Вы находитесь на странице: 1из 8

Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No.

1 Agustus 2014 : 79-86

PENAKSIRAN INFORMASI GEOSPASIAL, ASPEK DATUM GEODESI


DALAM PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DAERAH PADA ERA
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
(Assessment of the Geospatial Information, Geodetic Datum Aspects in Determination and
Boundary of the Regional Autonomy Era in Indonesia)
1

Sumaryo1, Sobar Sutisna2, Subaryono1, Djurdjani1


Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM Jl. Grafika No.2, Yogyakarta Telp 0274-520226
2
Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911
Email: sumaryo@ugm.ac.id

Diterima (received) : 18 Juni 2014 ;

Direvisi(revised) : 30 Juni 2014;

Disetujui dipublikasikan (accepted) : 21 Juli 2014

ABSTRAK
Penetapan batas daerah meliputi pemilihan garis batas serta pendefinisian letak titik dan garis batas di atas peta.
Hasil penetapan dituangkan pada peta cakupan wilayah dan batas-batasnya yang dilampirkan dalam Undang-Undang
tentang Pembentukan Daerah. Selanjutnya, peta lampiran undang-undang tersebut digunakan sebagai dasar dan
pedoman untuk penegasan batas daerah di lapangan yang dilakukan dengan metode geodesi. Secara ilmu geodesi,
penentuan posisi selalu merujuk kepada sistem koordinat dan datum geodesi yang digunakan. Jadi pendefinisian posisi
garis batas, harus memiliki kejelasan datum geodetiknya. Penelitian eksploratif telah dilakukan untuk mengetahui
penggunaan informasi geospasial khususnya datum geodetik dan sistem koordinat dalam penetapan dan penegasan
batas daerah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2007
yang mengacu kepada regulasi PP No. 129 tahun 2000, peta lampiran Undang-Undang pembentukan daerah otonom
seluruhnya tidak menggunakan informasi geospasial yang benar menurut kaidah-kaidah Geodesi. Akibatnya 115 peta
lampiran Undang-Undang pembentukan daerah pada periode 1999 sampai dengan 2007 tidak memiliki kejelasan datum
dan sistem koordinat geodesi, sehingga penegasan batas daerah tidak dapat dilakukan dengan mudah. Permendagri
No.1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah seharusnya tidak diawali dengan penelitian dokumen
karena dapat ditafsirkan terjadi penetapan ulang atau re-delimitasi batas wilayah. Pada periode setelah tahun 2007
setelah PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No. 78 tahun 2007 ditegaskan bahwa peta Rupa Bumi Indonesia harus
digunakan sebagai dasar pembuatan peta lampiran undang-undang pembentukan daerah. Digunakannya peta Rupa
Bumi Indonesia sebagai dasar pembuatan peta lampiran Undang-Undang, maka datum geodetik dan sistem koordinat
peta lampiran menjadi jelas.
Kata kunci: Informasi geospasial, datum geodetik, penetapan dan penegasan batas daerah, Indonesia.

ABSTRACT
Boundary demarcation is one of the main activites that have to be carried out after the establishment of a new
autonomous government founded pursuant to Article 5 of the Law concerning Regional Establishment. Regional
boundary demarcation activities include the definition of coordinates of regional boundary points that can be conducted
through cartometric method or terrestrial surveys. According to boundary making theory, boundary demarcation is part
of a boundary making process, in which each step requires map as part of the infrastructure. According to the geodesy
concept, demarcation activities requires a clear geodetic datum definition, so that maps can contribute as a source of
disputes solution. This research has been carried out in line of regional boundary fixing in Indonesia. The results show
that in the period of 1999 to 2007, which use Government Regulation PP Nr. 129/2000, there are 115 attachment maps
to the Acts of the establishment of new local government are not defined geodetic datum, and the coordinates of the
maps are also not defined using properly geospatial information supplied by competence map authority in Indonesia.
More over the Ministry of Home Affairs Regulation (Permendagri) Nr. 1/2006 concerning the Guidelines for administrative
boundary demarcations may be interpreted as making administrative boundary re-delimitation. In 2007, after the
revision of PP Nr. 129/2000 by the PP Nr.78/2007, there is a clear statement that the topographic maps produced by
Bakosurtanal be used as basic maps in making attachment maps of the Acts of new local government establishment.
Under this new regulation PP 78/2007 implied then that all the attachment maps to the Act of new local government
establishment have a specific geodetic datum clearly.
Keywords: geospatial information, geodetic datum, boundary delimitation and demarcation, Indonesia

PENDAHULUAN
Kegiatan penetapan dan penegasan batas
adalah kegiatan yang penting di era otonomi
daerah di Indonesia dewasa ini. Kegiatan
penetapan batas yang dilakukan meliputi dua

tahap yaitu memilih letak dan mendefinisikan


garis batas. Hasil kegiatan penetapan dituangkan
dalam peta yang dicantumkan sebagi lampiran
Undang-undang tentang Pembentukan Daerah
(UUPD). Pasca penetapan batas, dilakukan
kegiatan penegasan batas daerah, dan peta
79

Penaksiran Informasi Geospasial ................................................................................................... (Sumaryo, dkk.)

lampiran UUPD digunakan sebagai acuan untuk


kegiatan
penegasan
batas,
yaitu
untuk
menentukan koordinat titik-titik batas di lapangan
yang dilakukan dengan metode Geodesi. Hasil
kegiatan penegasan dituangkan dalam bentuk
peta batas dengan daftar koordinat titik-titik batas
daerah sebagai lampiran Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) tentang batas daerah.
Dengan demikian kegiatan penetapan dan
penegasan batas daerah pada dasarnya
merupakan kegiatan yang terkait dengan
penentuan koordinat titik-titik batas, baik di peta
maupun di lapangan. Secara ilmu Geodesi,
penentuan koordinat suatu titik harus memiliki
datum dan sistem koordinat geodetik yang jelas.
Pendefinisian sistem koordinat diawali dengan
pendefinisian datum geodetik dengan sejumlah
parameter yang digunakan untuk mendefinisikan
bentuk dan ukuran ellipsoid referensi, serta
kedudukan dan orientasinya dalam ruang
terhadap tubuh bumi seluruhnya atau sebagian.
Karena posisi titik-titik batas harus dinyatakan
dengan koordinat, maka sistem koordinat dan
datum geodetik yang digunakan harus jelas.
Di Indonesia, peta dasar yang disebut peta
Rupa Bumi Indonesia (peta RBI) diproduki oleh
Badan
Informasi
Geospasial
(sebelumnya
bernama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional/BAKOSURTANAL). Pada periode tahun
1999 sampai dengan 2007 peta RBI yang tersedia
meliputi skala 1:25.000 untuk seluruh Pulau Jawa,
Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Skala 1:50.000
untuk Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Sedangkan peta skala 1:250.000 tersedia untuk
seluruh wilayah Indonesia. Selain peta RBI,
tersedia juga peta Topografi yang dibuat oleh
Direktorat Topografi TNI-AD. Peta Topografi yang
dibuat oleh TNI-AD meliputi skala 1:100.000 dan
1:25.000 untuk seluruh wilayah Indonesia
(Ikawati dan Setyawati, 2009).
Dalam hal datum geodetik untuk pembuatan
peta dasar, pernah digunakan datum geodetik
lokal yaitu Datum Genuk (untuk wilayah Jawa,
Sumatera, Nusa Tenggara), Datum Bukit Rimpah
(untuk wilayah kepulauan Bangka & Belitung),
Datum Gunung Segara (untuk wilayah Kalimantan
Timur), Datum Serindung (untuk wilayah
Kalimantan Barat), Datum Moncongloe (untuk
wilayah Sulawesi Selatan). Adapun elipsoid
referensi yang digunakan untuk datum lokal
tersebut ialah Bessel 1841. Datum geodetik lokal

80

yang pernah juga diterapkan di Indonesia adalah


Datum T21 Sorong menggunakan elipsoid Hayford
dan ID-74 (Indonesia Datum-1974) yang
menggunakan elipsoid GRS 1967. Selanjutnya
seiring dengan perkembangan teknologi Geodesi
ruang angkasa, mulai tahun 1995 sampai dengan
tahun 2003 pemetaan di Indoensia menggunakan
datum geodetik geosentrik (global) yaitu DGN-95
(Datum Geodesi Nasional-1995) yang identik
dengan WGS-84. (KK Geodesi Bakosurtanal,
2007).
Dari kondisi informasi geospasial seperti
dijelaskan
sebelumnya,
terlihat
bahwa
ketersediaan maupun kualitas peta RBI termasuk
datum geodetik untuk mendukung kegiatan
penetapan dan penegasan batas daerah
sebenarnya
telah
tersedia,
walaupun
penerapannya harus tepat dan seksama, terutama
terkait dengan masalah datum dan sistem
koordinat geodetik dari berbagai peta dasar yang
tersedia. Dalam kenyataannya, proses penetapan
batas daerah dalam pembentukan DOB pada
periode 1999 sampai dengan 2007 tidak
mensyaratkan penggunaan peta dasar (peta RBI
atupun
peta
Topografi
TNI-AD).
Pada
pembentukan DOB yang didasarkan pada PP No.
129 tahun 2000 dalam konteks batas wilayah
memang tidak diperhatikan tentang peta baik
sebagai pertimbangan maupun sebagai lampiran
UU DOB. Persyaratan geodetik dari sebuah peta
lampiran UU sepertinya dianggap tidak penting,
yang penting DOB terbentuk dulu, dan masalah
batas wilayah yang pasti akan diselesaikan
kemudian oleh Menteri Dalam Negeri. Pada
kenyataannya walaupun peta wilayah DOB
dilampirkan pada UU pembentukan, namun dibuat
secara seadanya dan hanya untuk menentukan
kedudukan daerah yang dibentuk relatif terhadap
daerah tetangganya (Endarto, 2013). Hal ini
mengakibatkan peta wilayah DOB hasil penetapan
kualitasnya tidak memenuhi syarat dan kaidah
geodetik termasuk tidak mencantumkan informasi
datum Geodesi yang digunakan. Penelitian ini
akan mengkaji pengaruh digunakannya peta RBI
dalam kegiatan penetapan dan penegasan batas
daerah selama era otonomi daerah di Indonesia.
Selanjutnya akan dibahas arti pentingnya datum
geodetik dalam penetapan dan penegasan batas
daerah dan permasalahan yang timbul akibat
tidak
jelasnya
datum
geodetik.

Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 1 Agustus 2014 : 79 - 86


Tabel 1.Perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas internasional dan batas daerah (dirangkum dari
Sutisna, dkk., 2008)
Aspek
Batas internasional
Batas daerah
Politik

Politik internasional, hubungan antar negara,


pemisah kedaulatan

Hukum

Rezim hukum internasional: uti possidetis


juris, UNCLOS 1982, perjanjian antar negara
Teknologi survei dan pemetaan
(peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)

Teknis (survei
pemetaan)

Peran
Informasi
Geospasial
dalam
Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah
Merujuk pada Adler (1995, 2001) tentang
peran informasi geospasial dalam boundary
making Jones (1945), bila diadopsi dan
diaplikasikan untuk boundary making batas
daerah di Indonesia, maka peran informasi
geospasial
dalam
tahap
penetapan
dan
penegasan batas daerah dapat diilustrasikan
seperti Gambar 1. Diagram pada Gambar 1 dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap penetapan,
alokasi wilayah yang sudah disepakati sebelumnya
harus dibagi untuk masing-masing pihak dengan
memilih
letak
batas.
Setelah
mencapai
kesepakatan dalam letak batas, selanjutnya
didefinisikan posisi-posisi titik-titik batas dengan
koordinat. Posisi titik dan garis batas tersebut
nantinya juga disepakati untuk penegasan batas
di lapangan. Dalam berbagai kasus batas
internasional tahap delimitasi merupakan tahapan
yang paling kritis dan diperlukan kerja yang
sungguh-sungguh dan akurat (Blake,1995). Hasil
akhir dari kegiatan delimitasi adalah garis batas
yang telah disepakati di peta dan daftar koordinat
geografis titik-titik batas pada suatu datum
geodetik yang dipilih.
Dalam konteks penetapan batas daerah, peta
dan daftar koordinat geografis titik-titik batas
tersebut dicantumkan sebagai lampiran yang tidak
terpisahkan dalam dokumen UUPD. Sebagai
lampiran yang tidak terpisahkan mengandung
pengertian bahwa antara garis batas yang
tergambar di peta dengan teks dalam pasal-pasal
UUPD harus memiliki pengertian yang sama dan
tidak boleh saling bertentangan. Dengan demikian
peranan peta termasuk datum geodetiknya pada
tahap penetapan adalah sebagai infrastruktur
untuk memilih letak dan mendefinisikan titik-titik
dan garis batas.
Oleh sebab itu peta yang digunakan dan yang
dihasilkan seharusnya adalah peta yang memiliki
kualitas yang baik dari aspek geometris dan
kartografis. Aspek geometris peta disini meliputi:
skala peta, datum geodetik, sistem koordinat dan
sistem proyeksi peta (Adler, 2001). Untuk
pendefinisian koordinat titik-titik batas tanpa
menyertakan spesifikasi datum geodetik adalah
sesuatu yang tidak bisa dimaafkan (Pratt, 2006).

Politik nasional dalam rangka desentralisasi, hubungan


antar daerah, pemisah kewenangan pengelolaan
administrasi wilayah
Rezim hukum nasional: UUD-45, UU Otda
No.32/2004, PP, Permendagri
Teknologi survei dan pemetaan
(peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)

Permasalahan yang sering terjadi adalah tidak


tersedianya peta yang memadai atau kurang
perhatiannya dari para pihak tentang arti
pentingnya peta termasuk datum geodetiknya.
Datum Geodetik dan Sistem Koordinat
Datum geodetik (Gambar 2) adalah sejumlah
parameter yang digunakan untuk mendefinisikan:
1) Bentuk dan ukuran ellipsoid referensi
(parameter a, f) yang digunakan untuk
pendefinisian koordinat geodetik, serta
2) Kedudukan dan orientasinya dalam ruang
terhadap tubuh Bumi.

Gambar 1. Datum Geodetik (Anonim, 2006)


Ditinjau dari kedudukan elipsoid terhadap
bumi, datum geodetik yang digunakan dapat
dibedakan antara datum geodetik geosentrik
(global) dan datum geodetik lokal.
Posisi suatu titik di bumi biasanya dinyatakan
dengan koordinat, bisa dalam dua dimensi (2D)
atau tiga dimensi (3D). Untuk mendefinisikan
suatu sistem koordinat ada 3 parameter yang
perlu ditetapkan (Anonim, 2006), yaitu:
1. Lokasi origin (titik nol)
2. Orientasi dari sumbu-sumbu koordinat
3. Besaran (kartesian, curvilinier) yang digunakan
untuk mendefinisikan posisi suatu titik dalam
sistem koordinat tersebut.
Dalam penentuan posisi suatu titik di
permukaan bumi, lokasi titik origin dari sistem
koordinat yang digunakan dapat diletakan di
pusat bumi (geosentrik), atau diletakan di
permukaan bumi (toposentrik).

81

Penaksiran Informasi Geospasial ................................................................................................... (Sumaryo, dkk.)


PETA DASAR
(PETA RBI)
Digunakan untuk
memilih letak dan
mendefinisikan batas

PENETAPAN BATAS
DAERAH
(dalam proses UU
Pembentukan DOB)

INFORMASI
GEOSPASIAL
(termasuk Datum
Geodetik)

PETA BATAS WILAYAH


ADMINISTRASI DOB,
LAMPIRAN UUPD

Digunakan untuk transformasi


ke lapangan

PENEGASAN
BATAS DAERAH

Koordinat titik batas

Peta batas daerah

ADMINISTRASI/ MANAJEMEN BATAS DAERAH

Gambar 2. Peran peta dan datum geodetik dalam tahapan penetapan dan penegasan batas daerah
METODE

Teori Boundary Making

Gambar 3. Posisi titik P (, ) pada sistem


geosentrik (Anonim, 2006)

Pada sistem koordinat geosentrik kedudukan


suatu titik (P) dinyatakan dengan tiga komponen
koordinat (lihat Gambar 3):
1. Lintang geodetik (sering dinyatakan dengan
simbol huruf L atau ),
2. Bujur geodetik (sering dinyatakan dengan
simbol huruf B atau ),
3. Tinggi terhadap permukaan ellipsoid (sering
dinyatakan dengan simbol huruf h).
Atau pada koordinat kartesian adalah P (X, Y, Z).

82

Teori dasar boundary making modern yang


digunakan di dalam praktek batas internasional
pada awalnya dibangun secara berturut-turut oleh
Lord Curzon tahun 1907 (dipublikasikan pertama
kali tahun 1896), Sir Thomas Holdich tahun 1916,
C.B. Fawcett tahun 1918 dan Sir Henry Mc Mahon
tahun 1935 (Srebro dan Shoshany, 2013).
Kemudian pada fase kedua dikembangkan oleh
Paul de Lapradelle tahun 1928 dan Stephen B.
Jones tahun 1945. Paul de Lapradelle (1928)
menjelaskan bahwa boundary making meliputi
tiga tahapan, yaitu: preparation, decision dan
execution (Donaldson dan Williams, 2008; Srebro
dan Shoshany, 2013). Kemudian Jones (1945)
membagi tahapan boundary making menjadi
empat tahap, yaitu: (1) alokasi (allocation), (2)
delimitasi
(delimitation),
(3)
demarkasi
(demarcation) dan (4) mengadministrasikan batas
wilayah (administration). Prescott (1987) dalam
Donaldson dan Williams (2008) menyebutkan
bahwa pengertian preparation, decision dan
execution yang dikemukakan oleh Paul de
Lapradelle (1928) sama pengertiannya dengan
allocation, delimitation dan demarcation yang
dikemukakan oleh Jones (1945).
Pada masa kolonial dan pasca kolonial bahkan
sampai akhir abad 20, teori Jones (1945) banyak

Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 1 Agustus 2014 : 79 - 86

digunakan dalam praktek penentuan batas


internasional dan telah berakar kuat. Namun di
abad 21 telah terjadi perkembangan teknologi
geospasial yang sangat pesat yang sudah berbeda
dibanding pada saat teori Jones ditulis tahun
1945. Perkembangan tersebut adalah penentuan
posisi dengan Global Positioning System (GPS),
teknologi satelit untuk mendapatkan citra (image)
dengan resolusi tinggi dan teknologi komputer
yang telah membawa abad dua puluh satu ini
pada era teknologi dijital. Perubahan tersebut
dapat mengubah baik peralatan maupun metode
yang digunakan dalam proses delimitasi,
demarkasi maupun administrasi batas wilayah.
Disisi lain abad 21 merupakan era globalisasi
khususnya dalam perdagangan dan arus informasi
yang memunculkan pandangan borderless. Oleh
sebab itu muncul pertanyaan apakah teori Jones
masih relevan di abad 21.
Dengan dasar hal tersebut, Donaldson dan
Williams (2008) melakukan penelitian yang
kemudian ditulis di dalam artikel berjudul:

Delimitation and Demarcation: Analysing the


Legacy of Stephen B Joness Boundary Making

dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4,


676-700. Dari analisis yang dilakukan oleh
Donaldson dan Williams (2008) ada tiga butir
kesimpulan yang penting yaitu:
1) Tahapan
penetapan
(delimitasi)
dan
penegasan (demarkasi) merupakan tahapan
yang mendasar di dalam boundary making dan
secara praktis masih digunakan sebagai
pedoman dalam penentuan batas dan
penyelesaian sengketa batas di berbagai
belahan
dunia.
Jones
dengan
tegas
menyatakan bahwa delimitasi merupakan
proses dua tahap (two-stage process) yaitu
memilih garis batas dan mendefinisikan garis
batas.
2) Pengertian demarkasi menurut Jones tidak
sesederhana hanya mencari lokasi untuk
memasang pilar seperti yang tertulis dalam
perjanjian atau tergambar di dalam peta,
namun adalah suatu proses adaptasi dari batas
yang sudah didelimitasi di dalam perjanjian ke
dalam kondisi lokal di area perbatasan. Karena
itu para demarkator sebenarnya adalah
sebagai penyesuai akhir (the final adjusment)
garis batas hasil delimitasi ke kondisi realitas
lapangan. Di dalam proses demarkasi
diperlukan ahli-ahli teknis seperti kartografer,
surveyor dan geografer yang sering disebut
demarkator. Donaldson dan Williams (2008)
memberi catatan bahwa teori boundarymaking yang ditulis Jones merupakan tonggak
sejarah yang sangat penting di dalam
mendekatkan aspek-aspek teknis (demarkasi)
ke aspek legal (delimitasi).
3) Tahap delimitasi dan demarkasi pada teori
Jones (1945) tetap merupakan panduan yang

ideal di dalam boundary making di masa depan


dan merupakan kerangka yang sangat baik
untuk melakukan analisis terhadap sengketa
batas wilayah yang diakibatkan kesalahan dan
kekurangan informasi perbatasan.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan
oleh Donaldson dan Williams (2008), penulis
berpendapat bahwa teori Jones (1945) untuk
batas wilayah internasional juga dapat diadopsi
untuk kasus batas daerah di Indonesia. Namun
demikian karena boundary making merupakan
suatu proses yang terkait dengan aspek poltik,
hukum dan teknis, maka terlebih dahulu akan
diuraikan secara singkat perbandingan aspek
politik, hukum dan teknis antara batas
internasional dan batas daerah. Uraian singkat
tersebut disajikan pada Tabel 1, yang
menunjukkan bahwa dalam aspek politik dan
hukum terlihat jelas perbedaan antara boundary
making batas internasional dengan batas daerah.
Namun dalam aspek teknis survei pemetaan,
keduanya
sama
menggunakan
teknologi
geospasial yang bersifat universal.
Dengan demikian, pada penelitian ini tahapan
boundary making untuk batas internasional pada
teori Jones (1945) digunakan sebagai acuan
untuk melakukan penaksiran informasi geospasial
termasuk datum geodetik di dalam penetapan dan
penegasan batas daerah. Hal tersebut dilakukan
dengan pertimbangan bahwa obyek yang akan
diteliti adalah informasi geospasial yang
merupakan aspek teknis survei pemetaan dalam
boundary making. Dalam hal aspek teknis survei
pemetaan, tidak ada perbedaan antara teknologi
pemetaan
yang
digunakan
untuk
batas
internasional maupun untuk batas daerah
(Sutisna, dkk., 2008).
Bahan Penelitian
a) Dokumen peraturan perundangan yang terkait
proses penetapan batas daerah yaitu: (1) UU
Pembentukan Daerah beserta lampiran peta
untuk 205 daerah otonom baru yang dibentuk
pada periode 1999 s.d. 2009, (2) Peraturan
Pemerintah (PP) yaitu PP. No. 129 tahun 2000
dan PP No. 78 tahun 2007 tentang tata cara
pembentukan,
penghapusan,
dan
penggabungan daerah.
b) Peraturan Menteri Dalam Negeri no.1 tahun
2006 dan No. 76 tahun 2012 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah.
c) Data
hasil
wawancara
dengan
para
koresponden: (1) Pejabat di Kemendagri, (2)
pejabat pemetaan batas wilayah di Badan
Informasi Geospasial.
d) Data katalog peta RBI dan peta Topografi
masing-masing diperoleh dari Badan Informasi
Geospasial dan Direktorat Topografi TNI-AD.

83

Penaksiran Informasi Geospasial ................................................................................................... (Sumaryo, dkk.)

Teknik Penelitian
Jalannya pelaksanaan penelitian adalah:
1) Persiapan: studi literatur, pembuatan daftar
pertanyaan untuk wawancara dan pengurusan
izin penelitian.
2) Pengumpulan data
3) Penaksiran penggunaan informasi geospasial
khususnya datum geodetik pada tahap proses
penetapan dan penegasan batas daerah.
Penaksiran dilakukan dengan tolok ukur
tahapan penetapan dan penegasan sesuai
boundary making Jones (1945) serta syarat
kualitas peta dalam penetapan dan penegasan
batas menurut Adler (1995, 2001).
4) Hasil dan pembahasan
5) Kesimpulan
HASIL PEMBAHASAN
Pengaruh Tidak Adanya Datum Geodetik
Pada Peta Wilayah Administrasi Lampiran
Dari 115 peta batas wilayah administarsi
lampiran UUPD periode 1999 sampai dengan 2007
yang diteliti, ditemukan semuanya tidak
mencantumkan informasi datum geodetik yang
digunakan.
Memang ada sebagian yang
mencantumkan gratikul koordinat pada peta
lampiran, namun tidak disebutkan datum
geodetiknya, sehingga bila peta tersebut
digunakan untuk kegiatan penegasan batas di
lapangan pasti akan terjadi kesulitan.
Peta lampiran UUPD selayaknya harus
mendefinisikan penetapan garis batas yang
memiliki legalitas, sehingga fungsinya akan
menjadi infrastruktur untuk penegasan batas
dengan cara mentransformasi titik dan garis batas
ke lapangan. Kegiatan penegasan merupakan
kegiatan yang bersifat teknis survei pemetaan.
Secara teknis survei pemetaan, mentransformasi
titik-titik batas dan garis batas dari peta ke
lapangan adalah kegiatan yang disebut staking
out atau merekonstruksi titik batas di peta ke
lapangan. Syarat suatu titik atau garis dapat
direkonstruksi adalah titik tersebut harus
diketahui dengan jelas sistem koordinat dan
datum geodetiknya (Schofield, 2002). Apabila
suatu titik hanya diketahui koordinatnya namun
datum geodetiknya tidak diketahui maka sulit
untuk bisa ditegaskan di lapangan (Abidin, dkk.,
2005). Atau kalau tetap dilakukan staking out
dengan menggunakan datum geodetik perkiraan
maka akan terjadi pergeseran titik dari yang
seharusnya. Pergeseran tersebut bisa merugikan
atau menguntungkan terhadap daerah tetangga,
dan hal ini yang berpotensi menimbulkan
sengketa posisional dengan daerah tetangga.
Apalagi kalau di daerah tersebut terdapat
sumberdaya alam seperti sumur minyak atau gas,
84

maka biasanya sengketa posisional batas tidak


bisa terelakan lagi (Rimayanti dan Lokita, 2010).
Sebagai ilustrasi disampaikan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Abidin, dkk. (2005),
Rimayanti dan Lokita (2010) dalam kasus
ketidakjelasan datum geodetik 6 titik batas laut
teritorial pada dokumen perjanjian antara
Indonesia dan Singapura. Karena ketidakjelasan
datum geodetik tersebut, Abidin, dkk. (2005)
mencoba melakukan perhitungan posisi 6
koordinat titik batas tersebut pada beberapa
alternatif datum yaitu datum Kertau 48, datum
Kertau 68, datum Genuk dan datum South Asia
posisinya terhadap datum WGS84. Hasil
perhitungan koordinat menunjukkan adanya
pergeseran posisi seperti pada Tabel 2. Pada
Tabel 2, notasi D1= Kertau48-WGS84, D2=
Kertau 68-WGS84, D3= Genuk-WGS84, D4 =
South Asia-WGS84.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pergeseran
koordinat dari datum yang berbeda besarnya
bervariasi antara 25,98 m sampai 214,7 m.
Pergeseran posisi koordinat akan menyebabkan
kesalahan dalam penegasan titik batas di
lapangan. Kesalahan ini tentunya bisa berakibat
menguntungkan atau merugikan masing-masing
pihak. Dalam sistem koordinat geografis,
pergeseran koordinat geografis satu detik bisa
menyebakan pergeseran di lapangan sekitar 30
m. Pada area yang prospektif untuk sumberdaya
alam seperti minyak, gas dan mineral, sebaiknya
ketelitian koordinat yang disarankan adalah 0,1
detik sehingga pergeseran titik di lapangan hanya
sekitar 1,5 m (Pratt, M., 2006).
Tabel 2.Pergeseran posisi (D) dari titik-titik batas laut
territorial Indonesia dan Singapura dalam
sistem WGS84 (Abidin, dkk, 2005).
Titik
D1 (m)
D2 (m)
D3 (m)
D4 (m)
Batas
1
190,5
188,0
214,7
26,02
2
191,4
189,0
213,7
26,03
3
192,4
189,9
213,0
26,02
4
193,3
190,8
212,4
26,01
5
193,6
191,1
212,2
26,00
6
195,8
193,3
210,5
25,98

Dari uraian sebelumnya dapat dicatat bahwa


untuk keperluan penetapan batas, datum geodetik
dan sistem koordinat memiliki arti yang sangat
penting untuk mendefinisikan koordinat titik-titik
batas. Setelah itu, datum geodetik juga sangat
diperlukan dalam kegiatan penegasan batas untuk
merekonstruksi titik batas di peta wilayah
administrasi ke lapangan.
Pengaruh Kondisi Peta Lampiran UU DOB
Terhadap Penegasan Batas Daerah
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa
titik-titik batas pada peta wilayah adminisitrasi

Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 1 Agustus 2014 : 79 - 86

tidak didefinisikan dalam koordinat serta informasi


sistem koordinat dan datum geodetik yang
digunakan juga tidak disebutkan. Hal ini tentu
menyulitkan untuk melakukan penegasan titik-titik
batas di lapangan. Oleh sebab itu Pemerintah
dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri yang
diberi mandat untuk melaksanakan penegasan
batas daerah, mengeluarkan suatu regulasi yang
dipakai sebagai pedoman penegasan batas
daerah. Pedoman tersebut berupa Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. SE Mendagri
No.126/2742/SJ tanggal 27
November 2002
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang
kemudian diganti dengan Permendagri No.1 tahun
2006 tentang Pedoman Penegasan Batas daerah
(Santoso, 2013).
Secara garis besar, penegasan batas daerah
menurut Peremendagri No.1 tahun 2006 terdiri
dari 5 (lima) kegiatan yaitu:
1) Penelitian dokumen
2) Pelacakan batas
3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas
4) Pemasangan pilar batas
5) Pembuatan peta batas
Tahap penelitian dokumen meliputi:
1) Dokumen-dokumen batas yang mungkin sudah
pernah ada seperti Staatsblad (zaman
Belanda), nota dari residen (zaman Belanda)
ataupun peraturan perundangan yang telah
ada sebelumnya seperti Undang-undang
pembentukan daerah, atau kesepakatankesepakatan yang pernah ada termasuk petapeta kesepakatan mengenai batas wilayah.
2) Peta batas daerah yang merupakan lampiran
undang-undang pembentukan daerah, peta
minit (Minuteplan), peta topografi/rupabumi
atau peta-peta lain yang memuat tentang
batas daerah yang bersangkutan.
3) Kesepakatan antara dua daerah yang
berbatasan yang dituangkan dalam dokumen
kesepakatan penentuan batas daerah.
Ketentuan di dalam Permendagri No.1 tahun
2006 bahwa proses penegasan batas harus
diawali dengan melakukan penelitian dokumen
dan perundingan untuk mencapai kesepakatan
batas, dapat ditafsirkan seolah-olah ada tahapan
penetapan ulang atau re-delimitasi. Proses redelimitasi ini sering memerlukan waktu lama dan
berlarut-larut. Kondisi ini yang menjadi salah satu
penyebab lambatnya proses penegasan batas
daerah di Indonesia. Data di Kemendagri
menyebutkan bahwa selama 10 tahun (2002 s.d.
2102) baru dapat ditegaskan 189 segmen batas
daerah (127 Permendgri) dari jumlah seluruh
segmen
batas
sebanyak
966
segmen
(Kemendagri, 2012).
Merujuk pada tahapan penegasan pada teori
Jones (1945), para demarkator (dalam hal ini Tim
Penegasan Batas Daerah) seharusnya hanya

diberi kewenangan untuk melakukan penyesuaian


akhir (final adjusment ) batas hasil penetapan
sesuai kondisi realitas lapangan, bukan redelimitasi. Di dalam Permendagri No.1 tahun 2006
seharusnya tidak mencantumkan ketentuan
tentang tahapan penelitian dokumen. Proses
penelitian dokumen terkait sejarah seharusnya
dilakukan pada saat tahap penetapan batas pada
proses
peyusunan
UUPD
dalam
rangka
pembentukan DOB yang bersangkutan, bukan
setelah terbetuknya DOB.
Menyadari bahwa penggunaan Permendagri
No.1 tahun 2006 ternyata sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan dan kurang
memadai dalam proses percepatan penegasan
batas daerah, maka kemudian diganti dengan
Permendagri
No.76
tahun
2012.
Dalam
Permendagri yang baru ini, penegasan batas
daerah dilakukan melalui tahapan:
1) penyiapan dokumen;
2) pelacakan batas;
3) pengukuran dan penentuan posisi batas;
4) pembuatan peta batas;
Kata penelitian dokumen pada Permendagri No.1
tahun 2006, pada Permendagri No.76 tahun 2012
diganti dengan kata penyiapan dokumen, yaitu
meliputi penyiapan:
a. peraturan
perundang-undangan
tentang
pembentukan daerah;
b. peta dasar; dan/atau
c. dokumen lain yang berkaitan dengan batas
wilayah administrasi yang disepakati para
pihak.
KESIMPULAN
Penetapan dan penegasan batas daerah dalam
rangka pembentukan daerah otonom baru di
Indonesia telah dilakukan pada sepuluh tahun era
otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode
tahun 1999 sampai dengan 2007 dibuat sesuai
regulasi PP. No. 129 tahun 2000 tentang
persyaratan pembentukan, penghapusan dan
penggabungan daerah, peta dasar (peta RBI dan
peta Topografi TNI-AD) tidak digunakan sebagai
dasar dalam pembuatan peta lampiran UU
tentang
pembentukan
DOB.
Hal
ini
mengakibatkan
115
peta
batas
wilayah
administrasi pada lampiran UUPD periode tahun
1999 sampai dengan 2007 tidak mencantumkan
informasi datum geodetik dan sistem proyeksi
peta yang digunakan, sehingga peta tersebut
tidak dapat digunakan untuk memindahkan atau
stake out titik batas di peta ke lapangan. Oleh
sebab itu di dalam Permendagri No.1 tahun 2006,
proses penegasan batas harus diawali dengan
melakukan penelitian dokumen dan perundingan
untuk mencapai kesepakatan batas. Hal ini dapat
ditafsirkan seolah-olah ada tahapan penetapan
85

Penaksiran Informasi Geospasial ................................................................................................... (Sumaryo, dkk.)

ulang atau re-delimitasi. Merujuk pada teori


Jones, kegiatan penegasan batas seharusnya
hanya final adjusment batas hasil penetapan
sesuai kondisi realitas lapangan, bukan redelimitasi.
Pada periode tahun 2008 sampai dengan
2009, sesuai regulasi PP No. 78 tahun 2007
tentang pembentukan DOB, peta RBI wajib
digunakan untuk dasar penetapan batas daerah
dalam proses pembentukan DOB. Peta wilayah
administrasi lampiran UUPD pada periode ini
mencantumkan datum geodetik DGN-95 dan
sistem koordinat UTM, sehingga peta tersebut
dapat
lebih
mudah
digunakan
untuk
memindahkan titik batas di peta ke lapangan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Diucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sangat tinggi kepada bapak Eko Subowo, bapak
Heru Santosa, bapak Halomoan Pakpahan, bapak
Endarto dari Kementrian Dalam Negeri, serta
kepada Deputi IGD, Kapus Pemetaan Batas
Wilayah, Anas Kencana, Lulus Hadiyanto, dan
Suryanto di Badan Informasi Geospasial yang
telah menyediakan waktu untuk diskusi serta
memfasilitasi data, dokumen dan peta-peta yang
diperlukan dalam penelitian ini. Penulis ucapkan
terima kasih kepada Mitra Bebestari yang telah
mendukung serta membantu pada penulisan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin , H.Z, Villanueva, K. J., Sutisna, S, and T.
Padmasari, 2005, Datum Geodetik Batas
Maritim Indonesia Singapura: Status dan
Permasalahannya, PROC. ITB Sains & Tek. Vol.
37 A, No. 1, 2005, 23-47 23 , Bandung.
Adler, R., 1995, Positioning and Mapping
International Land Boundaries, IBRUBoundary
& Territory Briefing, Vol.2, No.1, ISBN 1897643-19-5, Durham, UK.
Adler, R., 2001, Geographical Information in
Delimitation, Demarcation and Management of
International Land Boundaries, IBRU Boundary
& Territory Briefing, Vol.3, No.4, ISBN 1897643-40-3, Durham, UK.
Anonim, 2006, A Manual On Technical Aspects Of
The United Nations Convention On The Law
Of The Sea 1982, Special Publication No. 51,
4th Edition - March 2006, Published by the
International Hydrographic Bureau, Monaco.
Blake, G., 1995, The Depiction of International
Boundaries on Topographic Maps, Articles
Section, IBRU Boundary and Security Bulletin
April 1995, Durham, UK.
Donaldson, J.W., dan Williams, A.J., 2008,
Delimitation and Demarcation: Analysing the
Legacy of
Stephen B. Joness Boundary
86

Making,
Geopolitics,
13:4,
676-700,
http://dx.doi.org/10.1080/1465004080227550
3.
Endarto, S., 2013, Proses Pembentukan Daerah
Otonomi Baru, Wawancara, Tidak dipublikasi,
Jakarta.
Ikawati, Y., dan Setiawati, D.R., 2009, Survei dan

Pemetaan Nusantara, 40 Tahun Bakosurtanal,

Penerbit Bakosurtanal bekerjasama dengan


MAPIPTEK, ISBN: 978-602-95542-0-5 Jakarta.
Jones, S., B., 1945, Boundary Making,
A

Handbook for Statesmen, Treaty Editors and


Boundary Commissioners , William S. Hein and

Co.,Inc, Buffalo, New York.


Kelompok Kerja Geodesi Bakosurtanal, 2007,

Petunjuk Teknis Transformasi Datum dan


Konversi Sistem Proyeksi Peta, Bakosurtanal,

Cibinong.
Kemendagri, 2012, Sengketa Batas Daerah,
Laporan, tidak dipublikasi, Jakarta.
Pratt, M., 2006, The Role of the Technical Expert
in Maritime Delimitation Cases, Maritime
Delimitation, p.79-94, Publication on Ocean
Development, Vol. 53, Martinus Nijhoff
Publishers, Leiden.
Prescott, J.R.V., 1987, Political Frontiers and
Boundaries, London: Allen and Unwin, 93-135.
Santoso, H., 2013, Penegasan Batas Daerah di
Indonesia berdasar Permendagri No.1 tahun
2006 tentang Penegasan Batas Daerah,
Wawancara, tidak dipublikasi, Jakarta.
Schofield, W., 2002, Engineering Surveying,
Theory and Examination Problem for Students,
Butterworth-Heinemann
Sutisna, S., Lokita, S., dan Sumaryo, 2008,
Boundary Making Theory dan Pengelolaan
Perbatasan
Di
Indonesia,
Workshop
Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Jurusan Ilmu
HI/UPN Veteran, Yogyakarta, 18 19
November, 2008.
Rimayanti, A., and Lokita, S., 2010, The Geodetic
Datum Problems of the Territorial Sea
Boundary between the Republic of Indonesia
and the Republic of Singapore, TS 1I
Administration of Marine Spaces, FIG Congress
2010 Facing the Challenges Building the
Capacity, Sydney, Australia, 11-16 April 2010.
Srebro, H dan Shoshany, M., 2013, The Process of
International Boundary Making, FIG Publication
No 59, International Boundary Making, p. 1738, International Federation of Surveyors
(FIG), ISBN 978-87-92853-08-0, Copenhagen,
Denmar.

Вам также может понравиться