Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
JUDUL:
Medication Error (Gentamicin)
DISUSUN OLEH:
1. Ikhsan Nazar A.
(201210410311042)
2. Retno Aprillia H. (201210410311044)
3. Novi Fachrunnisa (201210410311051)
KELAS / KELOMPOK: FARMASI C / 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Medication Error
Keselamatan pasien didefinisikan sebagai sesuatu upaya untuk mencegah
terjadinya bahaya atu cedera pada pasien selama proses pengobatan. Secara umum
keselamatan paisen meliputi pencegahan kesalahan dan mengeliminasi berbagai
bahaya akibat kesalahan tersebut. Kesalahan dapat dilakukan anggota tim jadi setiap
saat selama proses pelayanan kesehatan, khususnya dalam pengobatan pasien.
Menurut Fowler, 2009, kesalahan pengobatan adalah semua kejadian yang
dapat menyebabkan pengobatan tidak sesuai yang dapat mencelakakan pasien dimana
prosedur pengobatan tersebut masih dibawah kontrol praktisi kesehatan. Adanya
undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009 serta undang-undang perlindungan
konsumen No. 8 Tahun 1999 yang menjamin hak-hak (Pasien) dalam mendapatkan
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menkonsumsi barang atau jasa
menyebabkan penyedia jasa tenaga kesehatan (dokter maupun farmasis) harus
waspada karena adanya penyimpangan pelayanan dari ketentuan yang ada akan
membuka celah bagi konsumen (pasien) dalam melakukan gugatan. (Rahmawati dan
Oetari, 2002)
Kejadian medocation error merupakan salah satu ukuran pencapaian
keselamatan pasien. Medication Error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
kesalahan pemakaian obat selama perawatan, yang sebenarnya dapat dicegah.
Menurut Lisby et al (2005) Medication error dapat terjadi pada tahap prescribing
(peresepan), transcribing, dispending (penyiapan), drug administration (pemberian
obat), dan discharge summaries, kesalahan pada salah satu tahap dapat terjadi secara
berantai dan menimbulkan kesalahan pada tahap selanjutnya. Kejadian medication
error juga tekait praktisi, produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang
melibatkan prescribing, dispensing, dan administration.
a. Prescribing Error
Jenis prescribing error antara lain kesalahan dosis dan kesalahan penulisan
desimal, dosis obat tidak sesuai kekuatan sediaan, tulisan resep yang tidak jelas,
aturan yang pakai yang tidak ada, dan resep yang tidak lengkap.
b. Transcription Error
Jenis transcription error antara lain kesalahan pembacaan resep untuk prosese
dispensing karena tulisan yang tidak jelas, salah dalam menerjemahkan order
pembuatan resep dan kesalahan signature pada resep.
c. Dispensing Error
Jenis dispensing error antara lain kesalahan dalam pembacaan resep atau
LASA (looks a like sound a like), jumlah obat yang tidak tepat, jenis obat yang tidak
sesuai resep, pemberian dosis yang tidak tepat, dan kesalahan bentuk sediaan.
d. Administration Error
Jenis administration error antara lain waktu pemberian obat yang tidak tepat,
tekhnik pemberian obat yang tidak tepat, dan obat tertukar pada pasien yang namanya
sama.
e. Lain-lain
Lingkungan kerja yang tidak memadai, petugas kerja yang lalai, pihak pasien
yang ceroboh, sikap pasien yang tidak kooperatif sehingga obat tidak tersedia saat
akan digunakan mengakibatkan keterlambatan pemberian obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aminoglikosida
Golongan
tobramisin, amikasin,
aeruginosa dan beberapa Proteus spp. Banyak bakteri gram negatif yang resisten
terhadap gentamisin karena menonaktifkan enzim plasmid-dimediasi yang juga akan
resisten terhadap tobramycin. Dan Amikasin, dalam beberapa kasus, netilmisin
mempertahankan aktivitas mereka terhadap strain resisten Gentamisin karena mereka
adalah substrat yang buruk bagi banyak enzim aminoglikosida-inactivating.
c. Ottotoksik
Vestibular dan disfungsi pendengaran dapat mengikuti administrasi dari
berbagai aminoglikosida. Ototoksisitas mungkin terjadi pada pasien dengan
konsentrasi yang meningkat terus menerus dari obat dalam plasma. Ototoksitas telah
dikaitkan dengan mutasi pada gen RNA ribosom mitokondria, menunjukkan bahwa
kecenderungan genetik memiliki efek samping (Bates, 2003). Stres oksidatif mungkin
memiliki peran, dan aktivasi ras dapat terlibat (Battaglia et al., 2003). Ototoksisitas
sebagian besar ireversibel dan hasil dari kerusakan progresif vestibular atau cochlear
sel sensorik sangat sensitif terhadap kerusakan oleh aminoglikosida (Brummett,
1983). Dengan meningkatnya dosis dan kontak yang diperlama, kerusakan
berlangsung dari dasar koklea, di mana suara frekuensi tinggi diproses, ke puncak,
yang diperlukan untuk persepsi frekuensi rendah. Obat-obatan seperti asam
ethacrynic dan furosemide memiliki potensiasi efek ototoksik dari aminoglikosida
pada hewan (Brummett, 1983); Data melibatkan furosemide kurang meyakinkan pada
manusia (Moore et al., 1984a). Gangguan pendengaran setelah paparan agen ini juga
lebih mungkin untuk mengembangkan pada pasien dengan gangguan pendengaran
yang sudah ada sebelumnya. Meskipun semua aminoglikosida mampu mempengaruhi
koklea dan fungsi vestibular, beberapa toksisitas preferensial jelas. Streptomisin dan
gentamisin menghasilkan efek didominasi vestibular, sedangkan amikasin, kanamisin,
dan
neomycin
terutama
mempengaruhi
fungsi
pendengaran;
tobramycin
kritis, yang terwujud dengan konsentrasi melalui serum, berkorelasi dengan toksisitas
pada manusia (Keating et al., 1979).
Potensi nefrotoksik bervariasi diantara aminoglikosida individu. Toksisitas
relatif berhubungan dengan konsentrasi obat yang ditemukan di korteks ginjal pada
hewan percobaan. Neomycin, yang berkonsentrasi pada tingkat terbesar, sangat
nefrotoksik pada manusia dan tidak boleh diberikan secara sistemik. Streptomisin
tidak berkonsentrasi di korteks ginjal dan yang paling nefrotoksik. Sebagian besar
kontroversi telah mengaitkan toksisitas relatif gentamisin dan tobramycin.
Gentamisin terkonsentrasi di ginjal lebih besar daripada tobramycin, tapi beberapa uji
klinis terkontrol telah memberikan perkiraan yang berbeda dari nephrotoxicities
relatif mereka (Smith et al, 1980;. Fong et al, 1981;. Keys et al, 1981.). Jika
perbedaan antara toksisitas ginjal dari dua aminoglikosida ini memang ada dalam diri
manusia, keduanya tampak sedikit. Studi banding dengan amikasin, sisomicin, dan
netilmisin tidak konklusif. Obat lain, seperti amfoterisin B, vankomisin, inhibitor
enzyme angiotensin-converting, cisplatin, dan siklosporin, mungkin mempotensiasi
aminoglikosida-diinduksi
nefrotoksisitas
(Wood
et
al.,
1986).
Furosemide
dengan infeksi berat; dan 2 sampai 2,5 mg / kg setiap 8 jam untuk anak-anak sampai
usia 2 tahun. Konsentrasi plasma puncak berkisar dari 4 sampai 10 mg / ml (dosis:
1,7 mg / kg setiap 8 jam) dan 16 sampai 24 mg / ml (dosis: 5,1 mg / kg sekali sehari).
Perlu ditekankan bahwa dosis yang dianjurkan dari gentamisin tidak selalu
menghasilkan konsentrasi yang diinginkan. Penentuan Periodik konsentrasi plasma
dari aminoglikosida sangat direkomendasikan, terutama pada pasien sakit parah,
untuk mengkonfirmasi bahwa konsentrasi obat dalam kisaran yang diinginkan.
Meskipun belum dapat dipastikan apakah konsentrasi plasma beracun, melewati
konsentrasi secara terus menerus di atas 2 mg / ml telah dikaitkan dengan toksisitas
(Raveh et al., 2002).
Aminoglikosida sering digunakan dalam kombinasi dengan penisilin atau
sefalosporin untuk terapi infeksi gram-negatif yang terbukti atau masih diduga
mikroba, terutama karena P. aeruginosa, Enterobacter, Klebsiella, Serratia, dan
spesies lainnya yang resisten terhadap antibiotik kurang beracun, termasuk infeksi
saluran kemih, bakteremia, luka bakar yang terinfeksi, osteomyelitis, pneumonia,
peritonitis, dan otitis. Dengan beberapa pengecualian (misalnya, endokarditis
enterococcal) (Le dan Bayer, 2003), keunggulan terapi kombinasi aminoglikosida
dengan rejimen obat tunggal belum terbukti. Karena toksisitasnya dengan
administrasi berkepanjangan, aminoglikosida tidak boleh digunakan selama lebih dari
beberapa hari kecuali dianggap penting untuk hasil yang dinginkan lebih atau
ditingkatkan. Aminoglikosida tidak harus dicampur dalam larutan yang sama dengan
penisilin karena penisilin akan menginaktivasi aminoglikosida untuk tingkat yang
lebh signifikan (Konishi dkk., 1983). Kompatibel serupa pada in vitro untuk derajat
yang berbeda antara lain gentamisin dan heparin, amfoterisin B, dan berbagai
golongan sefalosporin.
BAB III
MEDICATION ERROR
a. Permasalahan
Pada kasus medication error diatas, yaitu pasien yang seharusnya menerima
obat salep mata, ternyata mendapatkan salep untuk kulit. Pada resep, tidak ditulis
secara spesifik jenis salepnya, apakah untuk mata atau kulit, selain itu pada aturan
pakai (signa), hanya dituliskan applic loc dol (oleskan pada daerah yang sakit),
karena salep Gentamicin selain untuk kulit, ternyata ada juga yang sediaannya untuk
infeksi pada mata sehingga AA yang bertugas hanya menganjurkan pemakaian yang
tertulis di resep tanpa mengassesment atau mempertanyakan keluhan pasien dibagian
mana. Jadi, pada kasus diatas AA lalai dalam mengiliminir kesalahan penulisan dari
dokter dan ironisnya itu terjadi masih di satu tempat yaitu puskesmas.
b. Penyelesaian
Ketika menerima resep yang ambigu baik signa maupun yang lainnya
AA yang bertugas seharusnya mengkonfirmasi kepada dokter di
tempat itu, namun karena AA kurang peka terhadap masalah sehingga
hal sepele tersebut diabaikan dan berakibat fatal bagi pasien tersebut
Resep yang diterima AA seharusnya diassesment terlebih dahulu
apabila terlihat gejanggalan sehingga dapat diketahui apakah resep
seharusnya diberikan
3. Dispensing Error
Seorang Kostumer datang ke apotek membawa resep untuk anaknya, dokter
meresepkan Gentamycin dengan dosis 7,8 mg (0,78 ml dari sediaan 10 mg/ml) untuk
pasien ABD (tanpa keterangan usia). AA yang bertugas langsung mengambilkan
Gentamicin 40 mg/ml (yang notabene untuk pasien dewasa) dan memberikannya
kepada kostumer tersebut. Beberapa jam kemudian dokter yang bertugas di RS pasien
ABD dirawat menghubungi apotek dan menanyakan obat yang diberika kepada
pasiennya salah dan hampir disuntikkan oleh perawat yang bertugas
a. Permasalahan
Dari kasus tersebut, medication error yang terjadi adalah kesalahan
pemberian obat karena konsentrasi yang diinginkan dan yang diberikan tidak sesuai
dan konsentrasi yang diberikan adalah untuk pasien dewasa karena yang menebus
resep adalah orang tua pasien tersebut bukan untuk pediatrik. Untungnya,
permasalahan diketahui ketika perawat yang berjaga dan mau menyuntikkan bingung
dan mempertanyakan dosis yang diberikan dengan konsentrasi obat karena
perhitungan yang sulit.
b. Penyelesaian
Dari permasalahan tersebut maka yang harus dilakukan untuk mengatasi atau
mencegah kesalahan tersebut adalah:
Apoteker
penanggung
jawab
seharusnya
ada
ditempat
dan
namun
tidak
mempertimbangkan
pasien
sedang
furosemid
(Lasix)
yang
meningkatkan
nefrotoksisitas
dari
gentamicin.
Kekeliruan regimen dosis antibiotic (gentamicin) dan interval
pemberian. Pada kasus diatas pasien diberikan antibiotic gentamicin
dengan regimen dosis 2 kali 80 mg selama 6 hari. Pada kasus tersebut
tidak dipertimbangkan fungsi ginjal (klierens kreatinin) sehingga
diberikan dosis umum pada orang dengan fungsi ginjal normal yang
berakibat pada peningkatan efek nefrotoksik. Dan pada pemberian obat
gentamicin diberikan dengan interval 2 kali sehari, padahal pasien
dengan fungsi ginjal abnormal lebih baik diberikan dengan interval
terapi empiris
Penyesuaian Dosis dan Interval Pemberian Gentamicin. Berdasarkan
data lab, didapat klirens kreatinin 1,2 sehingga pemberian gentamicin
yang seharusnya diberikan disesuaikan berdasarkan fungsi ginjal
pasien. Perhitungan:
CrCl ( ml /min )=
CrCl
ml
( min
)= (1404072) 1,260 0,85 =59,03
DAFTAR PUSTAKA
T. Sari Rusmi, Sudirman I., Maidin A.2012. Faktor Penyebab Medication Error di
Instalasi Rawat Darurat. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 15 (4): p
182-187