Вы находитесь на странице: 1из 10

PATOFISIOLOGI, WOC, MANIFESTASI KLINIS,

PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3


AGUS SAPUTRO

131511123029

SRI HANI SETIOWATI

131511123031

ELISA YULIANTI

131511123033

GILLANG EKA PRASETYA

131511123035

HERI KARTONI

131511123037

MOH ZEN ARIFIN

131511123039

RUM SETYOWATI

131511123041

WIDYASIH TRI UTAMI

131511123083

MARIA ROSWITA LOIN

131511123085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015

KONSEP HIPERTENSI

1. Patofisiologi Dan WOC


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor
pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung
jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer. (Smeltzer,2002)

Mekanisme

terjadinya

hipertensi

adalah

melalui

terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di
hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I
oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretic hormone (ADH) dan rasa
haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,sangat sedikit urin yang diekskresikan
ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah. (Cortas, 2008). Adapun Web of Causation yang
diambil dari Nanda (2015) sebagai berikut:

2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari hipertensi menurut NANDA 2015 dijelaskan bahwa tanda dan
gejala hipertensi dibagi 2:
a. Tidak ada gejala: Tidak ada gejala spesifik
b. Gejala yang lazim: Nyeri kepala dan kelelahan.
Gejala lain: sesak nafas,gelisah,mual, muntah,epistaksis, kesadaran menurun
Sedangkan menurut (Sutowo,2011) manifestasi klinis dari hipertensi berupa gejala yang timbul
tergantung pada lokasi pembuluh darah yang rusak, pada otak berupa stroke, retina berupa
kebutaan, jantung mengalami peningkatan beban kerja sehingga hipertrofi ventrikular kiri dan
berimbas pada gagal jantung, MI, serta edema pulmonal. Pada ginjal ditemukan proteinuria,
edema, serta gagal ginjal.
Menurut Elizabeth J. Corwin sebagian besar gejala klinis hipertensi timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala

saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina , ayunan langkah tidak mantap karena
kerusakan susunan syaraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau TIA yang bermanifestasi pada
paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia serta gangguan tajam penglihatan. Gejala lain
yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdenging, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur dan mata berkunang-kunang. (Corwin, 2001)
3.

Pendekatan Diagnosa
Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis meliputi : keluhan yang sering dialami, lama menderita hipertensi,ukuran
tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan dan kepatuhan berobat, gaya hidup,
riwayat penyakit penyerta dan riwayat keluarga.
2. Pemeriksaan fisik terdiri dari : pengukuran tekanan darah, pemeriksaan umum,
pemeriksaan khusus organ serta funduskopi.
3. Pemeriksaan penunjang meliputi : laboratorium rutin, kimia darah,(ureum, kreatinin,
gula darah, kolesterol, elektrolit) dan elektrokardiografi, serta radiologi dada.
4. Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan ekogardiografi dan ultrasonografi serta
pemeriksaan laboratorium canggih
(Zulkarnain dalam Desyana Endarti, 2008)

4.

Penatalaksanaan
Pada tahun 2013, Joint National Committee telah mengeluarkan guideline terbaru

mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi, yaitu JNC 8. Secara umum, JNC 8 ini
memberikan 9 rekomendasi terbaru terkait dengan target tekanan darah dan golongan obat
hipertensi yang direkomendasikan.

Rekomendasi 1. Rekomendasi pertama yang dipublikasikan melalui JNC 8 ini terkait


dengan target tekanan darah pada populasi umum usia 60 tahun atau lebih. Berbeda dengan
sebelumnya, target tekanan darah pada populasi tersebut lebih tinggi yaitu tekanan darah sistolik
kurang dari 150 mmHg serta tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg.Rekomendasi A
menjadi label dari rekomendasi nomor 1 ini. Apabila ternyata pasien sudah mencapai tekanan
darah yang lebih rendah, seperti misalnya tekanan darah sistolik <140 mmHg (mengikuti JNC 7),
selama tidak ada efek samping pada kesehatan pasien atau kualitas hidup , terapi tidak perlu
diubah. Rekomendasi ini didasarkan bahwa pada beberapa RCT didapatkan bahwa dengan
melakukan terapi dengan tekanan darah sistolik <150/90 mmHg sudah terjadi penurunan
kejadian stroke, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner. Ditambah dengan penemuan bahwa
dengan menerapkan target tekanan darah <140 mmHg pada usia tersebut tidak didapatkan
manfaat tambahan dibandingkan dengan kelompok dengan target tekanan darah sistolik yang
lebih tinggi. Namun, terdapat beberapa anggota komite JNC yang tepat menyarankan untuk
menggunakan target JNC 7 (<140 mmHg) berdasarkan expert opinion terutama pada pasien
dengan factor risiko multipel, pasien dengan penyakit kardiovaskular termasuk stroke serta orang
kulit hitam.
Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada populasi umum yang lebih
muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah diastolik <90
mmHg. Terdapat bukti-bukti yang dianggap berkualitas dan kuat dari 5 percobaan tentang
tekanan darah diastolic yang dilakukan oleh HDFP, Hypertension-Stroke Cooperative, MRC,
ANBP, dan VA Cooperative. Dengan tekanan darah <90 mmHg, didapatkan penurunan kejadian
serebrovaskular, gagal jantung, serta angka kematian secara umum. Juga, didapatkan bukti
bahwa menatalaksana dengan target 80 mmHg atau lebih rendah tidak memberikan manfaat yang
lebih dibandingkan target 90 mmHg.
Rekomendasi 3. Rekomendasi ketiga dari JNC adalah pada populasi umum yang lebih
muda dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik <140
mmHg. Rekomendasi ini berdasarkan pada expert opinion. RCT terbaru mengenai populasi ini
serta target tekanan darahnya dianggap masih kurang memadai. Oleh karena itu, panelist tetap
merekomendasikan standar yang sudah dipakai sebelumnya pada JNC 7. Selain itu, tidak ada
alasan yang dirasakan membuat standar tersebut perlu diganti.

Rekomendasi 4. Rekomendasi empat dikhususkan untuk populasi penderita tekanan darah


tinggi denganchronic kidney disease (CKD). Populasi usia 18 tahun atau lebih dengan CKD
perlu diinisiasi terapi hipertensi untuk mendapatkan target tekanan darah sistolik kurang dari 140
mmHg serta diastolik kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini merupakan expert opinion. RCT
yang digunakan untuk mendukung rekomendasi ini melibatkan populasi usia kurang dari 70
tahun dengan eGFR atau measured GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dan pada orang dengan
albuminuria (lebih dari 30 mg albumin/g kreatinin) pada berbagai level GFR maupun usia.
Rekomendasi 5. Pada pasien usia 18 tahun atau lebihdengan diabetes, inisiasi terapi
dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolic kurang
dari 90 mmHg.Rekomendasi ini merupakan expert opinion. Target tekanan darah ini lebih tinggi
dari guideline sebelumnya, yaitu tekanan darah sistolik <130 mmHg serta diastolic <85 mmHg.
Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro), termasuk pasien dengan
diabetes, terapi antihipertensi inisial sebaiknya menyertakan diuretic thiazid, Calcium channel
blocker (CCB), Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Receptor
Blocker (ARB).
Rekomendasi 8. Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih dengan CKD dan
hipertensi, ACEI atau ARB sebaiknya digunakan dalam terapi inisial atau terapi tambahan untuk
meningkatkan outcome pada ginjal. Hal ini berlaku pada semua pasien CKD dalam semua ras
maupun status diabetes.
Rekomendasi 9. Rekomendasi 9 ini termasuk dalam rekomendasi E atau expert opinion.
Rekomendasi 9 dari JNC 8 mengarahkan kita untuk melakukan penyesuaian apabila terapi inisial
yang diberikan belum memberikan target tekanan darah yang diharapkan. Jangka waktu yang
menjadi patokan awal adalah satu bulan, Jika dalam satu bulan target tekanan darah belum
tercapai, kita dapat memilih antara meningkatkan dosis obat pertama atau menambahkan obat
lain sebagai terapi kombinasi. Obat yang digunakan sesuai dengan rekomendasi yaitu thiazide,
ACEI, ARB atau CCB. Namun, ARB dan ACEI sebaiknya tidak dikombinasikan. Jika dengan
dua obat belum berhasil, kita dapat memberikan obat ketiga secara titrasi. Pada masing-masing
tahap kita perlu terus memantai perkembangan tekanan darahnya serta bagaimana terapi
dijalankan, termasuk kepatuhan pasien. Jika perlu lebih dari tiga obat atau obat yang

direkomendasikan tersebut tidak dapat diberikan, kita bisa menggunakan antihipertensi golongan
lain.
Sedangkan menurut Dr.Hasdianah dan dr. Sentot Imam (2014) Pasien Hipertensi
disarankan sebaiknya mempunyai tensimeter sendiri di rumah sehingga tahu secara dini bahwa
tekanan darah tidak normal atau barangkali sudah menderita hipertensi.Di samping itu, yang
lebih penting adalah, dari sejak awal sudah harus mengbah gaya hidup. Olah raga secara teratur,
30-40 menit minimal 5 kali dalam seminggu sebaiknya biasakan. Mengurangi asupan makanan
yang asin, sedikit garam dalam sayur.Menurunkan berat badan, bila overweight atau obes juga
sangat membantu, berhenti merokok, mengurangi makanan berlemak, mengonsumsi banyak
sayur, buah-buahan, dan banyak memakan makanan berserat .Pandai-pandai menghadapi,
mengelola stres juga berguna. Semua kebiasaan-kebiasaan sehat dapat mencegah kemungkinan
menderita hipertensi dengan segala risiko komplikasinya
Berdasarkan Smeltzer & Bare (2002) penatalaksanaan Hipertensi dapat ditempuh dengan
menerapkan gaya hidup sehat, yaitu seperti menjaga makan, mengurangi konsumsi garam, dan
menurunkan berat badan. menurunkan berat badan sebanyak 10 persen saja mampu menurunkan
tekanan darah tinggi ke kisaran normal, tanpa obat-obatan. Perbanyak makan buah dan sayuran
dan hindari penggunaan obat penghilang nyeri secara berlebihan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa konsumsi rutin obat penghilang rasa nyeri tersebut juga dapat meningkatkan risiko
hipertensi. Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah di
bawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi,
biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa pendekatan nonfarmakologis, termasuk penurunan berat badan, pembatasan alkohol,
,natrium dan tembakau, latihan dan relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan
pada setiap terapi antihipertensi. Apabila penderita hipertenai ringan berada dalam resiko tinggi
(pria, perokok) atau bila tekanan darah diastoliknya menetap, diatas 85 atau 95 mmHg dan
sistoliknya diatas 130 sampai 139 mmHg, maka perlu dimulai terapi obat-obatan.
Penatalaksanaan obat antihipertensi pada pasien dimulai dengan dosis rendah, kemudian
ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Terapi yang optimal efektif
selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena dapat melindungi pasien terhadap

berbagai resiko kematian mendadak, serangan jantung atau stroke. Pasien dengan tekanan darah
>200 atau >120 mmHg harus diberikaan terapi dengan segera dan jika terdapat gejala kerusakan
organ harus dirawat di Rumah Sakit (MRS) (Arif M, 2001)
Menurut Ardiansyah (2012) penatalaksanaan farmakologi obat pada hipertensi dimulai
dengan salah satu obat berikut
a.
b.
c.
d.
e.

Hidroklorotiazid (HCT) 12,2-25 mg /hari dosis tunggal pada pagi hari


Reserpi 0,1 - 0,25 mg sehari sebagai dosis tunggal
Propanolol mulai dari 10 mg dua kali sehari dapat dinaikan 20 mg 2x/hari
Captopril 12,5- 25 mg 2- 3 kali/hari
Nifedipin 5mg 2x/hari bisa dinaikan 10mg/hari

Sedangkan terapi non farmakologi dengan mengubah pola hidup penderita dengan cara:
a. Menurunkan BB sampai batas ideal
b. Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan, kolesterol tinggi
c. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6 gram
natrium klorida setiap harinya
d. Mengurangi konsumsi alkohol
e. Berhenti merokok, olahraga aerobik secara teratur

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Muhamad. 2012. Keperawatan Medikal Bedah. Jogjakarta : DIVA pres

Cortas K,et all. Hypertension. Last update May 11 2008.http//:www.emedicine.com. diakses 27


September 2015
Corwin, E. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Hasdianah dan Suprapto.2014. Patologi & Patofisiologi Penyakit. Jogjakarta: Diva Press
James PA dkk. 2014. Evidence-Based Guideline for The Management of High Blood Pressure in
Adults: Report from the Panel member Appointed to the Eight Joint National Committee
(JNC 8). JAMA: JNC Guideline
Mansjoer, Arif, Dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I edisi ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius UI
NANDA.2015.Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA 2015 NIC-NOC. Jakarta: Medipub
Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8.
Jakarta: PT. EGC
Sutowo.2011. Nursing: Memahami berbagai macam penyakit. Jakarta: PT. Indeks Jakarta

Вам также может понравиться