Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pembimbing :
dr.Vanessa, Sp.M.
Disusun oleh:
Threesia Yuliana Damayanti
NIM : 11 2014 248
NIM
: 11.2014.248
.............................
Dr.Pembimbing
..
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama
: Ny. Hj. S
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 58 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: IRT
Alamat
II. ANAMNESA
Anamnesis
: Autoanamnesis
Keluhan utama
Keluhan tambahan
: Penglihatan kabur
Pasien mempunyai riwayat kencing manis dan darah tinggi namun minum obat
teratur.
Riwayat alergi
: Disangkal.
: compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
:140/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Suhu
:36,3C
Laju pernafasan
: 18x/menit
Kepala
Telinga
:Discharge (-)
Hidung
Mulut
Leher
Thorax
Jantung
Paru
Abdomen
OD
OS
Tajam penglihatan
0.32 PH 0.5
0.32 PH 0.5
Koreksi
S +1.25C-2.25 x 900.8
Addisi
S+3.00
S+3.00
Distansia Pupil
64/62mm
1. VISUS
Tidak ada
Tidak ada
Endoftalmus
Tidak ada
Tidak ada
Deviasi
Tidak ada
Tidak ada
Gerakan mata
Warna
Hitam
Hitam
Letak
Simetris
Simetris
3. SUPERSILIA
Tidak Ada
Tidak Ada
Nyeri tekan
Tidak Ada
Tidak Ada
Ektropion
Tidak Ada
Tidak Ada
Entropion
Tidak Ada
Tidak Ada
Blefarospasme
Tidak Ada
Tidak Ada
Trikiasis
Tidak Ada
Tidak Ada
Sikatriks
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Folikel
Tidak Ada
Tidak Ada
Papil
Tidak Ada
Tidak Ada
Sikatriks
Tidak Ada
Tidak Ada
Hordeolum
Tidak Ada
Tidak Ada
Kalazion
Tidak Ada
Tidak Ada
6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret
Tidak Ada
Tidak Ada
Injeksi konjungtiva
Tidak Ada
Tidak Ada
Injeksi siliar
Tidak Ada
Tidak Ada
Perdarahan subkonjungtiva
Tidak Ada
Tidak Ada
Pterigium
Grade I
Grade I
Pinguekula
Tidak Ada
Tidak Ada
Nervus pigmentosus
Tidak Ada
Tidak Ada
Kista Dermoid
Tidak Ada
Tidak Ada
Warna
Putih
Putih
Ikterik
Tidak Ada
Tidak Ada
Nyeri Tekan
Tidak Ada
Tidak Ada
Kejernihan
Jernih
Jernih
Permukaan
Licin
Licin
Ukuran
12 mm
12 mm
Sensibilitas
Baik
Baik
Infiltrat
Tidak ada
Tidak ada
Keratik Presipitat
Tidak ada
Tidak ada
Sikatriks
Tidak ada
Tidak ada
Ulkus
Tidak ada
Tidak ada
Perforasi
Tidak ada
Tidak ada
Arkus senilis
Tidak ada
Tidak ada
Edema
Tidak ada
Tidak ada
Tes Plasido
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
7. SKLERA
8. KORNEA
Dangkal
Dangkal
Kejernihan
Jernih
Jernih
Hifema
Tidak ada
Tidak ada
Hipopion
Tidak ada
Tidak ada
Efek Tyndall
Tidak ada
Tidak ada
Warna
Coklat
Coklat
Kripte
Jelas
Jelas
Bentuk
Bulat
Bulat
Sinekia
Tidak ada
Tidak ada
Koloboma
Tidak ada
Tidak ada
Letak
Sentral
Sentral
Bentuk
Bulat
Bulat
Ukuran
5 mm
5 mm
10. IRIS
11. PUPIL
Letak
Ditengah
Ditengah
Tes Shadow
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Positif suram
Positif suram
1. Bentuk
Sulit dinilai
Sulit dinilai
2. Warna
Sulit dinilai
Sulit dinilai
3. Batas
Sulit dinilai
Sulit dinilai
1. Warna
Sulit dinilai
Sulit dinilai
2. C/D Ratio
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
3. Edema
Sulit dinilai
Sulit dinilai
4. Perdarahan
Sulit dinilai
Sulit dinilai
+
Keruh
c. A/V Ratio
d. Retina
1. Exudat
Sulit dinilai
Sulit dinilai
2. Sikatriks
Sulit dinilai
Sulit dinilai
3. Refleks fovea
Positif suram
Positif suram
4. Edema
Sulit dinilai
Sulit dinilai
5. Pigmentosa
Sulit dinilai
Sulit dinilai
15. PALPASI
Nyeri tekan
Tidak Ada
Tidak Ada
Massa tumor
Tidak Ada
Tidak Ada
N+0/P
N+0/P
Tonometer Non-contact
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
e. Makula lutea
Tidak Dilakukan
V. RESUME:
Pasien mengeluh kedua mata berair setiap saat sejak 1 mingg yang lalu. Penglihatan
kedua mata kabur, setiap pagi keluar kotoran mata, perih (-), silau saat melihat (-).
Tiga yang lalu, penglihatan dirasakan semakin kabur namun membaik setelah
penggunaan kacamata. Tidak ada penglihatan berawan atau seperti pelangi.
Pasien memang menggunakan kaca mata sejak 10 tahun. Sebelumnya pasien bekerja
sebagai tukang masak sehingga sering terpapar asap.
Pasien memiliki riwayat kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Pada
pemeriksaan fisik didapati pada OD, visus 0.32 PH 0.5 dikoreksi dengan kacamata S
+1.25C-2.25x 90 visus mencapai 0.8. Pada OS, visus 0.32 PH 0.5 dikoreksi dengan
kacamata S +1.25 C-2.00 x90 visus mencapai 0.8. Pada kedua mata, terdapat jaringan
fibrovaskuler di limbus kornea.
VI. DIAGNOSIS KERJA:
Pseudopterigium ODS
Pinguekula ODS
VIII. PENATALAKSANAAN:
1. Non Medikamentosa:
- Edukasi penyakit tentang pterigium
- penggunaan kacamata hitam bila beraktivitas yang terpapar sinar UV
2. Tindakan operasi :
Rencana operasi bila pterigium sudah mencapai kornea.
3. Medikamentosa :
Topical lubricating drops 1-2 tetes 3-4 kali sehari
VII. PROGNOSIS
a. Ad vitam: bonam
b. Ad fungsionam: bonam
c. Ad sanationam: bonam
TINJAUAN PUSTAKA
1.
PTERIGIUM
Gambar 1. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga dengan puncak di kornea (diambil
www.eastoneye.com diakses 20 Desember 2015)
Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan
kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium
yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi
rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian
pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler
yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas
pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor
necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan
area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal
pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding
dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
10
endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat,
berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat
pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan
faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang
melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan proliferasi
fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas ke stroma.
Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif,
karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan limphoid factor-1
meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada -SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. -catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting dalam patogenesis
pterigium.2,3,10
DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin
laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata
sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa
rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
2.
Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
11
kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara
klinis
pterigium
dapat
dibedakan
dengan
pinguekula
dan
pseudopterigium.
Pembeda
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
12
Definisi
Jaringan
fibrovaskular
konjungtiva
konjungtiba
konjungtiva
bulbi
bulbi berbentuk
cacat
Warna
segitiga
Putih
Letak
kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada
Putih-kuning
bagian
atau
6:
Progresif
Reaksi
bulbi
Putih kekuningan
daerah
yang
terdekat
dengan
yang meluas ke
proses
kornea
arah kornea
>
Sedang
Tidak ada
=
Tidak
Tidak ada
sebelumnya
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde
Tidak
dapat Tidak
diselipkan
diselipkan
Puncak
Ada
pulau
Histopatologi
limbus
Tidak ada (tidak ada
head, cap, body)
(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi
Perlengketan
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul.
Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata
edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
13
3. Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada
pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak
diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi
mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi
pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola
mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus
lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah
medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak
disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.8
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
14
2.
15
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3.
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6minggu.
2.
Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3.
Sinar Beta.
4.
4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
17
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera
dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %.
Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.11
5.
Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with
subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39,
No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:
prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12):
13411346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
18
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 1417
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective, Chapter
3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth
Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2007. p: 443457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen
Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
19