Вы находитесь на странице: 1из 14

Asuhan Keperawatan Fraktur Tibia- Fibula ( Cruris )

A. Anatomi dan Fisiologi


Sistem kerangka terdiri dari susunan berbagai macam tulang- tulang yang banyaknya
sekitar 206 buah tulang, yang satu sama lainnya berhubungan yang terdiri dari:
1.

Tulang kepala yang berbentuk tengkorak : 8 buah

2.

Tulang muka / wajah : 14 buah

3.

Tulang Telinga dalam : 6 buah

4.

Tulang lidah : 1 buah

5.

Tulang tulang yang membentuk kerangka dada : 25 buah

6.

Tulang tulang yang membentuk tulang belakang dan gelang panggul : 26 buah

7.

Tulang tulang anggota yang membentuk lengan ( anggota gerak atas ) : 64 buah

8.

Tulang tulang yang membentuk kaki ( anggota gerak bawah ) : 62 buah. ( Syaifuddin, 1997
)
Fungsi kerangka antara lain:

1.

Menahan seluruh bagian bagian badan supaya jangan roboh.

2.

Melindungi alat tubuh yang halus seperti otak, jantung dan paru.

3.

Tempat melekatnya otot otot dan untuk pergerakan tubuh dengan perantaraan otot.

4.

Tempat pembuatan sel sel darah, terutama sel darah merah.

5.

Memberikan bentuk pada bangunan tubuh. ( Syaifuddin, 1997 )


Tulang ekstremitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh
dengan perantaraan gelang panggul, yang terdiri dari Os koksa ( tulang pangkal paha ), Os
femur ( tulang paha ), Os tibia ( tulang kering ), Os fibula ( tulang betis ), Os patela

( tempurung lutut ), Os tarsalia ( tulang pangakal kaki ), Os metatarsalia ( tulang telapak


kaki ), dan Os Falang ( ruas jari kaki ).
Os tibialis dan fibularis merupakan tulang pipa yang terbesar setelah tulang paha yang
membentuk pesendian lutut dengan Os femur. Pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang
disebut Os maleolus lateralis ( mata kaki luar ).
Os tibia bentuknya labih kecil, pada bagian pangkal melekat pada os fibula, pada bagian
ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut os
maleolus medialis.
( Syaifuddin, 1997 )

B. Gambaran Umum Fraktur Tibia - Fibula


1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula. ( Smeltzer & Bare, 2001 :
2357 )
2. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
a.

Trauma

1) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.


2) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
b. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.
c.

Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut

d. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
3. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi
akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit,
ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang
terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian
merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh
darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler,
kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma
hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang
terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan
syndrom comportement.
4. Klasifikasi
Jenis Fraktur :
a.

Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran dari posisi normal.

b. Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.

c.

Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen frakturnya
tidak menembus jaringan kulit.

d.

Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen
frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada tempat
fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)

1) Grade I : Luka bersih, panjang


2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak yang ekstensif,
merupakan yang paling berat.
(Smeltzer & Bare and Bare, 2002 : 2357 2358)
Jenis khusus fraktur :
a.

Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkok.

b. Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.


c.

Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

d. Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang


e.

Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen

f.

Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang
tengkorak dan tulang wajah)

g. Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
h. Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit pegel,
tumor)
i.

Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon pada perlekatannya

j.

Epifiseal : Fraktur melalui epifisis

k. Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.


(Smeltzer & Bare and Bare, 2002 : 2357 2358)

5. Manifestasi Klinis
a.

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b.

Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melengketnya obat.

c.

Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm

d.

Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.

e.

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah
cedera.

6. Proses Penyembuhan Tulang


a.

Stadium Pembentukan Hematoma


Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma
dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 2 x 24 jam.

b. Stadium Proliferasi
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini
menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga terjadi
dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.
c.

Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa kalus
terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 10 hari
setelah kecelakaan terjadi.
d. Stadium Konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara
bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 10 setelah kecelakaan.
e.

Stadium Remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang yang
berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan. (Rasjad, 1998 : 399 401)

7. Pemeriksaan Penunjang
a.

Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma

b.

Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c.

Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d.

Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun


( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).

e.

Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.


(Doenges, 2000 : 762)

8. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a.

Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui
riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi
tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.

b. Reduksi

Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan
ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips.
Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV, sedative atau
blok saraf lokal.
c.

Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik
fiksator eksterna.

d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan
ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric
dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah.
( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 2361 )
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan
imobilisasi awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar tendon bearing.
Reduski harus relative akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saatnya di mana sangat
sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan
dalam posisinya dengan gips ( mis. Teknik pin dalam gips ) atau fiksator eksterna yang
digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari.
Aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi
gips tungkai pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan
lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.

Fraktur terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna
dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong
dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya 4
sampai 6 minggu.
( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 : 2386 )

C. Gambaran Umum ORIF ( Open Reduduction Intra Fixation )


ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada
tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang
agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi
Internal. ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian
tulang pada fraktur secara bersamaan.
E.

Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Post ORIF ( Open
Reduction Intra Fixation )

1.

Pengkajian
Menurut Doenges, Marilynn. 2000 : 761 adalah data dasar pengkajian klien adalah sebagai
berikut :

vitas/Istirahat

ulasi

Tanda : Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).

Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) dan
hipotensi. Takikardia (respon stress, hipovolemia). Penurunan atau tak ada nadi pada bagian
distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan
jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c.

Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesis).
Tanda : Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot,
terlihat kelemahan atau hilang fungsi. Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau
ansietas atau trauma lain).

d.

Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau
kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme atau kram otot setelah imobilisasi).

e.

Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal
(dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).

f.

Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Lingkungan cedera. Memerlukan bantuan dengan transportasi, aktivitas perawatan
diri, dan tugas pemeliharaan atau perawatan rumah.

2.

Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, Marilynn dan Lynda juall, Carpenito diagnosa keperawatan yang
dapat di tegakkan pada klien dengan fraktur meliputi :

a.
b.

Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).


Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan lunak.

c.

Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer, berhubungan dengan penurunan aliran darah ;
cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.

d.

Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau
emboli lemak, perubahan membran alveolar atau kapiler.

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktik (imobilisasi tungkai).
f.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka,
bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.

g.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan
kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.

h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan)
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
3.

Perencanaan Keperawatan

a.

Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).


Kriteria hasil :

1) Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur


2) Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada sisi fraktur.
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi.
2) Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
3) Sokong fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
b.

Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan lunak.
Kriteria hasil :

1) Menyatakan nyeri hilang

2) Menunjukkan tindakan santai, maupun beradaptasi dalam aktivitas hidup


Intervensi :
1) Pertahankan imobilisasi
2) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
3) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan posisi.
4) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau dalam, lokasi progesif atau
buruk tidak hilang dengan analgetik.
5) Lakukan kompres dingin atau es 24 48 jam pertama dan sesuai keperluan.
6) Berikan obat sesuai indikasi.
c.

Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah;
cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus.
Kriteria hasil :
Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit, hangat atau kering,
sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil dan haluaran urine adekuat untuk situasi
individu.
Intervensi :

1) Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit


2) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3)

Kaji jaringan sekitar gips untuk titik yang kasar atau tekanan. Selidiki keluhan rasa
terbakar dibawah gips.

4) Selidiki tanda iskemia


5) Awasi tanda vital
d.

Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau
emboli lemak, perubahan membran alveolar atau kapiler.
Kriteria hasil :

Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya sianosis.

Intervensi :
1) Awasi frekuensi pernafasan
2) Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk. Reposisi dengan sering.
3) Berikan tambahan O2 bila diindikasikan.
4) Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, latergi, stupor.
e.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,


terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
Kriteria hasil :

1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
2) Mempertahankan posisi fungsional.
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi :
1) Kaji derajat imobilitas
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3) Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit.
4) Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5) Auskultasi bising usus.
f.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka,
bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup.
Kriteria hasil :

1) Menyatakan ketidaknyaman hilang


2)

Menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi.

3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan lesi terjadi.


Intervensi :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang.
3) Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4) Ubah posisi dengan sering.
g.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer; kerusakan
kulit; trauma jaringan, terpajan pada lingkungan.
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :

1) Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.


2) Berikan perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
3) Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4) Awasi pemeriksaan laboratorium.
5) Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
h.

Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan ) berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil :

1) Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.


2) Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
2)

Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapi fisik bila
diindikasikan.

3) Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi diatas dan dibawah fraktur.
4.

Pendokumentasian
Pelaksanaan tindakan keperawatan diikuti dengan dokumentasi yang lengkap dan akurat
terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan. Jenis catatan keperawatan yang
digunakan untuk mendokumentasikan tindakan keperawatan adalah catatan perkembangan
SOAPIE.
S : Data subjektif. Perkembangan didasarkan pada apa yang
dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.
O : Data objektif. Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh

perawat.
A : Analisis. Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun

objektif, dinilai dan dianalisis, apakah berkembang ke arah


perbaikan atau kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan
sampai di mana masalah yang ada dapat teratasi/ adakah
perkembangan masalah baru yang menimbulkan diagnosa
keperawatan baru.
P : Rencana penanganan klien, dalam hal ini didasarkan pada hasil

analisis di atas yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya


apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat
rencana baru bila rencana awal tidak efektif.
I : Implementasi. Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.
E : Evaluasi. Berisi penilaian tentang sejauh mana rencana tindakan

dan evaluasi telah dilaksanakan, dan sejauh mana masalah klien


teratasi. (Hidayat, 2001)

Вам также может понравиться