Вы находитесь на странице: 1из 13

Demokrasi, Kehidupan Pers, UU no 40 tahun 1999 dan UU no 32 tahun 2002 di

Indonesia

Pendahuluan
Dalam era globalisasi sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa arus informasi
berkembang dengan sangat cepat, informasi merupakan bagian dari kebutuhan primer
manusia. Untuk menjawab tantangan global tesebut, informasi dikemas sedemikian rupa guna
memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga media informasi pun menjadi semakin beragam,
ada yang dikemas dalam media elektronik seperti televisi, radio, dan internet, pun juga
dikemas dalam media surat kabar atau koran, majalah, dan tabloid. Dalam perkembangannya,
informasi yang merupakan bagian kebutuhan manusia tidaklah dapat dilepaskan dari peran
pers.
Kebebasan mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat, baik secara lisan
maupun tulisan atau cetak, merupakan salah satu nilai-nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
yang diakui dan di jamin secara universal. Kebebasan mendapatkan informasi dan
kemerdekaan menyatalam pendapat terkait erat dengan kebebasan dan kemerdekaan pers.
Seringkali, kebebasan dan kemerdekaan pers merupakan salah satu pelaksanaan prinsip
negara demokrasi. Dalam artian, pers merupakan pilar ke empat demokrasi.
Pengertian Pers
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press.
Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau
publikasi secara dicetak (printed publication). Dalam perkembangannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam
pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan
film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau
perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah
jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya
digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar
harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai
media cetak.

Komunikasi Politik

Page 1

Makna pers menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam pasal 1
angka 1 dinyatakan Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan menurut
para ahli makna pers antara lain adalah menurut Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya Four
Theories of the Press mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the
libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut
mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan
pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun
1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat
dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.
Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk
pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat
para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia pada masa penjajahan
Belanda.
Fungsi dan Peranan Pers
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982, dijelaskan bahwa Organisasi pers
ialah organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan organisasi
media periklanan, yang disetujui oleh Pemerintah. Dan menurut Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1982 juga dijelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam
pembangunan, maka pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan
aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol
sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara
Pemerintah, pers dan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan fungsi Pers, menurut pasal 3 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang penting yaitu: sebagai
media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; sebagai lembaga ekonomi. Fungsi
pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers
Komunikasi Politik

Page 2

harus menerapkan prinsip-prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para
karyawan media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban
sosialnya.
Di samping itu, pers juga berfungsi menyebarkan informasi yang objektif, penyalur
aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat, serta melakukan kontrol
sosial yang konstruktif. Pelaksanaan fungsi pers tersebut sangat penting dalani kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. yang demokratis. Yang dimaksud dengan
"kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas, dari
tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk
memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai
kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan,
dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan
hati nurani insan pers.
Dengan demikian dapat kita lihat peranan pers sangat penting dalam memperjuangkan
terwujudnya tatanan baru di bidang informasi dan komunikasi atas dasar kepentingan
nasional dan percaya pada kekuatan diri sendiri dalam menjalin kerjasama regional, antar
golongan, dan intemasioal, khususnya di bidang pers. Dimana kegiatan pers ini dapat
menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh kesatuan dan
persatuan nasional, membantu meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, serta
menggairahkan partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Menurut pasal 6 Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pers Nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
b. Menegakkan. nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan,
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi. yang tepat, akurat
dan benar,
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum,
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Komunikasi Politik

Page 3

Oleh karena itu peranan pers nasional. sangat penting dalam memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum dengan menyampaikan
informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan
kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Sehubungan dengan hal itu pemerintah juga harus memberikan perlindungan hukum.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu "adalah jaminan perlindungan
pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan atau pekerja pers dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan, perundangundangan yang berlaku".
Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan
oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada
dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah
yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh
masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif,
selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting,
misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian
warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak
semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).

Komunikasi Politik

Page 4

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas.
Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin
negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya
dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi.
Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi
meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu
adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih
pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati
umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Kebebasan Pers Sebagai Wujud Demokrasi
Bila merujuk pada konsideran menimbang yang terdapat dalam Undang-Undang
No.40 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa bahwa kemerdekaan pers merupakan salah
satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945 harus dijamin maka Pers merupakan salah satu pengawal demokrasi. Adapun
peran Pers sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak masyarakat
untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c.
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d.
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; dan menurut ketentuan
pasal 3 Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik
dinyatakan bahwa Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah. Dimana ketentuan tersebut memiliki penafsiran antara lain (a).
Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu;
Komunikasi Politik

Page 5

(b). Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing
pihak secara proporsional; (c). Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi
wartawan atas fakta.;(d). Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi
seseorang..
Dari ketentuan tersebut maka jelas bahwa pers di dalam melaksanakan perannya
dibatasi kode etik jurnalistik demi kepentingan bangsa. Namun kadangkala secara faktual
pers kurang memperhatikan ketentuan tersebut sehingga pemberitaan oleh pers malah justru
mengundang polemik di masyarakat. Dari perspektif demokrasi hal tersebut mungkin dapat
dibenarkan sebab polemik pro dan kontra yang ada di masyarakat atas pemberitaan media
merupakan wujud dari demokratisasi yang memerlukan pendapat dari banyak sisi dan sudut
pandang. Konsekuensi dari demokrasi adalah terbukanya secara luas peran serat masyarakat,
bila pemberitaan yang diangkat oleh pers menimbulkan pro kontra, maka sebenarnya telah
terbuka ruang bagi masyarakat domokratis untuk berperan serta, melalui opini-opininya yang
secara cerdas pula masyarakat dituntut untuk menganalisa pemberitaan tersebut. Untuk itulah
di dalam pasal 17 ayat (1) dan (2) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat berupa : a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran
hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan
usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas
pers nasional.
Perjalanan dan Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah pers dan hukum pers di Tanah Air sebenarnya sudah cukup panjang. Seperti
diketahui, sejak awal peraturan pers dibuat adalah untuk melindungi kepentingan penjajah
kolonial. Oleh sebab itu dibuatlah peraturan-peraturan oleh Pemerintah Belanda yang
mengekang pers dan menindas para pejuang kemerdekaan. Misalnya ketentuan tentang delik
pers dibuat sangat ketat dan karenanya banyak dikaitkan dengan ketentuan hatzaai-artikelen
atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP. Ketentuan tentang delik pers ini kemudian
dirumuskan oleh dua ilmuwan hukum Belanda, yakni oleh WFC Van Hattum yang menyebut
delik pers sebagai misdrijven door middle van de drukpers gepleegd atau kejahatan yang
dilakukan dengan pers. Yang kedua adalah Hazewingkel Suringa yang mengatakan bahwa
Komunikasi Politik

Page 6

delik pers adalah penghasutan, penghinaan, atau pencemaran nama baik yang dilakukan
dengan barang cetak. Telah banyak para pendiri republik ini yang dijerat oleh ketentuan
hukum pers kolonial ini. Ambil contoh Ki Hajar Dewantoro. Karena tulisannya di koran De
Express yang berjudul Als Ik, een Nederlander Was (Seandainya Saya Orang Belanda)
tanggal 20 Juli 1913 ia harus dikucilkan dan dipenjara. Ki Hajar mengkritik orang Belanda
yang merayakan kemerdekaannya di Indonesia. Ki Hajar mengatakan, kaum kolonial Belanda
itu tidak pantas berpesta pora justru di negeri jajahan. Beberapa tahun kemudian dibuatlah
Pressbreidel Ordonantie 1931 (yang kemudian dicabut pada zaman Soekarno tahun 1954).
Ketentuan ini sebenarnya diadopsi dari the British Indian Penal Code yang di negeri Belanda
sendiri ditolak untuk diterapkan karena dianggap berasal dari hukum penjajah, Inggris. Akan
tetapi, diam-diam ordonansi 1931 ini dibawa ke Indonesia dan diterapkan di sini. Tujuannya?
Sebagai alat politik untuk menekan kaum inlanders dan untuk menyelamatkan kepentingan
kaum kolonial. Celakanya, hukum kolonial tersebut dipertahankan dan diterapkan setelah kita
merdeka. Makanya banyak terjadi pembredelan pers seperti yang ditulis Erdward C Smith
(1983). Baik di zaman orde baru maupun orde lama, sudah banyak terjadi pemberangusan
terhadap pers. Sejarah mencatat bahwa ketentuan tentang pencabutan surat izin usaha
penerbitan pers (SIUPP) ditiadakan dan pers dibebaskan baru terjadi sejak zaman reformasi.
Telah dicatat oleh beberapa pengamat, bahwa pada tahun 1990an, pers di Indonesia
mulai repolitisasi lagi. Maksud istilah repolitisasi itu, bahwa pada tahun 1990an sebelum
gerakan reformasi dan jatuhnya Suharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerintah
dengan muat artikel-artikel yang kritis terhadap baik tokoh maupun kebijakan Orde Baru.
Namun, dapat dilihat dari kesaksian redaktur Jawa Pos, bahwa meskipun repolitisasi
tersebut memang direncanakan oleh harian Jawa Pos, wujudnyatanya tidak sampai tahun
2000. Repolitisasi memang direncanakan di harian Jawa Pos tetapi tidak terjadi secara jelas
sebelum keruntuhan Suharto dan rezimnya. Akan tetapi, ada beberapa peristiwa pada masa itu
yang memberi kesan repolitisasi. Pada tahun 1994, tiga majalah mingguan ditutup, yaitu
Tempo, DeTIK dan Editor. Penutupan terbitan-terbitan tersebut menunjukkan bahwa
majalah-majalah itu melanggar peraturan pemerintah karena memuat kritik terhadapnya.
Namun, pencabutan SIUPP dan penutupannya membuktikan bahwa Orde Baru masih lebih
kuat.
Kejadian Krisis Moneter (Krismon) melanda ekonomi Indonesia pada bulan Juli
1997. Demikian pula industri pers tidak terlepas dari dampak Krismon. Akan tetapi, bagi
Komunikasi Politik

Page 7

industri pers ada dampak positif maupun negatif. Dampak yang negatif adalah ancaman
terhadap stabilitas ekonomi pers, khususnya harga kertas koran yang membubung tinggi.
Wartawan dan karyawan-karyawan lain yang dipekerjakan oleh perusahaan pers juga
mengalami kesulitan, misalnya potong gaji atau diberhentikan. Sebagai tanggapan terhadap
krismon, kebanyakan surat kabar mengurangi jumlah halaman, misalnya Jawa Pos
mengurangi jumlah halamannya dari 28 halaman menjadi 16 halaman serta memperkecil
ukurannya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Seluruh surat kabar yang terbit di
Surabaya, baik yang kecil maupun yang beroplah besar, mengurangi jumlah halamannya dan
beberapa surat kabar juga mengurangi masa terbitnya. Misalnya surat kabar Karya Darma
yang sebelum Krismon terbit enam edisi seminggu, dikurangi hanya terbit lima edisi
seminggu.
Namun, pengaruh negatif tersebut berkurang dengan suasana demokratis dan tuntutan
berita serta informasi. Dengan kejadian Krismon, industri pers di Indonesia tidak kehilangan
mata uangnya, yaitu peristiwa dan berita.
Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde
Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti
ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti
sebuah pesta. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di
dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum
tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ
Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999,
pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers, menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
1966, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1982, yang diakui sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut,
merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin
hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai
dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Undang-Undang Republik Indonesia
Komunikasi Politik

Page 8

Nomor 40 Tahun 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih
organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.
Dasar Hukum Pers dan Kebebasan Pers
Aturan mengenai pers mula-mula dimuat dalam UU Nomor (No.) 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Tahun 1966 No.40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 1966
No.2815, yang telah diubah terakhir dengan UU No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas
UU RI No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah
diubah dengan UU No.4 Tahun 1967, yang dapat disebut UUP lama (UUPL). Pada tanggal 23
September 1999, seiring dengan berlangsungnya reformasi sosial dan reformasi hukum,
dengan pertimbangan bahwa UUPL tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan
perkembangan zaman, maka diundangkanlah UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, yang untuk
selanjut-nya akan disebut sebagai UUP. Diundangkannya UUP sekaligus menyatakan bahwa
UUPL tidak berlaku lagi. Selain itu, UU No.4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan
Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Keter-tiban Umum, Pasal
2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai bulletin-buletin, surat-surat kabar
harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, juga dinyatakan tidak berlaku.
Dasar pertimbangan dilakukannya reformasi hukum pers ada lima, yang dapat dilihat
di bagian konsiderans menimbang dalam undang-undangnya. Pertama, kemerdekaan pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan men jadi unsur yang sangat penting untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus dijamin. Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang
sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, pers nasional sebagai
wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat
melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya
berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan
perlindungan hukum, serta bebas dalam campur tangan dan paksaan dari mana pun. Keempat,
karena pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
Komunikasi Politik

Page 9

perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, karena UUPL sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman.
Ketetntuan Pidana dalam Undang undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
diatur dalam Bab VIII dan hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18, dengan tiga ayat.
Pelanggaran Pasal 18 merupakan tindak pidana, dan walaupun hanya satu pasal, namun
mengandung beberapa rumusan tindak pidana sebagai berikut di bawah ini :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (2), yaitu tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiar-an terhadap pers nasional [Pasal 18 ayat
(1)].
2. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3), yaitu hak pers
nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluas-kan gagasan dan informasi [Pasal 18
ayat (1)].
Pasal 18 ayat (1) di atas merumuskan perbuatan yang dapat dilakukan oleh setiap
orang, sebagai tindak pidana dan diancam dengan pidana penjara atau denda. Pasal 18 ayat
(2) dan ayat (3) merupakan perumusan tindak pidana untuk perusahaan pers sebagai berikut
di bawah ini.
1. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama
dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) [Pasal 18 ayat (2)], yaitu
melayani Hak Jawab.
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 13 [Pasal 18 ayat (2)], yaitu dilarang
memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup
antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai de-ngan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Komunikasi Politik

Page 10

4. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) [Pasal 18 ayat (3)], yaitu setiap
perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
5. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 [Pasal 18 ayat (3)], yaitu wajib
mengumumkan nama, alamat, penanggung jawab secara terbuka melalui media yang
bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Kesimpulan
kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan
suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media
informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan
hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah
seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin
kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga
obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan
secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa
Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.
Pers merupakan pengawal demokrasi yang keberadaannya diperlukan untuk
memberikan informasi yang obyektif kepada masyarakat sehingga memudahkan peran serta
masyarakat dalam pemerintahan dan kontrol kekuasaan serta pers mempunyai sifat derogable
dalam konstitusi sehingga pemerintah dapat melakukan pembatasan terhadap pers asalkan
demi kepentingan negara yang dapat mengancam kehidupan berbangsa namun tidak boleh
memuat diskriminasi. Dalam konsep kekinian yang harus diperhatikan pemerintah adalah
kebebasan pers harus dituangkan dalam perturan perundang-undangan yang komprehensif,
yang memuat sanksi etik, perdata, maupun pidana bukan digantungkan pada pasal-pasal
penyebar kebencian pada KUHP. Namun yang harus pula diperhatikan adalah dewan pers
harus tegas pula dalam memberlakukan sanksi apabila terdapat pelanggaran etika jurnalistik.
Yang tidak kalah penting adalah peran serta masyarakat dalam pengawasan pers, karena
dalam demokratisasi, masyarakat mempunyai peran yang sangat sentral.
Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan
pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang
demokratis dan berdasarkan atas hukum. Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers
tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam
Komunikasi Politik

Page 11

hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law
tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang
notabene adalah insan pers. Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat
dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus
tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia.

Daftar Pustaka

Atmadi, T., 1985. Sistem Pers Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung


Komunikasi Politik

Page 12

Masoed, Mohtar. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Suroso. 2001. Menuju Pers Demokrasi.Yogyakarta: LisP
. 2001. Menuju Pers Demokratis: Kritik Atas Profesionalisme Wartawan
http://pknburahmaayue.blogspot.co.id/2012/12/bab-3-peranan-pers-dalam-masyarakat.html
diakses pada tanggal 06 November 2015 pukul 10.20 Wib
http://www.pengertian.org/2015/07/pengertian-demokrasi-secara-umum.html diakses pada
tanggal 06 November 2015 pukul 10.50 Wib
http://maluku.kemenag.go.id/file/file/UndangUndang/lvmk1385532960.pdf

diakses

pada

tanggal 06 November 2015 pukul 11.40 Wib

Komunikasi Politik

Page 13

Вам также может понравиться