Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh :
Komang Noviantari
1302105006
2006).
BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi
pertumbuhan
nodul-nodul
fibroadenomatosa
majemuk
dalam
prostat;
BPH. Data menunjukkan bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang
lebih tinggi tampaknya berada pada status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan
yang buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir
50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan
hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5%
pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu,
jika dilihat dari 200 juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100
juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia
menderita penyakit BPH (Heffner, 2005).
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam
sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT).
Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang
dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
kompleks. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel (Hardjowidjoto,
2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel yang
telah mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan didegradasi oleh enzim
lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Patofisiologi
al,
2008).
Hiperplasia
prostatika
adalah
pertumbuhan
nodul-nodul
keluhan
prostatismus,
pada
DRE
(digital
rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol, batas
atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Gejala Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang,
volume urine menurun, dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak
lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa seperti
kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml
urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan
infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer,
2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut
dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia, urgensi (kebelet),
urgensi
mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat berkemih, inkontinensia overflow, dan
kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba
pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang
penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan
rectal untuk menilai besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya 20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 40 gram.
c) Derajat III = beratnya 40 gram.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk menyingkirkan
gagal ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria dengan
hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana. Pemeriksaan ini
dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau dicurigai mengidap
hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna BPH.
Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran dilakukan.
Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL, kemudian laju maksimal
aliran urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan
besar prostat juga keadaan buli buli termasuk residual urin. Pemeriksaan
dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami hematuria
dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US atau
praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen spesifik-prostat
dalam serum dapat membantu memperkirakan perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyanganyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi
urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya 20 gram, derajat II = beratnya antara
20 40 gram, derajat III = beratnya 40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi
dasar kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan
divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang.
Pemeriksaan urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang
dari 10 mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung
kemih yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).
10. Terapi/Tindakan Penanganan
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2007) adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi konsumsi
kafein; menggunakan Bloker - adrenergic (misalnya fenoksibenzamin,
prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler prostat
(misalnya finasteride); kateterisasi intermiten jika terdapat kegagalan otot
detrusor; dan dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak
siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin 100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1)
2)
3)
4)
adrenoreseptor
alfa.
Pengobatan
konservatif
adalah
dengan
retensi urine
Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
- Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi knee
chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah
untuk menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat
perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya?
Dan apa penyebab sakitnya saat ini?
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,
muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi
masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai
aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
takut
inkontinensia/menetes
selama
hubungan
intim,
Diagnosa
Keperawatan
Gangguan
eleminasi
Intervensi
Setelah
Label:
diberikan
asuhan NIC
Rasional
Urinary
berhubungan
jam,
diharapkan
berkemih
Urinary
Evaluasi
Elimination
Management
sudah
termasuk
frequensi,
S: pasien mengatakan
adanya dengan
ditandai dengan
dan
namun a. Pola
sedikit-sedikit,
nokturia,
dysuria, retensi
teratur
b. Jumlah
warna
jika
diperlukan
eleminasi
3. Identifikasi
kejadian puas
ketidaknyamanan
keseimbangan
input
anyangan,
dribling
dan
urine
f. Warna
urine
kekuningan
jernih
keluarga
urinary
diperlukan
berkemih
VU
mencatat
output
perasaan
dan
nokturia
e. Tidak mengalami retensi
saat
sempurna)
kontribusi
yang
output cairan
cc/kgBB/jam)
urine, urgensy
menyebabkan
5. Untuk mengetahui
c. Tidak
nyeri
saat
(dorongan
gangguaneliminasi urine
berkemih klien
berkemih
berkemih),
d. Tidak
mengalami 4. Instruksikan klien dan
anyang-
saat
tidak
nokturia,
nyeri
(pengosingan
4. Mengevaluasi
factor
lancar,
berkemih,
3. Mengurangi
berkemih
mengalami
bisa
urine
dalam
rentang
karakteristik
perawatan normal
urine
g. Pengosongan
mengatasi
dan
prosedur
klien
2. Membantu mengosongkan P: pertahankan kondisi
kandung
kemih
dengan pasien
teknik nonfarmakologis
3. Membantu
klien
mengosongkan
untuk
kandung
kemih
4. Memandirikan
klien
dan
keluarga
5. Memastikan apakah output
sesuai dengan input cairan
klien
pemasangan kateter
2. Gunakan teknik sterile Urinary Catheterization
ketika
melakukan
1. Meningkatkan pengetahuan
pemasangan kateter
3. Gunakan selang kateter
menurunkan
klien
terhadap
kecemasan
prosedur
terjadinya
infeksi
3. Menurunkan
pada
rasa
saat
nyeri
prosedur
Medication Management
dilakukan,
dibutujkan
dan
diadministrasikan
menurut
resep
dan
prosedur
mencegah
terjadinya
Medication Management
medication
3. Menghindari adanya
respon yang merugikan
4. Menghindari efek yang
2. Memantau keefektifan
pemberian medikasi
1. Penanganan farmakologis
tidak diinginkan
5. Monitoring perbaikan
klien
dan
penyembuhan
6. Meningkatkan
7. Meningkatkan pemahaman
Bladder Irrigation
obat
kebutuhan)
2. Lakukan irigasi dengan Bladder Irrigation
teknik steril
3. Bersihkan tempat untuk
memasukan dan cairan
mengeluarkan
cairan
dengan alkohol
4. Monitor dan pertahankan
kecepatan
sesuai
5. Catat
aliran
cairan
yang
yang
1. Agar
tindakan
yang
kondisi
pasien
2. Untuk mencegah terjadinya
infeksi
3. Tujuan
adalah
membersihkannya
agar
tidak
ada
digunakan,
karakteristik
seimbang
dengan
tubuh
pasien.
Karakteristik
output
mencerminkan
2
Nyeri
berhubungan
dengan
dengan
bladder pasien
Pain Management
Pain
Label
keadaan
karakteristik,
pasien.
Identifikasi
S: pasien mengatakan
nyeri
yang
dialami
melaporkan
nyeri
2 Eliminasi
factor
yang
secara
Nonfarmakologi
NOC Label : Pain contol
memungkinkan
klien
untuk
mengontrol
nyeri
muncul
yang
secara
1 Menggunakan
tidak
mengontrol nyeri
dapat
memberikan intervensi
Vital Sign
1. Tanda-tanda
menentukan
vital
mampu
perubahan-
menunjukkan
yang
adanya
Risiko
berhubungan
Label
Infection
(pemasangan
hasil:
kateter)
NOC Label:
Process
1. Bersihkan
lingkungan
perlu
3. Instruksikan pengunjung
untuk mencuci tangan
a. Dapat mengidentifikasi
factor risiko infeksi
b. Mampu melaksanakan
peningkatan
waktu
istirahat
c. Mampu
saat
berkunjung
setelah berkunjung
4. Gunakan sabun
mikroba
untuk
dan
kebersihan lingkungan
d. Mengetahui
risiko
infeksi personal
e. Mengetahui kebiasaan
berhubungan
anti
cuci
sesudah
tindakan
keperawatan
6. Gunakan
universal
tangan
infeksi
S: pasien mengatakan
nosocomial
yang tanda
infeksi
seperti
serta
bengkak
tidak
ada
peningkatan WBC
tangan
5. Cuci tangan sebelum dan
mempertahankan
yang
1. Mencegah
lain
2. Batasi pengunjung bila
tubuh pasien.
NIC Label : Infection Control
selama
pengunjung
4. Membantu
kuman
yang
ditularkan pasien
melalui tangan
5. Mencegah
terjadinya
resiko
infeksi
akibat
tidak utuh
7. Tingkatkan intake nutrisi
dan cairan
8. Berikan terapi antibiotik
bila perlu
9. Observasi dan laporkan
tanda dan gejal infeksi
seperti
kemerahan,
dan
keluarga
mencegah
imunitas
pasien
8. Mengurangi infeksi yang
dialami pasien
9. Agar
dapat
melakukan
temperature
salah
satu
WBC
menunjukkan
terjadinya
meningkatkan
imunitas pasien
13. Memantau adanya tandatanda infeksi
Kerusakan
Label:
Tissue
tentang
pihak
Wound Care
1. Untuk mengetahui
luka
dan
keadaan
S: klien mengatakan
jenis
luka
O: tidak ada drainase
pasien.
2. Cairan
normal
cairan
sehingga
aman
digunakan,
teknik
A: tujuan tercapai
terjadinya infeksi.
P: pertahankan kondisi
3. Mencegah terjadinya iritasi
pasien.
pada kulit dan membantu
mempercepat
proses
penyembuhan luka.
4. Untuk membantu
penyembuhan
proses
luka
dan
tidak
terpapar
adanya
tanda
mikroorganisme.
6. Agar pasien dan keluarga
dapat
melakukan
mandiri
secara
terutama
saat
dan
dirawat di rumah.
gejala sistemik atau local 7. Mengetahui perkembangan
luka
dari infeksi
2.
Anjur
kan pemberian antibiotic
Infection Protection
diperlukan
3.
Ajarka
Mengetahui
infeksi
Pemberian
adalah
infeksi
melawan
4.
Ajarka
untuk
terjadinya
antibiotic
membantu
mikroorganisme
terjadinya infeksi
melaporkan ke pelayanan
kesehatan serta mencegah
4.
terjadinya komplikasi
Agar tidak terjadi infeksi.
Defisiensi
S: pasien mengatakan
pengetahuan
mengetahui
berhubungan
dengan
jam
pasien
kurang tentang
proses
pasien
dengan
pengungkapan
Disease Process
masalah
a. Pasien
dan
keluarga
tingkat
pengetahuan
tentang
penyakit
bagaiman
mampu
mendeskripsikan proses
penyakit,
faktor
dan
hal
berhubungan
keluarga
proses
ini
dengan
penyakit
efek penyakit, tanda dan 5. Identifikasi kemungkinan
penyakit.
c. Pasien dan
perjalanan
yang tepat
keluarga 6. Sediakan
mampu
dengan
cara
informasi
mendeskripsikan
tindakan
penyebab
untuk
menurunkan
progresifitas penyakit.
informasi
dideritanya
2. Meningkatkan pengetahuan
pasien mengenai penyakit O:
yang dialaminya
pasien
mampu
terlihat
menjalani
dengan
pada penyakit
4. Gambarkan
akan
P: pertahankan kondisi
5. Mengetahui
penyebab pasien
penyakit
sehingga
pasien
mengetahui
penyakit
yang
sedang dialaminya
tentang
kemajuan pasien
8. Diskusikan
perubahan
untuk
mencegah komplikasi di
masa yang akan datang
dan
atau
proses
pengontrolan penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi
10. Gambarkan
rasional
rekomendasi manajemen
terapi
mempercepat
proses penyembuhan
9. Pilihan terapi yang tepat
akan mempercepat proses
penyembuhan pasien
10. Meningkatkan pengetahuan
pasien
dan
keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl M.
2013. Nursing Interventtions Classification (NIC), Sixth Edition.USA : Mosby
Elsevier
Davey, P. (2002). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series
Grace, P.A., dan Borley, N.R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga, 169. Jakarta:
Erlangga
Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi.
Press
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series
Herdman, T.H. and Kamitsuru, Shigemi. 2014. Nursing Diagnoses Definitions and
Classification (NANDA) 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell
McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar
Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto. (2008).
Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue., Jonson, Marion., Mass, Meridean L. and Swanson, Elizabeth. 2008.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier
Pakasi, R. (2009) Total Prostate Spesific Antigen, Prostate Spesifik Antigen density and
Histophatologic Analysis on benign Enlargent of Prostate. The Indonesian Journal of
medical Science Volume 1 No.5. http://med.unhas.ac.id diakses tanggal 4 Januari
2016
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Sederhana Untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta: Gramedia.
http://books.google.co.id/books?
id=6GUZoTu03b4C&pg=PA112&dq=benign+prostatic+hyperplasia+adalah&hl=en
&sa=X&ei=lCd8VJaFFYLUuQS7nILQAg&redir_esc=y#v=onepage&q=benign
%20prostatic%20hyperplasia%20adalah&f=false (diakses pada tanggal 4 Januari
2016)
Schwartz, S.I. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8.Jakarta : EGC