Вы находитесь на странице: 1из 17

Kebiasaan oral habit dan dampaknya

No
1

Oral Habit
Digit sucking

Dampak
Open bite anterior, peningkatan overjet, ra
anterior

protrusif,

RB

anterior

retrusif,

Tongue thrusting

crossbite anterior, lengkung maksila bentuk v


Open bite

Mouth breathing

(1 ) anterior open bite, (2) erupsi gigi posterior


yang berlebihan, (3) arkus maksila yang
sempit, (4) overjet yang berlebihan, (5)
pertumbuhan mandibula yang buruk , (6)
palatum sempit dan tinggi dengan bentuk huruf
v, (7) insisivus yang protrusif , (8) oklusi Angle
kelas II divisi 1, (9) gigi berjejal pada lengkung
rahang bawah dan atas, (10) gangguan
pertumbuhan vertikal, (11) posisi lidah yang

Bruxism

rendah yang menganggu fungsi


(1) menurunnya petumbuhan vertikal dari
maksila posterior, (2) deep overbite gigi

Lip sucking

anterior.
(1) protrusif gigi anterior rahang atas, (2)
retrusif gigi anterior rahang bawah, (3)
peningkatan overjet, (4) diastemata anterior
rahang atas, (5) crowding gigi anterior rahang
bawah, (6) hiperaktivitas muskulus mentalis,
dan (7) pendalaman sulkus mentolabialis.

Selulitis facialis
Definisi :penyebaran inflamasi akut pada permukaan jaringan lunak.
Infeksi odontogen akan menyebar melalui
spasium bucal dan infratemporalis
Sialolithiasis

3 spasium yaitu spasium canina,

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan


pada kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi
pada duktus kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga
karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan
mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.
Sebagian besar (80%-90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula,
(warthons duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari
sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi
pada duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis
SIALADENITIS
Sialadenitis adalah infeksi bakteri dari glandula salivatorius, biasanya
disebabkan oleh batu yang menghalangi atau hyposecretion kelenjar. Proses
inflamasi yang melibatkan kelenjar ludah disebabkan oleh banyak faktor etiologi.
Proses ini dapat bersifat akut dan dapat menyebabkan pembentukan abses
terutama sebagai akibat infeksi bakteri. Keterlibatannya dapat bersifat unilateral
atau bilateral seperti pada infeksi virus. Sedangkan Sialadenitis kronis nonspesifik
merupakan akibat dari obstruksi duktus karena sialolithiasis atau radiasi eksternal
atau mungkin spesifik,yang disebabkan dari berbagai agen menular dan gangguan
imunologi.
Etiologi
Sialadenitis biasanya terjadi setelah obstruksi hyposecretion atau saluran
tetapi dapat berkembang tanpa penyebab yang jelas. Terdapat tiga kelenjar utama
pada rongga mulut,diantaranya adalah kelenjar parotis, submandibular, dan
sublingual. Sialadenitis paling sering terjadi pada kelenjar parotis dan biasanya
terjadi pada pasien dengan umur 50-an sampai 60-an, pada pasien sakit kronis
dengan xerostomia, pasien dengan sindrom Sjgren, dan pada mereka yang
melakukan terapi radiasi pada rongga mulut. Remaja dan dewasa muda dengan
anoreksia juga rentan terhadap gangguan ini. organisme yang merupakan
penyebab paling umum pada penyakit ini adalah Staphylococcus aureus;
organisme lain meliputi Streptococcus, koli, dan berbagai bakteri anaerob.

Gejala umum
meliputi gumpalan lembut yang nyeri di pipi atau di bawah dagu, terdapat
pembuangan pus dari glandula ke bawah mulut dan dalam kasus yang parah,
demam, menggigil dan malaise (bentuk umum rasa sakit).
TORUS PALATINUS
Torus palatinus merupakan varian normal yang sering dijumpai oleh
doktergigi saat pemeriksaan rutin. Torus palatinus biasanya ditemukan tidak
sengajadan pasien tidak memiliki keluhan terhadap torus.Hal ini menyebabkan tor
us palatinus jarang dilakukan perawatan kecuali untuk kebutuhan pembuatan gigi
tiruan, torus dipertimbangkan untuk dibuang.
Torus atau eksostosis diartikan sebagai penonjolan tulang kongenital
dengan karakter jinak mengarah pada osteoblas yang berlebihan sehingga tulang
menjadi menumpuk sepanjang garis dari fusi palatum atau badan mandibula.
Eksostosis yang paling sering ditemukan pada manusia adalah torus palatinus dan
torus mandibularis. Torus palatinus seperti nodul dari tulang yang terjadi
sepanjang midline dari palatum keras. Torus mandibularis merupakan penonjolan
tulang yang terletak pada aspek lingual dari mandibula.
Kebanyakan torus tidak menyebabkan gejala. Ada banyak variasi bentuk
dari torus palatinus antara lain dapat berupa flat, nodul, lobul dan spindle. Bila
tidak

ada

keluhan,

torus

palatinus

tidak

memerlukan

perawatan.

Namun pada pasien yang menggunakangigi tiruan, torus palatinus ini dapat meng
ganjal basis gigi tiruan sehingga harus dihilangkan dengan pembedahan
GRANULOMA
Suatu agregasi sel-sel inflamasi mononukleus atau kumpulan makrofag
termodifikasi yang menyerupai sel epitel yang biasanya dikelilingi suatu sabuk
limfosit, sering dengan sel raksasa bernukleus banyak. Pembentukan granuloma
menyiratkan adanya respons inflamasi kronik yang dimulai oleh agen infeksi dan
agen non-infeksius.Granulomatosis adalah setiap keadaan yang ditandai oleh
pembentukan granuloma multipe

apical granuloma : granuloma apikalis, lesi granulomatosa yang


berdampingan dengan apeks gigi, meluasnya lambat, biasanya terjadi sebagai
kelanjutan penyakit pulpa. Kebanyakan tidak menimbulkan gejala. Disebut
juga dental granuloma
EPULIS
Epulis adalah suatu tumor yang bersifat jinak non-neoplastic dan
pertumbuhannya berada di atas gingiva (interdental papilla) yang berasal dari
periodontal dan jaringan periosteum. Epulis ini dapat bersifat fibrous, hiperplastik,
maupun granulatif. Dalam pertumbuhannya epulis ini bisa tidak bertangkai atau
biasa disebut sensile dan bisa pula bertangkai (peduncullated).
Epulis Gravidarum
Epulis gravidarum adalah reaksi jaringan granulomatik yang berkembang pada
gusi selama kehamilan. Tumor ini adalah lesi proliferatif jinak pada jaringan lunak
mulut dengan angka kejadian berkisar dari 0.2 hingga 5 % dari ibu hamil. Epulis
tipe ini berkembang dengan cepat, dan ada kemungkinan berulang pada kehamilan
berikutnya.
Epulis tipe ini berkembang dengan cepat, dan ada kemungkinan berulang pada
kehamilan berikutnya. Tumor kehamilan ini biasanya muncul pada trimester
pertama kehamilan namun ada pasien yang melaporkan kejadian ini pada
trimester

kedua

kehamilannya.

Perkembangannya

cepat

seiring

dengan

peningkatan hormone estrogen dan progesteron pada saat kehamilan. Hormon


progesteron pengaruhnya lebih besar terhadap proses inflamasi/keradangan.
Pembesaran gingival akan mengalami penurunan pada kehamilan bulan ke-9 dan
beberapa hari setelah melahirkan. Keadaannya akan kembali normal seperti
sebelum hamil.
Penyebab dari tumor diduga kuat berhubungan erat dengan perubahan
hormonal yang terjadi pada saat wanita hamil. Faktor lain yang memberatkan
keadaan ini adalah kebersihan mulut ibu hamil yang buruk. Faktor penyebab
epulis gravidarum dapat dibagi menjadi 2. Yakni penyebab primer dan penyebab
sekunder :

a. Penyebab primer
Iritasi lokal seperti plak merupakan penyebab primer epulis gravidarum
sama halnya seperti pada ibu yang tidak hamil, tetapi perubahan hormonal yang
menyertai kehamilan dapat memperberat reaksi keradangan pada gusi oleh iritasi
lokal. Iritasi lokal tersebut adalah kalkulus/plak yang telah mengalami
pengapuran, sisa-sisa makanan, tambalan kurang baik, gigi tiruan yang kurang
baik.
b. Penyebab sekunder
Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang menyebabkan perubahan
keseimbangan hormonal, terutama perubahan hormon estrogen dan progesterone.
Peningkatan konsentrasi hormon estrogen dan progesterone pada masa kehamilan
mempunyai efek bervariasi pada jaringan, diantaranya pelebaran pembuluh darah
yang mengakibatkan bertambahnya aliran darah sehingga gingiva menjadi lebih
merah, bengkak, dan mudah mengalami perdarahan.

Epulis gravidarum pada wanita hamil


Epulis gravidarum tampak sebagai tonjolan pada gingiva dengan warna
yang bervariasi mulai dari merah muda, merah tua hingga papula yang berwarna
keunguan, paling sering dijumpai pada gingiva anterior rahang atas. Umumnya
pasien tidak mengeluhkan rasa sakit namun lesi ini mudah berdarah saat
pengunyahan atau penyikatan gigi. Pada umumnya lesi ini berukuran diameter
tidak lebih dari 2 cm namun pada beberapa kasus dilaporkan ukuran lesi yang
jauh lebih besar sehingga membuat bibir pasien sulit dikatupkan.
Secara umum, epulis disebabkan oleh iritasi kronis dan gangguan
hormonal.

Maka

perawatannya

dapat

iritan/penyebab, kuretase, hingga eksisi.

berupa

menghilangkan

faktor

PHLEGMON
Phlegmon atau Ludwig's angina adalah suatu penyakit kegawatdaruratan,
yaitu terjadinya penyebaran infeksi secara difus progresif dengan cepat yang
menyebabkan timbulnya infeksi dan tumpukan nanah pada daerah rahang bawah
kanan dan kiri (submandibula) dan dagu (submental) serta bawah lidah
(sublingual), yang dapat berlanjut menyebabkan gangguan jalan nafas dengan
gejala berupa perasaan tercekik dan sulit untuk bernafas secara cepat (mirip
dengan pada saat terjadinya serangan jantung yang biasa dikenal dengan angina
pectoris). Sedangkan Ludwig's angina sendiri berasal dari nama seorang ahli
bedah Jerman yaitu Wilhem Von Ludwig yang pertama melaporkan kasus
tersebut.
Phlegmon adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Streptokokus
yang menginfeksi lapisan dalam dasar mulut yang ditandai dengan pembengkakan
yang dapat menutup saluran nafas.
Phlegmon berawal dari infeksi pada gigi (odontogenik), 90% kasus
diakibatkan oleh odontogenik, dan 95% kasus melibatkan submandibula bilateral
dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi yang berbahaya dan seringkali
merenggut nyawa.
Angka kematian sebelum dikenalnya antibiotik mencapai angka 50% dari
seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan antibiotika,
perawatan bedah yang baik, serta tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini
angka kematian (mortalitas) hanya 8%.
Kata angina pada Ludwig's angina dihubungkan dengan sensasi tercekik
akibat obstruksi saluran nafas secara mendadak. Penyakit ini merupakan infeksi
yang berasal dari gigi akibat perjalaran pus dari abses periapikal.

Gejala dari Ludwig's angina yaitu:

sakit dan bengkak pada leher (keras seperti papan)


leher menjadi merah
demam
lemah dan lesu
mudah capek
kesulitan bernafas

Pasien yang menderita penyakit ini mengeluh bengkak yang jelas dan lunak
pada bagian anterior leher, jika dilakukan palpasi tidak terdapat fluktuasi. Bila
terjadi penyakit ini maka perlu dilakukan tindakan bedah dengan segera dengan
trakeostomi sebagai jalan nafaas buatan. Kemudian jika jalan nafas telah ditangani
dapat diberikan antibiotik dan dilakukan incisi pada pus untuk mengurangi
tekanan. Dan juga perlu dilakukan perawatan gigi penyebab infeksi (sumber
infeksi) baik perawatan endodontik maupun periodontik.
Kejadian dari phlegmon ini akan menghebat seiring dengan keadaan
umum dari penderita, bila penderita mempunyai keadaan umum yang jelek
(diabetes dan sebagainya) maka phlegmon akan bergerak ke arah potensial space
atau rongga jaringan ikat kendor yang berada di bawahnya, dan hal ini bisa
mengakibatkan sepsis atau bakeri meracuni pembuluh darah.
Diagnosis Banding:

karsinoma lingua
sublingual hematoma
Abses glandula salivatorius
Limfadenitis
Peritonsilar abses.

Penatalaksanaan :

4 Prinsip utama :
1. Proteksi dan kontrol jalan napas
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
3. Insisi dan drainase abses
4. Hidrasi dan nutrisi adekuat

Tracheostomy --> jika terdapat sesak napas berat.


untuk mengurangi pembengkakan mukosa dapat diberikan nebulisasi

epinefrin
Antibiotik IV penisilin, klindamisin, siprofloksasin, cefoxitin, piperacilin-

tazobactam, amoksisilin-clavulanate, metronidazole.


pengobatan gigi mungkin diperlukan untuk infeksi gigi yang menyebabkan
angina Ludwig's.

Perawatan Luka Paska Bedah :

Infus RL/D5 sesuai kebutuhan cairan 60cc/kgBB/hari


Injeksi antibiotika dilanjutkan sampai 5 hari.
Kumur-kumur dengan obat kumur antiseptik/oral highiene yang baik.
Latihan buka mulut supaya tidak trismus, atau supaya muskulus mylohioid

dan sekitarnya kontraksi sehingga pus terpompa keluar.


Rawat luka dengan kompres larutan garam faali, sehingga luka terjaga

kebersihannya.
Evaluasi sumber infeksi (gigi) dan apakah ada diabetes mellitus.
Jangan lupa dianjurkan untuk berobat lanjutan sumber infeksinya

Komplikasi :
a. Obstruksi jalan napas
b. Infeksi carotid sheath
c. Tromboplebitis supuratif pada vena jugular interna
d. Mediastenitis

e. Empiema
f. Efusi pleura
g. Osteomielitis mandibula
h. Pneumonia aspirasi
Pencegahan :

pemeriksaan gigi ke dokter secara rutin dan teratur


penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi
yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig.

Nevus Pigmentosus
Sel nevus berpigmen adalah pigmentasi tahi lalat yang umum terjadi pada
kebanyakan orang. Nevus berasal dari melanosit, yaitu sel yang memproduksi
pigmen. Permukaan dari nevus bisa halus ataupun berbenjol-benjol tergantung
pada jumlah keratin yang dikandungnya. Pada tahi lalat bisa terdapat beberapa
rambut dengan ukuran panjangnya bervariasi. Warna dari nevus bervariasi mulai
dari sewarna kulit hingga coklat dan hitam tergantung pada jumlah dan lokasi dari
melanin dan pigmen di dalam tumor. Nevus dengan warna yang lebih gelap
memiliki pigmen yang lebih dekat permukaan.
Fibromatosus
Fibromatosus / fibrous enlargement adalah suatu kondisi yang jarang
terjadi, dimana kondisi ini ditandai dengan adanya pembesaran gingival yang
lambat pada kedua rahang, baik maksila maupun mandibula, warnanya seperti
gingival normal dan jaringan ikat gingival pada lapisan submukosa terdiri dari
jaringan keloid dan serabut kolagen. Pembengkakan biasanya tidak sakit,
berkembang lambat, dan bergantung pada derajat kebersihan oral individual.
Jaringann yang hyperplasia biasanya apabila dipalpasi terasa solid(padat),
mengalami inflamasi, dan edema. Edema dapat menyebabkan beberapa
permukaan yang berhadapan dengan gigi menjadi seperti spons, eritema, dan
mudah berdarah. Biasanya fibromantosis tidak menutupi seluruh permukaan gigi.
DENTAL

Persarafan :
Arteria alveolaris superior dan arteri alveolaris inferior, cabang arteria
maxillaris. Vena alveolaris superior dan vena alveolaris inferior dan pembuluh
limfe dari gigi- gigi dan gingivita terutama melintas ke note lymphoide
submandibulares .Nurvus alveolaris superior dan nervus alveolaris inferior masing
masing cabang nervus cranalis v3 dan nervus cranialis v3, mempersarafi gigi atas
dan gigi bawah.
Sumber buku Moore, hal 386 dan 367
IMPAKSI
Definisi
Gigi yang mengalami impaksi adalah gigi yang mengalami hambatan
dalam erupsi karena adanya suatu barier

fisik yang menghalangi tempat

erupsinya. Faktor yang biasanya menyebabkan adanya impaksi adalah karena


jumlah gigi yang ada sudah menutupi seluruh tempat pada rahang atau adanya
ruang yang tidak cukup untuk terjadinya erupsi. Hal yang sering terjagi juga
adalah perubahan posisi dari akar gigi yang menyebabkan gigi tidak dapat muncul
di tempat yang seharusnya.
Epidemiologi
Setiap gigi dapat terkena impaksi, tetapi beberapa gigi lebih sering
mengalaminya daripada gigi-gigi lainnya. Gigi-gigi yang sering mengalami
impaksi adalah molar ketiga, baik untuk rahang atas maupun rahang bawah,
diikuti dengan premolar dan gigi yang terkena impaksi jika terdapat jumlah gigi
yang berlebih. Gigi molar ketiga pada rahang bawah lebih sering terkena impaksi
daripada gigi molar pada rahang atas.
Dachi dan Howell melaporkan, dalam penelitian melalui 3874 foto rongten
yang diambil secara rutin pada pasien di atas 20 tahun, 17% pasien mengalami
impaksi, di antaranya yang mengalami impaksi pada gigi molar ketiga pada
rahang atas sebanyak 22%, dan pada rahang bawah 18%.

Klasifikasi
Winter mengajukan sebuah klasifikasi impaksi gigi molar ketiga
mandibula berdasarkan hubungan gigi impaksi terhadap panjang aksis gigi molar
kedua mandibula. Beliau juga mengklasifikasikan posisi impaksi yang berbeda
seperti impaksi vertikal, horizontal, inverted, mesioangular, distoangular,
bukoangular, dan linguoangular. Winter mengklasifikasikan impaksi gigi molar
ketiga mandibula sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Vertikal (10o sampai dengan -10o)


Mesioangular (11o sampai dengan -79o)
Horizontal (80o sampai dengan 100o)
Distoangular (-11o sampai dengan -79o)
Lainnya (-111o sampai dengan -80o)

Teori didasarkan pada inklinasi impaksi gigi molar ketiga terhadap panjang axis
gigi molar kedua

a. Mesioangular: Gigi impaksi mengalami tilting terhadap molar kedua


dalam arah mesial.

b. Distoangular: Axis panjang molar ketiga mengarah ke distal atau ke


posterior menjauhi molar kedua.
c. Horisontal: Axis panjang gigi impaksi horisontal
d. Vertikal: Axis panjang gigi impaksi berada pada arah yang sama dengan
axis panjang gigi molar kedua
e. Bukal atau lingual: Sebagai kombinasi impaksi yang dideskripsikan di
atas,gigi juga dapat mengalami impaksi secara bukal atau secara lingual
f. Transversal: Gigi secara utuh mengalami impaksi pada arah bukolingual
g. Signifikansi: Tiap inklinasi memiliki arah pencabutan gigi secara definitif.
Dampak
-

Nyeri lokalisata
Pendarahan pada gusi
Bengkak gusi sekitar rahang
Perikoronitis
Bau mulut
Sakit Kepala
Terjadi pembentukan kista
Menimbulkan gangguan pada telinga
Fraktura rahang bawah

Manajemen
Prinsip Manajemen Gigi Impaksi
-

Semua

gigi

impaksi

sebaiknya

diangkat

kecuali

jika

dikontraindikasikan. Ekstraksi perlu dilakukan jika dokter


menemukan gigi impaksi.
Indikasi pengangkatan gigi impaksi
-

Pencegahan penyakit periodontal


Daerah terdekat dari gigi impaksi merupakan presdiposisi
terjadinya penyakit periodontal
Pencegahan Resorpsi akar
Gigi impaksi dapat menyebabkan tekanan pada akar gigi
sebelahnya sehingga mengalami resorpsi akar. Pencabutan gigi
impaksi dapat menyelamatkan gigi terdekar dengan adanya

perbaikan pada sementumnya


Pencegahan kista dan tumor odontogen
Gigi impaksi yang berada didalam

tulang

alveolar

mengakibatkan folicullar sacc tertahan. Polikel gigi akan


mengalami degenerasi kistik sehingga menyebabkan terjadinya

kosta dentigerus dan keratokis. Tumor odontogen dapat terjadi


-

disekitar gigi impaksi yang terbentuk dari folikel gigi


Pencegahan rasa sakit karena penekanan saraf oleh gigi

Kontraindikasi pengambilan gigi impaksi


-

Peradangan akut
Peradangan akut merupakan hal yang harus diperhatikan pada
pembedahan untuk terjadinya komplikasi infeksi
Pasien dengan compromised medis
Bila pasien memiliki riwayat medis yaitu gangguan fungsi
kardiovaskular, pernapasan atau gangguan pertahanan tubuh,
memiliki congenital koagulopati maka operator sebaiknya
mempertimbangkan gigi impaksi untuk dilakukan tindakan
pencabutan. Tetapi sebaliknya, bila gigi impaksi bermasalah
maka tindakan pencabutan dilakukan dengan ekstra hati-hatu
setelah dilakukannya konsultasu medis terlebih dahulu.

Tatalaksana
1. Dengan Pembedahan (Operkulektomi, Odontektomi)
Sebagaimana pembedahan pada bagian tubuh lain, perlu diwaspadai
penyakit sistemik khususnya pada pasien dewasa tua seperti gangguan
metabolisme, penyakit sistem kardiovaskular, dan obat yang sedang diminum
contohnya aspilet. Bila ada infeksi, maka infeksi harus dihilangkan lebih dahulu.
Tindakan bedah yang dilakukan tergantung pada jenis kasus, mulai dari tindakan
sederhana seperti operkulektomi dengan kauter yaitu pengangkatan operkulum
yang menutupi gigi yang diprediksi dapat muncul ke permukaan gingiva (Gambar
9a dan 9b).
9A

9B

Operkulektomi dengan kauter memudahkan erupsi


gigi geraham impaksi (9a). Geraham telah erupsi (9b).
Tindakan yang radikal adalah odontektomi, yaitu pengangkatan gigi
impaksi dengan pembedahan. Odontektomi dengan anestesi lokal, dapat dilakukan
pada pasien yang kooperatif, dan cukup dirawat jalan. Pada pasien dengan tingkat
ansietas tinggi, diberikan anestesi lokal ditambah sedasi sadar, atau dengan
anestesi umum. Anestesi umum khususnya diberikan pada kasus impaksi yang
sangat sulit, atau pada pasien yang tidak kooperatif, seperti penderita gangguan
mental. Pasien harus dirawat inap dan diberikan premedikasi seperlunya pada prabedah dan saat pemulihan pasca bedah. Pada beberapa pasien ketika mengetahui
memiliki gigi bungsu impaksi, secara spontan menghendaki odontektomi
walaupun tanpa keluhan. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari kemungkinan
komplikasi yang mungkin timbul kelak. Tindakan profilaksis tersebut dikenal
dengan odontektomi preventif.
Tindakan odontektomi harus dilakukan pada gigi bungsu dan molar kedua
yang gangren pulpa serta pada kasus infeksi perikoronal yang berulang agar tidak
timbul kedaruratan medik. Odontektomi disertai enukleasi kista dan kuretase
tulang sekitarnya dilakukan pada kasus kista dentigerous dan kista radikular.
Perawatan Pasca Odontektomi
Pengobatan medikamentosa dilakukan dengan pemberian antibiotik, antiinflamasi dan analgetik untuk membantu mengatasi berbagai komplikasi tersebut.
Antibiotik golongan penisilin tetap merupakan obat pilihan, namun bila uji kulit
positif diberikan klindamisin dengan dosis 3300 mg selama 3-5 hari. Untuk
penghilang nyeri ringan biasanya cukup diberikan tablet ibuprofen 400- 800 mg
atau asetaminofen 500 mg 3-4 kali sehari, selama 2-3 hari. Agar lebih efektif,
sebaiknya obat langsung diminum segera setelah tindakan bedah karena
diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk mendapatkan efek maksimal obat. Pada
kasus odontektomi berat, untuk nyeri sedang sampai berat, diberikan analgetik
ideal yaitu dikombinasikan dengan penambahan tablet codein 15-30 mg
2. Tanpa Pembedahan

Seseorang dapat hidup dengan gigi impaksi baik partialis maupun totalis
tanpa mengalami gangguan. Pada gigi bungsu impaksi partialis, bersih,
asimtomatik, tindakan odontektomi masih dapat ditunda atau bahkan dihindari.
Bila diputuskan demikian, perlu ditekankan kewaspadaan berupa upaya perawatan
pribadi yang lebih cermat dengan menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan baik,
serta melakukan pemeriksaan rutin gigi geligi. Pada gigi bungsu yang mengalami
impaksi totalis, pasien dianjurkan waspada terhadap kemungkinan terjadi
degenerasi kistik kantung folikel gigi (dental sac). Pasien dianjurkan secara
berkala datang ke dokter spesialis bedah mulut yang akan memantaunya dengan
membuat foto dental setiap 1-2 tahun sekali agar kista dentigerous yang mungkin
terjadi dapat dideteksi awal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fragiskos D. Oral surgery. Editor: Schroder GM, Heidelberg. Alih Bahasa:
Tsitsogianis H. Berlin: Springer; 2007,p.126-7
2. Rahayu, S. Odontektomi, Tatalaksana Gigi Bungsu Impaksi. E-Journal
Widya Kesehatan dan Lingkungan. 2014;I(2);81
3. Kasim, A. Riawan. L. Materi Kuliah Bedah Dento Alveolar. 2007.
Bandung. Page11-16
TINGKAT KESADARAN
Secara kualitatif
1. Compos mentis : normal, sadar penuh
2. Apatis : sikap acuh tak acuh, enggan berhubungan dengan sekitarnya
3. Delirium : gelisah, disorientasi ( waktu, tempat,orang), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi
4. Somnolen ( letargi) : kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,
mudah tidur, kesadaran dapat pulih bila dirangsang( mudah dibangunkan)
tapi jatuh tertidur lagi, mampu member jawaban verbal
5. Stupor (spoor komatus) : tertidur lelap, ada respon terhadap nyeri
6. Coma : tidak bisa dibangunkan lagi
Secara kuantitatif :

1. Menilai respon membuka mata ( E )

4 : spontan

3 : dengan rangsang suara ( suru pasien membuka mata)

2 : dengan rangsang

1 : tidak ada respon

2. Menilai respon verbal

5 : orientasi baik

4 : bingung, bicara mengacau, disorientasi tempat dan waktu

3 : kata-kata saja ( berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas


namun dalam satu kalimat missal : aduh,,,bapak,,,,

2 : suara tanpa arti ( mengerang )

1 : tidak ada respon

3. Menilai respon motorik

6 : mengikuti perintah

5 : melokalisir nyeri ( menjauhkan stimulus saat diberi rangsang


nyeri )

4 : withdrawl ( menghindar/menaarik ekstermitas menjauhi


stimulus saat diberi rangsang nyeri

3 : flexi abnormal ( tangan satu/kedua ektensi disisi tubuh dengan


jari mengepal dan jaju extensi saat di beri rangsang nyeri

1 : tidak ada respon

Compos mentis

: 15-14

Apatis

: 13-12

Somnolen

: 11-10

Delirium

: 9-7

Sporo coma

: 6-4

Coma

:3

Вам также может понравиться