Вы находитесь на странице: 1из 19

LAPORAN KASUS

Pterigium Grade I ODS

Pembimbing :
dr.Vanessa, Sp.M.
Disusun oleh:
Threesia Yuliana Damayanti
NIM : 11 2014 248

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RS. FMC, SENTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat


KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus :
SMF ILMU PENYAKIT MATA
Rumah Sakit FMC SENTUL
Tanda Tangan
Nama

: Threesia Yuliana Damayanti

NIM

: 11.2014.248

.............................

Dr.Pembimbing

: dr. Vanessa, Sp.M

..

STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama

: Ny. Hj. S

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 58 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Nanggewer Kaum RT 002/002

Tanggal pemeriksaan : 18 Desember 2015

II. ANAMNESA
Anamnesis

: Autoanamnesis

Keluhan utama

: Mata berair setiap saat sejak 1 minggu.

Keluhan tambahan

: Penglihatan kabur

Riwayat perjalanan penyakit :


Pasien mengeluh kedua mata berair setiap saat sejak 1 mingg yang lalu. Penglihatan
kedua mata kabur, setiap pagi keluar kotoran mata, perih (-), silau saat melihat (-).
Tiga hari yang lalu, penglihatan dirasakan semakin kabur namun membaik setelah
penggunaan kacamata. Tidak ada penglihatan berawan atau seperti pelangi.
Pasien memang menggunakan kaca mata sejak 10 tahun. Sebelumnya pasien bekerja
sebagai tukang masak sehingga sering terpapar asap.
Riwayat penyakit dahulu

Pasien mempunyai riwayat kencing manis dan darah tinggi namun minum obat
teratur.
Riwayat alergi

: Disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

:Orang tua pasien, bapa dan ibu kedua-duanya


memakai kacamata

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis:
Keadaan umum : Baik
Kesadaran

: compos mentis

Tanda-tanda vital
Tekanan darah

:140/80 mmHg

Nadi

: 80x/menit

Suhu

:36,3C

Laju pernafasan

: 18x/menit

Kepala

:Normocephal, tidak terdapat deformitas

Telinga

:Discharge (-)

Hidung

:Deviasi septum (-), discharge (-), epistaksis (-)

Mulut

: Karies gigi (-)

Leher

:Kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran

Thorax
Jantung

:BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru

:Suara napas dasar vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

Abdomen

:datar, supel, massa (-),nyeri tekan (-), bising usus (+) N.

Ekstremitas :Hangat, udema -/-, deformitas (-)


b. Status oftalmologis
KETERANGAN

OD

OS

Tajam penglihatan

0.32 PH 0.5

0.32 PH 0.5

Koreksi

S +1.25C-2.25 x 900.8

S +1.25 C-2.00 x900.8

Addisi

S+3.00

S+3.00

Distansia Pupil

64/62mm

Kaca mata lama

1. VISUS

2. KEDUDUKAN BOLA MATA


Eksoftalmus

Tidak ada

Tidak ada

Endoftalmus

Tidak ada

Tidak ada

Deviasi

Tidak ada

Tidak ada

Gerakan mata

Baik ke segala arah

Baik ke segala arah

Warna

Hitam

Hitam

Letak

Simetris

Simetris

3. SUPERSILIA

4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR


Edema

Tidak Ada

Tidak Ada

Nyeri tekan

Tidak Ada

Tidak Ada

Ektropion

Tidak Ada

Tidak Ada

Entropion

Tidak Ada

Tidak Ada

Blefarospasme

Tidak Ada

Tidak Ada

Trikiasis

Tidak Ada

Tidak Ada

Sikatriks

Tidak Ada

Tidak Ada

5. KONJUNGTIVA TARSAL SUPERIOR DAN INFERIOR


Hiperemis

Tidak Ada

Tidak Ada

Folikel

Tidak Ada

Tidak Ada

Papil

Tidak Ada

Tidak Ada

Sikatriks

Tidak Ada

Tidak Ada

Hordeolum

Tidak Ada

Tidak Ada

Kalazion

Tidak Ada

Tidak Ada

6. KONJUNGTIVA BULBI
Sekret

Tidak Ada

Tidak Ada

Injeksi konjungtiva

Tidak Ada

Tidak Ada

Injeksi siliar

Tidak Ada

Tidak Ada

Perdarahan subkonjungtiva

Tidak Ada

Tidak Ada

Pterigium

Grade I

Grade I

Pinguekula

Tidak Ada

Tidak Ada

Nervus pigmentosus

Tidak Ada

Tidak Ada

Kista Dermoid

Tidak Ada

Tidak Ada

Warna

Putih

Putih

Ikterik

Tidak Ada

Tidak Ada

Nyeri Tekan

Tidak Ada

Tidak Ada

Kejernihan

Jernih

Jernih

Permukaan

Licin

Licin

Ukuran

12 mm

12 mm

Sensibilitas

Baik

Baik

Infiltrat

Tidak ada

Tidak ada

Keratik Presipitat

Tidak ada

Tidak ada

Sikatriks

Tidak ada

Tidak ada

Ulkus

Tidak ada

Tidak ada

Perforasi

Tidak ada

Tidak ada

Arkus senilis

Tidak ada

Tidak ada

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Tes Plasido

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

7. SKLERA

8. KORNEA

9. BILIK MATA DEPAN


Kedalaman

Dangkal

Dangkal

Kejernihan

Jernih

Jernih

Hifema

Tidak ada

Tidak ada

Hipopion

Tidak ada

Tidak ada

Efek Tyndall

Tidak ada

Tidak ada

Warna

Coklat

Coklat

Kripte

Jelas

Jelas

Bentuk

Bulat

Bulat

Sinekia

Tidak ada

Tidak ada

Koloboma

Tidak ada

Tidak ada

Letak

Sentral

Sentral

Bentuk

Bulat

Bulat

Ukuran

5 mm

5 mm

10. IRIS

11. PUPIL

Refleks cahaya langung


+
Refleks
cahaya
tidak
+
langsung
12. LENSA
Kejernihan
Keruh

Letak

Ditengah

Ditengah

Tes Shadow

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Positif suram

Positif suram

1. Bentuk

Sulit dinilai

Sulit dinilai

2. Warna

Sulit dinilai

Sulit dinilai

3. Batas

Sulit dinilai

Sulit dinilai

1. Warna

Sulit dinilai

Sulit dinilai

2. C/D Ratio

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

3. Edema

Sulit dinilai

Sulit dinilai

4. Perdarahan

Sulit dinilai

Sulit dinilai

+
Keruh

13. BADAN KACA


Kejernihan
14. FUNDUS OKULI
a. Reflex fundus
b. Papil

c. A/V Ratio
d. Retina

1. Exudat

Sulit dinilai

Sulit dinilai

2. Sikatriks

Sulit dinilai

Sulit dinilai

3. Refleks fovea

Positif suram

Positif suram

4. Edema

Sulit dinilai

Sulit dinilai

5. Pigmentosa

Sulit dinilai

Sulit dinilai

15. PALPASI
Nyeri tekan

Tidak Ada

Tidak Ada

Massa tumor

Tidak Ada

Tidak Ada

Tensi okuli (digital)

N+0/P

N+0/P

Tonometer Non-contact

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Sama dengan pemeriksa

Sama dengan pemeriksa

e. Makula lutea

16. KAMPUS VISI


Tes konfrontasi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Tidak Dilakukan

V. RESUME:
Pasien mengeluh kedua mata berair setiap saat sejak 1 mingg yang lalu. Penglihatan
kedua mata kabur, setiap pagi keluar kotoran mata, perih (-), silau saat melihat (-).
Tiga yang lalu, penglihatan dirasakan semakin kabur namun membaik setelah
penggunaan kacamata. Tidak ada penglihatan berawan atau seperti pelangi.
Pasien memang menggunakan kaca mata sejak 10 tahun. Sebelumnya pasien bekerja
sebagai tukang masak sehingga sering terpapar asap.
Pasien memiliki riwayat kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Pada
pemeriksaan fisik didapati pada OD, visus 0.32 PH 0.5 dikoreksi dengan kacamata S
+1.25C-2.25x 90 visus mencapai 0.8. Pada OS, visus 0.32 PH 0.5 dikoreksi dengan
kacamata S +1.25 C-2.00 x90 visus mencapai 0.8. Pada kedua mata, terdapat jaringan
fibrovaskuler di limbus kornea.
VI. DIAGNOSIS KERJA:

Pterigium grade I ODS


VII. DIAGNOSIS BANDING:

Pseudopterigium ODS

Pinguekula ODS

VIII. PENATALAKSANAAN:
1. Non Medikamentosa:
- Edukasi penyakit tentang pterigium
- penggunaan kacamata hitam bila beraktivitas yang terpapar sinar UV
2. Tindakan operasi :
Rencana operasi bila pterigium sudah mencapai kornea.
3. Medikamentosa :
Topical lubricating drops 1-2 tetes 3-4 kali sehari

VII. PROGNOSIS
a. Ad vitam: bonam
b. Ad fungsionam: bonam
c. Ad sanationam: bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1.

PTERIGIUM

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif


dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.1-6

Gambar 1. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga dengan puncak di kornea (diambil
www.eastoneye.com diakses 20 Desember 2015)

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV


matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,7
a.

Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7

b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor

iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan
kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium
yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi
rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian
pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler
yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas
pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor
necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan
area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal
pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding
dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
10

endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat,
berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat
pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan
faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang
melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan proliferasi
fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas ke stroma.
Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif,
karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan limphoid factor-1
meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada -SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. -catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting dalam patogenesis
pterigium.2,3,10
DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin
laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata
sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa
rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
2.

Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari

11

kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara

klinis

pterigium

dapat

dibedakan

dengan

pinguekula

dan

pseudopterigium.

Pembeda

Pterigium

Pinguekula

Pseudopterigium
12

Definisi

Jaringan

Benjolan pada Perlengketan

fibrovaskular

konjungtiva

konjungtiba

konjungtiva

bulbi

dengan kornea yang

bulbi berbentuk

cacat

Warna

segitiga
Putih

Letak

kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada

Putih-kuning

bagian
atau

6:
Progresif
Reaksi

bulbi

Putih kekuningan

nasal mata terutama konjungtiva


temporal bagian nasal

daerah
yang

terdekat

dengan

yang meluas ke

proses

kornea

arah kornea
>
Sedang
Tidak ada

=
Tidak
Tidak ada

sebelumnya
=
Tidak
Ada

Lebih menonjol

Menonjol

Normal

kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde

Tidak

dapat Tidak

diselipkan

dapat Dapat diselipkan di

diselipkan

bawah lesi karena


tidak melekat pada

Puncak

Ada
pulau

Histopatologi

pulau- Tidak ada


Funchs

limbus
Tidak ada (tidak ada
head, cap, body)

(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi

Perlengketan

dan degenerasi hialin jaringan


hialin

dalam submukosa

stromanya

konjungtiva

Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul.
Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata
edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)

13

3. Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada
pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak
diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi
mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi
pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola
mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus
lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah
medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak
disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.8
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
14

yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi


seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.10

Indikasi Operasi pterigium


1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium
adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.1
1.

Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.1

2.

Teknik Autograft Konjungtiva


Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera
yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat
dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan

15

menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3.

Cangkok Membran Amnion


Mencangkok

membran

amnion

juga

telah

digunakan

untuk

mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion


ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh
cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
16

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan


pemberian:
1.

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6minggu.

2.

Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.

3.

Sinar Beta.

4.

Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama


6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroidselama 1 minggu.6

Gambar 2. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au diakses 20 Desember 2015)

4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

17

Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment

Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera
dan kornea

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %.
Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.

Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.11

5.

Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.10

DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with
subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39,
No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:
prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12):
13411346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.

18

6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 1417
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective, Chapter
3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth
Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2007. p: 443457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen
Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58

19

Вам также может понравиться