax liability (including interest and penalties), relating to
a previous tax period(s), as well as freedom of legal prosecution[5]
Sementara, Jacques Malherbe mengartikan tax amnesty seperti berikut ini:
the possibility of paying taxes in exchange for the forgiveness of the amount of the tax liability
(including interest and penalties), the waiver of criminal tax prosecution, and limitations to audit
tax determinations for a period of time[6]
Dari definisi di atas, selain memberikan pengampunan untuk sanksi administrasi, tax
amnesty juga dimaksudkan untuk menghapuskan sanksi pidana. Tax amnesty juga dapat
diberikan kepada pelaporan sukarela data kekayaan wajib pajak yang tidak dilaporkan di masa
sebelumnya tanpa harus membayar pajak yang mungkin belum dibayar sebelumnya. Dalam
menetapkan perlu tidaknya tax amnesty, perlu dipertimbangkan apa yang menjadi justifikasi
dari tax amnesty dan hingga batas mana tax amnesty dapat dijustifikasi.
memfasilitasi reformasi perpajakan dan sebagai kompensasi atas penerimaan pajak yang
berpotensi hilang dari transisi ke sistem perpajakan yang baru tersebut.
Walau demikian, keempat tujuan pemberian tax amnesty di atas tidak memperhatikan isu nondiskriminasi antara tax evaders dan honest taxpayers dalam menentukan perlu tidaknya
pemberian tax amnesty. Secara khusus, permasalahan ini dapat dijabarkan menjadi
apakah dishonest taxpayers atau tax evaders memperoleh perlakuan yang lebih baik
daripada honest taxpayers, atau apakah dishonest taxpayers mendapatkan keuntungan dari
perilakunya menggelapkan pajak.
Jika jawaban atas pertanyaan tersebut bernada positif, maka pertanyaan selanjutnya adalah
apakah keuntungan tersebut dapat dijustifikasi?
Untuk menentukan apakah terdapat perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara tax evaders
dan honest taxpayers, perlu diperhatikan seberapa besar insentif yang diberikan kepada tax
evaders atas tindakan mereka melakukan pengungkapansecarasukarela (voluntary disclosure).
Sepanjang tax amnesty hanya menghapus seluruh atau sebagian sanksi administrasi,dan tax
evaders masih harus membayar kewajiban pajak dan bunga atas keterlambatan pembayaran,
maka tax evaders mendapat perlakuan yang sama jika dibandingkan denganhonest taxpayers
karena keduanya menanggung beban pajak yang sama atas kewajiban perpajakan mereka masingmasing.
Pengurangan sanksi merupakan bentuk pemberian tax amnesty atas pengungkapan yang
dilakukan oleh tax evaders terkait penghasilan yang tidak dilaporkannya. Akan tetapi, jika tax
amnesty juga menghapus bunga atas keterlambatan pembayaran dan bahkan juga kewajiban
pajak, maka tax evaders telah mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan honest taxpayers.[13]
Walau tax amnesty memberikan pembebasan atas bunga keterlambatan pembayaran dan
kewajiban pajak daritax evaders, perlakuan yang berbeda dan lebih menguntungkan ini juga perlu
untuk dijustifikasi. Justifikasi atas perlakuan tersebut dapat dibingkai dalam konteks perubahan
sistem pajak dengan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya perilaku tax evaders dalam
menyembunyikan penghasilan atau asetnya di masa yang akan datang. Di samping itu, hal ini
dapat dilihat sebagai bantuan kepada tax evaders untuk kembali ke dalam sistem administrasi
perpajakan.
Lebih lanjut, diskriminasi juga dapat dijustifikasi berdasarkan pertimbangan fiskal dan ekonomi.
Dalam hal ini,taxamnesty terjustifikasi karena terlepas dari seberapa banyak tax
evaders berpartisipasi dalam tax amnesty, tax amnesty memberikan perlakuan yang adil
kepadasemuawajibpajakdi masa yang akan datang karena seluruh beban pajak akan dialokasikan
sesuai dengan kemampuan ekonomis dari setiap wajib pajak.
KarakteristikTax Amnesty
Definisi tax amnesty sebagaimana telah disebutkan di atas memberikan gambaran tentang
karakteristik dari suatu program tax amnesty, yaitu:
1. Durasi
Secara umum, program tax amnesty berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu, dan
umumnya berjalan selama 2 bulan hingga 1 tahun.[14] Untuk mendukung berhasilnya
program tax amnesty, hal yang perlu ditekankan adalah luasnya publisitas dan promosi
program tax amnesty serta tersampaikannya pesan bahwa wajib pajak hanya memiliki
kesempatan sekali ini saja untuk memperoleh pengampunan atas pajak yang terutang, bunga,
dan/atau sanksi administrasi.
Menurut Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger,[15] pengampunan pajak sebaiknya
diberikan hanya sekali saja dalam suatu generasi (once per generation). Pengampunan pajak yang
diberikan berkali-kali menyebabkan wajib pajak akan selalu menunggu program pengampunan
pajak berikutnya dan ini akan mendorong wajib pajak untuk tidak menjalankan kewajiban
pajaknya dengan benar. Oleh karena itu, apabila pemerintah akan memberikan tax amnestymaka
tidak boleh ada isu tentang program pengampunan pajak jilid berikutnya.
2. Kelompok wajib pajak
Secara umum, setiap wajib pajak yang belum menunaikan kewajiban perpajakannya
diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam program tax amnesty.[16] Artinya, program tax
amnesty ini ditujukan kepada wajib pajak yang telah berada dalam sistem administrasi perpajakan
dan wajib pajak yang belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan.
Perlakuan yang berbeda dimungkinkan ketika wajib pajak yang hendak berpartisipasi dalam
program tax amnesty telah diperiksa atau sedang dalam proses pemeriksaan. Dalam hal ini, wajib
pajak yang telah diperiksa atau sedang dalam proses pemeriksaan tersebut tidak diperbolehkan
berpartisipasi dalam program tax amnestykarena jumlah tunggakan pajaknya telah diketahui oleh
otoritas pajak. Wajib pajak juga dapat diberikan pengampunan jika ketentuan peraturan
perundang-undangan menyatakan wajib pajak yang mengungkapkan kewajiban perpajakan atau
harta kekayaannya secara sukarela berhak mendapatkan penurunan atau penghapusan sanksi
administrasi.
3. Jenis pajak dan jumlah pajak atau sanksi administrasi yang diberikan ampunan
Ketentuan tentang tax amnesty harus menspesifikasi pajak apa saja yang diberikan ampunan.
Pada umumnya, pajak yang diberikan ampunan hanya bersumber dari satu jenis pajak atau satu
kategori subjek pajak saja,[17]misalnya tax amnesty hanya diberikan pada pajak penghasilan
orang pribadi saja tidak termasuk pajak penghasilan badan, atau program tax amnesty hanya
dikhususkan kepada pajak bumi dan bangunan saja.
Perkembangan terkini di beberapa negara menunjukkan program tax amnesty juga diberikan
secara spesifik kepada harta kekayaan yang ditempatkan di luar negeri yang belum dilaporkan
oleh wajib pajak. termasuk harta kekayaan yang direpatriasi ke dalam negeri. Program tax
amnesty yang diberikan secara khusus ini umumnya disertai dengan pembebasan atau
pengurangan pajak atas penghasilan yang belum dilaporkan yang bersumber dari harta kekayaan
di luar negeri tersebut.[18]
Selain itu, jumlah pajak yang belum dibayar dan sanksi administrasi yang diberikan ampunan
harus ditentukan dalam ketentuan tax amnesty. Pada umumnya, jumlah yang diberikan ampunan
dapat berupa:[19]
Keberhasilan program tax amnesty bergantung kepadadua hal. Pertama, seberapa cepat dan
menyakinkannya otoritas pajak dalam menjalankan progam tersebut.[1] Dengan kata lain,
program tax amnesty akan efektif apabila dilakukan secara mendadak dan tidak dapat diantisipasi
oleh wajib pajak. Sebagai ilustrasi, jika program ini sudah diketahui misal 1 tahun sebelum
diluncurkan, maka terdapat kecenderungan dari wajib pajak untuk tidak patuh karena menunggu
akan pengampunan.Kedua, kredibilitas dan reputasi administrasi perpajakanatas aspek penegakan
hukum pajak. Untuk mencapai tujuan jangka panjang, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi
seperti teknologi yang lebih modern (termasuk peningkatan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi untuk meningkatkan kemampuan petugas pajak untuk melakukan pemeriksaan
pajak), kepemimpinan politik, serta kebijakan dan peraturan pemerintah.
Pada umumnya, sebagian besar ahli perpajakan berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara
yang mujarab untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Walau demikian, ada juga kekhawatiran
bahwa tax amnesty dapat melemahkan kepatuhan pajak, terutama jika orang berharap
bahwa tax amnesty mungkin akan datang lagi di masa depan.[2] Untuk alasan ini, banyak ahli
tidak menyarankan pelaksanaan tax amnesty secara berulang dalam waktu yang sangat
berdekatan. Selain itu, kepatuhan pajak juga dapat meningkat selama beberapa prasyarat
terpenuhi, seperti: adanya sanksi yang tegas dan sistem untuk mendeteksi penggelapan pajak.
Prasyarat tersebut berangkat dari model penggelapan pajak yang dibangun oleh Michael G.
Allingham dan Agnar Sandmo (dikenaldengannamaA-S Model)[3]. Pendekatan ekonomi
tradisional tersebut dalam konteks kepatuhan pajak mengasumsikan bahwa wajib pajak
membayar pajak berdasarkan karenaadanyasanksi dan kemungkinan akan terdeteksi apabila
mencoba melakukan penyelundupan pajak.
Dalam ilmu behavioral economics, faktor-faktor seperti keadilan, rasa memiliki (keterikatan), dan
keyakinan bahwa pajak yang diterima oleh pemerintah akan digunakan dengan benar juga
berkontribusi dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Jika pemerintah membuat sistem pajak lebih
adil, meningkatkan rasa memiliki pembayar pajak (membangun identitas dengan komunitas yang
lebih besar), dan menunjukkan bahwa uang pajak akan digunakan untuk hal-hal produktif;
kepatuhan pajak akan meningkat tanpa melakukan insentif ekonomi.[4] Dengan demikian, upaya
meningkatkan insentif non-ekonomi -bahkan mengurangi ukuran hukuman- dapat meningkatkan
kadar kepatuhan pajak.
Dari perspektif tradisional dan behavioral economics tersebut, tax
amnesty memilikiargumentasipendukungnya.Di satu sisi, dengan adanya tax amnesty pemerintah
dapat memberikan sinyalemen kepada wajib pajak bahwa ada suatu kepercayaan dan kemauan
untuk mengesampingkan dosa masa lalu dari wajib pajak (sekaligus juga menyiratkan
pengakuan atas kesalahan otoritas pajak di masa lalu). Hal ini dapat mendorong adanya
partisipasi maupun rasa memiliki. Apalagi jika disertai dengan sosialisasi atas pemahaman
penggunaan uang pajak. Berikutnya, adanya penguatan kapasitas administrasi perpajakan yang
bersumber dari kerangka model ekonomi tradisional (A-S Model). Tanpa adanya reformasi di
tubuh otoritas pajak, pemerintah akan membuang kesempatan untuk mempertahankan tingkat
kepatuhan pasca-tax amnesty. Seringkali, tax amnestymemberikan lonjakan partisipasi wajib
pajak, namun tidak mampu dikelola secara berkelanjutan. Dengan adanya perbaikan kapasitas
kelembagaan otoritas pajak, secara tidak langsung, pemerintah mengirimkan pesan bahwa:
setelah tax amnesty, hukum perpajakan akan ditegakkan secara ketat.
Lebih lanjut lagi, manusia sebagai makhluk rasional akan selalu menimbang aspek biaya dan
manfaat dari keputusan untuk patuh terhadap hukum pajak. Setiap manusia akan memaksimisasi
kepuasannya disesuaikan dengan kewajiban membayar pajak dan biaya yang dikeluarkan untuk
patuh. Dengan adanya upaya reformasi dan peningkatan kapasitas kelembagaan otoritas
pajak, tax amnesty akan memberikan (dis)insentif untuk (tidak) patuh.[5]
Kebutuhan Tax Amnesty di Indonesia
Sejak orde baru digantikan dengan orde reformasi, reformasi perpajakan di Indonesia masih
berfokus pada reformasi administrasi perpajakan. Adapun tujuan dari reformasi administrasi
perpajakan tersebut adalah untuk menciptakan trust kepada lembaga Direktorat Jenderal Pajak
(DJP), meningkatkan produktivitas dan akuntabilitas pegawai, serta memperbaiki upaya
kepatuhan perpajakan.
Hasil dari reformasi administrasi perpajakan adalah peningkatan jumlah wajib pajak secara
signifikan. Sunset Policy, program tax amnestyataspenghapusansanksiadministrasi, yang
diberlakukan pada tahun 2008 turut berkontribusi dalam peningkatan jumlah wajib pajak.[6] Pada
saat program Sunset Policy diberlakukan di tahun 2008, terdapat peningkatan jumlah wajib pajak
sebanyak 5.365.128. Sementara tambahan penerimaan pajak dari program tersebut sebanyak Rp
7,46 triliun. Namun demikian, pada tahun 2009, jumlah wajib pajak yang tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan mencapai 47,39% dari total wajib pajak sebanyak 15.469.590. Hal
ini menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan dan kemungkinan wajib pajak kembali ke perilaku
ketidakpatuhan.
Pengungkapan ketidakbenaran melalui pembetulan Surat Pemberitahuan dapat dipersamakan
dengan pengungkapan secara sukarela (voluntary disclosure) yang saat ini berdampak pada sanksi
administrasi atas jumlah pajak yang kurang dibayar. Ketentuan tentang besarnya sanksi
administrasi atas jumlah pajak yang kurang dibayar dalam pengungkapan ketidakbenaran melalui
pembetulan Surat Pemberitahuan dapat dipertimbangkan untuk diubah agar dapat mendorong
perilaku wajib pajak menuju kepatuhan melalui pengungkapan secara sukarela.
Otoritas pajak perlu membangun database bagi wajib pajak yang berpartisipasi dalam
program tax amnesty. Informasi wajib pajak yang tersimpan dalam database ini akan berpengaruh
pada aktivitas pengawasan di masa yang akan datang.
Selain itu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan antara lain, tax amnesty memerlukan publikasi
yang luas di media. Sebagai contoh, India ketika mengkampanyekan program tax amnesty nya di
tahun 1997 Slogan yang dipakai adalah 30 percent taxes, 100 percentpeace of mind yang
membawa lebih dari 350.000 wajib pajak turut serta dalam program pengampunan pajak dengan
jumlah pemasukan pajak sebesar US $ 2,5 milyar atau saat ini setara dengan Rp 22,5 triliun.[7]
Pada saat negara kita mengadakan program pengampunan sanksi pajak (sunset policy), juga
menerapkan slogan Anda ingin tidur nyenyak? Manfaatkan fasilitas sunset policy sekarang
juga, demikian slogan yang disebarluaskan oleh pemerintah dalam menjaring wajib pajak yang
belum mematuhi kewajiban perpajakannya untuk ikut serta dalam program sunset policy.
Selain itu, Publikasi di media ini harus menekankan rencana-rencana otoritas pajak setelah
program tax amnesty, misalnya peningkatan pemeriksaan pajak setelah program tax
amnesty berakhir. Meskipun peningkatan pemeriksaan akan berdampak pada peningkatan biaya
administrasi, namun hal ini merupakan cara termurah untuk membuat jera tax evaders. Hal ini
juga dapat disebabkan setelah program tax amnesty berakhir,tax evaders mungkin saja kembali ke
tindakan mereka menggelapkan pajak. Untuk melengkapi deteksi kewajiban pajak setelah
program tax amnesty berakhir, periode pemeriksaan atas kewajiban perpajakan dapat saja
diperluas, misalnya dengan memperpanjang kadaluwarsa pidana pajak dan penagihan pajak.
Peningkatan pengawasan kewajiban perpajakan setelah program tax amnesty merupakan kunci
dari suksesnya program tax amnesty. Pengawasan kewajiban perpajakan setelah
program tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara melalui pemeriksaan atas wajib
pajak yang masih menggelapkan pajak setelah program taxamnesty berakhir. Untuk itu, otoritas
pajak sebaiknya menyampaikan pesan kepada para tax evaders bahwa mereka tidak akan
menerima ketidakpatuhan tax evaders tersebut di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini juga
dapat mengubah pendapat wajib pajak bahwa otoritas pajak tidak sepenuhnya melakukan
penegakan hukum pajak. Tax evaders mungkin juga akan mengubah perilakunya di masa yang
akan datang karena besar kemungkinan perilaku mereka akan terdeteksi di kemudian hari.
Selain Sunset Policy, Indonesia juga pernah mengeluarkan program pengampunan pajak yaitu
melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 tanggal 18 April 1984. Pengampunan pajak ini
diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan dengan nama dan dalam bentuk apapun
baik yang telah maupun yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak diberi kesempatan untuk
mendapatkan pengampunan pajak.
Pengampunan pajak tersebut diberikan atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum
sepenuhnya dikenakan atau dipungut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun bentuk pengampunannya dikenakan tebusan dengan tarif:
1.
1% (satupersen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya
Keputusan Presiden ini telah memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak
Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984;
2.
10% (sepuluhpersen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung
jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya
Keputusan Presiden ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak
Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984.
Kesimpulan
Indonesia dapat mempertimbangkan untuk melakukan tax amnesty dalam berbagai bentuknya
untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tax amnesty ini juga dapat dipandang sebagai
rekonsilisasi nasional untuk menghapus masa lalu wajib pajak yang tidakpatuh dan perilaku
otoritas pajak yang melanggar aturan.Tax amnesty akan berhasil jika terdapat justifikasi yang
kuat kenapa perlu adanya tax amnesty. Tax amnesty harus dipublikasikan secara masif dengan
pesan agar para penggelap pajak untuk ikut karena setelah tax amnesty akan diberlakukan sanksi
yang tegas bagi mereka yang tidak patuh. Untuk itu, diperlukan juga reformasi kelembagaan DJP
secara bersamaan untuk dapat mendeteksi kecuarangan wajib pajak pasca pemberlakuan tax
amnesty. Disamping itu, untuk membangun kepatuhan sukarela untuk membayar pajak pasca tax
amnesty diharuskan adanya transparansi penggunaan uang pajak (anggaran) serta alokasinya
yang tepat sasaran dan berkeadilan.
[1]
Yond Rizal, Lessons from Indonesian Tax Administration Reform Phase 1 (2001-2008):
Kantor Pajak
Lanskap Internasional
Pada tahun 2013, komunitas perpajakan global sepakat untuk mengadopsi perubahan besar dalam
kebijakan perpajakan global yaitu pertukaran informasi perpajakan secara otomatis.
[2] Kesepakatan ini diwujudkan di tahun 2014, di mana OECD merilis standar pertukaran
informasi keuangan secara otomatis. Standar ini mengganti standar pertukaran informasi
sebelumnya yaitu pertukaran informasi berdasarkan permintaan dan menjadi suatuterobosan
dalam menghadapi keterbatasan pada standar pertukaran informasi berdasarkan permintaan.
Standar baru ini mewajibkan institusi keuangan untuk melaporkan informasi akun keuangan yang
dimiliki oleh wajib pajak luar negeri kepada otoritas pajak tempat mereka berdomisili. Otoritas
pajak tempat domisili insitusi keuangan itu kemudian mentransmit informasi tersebut kepada
negara domisili dari pemegang akun.
Rezim transparansi perpajakan global melalui standar pertukaran informasi secara otomatis ini
didukung oleh banyak negara dalam periode yang tergolong singkat. Lebih dari 90 negara
berkomitmen untuk menerapkan standar baru ini, dan pertukaran informasi secara otomatis
diharapkan akan segera terwujud pada tahun 2017 atau 2018.[3] Negara-negara yang
berkomitmen dalam menerapkan standar ini diantaranya, Swiss, Singapura, dan negara-negara
yang terasosiasi dengan Kerajaan Inggris.
Dengan demikian, kini tiba saatnya bagi era baru dalam transparansi perpajakan global di mana
negara-negara akan memperoleh informasi secara rutin dan otomatis atas aset atau penghasilan
milik wajib pajak dalam negeri mereka yang ditempatkan di luar negeri.
Sementara Italia terakhir menerapkan tax amnesty atas aset yang disembunyikan di luar negeri
pada tahun 2009.[9] Berdasarkan perhitungan Global Financial Integrity, selama tahun 20032012, jumlah illicit financial flows oleh wajib pajak India adalah sebesar USD 439,587 juta.
Sementara itu, menurut perhitungan Global Financial Integrity, selama tahun 2003-2012
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah illicit financial flows kumulatif terbesar
yaitu sebesar USD 187,844 juta.[10]
Desain Umum Ketentuan Tax Amnesty
Pada umumnya, fitur-fitur dalam desain ketentuan tax amnesty terdiri dari siapa yang menjadi
target dari tax amnesty, pajak apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup tax amnesty, apa saja
yang diampuni, prasyarat tax amnesty ke depan, durasi dan dasar hukum tax amnesty. Fitur-fitur
tersebut dapat dijelaskan melalui Tabel 1 di bawah ini.[11]
Desain Ketentuan Tax Amnesty atas Pelaporan Aset dari Luar Negeri Belajar dari Pengalaman
Italia dan Belgia[12]
Tabel 2 berikut ini merupakan contoh desain ketentuan tax amnesty atas pelaporan aset dari luar
negeri yang penulis sarikan dari pengalaman tax amnesty di Italia dan Belgia.
[4]LihatNiels Johannesen dan Gabriel Zucman, The End of Bank Secrecy? An Evaluation of the
G20 Tax Haven Crackdown, dalam American Economic Journal: Economic Policy, (2014)
[5] Vokhid Urinov, Tax Amnesties as a Transitional Bridge to Automatic Exchange of
Information, dalamBulletin for International Taxation, Vol. 69 (2015)
[6] OECD, Offshore Voluntary Disclosure: Comparative Analysis, Guidance, and Policy
Advice, (2010): 11-12.
[7] Benno Torgler dan Christoph A. Schaltegger, Tax Amnesties in Switzerland and Around the
World, dalamTax Notes International, (2005): 1193-1203
[8] Lihat http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-03-04/modi-gives-last-chance-for-indiatax-evaders-in-2-trillion-hunt
[9] Jacques Malherbe, Tax Amnesties in the 2009 Landscape, dalam Bulletin for International
Taxation, (2010): 224-241.
[10] Lihat Dev Kars dan Joseph Spanjers, Illicit Financial Flows from Developing Countries
2003-2012, Global Financial Integrity, (2014), 13
[11]Katherine Baer dan Eric Le Borgne, Tax Amnesties: Theories, Trends, and Some
Alternatives, (Washington: IMF Publication Services, 2008), 9
[12] Jacques Malherbe, Tax Amnesties, (Alphen aan den Rijn: Wolters Kluwer Law and
Business, 2011), 17-39, dan 167-172
Ikuti
Kantor Pajak
Globalisasi telah mendorong perspektif kebijakan pajak dari domestik ke internasional. Artinya,
kebijakan pajak suatu negara tidak bisa lagi dikaji dalam ruang yang terisolasi, namun perlu
mempertimbangkan efek dari kebijakan pajak di negara lain maupun sebaliknya. Globalisasi juga
telah membuat pemajakan atas korporasi (badan usaha) menjadi semakin sulit.
Beberapa poin di bawah ini merupakan catatan ringkas mengenai perkembangan terkini
perpajakan internasional terkait dengan isu globalisasi dan kaitannya dengan perumusan
kebijakan pajak internasional di Indonesia:
1.
Globalisasi memungkinkan mereka untuk memilih lokasi dan skema yang memberikan rate of
return yang tertinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan adanya kompetisi untuk menarik
investasi ke dalam masing-masing yurisdiksi. Kompetisi untuk mendapatkan modal (portfolio
investment maupun foreign direct investment) telah menekan berbagai negara untuk menurunkan
tarif pajak korporasi (terutama di negara maju) ataupun pemberian insentif pajak (negara
berkembang).
Terkait Indonesia, pemerintah telah memberikan rezim investasi pajak, mulai dari tax holiday, tax
allowance,pengembangan KAPET, KEK, dan sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan oleh
banyak negara berkembang, salah satunya Tiongkok. Lalu, bagaimana tingkat kesuksesan insentif
pajak dalam menarik investasi? Berbagai penelitian empiris yang dilakukan menyatakan bahwa
insentif akan semakin elastis terhadap investasi jika prasyarat lain tersedia, misalkan
infrastruktur, potensi pasar, kestabilan politik, dan sebagainya.
Bagi banyak pihak, insentif pajak di negara berkembang (termasuk Indonesia) ditenggarai tidak
terlalu banyak berpengaruh sebagai faktor utama dan justru menjadi unnecessary tax
expenditure. Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak terlalu mengumbar ketentuan tentang
insentif pajak namun tetap fokus pada faktor-faktor lain yang lebih elastis terhadap investasi.
Walau demikian, jika memang arah kebijakan pemerintah tetap berpihak pada insentif, rezim
insentif pajak di Indonesia juga harus mewaspadai dua hal. Pertama, kestabilan rezim insentif
dibutuhkan oleh investor sehingga ketentuan insentif haruslah tidak banyak berubah-ubah, stabil,
dan dapat diprediksi kepastiannya. Kedua, sebaiknya menghindari pemberian insentif pajak yang
berbasis diskresi, namun haruslah disaring dan diuji lewat sistem (rules vs. discretion).
2.
Fakta yang sama juga dapat ditemui jika melihat data di negara berkembang. Investasi asing di
negara-negara seperti Tiongkok, India, Peru ataupun Filipina bersumber terutama dari namanama: Hong Kong, Panama, Cayman Island, Swiss, Luxembourg, dan sebagainya.
Jika ditelaah lebih lanjut, sepertinya tidak terdapat substansi ekonomi yang besar dari negaranegara tersebut. Di sisi lain, mereka justru seringkali menjadi tempat persinggahan aliran dana
global sebelum diinvestasikan ke negara berkembang, terutama untuk motivasi tax saving.
Oleh karena itu, data investasi asing ini harusnya dapat dipahami sebagai indikasi adanya upaya
untuk melarikan pajak, baik dengan caranya yang sederhana maupun dengan skema yang
semakin kompleks. Keterlibatan preferential tax regime dalam global value chain perusahaan
multinational yang beroperasi di Indonesia harus dilihat sebagai risiko bagi penerimaan PPh
Badan. Saat ini upaya memerangi harmful tax competition oleh preferential tax regime sedang
dibangun oleh OECD, lewat BEPS Action Plan 5.
3.
selain itu manfaat lebih banyak didapatkan oleh negara-negara maju (atau tax haven). Saat
ini, bilateral tax treaties justru banyak dimanfaatkan untuk treaty shopping, yaitu upaya
meminimalkan pajak dengan cara memanfaatkan treaty network yang dimiliki suatu negara
dengan negara lain, terutama jika network tersebut juga melibatkan tax haven.
Indonesia, saat ini memiliki lebih dari 60Perjanjian Penghindran Pajak Berganda (P3B) dengan
negara lain. Suatu jumlah yang besar untuk negara berkembang. Untuk meminimumkan
risiko treaty shopping, maka Indonesia perlu melakukan renegoisasi P3B untuk dapat memasukan
Pasal yang menyangkut pembatasan penggunaan P3B bagi mereka yang melakukan
penyimpangan dari tujuan diadakannya P3B, yaitu Pasal tentang Limitation on Benefit (LoB).
Walau demikian, penting untuk dicatat bahwa renegosiasi P3B memang tidak mudah dan
membutuhkan waktu yang panjang. Saat ini, upaya untuk memasukkan klasul tentang anti-treaty
abusejuga disarankan oleh OECD, dalam BEPS Action Plan 6.
4.
Skema tax avoidance yang paling popular adalah profit shifting strategies, yang pada umumnya
bermuara pada 2channels, yaitu: manipulasi transfer price dan debt shifting. Profit shifting
strategies merupakan upaya meminimalkan beban pajak dengan cara mengalihkan laba
perusahaan ke perusahaan afiliasi yang berkedudukan di negara dengan tarif pajak yang lebih
rendah (atau memaksimalkan beban di tempat dengan tarif pajak yang lebih tinggi).
Dengan kata lain, profit shifting strategies sensitif terhadap perbedaan tarif pajak. Berbagai
penelitian empiris, baik secara global, multinasional Amerika, multinasional Jerman, dan di EU
telah memperlihatkan bahwa semakin tinggi perbedaan tarif antara satu negara dengan negara
mitra, akan menyebabkan laba yang dilaporkan oleh perusahan semakin kecil.
Kini tarif PPh Badan di Indonesia sebesar 25% dan telah diturunkan dari level 30% (2008) dan
28% (2009). Angka ini masih di atas rata-rata dunia (23.6%) dan Asia (21.9%). Walau demikian,
perlukah Indonesia menurunkan tarif PPh Badan-nya? Jawabannya, tidak. Argumennya adalah:
selama masih ada preferential tax regime (terutama di kawasan ASEAN, yaitu Singapura); maka
upaya menurunkan tarif PPh Badan tidak akan berakibat banyak bagi upaya menghambat pelarian
laba, namun justru penerimaan pajak dari korporasi semakin mengecil. Penjelasan di atas juga
telah menjawab tidak perlunya pertimbangan untuk menaikkan tarif PPh Badan demi mengejar
target semata.
6.
Walau demikian, terdapat usulan fundamental untuk menyeimbangkan treatment pajak atas utang
dan dividen yaitu allowance on capital equity (ACE)dan comprehensive business income
tax (CBIT), yang lagi-lagi sangat tergantung dari kemauan untuk koordinasi baik antar negara
maupun dengan sektor finansial. Komposisi utang swasta yang besar juga dapat mempengaruhi
neraca pembayaran pemerintah ataupun kestabilan nilai rupiah.
Bagi Indonesia, upaya yang rasional dalam mengatur praktik excessive debt (yang kemudian
menjadi excessive interest payment) adalah menciptakan aturan penangkal sebagai disinsentif,
atau thin capitalization rule.Indonesia, saat ini tidak memiliki aturan tersebut.
Thin cap rule pada umumnya dapat berupa: ketentuan batas (rasio) antara komposisi utang
dengan modal, ataupun mengacu pada komposisi yang dianggap wajar/arms length(ALP).
Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.
Debt to equity ratio lebih memberikan kepastian dan biaya kepatuhan-administrasi yang rendah;
namun dianggap tidak adil karena setiap sektor industri memiliki kebutuhan permodalan yang
berbeda. Di sisi lain upaya mengacu pada komposisi yang wajar justru dianggap lebih adil karena
merefleksikan situasi pasar, namun memiliki biaya kepatuhan-administrasi yang lebih besar.
Penelitian empiris yang dilakukan oleh Blouin, Huizinga, et.al (2014) di 54 negara telah
menunjukkan bahwa thin cap rules yang didasarkan pada DER lebih efektif dalam merubah
komposisi struktur pendanaan perusahaan multinasional (utang lebih berkurang). Urgensi untuk
mengatur hal ini harus diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berdasarkan pada suatu DER
tertentu (bagi perusahaan finansial mungkin DER bisa lebih tinggi), namun juga
memperbolehkan jika wajib pajak ingin membuktikan kewajaran komposisi pendanaannya
melalui aplikasi arms length principle (model di Tiongkok).
Hal lain yang perlu dipertimbangkan (efek samping) dari peraturan ini adalah dapat terganggunya
rencana pemerintah untuk permodalan berbagai proyek besar (baik publik maupun privat). Thin
capitalization rule(interest limitation rule) juga sedang dikaji oleh OECD dalam BEPS Action
Plan 4.
7.
memiliki ketentuan berbasis ALP dan 54 di antaranya memiliki ketentuan atas kewajiban transfer
pricing documentation bagi perusahaan multinasional).
Banyak penelitian telah menyebutkan angka yang fantastis akibat dari manipulasi TP di berbagai
negara, termasuk Indonesia (misalkan Christian Aid menyebutkan kerugian sebesar Rp 10 triliun
bagi Indonesia selama 2005-2007). Walau demikian, penting untuk dicatat bahwa studi-studi
tersebut tidak andal dan kurang kuat dalam metodologi estimasinya. Terlepas dari hal tersebut,
fakta bahwa 70% dari perdagangan internasional berasal dari transaksi afiliasi maka sudah
sewajarnya transfer pricing menjadi fokus bagi Indonesia.
Pentingnya hal ini juga ditunjukkan oleh banyaknya action plan tentang transfer pricing dalam
OECD BEPS project, yaitu empat. Tiga di antaranya lebih kepada substansi persoalan di transfer
pricing, yaitu alokasi profit yang lebih adil yang mengacu padavalue creation atas:substansi,
risiko, dan intangibles. Hal ini juga terutama untuk menjawab berbagai sengketa transfer
pricing yang selama ini terjadi. Bagi Indonesia, usulan final yang akan diajukan oleh OECD di
September 2015 nanti dapat dipergunakan sebagai acuan dalam merevisi berbagai ketentuan
mengenai transfer pricing, terutama dalam konteks barang tidak berwujud.
Selain itu, rekomendasi OECD akan mencakup juga atas perhitungan ALP atas produk komoditas
yang selama ini belum jelas penerapannya. Klausul safe harbor yaitu nilai rasio margin ambang
batas (bawah atau atas) dari suatu transaksi juga dapat dipergunakan di Indonesia. Selama ini
terdapat beberapa persoalan terhadap sulitnya untuk mencari pembanding, padahal bisa saja
transaksi afilasi yang dilakukan skemanya sederhana dan nilainya kecil; adanya safe harbor akan
memberikan kepastian bagi beberapa industri atau transaksi tertentu.
Walau demikian, hendaknya Indonesia tidak hanya melihat dari output OECD saja, namun juga
melihat output United Nations dalam project transfer pricing. UN memberikan perspektif negara
berkembang, misalkan tentang bagaimana menegakkan peraturan transfer pricing atau
aplikasi arms length principle (ALP) di tengah administrasi pajak yang masih belum sedemikian
baik serta upaya tidak terlalu membebani sektor bisnis di negara mereka.
Globalisasi, Kewajiban Disclosure untuk Skema Tax Planning dan Burden of Proof
Adanya keinginan untuk membatasi tax benefit yang didapatkan dari aktivitas penghindaran
pajak juga dapat dilakukan dengan cara kewajiban disclosure perencanaan pajak (tax planning)
perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Hal ini juga merupakan salah satu hal
yang sedang dikaji oleh OECD dalam BEPS Action Plan 12. Walau demikian, sebelum terdapat
kewajiban disclosure tersebut, definisi dan batasan mengenai apa yang dimaksud
dengan: defensive tax planning, aggressive tax planning, tax avoidance, abusive tax
planning,ataupun tax saving dan tax benefit perlu untuk diklarifikasikan lebih lanjut dalam
ketentuan yang lebih tinggi, misalkan dalam UU.
Selain itu, dalam konteks terjadinya aggressive tax planning yang transaksinya melibatkan
negara-negarapreferential tax regime perlu untuk membuat aturan tentang burden of proof berada
di wajib pajak.
9.
namun juga persoalan mengenai baik buruknya ekspektasi usaha (kestabilan politik, pasar,
korupsi, dan sebagainya).
Kedua, adanya insentif pajak terutama bagi reinvestasi pada sektor-sektor yang berorientasi
ekspor dan padat karya bisa jadi berpengaruh, namun tidak berkelanjutan. Pengalaman di
Amerika Serikat dalam kebijakanrepatriation tax holiday di tahun 2004 dapat dijadikan contoh
(pengenaan tarif hanya sebesar 5.25% jika dividen tidak dialirkan ke luar). Pasca ketentuan
tersebut terdapat lonjakan modal asing yang masuk, reinvestasi, dan dividen ditahan di dalam.
Namun, setelah 2005 neraca pembayaran kembali ke pola semula. Artinya, walau kebijakan ini
cukup dapat menarik dana asing (menahan dana asing ke luar) dalam waktu singkat; namun, tidak
bertahan lama. Kebijakan ini menimbulkan moral hazard di mana mereka menunggu untuk
kebijakan selanjutnya.
Ketiga, menahan repatriasi dividen dalam bentuk insentif pajak juga sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pajak negara di mana induk beroperasi, misalkan adanya CFC rule.
11. Globalisasi dan Kajian Dampak Perpajakannya
Di Indonesia, kajian mengenai kebijakan pajak internasional dan bagaimana dampaknya terhadap
perekonomian, perilaku perusahaan multinasional, dan penerimaan pajak masih jarang dilakukan.
Padahal, mengacu pada poin-poin sebelumnya, hal tersebut sangat dibutuhkan.
Apakah kita mengetahui pola penghindaran pajak di Indonesia? Bagaiman efek dari perubahan
tarif pajak dalam kompetisi investasi serta komparasinya dengan ASEAN? Perlukah kita masuk
ke dalam yardstick competition? Bagaimana imbas penandatanganan P3B, apakah lebih banyak
merugikan atau menguntungkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya segelintir dari
ketidaktahuan kita.
Di Indonesia, masih sangat jarang adanya pihak di luar pemerintah yang peduli dengan isu
kebijakan pajak, terlebih isu kebijakan pajak internasional. Untuk itu ke depan, perlu untuk
mendorong kajian-kajian yang menyangkut telaah kebijakan perpajakan internasional dan
dampaknya dalam kontek penerimaan pajak Indonesia.
IkatanAkuntan Indonesia (IAI). Advanced Master International Taxation dari European Tax
College (Tilburg University danKatholiekeUniversiteit Leuven).
Dewasa ini, Pemerintah Indonesia semakin bergantung kepada penerimaan perpajakan sebagai
sumber pembiayaan pembangunan negara. Di periode 1970-an, proporsi pendapatan dari sektor
perpajakan hanyalah sebesar 40%, namun kini telah mencapai 85%.
Ketergantungan yang tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari tidak mampunya sumber-sumber
pendapatan lain terutama dari sektor perdagangan internasional untuk migas dan juga hibah
sebagai penopang pendapatan atau dengan kata lain tidak lagi sustainable.
Liberalisasi perdagangan, menurunnya cadangan minyak, serta lesunya aktivitas negara donor
menjadi faktor-faktor yang mendorong semakin pentingnya sumber pembiayaan dalam negeri
melalui pajak.
Pertanyaannya adalah: Seberapa siapkah Indonesia dalam membiayai pembangunannya dari uang
pajak? Jawaban atas hal tersebut tentu saja dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu (i) aspek
internal yang bisa dikendalikan pemerintah mulai dari kebijakan pajak, peraturan (hukum) pajak,
administrasi pajak, tingkat kepatuhan, kelembagaan otoritas pajak, maupun (ii) aspek eksternal
yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah misalnya kondisi perekonomian dunia.
Walau demikian, terdapat satu elemen yang seringkali luput dari observasi kita, yaitu kesiapan
sumber daya manusia dalam sektor pajak. Kesiapan sumber daya manusia bisa menjamin
prasyarat terbentuknya masyarakat pajak (tax society) yang cerdas dan kritis, yang memiliki
keinginan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta mengetahui hak-hak dan kewajiban
mereka dalam perpajakan.
Dengan demikian, visi pembiayaan pembangunan yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)
bukan lagi sebagai suatu utopia semata.
Walau terkesan sederhana, pendidikan pajak justru akan memainkan peranan kunci terutama
dalam menghasilkan masyarakat melek pajak serta ketersediaan sumber daya manusia yang
berkualitasdi sektor perpajakan Indonesia.
Sistem pendidikan pajak dalam artikel ini diletakkan dalam arti luas, namun analisisnya lebih
dititikberatkan pada pendidikan tinggi formal (pengajaran pajak di perguruan tinggi).
Pembahasan akan mencakup aspek-aspek terkait kurikulum, fasilitas penunjang, pendekatan
pendidikan pajak yang menyesuaikan dengan tantangan sektor pajak hingga pentingnya
pembekalan kode etik.
Penulis juga akan menyertakan pentingnya matching antara pasar tenaga kerja dan jenis
pendidikan ahli pajak.
1. Arah Perkembangan Pajak Kini dan Masa Mendatang
Membicarakan tentang pendidikan pajak pastilah harus pertama-tama diletakkan dalam konteks
dinamika perpajakan di masa kini dan mendatang. Pemerintah saat ini sangat mengandalkan
pajak sebagai primadona dalam membiayai program-program pembangunan yang
direncanakannya.
Dalam APBN-P 2015, penerimaan pajak ditargetkan mencapai 87% dari seluruh penerimaan
perpajakan.[2]Sementara untuk tahun 2016, Sementara untuk tahun 2016, penerimaan pajak
ditargetkan sebesar Rp 1.368,5 triliun atau naik sebesar 5,7% dari target penerimaan pajak di
tahun 2015.[3] Sementara pada kurun waktu 2017-2019, Pemerintah mentargetkan penerimaan
pajak tumbuh sebesar 15,8% per tahun.
Untuk mencapai target penerimaan tersebut, Pemerintah melaksanakan ekstensfikasi perpajakan
dengan menambah jumlah Wajib Pajak. Dalam kurun waktu 2010-2014, terdapat peningkatan
jumlah Wajib Pajak yang siginifikan, di mana setiap tahunnya terdapat kenaikan rata-rata jumlah
Wajib Pajak sebesar 34% setiap tahunnya.[4]
Tidak hanya itu, perkembangan pajak di Indonesia yang sedemikian cepat dan menarik perhatian
juga mencakup isu-isu seperti berikut ini:
Rezim perpajakan global yang ditandai dengan mekanisme pertukaran informasi pajak
secara otomatis antar negara telah disepakati oleh lebih dari 90 negara,[6] termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi multilateral (Multilateral Convention on
Mutual Administrative Assistance in Tax Matters) sebagai wujud implementasi dari penggunaan
standar transparansi dan pertukaran informasi serta bantuan administratif lainnya, seperti bantuan
penagihan pajak dan pemeriksaan bersama antar otoritas pajak. Pada tahun 2018, Pemerintah
Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis tersebut.
Akses data perbankan secara otomatis mutlak diperlukan untuk mewujudkan kesepakatan
multilateral ini.
Kerjasama multilateral untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui Base Erosion
and Profit Shifting Project (BEPS) yang diinisiasi oleh negara anggota G20 dan OECD.[9]
[1]
Banyak negara berkembang, saat ini mulai mengembangkan upaya edukasi pajak dalam
Penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.294,26 triliun dari total penerimaan perpajakan
[4]
[5]
Dukung Program Tahun Pembinaan 2015,Inside Tax Edisi 31, (2015): 34-35.
[8]
Darussalam, Tax Amnesty dalam Rangka Rekonsiliasi Nasional, Inside Tax Edisi 26
(2014): 14-19.
[9]
[10]
Hal ini diangkat sebagai tajuk utama Inside Tax Edisi 28, (2015).
[11]
OECD, Report on Offshore Voluntary Disclosure Program, (Paris: OECD Publishing, 2010).
[12]
Kontan, 13 Februari 2015, Revisi UU Pajak masuk daftar 37 RUU prioritas 2015. Dapat
diakses padahttp://nasional.kontan.co.id/news/revisi-uu-pajak-masuk-daftar-37-ruu-prioritas2015.
[13]
Memperjelas Ketidakpastian bagi Wajib Pajak, Inside Tax Edisi 23 (2014): 8-11, 40-43.
[16]
Lihat misalkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.05/2015 tentang jenis jasa
Pertama, melalui pendidikan dasar. Pendidikan dasar dapat diartikan sebagai penyebaran
pengetahuan tentang pajak di jenjang pendidikan formal pada tingkat primary,
secondary, dan tertiary (sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas).
Penyebaran pengetahuan tersebut bukan melalui kehadiran mata pelajaran perpajakan, namun
adanya muatan tentang pentingnya pajak.[2] Target dari penyebaran pengetahuan pajak lewat
pendidikan dasar adalah supaya terdapat mental dan kesadaran mengenai pajak sehingga pajak
menjadi hal yang tidak asing lagi.[3]
Dalam pendidikan dasar, sumber daya manusia perpajakan haruslah diletakkan dalam konteks
bahwa setiap warga negara nantinya harus memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai
pembayar pajak. Berbagai negara telah memulai pendidikan pajak di usia dini.
Ketiga, pendidikan non-formal. Pendidikan non-formal pajak fokus pada upaya pengembangan
keterampilan dan kemampuan peserta pendidikan ataupun sebagai prasyarat dari profesi tertentu,
melalui pelatihan ataupun kursus.
Sifat dari pendidikan non-formal biasanya tidak memiliki sistematika yang baku dan hanya fokus
pada suatu area tertentu (belum tentu mencakup segala aspek dalam perpajakan). Di Indonesia,
sebagian besar pendidikan non-formal di sektor pajak berupa Brevet A hingga C dalam rangka
untuk meraih sertifikasi konsultan pajak.
Terakhir, pendidikan tinggi formal. Pendidikan tinggi pada umumnya berupa pendidikan pasca
sekolah menengah atas yang memiliki sistematika baku dan bertujuan untuk menyiapkan tenaga
ahli di suatu bidang tertentu yang nantinya akan menjadi profesional dan mengembangkan
disiplin ilmu tersebut. Hal ini bisa lewat program vokasi maupun reguler (S-1 dan pasca sarjana).
Pendidikan dasar dan edukasi serta sosialisasi pajak berperan besar dalam membentuk apa yang
disebut sebagai culture of compliance. Akan tetapi, jika upaya pendidikan pajak di Indonesia
hanya terbatas pada upaya membentuk culture of compliance, maka kita hanya memiliki
individu-individu yang mengekor tanpa adanya kritik dan diskursus akademis mengenai suatu
hukum pajak.
Baik pendidikan dasar dan edukasi serta sosialisasi tidak dimaksudkan untuk membentuk
seseorang menjadi ahli dalam hal perpajakan. Ahli di bidang pajak merupakan output dari
pendidikan tinggi formal dan pendidikan non-formal perpajakan.
Terlepas dari peran strategis dari pendidikan dasar serta sosialisasi pajak oleh pemerintah, ahli di
bidang perpajakan akan memainkan peranan yang lebih vital dalam mempengaruhi seluk beluk
sektor perpajakan, baik dari sisi kebijakan, interpretasi, perumusan hukum, advokasi, sengketa
pajak serta hal-hal mengenai upaya memenuhi kepatuhan pembayar pajak.
3. Pasar Tenaga Kerja Ahli Perpajakan: Insentif Pengembangan Pendidikan Pajak
Investasi untuk menjadi ahli perpajakanpada dasarnya sangat terkait dengan (i) ekspektasi atas
ketersediaan tenaga kerja, (ii) bagaimana pekerjaan tersebut dapat menjamin penghasilan ahli
pajak tersebut di masa mendatang, dan juga (iii) bagaimana regulasi pemerintah terkait dengan
pengaturan profesi pajak sebagai kuasa hukum Wajib Pajak. Ketiga hal tersebut merupakan
insentif yang mendorong ketersediaan supply ahli pajak.
Dari sisi ketersediaan lapangan kerja dipastikan bahwa terdapat permintaan yang semakin tinggi
dari pasar tenaga ahli perpajakan, baik untuk sektor publik dan privat. Target tax ratio sebesar
16% di tahun 2019[9] dan di sisi lain terdapat rasio jumlah pegawai pajak dan jumlah penduduk
yang masih rendah[10] akan mendorong pemerintah pusat untuk melakukan rekrutmen tenaga
ahli perpajakan.
Hal tersebut juga didukung oleh rencana transformasi kelembagaan otoritas pajak yang
pengangkatan pegawai pajak nantinya lebih fleksibel dan tidak lagi bergantung dari skema
maupun kuota pengangkatan pegawai negeri.
Sumber: direkonstruksi dari George Borjas, Labor Economics, (Boston: McGraw-Hill, 2000),
162
Di sisi lain, perhatian pemerintah juga akan mendorong permintaan jasa ahli pajak dari para
pembayar pajak yang akan digunakan sebagai pegawai perusahaan (in-house) maupun konsultan
pajak (outsource).
Secara bersamaan, meningkatnya perhatian pemerintah juga akan membuka jalan bagi
dibutuhkannya jasa dari lembaga riset perpajakan, pengamat, lembaga swadaya masyarakat, serta
jasa-jasa ahli lainnya yang terkait dengan perpajakan (kuasa hukum, akuntan, dan sebagainya).
Ditinjau dari sisi return yang bisa didapatkan, terdapat kecenderungan semakin meningkatnya
upah di sektor pajak. Kecenderungan ini merupakan hasil melonjaknya permintaan yang tidak
dapat diimbangi oleh supply ahli pajak (lihat Gambar 1).
Sebagai akibatnya, terjadi excess demand yang menciptakan titik keseimbangan baru
(equilibrium) di mana upah meningkat dari WI menjadi W*. Kecenderungan tersebut juga sejalan
dengan biaya yang timbul dari risiko perpajakan (sengketa hingga risiko reputasi)
akibat concern pemerintah yang semakin tinggi.
Telah menjadi rahasia umum, sebelum tahun 2015, renumerasi yang diterima ahli pajak di sektor
swasta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pemerintah. Sebagai akibatnya, selama ini
kerap terjadi migrasi ahli pajak dari sektor publik ke swasta.
Walau demikian, terdapat tren peningkatan upah ahli pajak di sektor pemerintah, yang
menunjukkan tren meningkat ditunjukkan dengan meningkatnya remunerasi pegawai Ditjen
Pajak di awal tahun ini sebagai tahapan menuju Badan Penerimaan Pajak (BPP).[12]
Kenaikan remunerasi ahli pajak di sektor pemerintah, akan direspon dengan tingginya
tawaran benefit di sektor privat dalam rangka menjaga ketersediaan sumber daya manusia. Oleh
karena itu, pada akhirnya nilai jasa ahli pajak semakin meningkat bukan semata-mata
karena labor supply yang terbatas, namun juga karena lingkungan memberikan value yang lebih
tinggi bagi ahli perpajakan tersebut.
"Oleh karena itu, pada akhirnya nilai jasa ahli pajak semakin
meningkat bukan semata-mata karena labor supply yang
terbatas, namun juga karena lingkungan memberikan value
yang lebih tinggi bagi ahli perpajakan tersebut"
Terkait dengan regulasi pengaturan tentang pihak yang akan menjadi kuasa Wajib Pajak untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan di Indonesia mengalami pasang surut dalam
perkembangannya sebagai berikut ini:[13]
1.
1.
1.
Dari Tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lulusan perpajakan dari perguruan tinggi tidak
diberi prioritas untuk bisa menjadi kuasa Wajib Pajak dibandingkan dengan lulusan non-pajak.
Bahkan dalam PMK-229 Tahun 2014, bagi karyawan yang akan menjadi kuasa Wajib Pajak di
tempatnya bekerja, lulusan D III pajak disetarakan dengan lulusan brevet dari suatu lembaga
kursus perpajakan.
Akan tetapi, dalam PMK-111 Tahun 2014, lulusan S1 di bidang perpajakan bisa mendapatkan
Sertifikat Konsultan Pajak secara langsung tanpa melalui ujian, tetapi sebatas Tingkat A. Untuk
itu perlu perubahan regulasi tentang kuasa Wajib Pajak yang bisa mendorong perguruan tinggi
untuk mengembangkan jurusan perpajakan.
Usulan penulis terkait dengan hal ini adalah menempatkan lulusan perpajakan dari suatu
perguruan tinggi, dengan suatu persyaratan tertentu, untuk dapat langsung mendaftarkan diri
menjadi kuasa wajib tanpa ujian sertifikasi (jalur otomatis). Namun, agar tidak terjadi monopoli
dari lulusan bidang perpajakan, lulusan non-perpajakan dari perguruan tinggi tetap bisa menjadi
kuasa Wajib Pajak melalui jalur penyetaraan. Sedangkan untuk pensiunan pegawai pajak, dapat
menjadi kuasa Wajib Pajak dari jalur penghargaan. Usulan tersebut dapat dirangkum dalam
gambar berikut ini
Akibatnya, daya saing perguruan tinggi sempat menurun karena mengikuti kelas Brevet Pajak
jelas lebih praktis dan menguntungkan di mana seseorang dengan biaya dan waktu lebih sedikit
dapat memiliki kesempatan masuk ke pasar tenaga kerja yang sama. Untungnya, peraturan
tersebut kini telah direvisi. Saat ini orang perseorangan yang telah memiliki ijazah Strata 1 (S-1)
atau Diploma IV program studi perpajakan dari perguruan tinggi berhak memperoleh Sertifikat
Konsultan Pajak tingkat A tanpa harus melalui ujian sertifikasi,[15] akan tetapi ini-pun belum
cukup.
Kedua, persaingan antara kedua jenis pendidikan tersebut juga dipengaruhi oleh kualitas
perguruan tinggi. Berdasarkan pengamatan penulis, pendidikan perpajakan yang dikembangkan
di perguruan tinggi sebagian besar hanya mempelajari teknis perhitungan ketentuan pajak
domestik (hukum positif) Indonesia, dan muatan materi perpajakannya hanya sekitar +/- 60%
dari total materi yang mereka pelajari.
Akibatnya, banyak mahasiswa perguruan tinggi yang ingin berkarir di bidang perpajakan merasa
tidak perlu mengambil program studi perpajakan di perguruan tinggi karena materi yang mereka
terima tidak berbeda jauh dengan program yang ditawarkan oleh kursus-kursus Brevet Pajak.
Di lain pihak, bagi calon mahasiswa yang telah mempunyai dasar-dasar pengetahuan perpajakan
yang ingin memperdalam pengetahuan perpajakannya juga akan ragu-ragu untuk mengikuti
program studi perpajakan tingkat lanjutan karena ilmu yang akan mereka dapatkan juga tidak
akan berbeda jauh dengan praktek keseharian mereka. Singkatnya, kehadiran lembaga pendidikan
pajak non-formal adalah indikasi dari kelemahan perguruan tinggi yang lamban mengikuti
perkembangan keilmuan pajak sekaligus bisnis pendidikan pajak.
menyelesaikan masalah-masalah praktik perpajakan apalagi masalah yang terkait dengan hukum
dan kebijakan perpajakan.
Persepsi dari pengguna jasa tersebut sulit untuk diubah secara cepat dan tergantung dari
pengalaman mereka atas kiprah dari ahli pajak yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Persaingan di antara kedua jenis pendidikan tersebut sebaiknya dimenangkan oleh perguruan
tinggi. Kata kuncinya terletak pada perbaikan kurikulum dan hal-hal lain yang dapat menciptakan
daya saing perguruan tinggi. Jika tidak, permintaan akan lembaga pendidikan pajak justru akan
menghasilkan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan pajak non-formal dan migrasi calon
ahli pajak ke pendidikan non-formal tidak dapat dihindarkan.
(Bersambung)
[1]
OECD, Building tax Culture, Compliance and Citizenship: A Global Source Book of
Pendapat ini disampaikan oleh Kismantoro Petrus, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan
Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak periode 2011-2014. Lihat Inside Tax Edisi 15 (2013), 14-15.
[3]
[4]
OECD, Building tax Culture, Compliance and Citizenship: A Global Source Book of
OECD, Building tax Culture, Compliance and Citizenship: A Global Source Book of
[7]
OECD, Building tax Culture, Compliance and Citizenship: A Global Source Book of
Citizenship: A Global Source Book of Taxpayer Education (Paris: OECD Publishing, 2015).
[9]
[10]
Di tahun 2012, rasio jumlah pegawai pajak dengan jumlah penduduk adalah 1 : 7.700,
bandingkan dengan Jepang (1 : 1.818), atau Jerman (1:727). Lihat Gambaran Kondisi Organisasi
Ditjen Pajak: Komparasi dengan Negara Lain, Inside Tax Edisi 18 (2013).
[11]
[12]
Kompas, 23 Maret 2015, Tak Naik Gaji 7 Tahun, Pantaskah Tunjangan Triliunan Rupiah
Darussalam dan Danny Septriadi, Ada Apa Dibalik ketentuan Kuasa Wajib
[15]
9 dan 10.
5. Re-desain Kurikulum Pendidikan Pajak di Perguruan Tinggi?
5.1. Gambaran Umum
Di Indonesia, pada umumnya ilmu pajak diajarkan lewat kurikulum yang ada di fakultas hukum
atau fakultas ekonomi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Belgia.[1] Hingga saat
ini, hanya segelintir perguruan tinggi yang berani membuka program studi khusus perpajakan,
misal di Universitas Indonesia, Universitas Brawijaya, STAN, STIAMI, dan STPI.
Dengan semakin cepatnya perkembangan perpajakan di Indonesia seperti penulis kemukan di
bagian 2 dan semakin tingginya lalu lintas barang, orang, modal, dan jasa antar negara; maka,
apabila perguruan tinggi yang mempunyai program studi perpajakan tidak mereformasi diri
mengembangkan kurikulumnya pasti tidak akan dapat menjawab perkembangan yang terjadi
tersebut.
Tuntutan mahasiswa program studi perpajakan tentunya juga akan berubah sejalan dengan
perkembangan pajak. Tuntutan mereka tidak lagi hanya sekedar tahu apa dan bagaimana
mekanisme hukum pajak domestik Indonesia bekerja untuk memajaki para Wajib Pajak, tetapi
mereka juga ingin tahu hal-hal seperti bagaimana desain sistem perpajakan, konstitusi dan hukum
yang mengatur pengenaan pajak terhadap rakyatnya, aspek pajak internasional, kerangka tax
planning, hingga bagaimana kaitan pajak dengan lingkungan hidup.[2]
Sementara di Indonesia, kasus-kasus pajak tidak banyak dibahas di kelas-kelas pajak. Metode
pembelajaran yang lebih menekankan pada hukum positif merupakan salah satu penyebab kasuskasus pajak tidak banyak mendapat tempat dalam kelas dant tidak dijadikan bahan acuan dalam
kajian-kajian akademis.
Pemahaman atau kemampuan untuk menelaah what beyond the rules juga akan mendorong
setiap ahli di bidang perpajakan untuk berbicara dalam bahasa yang sama yaitu bahasa keilmuan
dan bukan atas dasar kepentingan. Dengan demikian, segala perdebatan, sengketa, serta
interpretasi dapat dikaitkan dengan: (i) sejauh mana hukum pajak telah disusun dan dilaksanakan
sesuai dengan maksud dan tujuannya; serta (ii) sejauh mana hukum pajak telah disusun dan
dilaksanakan sesuai dengan perkembangan aktivitas ekonomi, perkembangan keilmuan dan best
practice di berbagai negara.
Pengalaman di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan untuk melakukan interpretasi satu
peraturan perundang-undangan secara subyektif tergantung pada posisi mana ahli pajak tersebut
berpijak.
5.4. Corporate Governance dalam Pajak
Dewasa ini, aktivitas penghindaran pajak ditenggarai semakin meningkat di mana ahli pajak yang
berprofesi sebagai konsultan pajak sering dituding sebagai promotor. Abusive corporate tax
shelters kian berkembang pesat dan menjadi isu yang serius.[13]
Sejatinya, sebagian besar konsultan pajak membantu klien mereka untuk menghindari kesalahan
dan mencegah mereka untuk terlibat dalam kegiatan melanggar hukum atau melakukan kegiatan
yang terlalu agresif.[14]
Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa keahlian yang dimiliki oleh konsultan pajak juga
dapat disalahgunakan untuk membantu klien dalam memanfaatkan peluang untuk melakukan
ketidakpatuhan.[15]
Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakurai dan Braithwaitemenunjukkan
bahwa terdapat kepatuhan pajak yang lebih rendah dan penggunaan strategi penghindaran pajak
yang lebih agresif ketika Wajib Pajak menggunakan jasa konsultan pajak. Hal ini merupakan
temuan yang mengundang perdebatan, di tengah peran konsultan pajak sebagai agen pemerintah
dalam mengumpulkan pajak atau lebih condong sebagai agen penasihat klien.[16]
Untuk menghindari aktivitas penghindaran pajak yang agresif, calon ahli pajak tidak hanya perlu
dibekali dengan profesionalisme namun juga integritas. Selama ini, tata kelola bisnis (corporate
governance) dan pajak menjadi dua ranah yang terpisah dan belum banyak diperdalam.
Kualitas pengajar harus dijaga dan ditingkatkan dengan program pengembangan keilmuan bagi
mereka. Mereka juga harus dituntut untuk selalu melakukan inovasi dan penelitian dengan
didukung oleh fasilitas, remunerasi, serta ketersediaan dana riset yang sangat memadai.
Penutup
Banyak cara atau terobosan yang bisa dipergunakan untuk mencapai penerimaan pajak yang
berkualitas dan berkesinambungan. Walau demikian, banyak pihak melupakan peranan penting
dari dunia pendidikan pajak.
Pendidikan dapat merubah mindset serta tax morale masyarakat, sehingga dengan demikian dapat
menciptakan masyarakat melek pajak. Pendidikan pajak juga penting untuk mencetak ahli-ahli
pajak yang nantinya dapat berkiprah dalam membentuk sistem perpajakan yang ideal.
Terdapat dua hal yang mendorong permintaan pendidikan pajak, yaitu: (i) lingkungan perpajakan
Indonesia kini telah berubah drastis dan (ii) prospek pasar tenaga kerja ahli pajak.
Masalahnya adalah apakah perguruan tinggi Indonesia bisa menangkap perubahan ini bisa
sebagai suatu peluang untuk mendirikan dan/atau mengembangkan program studi perpajakan
yang berbeda dengan program studi perpajakan yang ada selama ini, yaitu yang masih
berorientasi kepada teknis perhitungan dan terbatas pada ruang lingkup ketentuan perpajakan
domestik. Tanpa adanya suatu jalan baru pendidikan pajak di perguruan tinggi, peluang
tersebut akan diambil oleh lembaga pendidikan non-formal.
Jalan baru tersebut bisa dimaknai dalam berbagai hal. Pertama, mempelajari perpajakan tidak bisa
lagi terkotak-kotak berdasarkan masing-masing disiplin ilmu, mempelajari pajak tidak lagi
sekedar mempelajari ketentuan perpajakan domestik saja.
Sudah saatnya mempelajari pajak dengan pendekatan multi disiplin ilmu, studi perbandingan
dengan negara lain, dan menelaah kasus-kasus pajak. Selain itu, perguruan tinggi juga harus
memegang teguh nilai-nilai etika,corporate governance, berbasis riset dan menjunjung tinggi
kerangka keilmuan.
Seluruh hal tersebut harus didukung oleh ketersediaan staf pengajar yang berkualitas serta
infrastruktur yang berupa akses data, literatur, perbaikan remunerasi, dan juga dana riset.
[1]
1999): 119.
[2]
Lihat Anuschka Bakker, Tax and the Environment: A World of Possibilities, (Amsterdam:
C. McCrudden, Legal Research and the Social Science, Law Quarterly Review 122
Michael A. Livingston, Reinventing Tax Scholarship: Lawyers, Economists and the Role
Seperti dikutip dari Andrew Park, Tax Law in and after the Wheatcroft Era dalam R.
Rawlings (ed), Law, Society and the Economy. (Oxford: Clarendon Press, 1997), 131-145.
[6]
Victor Thuronyi, Comparative Tax Law, (The Hague: Kluwer Law International, 2003), 6.
[7]
[8]
Rene Niessen, Netherlands European Tax Education, European Taxation Maret 1999:
130.
nterdisciplinary Approach to Research, (Oxford: Oxford University Press, 2004), 4-7.[9]
Victor Thuronyi, Comparative Tax Law, (The Hague: Kluwer Law International, 2003), 1.
[10]
Jorg Manfred Mossner, Why and How to Compare Tax Law, dalam Liber Amicorum
Li Jin, Teaching Taxation Law in China, Bulletin for International Taxation, (Mei 2008):
189. Lihat juga J.M. Mossner, Tax Avoidance Concepts and European Tax Education: Professor
of Tax Law Hold First Meeting in Onasbruck, European Taxation, (1999): 92-135.
[12]
Lihat Ganda Christian Tobing, Indah Kurnia, dan Cindy Miranti, Menilik Transparansi di
Daniel Shaviro, Disclosure and Civil Penalty Rules in the U.S. Legal Response to
Corporate Tax Shelters, dalam Wolfgang Schon (ed.), Tax and Corporate Governance, (Berlin:
Springer, 2008), 229.
[14]
OECD, Study into the Role of Tax Intermediaries, (Paris: OECD Publishing, 2008), 14.
[15]
Brian Erard, Taxation with Representation An Analysis of the Role of Tax Practitioners
One Who is Effective and Does the Right Thing? Journal of Business Ethics, (2003): 376.
[17]
Economic Approach, dalam Wolfgang Schon (ed.), Tax and Corporate Governance, (Berlin:
Springer, 2008), 13-30.
[18]
Lihat B. Bawono Kristiaji, Asymmetric Information and Its Impact on Tax Compliance
Contohnya adalah: Bulletin for International Taxation, Intertax, Journal of Public Finance,
Terutama karena di masa lalu ahli pajak banyak dihasilkan dari sekolah yang dikhususkan