Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
saluran peralatan endoskopi (Lindsay dan von Holy, 2006). Donlan (2002),
menduga ada 4 sifat biofilm yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
yakni:
pelepasan agregat biofilm pada saluran kemih atau pembuluh darah menyebabkan
penyakit infeksi hingga emboli
sel beresiko mengadakan pertukaran plasmid dengan biofilm, yang mana
dikhawatirkan plasmid yang dipertukarkan bersifat resisten antibiotik
sel biofilm mampu menurunkan kemampuan kerja senyawa antimikroba
biofilm resisten terhadap sistem imun inangnya
Staphylococcus aureus adalah salah satu flora normal manusia dan diketahui juga
memiliki kemampuan membentuk biofilm. S. aureus merupakan bakteri yang
paling banyak menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan manusia, meskipun
sifatnya hanya sporadik bukan endemik (Anonim, 1993). Dalam bentuk
biofilmnya, S. aureus mampu menyebabkan penyakit yang lebih kompleks pada
manusia. Biofilm S. aureus telah terbukti berperan dalam kasus chronic
rhinosinusitis (CRS). Studi yang dilakukan oleh Kamath dkk. (2013)
menunjukkan bahwa S. aureus hadir pada 43% dari apusan/ biopsi sinus paranasal
pasien CRS. Jaringan sinus penderita CRS mengandung intraepithelial
Staphylococcus aureus (IESA), yang mana 100% jaringan dengan IESA terdapat
pula biofilm. Adanya biofilm S. aureus dikaitkan dengan penyakit yang lebih
parah serta proses pemulihan yang lebih lambat pasca operasi. (Hamilos, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Rebiahi dkk. (2014) menunjukkan bahwa biofilm
yang terjadi di biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme
bakteri yang mengubah aktivitas antibiotik,
Terapi antibiotik merupakan terapi yang umum dijumpai pada kasus infeksi oleh
bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang secara luas dipakai dalam terapi adalah
eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol. Sayangnya penggunaan antibiotik
tersebut juga tidak terlepas dari masalah resistensi. Penelitian menunjukkan
rendahnya sensitivitas antibiotik-antibiotik di atas terhadap MRSA (Onwubiko
dan Sadiq, 2011). Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang, seperti
pada kasus penyakit kronis, sering menimbulkan masalah akibat munculnya efek
samping dari antibiotik yang bersangkutan. Eritromisin dalam dosis besar mampu
menimbulkan gangguan jantung yang menimbulkan aritmia hingga toksisitas
kardiak terutama pada pasien dengan gangguan jantung sebelumnya (Berthet dkk.,
2010). Kejadian ototoksisitas terjadi pada pasien yang mendapat terapi
streptomisin selama beberapa minggu (McDermott, 1947). Kloramfenikol juga
memiliki efek samping yang besar yakni supresi sumsum tulang belakang dan
aplastic anemia (Abdollahi dan Mostafalou, 2014).
Pada masa sekarang ini, berbagai tanaman telah diketahui mengandung berbagai
kandungan yang aktif secara biologis, serta bermanfaat dalam pengobatan
terutama dalam terapi antimikroba (Yoo dkk., 2007). Tanaman sirih (Piper betle
L.) telah dikenal memiliki aktivitas antibakteri yang baik, dimana ekstrak etanolik
daun sirih menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap
Eschericia coli, S. aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Khan dan Kumar,
2011). Salah satu bentuk pemanfaatan yang baik dari tanaman obat adalah sebagai
Rumusan Masalah
Bagaimanakah efektivitas minyak atsiri sirih terhadap fase planktonik dan biofilm
S. aureus ?
Apakah kombinasi minyak atsiri sirih dengan antibiotik kloramfenikol,
streptomisin, dan eritromisin akan menunjukkan aktivitas antibiofilm yang lebih
tinggi dibanding aktivitasnya dalam bentuk tunggal?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menemukan sumber senyawa antibiofilm dari bahan alam
Tujuan Khusus
Meneliti kemungkinan aktivitas sinergisme antara kombinasi minyak atsiri sirih
dengan antibiotik kloramfenikol, streptomisin, dan, eritromisin dalam
menghambat pertumbuhan biofilm S. aureus.
D. Tinjauan Pustaka
1. Biofilm
Biofilm merupakan kumpulan dari sel mikroba yang secara irreversible terikat
pada permukaan, serta ditutupi oleh matriks polisakarida. Biofilm dapat
menempel pada hampir semua permukaan termasuk alat-alat kesehatan, pipa-pipa
industri, maupun jaringan hidup. Matriks biofilm cukup kompleks dan dapat
mengandung berbagai material non-biofilm seperti kristal mineral, komponen
darah, atau komponen tanah. Komposisi utama biofilm selain sel mikroba adalah
Sel Planktonik
Penempelan Sel
Mikrokoloni
Biofilm
Pelepasan Sel
10
Lindsay dan von Holy (2006) menyebutkan bahwa biofilm memiliki kemampuan
untuk melindungi bakteri dari senyawa-senyawa asing. Biofilm diasosiasikan pula
dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kemampuan proteksi ini
masih belum dimengerti sepenuhnya, namun beberapa teori yang diajukan antara
lain:
Extracellular Polymeric Substance (EPS) biofilm bereaksi secara kimiawi dengan
antibiotik/senyawa asing ataupun membentuk penghalang difusi
Biofilm mengubah sistem transpor membran ataupun melepaskan molekul yang
dapat menginaktivasi antibiotik
Biofilm memiliki sistem stress-response rpoS yang akan menurunkan tingkat
pertumbuhan mikroba, dan menganggu aksi kerja antibiotik
Biofilm menghasilkan enzim yang mengubah molekul antibiotik menjadi inaktif
Biofilm yang memiliki plasmid resisten-antibiotik, dapat mengkode resistensi
terhadap antimikroba lain
Biofilm memproduksi sel persister, yakni fenotip resisten mikroba yang sangat
toleran terhadap antibiotik
Beberapa jenis permukaan memiliki kemampuan untuk menahan biofilm lebih
baik sehingga menyulitkan eliminasi biofilm
11
12
tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi ini dapat terjadi akibat
beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat matriks biofilm yang
kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan interaksi
antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah aktivitas
antibiotik,
Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara mendalam. Archer
dkk. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai jalur
pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm
melalui jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA.
PIA (polysaccharide intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara in vitro
dari UDP-N-acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular adhesion
(ica). Pada jalur PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam
pembentukan biofilm serta berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA
diproduksi maka biofilm juga akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat
terbentuk melalui jalur PIA-independent, yang mana tidak mementingkan
lokus gen ica. Penghapusan lokus ica terbukti tidak menurunkan virulensi
biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan delesi ica, ditemukan bahwa
protein A (SpA) yang berperan penting dalam pembentukan biofilm. Jalur
lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm adalah eDNA
(extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan DNA
pada matriks awal biofilm, yang mana mendukung struktur pembentukan
biofilm.
13
14
Proses destilasi uap merupakan cara utama dalam produksi minyak atsiri. Terdapat
3 macam cara destilasi yang dapat digunakan yakni destilasi air
(hydrodistillation), destilasi uap dan air (wet steam), dan destilasi uap (dry steam).
Pada destilasi air, bahan tanaman direbus dalam air, dan uap yang dihasilkan
dialirkan ke kondensor untuk diembunkan menjadi minyak atsiri. Metode ini
sangat mudah dilakukan, namun sangat sulit mengatur panas yang diberikan
sehingga laju destilasi tidak terkontrol. Panas berlebih pada metode destilasi air
juga dapat memberi bau hangus pada minyak atsiri, sehingga menurunkan kualitas
minyak yang dihasilkan. Metode ini juga lebih membutuhkan banyak panas dan
air sehingga memakan banyak biaya. Pada destilasi air dan uap, bahan tanaman
diletakkan diatas permukaan air yang direbus meggunakan suatu sekat, sehingga
bahan tanaman lebih terlindungi dari resiko overheated. (Fairman, 1992) Pada
destilasi uap, uap dihasilkan dari boiler lalu ditiupkan melalui pipa-pipa menuju
tanaman yang ditempatkan pada tray atau keranjang berlubang. Penggunaan uap
bertekanan tinggi lazim digunakan di Amerika dan Eropa, sebab dengan suhu
yang tinggi terjadi peningkatkan kecepatan destilasi (Kubeczka, 2010). Selain
cepat, metode destilasi uap juga lebih hemat energi, namun senyawa-senyawa
seperti ester sangat mudah rusak dalam proses ini. (Fairman, 1992)
Destilat awal minyak atsiri biasanya diletakkan dalam botol Florentine, yang
memiliki outlet di bagian atas dan dibawah. Destilat kemudian dibiarkan
memisah, dan lapisan minyak dikumpulkan sebagai minyak atsiri. Lapisan air
yang dijenuhi minyak dapat didestilasi kembali ataupun langsung menjadi produk
komersial seperti air mawar ( Evans dan Evans, 2002)
15
16
pada luka bakar. Minyak atsiri dapat memberikan rasa hangat, sebagai anastetik
lokal ringan, serta antipruritik (Daniel, 2006). Penelitian modern menunjukkan
fungsi yang lebih kompleks dari minyak atsiri seperti minyak atsiri Citrus
aurantium sebagai antikonvulsan (Azanchi dkk., 2014), minyak atsiri Salvia
lavandulifolia mampu menyeimbangkan reaksi redoks sel (Porres-Martinez dkk.,
2014), hingga minyak atsiri Toona ciliata yang memberikan efek antidepresan
(Duan dkk., 2014). Walaupun memiliki banyak manfaat, penggunaan minyak
atsiri harus tetap memperhatikan keamanannya. Minyak atsiri dapat menimbulkan
efek toksik pada sel eukariotik dengan mempengaruhi permeabilitas membran
mitokondria menyebabkan nekrosis ataupun apoptosis. Resiko utama penggunaan
minyak atsiri dalam pengobatan antara lain sensitisasi, iritasi, fototoksik, hingga
karsinogenik. Evaluasi keamanan minyak atsiri cukup sulit dilakukan, mengingat
kandungan minyak atsiri bervariasi menurut tempat tumbuhnya (Raut dan
Karuppayil, 2014).
Tanaman Sirih (Piper betle L.) dan Minyak Atsiri Sirih a. Klasifikasi Piper
betle L.
Divisi : Magnoliophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa: Piperales
Suku : Piperaceae
Marga : Piper
17
Jenis
: Piper betle L.
Gambar 3. Daun dan pohon sirih di Pulau Pinang, Malaysia (Sumber: Nouri, dkk.,
2014)
18
19
20
21
efektif untuk sebagian besar bakteri Gram positif serta bakteri aerob non-enterik.
Kloramfenikol juga banyak digunakan untuk mengobati infeksi Salmonella sp.
dalam kasus tifoid manusia (Bishop, 2005). Kloramfenikol tidak aktif terhadap
infeksi yang disebabkan oleh jamur (Aschenbrenner dan Venable, 2009).
Efek samping yang paling dikenal dalam pemakaian kloramfenikol adalah
Gray Baby Syndrome. Sindrom ini terjadi pada neonatus yang menerima dosis
berlebih dari kloramfenikol. Pada neonatus, kloramfenikol dalam tubuh belum
dapat dikonjugasikan sehingga tidak dapat tereliminasi dari tubuh dan
menyebabkan letargi, muntah, gagal nafas hingga kematian (Arcangelo dan
Peterson, 2011). Kontraindikasi juga diberikan pada ibu menyusui, dimana
kloramfenikol dapat masuk ke tubuh neonatus yang menyusu dari ibu yang
mengkonsumsi kloramfenikol (Aschenbrenner dan Venable, 2009). Kloramfenikol
juga menjadi penyebab utama terjadinya pancytopenia dan anemia aplastik akibat
reaksi penekanan sumsum tulang belakang (Seth dan Seth, 2009).
Mekanisme resistensi kloramfenikol terjadi melalu dua jalur. Jalur pertama adalah
perubahan struktur kimia kloramfenikol akibat enzim asetiltransferase, yang mana
menurunkan potensi dari kloramfenikol. Jalur kedua adalah dengan hilangnya
protein transpor dari membran luar mikroba, yang mana menyebabkan penetrasi
kloramfenikol ke dalam sel terhalang (Arcangelo dan Peterson, 2011). Meskipun
sempat ditinggalkan karena tingginya tingkat resistensi, kloramfenikol akhir-akhir
ini kembali menunjukkan efektivitasnya terhadap mikroba (Seth dan Seth, 2009).
22
6. Streptomisin
Streptomisin (tata nama IUPAC: 2-[(1R,2R,3S,4R,5R,6S)-3(Diaminomethylideneamino)-4-[(2R,3R,-4R,5S)-3-[(2S,3S,4S,5R,6S)-4,5dihydroxy-6-(hydroxymethyl)-3-(methylamino)oxan-2-yl]oxy-4-formyl-4hydroxy-5-methyloxolan-2-yl]oxy-2,5,6-tri-hydroxycyclohexyl] guanidine) adalah
kelas pertama dari golongan antibiotik aminoglikosida. Streptomisin diisolasi dari
Streptomyces griseus. Bentuk garamnya, streptomisin sulfat, berupa serbuk putih
higrosopis yang sangat mudah melarut dalam air, namun tidak pada etanol.
Streptomisin sangat sedikit diserap tubuh di saluran pencernaan dan menghasilkan
absorpsi yang lebih baik pada pemberian rute intramuskular (Moffat dkk.,2011)
dan Mg
23
2+
pembacaan kodon yang salah dan berujung pada penghambatan sintesis protein
bagi bakteri. Inhibisi sintesis protein ini berperan dalam peningkatan permeabilitas
dinding sel dan akhirnya memicu efek bakterisidal pada bakteri (Grosset dan
Singer, 2013).
Penggunaan dosis besar streptomisin mampu memberikan efek samping yang
cukup berbahaya yakni ototoksisitas (kerusakan telinga bagian dalam) dan
nefrotoksisitas (kerusakan ginjal). Ototoksisitas dari streptomisin telah banyak
dipelajari dan telah ditemukan bahwa streptomisin menyebabkan lesi dan
kerusakan pada sel rambuk koklea telinga (He dkk., 2015; Frank dkk., 1999).
Obat golongan aminoglikosida, termasuk streptomisin, mampu bertahan di telinga
dalam hingga 30 hari, meskipun waktu paruh aminoglikosida sendiri hanya
berkisar antara 3-5 jam. Adapun kejadian ototoksistas lebih banyak terjadi pada
pengobatan kronis menggunakan streptomisin (Arya, 2007). Nefrotoksisitas
diinduksi streptomisin umumnya terjadi pada pasien yang menerima dosis
streptomisin lebih besar dan waktu terapi yang lebih lama (de Jager dan van
Altena, 2002).
Terdapat 3 mekanisme terjadinya resistensi streptomisin yakni melalui resistensi
ribosomal, resistensi akibat penurunan uptake obat, dan resistensi akibat enzim
pemodifikasi aminoglikosida (aminoglycoside modifying enzyme). Resistensi
ribosomal terjadi akibat mutasi gena pengkode ribosom bakteri. Uptake
2+
streptomisin juga dapat dihambat oleh bakteri dengan menambah jumlah ion Ca
yang mana menurunkan jumlah akumulasi streptomisin dalam sel.
24
25
Makrolida bekerja dengan mengikat subunit 50S rRNA yang menghambat proses
transpeptidasi dan translokasi sehingga protein yang dibentuk oleh bakteri
menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kematian sel (Retsema dan Fu, 2001).
Eritromisin dapat merangsang motilitas dari gastrointestinal yang mana
menimbulkan efek samping bagi pasien seperti muntah dan mual. Eritromisin
dimetabolisme di hati, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan hati dalam dosis
besar. Efek hepatotoksisitas ini menghilang seiring penghentian terapidengan
eritromisin (Williams, 2001). Penelitian lebih lanjut tampaknya mengungkap
bahwa pemberian eritromisin secara oral mampu meningkatkan resiko terjadinya
kematian akibat gangguan kardiak, terutama bila diberikan bersama inhibitor kuat
CYP3A (Ray dkk., 2004). Resiko kardiovaskular eritromisin berhubungan dengan
sifatnya sebagai agen prokinetik yang memperpanjang QT interval dan torsade de
pointes (de Ponti dkk, 2000; Shaffer dkk., 2002). Toksisitas kardiak terjadi setelah
4 hari pemakaian eritromisin, dan gangguan jantung semakin diperparah dengan
kombinasi obat bersifat aritmogenik (Berthet dkk., 2010).
Terdapat beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap eritromisin antara lain
dengan eflux oleh pompa aktif bakteri, produksi enzim metilase oleh bakteri yang
mengurangi ikatan eritromisin dengan target, serta hidrolisis makrolida oleh
esterase (Abu-Gharbieh dkk., 2004).
8. Kromatografi Gas
Kromatografi Gas (KG) merupakan teknik analisis yang dinamis untuk
memisahkan senyawa-senyawa yang mudah menguap. Teknik KG telah umum
26
27
28
penting kemampuan bertahan mikroba di berbagai jenis kondisi lingkungan (HallStoodley dkk., 2004). Biofilm telah diketahui berperan penting dalam timbulnya
masalah pada kesehatan manusia seperti timbulnya plak gigi dan pembentukan
gigi, infeksi endokarditis dan infeksi pada alat implan serta gangguan otolaring
pada manusia. Biofilm juga terbukti menyebabkan timbulnya kasus-kasus
resistensi mikroba terhadap senyawa antimikroba.
Bakteri S. aureus adalah salah satu bakteri dengan kasus resistensi antibiotik yang
tinggi. S. aureus memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm dan penelitian
menunjukkan bahwa biofilm S. aureus menunjukkaan resistensinya terhadap
pemberian antibiotik. Resistensi ini disebabkan oleh penurunan difusi antibiotik
akibat matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di
biofilm, dan interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang
mengubah aktivitas antibiotik.
Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan yaitu
melalui efek sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi
selain dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika keduanya
memiliki mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung (Li and Tang,
2004). Penelitian yang dilakukan oleh Saginur dkk. (2006) menunjukkan bahwa
kombinasi antimikroba dapat meningkatkan kepekaan mikroba dalam biofilm.
Penggunaan beberapa minyak atsiri dalam campuran dapat meningkatkan
efektivitas antimikroba, sebagaimana dilaporkan oleh Pan dkk. (2003) dan
Ouhayoun (2003).
29
30