Вы находитесь на странице: 1из 13

OUTLINE SKRIPSI

PENGARUH APLIKASI LOKAL GEL PROTEIN SERISIN KOKON


BOMBYX MORI TERHADAP DENSITAS PEMBENTUKAN KOLAGEN
DALAM PROSES PENYEMBUHAN LUKA GINGIVA LABIAL
PADA TIKUS GALUR WISTAR JANTAN

Disusun oleh :
ESRA PRASETYO
G1G010055

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2013
A. Latar Belakang

Di dunia kedokteran gigi tindakan bedah mulut merupakan tindakan


korektif jaringan periodontal, baik untuk mengeliminasi jaringan lunak,
jaringan keras atau untuk tujuan estetis. Tindakan tersebut dapat menimbulkan
luka gingiva (Pinheiro dkk.,2004). Proses penyembuhan luka memerlukan
reaksi selular, reaksi molecular dan reaksi biokimia yang kompleks, kontribusi
masing-masing sel untuk penyembuhan luka merupakan variabel yang
berperan dalam fase inflamasi. Penyembuhan luka merupakan faktor penting
pasca pencabutan gigi dan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan
berbagai proses meliputi inflamasi akut menyusul terjadinya kerusakan
jaringan, regenerasi sel parenkim, sintesa protein extra cellular (ECM),
remodeling jaringan ikat, kolagenasi, akuisisi kekuatan luka dan juga
melibatkan sel-sel darah, jaringan ikat, sitokin, dan growth factor (cotran dan
kumar, 1999). Komponen-komponen tersebut memerlukan beberapa mediator
dan zat-zat tertentu agar berjalan optimal, dan sebagian besar diantaranya
dipenuhi dari luar tubuh (Constantinnides, 1994). Kekurangan asupan beberapa
zat dapat memengaruhi penyembuhan luka secara keseluruhan. Beberapa
diantaranya adalah:
1. vitamin A. Penting dalam pembentukan jaringan tulang dan epitel. Juga
pada imunitas dan diferensiasi sel.
2. Vitamin C. Penting dalam pembentukan kolagen, imunitas, dan sebagai
antioksidan pada jaringan. Salah satu dampak defisiensi yang sangat dikenal
adalah scurvy.
3. Vitamin E. Berperan sebagai antioksidan di lapisan kulit (terlarut dalam
lemak).
4. Bromelain. Mengurangi edema, kemerahan, nyeri, dan waktu penyembuhan
akibat trauma dan proses operasi. (catatan: hanya digunakan setelah operasi)
5. Glukosamin. Membantu pembentukan asam hialuronik pada luka. Asam
hialuronik sendiri berfungsi meningkatkan viskositas cairan sel dan
membantu mempertahankan keseimbangan jaringan.
6. Protein. Tidak ada proses pembentukan jaringan tanpa protein.
(Mackay dan miller, 2003)
Karena pertimbangan efek samping yang dapat ditimbulkan obat-obatan
kimia seperti povidone iodine yang dapat toksik terhadap sel (Thompson J,
2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 % dapat memberi rasa panas pada kulit.

Rasa terbakar akan nampak dengan iodine ketika daerah yang dirawat ditutup
dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan menyebabkan iritasi dan nyeri
pada sisi luka (Lilley dan Aucker, 1999).
Saat ini banyak pengobatan menggunakan substrat hewan sebagai obat
alternatif. Salah satu substrat hewan yang memiliki kandungan yang hampir
sama dengan asupan yang dibutuhkan pada penyembuhan luka yaitu protein
serisin yang merupakan protein albumin dan terkandung dalam kokon ulat
sutera, salah satu jenisnya yaitu bombyx mori yang berpotensi untuk dijadikan
sebagai salah satu alternatif dalam pengelolaan penyembuhan luka dengan efek
samping minimal dan harga yang lebih murah. Hingga kini belum banyak
penelitian mengenai khasiat pengobatan dengan menggunakan protein serisin.
Beranjak dari hal- hal diatas, diperlukan suatu penelitian mengenai pengaruh
aplikasi protein serisisin terhadap kecepatan pembentukan kolagen pada
penyembuhan luka pasca odontektomi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh aplikasi gel protein serisin terhadap densitas
pembentukan kolagen dalam proses penyembuhan luka gingiva labial tikus
galur wistar jantan
2. Berapakah konsentrasi optimal gel protein serisin Apakah terdapat pengaruh
perbedaan konsentrasi terhadap densitas pembentukan kolagen dalam proses
penyembuhan luka gingiva labial tikus galur wistar jantan
3. Apakah Potensi pemberian gel protein serisin lebih kuat di bandingkan
dengan povidone iodine 10% dalam mempercepat waktu penyembuhan luka
gingiva labial tikus galur wistar jantan

C. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh aplikasi gel protein serisin terhadap densitas
pembentukan kolagen dalam proses penyembuhan luka gingiva labial tikus
galur wistar jantan

2. Mengetahui konsentrasi optimal gel protein serisin dan pengaruh perbedaan


konsentrasi terhadap densitas pembentukan kolagen dalam proses
penyembuhan luka gingiva labial tikus galur wistar jantan.
3. Mengetahui Potensi pemberian gel protein serisin lebih kuat di bandingkan
dengan povidone iodine 10% dalam mempercepat waktu penyembuhan luka
gingiva labial tikus galur wistar jantan
D. Landasan Teori
1. Penyembuhan luka
Respon organisme terhadap kerusakan jaringan/organ serta usaha
pengembalian kondisi homeostasis sehingga dicapai kestabilan fisiologis
jaringan atau organ yang pada kulit terjadi penyusunan kembali jaringan
kulit ditandai dengan terbentuknya epitel fungsional yang menutupi luka
(Stroncek, 2008)
2. Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
a. Fase koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka
yang diikuti dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga
terbentuk klot hematoma. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu
fase inflamasi.
b. Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah
infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang
membentuk klot hematom mengalami degranulasi, melepaskan faktor
pertumbuhan seperti platelet derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor (TGF), granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF), C5a, TNF, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi menuju
daerah luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses
penutupan luka. Proses ini terjadi pada hari 2-4.
c. Fase proliperatif : Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah
trauma. Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi
hubungan

desmosomal

antara

keratinosit

pada

membran

basal

menyebabkan sel keratin bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak


melalui

interaksi

dengan

matriks

protein

ekstraselular

(fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor proangiogenik


dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF)
sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi.
d. Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada
proses penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi
kontraksi luka, akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin
mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan
luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III
digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks metalloproteinase yang
disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada masa 3 minggu
penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal (Staiano-Coco dkk., 1993)
Pada setiap proses penyembuhan luka ditemukan tiga bahan utama
yaitu: (1) bahan dasar jaringan, yang mengandung mukopolisakarida asam,
(2) pembuluh- pembuluh kapiler baru hasil proliferasi endotel pembuluhpembuluh kapiler yang rusak pada waktu terjadinya luka, dan (3) fibroblast
yang berperan menghasilkan serabut kolagen (Boyne, 1966). Fibroblast
merupakan jenis sel yang paling banyak terdapat pada jaringan ikat longgar
dengan bentuk gelendong atau fusiform, gepeng, berukuran besar, dengan
kandungan glikosaminoglikans sebagai unsur amorf.
Sel ini merupakan sel tetap pada jaringan ikat yang mampu tumbuh
dan beregenerasi seumur hidup serta merupakan sel yang dapat
menghasilkan kolagen (Leeson dan Paparo, 1985). Pada keadaan normal,
aktivitas pembelahan fibroblast sangat jarang terlihat, namun ketika terjadi
perlukaan sel ini terlihat lebih aktif dalam memproduksi matriks
ekstraselluler (Bloom dan Fawcett, 1994). Enoch dan Harding (2003)
menyebutkan bahwaproliferasi fibroblast secara alami distimulasi oleh
interleukin-Ib (IL-Ib), platelet derived growth factor (PDGF), dan fibroblast
growth factor (FGF). Sementara itu, Kanzaki dkk (1998) berpendapat bahwa
migrasi fibroblast distimulasi oleh transforming growth factor (TGF ).
Proses penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh peranan migrasi dan
proliferasi fibroblast pada area perlukaan.

Proses penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh beberapa senyawa


yang terdapat pada ekstrak obat-obatan alami antara lain saponin, flavonoid,
minyak atsiri, protein, dan vitamin C (Sudarsono dkk., 2002). Maheswari
(2002) mendefinisikan obat alami sebagai obat-obatan yang berasal dari
alam, tanpa rekayasa atau buatan, bisa berupa obat yang biasa digunakan
secara tradisional namun pembuatannya secara modern. Obat alami adalah
sediaan obat baik berupa obat tradisional, fitofarmaka, farmasetik atau
ekstrak.
3. Bombyx mori
Larva yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan sutera
untuk bahan dasar kain. Selain sebagai penghasil sutera, ulat ini juga
digunakan dalam pengobatan. Sebagaicontoh, kotoran ulat sutera banyak
dimanfaatkan sebagai obat jerawat. Ulat sutera banyak ditemukan di daerah
Asia. Dalam klasifikasi taksonomi, ulat sutera termasuk ke dalam ordo
Lepidoptera, subordo Bombycoidea, dan famili Bombycidae (Stehr, 1987).
Umumnya, makanan ulat sutera adalah daun mulberrySecara keseluruhan,
hidup ulat sutera terbagi atas 4 tahap (Sonthisombat & Speakman2004).
Tahap pertama, telur akan menjadi ulat muda setelah 912 hari. Tahap
kedua, ulat berkembang dengan instar I (34 hari), instar II (23 hari), instar
III (34 hari),instar IV (56 hari), dan instar V (76 hari).Tahap ketiga, ulat
menjadi kepompong dan membentuk kupu-kupu pada tahap keempat.
4. Protein serisin
Salah satu organ penting pada attacus atlas yaitu kelenjar sutera.
Kelenjar ini penghasil serat sutera dan merupakan organ terbesar kedua
dalam tubuh ulat sutera (Brasla & Matei 1997). Serat sutera alami terdiri
dari dua jenis protein yaitu fibroin dan serisin (Fabiani et al. 1996). Protein
fibroin merupakan protein serat sedangkan serisin merupakan perekatnya.
Protein serisin tersusun dari asam amino dengan urutan yang khas
(Lehninger 1982). Protein serisin Bombyx mori terdiri dari 18 jenis asam
amino yang sebagian besar merupakan kelompok senyawa polar kuat seperti
senyawa yang mempunyai gugus hidroksil, karboksil dan amino (Wei et al.
2005). Serisin dari Bombyx mori kaya akan serina yaitu sebesar 32% dan

asam aspartat 19% (Kwang et al. 2003), akan tetapi Wu et al. (2007)
menyatakan hasil serina sebesar 27,3%, asam aspartat 18,8%, glisina 10,7%
dan sedikit mengandung sistin 0,3% serta triptofan 0,4%. Serisin merupakan
protein dengan permukaan hidrofilik 70% dan hidrofobik 30%.
Kato et al. (1998) menyatakan serisin dapat menekan peroksidasi
lemak, menghambat aktifitas tirosinase secara in vitro (polifenol oksidase)
dan membantu aktifitas antioksidan pada kelompok senyawa yang
mempunyai hidroksil. Tirosinase adalah proses yang bertanggungjawab
terhadap biosintesis melanin kulit, sehingga serisin dapat dipergunakan
dalam dunia kosmetik. Protein serisin merupakan protein larut dalam air
yang mempunyai kemampuan luar biasa dalam antioksidan, anti apoptotik
dan anti inflamasi (Dash et al. 2008). Protein serisin dapat digunakan
sebagai cream dan lotion pada kulit karena dapat meningkatkan elastisitas
kulit, mencegah kekerutan dan penuaan dini (Padamwar & Pawar 2004).
Masahiro et al. (2000) menyatakan bahwa serisin dapat meningkatkan
kemampuan secara biologis Zn, Fe, Mg and Ca. Masakazu et al. (2003)
menemukan bahwa aktifitas serisin secara biologis dapat mencegah sel mati
dan merangsang pertumbuhan sel baru. Komposisi utama serisin Bombyx
mori menurut Wu et al. (2007) adalah protein (91,6%), abu (4,2%) dan gula
(0,93%), sedangkan menurut Gulrajani et al. (2008) adalah protein (58-62
%), nitrogen (9-10 %), dan abu (22%). Kedua komposisi serisin di atas
berbeda karena metode yang digunakan berbeda. Persentase nitrogen dalam
serisin murni dapat digunakan untuk menduga persentase proteinnya, yaitu
dengan mengalikan persentase nitrogen dengan faktor koreksi 6,25
(Apriyantono et al. 1989). Karakterisasi sifat kimia dari protein serisin
sangat berguna untuk aplikasi serisin selanjutnya. Protein serisin dapat
diekstraksi dari kokon (melalui proses degumming) dan kelenjar sutera
tengah. Degumming menggunakan bahan pengurai seperti sabun, NaOH
atau Na2CO3, sedangkan ekstraksi kelenjar sutera menggunakan reagen
tissue extraction.
E. Metode penelitian
1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan Post


Test Only Controlled Group Design. Yaitu jenis penelitian yang hanya
melakukan pengamatan terhadap kelompok kontrol dan perlakuan setelah
diberi suatu tindakan.

K(+)
K (-)
M

P1
P2
P3

Keterangan:
M

: Tikus

: Skrining awal untuk kriteria inklusi

: Randomisasi

K(+)

: Kontrol positif, tikus diberi povidone iodine 10%

K(-)

: Kontrol negatif, di beri aquadest steril

P1

: Perlakuan 1, tikus diberi gel protein serisin


Dengan konsentrasi 20% Dosis 2mg/kg BB

P2

: Perlakuan 2, tikus diberi gel gel protein


serisin dengan konsentrasi 40% Dosis 4 mg/kg BB

P3

: Perlakuan 3, tikus diberi gel protein serisin


dengan konsentrasi 80% Dosis 6 mg/kg BB

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium fakultas biologi Universitas
Jenderal Soedirman dan laboratorium farmasi Unsoed
3. Variabel Penelitian
a. Variabel Independent
Pemberian gel protein serisin
b. Variabel Dependent
Densitas pembentukan kolagen
4. Sampel Penelitian

a. Cara pengambilan sampel


Pengelompokan sampel dilakukan secara simple random
sampling. Hal ini berarti tiap anggota memiliki peluang yang sama untuk
masuk ke dalam kelompok penelitian (Tjokronegoro & Sudarsono,
2004:129).
kriteria sebagai berikut :
1) Kriteria inklusi :
a) Jenis kelamin jantan
b) Berat 150-250 gram ( 200 gram)Umur 4-5 bulan
c) Kondisi sehat (aktif dan tidak cacat)
2) Kriteria Ekslusi
a)
Tikus mengalami sakit
b)
Bobot tikus menurun ( kurang dari 200)
c)
Tikus mati dalam masa penelitian
d)
Terdapat kelainan bawaan pada anatomi dan fisiologi
b. Besaran sampel
Sampel penelitian ini adalah jumlah pengulangan yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan rumus Federer, yaitu (Kemas, 2003):
(t-1) x (r-1) 15
(5-1) x (r-1) 15
5 x (5-1) 15
5r-4 15
5r 20
r 4
Keterangan :
t : Jumlah perlakuan dalam penelitian
r : Jumlah perlakuan ulang (sampel)
Besar sampel ditentukan berdasarkan standar WHO yaitu minimal lima
ekor sampel untuk setiap kelompok perlakuan. Pada penelitian ini
terdapat lima kelompok perlakuan. Oleh karena itu, diperlukan minimal
25 ekor sampel. Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan 30 ekor
Cavia cobaya dibagi menjadi 5 kelompok, Masing-masing kelompok
teridiri dari 6 ekor marmut (cavia cobaya).
5. Ringkasan Cara Kerja
a. Proses ekstraksi protein serisin
Proses ekstraksi protein serisin dari kulit kokon terdiri dari dua
tahap, yaitu teknik degumming dan isolasi protein serisin. Degumming
adalah proses penguraian serat sutera (fibroin) dari perekatnya (gum atau
serisin) secara fisik yaitu dengan suhu dan tekanan tinggi (Padamwar &
Pawar 2004), serta secara kimia dengan NaOH 0,1 N (Suriana 2011).

Aini (2009) menyatakan bahwa degumming dengan penambahan


NaOH 2 g/l (0,05 N), teepol 2 cc/l, sabun netral 2 g/l pada perebusan
kokon Attacus atlas pada suhu 80C selama 2 jam akan menghasilkan
karakter serat sutera yang lebih baik dari sisi panjang serat dan bobotnya.
Basa kuat NaOH 0,1 N adalah bahan pelarut untuk degumming yang
menghasilkan fibroin terbaik Cricula trifenestrata (Suriana 2011).
Kokon bombyx mori mula-mula dicelupkan ke dalam air hangat
dengan suhu sekitar 40C untuk memisahkan partikel asing. Kokon
kemudian dicelupkan dalam air panas dengan suhu 95-98C, dan
selanjutnya direbus dalam larutan Na2CO3 2 g/l pada suhu 98-100C
selama 3 jam. Kokon kemudian dicuci menggunakan air panas dengan
suhu 95-98C, kemudian dicuci kembali dengan air hangat pada suhu
sekitar 40C. Kokon diisolasi dengan etanol selama 5 hari sebelum
digunakan untuk analisis karakteristik seratnya. Metode yang dikerjakan
Cui et al. (2009) dalam mengekstraksi serisin kasar dari kokon Bombyx
mori adalah dengan penambahan metanol (70% v/v perbandingan
terhadap air) yang kemudian didiamkan pada suhu 25C selama 10 hari.
Hal ini untuk menghilangkan pigmen dan komponen non organik. Tahap
selanjutnya adalah perebusan kokon pada suhu 98C selama 2 jam
dengan penambahan 0,5% Na2CO3. Padamwar & Pawar (2004)
menyatakan bahwa ekstraksi kokon Bombyx mori dengan autoklaf pada
suhu 105C selama 30 menit akan menghasilkan properti gel dan
rendemen yang baik. Proses isolasi protein serisin yang berkembang pada
dekade ini adalah menggunakan pelarut organik dan membran filtrasi.
Metode isolasi protein serisin yang dilakukan Wu et al. (2007)
adalah dengan menambahkan etanol absolut dingin (-18 C) kedalam air
rebusan hasil degumming. Etanol bersifat semi polar dengan gugus
hidroksil yang dapat melarutkan beberapa senyawa ionik seperti sodium
dan potasium hidroksida dan magnesium klorit (Shakhashiri 2009).
Penambahan etanol absolut dilakukan sedikit demi sedikit sampai 75%
(v/v) perbandingan dengan volume air rebusan hasil degumming,
selanjutnya didiamkan semalaman pada suhu (-18C). Campuran serisin
dan etanol kemudian disentrifugasi selama 20 menit pada 3500 rpm

10

(rotate per minute). Tahap akhir adalah pengeringbekuan larutan dengan


freeze drying. Gulrajani et al. (2008) memurnikan protein serisin dengan
membran filtrasi.
Metode tersebut diawali dengan sentrifugasi larutan hasil
degumming pada 9000 rpm selama 60 menit. Supernatan yang terbentuk
akan dibuang sedangkan endapannya akan disaring menggunakan filtrasi
Wattman filter grade 1 (11 m). Tahap selanjutnya adalah filtrasi
menggunakan ultrafiltration (UF). Hasil filtrasi dengan UF akan di spray
drying dengan suhu inlet 180C dan atomisasi 3 kg/cm2. Metode lain
yang menggunakan membran filtrasi adalah Cui et al. (2009), tahap
pertama air rebusan hasil degumming disimpan pada suhu 25C selama 2
hari. Larutan tersebut kemudian difiltrasi dengan filtrasi kertas nomor 1,
selanjutnya didialisis pada molecular weigth cut off (MWCO) 10.000
membran selama 3 hari. Isolat kemudian dikering bekukan dengan
lyophilizati.
b. Pembuatan gel
Metil paraben (0,2%) dilarutkan dalam air suling dengan
memanaskan hingga suhu 70 C, selanjutnya ditambahkan pembentuk gel
(Natrium CMC atau karbopol) diaduk hingga mengembang membentuk
gel, kemudian ditambahkan bahan lain seperti gliserin (10%),
propilenglikol (10%) sebagai humektan, trietanolamin (5%) platisizer
dan pe-netral pH trietanolamin. Protein serisin ditambahkan ke dalam
basis gel yang telah terbentuk, diaduk hingga homogen.
c. Persiapan hewan uji coba
Hewan coba diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu (LPPT) Unit IV UGM Yogyakarta yang dibeli dari Peternakan
Tradisional Yogyakarta. Sebelum pengujian dilakukan aklimatisasi
kelinci di laboratorium selama 1 minggu. Hewan coba diadaptasikan
selama tujuh hari, diberi makanan standar dan minum. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh keseragaman sebelum dilakukan penelitian dan untuk
mengontrol hewan coba.
d. Pengelompokan Hewan Coba
Pengelompokan sampel dilakukan secara simple random
sampling. Hal ini berarti tiap anggota memiliki peluang yang sama untuk

11

masuk ke dalam kelompok penelitian. Hewan coba diberi nomor,


kemudian dipilih secara acak dan dikelompokkan sebagai berikut.
1) Kelompok kontrol (+) di beri perlukaan kemudian di beri povidone
iodine 10%
2) Kelompok kontrol (-) : diberi perlukaan kemudian di beri aquadest
steril
3) Kelompok perlakuan (P1) : diberi perlukaan kemudian diberi gel
protein serisin dengan konsentrasi 20% dosis 2mg/kg BB
4) Kelompok perlakuan (P2) : diberi perlukaan kemudian diberi gel
protein serisin dengan konsentrasi 40% dosis 4mg/kg BB
5) Kelompok perlakuan (P3) : diberi perlukaan kemudian diberi gel
protein serisin dengan konsentrasi 80% dosis 6mg/kg BB
e. Perlakuan hewan coba
1) Dua puluh lima ekor tikus yang telah dipilih sesuai kriteria sebagai
subyek penelitian dianestesi menggunakan ketamin dengan dosis 24
ml/g BB.
2) Tikus yang telah teranestesi dibuat perlukaan menggunakan punch
biopsy pada gingiva tikus bagian labial rahang bawah antara gigi
incisivus dengan diameter 2 mm, hingga kedalaman mencapai tulang
alveolar.
3) Luka yang terjadi dibersihkan dengan NaCl fisiologis dan H2O2 3%.
4) Bahan aplikasi yang telah disiapkan, diaplikasikan pada daerah luka
pasca punch biopsy gingiva labial tikus
5) Bahan coba dia aplikasikan 2 kali sehari pagi dan sore hari selisih 6
jam selama 7 hari
6) Pada hari ke-8 semua tikus dimatikan dengan cara tikus diinjeksi
dengan phenobarbital 100 mg/kgBB secara intramuskular pada bagian
paha atas untuk memberikan efek sedasi. Selanjutnya jaringan gingiva
pada daerah perlukaan diambil dan dibersihkan dengan cairan
fisiologis.
7) Dibuat preparat histopatologi yang digunakan untuk melihat densitas
pembentukan kolagen
6. Rencana Analisis
a. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik boxplot.
b. Uji normalitas data dengan uji Shapiro Wilk (kriteria normal p>0,05).
c. Data yang didapatkan memiliki sebaran normal memiliki variansi
homogeniety yang normal (P<0.05) untuk dapat dilakukan uji post hoc.
Sehingga pengolahan data dilanjutkan dengan uji parametrik one way

12

anova diperoleh perbedaan yang bermakna (p<0,05) dilanjutkan uji Post


Hoc berupa uji Least significance difference (LSD) untuk menganalisis
perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok gel
protein serisin konsentrasi 20%, 40%, dan 80%.

Вам также может понравиться