Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DISUSUN OLEH
Wilda
03011309
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.1
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya.2 Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker.3 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.4
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.2
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. 3 Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.2
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak
98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Epidemiologi
Di dunia, kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas.1,5 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan
tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 % pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker.1
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di
Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada
pria dan wanita pada tingkat insidensi dan mortalitas.2
Didapatkan suatu hubungan yaitu
-
Terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat
seiring dengan usia
Rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan dengan pria
lainnya.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun,
hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Dewasa ini
kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data
yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan
salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.6
II.2 Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
surveillance
Hereditary 5%
nonpolyposis 7%
colorectal
cancer
(HNPCC)
Defective
Polyps
At risk for
mismatch
sedikit,
uterine,
repair:
predominantly ovarian, small
MSH2 and right-sided
intestinal,
MLH1
CRC, 80%
pancreatic
(90%),
lifetime risk malignancies
MSH6 (10%) of CRC
Genetic
High
counseling; microsatellite
consider
instability
prophylactic (MSI-H)
resections, tumors, better
including prognosis than
TAH/BSO sporadic CRC
PeutzJeghers
(PJS)
<1%
Familial
juvenile
polyposis
(FJP)
<1%
Mutasi
Hamartomas Gastric,
SMAD4/DP throughout GI duodenal and
C (18q21) tract; >3
pancreatic
juvenile
neoplasms;
polyps; 15% pulmonary
with CRC by AVMs
age 35 yr
Genetic
Presents with
counseling; rectal bleeding
consider
or diarrhea
prophylactic
TAC with
IRA for
diffuse
disease
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented
epithelium; CNS, central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI,
gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC,
total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingooophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.8
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram).
Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif
pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein
dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik
dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui
siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen
gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah
satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker
dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi
ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan
menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering
terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang
tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.7
6
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat
dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi
untuk menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan
dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4
kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai
multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat
displasia.8
dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.5
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal
cancer (HNPCC).7
FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. 2 Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus
dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali
sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP
termasuk gardners syndrom dan turcots syndrom.7
HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II. Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (45
tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari
abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
10
II.3.4 Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya
adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
11
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi
dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut
dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara
experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen antiinflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang
berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal,
dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.8
12
II.3.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan
resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.7
II.4 Patofisiologi
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC
deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari
polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.
13
Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC dapat
diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker kolorektal.
Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel diperlukan untuk
pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop kodon yang menghasilkan
truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak menghasilkan karsinoma. Akan tetapi,
mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan.
Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen supresi
tumor DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen Kras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal intraceluler.
Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang dihidrolisis menjadi
guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein. Mutasi K-ras
menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein aktiv
secara permanen. Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol.
DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk
degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal
dan memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan
dalam banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel pada
kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki. Mutasi p53 diperlihatkan dalam 75% kasus.
14
15
terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor yang berasal
dari LOH terjadi pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk.6
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Neoplasma primer adenokarsinoma
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus, berbentuk
kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon asendens.
2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi,
terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum.
3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.
Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak
maligna.6
II.5 Histologi
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001
di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma
sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk
dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan
sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering
sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang
16
adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Berbagai varian
gambaran histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization:
-
Mucinous adenocarcinoma
Adenoskuamous carcinoma
Squamous carcinoma
Choriocarcionma
Medullary carcinoma10
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur
dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker
tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
18
Gambar 2.8 Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat dideteksi
dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi Departemen Ilmu
penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta 2005)
Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal
Kolon kanan :
-
Kolon kiri :
-
Rektum :
-
KOLON KANAN
Kolitis
Karena penyusupan
Diare/diare berkala
KOLON KIRI
Obstruksi
Obstruksi
Konstipasi progresif
OBSTRUKSI
DARAH PADA
Jarang
Samar
Hampir selalu
Samar/makroskopik
REKTUM
Proktitis
Obstruksi
Tenesmi terus
menerus
Hampir selalu
Makroskopik
FESES
FESES
DISPEPSIA
ANEMIA
MEMBURUKNYA
Normal/diare berkala
Sering
Hampir selalu
Hampir selalu
Normal
Jarang
Lambat
Lambat
Perubahan bentuk
Jarang
Lambat
Lambat
KEADAAN UMUM
Staging tumor menurut TNM
Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya
penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau metastasis
jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya
diperhatikan oleh Dukes.
19
Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan
kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M ada
tidaknya metastase jauh.
Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah bening
(KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0). Bila tumor yang masuk lebih dalam namun
tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T 2N0M0). Bila tumor terbatas
sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila tumor menginfiltrasi serosa
dan KGB disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat status anak sebar di hati, paru, atau
tulang mempertegas stadium D (TXNXM1). Bila status metastasis belum dapat dipastikan
maka sulit menentukan stadium. Oleh karena itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap
spesimen bedah sangat penting dalam menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker
kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5
tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker
kolorektal setelah menjalani operasi.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau ke hati
melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar
kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang rekuren disertai metastase ke
hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan metastase ke hati pada waktu
meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke paru. KGB superklavikula tulang atau
otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor
dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra
kemudian dapat mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta.
Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan
CEA dan gambaran CT-scan).
T Tumor primer
T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik
yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
20
N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan atau pada
kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).
M Metastase jauh
Stadium
TNM
Derajat
T1N0M0
B1
T2N0M0
B1
T3N0M0
II
Deskripsi
histopatologis
Bertahan 5
tahun (%)
Kanker terbatas
pada
mukosa/submukosa
Kanker mencapai
muskularis
Kanker cenderung
masuk atau
>90
85
70-80
21
C
D
TxN1M0
TxNxM1
III
IV
melewati lapisan
serosa
Metastasis
35-65
5
II.7 Metastasis
Carcinoma colorectal mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh sambil menembus
dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral ke jaringan dan organ visceral
lainnya. Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya
seperti ureter, vesica urinaria, uterus, vagina, atau prostat. 1
Keterkaitan nodus limfatikus regional merupakan bentuk yang paling sering pada
penyebaran carcinoma colorectal dan biasanya mendahului metastasis jauh atau
menyebabkan carcinomatosis. Penyebaraan ke nodus limfatikus meningkat dengan
pertambahan ukuran tumor, diferensiasi histologis yang buruk, invasi limfovaskular dan
kedalaman invasi. 2
Pada carcinoma colon, penyebaran limfatik biasanya mengikuti aliran vena besar dari
segmen colon yang terkait. Penyebaran limfatik dari rectum mengikuti 2 jalur. Pada rectum
bagian atas, pengaliran ascendens sepanjang pembuluh rectalis superior ke kelenjar
mesenterica inferior. Pada rectum bagian bawah, pengaliran limfatik terjadi sepanjang
pembuluh rectalis media. Penyebaran sepanjang pembuluh rectalis inferior ke kelenjar iliaca
interna atau inguinal jarang terjadi kecuali jika tumor mengenai canalis analis atau aliran
limfatik proximal diblok oleh tumor. 1,2
Tempat yang paling sering terkena pada metastasis jauh carcinoma colorectal adalah
hepar. Metastasis ini timbul dari penyebaran hematogen melalui system vena portal. Seperti
pada penyebaran ke nodus limfatikus, risiko metastasis ke hepar meningkat dengan
peningkatan ukuran tumor dan grade tumor, namun tumor yang kecil pun dapat menyebabkan
metastasis jauh. Paru-paru juga merupakan tempat penyebaran hematogen carcinoma
colorectal, namun jarang terjadi. Penyebaran ke peritoneal mengakibatkan carcinomatosis
(metastasis peritoneal difus) dengan atau tanpa ascites.1,2
II.8 Pemeriksaan
Pemeriksaan penyaring pada kanker kolorektal (CRC):
22
Prosedur
- Asimptomatik
Tes
Onset
darah
(TSD),
Frekuensi
samar 50
fleksibel
FS tiap 5 tahun
sigmoidoskopi (FS)
- Tidak
ada
enema
dan
proctosigmoidoscopy
Resiko menengah
- CRC pada kerabat Kolonoskopi
tingkat
55th
1,usia
atau
>
keluarga
<
termuda
tingkat
pertama terkena
- CRC pada keluarga
tingkat
Kolonoskopi
pertama,
usia > 55 th
- Riwayat
polip
Kolonoskopi
tahun
polipektomi
setelah Jika
rekuren,
tiap
Kolonoskopi
tahun
reseksi
tahun.
abnormal,
Jika
tiap
tahun
Resiko tinggi
-
FAP
HNPCC
IBD
FS,
pemeriksaan 12-14
genetik
( pubertas)
Kolonoskopi,
21-40 tahun
Tiap 2 tahun
pemeriksaan genetik
40 tahun
Tiap tahun
Kolonoskopi
8-15 tahun
Tiap 2 tahun
23
Pada suatu studi kontrol pada universitas di Minnesota, didapatkan kesimpulan bahwa
tes darah samar sebagai tes penyaring dapat mengurangi mortalitas CRC sebanyak 33% dan
metastasis sebanyak 50%. Tetapi tes darah samar tidak selalu sensitif dan terlewat sampai
50% kasus. Spesifitas pemeriksaan ini rendah, 90% pasien dengan tes ini positif tidak
memiliki CRC. Tes ini baru signifikan bila dilakukan kolonoskopi setelahh tes darah samar
positif. Jadi, tes darah samar dilakukan dan direkomendasikan bagi pasien asimptomatik.
Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan kolon sigmoid.
Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan biasanya terdapat cahaya diatasnya.
Panjangnya sekitar 15cm. Proctoscope dilubrikasi dan dimasukan ke dalam rektum,
kemudian obturator disingkirkan dan terlihat bagian interior dari rektum. Prosedur ini biasa
digunakan untuk menginspeksi hemoroid atau polip rektum.
Studi kasus kontrol memperlihatkan adanya penurunan resiko kematian pada kanker
rektal dengan skrining melalui rigid proctoskopi walaupun resiko kematian kanker kolon
tidak dipengaruhi. Akan tetapi, dikarenakan adanya limitasi jangkauan,maka proctoskopi ini
hanya sedikit dicantumkan dalam program skrining modern ini.
Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun menyebabkan penurunan
mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu resiko tinggi dengan adenoma. Pada pasien
dengan polip, kanker atau lainnya pada fleksibek sigmoidoskopi maka memerlukan
kolonoskopi.
24
Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling baik digunakan
dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat sensitif dalam mendeteksi polip kecil
sekalipun dan dapat dilakukan biopsi, polipektomi, mengontrol pendarahan dan dilatasi
striktur. Akan tetapi, pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan menyebabkan
ketidaknyamanan karena memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan dengan bantuan
endoskopi. Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah perforasi dan pendarahan, namun
sangat kecil.
25
CT Colonografi
Kemajuan teknologi sekarang ini menghasilkan sesuatu yang tidak invasif tetapi
akurasi tinggi. CT colonografi mengggunakan teknologi CT helik dan rekonstruksi 3 dimensi
untuk menggabarkan kolon intraluminal. Pasien membutuhkan persiapan usus. Kolon diisi
dengan udara lalu dilakukan CT. Kolonoskopi tetap dibutuhkan bila terdetteksi lesi.6
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah Virtual Colonography
merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical (multi- slice) CT Scan yang dapat
menghasilkan gambaran interior kolon dalam dua atau tiga dimensi. CTC memiliki radiasi
exposure yang rendah dan tidak invasif, tapi tidak bisa melakukan biopsi dan polipektomi.
Persiapan pemeriksaan CTC hampir sama dengan kolonoskopi yaitu membersihkan usus
besar dengan bahan laksan, ditambah memasukkan udara ke dalam kolon melalui kateter
rektal. Pemeriksaan dilakukan pada posisi supinasi dan pronasi serta tidak membutuhkan
sedasi. Penelitian meta- analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan spesifisitas
yang tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu 88% dan 95%. Penelitian lainnya
CTC dengan 4-detector-row scanners menghasilkan sensitifitas 82%-100% dan spesifisitas
90%-98% untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC juga memiliki resiko terjadinya
perforasi dan dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.8
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi
emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam pengobatan. Area
supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas
operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm
steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau
nyeri tekan pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau
melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen
ialah timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada
auskultasi didengarkan bising usus.
26
Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval atau melingkar
dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan derajat perlekatan
jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah pada sarung tangan.5,7
Pemeriksaan penunjang
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia
mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi. Oleh sebab
itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di
feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil
normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin.
Pemeriksaan lain yang dapat diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum,
kalsium, bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip besar
dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan kolorektal ialah
carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein yang ditemukan pada sel
membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC. Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi
dan dideteksi dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan
tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan dengan kanker
kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan kanker usus besar. CEA tidak dapat
digunakan sebagai prosedur screening tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon
dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering
sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu,
pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk
biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk
kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema
barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau
dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Persiapan dan pemeriksaan barium enema
27
Persiapan:
Gambaran normal:
28
Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang berbentuk multipel
Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.
Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian
diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter
kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk metastasis.
II. 9 Tatalaksana
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah terjadi
metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi karsinoma
kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari
pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong
seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat
diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi
29
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam
lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang kuat terhadap
CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan harus
dilkukan subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker
secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi,
maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan
anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass.
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak memiliki resiko
metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko
karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas
dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien
iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip tidak rekuren dan tidak
terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan
reseksi segmental.
jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan
reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi ajuvan
disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko tinggi).
Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang tinggi
terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada pasien
ini. Regimen yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin
emngurangi rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru
ialah as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan immunotherapy.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma ( jinak dan ganas),
inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah pada bagian
kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kurativ dari CRC dicapai
dengan ligasi PD mesenterika proksimal dan pembersihan kelenjar getah bening
mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi
31
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan hemoragi. Pada keadaan
ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan
32
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik ini dilakukan
pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.
4. Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah atau segmens
usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
End to end
End to side
Side to side
Gambar 2. 17 Anastomosis
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding dengan loop
kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan
akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui
dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmanns pouch.
Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan
odentifikasi usus distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end.
33
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi dikarenakan
terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi lebih sedikit beresiko.6
angka
harapan
hidup
pasien.
Selain
5-Florourasil,
terdapat
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum
5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
34
35
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous
infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu11
Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis
pertama
yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan
diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).
Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.11
II.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran
tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan
hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan
37
penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai differensiasi
sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.
II.12 Follow up
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 3-6 bulan pada 3 tahun pertama dan setiap 6 bulan
pada tahun keempat dan kelima. Akan tetapi hal ini tidak mutlak dan berdasarkan kondisi
individu dan faktor resiko yang dimiliki oleh pasien.
2. Pemeriksaan carcinoembryonic antigen (CEA)
Pemeriksaan ini masih menjadi kontroversial tetapi berguna walaupun ada
kekurangannya. Kadar CEA serum diperiksa setiap 3 bulan pada pasien selama 3 tahun dan
setiap 6 bulan pada tahun keempat dan kelima. Pemeriksaan ini berguna untuk menilai
kekambuhan pada pasien.
3. CT scan
CT scan dada dan abdomen dilakukan setiap tahun untuk minimal 3 tahun pertama
setelah reseksi tumor primer.
4. Kolonoskopi
Kolonoskopi wajib dilakukan pada semua pasien untuk mendokumentasi tidak adanya
tumor tambahan atau polip. Kolonoskopi dilakukan setelah operasi / 3-6 bulan kemudian dan
kemudian tiap tahun sampai 3 tahun kemudian. Bila normal, diulang setiap 5 tahun. Bila
tidak tersedia sarana kolonoskopi, maka dapat dilakukan barium enema dan sigmoidoskopi.
5. Colok dubur/ proctoskopi/ sigmoidoskopi
Diperuntukkan pasien yang mengalami kanker rektal. Pemeriksaan dilakukan pada
bulan ketiga, keenam, setahun dan tahun kedua.
38
BAB III
KESIMPULAN
dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari
modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS),
Colonoscopy, Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko
dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Penanganan
karsinoma kolorektal membutuhkan kecermatan pemeriksaan preoperatif untuk dapat
memutuskan modalitas terapi baik pembedahan, kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan
postoperatif dan follow-up sangat tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat
dilakukan sebelumnya. Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya
dapat ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena
penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, Pollock. 2005. Colon, rectum, and anus. In
Schwartzs Principles of Surgery. 8th edition. USA: McGraw-Hill. P 1057-70.
2. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum. Dalam
Buku ajar ilmu bedeah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 646-53.
3. Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. 2004. Colon and rectum. In Sabistons Textbook
of Surgery. 17th edition. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders. P 1443-65.
40
4. Zinner, Schwartz, Ellis. 2001. Tumors of the colon. In Maingotss Abdominal operation.
10th edition. 2001. Singapore: McGraw-Hill. P 1281-1300
5. Zinner, Schwartz, Ellis. 2001. Rectal Cancer. In Maingotss Abdominal operation. 10th
edition. 2001. Singapore: McGraw-Hill. P1455-99
6. Wikipedia. 2007. Cancer colorectal. http://www.wikipedia.org.
7. Mayoclinic. 2006. Colon cancer.
http://health.yahoo.com/topic/other/other/article/mayoclinic/
8. GE.2007. Carcinoma colorectal http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/
9. Barish ,M.A. Rocha, T.C. 2007. Role of virtual colonoscopy in screening for colorectal
cancer. http://www.cancernews.com/data/Article/284.asp
10. Marijata, 2006. Pengantar Dasar Bedah klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK UGM.
11. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
41
42