Вы находитесь на странице: 1из 8

OSEANOGRAFI

awal kehidupan bermula di laut

HOME

TENTANG OSEANOGRAFI

LINKS

KAMUS OSEANOGRAFI

Fotobioreaktor untuk menyerap CO2

21012010
Di postingan sebelumnya saya pernah sedikit bercerita tentang percobaan yang tengah kami lakukan di
Balai Teknologi Lingkungan Puspiptek Serpong. Alhamdulillah, kegiatan percobaan yang telah kami
lakukan nampaknya cukup berhasil meskipun masih ada banyak perbaikan yang harus dilakukan.
Secara umum, percobaan pertama fotobioreaktor telah memberikan hasil dan indikasi yang positif akan
kemampuan fitoplankton dalam mereduksi kandungan CO 2 yang diinjeksikan ke dalam fotobioreaktor.
Fitoplankton jenis Chaetoceros gracilis terbukti mampu beradaptasi dengan pH yang lebih rendah dari
kondisi inokulasinya. Namun demikian, karena percobaan ini masih dalam tahap awal, maka percobaanpercobaan selanjutnya serta penyempurnaan-penyempurnaan masih perlu dilakukan agar dapat
dihasilkan data yang lebih baik sehingga tujuan dari penelitian ini dapat dicapai.
Hasil penelitian ini pun sudah kami presentasikan di Pertemuan Ilmiah Tahunan V Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia dengan tema Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelautan dalam
Memenuhi Kebutuhan Energi Terbaharukan, Pangan dan Obat-obatan di Indonesia, ITB, 11 November
2008. Makalah yang kami sajikan di pertemuan ilmiah ini kami beri judul: Teknologi penyerapan
Karbondioksida dengan kultur fitoplankton pada fotobioreaktor. Selain itu, kegiatan ini juga telah kami
publikasikan di Jurnal Teknologi Lingkungan (terakreditasi LIPI dan DIKTI) Edisi Khusus Hari Lingkungan
Hidup Juni 2009 dengan judul: Penerapan teknologi fotobioreaktor mikroalga jenis air-lift untuk
menyerap emisi CO2.
Tahun 2009, kami telah melanjutkan penelitian ini dengan desain forobioreaktor yang berbeda serta
sumber gas CO2 yang berasal dari genset dan alhamdulillah berhasil dengan baik. Selain dengan
fotobioreaktor, kami juga melakukan percobaan penyerapan CO2 dengan menggunakan kolam
mikroalga. Publikasi ilmiah untuk kegiatan ini sedang kami siapkan saat ini dan mudah-mudahan dapat
segera dipublikasikan.
Tahun 2010 ini rencananya kami akan menerapkan fotobioreaktor dan kolam mikroalga ini di industri
untuk menyerap emisi CO2 dari cerobong asap. Alhamdulillah sudah ada industri yang berkenan
menerima kami untuk berkegiatan di sana. Menarik bukan?

Comments : 4 Comments
Categories : artikel, info

Dampak Perubahan Iklim pada Laut

19012010
Pada tanggal 4 Januari 2010 yang lalu, BPPT kedatangan tamu penting dari Amerika Serikat, yaitu Dr.
Jane Lubchenco, Wakil Menteri Perdagangan AS untuk Kelautan dan Atmosfer, yang juga Kepala
Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA). Dalam kunjungan tersebut, beliau sempat
memberikan pemaparan dalam acara General Lecturer on Ocean Science & Technology dengan

judulImpacts of Climate Change on Oceans. Dalam pemaparannya ini, beliau menyampaikan tentang
beberapa kecenderungan yang terjadi saat ini di laut global, yaitu: laut mengalami penghangatan, laut
menjadi lebih asam, dan semakin berkurangnya sumberdaya laut dan terganggunya ekosistem laut yang
disebabkan oleh penangkapan ikan berlebih (overfishing), polusi (terutama polusi nutrien), hilangnya
habitat yang rentan di pesisir, serta perubahan iklim dan pengasaman laut.
Menurut beliau, sejak tahun 1980-an yang merupakan puncak produksi penangkapan ikan tertinggi,
jumlah tangkapan ikan secara global telah mengalami penurunan (Myers dan Worm, 2003), dimana 25%
dari perikanan global telah berkurang secara signifikan (FAO, 2005) dan 90% dari seluruh ikan besar
telah sirna (Myers dan Worm, 2003). Semuanya itu, kembali lagi, tidak terlepas dari 4 faktor utama, yaitu
penangkapan ikan berlebih (overfishing), polusi (terutama polusi nutrien), hilangnya habitat yang rentan
di pesisir, serta perubahan iklim dan pengasaman laut.
Seiring dengan semakin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi, para ahli
memperkirakan bahwa akan terjadi pula kenaikan suhu dan muka air laut serta kemungkinan terjadinya
perubahan sirkulasi air laut. Mengacu kepada hasil penelitian Levitus et al. (2000) yang menyatakan
bahwa kandungan bahang di laut mengalami kenaikan di pertengahan kedua abad ke-20, beliau
menyatakan bahwa hal ini akan berdampak pada terjadinya pemutihan terumbu karang ( coral
bleaching), melelehnya es di Samudera Arktik, dan punahnya beberapa spesies ikan.
Yang cukup mengejutkan, menurut beliau, perubahan iklim ternyata telah mengubah
dinamika upwelling di pantai. Jika pada tahun 1950-1999 jarang ditemukan adanya hipoksia dan
anoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom air), maka sejak tahun 2000 hingga
2005 telah terjadi peningkatan jumlah kejadian hipoksia. Bahkan di tahun 2006 ditemukan terjadinya
anoksia di inner-shelf.

Comments : Leave a Comment


Categories : artikel, info, tokoh

Pelayaran WOC 2009

19012010

Sebetulnya ini kegiatan tahun lalu, hanya saja karena banyaknya kesibukan di kantor, baru sempat
dimuat di blog oseanografi saat ini.
Ceritanya, dalam rangka memeriahkan dan menyukseskan perhelatan akbar World Ocean
Conference (WOC) 2009 di Manado, Sulawesi Utara tanggal 11-15 Mei 2009 yang lalu, Kapal Riset
Baruna Jaya IV milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)melakukan pelayaran ke Manado
dan mengadakan acara Open Ship di Teluk Manado. Dalam pelayaran ini dilakukan pula kegiatan
pengambilan sampel air untuk analisis nutrien, klorofil-a, pH, alkalinitas, dan karbon anorganik terlarut
(dissolved inorganic carbon, DIC) serta pengukuran konduktivitas-temperatur-kedalaman (conductivitytemperature-depth, CTD) dan arus laut serta survei ikan laut dalam. Selain untuk memeriahkan dan
menyukseskan acara WOC 2009, kegiatan ini ditujukan pula untuk memberikan pelatihan kepada para
mahasiwa dan dosen ilmu kelautan dan perikanan.

Pelayaran yang diawali acara pelepasan oleh Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat Prof. Dr. Indroyono Soesilo di Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 28 April ini diikuti oleh beberapa
mahasiswa (dan dosen) dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Syah Kuala (UNSYIAH), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), serta
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta (STIP). Pokoknya ramai deh! Lintasan yang diambil adalah Tanjung
Priok-Laut Jawa-Selat Makassar bagian selatan-Laut Banda-Laut Maluku-Teluk Manado.
Nah di pelayaran ini, sembari menunggu tiba di tempat pengambilan data, diadakan pula pelatihan dan
presentasi oleh para narasumber dan tim peneliti dari Balai Teknologi Survey Kelautan (dulu UPT Baruna

Jaya). Kebetulan di pelayaran ini saya juga ikut sebagai narasumber sekaligus saintis untuk survey CO2
di laut (cerita tentang kegiatan pengukuran CO2 di laut nanti akan saya tuliskan dalam postingan
terpisah deh, janji!).
Berikut adalah materi yang diberikan selama pelayaran:
1.

Dasar keselamatan dalam pelayaran, pengenalan kapal, dan peralatan survei.

2.

Pengenalan teknologi dan peralatan survei.

3.

Teknologi survey oseanografi dan penerapannya.

4.

Praktikum pengambilan data dan sampel air laut beserta cara mengolah dan menganalisisnya di
laboratorium.

5.

Pengenalan teknologi survei batimetri dengan multibeam.

6.

Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk perikanan laut.

7.

Teori dan praktek penangkapan ikan dengan menggunakan trawl dan identifikasi jenis serta
preparasi sampel ikan.

Alhamdulillah, selama pelayaran kondisi laut sangat tenang, mulus banget bak jalan tol. Yang jelas, tidak
ada yang mengalami mabok laut, nafsu makan juga bagus. Akibatnya, selesai pelayaran berat badan
bertambah. Apalagi, suplai makanan di kapal betul-betul non stop, selalu ada makanan yang siap untuk
dikunyah.
Berlayar itu memang menyenangkan, asal kondisi laut bersahabat.

Comments : 1 Comment
Categories : artikel, info

Biogeokimia Laut dan Perubahan Global

2122008
*tulisan ini juga dimuat di blogonesia*
Untuk yang sedang belajar tentang perubahan global (global change), bisa jadi serial ilmu
pengetahuan IGBP (International Geosphere-Biosphere Programme )Science No.2 dengan judul Marine
Biogeochemistry and Global Change yang coba saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini dapat
sedikit memberikan gambaran tentang peran laut dalam perubahan global.Dokumen ini sendiri
merupakan ringkasan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh JGOFS (Joint Global Ocean Flux
Study) sejak tahun 1988 hingga 2000.
Sekedar gambaran sebelum mengunduh, dalam Kata Pengantarnya Hugh Ducklow sebagai Ketua Komite
Pengarah Ilmiah JGOFS menuliskan:
Saat ini para peneliti, pemerintah, pengambil keputusan, ekonom, dan pemimpin industri tengah terlibat
dalam proses untuk mencoba mendesain program internasional besar, yang kadang kala berliku, untuk
memahami, meramalkan, menanggulangi, dan bahkan mengatur perubahan iklim. Bagaimanakah
negara maju dan negara berkembang berpadu untuk menemukan cara mengurangi emisi sekaligus
mengatur siklus karbon dalam rangka memperlambat atau menghentikan pertumbuhan karbon dioksida
(CO2) atmosferik yang dapat diterima secara politis? Keputusan semacam ini akan bergantung pada
peningkatan pemahaman tentang biogeokimia planet.
Kita tahu bahwa laut dan biosfer darat mengambil sekitar 40% karbon yang pertahunnya ditambahkan
ke atmosfer akibat penggunaan bahan bakar fosil. Kita juga telah tahu dari pemodelan dan penelitian inti
es dan iklim di masa lalu bahwa laut memiliki potensi menyerap lebih banyak CO2 dari atmosfer. Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh JGOFS dan WOCE (World Ocean Circulation Experiment) pada
dekade yang lalu telah banyak diketahui proses-proses fisis dan biogeokimia yang bertanggung jawab

dalam penyerapan karbon, dan kita pun telah mengetahui secara umum kawasan dan tahun dimana laut
menyerap CO2 atau melepaskannya ke atmosfer.
Apa yang tidak kita ketahui secara terperinci adalah bagaimana sistem laut yang setimbang dengan
sempurna dalam pertukaran CO2 ini telah berubah dengan meningkatnya CO2 di atmosfer. Contohnya,
apakah biologi laut telah berubah pada beberapa dekade terakhir ini? Lebih dari itu, kita pun belum
dapat meramalkan dengan tingkat kepastian tertentu bagaimana siklus karbon laut akan berubah
dengan hangatnya iklim di abad mendatang. Bagaimana biologi laut akan merespon perubahanperubahan dalam percampuran laut dan angin? Kita baru saja mulai mendesain dan menyebarkan
sebuah sistem pemantauan karbon global yang memungkinkan kita memantau denyut planet ini di
tahun-tahun mendatang.
Buku ringkas dengan banyak gambar ini dibagi menjadi 10 bagian yaitu: Kata Pengantar, Gambaran
Ilmiah, Mengapa Mempelajari Laut?, Peran Laut dalam Siklus Karbon Global, Komponen dalam Siklus
Karbon di Laut, Mengkaji Perubahan terhadap Waktu, Model dan Peramalan, Tantangan untuk Masa
Depan, Tentang JGOFS, dan Bacaan Lebih Lanjut.
Terjemahan ini merupakan proyek pribadi, sekedar mengisi waktu luang selama di kantor. Saya harapkan
bantuan koreksi terhadap terjemahan Bahasa Indonesia yang mungkin kurang tepat dalam terjemahan
edisi pertama ini. Klik di sini untuk mengunduh terjemahan (ukuran file 2,3MB) dan klik di sini untuk versi
aslinya (ukuran 2,81MB). Oh ya, dalam versi terjemahan ini, tata letak halaman sengaja saya buat mirip
dengan aslinya, tetapi saya sendiri belum mencoba menghubungi pihak IGBP untuk memberitahukan
versi terjemahan ini atau meminta ijin untuk membaginya kepada publik. hehehe

Comments : 1 Comment
Categories : artikel

Beberapa publikasi yang mungkin berguna

27082008
Wah, sudah lama juga nggak ngupdate blog ini. Kebetulan hari ini sempat nengokin blog ini gara-gara
dapat e-mail dari Dr Richard Downer, BODC Webmaster dari British Oceanographic Data Centre yang
menginformasikan alamat baru untuk data General Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO) yang ada
di halaman https://oseanografi.wordpress.com/links/.
Lucunya, e-mail dari dia ini ditujukan ke alamat e-mail saya tetapi untuk blog orang lain,
yaitu http://masantos.wordpress.com/link-oseanografi/ yang kebetulan isi dari halaman ini memang
sekedar copy-paste dari halaman links di blog saya (apa kata dunia, hare gene bisanya cuma copy-paste
aja?).
Oh iya, sekalian ngupdate link GEBCO, saya juga ingin berbagi beberapa tulisan yang telah saya buat
selama mulai menetap di Indonesia sekembalinya dari Hamburg. Berikut judul dan link ke file pdf-nya,
mudah-mudahan ada manfaatnya
1.

Model pasang surut tidak linear dengan metode asimilasi data variasional, ukuran file 961 kB,
makalah yang saya presentasikan di Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan di Jurusan Perikanan
dan Kelautan, Fakultas Pertanian UGM dengan tema Inovasi Riset untuk Meningkatkan Nilai Tambah
Produk Perikanan dan Kelautan, yang berlangsung hari Sabtu, 26 Juli 2008. Sedikit cerita tentang
acara seminarnya bisa dilihat di sini.

2.

Modul Pengenalan Data Oseanografi, ukuran file 89 kB, sedikit membahas tentang sejarah
survey (pengumpulan data) oseanografi di Indonesia dan sumber-sumber data, baik yang ada di
lembaga penelitian di Indonesia maupun yang tersedia online dan gratis dari lembaga-lembaga
penelitian di luar negeri. Sederhana sekali, hanya sekedar memberikan gambaran umum.

3.

Modul OTPS, ukuran file 282 kB, berisi penjelasan mengenai cara menggunakan perangkat lunak
OTPS (OSU Tidal Prediction Software), bersifat sangat teknis, sebagian besar isinya saya
terjemahkan langsung dari petunjuk yang ada dalam paket OTPS yang bisa diunduh dari
situsnya Oregon State University.

4.

Modul Membaca NetCDF, ukuran file 420 kB, juga bersifat sangat teknis, ditulis berdasarkan
pengalaman saya menggunakan salah satu NetCDF toolbox-nya Matlab untuk membaca data
reanalisis dari NCEP (National Centre for Environmental Prediction).

Comments : 1 Comment
Categories : artikel

Berapa Jumlah Sampah di Teluk Jakarta?

4012007
Dalam hal penangan sampah kadang kita cenderung untuk tidak perduli, yang terpenting buat kita
adalah mengenyahkannya sejauh mungkin dari depan hidung kita
Seberapa banyakkah sampah yang menyebar dan tertumpuk di Teluk Jakarta saat ini? Sejauh ini, setahu
saya, belum ada studi yang benar-benar membahas masalah ini secara serius. Saya telah mencoba
untuk mencari data penyebaran sampah di Teluk Jakarta yang bersumber dari beberapa muara sungai
yang ada, tetapi ternyata sangat sulit untuk mendapatkannya.
Di media massa versi online, ada banyak berita yang mengabarkan tentang banyaknya sampah di Teluk
Jakarta, tapi hanya beberapa yang menyebutkan jumlahnya dalam angka, sementara sisanya hanya
mengatakan bahwa di Teluk Jakarta banyak sampah. Sayangnya, angka-angka yang disebutkan oleh
beberapa media massa tersebut malah justru membuat saya bertambah bingung karena berbeda-beda,
bahkan ada yang ekstrim dan sepertinya ngawur.
Timeasia dalam beritanya tanggal 2 Oktober 2006 mengatakan bahwa sekitar 70% atau 1200 meter
kubik (setara dengan 288 ton) sampah di Jakarta di buang ke sungai-sungai setiap harinya, dimana
sebagian besar adalah ke Muara Angke. Sayangnya, dalam berita itu tidak disebutkan dari mana angka
itu didapatkan. Dalam berita lain di Kompas 19 Juni 2006, Bupati Kepulauan Seribu mengatakan bahwa
volume sampah di Teluk Jakarta mencapai 300 meter kubik per hari (setara dengan 72 ton), seperempat
dari apa yang dibeberkan oleh Timeasia. Apakah mungkin dalam waktu hanya sekitar 3 bulan, jumlah
sampah yang masuk ke Teluk Jakarta meningkat sebegitu drastisnya, dari 300 ke 1200 meter kubik per
hari? Sepertinya mustahil, saya lebih percaya bahwa data yang diberikan oleh mereka kurang akurat
dua-duanya.
Selanjutnya, dalam berita di Suara Karya Online tanggal 13 Mei 2006, Poltak U. Sitinjak, Direktur PT.
Asiana Technologies Lestary, sebuah perusahaan yang memroduksi mesin penjaring sampah,
mengatakan bahwa sampah yang dialirkan oleh Sungai Ciliwung, Banjir Kanal Barat, Kali Sunter, dan Kali
Pesanggrahan berton-ton jumlahnya, tanpa dirinci lebih lanjut berapa ton persisnya. Ini jelas
membingungkan, karena 1 kilo pun bisa kita konversi ke dalam ton menjadi 0,001 ton. Di lain berita,
Kompas 11 Oktober 2004 yang dimuat dalam FishyForum menyebutkan bahwa jumlah sampah yang
dibuang ke 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta adalah 7000 ton/hari. Angka ini jelas sangat
ekstrim (dan bisa jadi ngawur), karena menurut BPLHD Jakarta, total produksi sampah domestik di DKI
Jakarta sekitar 6000 ton/hari, dimana sekitar 85% dari jumlah tersebut mampu diangkut ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sementara 15% sisanya tercecer di selokan, sungai, lahan kosong, dan jalanjalan. Data lain dari WALHI juga menyebutkan angka produksi sampah yang hampir sama dengan data
BPLHD tersebut. Sementara itu, dalam berita di Liputan 6 SCTV 14 Mei 2006 disebutkan bahwa beban
sampah yang masuk ke Teluk Jakarta sekitar 500 ribu ton/tahun atau setara dengan 1370 ton/hari.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, I. Malik, dalam seminar Pengendalian
Pencemaran Laut di Kepulauan Seribu di Jakarta, Rabu (13/12/2006), hingga kini volume sampah yang
masuk ke Teluk Jakarta mencapai 600 meter kubik (atau setara dengan 144 ton) per hari
(sumber: ANTARA).
Dari sini, kita bisa melihat bahwa data sampah yang dibuang ke Teluk Jakarta sangat simpang siur dan
cukup membingungkan. Mana yang benar dari data itu, kita tidak tahu pasti.
Dalam berita lain di Tempointeraktif tertanggal 26 April 2005, Kepala Sub Dinas Kebersihan Bagian Teknik
Operasional DKI Jakarta mengatakan bahwa masalah sampah di Teluk Jakarta sampai saat ini belum ada
pemecahannya, bahkan lembaga mana yang harus bertanggung jawab pun masih tidak jelas. Sebuah
pernyataan yang ajaib untuk kota bakal megapolitan nan modern dan megah bernama Jakarta. Lebih
jauh beliau juga mengatakan bahwa sampah-sampah yang ada di Teluk Jakarta itu kemungkinan besar
berasal dari daerah lain. Nah kalau yang ini sih bisa disebut sebagai komentar cuci tangan.
Ketika masih menjadi mahasiswa dan melaksanakan kerja praktek di Muara Karang sekitar tahun 1993,
selama seminggu lebih saya tinggal di penginapan kumuh dekat perkampungan nelayan. Menurut
pengalaman dan pengamatan saya, sebagian besar nelayan memang terbiasa untuk membuang
sampah-sampah yang ada (seperti tas plastik, pembungkus nasi, botol minuman, bahkan oli bekas)
secara sembarangan ke sungai atau laut. Akibatnya, di tempat dimana perahu-perahu mereka biasa
ditambatkan biasanya penuh dengan sampah. Belum lagi, sebagian besar rumah yang berada di sana

pun membuang sampahnya ke lahan kosong yang ada di sekitar mereka, yang bila datang air pasang
akan melayang kemana-mana, dan akan terseret ke laut ketika air laut kembali surut.
Di tahun 1999, ketika saya punya penelitian di Kepulauan Seribu dan sering mondar-mandir dari
dermaga Ancol ke Pulau Kelapa, sampah memang cukup mudah untuk bisa kita temukan di pinggir
pantai di Teluk Jakarta, terutama sampah plastik. Di Pulau Kelapa sendiri, salah satu pulau di Kepulauan
Seribu dengan jumlah penduduk yang cukup padat, sampah juga cukup banyak bertebaran di manamana. Tidak hanya itu, di saatsunrise atau sunset, banyak penduduk di pulau itu (lelaki perempuan)
yang asyik nongkrong di tepi pelabuhan untuk buang air besar. Sebenarnya ada fasilitas Mandi, Cuci,
Kakus (MCK) yang sudah dibangun oleh pemerintah di sana, tetapi menjadi terbengkalai karena jarang
ada penduduk yang mau menggunakannya. Belum lagi tumpahan minyak berwarna hitam yang kerap
kali nampak di permukaan air yang tidak jelas dari mana sumbernya, yang oleh sebagian besar warga
dianggap biasa-biasa saja.
Dari fakta yang ada ini, jelaslah bahwa masalah utama yang menyebabkan banyaknya sampah yang
dibuang sembarangan adalah karena kebiasaan buruk dan ketidakperdulian warganya sendiri. Dan hal
itu tidak hanya ditemukan di Jakarta saja tetapi juga di Kepulauan Seribu (bahkan mungkin di seluruh
Indonesia, kalau kita mau membahasnya dalam skala nasional). Artinya, bisa jadi sampah yang banyak
ditemukan di Kepulauan Seribu, yang jarak terdekatnya dengan Jakarta sekitar 15 km itu, bukan hanya
dari sungai yang bermuara di Teluk Jakarta saja, tetapi juga dari sampah yang dibuang masyarakat yang
tinggal di Kepulauan Seribu.
Nah sekarang, bagaimana mengatasinya? Sebetulnya mudah saja, tapi ya tergantung niat juga sih. Buat
saja program yang terencana dengan baik dan harus dijalankan dengan konsisten dan terus menerus,
alias bukan hanya sekedar pilot project atau proyek percontohan yang konyol dan seringkali hanya
jadi trend sesaat yang lazim terjadi di Indonesia. Long life program gitu loh maksud saya! Nah, cuman
yang susah ya bikin programnya itu, apalagi kalau gak ada duitnya, mendingan pergi studi banding aja
terus yang sudah jelas ada alokasi dananya

Comments : 9 Comments
Categories : artikel

Penyimpangan Posisi

1112006
Pada postingan sebelumnya saya sudah menyinggung tentang datum peta yang kata teman

saya adalah sumber masalah dari bergesernya posisi stasiun pengamatan dari survey yang dia lakukan.
Setelah menulis postingan tersebut, rasa penasaran saya semakin bertambah: saya ingin tahu seberapa
jauh sebenarnya penyimpangan yang terjadi kalau hasil pengukuran posisi geodetis dari GPS dengan
datum WGS84 ditransformasikan ke Bessel 1841. Rasa penasaran ini muncul setelah saya mencoba
menggambarkan garis pantai hasil translasi/transformasi kawan saya itu (akibat ketidakcocokan posisi
geodetik ketika melakukan survey di lapangan) dan posisi stasiun pengamatannya, serta meng-overlaynya dengan garis pantai full resolution dari GSHHS (Global Self-consistant Hierarchical High-resolution
Shorelines). garis pantai yang berwarna biru adalah hasil translasi garis pantai yang dilakukan teman
saya, sementara warna hijau menunjukkan garis pantai dari GSHHS. Kotak merah menunjukkan posisi
stasiun pengamatan.
Hasilnya tentu saja mengejutkan, karena penyimpangan yang terjadi sangat besar. Apakah

benar penyimpangan yang terjadi bisa sebesar itu? Tentu saja ini menjadi pertanyaan yang menarik
untuk dilihat lebih jauh. Saya pun mencoba membuat program untuk mentransformasikan posisi
geodetik dari datum WGS84 ke Bessel 1841 berdasarkan rumus yang ada di website Peter H. Dana yang
sudah saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya. Selanjutnya, setelah melakukan pengujian untuk
meyakinkan bahwa program yang saya buat sudah benar, saya mencoba untuk melihat berdasarkan
lintang pergeseran yang terjadi dari posisi geodetik dengan datum yang berbeda itu (pergeseran posisi
bujur relatif sangat kecil). Saya dapatkan bahwa pergeseran terbesar terjadi di lintang menengah (lihat
gambar).

Untuk lebih meyakinkan lagi, saya pun menggunakan software lain yang tersedia bebas di dunia maya
yaitu Geotrans. Secara umum hasilnya hampir sama saja. Adapun untuk daerah dekat ekuator
penyimpangan yang terjadi maksimum hanya sekitar 1 atau sekitar 30 meter saja.
Dari hasil utak-atik seperti itu, timbul pertanyaan: kenapa hasil survey kawan saya itu memberikan posisi
geodetik yang jauh berbeda (hingga ratusan meter)? Apakah hal ini terjadi karena kesalahan GPS yang
digunakan? Masalahnya, ketika coba dioverlay dengan data garis pantai dari Dishidros TNI AL pun
hasilnya hampir sama dengan gambar di atas. Ada yang bisa menjelaskan?

Comments : Leave a Comment


Categories : artikel

March 2016
T

Jan
1
8
15
22
29

7
14
21
28

2
9
16
23
30

3
10
17
24
31

CATEGORIES

artikel

info

tips

tokoh
RECENT POSTS

Fotobioreaktor untuk menyerap CO2

E-book gratis dari the National Academies Press

Dampak Perubahan Iklim pada Laut

Pelayaran WOC 2009

Biogeokimia Laut dan Perubahan Global


ARCHIVES

January 2010

December 2008

September 2008

August 2008

January 2007

4
11
18
25

5
12
19
26

6
13
20
27

November 2006

October 2006

September 2006

August 2006

January 2006

August 2005

July 2005
OCEANLINK

census of marine life

lautanku

NASA oceanography

oceanography resources
WORDPRESS

wordpress.com

wordpress.org
BLOG STATS

71,697 hits

Create a free website or blog at WordPress.com. The Freshy Theme.

Follow

Follow OSEANOGRAFI
Get every new post delivered to your Inbox.
Sign me up

Build a website with WordPress.com

Вам также может понравиться