Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan, karena selain digunakan
sebagai alat komunikasi secara langsung, bahasa juga dapat digunakan sebagai
alat komunikasi secara tulisan, di zaman era globalisasi dan pembangunan
reformasi demokrasi ini, masyarakat dituntut secara aktif untuk dapat mengawasi
dan memahami infrormasi di segala aspek kehidupan sosial secara baik dan benar,
sebagai bahan pendukung kelengkapan tersebut, bahasa berfungsi sebagai media
penyampaian informasi secara baik dan tepat, dengan penyampaian berita atau
materi secara tertulis, diharapkan masyarakat dapat menggunakan media tersebut
secara baik dan benar. Dalam memadukan satu kesepakatan dalam etika
berbahasa, disinilah peran aturan baku tersebut di gunakan, dalam hal ini kita
selaku warga Negara yang baik hendaknya selalu memperhatikan rambu-rambu
ketata bahasaan Indonesia yang baik dan benar. Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) adalah sub. materi dalam ketata bahasaan Indonesia, yang memilik peran
yang cukup besar dalam mengatur etika berbahasa secara tertulis sehingga
diharapkan informasi tersebut dapat di sampaikan dan di fahami secara
komprehensif dan terarah. Dalam prakteknya diharapkan aturan tersebut dapat
digunakan dalam keseharian Masyarakat sehingga proses penggunaan tata bahasa
Indonesia dapat digunakan secara baik dan benar.
B. Tujuan
Tujuan penulis menyusun makalah ini yaitu ;
1.
2.
3.
4.

Memahai konsep EYD


Ruang lingkup EYD
Penulisan huruf capital
pEnulisan kata

BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BAHASA NASIONAL.
Bahasa Indonesia mempunyai sejarah jauh lebih panjang daripada Republik
ini sendiri. Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai bahasa nasional sejak tahun
1928, jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat itu bahasa Indonesia dinyatakan
sebagai bahasa persatuan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai perekat
bangsa. Saat itu bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan antaretnis (lingua
franca) yang mampu merekatkan suku-suku di Indonesia. Dalam perdagangan dan
penyebaran agama pun bahasa Indonesia mempunyai posisi yang penting.
Deklarasi Sumpah Pemuda membuat semangat menggunakan bahasa Indonesia
semakin menggelora. Bahasa Indonesia dianjurkan untuk dipakai sebagai bahasa
dalam pergaulan, juga bahasa sastra dan media cetak. Semangat nasionalisme yang
tinggi membuat perkembangan bahasa Indonesia sangat pesat karena semua orang
ingin menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa. Pada tahun 1930-an muncul
polemik apakah bisa bahasa Indonesia yang hanya dipakai sebagai bahasa
pergaulan dapat menjadi bahasa di berbagai bidang ilmu. Akhirnya pada tahun
1938 berlangsung Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo. Dalam
pertemuan tersebut, semangat anti Belanda sangat kental sehingga melahirkan
berbagai istilah ilmu pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Istilah belah ketupat,
jajaran genjang, merupakan istilah dalam bidang geometri yang lahir dari
pertemuan tersebut. Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia,
pada tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamis yang hingga sekarang
terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan
dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa
Melayu. Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah, dasardasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun
waktu beberapa minggu.

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang


digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal
penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa
sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur
sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat
besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan
para penggunanya. Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa
lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa.
Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran,
dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang
menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya.
Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di
antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai
Pustaka. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak
pedagang yang melewati Indonesia. Penyebutan pertama istilah Bahasa Melayu
sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum
pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka.
Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya,
kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga
meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga
Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu
dengan Sriwijaya. Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga
abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik
merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik
pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan
berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu
klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi
Masuk Melayu berarti masuk agama Islam. Bahasa Melayu di Indonesia
kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu
itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu.

Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai


sebanyak 360). Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula
dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih
bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu),
namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu
yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik
Indonesia atas berbagai pertimbangan sebagai berikut :
1. Jika bahasa Jawa digunakan,
suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa
dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa
Melayu Riau.
Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk
orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna
kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang
lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih,
Dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda,
Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama
suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau
selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca,
Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari
bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.

4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik


Indonesia.
Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik
Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti
Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik
dan

nasionalisme

negara-negara

jiran

di

Asia

Tenggara.

Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan


bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun
kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia
yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi
dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini
sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang
Mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi
mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa
serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin
dibakukan. Di samping itu, ketika penjajah Jepang mulai masuk ke
Indonesia, mereka semakin mendorong penggunaan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1953, Poerwodarminta mengeluarkan Kamus Bahasa
Indonesia yang pertama. Di situ tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa
Indonesia mencapai 23.000. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan
Kamus Bahasa Indonesia, dan terdapat 1.000 kata baru. Artinya, dalam
waktu 23 tahun hanya terdapat 1.000 penambahan kata baru. Tetapi pada
tahun 1988, terjadi loncatan yang luar bisa. Dari 24.000 kata, telah
berkembang menjadi 62.000. Selain itu, setelah bekerja sama dengan
Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, berhasil dibuat 340.000 istilah di
berbagai bidang ilmu. Malahan sampai hari ini, Pusat Bahasa berhasil

menambah 250.000 kata baru. Dengan demikian, sudah ada 590.000 kata
di berbagai bidang ilmu. Sementara kata umum telah berjumlah 78.000.

B. EJAAN BAHASA INDONESIA (1972).


Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh
Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung
persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari
kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16
Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah
sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu
Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk
sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972,
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan

buku

"Pedoman

Umum

Ejaan

Bahasa

Indonesia

yang

Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah


itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan
"Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman
Umum Pembentukan Istilah".
1.Revisi tahun1987
Pada tahun 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang
Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan".
Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD edisi 1975.

2.Revisi tahun 2009


Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan dikeluarkannya peraturan
menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
3.Perbedaan dengan ejaan sebelumnya.
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
'tj' menjadi 'c' contoh : tjutji cuci
'dj' menjadi 'j' contoh : djarak jarak
'j' menjadi 'y' contoh : sajang sayang
'nj' menjadi 'ny' contoh : njamuk nyamuk
'sj' menjadi 'sy' contoh : sjarat syarat
'ch' menjadi 'kh' contoh : achir akhir
awalan 'di-' dan kata depan 'di' dibedakan penulisannya. Kata depan 'di' pada
contoh "di rumah", "di sawah", penulisannya dipisahkan dengan spasi,
sementara 'di-' pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya.
Sebelumnya "oe" sudah menjadi "u" saat Ejaan Van Ophuijsen diganti dengan
Ejaan Republik. Jadi sebelum EYD, "oe" sudah tidak digunakan.
Perubahan Ejaan bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada tahun
1947. Waktu perubahan ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang berjuang
menentang kembalinya penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan 1947 ini yang
lebih dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik, sebenarnya

memancing reaksi yang muncul setelah pemulihan kedaulatan (1949). Reaksi ini
kemudian melahirkan ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi dengan
berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan.
Gagasan mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu Menteri Pendidikan
dan Kebudajaan adalah Mr. Muh. Yamin. Dalam kongres itu dihasilkan
keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :
1. Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu
huruf.
2. Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang
Kompeten.
3. Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah.
Keputusan kongres ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah, yang
menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan. Namun
Ejaan ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa huruf baru yang tidak
praktis,yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia.
Terilhami oleh Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan
pula kongres bahasa Indonesia di Singapura (1956) yang menghasilkan suatu
resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan
ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan selanjutnya dihasilkan suatu
konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan MelayuIndonesia). Namun, rencana untuk meresmikan ejaan ini pada tahun 1962
mengalami kegagalan karena adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia
beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan
(LBK) membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono dan
mengusulkan konsep baru sebagai ganti konsep Melindo. Pada tahun 1972,
setelah melalui beberapa kali seminar, akhirnya konsep LBK menjadi konsep
bersama Indonesia-Malaysia yang seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang
disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kalau kita beranalogi dengan Ejaan

Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut Ejaan Mashuri, karena
pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan memperjuangkan EYD
sampai diresmikan oleh presiden.
Ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :
1.Ejaan Van Ophuijsen (1901)
2.Ejaan Soewandi (1947)
3.Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
4.Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975)

Sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah
adalah :
1. Ejaan Pembaharuan (1957)
2. Ejaan Melindo (1959)
3. Ejaan LBK (1966)

C. PENTINGNYA BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR.


Bahasa itu mencerminkan pribadi seseorang, jika kita selalu menggunakan
bahasa indonesia yang baik dan penuh kesantunan, orang juga akan mencitrakan
kita sebagai pribadi yang baik dan berbudi, karena melalui tutur kata seseorang
mampu menilai kepribadian dari orang tersebut. Tapi sebaliknya jika dalam
kesehariannya seseorang tersebut tidak memenuhi etika berbahasa santun, baik
dan benar maka orang lain akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang buruk..
Bahasa dapat menjadi alat kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata
seperti memaki, memfitnah, menghasut, menghina, dan sebagainya. Di lndonesia
hal tersebut sering terjadi, bahkan perilaku tersebut sudah menjadi rahasia umum
di masyarakat dan di kalangan remaja. Saat ini lebih suka menggunakan bahasa
asing atau bahasa gaul yang cenderung tidak santun, dan tidak terpola dengan
baik. Bahasa Indonesia yang susah payah disatukan visinya dalam Sumpah
Pemuda sebagai bahasa pemersatu bangsa setelah berabad-abad bangsa ini
terbelenggu dalam penjajahan, kini seolah luntur oleh waktu, bukan bahasa
Indonesianya yang hilang tapi pemaknaan dan pemakaian bahasa yang baik,
sopan dan santun dalam kehidupan sehari-hari yang hilang. Saat ini banyak sekali
remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang dipelesetkan,
sehingga terkadang orang dewasa tidak mengerti dan memahami bahasa yang
dikatakan oleh para remaja tersebut.
Penyebab penggunaan bahasa gaul di kalangan remaja ini dikarenakan
kurangnya kecintaan para remaja terhadap bahasa Indonesia. Manusia bisa karena
terbiasa, jika anak-anak remaja itu sudah terbiasa mengucapkan dan menuliskan
kata-kata yang salah dalam berkomunikasi, maka selanjutnya akan salah. Hal ini
akan membuat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak akan
dipakai lagi dan akan mati. Seharusnya remaja membudidayakan berbahasa yang
baik dan benar dalam berkomunikasi, karena remaja sebagai penerus bangsa,
kalau bukan kita sendiri yang menghargai Bahasa Indonesia siapa lagi..??

10

Bahasa gaul sendiri sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an tetapi pada waktu
itu istilah bahasa prokem. Lalu bahasa tersebut diadopsi kemudian dimodifikasi
sedemikian unik dan digunakan oleh orang-orang tertentu atau kalangan-kalangan
tertentu saja. Pada awalnya bahasa prokem digunaakan oleh para preman yang
kehidupanya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras.
Banyak istilah-istilah baru yang mereka ciptakan dengan tujuan agar masyarakat
awam atau orang luar komunitas mereka tidak mengerti dengan apa yang mereka
bicarakan atau yang telah mereka bicarakan. Menurut Wikipedia Indonesia
Bahasa gaul merupakan bentuk ragam bahasa yang digunakan oleh penutur
remaja, waria untuk mengekspresikan gagasan dan emosinya.
Sebuah artikel di Kompas yang ditulis Sahertian berjudul So What Gitu Loch.....
(2006:15) menyatakan bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem sebenarnya sudah
ada sejak 1970-an. Awalnya istilah- istilah dalam bahasa gaul itu untuk
merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan
di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari. Kosakata
bahasa gaul yang belakangan ini berkembang sering tidak beraturan dan
cenderung tidak terumuskan. Bahkan tidak dapat diprediksi bahasa apakah yang
berikutnya akan menjadi bahasa gaul. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu,
terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu Pengkajian
semantik pada bahasa gaul, SondangManik (2004).
Seiring dengan munculnya bahasa gaul dalam masyarakat, banyak sekali dampak
atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa gaul terhadap perkembangan bahasa
Indonesia,

diantaranya

terpinggirkan

oleh

adalah:

bahasa

gaul,

Eksistensi

bahasa

menurunnya

Indonesia

derajat

bahasa

terancam
Indonesi,

menyebabkan punahnya bahasa Indonesia. Oleh sebab itu kita sebagai remaja
penerus bangsa harus lebih mencintai bahasa indonesia itu sendiri kalau bukan
kita, siapa lagi yang akan melestarikannya.

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas maka kita bisa menarik kesimpulan/penulis
mencoba memberikan kesimpulan berdasarkan data-data dan fakta dilapangan
menunjukkan masih banyak orang-orang tidak memahami pemakain bahasa
Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar. Jadi dilhat
dari fungsinya bahasa merupakan jantung dari kehidupan ini karena tanpa bahasa kita
tidak akan bisa berinteraksi sesama yang lain.
B. Saran
Maka dari itu kita sebagai warga negara Indonesia harus bisa menjaga
keaslian berbahasa Indonesia yang baik dan benar, karena dipandangnya suatu bangsa
itu tidak lepas dari bagaimana kita menggunakan basaha yang dapat dipahami atau
mudah dimengerti oleh bangsa lain. Mudah-mudahan urain singkat diatas dapat
memberi sumbang sih bagi pembaca, saran dan kritik yang sifatnya membangun
selalu penulis harapkan, demi kesempurnaan karya tulis kami ini yang berjudul
Berbahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar. Dan atas bimbingan dan saransaran Bapak, saya ucapkan terimakasih.

12

Вам также может понравиться