Вы находитесь на странице: 1из 8

PMH

Penyakit membran hialin (PMH) sering ditemukan pada bayi prematur. Terutama apabila bayi
tersebut lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah, uterus selama kehamilan misalnya
ibu penderita diabetes, toksemia, hipotensi, secio sesarea atau perdarahan antepartum.

Tanda-tanda PMH biasanya tampak dalam beberapa menit kelahiran yaitu : dispnea dan hiperpnea
dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 x/menit. Sianosis retraksi di daerah epigastrium, supra
sentral, intercostal pada saat inspirasi.
Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini baik dalam hal
pencegahan, diagnosis dan penatalaksanaan penderita dapat membantu menurunkan angka
kematian penyakit.
ANGKA KEJADIAN
Angka kejadian penyakit ini sebenarnya sulit ditentukan karena diagnosa pasti hanya dapat
ditegakkan dengan autopsi. Angka kejadian penyakit mempunyai kaitan erat dengan riwayat
kehamilan dan persalinan. Kejadian penyakit akan meningkat pada bayi lahir kurang bulan (masa
gestasi kurang dari 34 minggu). Partus presipitatus yang menyertai perdarahan ibu, asfiksia, ibu
penderita diabetes. Disamping itu terdapat beberapa faktor kehamilan yang dianggap dapat
menurunkan kejadian penyakit membran hialin dalam hal ini ibu yang mendapat pengobatan
steroid saat hamil.
PMH terutama terjadi pada bayi prematur. Insidensinya berbanding terbalik dengan umur
kehamilan dan berat badannya. PMH ini 60 80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya
kurang dari 28 minggu, 15 30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, 5% pada bayi lebih dari 37
minggu dan jarang pada bayi cukup bulan.
Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, kehamilan kembar, persalinan
dengan seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin, ada riwayat bayi sebelumnya
terkena insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.
PENGERTIAN
PMH disebut juga Respiratory Distress Syndrome (RDS), hal ini adalah salah satu problem dari
bayi prematur menyebabkan bayi membutuhkan ekstra oksigen untuk membantu hidupnya.
Pada penyakit membran hialin dapat menyebabkan hipoksia yang menimbulkan kerusakan endotel
kapiler dan epitel duktus alveolus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveolus dan terbentuk fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
ETIOLOGI
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan paru yang belum sempurna
antara lain : bayi prematur, terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan, misalnya ibu dengan
1.Diabetes
2.Toxemia

3.Hipotensi
4.SC
5.Perdarahan antepartum.
6.Sebelumnya melahirkan bayi dengan PMH.
Penyakit membran hialin diperberat dengan :
1.Asfiksia pada perinatal
2.Hipotensi
3.Infeksi
4.Bayi kembar.

PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini PMH dianggap terjadi kaena defisiensi pembentukan zat surfaktan pada paru bayi
yang belum matang. Surfaktan adalah zat yang berperan dalam pengembangan paru dan
merupakan suatu kompleks yang terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidil gliserol,
apoprotein, kolesterol. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin yang mulai dibentuk pada umur
kehamilan 22 24 minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi normal setelah minggu ke 35.
Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveolus untuk mengurangi tegangan permukaan dan
membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan jalan mencegah kolapsnya ruang udara
kecil pada akhir ekspirasi. Namun karena adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau
dilepaskan mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca lahir.
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih
kuat.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan : (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan
terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel
yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis
juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah
paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan.
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari :
atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru hambatan
pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi
penyembuhan atau kematian bayi.
Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar spesifik, yaitu organel yang
mengandung gulungan fosfolipid dan terikat pada membran sel, dibentuk dalam sel-sel tersebut
dan disekresikan ke dalam lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang disebut mielin
tubular dibentuk dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya membentuk lapisan
fosfolipid. Sebagian kompleks protein-lipid di dalam surfaktan diambil ke dalam sel alveolus tipe
II secara endositosis dan didaru-ulang.
Ukuran dan jumlah badan inklusi pada sel tipe II akan meningkat oleh pengaruh hormon tiroid,

dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih parah pada bayi dengan kadar hormon tiroid plasma
yang rendah dibandingkan pada bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses pematangan
surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormon glukokortikoid. Menjelang umur kehamilan
cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serta jaringan parunya kaya
akan reseptor glukokortikoid. Selain itu, insulin menghambat penumpukan SP-A dalam kultur
jaringan paru janin manusia, dan didapatkan hiperinsulinisme pada janin dari ibu yang menderita
diabetes. Hal ini dapat menerangkan terjadinya peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir
dari ibu yang menderita diabetes.
GEJALA KLINIS
Bayi penderita penyakit membran hialin biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat
badan antara 1200 2000 g dengan masa gestasi antara 30 36 minggu. Jarang ditemukan pada
bayi dengan berat badan lebih dari 2500 g dan masa gestasi lebih dari 38 minggu. Gejala klinis
biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama pada umur 6 8 jam.
Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24 72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin
memburuk atau mengalami perbaikan. Apabila membaik gejala biasanya menghilang pada akhir
minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis dan perforasi paru yang
menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan keadaan klinis seperti :
1.Dispnea atau hiperpnea.
2.Sianosis.
3.Retraksi suprasternal, epigastrium, intercostal.
4.Rintihan saat ekspirasi (grunting).
5.Takipnea (frekuensi pernafasan . 60 x/menit).
6.Melemahnya udara napas yang masuk ke dalam paru.
7.Mungkn pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya duktur arteriosus yang paten
yang disertai pula timbulnya.
8.Kardiomegali.
9.Bradikardi (pada PMH berat).
10.Hipotensi.
11.Tonus otot menurun.
12.Edem.
Gejala PMH biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3. Sesudahnya terjadi perbaikan
perlahan-lahan. Perbaikan sering ditunjukan dengan diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi
bayi dengan kadar oksigenasi bayi yang lebih rendah.
Kelemahan jarang pada hari pertama sakit biasanya terjadi antara hari ke-2 dan ke-3 dan disertai
dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru atau
interventrikuler.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan foto roentgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan
diagnosis yang tepat.
Disamping itu pemeriksaan juga bermanfaat guna menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang
mempunyai gejala serupa seperti hernia diafragma, pneumotoraks dan lain-lain. Pada permulaan

penyakit gambaran foto paru mungkin tidak khas, tetapi dengan berlanjutnya penyakit maka akan
terlihat gambaran klasik yang karakteristik untuk penyakit tersebut. Pada foto roentgen akan
terlihat bercak difus berupa infiltrat retikulogranular disertai adanya tabung-tabung udara bronkus
(air bronhcogram). Gambaran retikulogranular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus
sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas.
DIAGNOSIS
Diagnosis tegakkan kumpulan beberapa penemuan :
1.Gejala klinis :
a.Dispnea.
b.Merintih (grunting).
c.Takipne.
d.Retraksi dinding toraks.
e.Sianosis.
f.Brakikardi (PMH berat).
g.Hipotensi.
h.Hipotermi.
i.Tonus otot menurun.
j.Edem dorsal tangan/kaki.
2.Gambaran radiologi :
Ditemukan bercak difus berupa infiltrat retikulogranuler dan air bronchogram.
3.Laboratorium
Kimia darah :
a.Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl
b.Merendahnya bikarbonat standar
c.pH darah dibawah 7,2
d.PaO2 menurun
e.PaCO2 meninggi.
Pemeriksaan fungsi paru membutuhkan alat yang lebih lengkap dan pelik. Frekuensi pernapasan
yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan fungsi paru lainnya seperti
isi alun napas yang menurun, lung compliance berkurang, kapasitas sisa fungsional yang
merendah, disertai kapasitas vital yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru
akan terganggu.
Pemeriksaan fungsi kardiovaskular pada penderita penyakit yang berat akan menunjukkan adanya
hipotensi. Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan fungsi
kardiovaskular berupa duktus arteriosus yang paten, pirau dari kiri ke kanan atau kanan ke kiri
tergantung dari beratnya penyakit dan menurunnya tekanan arterial paru/sistemik.
Pada pemeriksaan autopsi gambaran patologik/histopatologik paru menunjukkan adanya
atelektasis dan membran hialin dalam alveolus atau duktus alveolus. Disamping itu terdapat pula
bagian paru yang mengalami emfisema. Membran hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel
eosinofil yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik
PENATALAKSANAAN
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana fisiologik yang

sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia
dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. Tergantung dari ringannya penyakit maka
tindakan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus.
Tindakan umum ini terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan penunjang
pada penderita ringan atau sebagai tindakan penunjang pada penderita berat. Termasuk dalam
tindakan ini adalah mengurangi manipulasi terhadap penderita dan mengusahakan agar penderita
ada dalam suasana lingkungan yang paling optimal. Suhu bayi dijaga agar tetap normal (36,3
37C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator antara 70 80%.
Makanan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang disesuaikan
dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori
yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan
melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama
biasanya cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100
ml/KgBB/hari. Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40
kkal/KgBB/hari) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi. Tergantung ada tidaknya
asidosis, maka cairan yang diberikan dapat pula berupa campuran glukosa 10% dan natrium
bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4 : 1. Untuk hal ini pemeriksaan keseimbangan asam basa
tubuh perlu dilakukan secara sempurna. Disamping itu pemeriksaan elektrolit perlu diperhatiakn
pula.
Tindakan khusus meliputi :
1.Pemberian O2
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir. Pemberian O2 yang
terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru,
kerusakan retina (retrolental fibroplasta) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini,
pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur.
Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan tekanan PaO2
antara 80 100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat
diberikan sampai gejala cyanosis menghilang.
Pada M.H.D. yang berat, kadang-kadang perlu dilakukan ventilasi dengan respirator. Cara ini
disebut Intermitten Positive Pressure Ventilation (I.P.P.V.). I.P.P.V. ini baru dikerjakan apabila pada
pemeriksaan O2 dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan perbaikan dan
tetap menunjukkan : PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 70 mmHg dan masih sering
terjadi asphyxial attact walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan acidosis metabolik
telah disingkirkan.
Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan bermacam cara, misalnya
pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent negative pressure ventilation, nasopharyngeal tube
ventilation dan lain-lain.
2.Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah terjadinya infeksi sekunder.
Antibiotik diberikan adalah yang mempunyai spektrum luas penisilin (50.000 U-100.000
U/KgBB/hari) atau ampicilin (100 mg/KgBB/hari) dengan gentamisin (3-5 mg/KgBB/hari).
Antibiotik diberikan selama bayi mendapatkan cairan intravena sampai gejala gangguan nafas
tidak ditemukan lagi

3.Pemberian Surfaktan Buatan


Pengobatan lain yang membuka harapan baru berdasar atas penelitian Fujiwara (1980) dan Morley
(1981). Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dengan
perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi
surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea
penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang berasal dari cairan amnion
manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara
pengobatan ini masih dalam taraf penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan baru.
PENCEGAHAN 2,6
1.Tindakan pencegahan utama sebenarnya adalah menghindari terjadinya kelahiran bayi prematur.
2.Mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan lesitin dan sfengomielin dalam
cairan amnion bila perbandingan antara lesitin dan sfengomielin kurang dari 2 maka berarti
jumlah surfaktan pada penderita masih kurang.
3.Pemberian kortikosteroid yang dilakukan pada persalinan prematur yang dapat ditunda selama
48 jam yang biasa dipakai berupa kortisol 1, 2, 4 dengan dosis 12 mg/hari diberikan 2 hari
berturut-turut.
4.Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur segera sesudah lahir atau selama
umur 24 jam.
II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi PMH dan perawatan intensif. Komplikasi paling serius intubasi trakea adalah asfiksia
karena obstruksi pipa, henti jantung selama intubasi atau pengisapan, dan perkembangan
selanjutnya yaitu stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama
intubasi, pseudodivertikula faring posterior, ekstubasi sukar shingga memerlukan trakeostomi,
ulserasi lubang hidung akibat tekanan pipa, penyempitan permanen pada lubang hidung karena
cedera jaringan dan parut akibat iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, penarikan plika
vokalis, ulkus laring, papiloma plika vokalis dan serak persisten, stridor atau edema.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah
1.Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat terutama sistem
vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang disertai renjatan. Faktor
tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah
periventrikular dan dapat juga di ganglia basalis dan jaringan otak.
2.Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu, gerakan bola mata yang
aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.
3.Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi yang
mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang tidak terkontrol
baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki
rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.
4.Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan payah jantung yang
sulit untuk ditanggulangi.
II.12. PROGNOSIS
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Pada penderita
yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi

penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40 %. Dengan
perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis
jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian hari lebih cenderung
disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada
fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya sangat
baik.
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan intensif maupun secara
mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah 1.000 g bertahan hidup, dan mortalitas
secara progresif menurun pada berat badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit
yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2.500 g. walaupun 85 - 90% dari semua bayi PMH, yang
bertahan hidup setelah mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan
yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1.500 g adalah jauh lebih baik; sekitar 80% dari
mereka yang beratnya dibawah 1.500 g tidak mengalami sekuele neurologis atau mental.
Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi PMH
yang berahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan
pernapasan neonatus yang berat dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang
berarti.
DAFTAR PUSTAKA

1.Asril Aminullah & Arwin Akib. Penyakit membran Hialin, dalam Markum (editor), Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
2.Lowell A. Glasgow & James C. Over all JR. IRDS dalam Behrman & Vaughan (editor), Nelson
Textbook of Pediatric, 1st (Chapter, 12th edition, EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.
3.Asril Aminullah. Gangguan Pernapasan, dalam Rusepno Hassan & Husein Alatas (editor), Ilmu
Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian IKA FKUI, Jakarta, 1985, hal. 1083-1087.
4.Waldemar Carlo. Sindrom Distress Respirasi, dalam Klaus & Fanaroff (editor), Penatalaksanaan
Neonatus Risiko Tinggi, 4th Edition, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289.
5.Lucile packard childrens Hospital at Stanford. High Risk Newborn Hyaline membrane
disease/Respiratory Distress Syndrome, USA available from http://www.google.com.
6.Edited by George F. Smith, and Dharmapuri Vidyasagar, Published by Nead Johnson Nutritional
Division, 1980 Not Copyrighted by Publisher, The Treatment of Hyaline Membrane Disease,
Victor
Chernick,
M.D.,
F.R.C.P.(c.)
available
from
http://Historical_Review_and_Recent_Advances.
7.William F. Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, editor M. Djauhari
Widjajakusumah, EGC, Jakarta, 1998.
8.Arif Mansjoer, Suprahaito, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. Penyakit Membran

Hialin, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000,
hal. 507-508.

Вам также может понравиться